Anda di halaman 1dari 36

LAPORAN KEGIATAN DIAGNOSIS KOMUNITAS

PENINGKATAN UNIVERSAL COVERAGE IMMUNIZATION (UCI)


MELALUI PEMBERDAYAAN KADER DAN IBU HAMIL
DI DESA BANGELAN KECAMATAN WONOSARI

Oleh:
Galih Tri Wicaksono 150070200011030
Jennifer Liklynda M 150070200011049
Yenny Apriliya 150070200011050
Novian Kurnia P 150070200011075
Laras Gaby Cathelya 150070200011125

Pembimbing:
Dr. dr. Siswanto, M.Sc

LAB ILMU KESEHATAN MASYARAKAT DAN KEDOKTERAN PENCEGAHAN


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2017
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Imunisasi adalah salah satu intervensi kesehatan masyarakat yang paling
efektif dalam upaya mencegah morbiditas dan mortalitas. Imunisasi juga terbukti
upaya yang sangat cost-effective dalam mengatasi masalah kesehatan
masyarakat yang disebabkan oleh penyakit menular. Kekebalan atau imunitas
tubuh terhadap ancaman penyakit adalah tujuan utama dari pemberian
vaksinasi. Pada hakekatnya kekebalan tubuh dapat dimiliki secara pasif maupun
aktif. Keduanya dapat diperoleh secara alami maupun buatan. Oleh karena itu,
perlu dilakukannya imunisasi sebagai upaya pencegahan terhadap serangan
penyakit yang berpengaruh terhadap status gizi anak (Yusie, 2009).
Imunisasi yang kita kenal saat ini, tidak bisa dilepaskan dari peran besar
Edward Jenner (1749-1823). Pada tahun 1796, saat berbagai belahan dunia
sedang dilanda wabah penyakit smallpox (disebabkan oleh virus Variola) yang
mematikan, Jenner melalui eksperimennya berhasil membuktikan bahwa
seseorang yang terpapar cowpox (penyakit kulit yang ditularkan oleh sapi)
memiliki imunitas terhadap smallpox. Untuk menghargai jasa Jenner,
diperkenalkanlah istilah vaksinasi yang mengadaptasi “vacca” dari bahasa Latin
yang berarti “sapi” (Rambi dan Djauzi, 2013).
Program imunisasi merupakan cara terbaik yang telah menunjukkan
keberhasilan yang luar biasa dan merupakan usaha yang sangat menghemat
biaya dalam mencegah penyakit menular dan juga telah berhasil menyelamatkan
begitu banyak kehidupan dibandingkan dengan upaya kesehatan masyarakat
lainnya. Untuk meningkatkan cakupan imunisasi pada anak-anak diseluruh
belahan dunia, sejak tahun 1974 Badan Kesehatan Dunia atau World Health
Organization (WHO) mencanangkan Expanded Program on Immunization (EPI)
atau Program Pengembangan Imunisasi (PPI). Hasil dari program PPI ini cukup
memuaskan. Angka cakupan imunisasi meningkat menjadi 80% pada tahun
1990 dan sejak diluncurkannya program tersebut imunisasi telah menyelamatkan
lebih dari 20 juta jiwa dari bahaya penyakit infeksi (Sarimin et al, 2014).
Imunisasi diperkirakan dapat mencegah 2,5 juta kasus kematian anak per
tahun di seluruh dunia (Umbul dan Rahmawati, 2013). Imunisasi merupakan
kebijakan nasional melalui program imunisasi dasar di Indonesia. Imunisasi

2
dasar diberikan pada bayi sebelum berusia 1 (satu) tahun. Jenis imunisasi dasar
terdiri atas: Bacillus Calmette Guerin (BCG); Diphtheria Pertusis Tetanus-
Hepatitis B (DPT-HB) atau Diphtheria Pertusis Tetanus-Hepatitis B-Hemophilus
Influenza type B (DPT-HB-Hib); Hepatitis B pada bayi baru lahir; Polio; dan
Campak. Imunisasi masih sangat diperlukan untuk melakukan pengendalian
Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I), seperti Tuberkulosis
(TB), difteri, pertusis (penyakit pernapasan), campak, tetanus, polio dan hepatitis
B (Sarimin et al, 2014). Program imunisasi sangat penting agar tercapai
kekebalan masyarakat (population immunity). Program Imunisasi di Indonesia
dimulai pada tahun 1956 dan pada tahun 1990, Indonesia telah mencapai status
Universal Child Immunization (UCI), yang merupakan suatu tahap dimana
cakupan imunisasi di suatu tingkat administrasi telah mencapai 80% atau lebih.
Saat ini Indonesia masih memiliki tantangan mewujudkan 100% UCI
Desa/Kelurahan pada tahun 2014 (WHO, 2009).

1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Membentuk masyarakat sadar imunisasi yang dapat membantu
meningkatkan angka cakupan imunisasi di desa Bangelan.

1.2.2 Tujuan Khusus


1. Meningkatkan pengetahuan ibu hamil dan kader terhadap imunisasi dasar.
2. Meningkatkan kemampuan kader untuk melakukan edukasi terhadap
masyarakat terutama ibu hamil tentang imunisasi dasar.
3. Mengikutsertakan kader dalam pencatatan ibu hamil di desa Bangelan.

1.3 Sasaran Kegiatan


Sasaran kegiatan ini adalah ibu hamil dan kader di desa Bangelan,
Kecamatan Wonosari, Kabupaten Malang.

1.4 Manfaat Kegiatan


1.4.1 Manfaat bagi Puskesmas Wonosari
1. Membantu puskesmas dalam meningkatkan pengetahuan masyarakat dan
kader tentang pentingnya imunisasi dasar.

3
2. Membantu puskesmas dalam meningkatkan kelengkapan data ibu hamil di
desa Bangelan.

1.4.2 Manfaat bagi Kader


1. Meningkatkan pengetahuan dan keterampilan kader untuk mengedukasi
masyarakat terutama ibu hamil tentang imunisasi dasar.

1.4.3 Manfaat Bagi Dokter Muda


1. Menjadi sarana penerapan ilmu kesehatan masyarakat di lapangan terutama
mengenai materi diagnosis komunitas.
2. Melatih kemandirian dokter muda dalam mengidentifikasi dan mencari
pemecahan masalah yang terjadi di masyarakat.
3. Meningkatkan kemampuan dalam berinteraksi dengan masyarakat secara
langsung.
4. Berperan aktif dalam upaya peningkatan kualitas kesehatan masyarakat

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Imunisasi


Imunisasi adalah suatu upaya untuk menimbulkan/meningkatkan
kekebalan seseorang secara aktif terhadap suatu penyakit, sehingga bila suatu
saat terpajan dengan penyakit tersebut tidak akan sakit atau hanya mengalami
sakit ringan (Kemenkes RI, 2013), yakni dengan memberikan vaksin. Vaksin
menstimulasi sistem imun untuk melindungi seseorang melawan infeksi atau
penyakit. Imunisasi merupakan cara yang terbukti dapat mengontrol dan
mengeliminasi penyakit infeksius yang mengancam jiwa yang diperkirakan antara
2 hingga 3 juta kematian setiap tahunnya. Selain itu, imunisasi juga merupakan
salah satu investasi terhadap kesehatan yang efektif yang dapat diakses bahkan
pada daerah yang sulit dijangkau sekalipun. Pada tahun 2020, WHO
menargetkan minimal 90% populasi terimunisasi (WHO, 2018).

2.2 Imunologi Imunisasi


Sistem imun merupakan jaringan kerja kompleks dan interaksi berbagai
sel tubuh yang pada dasarnya bertujuan untuk mengenal dan membedakan
antigen, serta mengeliminasi antigen yang dianggap asing. Secara garis besar
respon imun dibedakan menjadi respon imun non-spesifik dan respon imun
spesifik (Gambar 2.1). Respon imun non-spesifik tidak ditujukan terhadap antigen
tertentu sedangkan respon imun spesifik ditujukan khusus untuk struktur antigen
tertentu dan tidak dapat bereaksi terhadap struktur antigen lain (Abbas et al,
2014).

2.2.1 Respon Imun Non Spesifik


Respon imun non-spesifik (non-adaptif, innate immunity) diperankan oleh
sel makrofag, sel dendrit, neutrofil, dan polimorfonuklear lainnya, sel natural
killer, sel-sel jaringan tubuh (epitel, endotel, sel makrofag jaringan, fibroblast,
keratinosit, dll); serta berbagai produk seperti sitokin, interferon, kemokin, CRP,
komplemen, dan lain-lain. Respon imun non-spesifik dapat teraktivasi dalam
beberapa menit atau jam setelah infeksi dan pajanan antigen dan kemudian akan
mengaktivasi sistem imun spesifik dalam hitungan waktu lebih lama (Gambar
2.1) (Abbas et al, 2014).

5
Gambar 2.1 Mekanisme imunitas bawaan dan imunitas adaptif (Andre et al,
2008)
Mekanisme imunitas bawaan merupakan pertahanan awal melawan infeksi. Sedangkan respon
imun adaptif timbul setelahnya dan dimediasi oleh limfosit dan produknya. Antibodi mengeblok
infeksi dan mengeliminasi mikroba, eradikasi mikroba ekstrasel dilakukan oleh sel T. Kinetika
respon imun bawaan dan adaptif berbeda tergantung dari jenis infeksinya .

Respon imun terhadap mikroorganisme bermula pada jaringan non-


limfoid dengan pemeran utama makrofag dan sel dendrit. Aktivasi sel dendrit
merupakan pencetus awal yang menginisiasi respon imun primer. Selain
mengikat antigen dengan reseptor permukaan sel, sel dendrit juga secara aktif
melakukan pinositosis dan menangkap antigen soluble. Ikatan antara antigen
dengan salah satu atau beberapa reseptor sel dendrit menginisiasi tiga langkah
awal respon imun yaitu pemrosesan antigen (antigen processing), migrasi sel
dendrit ke kelenjar limfe, dan maturasi sel dendrit (Ranuh, 2014).
Apabila antigen dapat dieliminasi oleh innate immunity, maka respon
imun spesifik tidak perlu terlibat lebih jauh. Sinyal sistem imun non-spesifik tetap
disampaikan kepada sistem imun spesifik sehingga pada infeksi berikutnya dapat
member respon anamnestik yang bersifat protektif. Sel dendrit bersama antigen
akan menghasilkan sitokin dan kemokin serta influks sel inflamasi. Sel dendrit
tersebut akan migrasi ke kelenjar limfoid dan berinteraksi dengan sel limfosit T
dan sel limfosit B serta memulai respon imun spesifik. Sel T efektor dan antibodi
akan meninggalkan kelenjar limfoid, sebagian akan berada di sirkulasi dan akan
ke tempat inflamasi (Ranuh, 2014).

2.2.2 Respon Imun Spesifik

6
Respon imun spesifik diperankan oleh sel-sel imun khusus yang akan
menyerang antigen dan mikroba secara spesifik, yaitu dengan produk
immunoglobulin (respon imun humoral) atau aktivitas selular khusus (respon
imun selular). Respon imun spesifik yang efektif memerlukan stimulasi yang kuat
dan lengkap dari aktivitas sistem imun non-spesifik. Respon imun humoral
merupakan aktivitas sel limfosit B sedangkan respon imun selular diperankan
oleh sel limfosit T (Abbas et al, 2014).
Setelah pajanan antigen pada sistem imun maka sebagian sel imun
spesifik yang teraktivasi akan menetap dalam sirkulasi dan sumsum tulang
sebagai sel memori. Sel memori ini dengan cepat akan bereplikasi dan bereaksi
secara spesifik bila terpajan ulang terhadap antigen yang sama, membentuk
antibodi dan respon imun selular anamnestik. Respon imun humoral limfosit B
membutuhkan bantuan spesifik limfosit T untuk dapat membentuk sel memori.
Respon imun spesifik yang terbentuk pada saat sistem imun baru mengenal
suatu antigen disebut sebagai respon imun primer, sedangkan respon imun
spesifik yang terjadi setelah pengenalan antigen pertama disebut sebagai respon
imun sekunder (Abbas et al, 2014).

2.3 Tipe Vaksin


Secara garis besar vaksin dapat dibagi menjadi dua kelompok jenis
vaksin, yaitu vaksin dari mikroba hidup dilemahkan (vaksin hidup) dan vaksin
mikroba yang diinaktivasi (vaksin inaktivasi). Vaksin hidup dibuat dengan
memodifikasi virus atau bakteri patogen di laboratorium. Vaksin inaktivasi dapat
berupa virus atau bakteri utuh (whole cell) atau fraksi patogen, atau gabungan
keduanya.
Vaksin fraksional dapat berbasis protein atau polisakarida. Vaksin
berbasis protein dapat berupa toksoid (toksin bakteri inaktif), dan produk subunit
atau subvirion. Vaksin berbasis polisakarida umumnya terbuat dari polisakarida
murni dinding sel bakteri, atau dapat juga dikonjugasikan secara kimiawi dengan
protein sehingga sifat antigenik vaksin polisakarida tersebut menjadi lebih poten.
Vaksin hidup bersifat labil dan mudah rusak oleh paparan suhu panas
dan cahaya, sehingga harus dibawa dan disimpan dengan cara aman dari
penyebab kerusakan tersebut. Virus atau bakteri dalam vaksin hidup diharapkan
dapat bereplikasi dalam tubuh penerima vaksin sehingga cukup diberikan dalam

7
dosis relatif kecil. Contoh vaksin hidup misalnya vaksin campak, gondongan,
rubela, vaksinia, varisela, demam kuning, polio (oral), dan BCG (Natalia, 2013).
Vaksin inaktif tidak mengandung mikroba hidup, tidak bereplikasi, dan
tidak berpotensi menimbulkan penyakit. Vaksin inaktif diberikan melalui suntikan,
selalu dengan dosis multipel, dan umumnya tidak dipengaruhi oleh antibodi
sirkulasi. Vaksin inaktif juga memerlukan penguatan (booster) karena antibodi
yang terbentuk akan menurun seiring dengn perjalanan waktu. Respon imun
yang terbentuk sebagian besar bersifat humoral dan hanya sedikit merangsang
respon imun seluler. Contoh vaksin inaktif sel utuh, antara lain: vaksin influenza,
rabies, hepatitis A, polio (suntikan), pertusis, kolera. Vaksin inaktif fraksional dan
subunit misalnya vaksin hepatitis B, influenza, pertusis aselular, toksoid (difteri,
tetanus). Selain kedua jenis vaksin tersebut, dikenal pula vaksin rekombinan
yang dibentuk dengan rekayasa genetic, contohnya adalah: vaksin hepatitis B
rekombinan, vaksin tifoid Ty21a, dan vaksin influenza LAIV (Natalia, 2013).

Gambar 2.2 Respon imun primer dan sekunder pada vaksinasi (Andre et al,
2008)
Antigen X dan Y akan menginduksi produksi antibodi yang berbeda, yang merefleksikan
spesifisitas antibodi tersebut. Respon sekunder terhadap antigen X lebih cepat dan besar
dibandingkan dengan respon primer dan berbeda dengan respon primer terhadap antigen Y. Level
produksi antibodi dinyatakan sebagai nilai arbitrari dan bervariasi tergantung tipe antigen yang
memapar. Setelah imunisasi, repon imun primer akan muncul 1-3 minggu sedangkan respon imun
sekunder muncul akan muncul 2-7 hari tetapi kecepatannya sangat dipengaruhi oleh antigen dan
sifat imunisasi.

Respon terhadap dosis pertama vaksin inaktif lebih bersifat sebagai


pembentukan respon imun awal (priming) yang menjadi dasar pembentukan
imunitas protektif. Dosis berikutnya pada vaksinasi primer merupakan vaksinasi

8
ulang yang membentuk tingkat antibodi protektif. Vaksinasi ulang diberikan saat
respon imun terhadap dosis pertama atau dosis sebelumnya pada vaksinasi
primer mulai menurun, pada umumnya 4-6 minggu setelah dosis sebelumnya.
Tergantung dari karakteristik antigen vaksin inaktif, maka vaksin penguatan perlu
diberikan satu atau beberapa kali untuk mencapai tingkat kekebalan protektif
primer (Gambar 2.2). Sedangkan, vaksin hidup umumnya diberikan satu kali
sebagai vaksinasi primer dan tidak memerlukan vaksinasi ulang (Ranuh, 2014).

2.4 Imunisasi Dasar


Berdasarkan sifat penyelenggaraannya, imunisasi dikelompokkan
menjadi imunisasi wajib dan imunisasi pilihan. Imunisasi wajib merupakan
imunisasi yang diwajibkan oleh pemerintah untuk seseorang sesuai dengan
kebutuhannya dalam rangka melindungi yang bersangkutan dan masyarakat
sekitarnya dari penyakit menular tertentu. Sedangkan imunisasi pilihan
merupakan imunisasi yang dapat diberikan kepada seseorang sesuai dengan
kebutuhannya dalam rangka melindungi yang bersangkutan dari penyakit
menular tertentu (PERMENKES, 2013).
Imunisasi wajib terdiri atas imunisasi rutin, imunisasi tambahan; dan
imunisasi khusus. Imunisasi rutin merupakan kegiatan imunisasi yang
dilaksanakan secara terus menerus sesuai jadwal. Imunisasi rutin terdiri atas
imunisasi dasar dan imunisasi lanjutan. Imunisasi dasar diberikan pada bayi
sebelum berusia 1 (satu) tahun. Jenis imunisasi dasar terdiri atas:
a. Bacillus Calmette Guerin (BCG);
b. Diphtheria Pertusis Tetanus-Hepatitis B (DPT-HB) atau Diphtheria
Pertusis Tetanus-Hepatitis B-Hemophilus Influenza type B (DPT-HB-
Hib);
c. Hepatitis B pada bayi baru lahir;
d. Polio; dan
e. Campak.

2.4.1 Hepatitis B
Vaksin Hepatitis B (Hep B) merupakan vaksin inaktif. Vaksin Hep B
rekombinan mengandung antigen virus Hep B (HBsAg), yang dihasilkan dari
biakan sel ragi dengan teknologi rekayasa DNA. Vaksin HepB harus diberikan
setelah lahir, mengingat vaksinasi HepB merupakan upaya pencegahan yang

9
sangat efektif untuk memutuskan rantai penularan melalui transmisi maternal dari
ibu kepada bayinya. Jadwal imunisasi HepB diuraikan sebagai berikut (Ranuh,
2014):
a. Imunisasi HepB-1 diberikan sedini mungkin (dalam waktu 12 jam)
setelah lahir sesudah injeksi Vitamin K1, mengingat sekitar 3,9% ibu
hamil di Indonesia mengidap Hepatitis B aktif dengan risiko penularan
kepada bayinya sebesar 45%. Hep-B1 diberikan baik kepada ibu
dengan status HbsAg positif, negatif, maupun tidak diketahui. Bayi yang
lahir dari ibu dengan status HbsAg positif diberikan vaksin HepB-1 dan
HBIg (Hepatitis B Imunoglobulin) masing-masing 0,5ml secara
bersamaan pada bagian tubuh yang berbeda dalam waktu 12 jam
setelah lahir. Bayi yang lahir dengan status HbsAg tidak diketahui
kemudian ternyata selanjutnya diketahui positif ditambahkan HbIg 0,5ml
sebelum bayi berumur 7 hari.
b. Imunisasi HepB-2 diberikan setelah 1 bulan dari imunisasi HepB-1 yaitu
saat usia 1 bulan. Untuk mendapat respon imun optimal, interval
imunisasi HepB-2 dengan HepB-3 minimal 2 bulan, terbaik 5 bulan.
Maka imunisasi HepB-3 diberikan pada umur 3-6 bulan.
c. Ulangan imunisasi hepatitis B (HepB-4) dapat dipertimbangkan pada
usia 10-12 tahun, apabila kadar pencegahan belum tercapai (anti HBs <
10µg/ml)

Reaksi KIPI, efek samping yang terjadi umumnya adalah nyeri pada
tempat suntikan, yang mungkin disertai dengan rasa panas atau pembengkakan
yang akan menghilang dalam 2 hari. Keluhan sistemik seperti demam, sakit
kepala, mual, pusing, dan rasa lelah setelah pemberian vaksin belum dapat
dibuktikan (Soedjatmiko, 2015).

2.4.2 Vaksin BCG


Vaksin BCG merupakan vaksin beku kering yang mengandung
Mycobacterium bovis hidup yang dilemahkan (Bacille Calmette Guerin), strain
Paris (vaksin hidup). Oleh karena itu, tidak diberikan pada pasien
imunokompromais (leukemia, anak yang sedang mendapatkan pengobatan
steroid jangka panjang, atau bayi yang telah diketahui atau dicurigai menderita
infeksi HIV) (Ranuh, 2014).

10
Pemberian vaksin BCG dianjurkan sebelum umur 3 bulan, optimal
diberikan pada umur 2 bulan. Namun untuk mencapai cakupan yang lebih luas,
Kementerian Kesehatan menganjurkan pemberian imunisasi BCG pada umur 1
bulan. Apabila diberikan sesudah umur 3 bulan, perlu dilakukan uji tuberkulin
terlebih dahulu. Vaksin BCG diberikan apabila uji tuberkulin negatif. Apabila uji
tuberkulin tidak memungkinkan, BCG dapat diberikan namun perlu diobservasi
dalam waktu 7 hari. Apabila terdapat reaksi lokal cepat di tempat suntikan
(accelerated local reaction), perlu tindakan lebih lanjut (tanda diagnostik
tuberculosis) (Kemenkes RI, 2013).
Kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI) yang biasanya timbul adalah
reaksi lokal yang berupa pembengkakan kecil, merah, lembut biasanya timbul
pada daerah bekas suntikan, yang kemudian berubah menjadi vesikel kecil, dan
kemudian menjadi sebuah ulkus superfisial dalam waktu 2 - 4 minggu. Reaksi ini
biasanya hilang dalam 2-5 bulan, dan umumnya pada anak-anak akan
meninggalkan bekas berupa jaringan parut dengan diameter 4-8 mm. Jarang
sekali nodus dan ulkus tetap bertahan. Kadang-kadang pembesaran kelenjar
getah bening ( limfadenitis) pada daerah ketiak dan leher dapat timbul 2 - 4 bulan
setelah imunisasi. Sangat jarang sekali pembesaran kelenjar getah bening
tersebut menjadi supuratif. Komplikasi pemberian vaksin BCG antara lain: BCG-it
is diseminasi, eritema nodosum, lupus vulgaris, osteomyelitis. Komplikasi harus
diobati dengan obat anti tuberculosis (Ranuh, 2014).

2.4.3 DTP (Difteri Tetanus Pertusis)


Vaksin DTP merupakan suspensi koloidal homogen berwarna putih susu
dalam vial gelas, mengandung toksoid tetanus murni, toksoid difteri murni, dan
bakteri pertusis yang diinaktivasi, yang teradsorbsi kedalam aluminium fosfat.
Vaksin DTP merupakan jenis vaksin bakteri yang inaktif. Terdapat 2 macam
vaksin DTP, yaitu DTwP (whole-cell pertussis) yang mengandung kuman B.
pertussis mati dan DTaP (acellular pertussis) yang hanya menggunakan fraksi
sel B.pertussis dengan dikeluarkannya endotoksin dan debris sehingga rekasi
lokal dan demam pada pemberian vaksin DTaP lebih ringan.
Imunisasi dasar DTP diberikan 3 kali sejak umur 2 bulan (DTP tidak boleh
diberikan sebelum umur 6 minggu) dengan interval 4-8 minggu. Jadi DTP-1
diberikan pada umur 2 bulan, DTP-2 pada umur 3 bulan, DTP-3 pada umur 4
bulan. Ulangan booster DTP selanjutnya (DTP-4) diberikan 1 tahun setelah DTP-

11
3 yaitu pada usia 18-24 bulan dan DTP-5 pada saat masuk sekolah umur 5
tahun. DTP-5 sebaiknya diberikan DTaP untuk mengurangi demam paska
imunisasi, mengingat kejadian pertusis pada dewasa muda meningkat akibat
ambang proteksi yang sangat rendah sehingga dapat menjadi sumber penularan
pada bayi adan anak. Apabila pada umur 5 tahun belum diberikan DTP-5 maka
vaksinasi penguat diberikan DT sesuai program BIAS (SD kelas 1, umur 6-7
tahun). Vaksinasi penguat Td diberikan 2x sesuai program BIAS (SD kelas 2 dan
3) (Ranuh, 2014).

2.4.4 HiB
Jenis vaksin HiB konjugat yang beredar di Indonesia yaitu vaksin Hib
yang berisi PRP-T (capsular polysaccharide polyribosyl ribitol phosphate-
konjugasi dengan protein tetanus) dalam kemasan prefilled syringe. Vaksin HiB
tersedia dalam bentuk monovalen dan kombinasi. Vaksin HiB yang berisi PRP-T
diberikan 3 kali sejak umur 2 bulan dengan interval waktu minimal 4 minggu.
Vaksin booster umumnya diberikan 1 tahun setelah suntikan terakhir. Vaksin Hib
juga dapat diberikan dalam bentuk kombinasi, seperti: DTwP-HiB, DTaP-HiB,
DTaP-HiB-IPV. Dalam Permenkes No.42 tahun 2013, Hib diberikan pada umur 2,
3, 4, dan 18 bulan dalam bentuk kombinasi dengan DTP-HepB (Ranuh, 2014).

2.4.5 Polio
Terdapat 2 kemasan vaksin polio yang berisi virus polio 1,2, dan 3, yaitu
OPV (Oral Polio Vaccine) dan IPV (Inactivated Polio Vaccine). OPV adalah
vaksin yang mengandung virus polio hidup (strain Sabin) yang dilemahkan dalam
sediaan vial disertai pipet tetes. Sedangkan, IPV adalah vaksin yang
mengandung virus polio inaktif (Salk) yang dapat diberikan tersendiri maupun
dalam kemasan kombinasi (DTaP/Hib/IPV). Kedua vaksin tersebut dapat dipakai
secara bergantian. Imunisasi dasar OPV atau IPV diberikan mulai umur 2-3 bulan
tiga dosis berturut-turut dengan interval 6-8 minggu. Imunisasi booster diberikan
pada usia 18 bulan. Imunisasi dapat diberikan bersamaan dengan suntikan
vaksin DTP dan Hib (Ranuh, 2014).

Oral Polio Vaccine (OPV) / Vaksin Sabin


Terdapat 3 jenis vaksin OPV, yaitu: tOPV (Trivalent OPV), bOPV
(Bivalent OPV), dan mOPV (Monovalent OPV). Vaksin tOPV mengandung 3

12
macam galur virus polio, setiap dosis 0,1 ml (2 tetes) mengandung : Tipe 1 : 106
CCID50, Tipe 2 : 105 CCID50, Tipe 3 : 105,8 CCID50, Eritromisin ≤ 2mcg,
Kanamisin ≤ 10mcg, dan distabilkan dengan sukrosa. Pada keadaan ditemukan
lebih dari satu tipe virus polio liar, vaksin tOPV ini merupakan vaksin terbaik
karena dapat memberikan perlindungan terhadap ketiga virus ini.
Imunogenitas virus polio 2 (P2) paling baik diantara ketiga virus polio
tersebut, sehingga perlindungan terhadap P2 paling baik. Imunisasi bOPV dibuat
untuk menggantikan tOPV dengan menghilangkan virus polio 2, karena sudah
berhasil dieradikasi, kasus terakhir tahun 1999 di India. Vaksin mOPV
mengandung satu galur virus polio, yaitu mOPV1 dan mOPV3. Penelitian
menunjukkan bahwa sekitar 80% anak di Negara tropis akan memiliki kekebalan
terhadap virus polio 1 (P1) lebih tinggi (80%) dengan pemberian mOPV1
dibandingkan dnegan pemberian tOPV(40%), begitu pula dengan pemberian
mOPV3 (72%) memberikan perlindungan lebih tinggi dibandaingkan tOPV (31%)
(Ranuh, 2014).
Pada vaksin ini umumnya tidak terdapat efek samping. Sangat jarang
terjadi kelumpuhan (paralytic poliomyelitis/ VVAP) yang diakibatkan karena
vaksin (perbandingan 1 / 1.000.000 dosis). Individu yang kontak dengan anak
yang telah divaksinasi, jarang sekali beresiko mengalami lumpuh polio (paralytic
poliomyelitis) akibat vaksinasi (pebandingan 1/ 1.400.000 dosis sampai
1/3.400.000 dosis). Dan hal ini tejadi bila kontak belum mempunyai kekebalan
terhadap virus polio atau belum pernah diimunisasi, dan ada juga efek samping
yang dapat mengakibatkan sindroma Guillain Barre. Dosis pemberian OPV
adalah 2 tetes, yang masing-masing mengandung 0,1 mL vaksin, secara per oral
(Soedjatmiko, 2015).

Inactivated Polio Vaccine (IPV) / Vaksin Salk


Vaksin IPV berisi virus virulen polio yang sudah diinaktivasi/ dimatikan
dengan panas dan formaldehid. Diketahui vaksin IPV sedikit memberikan
kekebalan terhadap dinding usus sehingga virus polio masih dapat berkembang
biak di dalam usus orang yang telah mendapat IPV saja. Hal ini memungkinkan
terjadinya penyebaran virus ke sekitarnya sehingga membahayakan dan tidak
dipergunakan untuk eradikasi polio, namun dapat mencegah kelumpuhan baik
akibat virus polio liar atau virus polio vaksin OPV. Dosis pemberian IPV adalah
0,5ml secara intamuskular di anterolateral paha bayi (Kemenkes RI, 2013).

13
2.4.6 Campak
Vaksin campak adalah live attenuated vaccine yaitu vaksin virus hidup
yang dilemahkan, merupakan vaksin beku kering berwarna kekuningan pada vial
gelas, yang harus dilarutkan hanya dengan pelarut yang telah disediakan secara
terpisah. Vaksin campak ini berupa serbuk injeksi. Tiap dosisnya adalah 0,5 mL.
Vaksin campak beku kering disimpan pada suhu antara +2°C s/d +8°C. Vial
vaksin dan pelarut harus dikirim bersamaan, tetapi pelarut tidak boleh dibekukan
dan disimpan pada suhu kamar. Vaksin harus terlindung dari cahaya. Waktu
kadaluarsa adalah 2 tahun. Vaksin campak yang sudah dilarutkan, sebaiknya
digunakan segera, paling lambat 6 jam setelah dilarutkan, apabila masih bersisa
maka harus dimusnahkan. Vaksin campak diberikan pada usia 9 bulan, 24 bulan,
dan 6 tahun (SD kelas 1 dalam program BIAS). Apabila telah mendapat
imunisasi MMR pada usia 15-18 bulan dan ulangan umur 6 tahun; ulangan
campak SD kelas 1 tidak diperlukan. Dosis setiap vaksin campak adalah 0.5 mL
yang disuntikkan secara subkutan (Ranuh, 2014).
KIPI yang mungkin terjadi adalah demam dengan suhu 39,5 derajat C
atau lebih, dapat terjadi pada 5%-15% kasus, umumnya terjadi pada hari ke 5-6
sesudah imunisasi dan dapat berlansung selama 5 hari. Ruam dapat dijumpai
pada 5% anak dan timbul pada hari ke 7-10 sesudah imunisasi, dan berlangsung
selama 2-4 hari (Kemenkes RI, 2013).

2.5 Pelaksanaan Imunisasi


a. Dosis, cara pemberian, dan tempat imunisasi
Tabel 2.1 Dosis, Cara dan Tempat Pemberian Imunisasi
Jenis Vaksin Dosis Cara Pemberian Tempat
Hepatitis B 0,5 ml Intra Muskuler Paha
BCG 0,05 ml Intra Kutan Lengan kanan
atas
Polio 2 tetes Oral Mulut
DPT-HB-Hib 0,5 ml Intra Muskuler Paha untuk bayi
Lengan kanan
untuk batita
Campak 0,5 ml Sub Kutan Lengan kiri atas
DT 0,5 ml Intra Muskuler Lengan kiri atas
Td 0,5 ml Intra Muskuler Lengan kiri atas
TT 0,5 ml Intra Muskuler Lengan kiri atas

14
b. Interval pemberian
Jarak minimal antar dua pemberian imunisasi yang sama adalah 4
(empat) minggu. Tidak ada batas maksimal antar dua pemberian imunisasi.
c. Kontra indikasi
Pada umumnya tidak terdapat kontra indikasi imunisasi untuk individu
sehat kecuali untuk kelompok risiko. Pada setiap sediaan vaksin selalu
terdapat petunjuk dari produsen yang mencantumkan indikasi kontra serta
perhatian khusus terhadap vaksin.

Tabel 2.2 Petunjuk Kontra Indikasi Dan Perhatian Khusus Untuk Imunisasi
Indikasi kontra dan perhatian khusus Bukan indikasi kontra
(imunisasi dapat dilakukan)
Berlaku umum untuk semua vaksin
DPT, Polio, Campak, dan Hepatitis B
Kontra Indikasi Bukan kontra indikasi
Ensefalopati dalam 7 hari pasca DPT sebelumnya
Perhatian khusus
- Demam >40,5oC dalam 48 jam pasca DPT - Demam <40,5oC pasca DPT sebelumnya
sebelumnya, yang tidak berhubungan dengan - Riwayat kejang dalam keluarga
penyebab lain - Riwayat SIDS dalam keluarga
- Kolaps dan keadaan seperti syok (episode - Riwayat KIPI dalam keluarga pasca DPT
hipotonik-hiporesponsif) dalam 48 jam pasca
DPT sebelumnya
- Kejang dalam 3 hari pasca DPT sebelumnya
- Menangis terus >3 jam dalam 48 jam pasca
DPT sebelumnya
- Sindrom Guillain-Barre dalam 6 minggu pasca
vaksinasi
Vaksin Polio
Kontra Indikasi Bukan kontra indikasi
- Infeksi HIV atau kontak HIV serumah - Menyusui
- Imunodefisiensi (keganasan hematologi atau - Sedang dalam terapi antibiotik
tumor padat, imuno-defisiensi kongenital, terapi - Diare ringan
imunosupresan jangka panjang)
- Imunodefisiensi penghuni serumah
Perhatian khusus
Kehamilan
Campak
Perhatian khusus

15
- Mendapat transfusi darah/produk darah atau imunoglobulin (dalam 3-11 bulan, tergantung
produk darah dan dosisnya)
- Trombositopenia
- Riwayat purpura trombositopenia
Hepatitis B
Kontra Indikasi Bukan kontra indikasi
Reaksi anafilaktoid terhadap ragi Kehamilan

d. Jadwal imunisasi dasar


Tabel 2.3 Jadwal pemberian imunisasi dasar
0 bulan Hepatitis B0
1 bulan BCG, Polio 1
2 bulan DPT-HB-Hib 1, Polio 2
3 bulan DPT-HB-Hib 2, Polio 3
4 bulan DPT-HB-Hib 3, Polio 4
9 bulan Campak

Bayi lahir di Institusi Rumah Sakit, Klinik dan Bidan Praktik Swasta,
imunisasi BCG dan Polio 1 diberikan sebelum dipulangkan. Bayi yang telah
mendapatkan imunisasi dasar DPT-HB-Hib 1, DPT-HB-Hib 2, dan DPT-HB-
Hib 3, dinyatakan mempunyai status imunisasi T2.

16
BAB III
GAMBARAN WILAYAH

3.1 Profil Kecamatan Wonosari


Kecamatan Wonosari merupakan kecamatan yang masuk dalam wilayah
Kabupaten Malang dengan luas wilayah 48,53 km² (1,30 % luas Kabupaten
Malang). Kecamatan ini terdiri dari 8 desa, 29 dusun, 75 RW, dan 306 RT.
Kedelapan desa di kecamatan ini adalah Desa Bangelan, Kebobang, Kluwut,
Plandi, Plaosan, Sumberdem, Sumbertempur, Wonosari.
Secara administratif, Kecamatan Wonosari dikelilingi oleh kecamatan
lainnya yang ada di Kabupaten Malang. Di sebelah utara, Kecamatan Wonosari
berbatasan langsung dengan Kecamatan Ngajum dan Wagir. Sedangkan di
sebelah timur, kecamatan ini berbatasan langsung dengan Kecamatan Ngajum.
Di sebelah selatan, Kecamatan Wonosari berbatasan dengan Kecamatan
Kromengan. Lalu, di sebelah barat, kecamatan ini berbatasan dengan
Kecamatan Selorejo, Kabupaten Blitar.

HUTAN
G. KAWI

KABUPATEN
BLITAR
Dsn. Pijiombo

Ds. Wonosari

Ds. Sumberdem

Ds. Sbr. Tempur


Dsn. Bumirejo

Ds. Kebobang KECAMATAN


PTPN-XII
NGAJUM

Ds. Bangelan
Ds. Plaosan

KECAMATAN
KROMENGAN

Ds. Kluwut
K E T E R A N G A N
: Kantor Kecamatan
: Balai Desa : Puskesmas
: Balai Dusun Ds. Plandi
: Pustu
: Batas Kabupaten
: Batas Kecamatan : Polindes
: Batas Desa
: Jalan Raya : Rawan Bencana
: Jalan Desa
: Sungai

17
Gambar 3.1 Peta Kecamatan Wonosari
Tercatat jumlah penduduk Kecamatan Wonosari tahun 2016 sebanyak
43.665 jiwa dengan kepadatan penduduk rata-rata 932 jiwa/km2. Jumlah
kelahiran 1.47%, sedangkan angka kematian 0.68%. Dari jumlah penduduk
tersebut apabila dilihat tingkat pendidikan, kurang lebih 6.3% tidak/belum pernah
sekolah, 7.9% tidak/belum tamat SD, 31.4% tamat SD/MI, 28.8 SLTP/MTs,
18.5% SLTA/MA, 6.7% AK/Diploma. Ditinjau dari jenis pekerjaan atau mata
pencaharian penduduk Kecamatan Wonosari 30% masyarakat bekerja sebagai
petani, 8.18% orang bekerja di bidang perdagangan, dan di sektor lain - lain
57.9% masyarakat.

Berikut data Posyandu dan kader di Kecamatan Wonosari:


No. Nama Desa Dusun RW RT KK Posy Kader

1. Wonosari 4 14 35 1.793 12 60
2. Kebobang 4 15 52 2.804 11 55
3. Plaosan 4 10 56 2.280 8 40
4. Plandi 3 5 31 1.496 7 35
5. Kluwut 3 6 33 1.431 6 30
6. Bangelan 4 6 40 1.401 6 30
7. Sumbertempur 4 10 29 1.518 6 30
8 Sumberdem 2 6 29 1.170 6 30
Total 28 82 305 13.875 62 310
Tabel 3.1 Persebaran Posyandu dan kader di Kecamatan Wonosari

Berikut data fasilitas kesehatan di Kecamatan Wonosari:


No Sarana Kesehatan Jumlah

1 Puskesmas Induk 1
Puskesmas Pembantu
2 2
(Pustu)
3 Polindes 8

4 Posyandu 62

Tabel 3.2 Data fasilitas kesehatan Kecamatan Wonosari

18
3.2 Profil Desa Bangelan
Desa Bangelan berada di Kecamatan Wonosari Kabupaten Malang. Desa
Bangelan terbagi atas 4 Dusun, yaitu Dusun Bangelan, Dusun Arjomulyo, Dusun
Sidomulyo, dan Dusun Kampung Baru. Desa ini dibatasi antara lain sebelah
Utara oleh Desa Sumber Tempur Kecamatan Wonosari, sebelah Selatan oleh
Desa Kromengan Kecamatan Kromengan, sebelah Timur oleh Desa Kluwut
Kecamatan Wonosari dan sebelah Barat oleh Desa Karangrejo Kecamatan
Kromengan. Luas Desa Bangelan sekitar 167, 20 ha.
Jumlah keluarga yang tinggal di Desa Bangelan tahun 2015 adalah 1344
KK, Sedangkan jumlah keluarga yang tinggal di Desa tahun 2016 mengalami
kenaikan yaitu 1409 KK. Jumlah keseluruhan penduduk di Desa ini pada tahun
2016 sebanyak 4461 jiwa. Bahasa sehari-hari penduduk Desa Bangelan yaitu
Bahasa Jawa. Jumlah sekolah yang ada di Desa Bangelan yaiu SD/Sederajat
dan TK. Jumlah gedung sekolah yang ada di desa sebanyak 9 Buah, terbagi atas
5 gedung untuk SD dan 4 gedung untuk TK.
Jenis Prasarana yang ada di Desa Bangelan yaitu PONKESDES. Jumlah
tenaga medis di desa ini 2 orang. Tenaga medis tertinggi yang ada di Desa
Bangelan yaitu Mantri dan Bidan desa. Frekuensi kunjungan dokter yaitu 1 kali
dalam sebulan. Di desa ini masih ada penduduk yang menggunakan pengobatan
tradisional. Penduduk mengambil bahan obat tradisional dari halaman rumah dan
kebun.

3.3 Profil Masalah Kesehatan Desa Bangelan


Salah satu masalah kesehatan yang mencolok di Kecamatan Wonosari
yakni masih banyaknya desa yang belum mencapai UCI/Universal Coverage
Immunisation. Hanya 3 dari 8 desa di Kecamatan Wonosari yang telah mencapai
UCI, antara lain Desa Plaosan, Desa Plandi, dan Desa Sumberdem. Desa yang
menempati peringkat terendah dalam pencapaian UCI yaitu Desa Bangelan,
dengan persentase 75% bayi usia 0-1 tahun yang tercatat sudah mendapatkan
imunisasi dasar. Selain itu, pencatatan jumlah ibu hamil di Desa Bangelan
menempati peringkat terendah, dengan persentase 68,5%.
Selama ini pencatatan jumlah ibu hamil dilakukan oleh bidan desa dan
dilaporkan dalam bentuk kohort kepada bidan puskesmas. Desa Bangelan
memiliki 1 bidan desa, 1 perawat desa, dan 60 kader, dimana setiap harinya
antara bidan desa dan perawat saling bergantian untuk pelayanan di ponkesdes.

19
Bidan desa tidak menetap di Desa Bangelan, sehingga pencatatan jumlah ibu
hamil kurang maksimal. Selain itu, lokasi Desa Bangelan yang dekat dengan
Kecamatan Kromengan memudahkan masyarakat untuk memeriksakan diri ke
fasilitas kesehatan yang berada di Kecamatan Kromengan.
Jumlah kader yang banyak dapat diberdayakan dalam membantu
pencatatan jumlah ibu hamil yang tinggal di Desa Bangelan, sehingga
diharapkan dengan adanya pencatatan jumlah ibu hamil yang baik, akan
mempengaruhi pencatatan jumlah bayi usia 0-1 tahun yang ada sehingga anak
yang seharusnya mendapat imunisasi dasar dapat lebih terjangkau lagi dan
angka UCI di Desa Bangelan dapat meningkat.

20
BAB IV
METODE PENGUMPULAN DAN ANALISIS DATA

4.1 Metode pengumpulan data


Dalam Undang - Undang Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009 dinyatakan
bahwa setiap anak berhak memperoleh imunisasi dasar sesuai dengan
ketentuan untuk mencegah terjadinya penyakit yang dapat dihindari melalui
imunisasi dan pemerintah wajib memberikan imunisasi lengkap kepada
setiap bayi dan anak. Penyelenggaraan imunisasi tertuang dalam Peraturan
Menteri Kesehatan Nomor 42 Tahun 2013.
Program imunisasi pada bayi bertujuan agar setiap bayi mendapatkan
imunisasi dasar secara lengkap. Keberhasilan seorang bayi dalam
mendapatkan imunisasi dasar tersebut diukur melalui indikator imunisasi
dasar lengkap. Capaian indikator ini di Indonesia pada tahun 2016 sebesar
91,58%. Capaian ini lebih besar dari capaian tahun 2015 sebesar 86, 54%.
Angka ini mencapai target Renstra tahun 2016 sebesar 91,5%. Sedangkan
menurut provinsi,terdapat dua belas provinsi yang mencapai target Renstra
tahun 2016.

21
Di Indonesia, program imunisasi mewajibkan setiap bayi (usia 0-11
bulan) mendapatkan imunisasi dasar lengkap yang terdiri dari 1 dosis
Hepatitis B, 1 dosis BCG, 3 dosis DPT-HB-Hib, 4 dosis polio, dan 1 dosis
campak. Dari imunisasi dasar lengkap yang diwajibkan tersebut, campak
menjadi salah satu jenis imunisasi yang mendapat perhatian lebih, hal ini
sesuai dengan kajian ahli dan analisis epidemiologi atas penyakit-penyakit
yangsering timbul diindonesia. Dan juga adanya komitmen Indonesia pada
global untuk turut serta dalam eliminasi campak pada tahun 2020 dengan
mencapai cakupan bebas campak minimal 95% di semua wilayah secara
merata.

Indonesia memiliki cakupan imunisasi campaak di atas 90% sejak tahun


2008. Tahun 2016 sedikit meningkat dari tahun 2015, yaitu sebesar 93,0%.
Menurut provinsi, terdapat sebelas provinsi yang telah berhasil mencapai target
95%. Pada gambar di bawah dapat diketahui bahwa seluruh bayi di Provinsi
Sumatera Selatan, Jambi, Nusa Tenggara Barat, dan Jawa Tengah telah
mendapatkan imunisasi campak. Sedangkan provinsi dengan cakupan
terendah yaitu Kalimantan Utara sebesar 57,8%, Papua 63,5% dan Aceh 73,5%.

22
Di kecamatan wonosari angka cakupan imunisasi juga menjadi masalah
kesehatan kususu nya disesa bangelan. Angka cakupan imunisasi di desa
bangelan masih rendah , data bulan desember tahun 2017 menunjukkan bahwa
angka cakupan imunisasi hanya 75%. Rendahnya angka tersebut salah satu
penyebabnya adalah rendahnya pencatataan ibu hamil.oleh karena itu kami
mengangkat masalah cakupan imunisasi dalam melakukan intervensi.

4.2.1 Metode pengambilan data sekunder


Data kesehatan diperoleh dari laporan tahunan Puskesmas Wonosari
tahun 2017.

4.2.2 Metode pengambilan data primer


Data primer didapatkan dari wawancara pada kepala puskesmas
wonosari, penanggung jawab progam UCI desa wonosari, kader kader

23
kesehatan desa wonosari. Penelitian ini menggunakan sasaran ibu hamil dan
kader kesehatan di desa bangelan wonosari. Hal ini dikarenakan rendahnya
angka cakupan imunisasi pada desa tersebut. Jumlah kader pada desa wonosari
adalah 60 orang.

4.3 Metode Analisis Data


Analisis data primer dan data sekunder akan diolah menggunakan
metode deskriptif.

24
BAB V
HASIL DAN ANALISIS DATA

5.1 Data Primer


Data primer diperoleh dari wawancara kepada Kepala Puskesmas
Wonosari, pemegang program, serta Bidan Desa Bangelan.

5.1.1 Wawancara
Terdapat beberapa pihak yang telah di wawancara sebagai sumber data
yaitu Kepala Puskesmas Wonosari, pemegang program, serta Bidan desa
Bangelan. Dari hasil wawancara telah diperoleh data- dat, antara lain
a. Hanya terdapat 2 desa dari 8 desa yang ada di Wonosari yang sudah
mencapai UCI (Universal Coverage Immunization), didapatkan informasi
bahwa desa yang sudah memenuhi UCI antara lain desa Plaosan dan
Kebobang.
b. Dari hasil wawancara dengan pemegang program didapatkan bahwa desa
yang paling sedikit cakupan bayi yang mendapat imunisasi adalah Desa
Bangelan.
c. Hasil UCI pada desa Bengelan pada tahun 2017 belum mencapai target.
d. Beberapa hal yang menyebabkan belum tercapainya angka UCI pada desa
Bangelan ini karena kurangnya kesadaran dan pengetahuan Imunisasi
terhadap ibu hamil.
e. Kepala Program juga mengatakan bahwa pencatatan data ibu hamil pada
Desa Bangelan juga masih kurang, yang menyebabkan hal tersebut adalah
karena bidan desa tidak tinggal menetap sehingga ibu hamil melakukan
pemeriksaa kehamilan pada desa lain sehingga mengalami kurangnya follow
up dan tidak terdata dengan baik.
f. Kader masih belum mendapat arahan dengan tepat dan belum ada media
yang praktis mengenai pendataan ibu hamil pada Desa Bangelan
g. Kader belum mendapat materi imunisasi dasar sehingga belum secara aktif
menjelaskan kepada masyarakat tentang imunisasi
h. Hambatan yang lainnya adalah ketika diadakan pertemuan bidan desa dan
kader, hanya 50% yang menghadiri pertemuan tersebut.

25
5.2 Data Sekunder
Data sekunder didapatkan dari laporan tahunan di Puskesmas Wonosari pada tahun 2017. Dari data laporan tahunan
terdapat data imunisasi dasar pada tahun 2017. Data difokuskan pada Imunisasi yang tidak memerlukan ulangan, yaitu
berfokus pada imunisasi Campak. Berikut adalah laporan hasil imunisasi dasar pada bayi dan data ibu hamil bulan Desember
2017:
Tabel 5.1 Imunisasi dasar pada bayi tahun 2017
HBO DPT/HB DPT/HB DPT/
Target BCG Polio 1 Polio 2 Polio 3 Polio 4 IPV Campak
No Bulan <7 1 2 HB 3
L P L P L P L P L P L P L P L P L P L P L P L P
1 Januari 33 32 2 2 3 2 3 2 5 2 5 4 3 4 3 1 7 1 9
2 Februari 33 32 3 2 2 2 2 2 3 2 3 2 2 2 4 5
3 Maret 33 32 3 1 3 1 1 2 1 3 1 3 3 2 3 4 3 4
4 April 33 32 3 4 2 2 2 2 4 2 4 3 1 1 2 3 2 3 3 5 3 2
5 Mei 33 32 4 4 3 4 3 4 2 2 2 3 3 2 3 2 3 3 2 3
6 Juni 33 32 4 4 4 4 3 4 3 4 2 2 2 2 3 2 3 2
7 Juli 33 32 2 6 4 4 4 4 3 4 3 4 2 2 2 2 1 3
8 Agustus 33 32 3 3 2 6 2 6 2 2 4 4 4 4 3 4 3 4
9 September 33 32 1
10 Oktober 33 32 2 2 4 4 4 4 3 6 4 6 1 2 1 2 4 4 4 4 4 5
11 November 33 32 2 4 2 2 2 2 2 1 1 1 2 1 2 1 1 1 1 1 5 1 3
12 Desember 33 32 2 1 1 2 1 2 1 2 2 2 1 1 1 1 2 1 2 1 3 7 2 2
Jumlah 65 21 29 21 29 21 29 23 28 25 27 26 23 26 21 29 21 29 24 15 31 18 31
Berikut merupakan ketercapaian UCI Untuk Desa Bangelan pada tahun 2017
49
65
𝑥 100% = 75 %

Hingga saat ini, ketercapaian UCI pada desa Bangelan baru mencapai 75% dari target yaitu 95%.

26
Tabel 5.2 Laporan pencatatan jumlah ibu hamil pada Desember 2017.

k1 Ibu Hamil k4 Ibu Hamil


Desa Bumil Penc Kumpul Penc Kumpul
Bln Lalu Bln Ini jml % Bln Lalu Bln Ini jml %
Wonosari 93 12 8 97 102,1 3 6 56 90,5
Kebobang 146 10 13 127 87,0 10 13 127 87,0
Sbr Tempur 75 5 5 76 101,3 5 9 69 92,0
Sbr Adem 70 4 3 70 100,0 5 2 68 97,1
Plaosan 101 3 0 106 105,0 10 1 97 96,0
Plandi 75 2 67 69,3 4 6 66 88,0
Kluwut 76 4 5 59 77,6 7 7 57 75,0
Bangelan 73 3 3 57 78,1 7 2 50 68,5

27
BAB VI
RUMUSAN DIAGNOSA KOMUNITAS

6.1 Identifikasi Permasalahan Kesehatan Utama


Berdasarkan data primer yang didapatkan melalui wawancara terhadap
Kepala Puskesmas Wonosari, pemegang program, Bidan desa Bangelan serta data
laporan Imunisasi dan Ibu hamil pada tahun 2017, maka didapatkan permasalahan-
permasalahan kesehatan di Kecamatan Wonosari.
Kemudian akan dilakukan skoring untuk menentukan prioritas permasalahan
kesehatan yang akan diangkat dengan menggunakan penilaian berdasarkan M
(Magnitude), S (Seriousness), dan F (Feasibility). Magnitude dari sebuah
permasalahan ialah seberapa besar hal tersebut membebani sebuah komunitas,
baik dalam hal kerugian finansial, potensi penurunan angka harapan hidup, potensi
perburukan dari masalah dan sebagainya.S (seriousness; dampak yang bisa timbul
jika masalah tidak diatasi, manfaat dari mengatasi masalah), dan F (feasibility;
mungkin tidaknya masalah diatasi dengan teknologi, pengetahuan, dan sumber daya
yang ada).
Tabel 6.1 Skoring MSF Masalah Kesehatan Kecamatan Wonosari
Skoring (M-S-F)
No Permasalahan DM DM DM DM DM Sub
DP PP TOTAL
1 2 3 4 5 total
Angka prevalensi ISPA pada tahun
4-
sampai Desember 2017 sekitar 2100 3-1- 3- 3-1- 3-1- 4- 3- 23-
1. 1- 46
kasus yang datang ke poli rawat jalan 2 1-2 4 1 2-2 1-1 8-15
3
di semua golongan usia.
Prevalensi Diare menempati peringkat
3- 23-
kedua penyakit terbanyak, sebanyak 3-1- 4- 4-1- 2-2- 4- 3-
2. 1- 11- 51
334 kasus, dengan kejadian hampir 2 2-3 2 3 2-3 2-2
2 17
merata pada semua golongan usia.
Prevalensi HT primer menempati 3- 25-
3-4- 4- 4-2- 4-3- 3- 4-
3. peringkat ketiga penyakit terbanyak , 2- 17- 56
2 2-3 2 1 2-2 2-2
sebanyak 634 kasus. 2 14
Angka UCI di Kec. Wonosari belum 4- 22-
3-3- 3- 4-3- 3-4- 3- 3-
4. tercapai. 3- 24- 69
3 3-3 3 3 4-3 4-3
3 23

28
Keterangan:
DM 1 : Perwakilan Dokter Muda 1
DM 2 : Perwakilan Dokter Muda 2
DM 3 : Perwakilan Dokter Muda 3
DM 4 : Perwakilan Dokter Muda 4
DM 5 : Perwakilan Dokter Muda 5
DP : Dokter Puskesmas
PP : Perwakilan Pemegang Program

Maka berdasar skoring permasalahan di atas, terpilih prioritas pertama


masalah yang akan diintervensi di Kecamatan Wonosari adalah masih belum
tercapainya angka UCI di Kecamatan Wonosari.

140

120

100

80

60
BCG
40 Campak
20

Gambar 6.1 Persentase Imunisasi BCG dan Campak pada tahun 2017

Desa yang akan diintervensi dipilih berdasarkan persentase jumlah bayi yang
terimunisasi. Ditemukan bahwa Desa Bangelan memiliki angka cakupan imunisasi
yang rendah. Maka dari itu, Desa Bangelan dipilih sebagai sasaran intervensi.

29
6.2 Analisis Faktor Risiko
Identifikasi faktor risiko atau akar permasalahan kesehatan di komunitas
yang menjadi prioritas masalah menggunakan diagram ishikawa atau diagram tulang
ikan (Fishbone). Diagram Ishikawa adalah diagram yang menjelaskan bagaimana
suatu permasalahan terjadii dan terdiri dari bagian kepala ikan dan bagian tulang
ikan. Di bagian kepala ikan berupa masalah utama atau topik yang akan dicari tahu
penyebabnya, yaitu rendahnya angka cakupan Imunisasi Desa Bangelan.
Diagram fishbone ini terdiri atas kategori-kategori akar permasalahan, yaitu
Manusia, Metode, Lingkungan, Sarana Kesehatan, dan Material.Masing-masing
kategori kemudian dapat dikembangkan ke tahap yang lebih detail. Diagram ini
kemudian akan menjadi dasar pembuatan solusi dan rencana tindakan yang akan
dilakukan untuk mengatasi akar masalah, sehingga akhirnya masalah kesehatan
yang menjadi fokusnya dapat diatasi.

6.3 Identifikasi Akar Permasalahan Utama


Akar permasalahan yang sudah didapat dari diagram Ishikawa kemudian
dilakukan skoring dengan nominal group technique. Skala yang digunakan 1-5,
kemudian ditotal untuk menentukan prioritasnya.

Tabel 6.2 Skoring Akar Permasalahan Komunitas di Desa Bangelan


DM DM DM DM DM
No Akar Permasalahan Total
1 2 3 4 5
MANUSIA
1. Kurangnya pemahaman masyarakat 5 5 5 5 5 25
akan kesehatan untuk imunisasi dasar
2. Tenaga kesehatan desa kurang 5 4 5 5 5 24
memberikan penyuluhan tentang
Pentingnya Imunisasi Dasar pada
kader di desa
3. Kader tidak memberi penyuluhan ke 5 5 5 4 5 24
warga tentang Imunisasi Dasar
4. Bidan Desa tidak menetap di Bangelan 3 3 4 4 3 17
sehingga follow up pada ibu hamil

30
kurang.
LINGKUNGAN
1. Jarak antar rumah ke rumah jauh 4 4 3 4 3 18
METODE
1. Koordinasi antara tenaga kesehatan 3 4 4 3 3 17
puskesmas dengan tenaga kesehatan
desa masih kurang
2. Koordinasi antara tenaga kesehatan 4 4 4 4 3 19
desa dan kader maupun masyarakat
masih kurang
SARANA KESEHATAN
1. Jarak antara puskesmas dan rumah ibu 3 3 3 4 4 17
hamil jauh
MATERIAL
1. Belum ada media pencatatan yang 4 4 5 5 5 23
praktis untuk mendata ibu hamil

Keterangan:
DM 1 : Perwakilan Dokter Muda 1
DM 2 : Perwakilan Dokter Muda 2
DM 3 : Perwakilan Dokter Muda 3
DM 4 : Perwakilan Dokter Muda 4
DM 5 : Perwakilan Dokter Muda 5

Berdasarkan skoring tersebut, didapatkan akar permasalahan utama yaitu:


1. Kurangnya pemahaman masyarakat akan imunisasi dasar
2. Tenaga kesehatan desa kurang memberikan penyuluhan tentang Pentingnya
Imunisasi Dasar kepada kader di desa
3. Kader tidak memberi penyuluhan ke warga tentang Imunisasi Dasar
4. Belum ada media pencatatan yang praktis untuk mendata ibu hamil

31
6.4 Penentuan Solusi Permasalahan
Tabel 6.3Skoring Solusi Permasalahan Komunitas di Desa Plandi
No. Akar Solusi DM DM DM DM DM Total
Permasalahan 1 2 3 4 5
1 Kurangnya Memberikan 3 4 4 2 4 17
pemahaman penyuluhan
masyarakat pada
akan masyarakat
imunisasi untuk
dasar meningkatkan
pemahaman
serta kesadaran
masyarakat
mengenai
imunisasi dasar
2 Tenaga Memfasilitasi 4 4 5 5 5 23
kesehatan nakes desa
desa kurang untuk
memberikan memberikan
penyuluhan penyuluhan
tentang mengenai
Pentingnya pentingnya
Imunisasi Imunisasi Dasar
Dasar pada pada kader desa
kader di desa
3 Kader tidak Menawarkan 5 5 5 5 5 25
memberi solusi pada
penyuluhan nakes berupa
ke warga pemberdayaan
tentang kader untuk
Imunisasi membantu
Dasar nakes dalam
mengedukasi
masyarakat
mengenai

32
Imunisasi dalam
jangka panjang
4 Belum ada Memberikan 5 5 5 5 5 25
media media
pencatatan pencatatan yang
yang praktis praktis untuk
untuk mendata ibu
mendata ibu hamil melalui
hamil kader

Keterangan:
DM 1 : Perwakilan Dokter Muda 1
DM 2 : Perwakilan Dokter Muda 2
DM 3 : Perwakilan Dokter Muda 3
DM 4 : Perwakilan Dokter Muda 4
DM 5 : Perwakilan Dokter Muda 5

Berdasarkan skoring tersebut, maka solusi-solusi untuk akar permasalahan utama


tersebut bila diurut dari prioritas terbesar adalah:
1. Memberikan penyuluhan pada masyarakat untuk meningkatkan pemahaman
serta kesadaran masyarakat mengenai imunisasi dasarMenginisasi
dilakukannya skrining TB secara aktif dengan memberdayakan kader menjadi
laskar TB
2. Memfasilitasi nakes desa untuk memberikan penyuluhan mengenai pentingnya
ImHealth Problem dan Goal
3. Permasalahan utama di Kecamatan Wonosari ditentukan untuk membuat
rancangan kegiatan yang sesuai dengan goal yang akan dicapai. Secara lebih
dalam, kegiatan yang dilaksanakan bertujuan meningkatkan pengetahuan kader
mengenai TBC, penyebab, cara penyebaran, bagaimana cara pencegahannya,
dan pendampingan pasien suspek TBC. Selain itu, kegiatan tersebut juga
bertujuan untuk mensukseskan program puskesmas yaitu penemuan suspek
TBC.Kedua hal tersebut diharapkan dapat menurunkan angka kejadian TBC di
Kecamatan Wonosari, khususnya Desa Plandi.

33
4.
5. Tabel 7.1 Tabel Masalah Kesehatan Kecamatan Wonosari
6. Health Problem 7. Goal
8. Rendahnya angka CNR di Desa 9. Meningkatkan angka CNR di
Plandi DesaPlandi sebesar 30%dalam
jangka waktu 6 bulan setelah
intervensi
10. unisasi Dasar pada kader desa
11. Menawarkan solusi pada nakes berupa pemberdayaan kader untuk membantu
nakes dalam mengedukasi masyarakat mengenai Imunisasi dalam jangka
panjang Memberikan media pencatatan yang praktis untuk mendata ibu hamil
melalui kader

34
MANUSIA LINGKUNGAN METODE

Kurangnya pemahaman
masyarakat akan kesehatan
untuk imunisasi dasar Koordinasi antara
tenaga kesehatan
Tenaga kesehatan desa kurang puskesmas dengan
memberikan penyuluhan tentang Jarak antar tenaga kesehatan
Pentingnya Imunisasi Dasar pada rumah ke rumah desa masih kurang
kader di desa jauh

Kader tidak memberi


penyuluhan ke warga Koordinasi
tentang Imunisasi Dasar antara tenaga
PSN DBD kesehatan desa
dan kader
maupun
Bidan Desa tidak menetap di masyarakat
Bangelan sehingga follow up masih kurang
pada ibu hamil kurang. Angka
Cakupan
Imunisasi di
Desa Bangelan
sebesar 75%

Jarak antara puskesmas dan Belum ada media pencatatan


rumah ibu hamil jauh. yang praktis untuk mendata ibu
hamil

SARANA KESEHATAN MATERIAL

35
BAB IV
PLAN OF ACTION

7.1 Health Problem dan Goal


Permasalahan utama di Kecamatan Wonosari ditentukan untuk
membuat rancangan kegiatan yang sesuai dengan goal yang akan dicapai.
Secara lebih dalam, kegiatan yang dilaksanakan bertujuan meningkatkan
pengetahuan kader dan ibu hamil mengenai imunisasi, cara pemberian
imunisasi, dan jadwal imunisasi. Selain itu, kegiatan yang dilaksanakan juga
bertujuan untuk meningkatkan pencatatan ibu hamil. Dengan adanya
kegiatan tersebut, diharapkan dapat meningkatkan angka cakupan imunisasi
di Kecamatan Wonosari, terutama di Desa Bangelan dan ikut serta dalam
mensukseskan program puskesmas dengan target minimal angka cakupan
imunisasi 95%.

Tabel 7.1 Tabel Masalah Kesehatan Kecamatan Wonosari


Health Problem Goal
Rendahnya angka cakupan Meningkatkan angka cakupan imunisasi
imunisasi (UCI/Universal di Desa Plandi sebesar 20% dalam
Coverage Immunization) jangka waktu 9 bulan setelah intervensi

36

Anda mungkin juga menyukai