Anda di halaman 1dari 14

BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Konsep Bencana
1. Definisi Bencana
Bencana (disaster) didefinisikan sebagai peristiwa atau rangkaian peristiwa yang
mengancam dan mengganggu kehidupan serta penghidupan masyarakat. Kejadian
bencana disebabkan oleh faktor alam, faktor non alam, maupun faktor manusia
sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa (UU No. 24 Tahun 2007). Definisi lain
tentang bencana yaitu kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak
psikologis akibat sebab-sebab yang ditetapkan pemerintah, dengan mengelompokkan
tingkat kerusakan yang ditimbulkan oleh fenomena alam yang tidak normal, meliputi
badai, hujan, dan salju yang lebat, banjir, gelombang pasang laut, gempa, tsunami,
letusan gunung api atau kebakaran skala besar maupun peledakan bom (Forum
Keperawatan Bencana, 2009).
Negara dengan frekuensi bencana yang tinggi di dunia salah satunya adalah
Indonesia. Indonesia merupakan negara kepulauan yang luasnya mencapai 1.919.440
km2 dengan populasi penduduk lebih dari 200 juta orang. Secara geografis, Indonesia
terletak di perpotongan tiga lempengan, yaitu lempengan Eurasia, lempeng Benua
Australia-India, dan lempeng Samudera Pasifik sehingga memiliki aktivitas seismik
yang tinggi (UNDP, 2007). Hal tersebut menyebabkan banyak wilayah Indonesia rentan
terhadap kejadian gempa bumi, bahkan tsunami. Selain itu, populasi penduduk yang
padat disertai ruang hidup yang semakin sempit menyebabkan risiko kebakaran
meningkat. Selama 10 tahun terakhir, dapat dikatakan kejadian bencana di Indonesia
semakin meningkat.
2. Klasifikasi Bencana
Bencana merupakan pertemuan dari tiga unsur, yaitu ancaman bencana,
kerentanan, dan kemampuan yang dipicu oleh suatu kejadian. Bencana dapat
diklasifikasikan menjadi tiga jenis, antara lain : (UU No. 24 Tahun 2007)
a. Bencana/alam (natural disaster), disebabkan oleh kejadian alam (natural) seperti
gempa bumi dan dan gunung meletus. Bencana alam juga dikatakan sebagai
peristiwa yang terjadi akibat kerusakan atau ancaman ekosistem dan telah terjadi
kelebihan kapasitas komunitas yang terkena dampaknya. Bencana alam mencakup
gempa, tsunami, letusan gunung merapi, topan, banjir, dll. Masing-masing bencana
memiliki tipikal kerusakan yang berbeda (Forum Keperawatan Bencana, 2009).
b. Bencana non-alam (man made disaster), yaitu peristiwa non-alam yang meliputi
kebakaran, kegagalan teknologi, gagal modernisasi, dan wabah penyakit.
c. Bencana sosial, yaitu bencana yang diakibatkan oleh peristiwa akibat aktivitas
manusia yang meliputi konflik sosial antar kelompok atau antar komunitas
masyarakat dan teror.
Sedangkan menurut Ethiopian Disaster Preparedness and Prevention
Commission (DPPC) mengelompokkan bencana berdasarkan jenis hazard, yang terdiri
dari:

a. Natural hazard. Ini adalah hazard karena proses alam yang manusia tidak atau
sedikit memiliki kendali. Manusia dapat meminimalisir dampak hazard dengan
mengembangkan kebijakan yang sesuai, seperti tata ruang dan wilayah, prasyarat
bangunan, dan sebagainya. Natural hazard terdiri dari beragam bentuk seperti
dapat dilihat pada tabel berikut:

b. Human made hazard. Ini adalah hazard sebagai akibat aktivitas manusia yang
mengakibatkan kerusakan dan kerugian fisik, sosial, ekonomi, dan
lingkungan. Hazard ini mencakup:
1) Technological hazard sebagai akibat kecelakaan industrial, prosedur yang
berbahaya, dan kegagalan infrastruktur. Bentuk dari hazard ini adalah polusi air
dan udara, paparan radioaktif, ledakan, dan sebagainya.
2) Environmental degradation yang terjadi karena tindakan dan aktivitas manusia
sehingga merusak sumber daya lingkungan dan keragaman hayati dan berakibat
lebih jauh terganggunya ekosistem.
3) Conflict adalah hazard karena perilaku kelompok manusia pada kelompok yang
lain sehingga menimbulkan kekerasan dan kerusakan pada komunitas yang
lebih luas.
3. Masalah saat bencana
a. Keterbatasan SDM. Tenaga yang ada umumnya mempunyai tugas rutin lain
b. Keterbatasan peralatan / sarana. Pusat pelayanan tidak disiapkan untuk jumlah
korban yang besar.
c. Sistem Kesehatan. Belum disiapkan secara khusus untuk menghadapi bencana.
Dalam menghadapi bencana, diperlukan suatu sistem tanggap bencana yang
berfungsi sebagai panduan tindakan dalam menghadapi bencana. Sistem tersebut
hendaknya efektif, efisien, terukur, dan tepat sasaran.
a. Efisien: sistem tanggap bencana harus ampuh dalam menanggulangi bencana di
setiap tahapan, disesuaikan dengan jenis dan tngkat bahaya yang ditimbulkan
b. Efektif : sistem tanggap bencana harus tepat guna dan sesuai dengan kebutuhan
c. Terukur : semua ahapan dan tindakan harus terukur, yakni disesuaikan dengan
kapasitas dan sumber daya yang dimiliki
d. Tepat sasaran : sistem tnggap bencana harus sesuai dengan tujuan dan hasil akhir
yang diharapkan, artinya sistem tanggap bencana harus memuat kerangka tujuan
yang jelas sehinnga memiliki nilai fungsional yang positif dan dapat digunakan
secara berkelanjutan.
Secara sederhana sistem tanggap bencana meliputi empat tahapan :
a. Mitigation : pengurangan – pencegahan
Mitigation merupakan langkah memperingan resiko yang ditimbulkan oleh
bencana.
b. Preparedness : perencanaan – persiapan
Merupakan kesiapsiagaan dalam menghadapi terjadinya bencana. Ada dua bagian
penting dalam kesiapsiagaan yakni adanya pereencanaan matang dan persiapan
yang memadai sehubungan dengan tingkat resiko bencana.
c. Response : penyelamatan – pertolongan
Pertama – tama indakan tanggap bencana bertujuan untuk menyelamatkan dan
menolong jiwa manusia baik secra personal, kelompok, maupun masyarakat
keseluruhan. Kedua, tindakan tanggap bencana bertujuan untuk menyelamatkan
harta benda yang berhubungan dengan kelangsungan hidup.
d. Recovery : pemulihan – pengawasan
Merupakan tahap pemulihan dari kerusakan yangb ditimbulkan oleh bencana.
Dalam tahap ini terbagi dua tahapan yakni pemulihan dan pengawasan yang
bertujuan untuk memulihkan kondisi seperti semula atau setidak – tidaknya
menyesuaikan kondisi pasca bencana untuk keberlangsungan hidup selanjutnya.
4. Fase Bencana
a. Non Disaster Stage (interdisaster Phase)
Waktu untuk perencanaan untuk menghadapi bencana yang mengancam kemudian
(belum terjadi). Termasuk didalamnya upaya mitigasi.
b. Predisaster Stage (Preimpact Phase)
Memiliki info cukup tentang bencana yg dihadapi, tapi bencana itu belum terjadi.
Ada proses “warning”, mobilisasi dan evakuasi
c. Impact Stage (Impact Phase)
Waktu saat bencana sedang terjadi dan komunitas mengalami dampaknya.
Pengkajian cepat thd kerusakan, jenis cedera dan kebutuhan komunitas
d. Emergency Stage (Post impact Phase)
Fase berespon terhadap bencana. Awal terjadi respon komunitas, berikutnya respon
pemberi bantuan dari luar
e. Reconstruction Stage (Recovery Phase)
Restorasi : pembangunan infrastruktur & meneruskan hidup. Rekontitusi :
kehidupan komunitas kembali “normal” (Langan and James, 2005).

B. Konsep Api dan Kebakaran


1. Konsep Kebakaran
Kebakaran adalah reaksi kimia yang berlangsung cepat serta memancarkan
panas dan sinar. Reaksi kimia yang timbul termasuk jenis reaksi oksidasi. Menurut
Direktorat pengawasan keselamatan kerja Ditjen pembinaan pengawasan
ketenagakerjaan, 2001:8) Kebakaran adalah api yang tidak dikehendaki, boleh jadi
api itu kecil tetapi tidak dikehendaki adalah termasuk kebakaran.
Sedangkan menurut Depertemen Tenaga Kerja dalam bukunya yang
berjudul Training Material K3 bidang penanggulangan kebakaran (1997)
menyatakan bahwa, kebakaran adalah suatu reaksi oksidasi eksotermis yang
berlangsung dengan cepat dari suatu bahan bakar yang disertai dengan timbulnya
api atau penyalaan. Bahan bakar dapat berupa bahan padat, cair atau uap/gas akan
tetapi bahan bakar yang terbentuk uap dan cairan biasanya lebih mudah menyala.
2. Penyebab terjadinya kebakaran
Pada umumnya penyebab kebakaran bersumber pada 3 (tiga) faktor yaitu :
a. Faktor manusia
Manusia sebagai salah satu faktor penyebab kebakaran antara lain:
1) Pekerja
a) Tidak mau tahu atau kurang mengetahui prinsip dasar pencegahan
kebakaran.
b) Menempatkan barang atau menyusun barang yang mungkin terbakar
tanpa menghiraukan norma – norma pencegahan kebakaran.
c) Pemakaian tenaga listrik yang berlebihan, melebihi kapasitas yang telah
ditentukan.
d) Kurang memiliki rasa tanggung jawab dan disiplin.
e) Adanya unsur – unsur kesengajaan.
2) Pengelola
a) Sikap pengelola yang tidak memperhatikan keselamatan kerja.
b) Kurangnya pengawasan terhadap kegiatan pekerja.
c) Sistem dan prosedur kerja tidak diterapkan dengan baik, terutama
kegiatan dalam bidang kegiatan penentuan bahaya, penerangan bahaya
dan lain – lain.
d) Tidak adanya standar atau kode yamg dapat diandalkan atau
penerapannya tidak tegas, terutama yang menyangkut bagian kritis
peralatan.
e) Sistem penanggulangan bahaya kebakaran yang tidak diawasi secara
baik.
f. Faktor teknis sebagai penyebab kebakaran dan peledakan
1) Proses fisik/mekanis
Yaitu dimana 2 (dua) faktor penting yang menjadi peranan dalam proses
ini ialah timbulnya panas akibat kenaikan suhu atau timbulnya bunga api akibat
pengetesan benda – benda maupun adanya api terbuka, misalnya pekerjaan
perbaikan dengan menggunakan mesin las.
2) Proses kimia
Yaitu dapat terjadi kebakaran pada waktu pengangkutan bahan – bahan
kimia berbahaya, penyimpanan dan penanganan (handling) tanpa
memperhatikan petunjuk – petunjuk yang ada.
3) Tegangan listrik
Banyak titik kelemahan pada instalasi listrik yang dapat mendorong
terjadinya kebakaran yaitu karena hubungan pendek yang menimbulkan panas
dan bunga api yang dapat menyalakan dan membakar komponen lain.
g. Faktor Alam
Salah satu faktor penyebab adanya kebakaran dan peledakan akibat faktor
alam adalah : Petir dan gunung meletus yang dapat menyebabkan kebakaran hutan
yang luas dan juga perumahan – perumahan yang dilalui oleh lahar panas dan lain
– lain.
b. Fenomena kebakaran
Fenomena kebakaran atau gejala pada setiap tahapan mulai awal terjadinya
penyalaan sampai kebakaran padam, dapat diamati beberapa fase tertentu seperti source
energy, initiation, growth, flashover, full fire dan bahaya-bahaya spesifik pada
peristiwa kebakaran seperti : back draft, penyebaran asap panas dan gas dll. Tahapan -
tahapan tersebut antara lain:
1. Tidak diketahui kapan dan dimana awal terjadinya api/kebakaran, tetapi yang pasti
ada sumber awal pencetusnya (source energy), yaitu adanya potensi energi yang
tidak terkendali.
2. Apabila energi yang tidak terkendali kontak dengan zat yang dapat terbakar, maka
akan terjadi penyalaan tahap awal (initiation) bermula dari sumber api/nyala yang
relatif kecil
3. Apabila pada periode awal lebakaran tidak terdeteksi, maka nyala api akan
berkembang lebih besar sehingga api akan menjalar bila ada media disekelilingnya
4. Intensitas nyala api meningkat dan akan menyebarkan panas kesemua arah secara
konduksi, konveksi dan radiasi, hingga pada suatu saat kurang lebih sekitar setelah
3-10 menit atau setelah temperatur mencapai 300ºC akan terjadi penyalaan api
serentak yang disebut Flashover, yang biasanya ditandai pecahnya kaca
5. Setelah flashover, nyala api akan membara yang disebut periode kebakaran mantap
(Steady/full development fire). Temperatur pada saat kebakaran penuh dapat
mencapai 600-1000ºC. Bangunan dengan struktur konstruksi baja akan runtuh pada
temperatur 700ºC. Bangunan dengan konstruksi beton bertulang setelah terbakar
lebih dari 7 jam dianggap tidak layak lagi untuk digunakan
6. Setelah melampaui puncak pembakaran, intensitas nyala akan berkurang/surut
berangsur-angsur akan padam yang disebut periode surut.
3. Klasifikasi Kebakaran
Klasifikasi kebakaran ialah penggolongan atau pembagian kebakaran
berdasarkan jenis bahayanya, dengan adanya klasifikasi tersebut akan lebih mudah,
cepat dan lebih tepat dalam pemilihan media pemadam yang digunakan untuk
memadamkan kebakaran. Dengan mengacu pada standar (Depnaker, Traning Material
K3 bidang penanggulangan kebakaran : 1997).
Menurut Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (2004:24) terdapt dua
versi standar klasifikasi jenis kebakaran yang sedikit agak berbeda. Klasifikasi jenis
kebakaran menurut standar inggris yaitu LPC (Loss Prevention Committee)
menetapkan klasifikasi kebakaran dibagi dalam dua klas A, B, C, D, E sedangkan
Standar Amerika yaitu NFPA (National Fire Prevention Assosiation), menetapkan
klasifikasi kebakaran menjadi klas A, B, C, D pengklasifikasian menurut jenis material
yang terbakar seperti berikut:
a. Bahan padat kecuali logam, seperti kayu, arang, kertas, tekstil, plastik dan
sejenisnya
b. Bahan padat kecuali logam, seperti kayu, arang, kertas, tekstil, plastik dan
sejenisnya
c. Bahan cair dan gas, seperti bensin, solar, minyak tanah, aspal, gemuk alkohol gas
alam, gas LPG dan sejenisnya
d. Bahan cair, seperti bensin, solar, minyak tanah dan sejenisnya
e. Peralatan listrik yang bertegangan
f. Bahan gas, seperti gas alam, gas LPG
g. Bahan logam, seperti Magnesium, aluminium, kalsiun dan lain – lain D Bahan
logam, seperti magnesium, aluminium, kalsium dan lain – lain
h. Peralatan listrik yang bertegangan
Sedangkan Indonesia menganut klasifikasi yang ditetapkan dalam Peraturan
menteri tenaga kerja dan Transmigrasi No.Per.04/MEN/1980 yang pembagiannya
adalah sebagai berikut :
a. Kelas A : Bahan padat selain logam yang kebanyakan tidak dapat terbakar dengan
sendirinya, kebakaran kelas A ini akibat panas yang datang dari luar, molekul –
molekul benda padat terurai dan membentuk gas dan gas lainlah yang terbakar, hal
kebakaran ini menimbulkan panas dan selanjutnya mengurai lebih banyak molekul
–molekul dan menimbulkan gas akan terbakar. Sifat utama dari kebakaran benda
padat adalah bahan bakarnya tidak mengalir dan sanggup menyimpan panas yang
banyak sekali dalam bentuk bara.
b. Kelas B : Seperti bahan cairan dan gas tak dapat terbakar dengan sendirinya diatas
cairan pada umunya terdapat gas, dan gas ini yang dapat terbakar. Pada bahan bakar
cair ini suatu bunga api kecil sanggup mencetuskan api yang akan meninbulkan
kebakaran. Sifat cairan ini adalah mudah mengalir dan menyalakan api ketempat
lain.
c. Kelas C : Kebanyakkan pada peralatan listrik yang bertegangan, yang mana
sebenarnya kelas C ini tidak lain kebakaran kelas A dan kelas B atau kombinasi
dimana ada aliran listrik. Kelas C perlu diperhatikan dalam memilih jenis media
pemadam yaitu tidak menghantar listrik untuk melindungi orang yang
memadamkan kebakaran dari aliran listrik.
d. Kelas D : Kebakaran logam seperti magnesium, titanium, uranium, sodium.
Lithium, dan potassium. Pada kebakaran jenis ini perlu dengan alat atau media
khusus untuk memadamkannya.
4. Aspek bahaya dan akibat dari kebakaran
Peristiwa kebakaran adalah kejadian yang sangat merugikan bagi manusia
secara individual, kelompok sosial, maupun negara. Secara keseluruhan kerugian dapat
berupa korban manusia, kerugian harta benda ekonomi maupun dampak sosial.
(Depertemen Tenaga Kerja, 1997). Peristiwa kebakaran yang terjadi dapat
menimbulkan beberapa bahaya, antara lain :
a. Bahaya radiasi panas
Pada saat terjadi kebakaran, panas yang ditimbulkannya merambat dengan
cara radiasi, sehingga benda – benda sekelilingnya menjadi panas, akibatnya benda
tersebut akan menyala jika titik nyalanya terlampaui. Untuk menghindari hal
tersebut, upaya pendinginan harus dilakukan saat proses pemadaman.
b. Bahaya ledakan
Bahaya ledakan dapat terjadi saat kebakaran, diantara bahan yang terbakar
dan mudah meledak, misalnya terdapat tabung gas bertekanan. Pada saat
pemadaman, harus diupayakan agar selalu waspada akan bahaya ledakan yang
mungkin terjadi.
c. Bahaya asap
Suatu peritiwa kebakaran akan selalu menimbulkan asap yang ketebalannya
tergantung dari jenis bahan yang terbakar dan temperatur kebakaran tersebut.
Adapun bahaya akibat asap antara lain :
1) Pada suatu ruangan tertutup, ketebalan asap akan mengganggu pandangan yang
berakibat kehilangan arah saat penyelamatan diri dan tertutupnya tanda arah
keluar sehingga orang tersebut terjebak dalam kebakaran.
2) Keberadaan asap akan mengurangi konsentrasi, oksigen diudara, sehingga akan
mengganggu pernapasan.
d. Bahaya gas
Adanya gas berbahaya dan beracun sebagai produk pembakaran, bahan
kimia, atau bahan lainnya harus diwaspadai. Gas tersebut dapat menyebabkan
iritasi, sesak napas, bahkan menimbulkan racun yang mematikan sebagaimana
dinyatakan oleh Colling (1990) bahwa “Gas beracun yang biasanya dihasilkan oleh
proses kebakaran yaitu HCN, NO₂, NH₃, HCl, dan lain – lain. Gas beracun tersebut
dapat meracuni paru – paru dan menyebabkan iritasi pada saluran pernapasan dan
mata. Sedangkan gas lain yang beracun, seperti CO₂ dan H₂S dapat mengurangi
kadar oksigen diudara. Pada keadaan normal, kadar oksigen diudara sekitar 21 %,
kadar oksigen diudara akan berkurang pada saat terjadi kebakaran karena oksigen
diudara kurang dari 16 %, orang akan lemas dan tidak dapat mengenali bahaya yang
ada disekitarnya. Sedangkan pada kadar 12 % orang tidak akan bertahan hidup.
5. Usaha Preventif Tanggap Kebakaran
1) Penyuluhan dan pelatihan tentang pemadam kebakaran
2) Adanya SOP cara pengoperasian pada tabung pemadam
3) Pastikan listrik/api telah padam sebelum meniggalkan laboratorium
4) Usahakan bak kamar mandi selalu penuh
Cara pelaksanaan pemadaman
1) Selalu siap mental dan jangan panik
2) Perhatikan arah angin (dengan melihat lidah api)
3) Membelakangi arah angin menghindar dari sisi lain
4) Semprotkan/arahkan pada sumber api
5) Harus tahu jenis benda yang terbakar
6) Usahakan mengatur dan menahan nafas
Sedangkan prosedur emergensi evakuasi seperti berikut :
1) Bunyikan / tekan alarm terdekat
2) Keluar lewat pintu terdekat
3) Berkumpul ditempat yang berjarak minimal 30 meter dari sumber kebakaran
4) Beritahu petugas emergensi mengenai orang-orang yang ada didalam
5) Beritahu petugas emergensi mengenai alasan pengosongan ruangan
7. Cara Mencegah Kebakaran Karena Listrik:
a. Jangan menumpuk stop kontak pada satu sumber listrik. Gunakan pemutus arus
listrik (sekering) yang sesuai dengan daya tersambung, jangan dilebihkan atau
dikurangi.
b. Kabel-kabel listrik yang terpasang di dalam rumah jangan dibiarkan ada yang
terkelupas atau dibiarkan terbuka. Perbaiki dan lindungi kabel-kabel tersebut, kalau
perlu diganti saja.
c. Jauhkan sumber-sumber listrik seperti stop kontak, saklar dan kabel-kabel listrik
dari jangkauan anak-anak.
d. Biasakan menggunakan material listrik, seperti kabel, saklar, stop kontak, steker
(kontak tusuk) yang telah terjamin kualitasnya dan berlabel SNI (Standar Nasional
Indonesia), LMK (Lembaga Masalah Kelistrikan) atau SPLN (Standar PLN).
e. Pangkaslah sebagian daun, ranting dan cabang dari pepohonan yang berada di
halaman rumah, jika bagian pohon itu sudah mendekati atau menyentuh jaringan
listrik.
f. Hindari pemasangan antene televisi yang terlalu tinggi yang bisa mendekati atau
menyentuh jaringan listrik.
g. Gunakan listrik yang memang hak untuk bangunan atau rumah kita. Jangan sekali-
kali mencoba mencantol listrik, mengutak-atik KWH Meter atau menggunakan
listrik secara tidak sah.
h. Biasakanlah untuk bersikap hati-hati, waspada dan tidak ceroboh dalam
menggunakan listrik.
i. Jangan bosan-bosan untuk mengingatkan anak-anak kita agar tidak bermain layang-
layang di bawah atau di dekat jaringan listrik.
j. Bisa ditambahkan disini adalah pemasangan ELCB (earth leakage circuit breaker)
yang sekarang telah banyak digantikan dengan GFI (ground fault interrupter) atau
RCD (residual-current device). Piranti ini fungsinya untuk memutuskan hubungan
apabila ada kebocoran arus listrik atau apabila ada orang yang tersengat listrik.
Kebanyakan piranti ini dipasang di kamar mandi (stop kontak untuk hair dryer atau
electric shaver/pencukur kumis) atau service room (tempat mesin cuci), yang pada
umumnya memiliki lantai basah.
8. Tindakan Pengamanan Kebakaran Akibat Listrik
Tindakan pengaman, sangat dibutuhkan untuk mengurangi bahaya akibat
kebakaran listrik. Kita dapat melakukan tindakan sebagai berikut :
Secara rutin memeriksa peralatan listrik dan kabel.
a. Kabel tegang dapat menyebabkan kebakaran. Ganti semua kabel peralatan usang,
tua atau rusak segera.
b. Ganti alat listrik jika menyebabkan sengatan listrik bahkan kecil, terlalu panas,
celana pendek keluar, atau mengeluarkan asap atau percikan api.
c. Jauhkan peralatan listrik dari lantai yang basah dan counter; membayar perawatan
khusus untuk peralatan listrik di kamar mandi dan dapur.
d. Beli produk listrik dievaluasi oleh laboratorium yang diakui secara nasional, seperti
Underwriters Laboratories (UL).
e. Jika sebuah alat memiliki steker tiga cabang, menggunakannya hanya di outlet tiga
slot. Jangan pernah memaksa untuk masuk ke stopkontak dua-slot atau kabel
ekstensi.
f. Jangan biarkan anak bermain dengan atau sekitar peralatan listrik seperti pemanas
ruang, besi, dan pengering rambut.
g. Gunakan penutupan keselamatan untuk "bukti anak" outlet listrik.
h. Gunakan kabel ekstensi listrik dengan bijak; tidak pernah overload kabel ekstensi
atau soket dinding.
i. Segera mematikan, kemudian secara profesional mengganti, saklar lampu yang
panas untuk disentuh dan lampu yang berkedip.
9. Upaya Penanggulangan Kebakaran
Dalam penanggulangan kebakaran dirumah tangga, ada beberapa peralatan yang akan
digunakan yaitu :
a. Pasir / Tanah: Sangat baik untuk kebakaran lantai / tanah datar. Dapat dipakai untuk
membendung tumpahan minyak, sehingga kebakaran tidak meluas. Dapat dipakai
untuk pemadaman awal semua jenis kebakaran. Cara pemakaian yaitu
dengan sistim isolasi dengan cara pasir / tanah ditaburkan mulai dari tepi hingga
seluruh permukaan yang terbakar tertutup rata.

b. Selimut Api / Karung Goni: Cocok untuk kebakaran kompor (kebakaran minyak)
dan semua jenis kebakaran, kecuali kebakaran listrik. Bahan murah dan mudah
didapat. Cara pemakaian yaitu dengan sistim pendinginan dengan cara basahi
karung goni dengan air kemudian tutupkan secara rata pada bagian yang terbakar,
jika dengan satu karung tidak cukup, tambah lagi.

C. Konsep RW Siaga
1. Pengertian RW Siaga
RW Siaga adalah desa yang penduduknya memiliki kesiapan sumber daya dan
kemampuan serta kemauan untuk mencegah dan mengatasi masalah-masalah
kesehatan, bencana dan kegawatdaruratan kesehatan, secara mandiri.
Desa yang dimaksud di sini dapat berarti Kelurahan atau negeri atau istilah-
istilah lain bagi kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah, yang
berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat,
berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam
sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
RW Siaga merupakan gambaran masyarakat yang sadar, mau dan mampu untuk
mencegah dan mengatasi berbagai ancaman terhadap kesehatan masyarakat seperti
kurang gizi, penyakit menular dan penyakit yang berpotensi menimbulkan KLB,
kejadian bencana, kecelakaan, dan lain-lain, dengan memanfaatkan potensi setempat,
secara gotong-royong.
2. Tujuan RW Siaga
a. Mendekatkan pelayanan kesehatan dasar kepada masyarakat desa.
b. Mensiap siagakan masyarakat untuk menghadapi masalah-masalah yang
berhubungan dengan kesehatan masyarakat.
c. Memandirikan masyarakat dalam mengembangkan perilaku hidup bersih dan sehat.

3. Sasaran RW Siaga
Untuk mempermudah strategi intervensi, sasaran pengembangan RW Siaga
dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu:
a. Semua individu dan keluarga di desa, yang diharapkan mampu melaksanakan
hidup sehat, serta perduli dan tanggap terhadap permasalahan kesehatan di wilayah
desanya.
b. Pihak-pihak yang mempunyai pengaruh terhadap perilaku individu dan keluarga
atau dapat menciptakan iklim yang kondusif bagi perubahan perilaku tersebut,
seperti tokoh masyarakat, termasuk tokoh agama, tokoh perempuan dan pemuda;
kader; serta petugas kesehatan.
c. Pihak-pihak yang diharapkan memberikan dukungan kebijakan, peraturan
perundang-undangan, dana, tenaga, sarana, dan lain-lain, seperti Kepala Desa,
Camat, para pejabat terkait, swasta, para donatur, dan pemangku kepentingan
lainnya.

D. Konsep Evakuasi Korban Bencana


Evakuasi adalah upaya pemindahan korban dari lokasi kejadian yang berbahaya
ke tempat yang memadai untuk diberi pertolongan atau untuk ditindaklanjuti
dengan kondisinya guna kelangsungan hidupnya. Dalam melakukan evakuasi, ada
beberapa hal yang harus diperhatikan, yaitu situasi dan kondisi dalam evakuasi,
kondisi korban dan kondisi penolong sendiri.
Hal utama yang perlu diperhatikan sebelum melakukan evakuasi yaitu kontrol
keadaan korban secara medis, tapi tetap disesuaikan dengan kondisi trauma korban.
Ketiga keadaan tersebut pada akhirnya mengharuskan kita untuk memilih maneuver
evakuasi yang khas, seperlunya, dengan tidak membuang waktu.
1. Aturan umum tentang evakuasi :
a. Perhatikan kondisi korban, apakah mengalami cedera atau trauma yang
membutuhkan kehati-hatian dalam pengevakuasian.
b. Bila mungkin, terangkan kepada korban apa yang akan dilakukan, agar
dapat bekerjasama.
c. Jangan pindahkan korban sendiri kalau bantuan belum tersedia.
d. Jika beberapa orang melakukan evakuasi, 1 orang memberikan komando
e. Angkat dan bawa korban dengan benar agar tidak mengalami cedera
otot/sendi
f. Jangan abaikan keselamatan penolong sendiri.
2. Aturan dalam mengangkat dan menurunkan korban :
a. Tempatkan posisi kaki senyaman mungkin, salah satu kaki ke
depanguna menjaga keseimbangan
b. Tegakkan badan dan tekukkan lutut
c. Pegang korban / balut dengan seluruh jari tangan
d. Usahakan berat korban yang diangkat dekat dengan penolong
e. Jika kehilangan keseimbangan / pegangan, letakkan korban, atur posisi
kembali, lalu mulai kembali mengangkat.
3. Hal-hal yang harus diperhatikan bila membawa korban dengan tandu :
a. Tandu diperiksa dari kerusakan, dicoba apa mampu menahan berat
korban
b. Korban tidak sadar yang dibawa ke tempat jauh, sebaiknya selalu diikat
c. Penolong yang paling berpengalaman, memberi komando untuk tiap
gerakan
d. Kaki korban selalu di depan, kecuali pada keadaan :
1) Korban, cedera tungkai berat menuruni tangga / turun di tempat
yang miring
2) Korban hipotermia, menuruni tangga/turun di tempat yang miring
3) Korban dengan stroke/kompresi otak tidak boleh di angkat
dengan kepalalebih rendah dari kaki
4. Cara mengusung korban :
a. Mengusung untuk jarak dekat cara menarik penderita untuk jarak
pendek Cara ini hanya dilakukan apabila sudah pasti tidak ada tanda-tanda
patah tulang leher, tulangBelakang, tulang tengkorak, dan gegar otak.
b. Tongkat manusia
1) Anda berdiri di samping korban pada sisi yang cedera atau
lemah. Lengannya dilingkarkan di bahuanda dan peganglah tangan
atau pergelangan tangannya.
2) Lengan anda yang satu lagi melingkar di pinggang korban,dan
pegang baju atau pinggangnya.
3) Langkahkan kaki yang sebelah dalam dan berjalan disesuaikan
dengan kecepatan korban. Tongkat atau dahan kayu dapat
menjadi penompang tambahan. Korban harus ditenangkan.
4) Mengusung korban yang sadar tetapi tidak dapat berjalan
sendiri

Anda mungkin juga menyukai