Oleh:
Galih Tri Wicaksono 150070200011030
Jennifer Liklynda M 150070200011049
Yenny Apriliya 150070200011050
Novian Kurnia P 150070200011075
Laras Gaby Cathelya 150070200011125
Pembimbing:
Dr. dr. Siswanto, M.Sc
2
dasar diberikan pada bayi sebelum berusia 1 (satu) tahun. Jenis imunisasi dasar
terdiri atas: Bacillus Calmette Guerin (BCG); Diphtheria Pertusis Tetanus-
Hepatitis B (DPT-HB) atau Diphtheria Pertusis Tetanus-Hepatitis B-Hemophilus
Influenza type B (DPT-HB-Hib); Hepatitis B pada bayi baru lahir; Polio; dan
Campak. Imunisasi masih sangat diperlukan untuk melakukan pengendalian
Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I), seperti Tuberkulosis
(TB), difteri, pertusis (penyakit pernapasan), campak, tetanus, polio dan hepatitis
B (Sarimin et al, 2014). Program imunisasi sangat penting agar tercapai
kekebalan masyarakat (population immunity). Program Imunisasi di Indonesia
dimulai pada tahun 1956 dan pada tahun 1990, Indonesia telah mencapai status
Universal Child Immunization (UCI), yang merupakan suatu tahap dimana
cakupan imunisasi di suatu tingkat administrasi telah mencapai 80% atau lebih.
Saat ini Indonesia masih memiliki tantangan mewujudkan 100% UCI
Desa/Kelurahan pada tahun 2014 (WHO, 2009).
1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Membentuk masyarakat sadar imunisasi yang dapat membantu
meningkatkan angka cakupan imunisasi di desa Bangelan.
3
2. Membantu puskesmas dalam meningkatkan kelengkapan data ibu hamil di
desa Bangelan.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
5
Gambar 2.1 Mekanisme imunitas bawaan dan imunitas adaptif (Andre et al,
2008)
Mekanisme imunitas bawaan merupakan pertahanan awal melawan infeksi. Sedangkan respon
imun adaptif timbul setelahnya dan dimediasi oleh limfosit dan produknya. Antibodi mengeblok
infeksi dan mengeliminasi mikroba, eradikasi mikroba ekstrasel dilakukan oleh sel T. Kinetika
respon imun bawaan dan adaptif berbeda tergantung dari jenis infeksinya .
6
Respon imun spesifik diperankan oleh sel-sel imun khusus yang akan
menyerang antigen dan mikroba secara spesifik, yaitu dengan produk
immunoglobulin (respon imun humoral) atau aktivitas selular khusus (respon
imun selular). Respon imun spesifik yang efektif memerlukan stimulasi yang kuat
dan lengkap dari aktivitas sistem imun non-spesifik. Respon imun humoral
merupakan aktivitas sel limfosit B sedangkan respon imun selular diperankan
oleh sel limfosit T (Abbas et al, 2014).
Setelah pajanan antigen pada sistem imun maka sebagian sel imun
spesifik yang teraktivasi akan menetap dalam sirkulasi dan sumsum tulang
sebagai sel memori. Sel memori ini dengan cepat akan bereplikasi dan bereaksi
secara spesifik bila terpajan ulang terhadap antigen yang sama, membentuk
antibodi dan respon imun selular anamnestik. Respon imun humoral limfosit B
membutuhkan bantuan spesifik limfosit T untuk dapat membentuk sel memori.
Respon imun spesifik yang terbentuk pada saat sistem imun baru mengenal
suatu antigen disebut sebagai respon imun primer, sedangkan respon imun
spesifik yang terjadi setelah pengenalan antigen pertama disebut sebagai respon
imun sekunder (Abbas et al, 2014).
7
dosis relatif kecil. Contoh vaksin hidup misalnya vaksin campak, gondongan,
rubela, vaksinia, varisela, demam kuning, polio (oral), dan BCG (Natalia, 2013).
Vaksin inaktif tidak mengandung mikroba hidup, tidak bereplikasi, dan
tidak berpotensi menimbulkan penyakit. Vaksin inaktif diberikan melalui suntikan,
selalu dengan dosis multipel, dan umumnya tidak dipengaruhi oleh antibodi
sirkulasi. Vaksin inaktif juga memerlukan penguatan (booster) karena antibodi
yang terbentuk akan menurun seiring dengn perjalanan waktu. Respon imun
yang terbentuk sebagian besar bersifat humoral dan hanya sedikit merangsang
respon imun seluler. Contoh vaksin inaktif sel utuh, antara lain: vaksin influenza,
rabies, hepatitis A, polio (suntikan), pertusis, kolera. Vaksin inaktif fraksional dan
subunit misalnya vaksin hepatitis B, influenza, pertusis aselular, toksoid (difteri,
tetanus). Selain kedua jenis vaksin tersebut, dikenal pula vaksin rekombinan
yang dibentuk dengan rekayasa genetic, contohnya adalah: vaksin hepatitis B
rekombinan, vaksin tifoid Ty21a, dan vaksin influenza LAIV (Natalia, 2013).
Gambar 2.2 Respon imun primer dan sekunder pada vaksinasi (Andre et al,
2008)
Antigen X dan Y akan menginduksi produksi antibodi yang berbeda, yang merefleksikan
spesifisitas antibodi tersebut. Respon sekunder terhadap antigen X lebih cepat dan besar
dibandingkan dengan respon primer dan berbeda dengan respon primer terhadap antigen Y. Level
produksi antibodi dinyatakan sebagai nilai arbitrari dan bervariasi tergantung tipe antigen yang
memapar. Setelah imunisasi, repon imun primer akan muncul 1-3 minggu sedangkan respon imun
sekunder muncul akan muncul 2-7 hari tetapi kecepatannya sangat dipengaruhi oleh antigen dan
sifat imunisasi.
8
ulang yang membentuk tingkat antibodi protektif. Vaksinasi ulang diberikan saat
respon imun terhadap dosis pertama atau dosis sebelumnya pada vaksinasi
primer mulai menurun, pada umumnya 4-6 minggu setelah dosis sebelumnya.
Tergantung dari karakteristik antigen vaksin inaktif, maka vaksin penguatan perlu
diberikan satu atau beberapa kali untuk mencapai tingkat kekebalan protektif
primer (Gambar 2.2). Sedangkan, vaksin hidup umumnya diberikan satu kali
sebagai vaksinasi primer dan tidak memerlukan vaksinasi ulang (Ranuh, 2014).
2.4.1 Hepatitis B
Vaksin Hepatitis B (Hep B) merupakan vaksin inaktif. Vaksin Hep B
rekombinan mengandung antigen virus Hep B (HBsAg), yang dihasilkan dari
biakan sel ragi dengan teknologi rekayasa DNA. Vaksin HepB harus diberikan
setelah lahir, mengingat vaksinasi HepB merupakan upaya pencegahan yang
9
sangat efektif untuk memutuskan rantai penularan melalui transmisi maternal dari
ibu kepada bayinya. Jadwal imunisasi HepB diuraikan sebagai berikut (Ranuh,
2014):
a. Imunisasi HepB-1 diberikan sedini mungkin (dalam waktu 12 jam)
setelah lahir sesudah injeksi Vitamin K1, mengingat sekitar 3,9% ibu
hamil di Indonesia mengidap Hepatitis B aktif dengan risiko penularan
kepada bayinya sebesar 45%. Hep-B1 diberikan baik kepada ibu
dengan status HbsAg positif, negatif, maupun tidak diketahui. Bayi yang
lahir dari ibu dengan status HbsAg positif diberikan vaksin HepB-1 dan
HBIg (Hepatitis B Imunoglobulin) masing-masing 0,5ml secara
bersamaan pada bagian tubuh yang berbeda dalam waktu 12 jam
setelah lahir. Bayi yang lahir dengan status HbsAg tidak diketahui
kemudian ternyata selanjutnya diketahui positif ditambahkan HbIg 0,5ml
sebelum bayi berumur 7 hari.
b. Imunisasi HepB-2 diberikan setelah 1 bulan dari imunisasi HepB-1 yaitu
saat usia 1 bulan. Untuk mendapat respon imun optimal, interval
imunisasi HepB-2 dengan HepB-3 minimal 2 bulan, terbaik 5 bulan.
Maka imunisasi HepB-3 diberikan pada umur 3-6 bulan.
c. Ulangan imunisasi hepatitis B (HepB-4) dapat dipertimbangkan pada
usia 10-12 tahun, apabila kadar pencegahan belum tercapai (anti HBs <
10µg/ml)
Reaksi KIPI, efek samping yang terjadi umumnya adalah nyeri pada
tempat suntikan, yang mungkin disertai dengan rasa panas atau pembengkakan
yang akan menghilang dalam 2 hari. Keluhan sistemik seperti demam, sakit
kepala, mual, pusing, dan rasa lelah setelah pemberian vaksin belum dapat
dibuktikan (Soedjatmiko, 2015).
10
Pemberian vaksin BCG dianjurkan sebelum umur 3 bulan, optimal
diberikan pada umur 2 bulan. Namun untuk mencapai cakupan yang lebih luas,
Kementerian Kesehatan menganjurkan pemberian imunisasi BCG pada umur 1
bulan. Apabila diberikan sesudah umur 3 bulan, perlu dilakukan uji tuberkulin
terlebih dahulu. Vaksin BCG diberikan apabila uji tuberkulin negatif. Apabila uji
tuberkulin tidak memungkinkan, BCG dapat diberikan namun perlu diobservasi
dalam waktu 7 hari. Apabila terdapat reaksi lokal cepat di tempat suntikan
(accelerated local reaction), perlu tindakan lebih lanjut (tanda diagnostik
tuberculosis) (Kemenkes RI, 2013).
Kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI) yang biasanya timbul adalah
reaksi lokal yang berupa pembengkakan kecil, merah, lembut biasanya timbul
pada daerah bekas suntikan, yang kemudian berubah menjadi vesikel kecil, dan
kemudian menjadi sebuah ulkus superfisial dalam waktu 2 - 4 minggu. Reaksi ini
biasanya hilang dalam 2-5 bulan, dan umumnya pada anak-anak akan
meninggalkan bekas berupa jaringan parut dengan diameter 4-8 mm. Jarang
sekali nodus dan ulkus tetap bertahan. Kadang-kadang pembesaran kelenjar
getah bening ( limfadenitis) pada daerah ketiak dan leher dapat timbul 2 - 4 bulan
setelah imunisasi. Sangat jarang sekali pembesaran kelenjar getah bening
tersebut menjadi supuratif. Komplikasi pemberian vaksin BCG antara lain: BCG-it
is diseminasi, eritema nodosum, lupus vulgaris, osteomyelitis. Komplikasi harus
diobati dengan obat anti tuberculosis (Ranuh, 2014).
11
3 yaitu pada usia 18-24 bulan dan DTP-5 pada saat masuk sekolah umur 5
tahun. DTP-5 sebaiknya diberikan DTaP untuk mengurangi demam paska
imunisasi, mengingat kejadian pertusis pada dewasa muda meningkat akibat
ambang proteksi yang sangat rendah sehingga dapat menjadi sumber penularan
pada bayi adan anak. Apabila pada umur 5 tahun belum diberikan DTP-5 maka
vaksinasi penguat diberikan DT sesuai program BIAS (SD kelas 1, umur 6-7
tahun). Vaksinasi penguat Td diberikan 2x sesuai program BIAS (SD kelas 2 dan
3) (Ranuh, 2014).
2.4.4 HiB
Jenis vaksin HiB konjugat yang beredar di Indonesia yaitu vaksin Hib
yang berisi PRP-T (capsular polysaccharide polyribosyl ribitol phosphate-
konjugasi dengan protein tetanus) dalam kemasan prefilled syringe. Vaksin HiB
tersedia dalam bentuk monovalen dan kombinasi. Vaksin HiB yang berisi PRP-T
diberikan 3 kali sejak umur 2 bulan dengan interval waktu minimal 4 minggu.
Vaksin booster umumnya diberikan 1 tahun setelah suntikan terakhir. Vaksin Hib
juga dapat diberikan dalam bentuk kombinasi, seperti: DTwP-HiB, DTaP-HiB,
DTaP-HiB-IPV. Dalam Permenkes No.42 tahun 2013, Hib diberikan pada umur 2,
3, 4, dan 18 bulan dalam bentuk kombinasi dengan DTP-HepB (Ranuh, 2014).
2.4.5 Polio
Terdapat 2 kemasan vaksin polio yang berisi virus polio 1,2, dan 3, yaitu
OPV (Oral Polio Vaccine) dan IPV (Inactivated Polio Vaccine). OPV adalah
vaksin yang mengandung virus polio hidup (strain Sabin) yang dilemahkan dalam
sediaan vial disertai pipet tetes. Sedangkan, IPV adalah vaksin yang
mengandung virus polio inaktif (Salk) yang dapat diberikan tersendiri maupun
dalam kemasan kombinasi (DTaP/Hib/IPV). Kedua vaksin tersebut dapat dipakai
secara bergantian. Imunisasi dasar OPV atau IPV diberikan mulai umur 2-3 bulan
tiga dosis berturut-turut dengan interval 6-8 minggu. Imunisasi booster diberikan
pada usia 18 bulan. Imunisasi dapat diberikan bersamaan dengan suntikan
vaksin DTP dan Hib (Ranuh, 2014).
12
macam galur virus polio, setiap dosis 0,1 ml (2 tetes) mengandung : Tipe 1 : 106
CCID50, Tipe 2 : 105 CCID50, Tipe 3 : 105,8 CCID50, Eritromisin ≤ 2mcg,
Kanamisin ≤ 10mcg, dan distabilkan dengan sukrosa. Pada keadaan ditemukan
lebih dari satu tipe virus polio liar, vaksin tOPV ini merupakan vaksin terbaik
karena dapat memberikan perlindungan terhadap ketiga virus ini.
Imunogenitas virus polio 2 (P2) paling baik diantara ketiga virus polio
tersebut, sehingga perlindungan terhadap P2 paling baik. Imunisasi bOPV dibuat
untuk menggantikan tOPV dengan menghilangkan virus polio 2, karena sudah
berhasil dieradikasi, kasus terakhir tahun 1999 di India. Vaksin mOPV
mengandung satu galur virus polio, yaitu mOPV1 dan mOPV3. Penelitian
menunjukkan bahwa sekitar 80% anak di Negara tropis akan memiliki kekebalan
terhadap virus polio 1 (P1) lebih tinggi (80%) dengan pemberian mOPV1
dibandingkan dnegan pemberian tOPV(40%), begitu pula dengan pemberian
mOPV3 (72%) memberikan perlindungan lebih tinggi dibandaingkan tOPV (31%)
(Ranuh, 2014).
Pada vaksin ini umumnya tidak terdapat efek samping. Sangat jarang
terjadi kelumpuhan (paralytic poliomyelitis/ VVAP) yang diakibatkan karena
vaksin (perbandingan 1 / 1.000.000 dosis). Individu yang kontak dengan anak
yang telah divaksinasi, jarang sekali beresiko mengalami lumpuh polio (paralytic
poliomyelitis) akibat vaksinasi (pebandingan 1/ 1.400.000 dosis sampai
1/3.400.000 dosis). Dan hal ini tejadi bila kontak belum mempunyai kekebalan
terhadap virus polio atau belum pernah diimunisasi, dan ada juga efek samping
yang dapat mengakibatkan sindroma Guillain Barre. Dosis pemberian OPV
adalah 2 tetes, yang masing-masing mengandung 0,1 mL vaksin, secara per oral
(Soedjatmiko, 2015).
13
2.4.6 Campak
Vaksin campak adalah live attenuated vaccine yaitu vaksin virus hidup
yang dilemahkan, merupakan vaksin beku kering berwarna kekuningan pada vial
gelas, yang harus dilarutkan hanya dengan pelarut yang telah disediakan secara
terpisah. Vaksin campak ini berupa serbuk injeksi. Tiap dosisnya adalah 0,5 mL.
Vaksin campak beku kering disimpan pada suhu antara +2°C s/d +8°C. Vial
vaksin dan pelarut harus dikirim bersamaan, tetapi pelarut tidak boleh dibekukan
dan disimpan pada suhu kamar. Vaksin harus terlindung dari cahaya. Waktu
kadaluarsa adalah 2 tahun. Vaksin campak yang sudah dilarutkan, sebaiknya
digunakan segera, paling lambat 6 jam setelah dilarutkan, apabila masih bersisa
maka harus dimusnahkan. Vaksin campak diberikan pada usia 9 bulan, 24 bulan,
dan 6 tahun (SD kelas 1 dalam program BIAS). Apabila telah mendapat
imunisasi MMR pada usia 15-18 bulan dan ulangan umur 6 tahun; ulangan
campak SD kelas 1 tidak diperlukan. Dosis setiap vaksin campak adalah 0.5 mL
yang disuntikkan secara subkutan (Ranuh, 2014).
KIPI yang mungkin terjadi adalah demam dengan suhu 39,5 derajat C
atau lebih, dapat terjadi pada 5%-15% kasus, umumnya terjadi pada hari ke 5-6
sesudah imunisasi dan dapat berlansung selama 5 hari. Ruam dapat dijumpai
pada 5% anak dan timbul pada hari ke 7-10 sesudah imunisasi, dan berlangsung
selama 2-4 hari (Kemenkes RI, 2013).
14
b. Interval pemberian
Jarak minimal antar dua pemberian imunisasi yang sama adalah 4
(empat) minggu. Tidak ada batas maksimal antar dua pemberian imunisasi.
c. Kontra indikasi
Pada umumnya tidak terdapat kontra indikasi imunisasi untuk individu
sehat kecuali untuk kelompok risiko. Pada setiap sediaan vaksin selalu
terdapat petunjuk dari produsen yang mencantumkan indikasi kontra serta
perhatian khusus terhadap vaksin.
Tabel 2.2 Petunjuk Kontra Indikasi Dan Perhatian Khusus Untuk Imunisasi
Indikasi kontra dan perhatian khusus Bukan indikasi kontra
(imunisasi dapat dilakukan)
Berlaku umum untuk semua vaksin
DPT, Polio, Campak, dan Hepatitis B
Kontra Indikasi Bukan kontra indikasi
Ensefalopati dalam 7 hari pasca DPT sebelumnya
Perhatian khusus
- Demam >40,5oC dalam 48 jam pasca DPT - Demam <40,5oC pasca DPT sebelumnya
sebelumnya, yang tidak berhubungan dengan - Riwayat kejang dalam keluarga
penyebab lain - Riwayat SIDS dalam keluarga
- Kolaps dan keadaan seperti syok (episode - Riwayat KIPI dalam keluarga pasca DPT
hipotonik-hiporesponsif) dalam 48 jam pasca
DPT sebelumnya
- Kejang dalam 3 hari pasca DPT sebelumnya
- Menangis terus >3 jam dalam 48 jam pasca
DPT sebelumnya
- Sindrom Guillain-Barre dalam 6 minggu pasca
vaksinasi
Vaksin Polio
Kontra Indikasi Bukan kontra indikasi
- Infeksi HIV atau kontak HIV serumah - Menyusui
- Imunodefisiensi (keganasan hematologi atau - Sedang dalam terapi antibiotik
tumor padat, imuno-defisiensi kongenital, terapi - Diare ringan
imunosupresan jangka panjang)
- Imunodefisiensi penghuni serumah
Perhatian khusus
Kehamilan
Campak
Perhatian khusus
15
- Mendapat transfusi darah/produk darah atau imunoglobulin (dalam 3-11 bulan, tergantung
produk darah dan dosisnya)
- Trombositopenia
- Riwayat purpura trombositopenia
Hepatitis B
Kontra Indikasi Bukan kontra indikasi
Reaksi anafilaktoid terhadap ragi Kehamilan
Bayi lahir di Institusi Rumah Sakit, Klinik dan Bidan Praktik Swasta,
imunisasi BCG dan Polio 1 diberikan sebelum dipulangkan. Bayi yang telah
mendapatkan imunisasi dasar DPT-HB-Hib 1, DPT-HB-Hib 2, dan DPT-HB-
Hib 3, dinyatakan mempunyai status imunisasi T2.
16
BAB III
GAMBARAN WILAYAH
HUTAN
G. KAWI
KABUPATEN
BLITAR
Dsn. Pijiombo
Ds. Wonosari
Ds. Sumberdem
Ds. Bangelan
Ds. Plaosan
KECAMATAN
KROMENGAN
Ds. Kluwut
K E T E R A N G A N
: Kantor Kecamatan
: Balai Desa : Puskesmas
: Balai Dusun Ds. Plandi
: Pustu
: Batas Kabupaten
: Batas Kecamatan : Polindes
: Batas Desa
: Jalan Raya : Rawan Bencana
: Jalan Desa
: Sungai
17
Gambar 3.1 Peta Kecamatan Wonosari
Tercatat jumlah penduduk Kecamatan Wonosari tahun 2016 sebanyak
43.665 jiwa dengan kepadatan penduduk rata-rata 932 jiwa/km2. Jumlah
kelahiran 1.47%, sedangkan angka kematian 0.68%. Dari jumlah penduduk
tersebut apabila dilihat tingkat pendidikan, kurang lebih 6.3% tidak/belum pernah
sekolah, 7.9% tidak/belum tamat SD, 31.4% tamat SD/MI, 28.8 SLTP/MTs,
18.5% SLTA/MA, 6.7% AK/Diploma. Ditinjau dari jenis pekerjaan atau mata
pencaharian penduduk Kecamatan Wonosari 30% masyarakat bekerja sebagai
petani, 8.18% orang bekerja di bidang perdagangan, dan di sektor lain - lain
57.9% masyarakat.
1. Wonosari 4 14 35 1.793 12 60
2. Kebobang 4 15 52 2.804 11 55
3. Plaosan 4 10 56 2.280 8 40
4. Plandi 3 5 31 1.496 7 35
5. Kluwut 3 6 33 1.431 6 30
6. Bangelan 4 6 40 1.401 6 30
7. Sumbertempur 4 10 29 1.518 6 30
8 Sumberdem 2 6 29 1.170 6 30
Total 28 82 305 13.875 62 310
Tabel 3.1 Persebaran Posyandu dan kader di Kecamatan Wonosari
1 Puskesmas Induk 1
Puskesmas Pembantu
2 2
(Pustu)
3 Polindes 8
4 Posyandu 62
18
3.2 Profil Desa Bangelan
Desa Bangelan berada di Kecamatan Wonosari Kabupaten Malang. Desa
Bangelan terbagi atas 4 Dusun, yaitu Dusun Bangelan, Dusun Arjomulyo, Dusun
Sidomulyo, dan Dusun Kampung Baru. Desa ini dibatasi antara lain sebelah
Utara oleh Desa Sumber Tempur Kecamatan Wonosari, sebelah Selatan oleh
Desa Kromengan Kecamatan Kromengan, sebelah Timur oleh Desa Kluwut
Kecamatan Wonosari dan sebelah Barat oleh Desa Karangrejo Kecamatan
Kromengan. Luas Desa Bangelan sekitar 167, 20 ha.
Jumlah keluarga yang tinggal di Desa Bangelan tahun 2015 adalah 1344
KK, Sedangkan jumlah keluarga yang tinggal di Desa tahun 2016 mengalami
kenaikan yaitu 1409 KK. Jumlah keseluruhan penduduk di Desa ini pada tahun
2016 sebanyak 4461 jiwa. Bahasa sehari-hari penduduk Desa Bangelan yaitu
Bahasa Jawa. Jumlah sekolah yang ada di Desa Bangelan yaiu SD/Sederajat
dan TK. Jumlah gedung sekolah yang ada di desa sebanyak 9 Buah, terbagi atas
5 gedung untuk SD dan 4 gedung untuk TK.
Jenis Prasarana yang ada di Desa Bangelan yaitu PONKESDES. Jumlah
tenaga medis di desa ini 2 orang. Tenaga medis tertinggi yang ada di Desa
Bangelan yaitu Mantri dan Bidan desa. Frekuensi kunjungan dokter yaitu 1 kali
dalam sebulan. Di desa ini masih ada penduduk yang menggunakan pengobatan
tradisional. Penduduk mengambil bahan obat tradisional dari halaman rumah dan
kebun.
19
Bidan desa tidak menetap di Desa Bangelan, sehingga pencatatan jumlah ibu
hamil kurang maksimal. Selain itu, lokasi Desa Bangelan yang dekat dengan
Kecamatan Kromengan memudahkan masyarakat untuk memeriksakan diri ke
fasilitas kesehatan yang berada di Kecamatan Kromengan.
Jumlah kader yang banyak dapat diberdayakan dalam membantu
pencatatan jumlah ibu hamil yang tinggal di Desa Bangelan, sehingga
diharapkan dengan adanya pencatatan jumlah ibu hamil yang baik, akan
mempengaruhi pencatatan jumlah bayi usia 0-1 tahun yang ada sehingga anak
yang seharusnya mendapat imunisasi dasar dapat lebih terjangkau lagi dan
angka UCI di Desa Bangelan dapat meningkat.
20
BAB IV
METODE PENGUMPULAN DAN ANALISIS DATA
21
Di Indonesia, program imunisasi mewajibkan setiap bayi (usia 0-11
bulan) mendapatkan imunisasi dasar lengkap yang terdiri dari 1 dosis
Hepatitis B, 1 dosis BCG, 3 dosis DPT-HB-Hib, 4 dosis polio, dan 1 dosis
campak. Dari imunisasi dasar lengkap yang diwajibkan tersebut, campak
menjadi salah satu jenis imunisasi yang mendapat perhatian lebih, hal ini
sesuai dengan kajian ahli dan analisis epidemiologi atas penyakit-penyakit
yangsering timbul diindonesia. Dan juga adanya komitmen Indonesia pada
global untuk turut serta dalam eliminasi campak pada tahun 2020 dengan
mencapai cakupan bebas campak minimal 95% di semua wilayah secara
merata.
22
Di kecamatan wonosari angka cakupan imunisasi juga menjadi masalah
kesehatan kususu nya disesa bangelan. Angka cakupan imunisasi di desa
bangelan masih rendah , data bulan desember tahun 2017 menunjukkan bahwa
angka cakupan imunisasi hanya 75%. Rendahnya angka tersebut salah satu
penyebabnya adalah rendahnya pencatataan ibu hamil.oleh karena itu kami
mengangkat masalah cakupan imunisasi dalam melakukan intervensi.
23
kesehatan desa wonosari. Penelitian ini menggunakan sasaran ibu hamil dan
kader kesehatan di desa bangelan wonosari. Hal ini dikarenakan rendahnya
angka cakupan imunisasi pada desa tersebut. Jumlah kader pada desa wonosari
adalah 60 orang.
24
BAB V
HASIL DAN ANALISIS DATA
5.1.1 Wawancara
Terdapat beberapa pihak yang telah di wawancara sebagai sumber data
yaitu Kepala Puskesmas Wonosari, pemegang program, serta Bidan desa
Bangelan. Dari hasil wawancara telah diperoleh data- dat, antara lain
a. Hanya terdapat 2 desa dari 8 desa yang ada di Wonosari yang sudah
mencapai UCI (Universal Coverage Immunization), didapatkan informasi
bahwa desa yang sudah memenuhi UCI antara lain desa Plaosan dan
Kebobang.
b. Dari hasil wawancara dengan pemegang program didapatkan bahwa desa
yang paling sedikit cakupan bayi yang mendapat imunisasi adalah Desa
Bangelan.
c. Hasil UCI pada desa Bengelan pada tahun 2017 belum mencapai target.
d. Beberapa hal yang menyebabkan belum tercapainya angka UCI pada desa
Bangelan ini karena kurangnya kesadaran dan pengetahuan Imunisasi
terhadap ibu hamil.
e. Kepala Program juga mengatakan bahwa pencatatan data ibu hamil pada
Desa Bangelan juga masih kurang, yang menyebabkan hal tersebut adalah
karena bidan desa tidak tinggal menetap sehingga ibu hamil melakukan
pemeriksaa kehamilan pada desa lain sehingga mengalami kurangnya follow
up dan tidak terdata dengan baik.
f. Kader masih belum mendapat arahan dengan tepat dan belum ada media
yang praktis mengenai pendataan ibu hamil pada Desa Bangelan
g. Kader belum mendapat materi imunisasi dasar sehingga belum secara aktif
menjelaskan kepada masyarakat tentang imunisasi
h. Hambatan yang lainnya adalah ketika diadakan pertemuan bidan desa dan
kader, hanya 50% yang menghadiri pertemuan tersebut.
25
5.2 Data Sekunder
Data sekunder didapatkan dari laporan tahunan di Puskesmas Wonosari pada tahun 2017. Dari data laporan tahunan
terdapat data imunisasi dasar pada tahun 2017. Data difokuskan pada Imunisasi yang tidak memerlukan ulangan, yaitu
berfokus pada imunisasi Campak. Berikut adalah laporan hasil imunisasi dasar pada bayi dan data ibu hamil bulan Desember
2017:
Tabel 5.1 Imunisasi dasar pada bayi tahun 2017
HBO DPT/HB DPT/HB DPT/
Target BCG Polio 1 Polio 2 Polio 3 Polio 4 IPV Campak
No Bulan <7 1 2 HB 3
L P L P L P L P L P L P L P L P L P L P L P L P
1 Januari 33 32 2 2 3 2 3 2 5 2 5 4 3 4 3 1 7 1 9
2 Februari 33 32 3 2 2 2 2 2 3 2 3 2 2 2 4 5
3 Maret 33 32 3 1 3 1 1 2 1 3 1 3 3 2 3 4 3 4
4 April 33 32 3 4 2 2 2 2 4 2 4 3 1 1 2 3 2 3 3 5 3 2
5 Mei 33 32 4 4 3 4 3 4 2 2 2 3 3 2 3 2 3 3 2 3
6 Juni 33 32 4 4 4 4 3 4 3 4 2 2 2 2 3 2 3 2
7 Juli 33 32 2 6 4 4 4 4 3 4 3 4 2 2 2 2 1 3
8 Agustus 33 32 3 3 2 6 2 6 2 2 4 4 4 4 3 4 3 4
9 September 33 32 1
10 Oktober 33 32 2 2 4 4 4 4 3 6 4 6 1 2 1 2 4 4 4 4 4 5
11 November 33 32 2 4 2 2 2 2 2 1 1 1 2 1 2 1 1 1 1 1 5 1 3
12 Desember 33 32 2 1 1 2 1 2 1 2 2 2 1 1 1 1 2 1 2 1 3 7 2 2
Jumlah 65 21 29 21 29 21 29 23 28 25 27 26 23 26 21 29 21 29 24 15 31 18 31
Berikut merupakan ketercapaian UCI Untuk Desa Bangelan pada tahun 2017
49
65
𝑥 100% = 75 %
Hingga saat ini, ketercapaian UCI pada desa Bangelan baru mencapai 75% dari target yaitu 95%.
26
Tabel 5.2 Laporan pencatatan jumlah ibu hamil pada Desember 2017.
27
BAB VI
RUMUSAN DIAGNOSA KOMUNITAS
28
Keterangan:
DM 1 : Perwakilan Dokter Muda 1
DM 2 : Perwakilan Dokter Muda 2
DM 3 : Perwakilan Dokter Muda 3
DM 4 : Perwakilan Dokter Muda 4
DM 5 : Perwakilan Dokter Muda 5
DP : Dokter Puskesmas
PP : Perwakilan Pemegang Program
140
120
100
80
60
BCG
40 Campak
20
Gambar 6.1 Persentase Imunisasi BCG dan Campak pada tahun 2017
Desa yang akan diintervensi dipilih berdasarkan persentase jumlah bayi yang
terimunisasi. Ditemukan bahwa Desa Bangelan memiliki angka cakupan imunisasi
yang rendah. Maka dari itu, Desa Bangelan dipilih sebagai sasaran intervensi.
29
6.2 Analisis Faktor Risiko
Identifikasi faktor risiko atau akar permasalahan kesehatan di komunitas
yang menjadi prioritas masalah menggunakan diagram ishikawa atau diagram tulang
ikan (Fishbone). Diagram Ishikawa adalah diagram yang menjelaskan bagaimana
suatu permasalahan terjadii dan terdiri dari bagian kepala ikan dan bagian tulang
ikan. Di bagian kepala ikan berupa masalah utama atau topik yang akan dicari tahu
penyebabnya, yaitu rendahnya angka cakupan Imunisasi Desa Bangelan.
Diagram fishbone ini terdiri atas kategori-kategori akar permasalahan, yaitu
Manusia, Metode, Lingkungan, Sarana Kesehatan, dan Material.Masing-masing
kategori kemudian dapat dikembangkan ke tahap yang lebih detail. Diagram ini
kemudian akan menjadi dasar pembuatan solusi dan rencana tindakan yang akan
dilakukan untuk mengatasi akar masalah, sehingga akhirnya masalah kesehatan
yang menjadi fokusnya dapat diatasi.
30
kurang.
LINGKUNGAN
1. Jarak antar rumah ke rumah jauh 4 4 3 4 3 18
METODE
1. Koordinasi antara tenaga kesehatan 3 4 4 3 3 17
puskesmas dengan tenaga kesehatan
desa masih kurang
2. Koordinasi antara tenaga kesehatan 4 4 4 4 3 19
desa dan kader maupun masyarakat
masih kurang
SARANA KESEHATAN
1. Jarak antara puskesmas dan rumah ibu 3 3 3 4 4 17
hamil jauh
MATERIAL
1. Belum ada media pencatatan yang 4 4 5 5 5 23
praktis untuk mendata ibu hamil
Keterangan:
DM 1 : Perwakilan Dokter Muda 1
DM 2 : Perwakilan Dokter Muda 2
DM 3 : Perwakilan Dokter Muda 3
DM 4 : Perwakilan Dokter Muda 4
DM 5 : Perwakilan Dokter Muda 5
31
6.4 Penentuan Solusi Permasalahan
Tabel 6.3Skoring Solusi Permasalahan Komunitas di Desa Plandi
No. Akar Solusi DM DM DM DM DM Total
Permasalahan 1 2 3 4 5
1 Kurangnya Memberikan 3 4 4 2 4 17
pemahaman penyuluhan
masyarakat pada
akan masyarakat
imunisasi untuk
dasar meningkatkan
pemahaman
serta kesadaran
masyarakat
mengenai
imunisasi dasar
2 Tenaga Memfasilitasi 4 4 5 5 5 23
kesehatan nakes desa
desa kurang untuk
memberikan memberikan
penyuluhan penyuluhan
tentang mengenai
Pentingnya pentingnya
Imunisasi Imunisasi Dasar
Dasar pada pada kader desa
kader di desa
3 Kader tidak Menawarkan 5 5 5 5 5 25
memberi solusi pada
penyuluhan nakes berupa
ke warga pemberdayaan
tentang kader untuk
Imunisasi membantu
Dasar nakes dalam
mengedukasi
masyarakat
mengenai
32
Imunisasi dalam
jangka panjang
4 Belum ada Memberikan 5 5 5 5 5 25
media media
pencatatan pencatatan yang
yang praktis praktis untuk
untuk mendata ibu
mendata ibu hamil melalui
hamil kader
Keterangan:
DM 1 : Perwakilan Dokter Muda 1
DM 2 : Perwakilan Dokter Muda 2
DM 3 : Perwakilan Dokter Muda 3
DM 4 : Perwakilan Dokter Muda 4
DM 5 : Perwakilan Dokter Muda 5
33
4.
5. Tabel 7.1 Tabel Masalah Kesehatan Kecamatan Wonosari
6. Health Problem 7. Goal
8. Rendahnya angka CNR di Desa 9. Meningkatkan angka CNR di
Plandi DesaPlandi sebesar 30%dalam
jangka waktu 6 bulan setelah
intervensi
10. unisasi Dasar pada kader desa
11. Menawarkan solusi pada nakes berupa pemberdayaan kader untuk membantu
nakes dalam mengedukasi masyarakat mengenai Imunisasi dalam jangka
panjang Memberikan media pencatatan yang praktis untuk mendata ibu hamil
melalui kader
34
MANUSIA LINGKUNGAN METODE
Kurangnya pemahaman
masyarakat akan kesehatan
untuk imunisasi dasar Koordinasi antara
tenaga kesehatan
Tenaga kesehatan desa kurang puskesmas dengan
memberikan penyuluhan tentang Jarak antar tenaga kesehatan
Pentingnya Imunisasi Dasar pada rumah ke rumah desa masih kurang
kader di desa jauh
35
BAB IV
PLAN OF ACTION
36