Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH

PENGANTAR FARMASI KLINIS


“PHARMACIST ROLE IN SELF MEDICATION

DISUSUN OLEH:
1. Simon Harold (1511014005)
2. EdtyvaMonicha (1611013021)
3. Nindi (1611013031)
4. FahdillaMonitaAstri (1611013047)

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS ANDALAS

PADANG

2019

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Self Medication/ Swamedikasi atau pengobatan sendiri merupakan kegiatan pemilihan
dan penggunaan obat baik itu obat modern, herbal, maupun obat tradisional oleh seorang
individu untuk mengatasi penyakit atau gejala penyakit. Swamedikasi merupakan bagian dari
upaya masyarakat menjaga kesehatannya sendiri. Pada dasarnya, bila dilakukan secara
rasional, swamedikasi memberikan keuntungan besar bagi pemerintah dalam pemeliharaan
kesehatan nasional. Biaya sakit dapat ditekan dan dokter sebagai tenaga profesional
kesehatan lebih terfokus pada kondisi kesehatan yang lebih serius dan kritis. Namun bila
tidak dilakukan secara benar justru menimbulkan masalah baru yaitu tidak sembuhnya
penyakit karena adanya resistensi bakteri dan ketergantungan, munculnya penyakit baru
karena efek samping obat antara lain seperti pendarahan sistem pencernaan, reaksi
hipersensitif, drugwithdrawal symptoms, serta meningkatnya angka kejadian keracunan.
Data faktual menunjukkan bahwa 66% orang sakit di Indonesia melakukan
swamedikasi sebagai usaha pertama dalam menanggulangi penyakitnya. Persentase tersebut
cenderung lebih tinggi dibandingkan 44% penduduk yang langsung berobat jalan ke dokter
Meski begitu, tingginya angka ini harus tetap diwaspadai, pasalnya pada pelaksanaan
swamedikasi, diprediksi akan banyak terjadi kesalahan penggunaan obat (medication error)
yang disebabkan karena keterbatasan pengetahuan masyarakat akan obat dan penggunaanya.
Banyak faktor yang mendasari mengapa seseorang melakukan swamedikasi. Dalam
laporan yang dikeluarkan oleh Pan American Health Organization (PAHO) tentang ‫“ ل‬Drug
Classification: Prescription and OTC (Over The Counter) Drugs”, terdapat hasil survei yang
dilakukan oleh The World Self Medication Industry (WSMI) di 14 negara. Survei tersebut
menunjukkan bahwa swamedikasi meningkat jumlahnya pada populasi penduduk yang
tingkat pendidikannya lebih tinggi.
Ada beberapa pengetahuan minimal yang sebaiknya dipahami masyarakat karena
merupakan hal penting dalam swamedikasi, pengetahuan tersebut antara lain tentang
mengenali gejala penyakit, memilih produk sesuai dengan indikasi dari penyakit, mengikuti
petunjuk yang tertera pada etiket brosur, memantau hasil terapi dan kemungkinan efek
samping yang ada.
Apoteker sebagai salah satu penyedia layanan kesehatan, memiliki peran dan
tanggungjawab yang besar pada swamedikasi. Peran dan tanggungjawab apoteker ini
didasarkan pada filosofi Pharmaceutical Care, dimana kegiatan apoteker yang sebelumnya
berorientasi pada obat menjadi berorientasi pada pasien. Dalam buku Standar Kompetensi
Farmasis Indonesia yang diterbitkan oleh Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia (ISFI), terdapat
definisi Pharmaceutical Care menurut FIP, yaitu tanggung jawab farmasis dalam hal
farmakoterapi dengan tujuan untuk mencapai keluaran yang dapat meningkatkan kualitas
hidup pasien.
Secara lebih spesifik, tanggungjawab apoteker terhadap perilaku swamedikasi
masyarakat telah dirumuskan oleh FIP dan WSMI dalam suatu kesepakatan bersama. Dalam
kesepakatan tersebut dikatakan bahwa tanggung jawab apoteker dalam swamedikasi adalah
memberikan saran dan mendampingi pasien dalam pemilihan obat, menginformasikan efek
samping yang muncul kepada industri farmasi, menyarankan rujukan kepada dokter, dan
memberitahukan cara penyimpanan obat yang benar. Sedangkan menurut WHO, fungsi atau
tanggung jawab apoteker dalam swamedikasi adalah sebagai komunikator (communicator),
penyedia obat yang berkualitas (quality drug supplier), pengawas dan pelatih (trainer and
supervisor), kolaborator (collaborator), dan promotor kesehatan (health promoter)
Komunikator merupakan salah satu tugas yang harus dilakukan oleh apoteker adalah
memberikan informasi yang obyektif tentang obat kepada pasien agar pasien dapat
menggunakan obat secara rasional. Informasi yang seharusnya diberikan oleh apoteker
meliputi informasi mengenai bentuk sediaan obat, efek terapi, cara penggunaan, dosis,
frekuensi penggunaan, dosis maksimum, lama penggunaan, efek samping yang mungkin
timbul dan memerlukan penanganan dokter, obat lain, makanan dan aktivitas yang harus
dihindari selama penggunaan obat, penyimpanan obat, hal-hal yang harus dilakukan apabila
lupa meminum obat, pembuangan obat yang telah kadaluarsa, dan tujuan penggunaan obat.
Tujuan evaluasi mutu pelayanan adalah untuk mengevaluasi seluruh rangkaian
kegiatan pelayanan kefarmasian di apotek dan sebagai dasar perbaikan pelayanan
kefarmasian selanjutnya. Untuk mengetahui mutu pelayanan kefarmasian, salah satu
indikator yang mudah dilakukan adalah dengan mengukur kepuasan pasien dengan cara
angket. Tingkat kepuasan dapat pula dijadikan sebagai indikator yang digunakan untuk
mengevaluasi mutu pelayanan, seperti yang tercantum pada Keputusan Menteri Kesehatan
Nomor 1027/Menkes/SK/IX/ 2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek Namun
pada akhirnya, yang membentuk kepuasan secara menyeluruh terhadap pelayanan farmasi
adalah hasil akhir dari pengobatan itu sendiri, yakni kesembuhan dari sakit.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Swamedikasi


Swamedikasi berarti mengobati segala keluhan pada diri sendiri dengan obat-obat
yang sederhana yang dibeli bebas di apotik atau toko obat atas inisiatif sendiri tanpa nasehat
dokter. Swamedikasi atau pengobatan sendiri adalahperilaku untuk mengatasi sakit ringan
sebelum mencari pertolongan kepetugas atau fasilitas kesehatan. Lebih dari 60% dari anggota
masyarakatmelakukan swamedikasi, dan 80% di antaranya mengandalkan obatmodern.
Penggunaan obat yang sesuai dengan aturan dan kondisi penderitaakan mendukung upaya
penggunaan obat yang tepat. Pengobatan sendiri harus dilakukan sesuai dengan penyakit
yang dialami. Pelaksanaannyasedapat mungkin harus memenuhi kriteria pengobatan sendiri
yang sesuaiaturan. Pengobatan sendiri yang sesuai dengan aturan mencakup 4 kriteriaantara
lain:
(a) tepat golongan obat, yaitu menggunakan golongan obatbebas dan obat bebas terbatas,
(b) tepat kelas terapi obat, yaitu menggunakan obat yang termasuk dalam kelas terapi yang
sesuai dengankeluhannya,
(c) tepat dosis obat, yaitu menggunakan obat dengan dosis sekali dan sehari pakai sesuai
dengan umur
(d) tepat lama penggunaanobat, yaitu apabila berlanjut segera berkonsultasi dengan dokter

Terdapat keuntungan dan kekurangan seseorang dalam menggunakan obat secara


mandiri. Keuntungan yang didapatkan antara lain aman apabila digunakan sesuai dengan
petunjuk (efek samping dapat diperkirakan), efektif untuk menghilangkan keluhan karena
80% sakit bersifat self limiting, yaitu sembuh sendiri tanpa intervensi tenaga kesehatan, biaya
pembelian obat relatif lebih murah daripada biaya pelayanan kesehatan, hemat waktu karena
tidak perlu menggunakan fasilitas atau profesi kesehatan, kepuasan karena ikut berperan serta
dalam sistem pelayanan kesehatan, menghindari rasa malu atau stres apabila harus
menampakkan bagian tubuh tertentu di hadapan tenaga kesehatan. Kekurangan dalam
menggunakan obat secara mandiri yaitu dapat membahayakan kesehatan apabila tidak
digunakan sesuai dengan aturan, pemborosan biaya dan waktu apabila salah menggunakan
obat, kemungkinan kecil dapat timbul reaksi obat yang tidak diinginkan, misalnya sensitifitas,
efek samping atau resistensi, penggunaan obat yang salah akibat salah diagnosis dan
pemilihan obat dipengaruhi oleh pengalaman menggunakan obat di masa lalu dan
lingkungan sosialnya.
Swamedikasi menjadi tidak tepat apabila terjadi kesalahan mengenali gejala yang
muncul, memilih obat, dosis dan keterlambatan dalam mencari nasihat dan atau saran tenaga
kesehatan jika keluhan berlanjut. Selain itu, risiko potensial yang dapat muncul dari
swamedikasi antara lain adalah efek samping yang sering muncul namun parah,interaksi obat
yang berbahaya, dosis tidak tepat, dan pilihan terapi yang salah.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa swamedikasi
merupakan upaya yang dilakukan oleh seseorang untuk menjaga kesehatannya sendiri dengan
mengobati dirinya sendiri ketika sakit. Swamedikasi terkait dengan penggunaan obat,
sehingga seseorang yang tidak melibatkan tenaga kesehatan ketika sakit dan melakukan
swamedikasi, harus memperhatikan penggunaan obat. Swamedikasi harus benar-benar
memperhatikan dosis yang tepat atau dapat melakukan konsultasi dengan tenaga apoteker

2.1 Faktor- Faktor Self Medication


Tindakan pengobatan sendiri cenderung akan meningkat. Faktor- faktor yang
mempengaruhitindakan pengobatan sendiri yang dilakukan oleh masyarakat
adalahpengetahuan masyarakat tentang penyakit ringan dan berbagai gejala
sertapengobatannya, motivasi masyarakat untuk mencegah atau mengobati
penyakit ringan tersebut, ketersediaan dan kemudahan mendapatkan obatobat yang dapat
dibeli bebas tanpa resep dokter atau obat OTC (over thecounter) secara luas dan terjangkau
untuk mengatasi penyakit ringan. Faktor lain yang berperan pada tindakan pengobatan
sendiri yang dilakukan oleh masyarakat antara lain:
a. Persepsi sakit
Persepsi seseorang mengenai berat ringannya penyakit yang dirasakan dapat
menentukan alternatif pengobatan yang paling cocok untuk dirinya sendiri. Untuk penyakit
ringan, pasien akan memilih beristirahat saja atau membeli obat ditempat terdekat sesuai
dengan keperluan pengobatan penyakit.
b. Ketersediaan informasi tentang obat
Ketersediaan informasi obat dapat menentukan keputusan pemilihan obat. Sumber
informasi yang sampai ke masyarakat sebagianbesar berasal dari media elektronik dan
sumber-sumber lain sepertipetugas kesehatan.
c. Ketersediaan obat di masyarakat
Ketersediaan obat di masyarakat merupakan faktor penentu yang memungkinkan
masyarakat mendapatkan dan menggunakan obat.Obat yang digunakan oleh masyarakat
biasanya diperoleh di apotek,toko obat, warung dan minimarket.
d. Sumber informasi cara pemakaian obat.
Sumber informasi cara pemakaian obat dapat diperoleh darikemasan atau brosur yang
menyertai obat serta dapat menanyakannyalangsung kepada petugas apotek atau penjaga
toko.

3. Penggolongan Obat
Berdasarkan peraturan menteri kesehatan RI nomor 917/Menkes/Per/X/1999 yang
kini telah diperbaiki dengan Permenkes RInomor 949/Menkes/Per/2000, penggolongan obat
berdasarkankeamanannya terdiri dari: obat bebas, bebas terbatas, wajib apotek,
keras,psikotropik, dan narkotik. Tetapi obat yang diperbolehkan dalamswamedikasi hanyalah
golongan obat bebas dan bebas terbatas, dan wajibapotek.
a. Obat bebas
Obat golongan ini termasuk obat yang relatif paling aman, dapatdiperoleh tanpa resep
dokter, selain di apotek juga diperoleh di warungwarung.Obat bebas dalam
kemasannyaditandai dengan lingkaranbewarna hijau. Contohnya adalah : Parasetamol,
asetosal, Vitamin C,antasida daftar obat esensial (DOEN) dan obat batuk hitam (OBH).
Penandaan :

b. Obat bebas terbatas


Obat golongan ini adalah juga relatif aman selamapemakaiannya mengikuti aturan
pakai yang ada. Penandaan obatgolongan ini adalah adanya lingkaran bewarna biru dan 6
peringatankhusus sebagaimana gambar di bawah. Sebagaimana obat bebas , obatini jugadapat
diperoleh tanpa resep dokter, dapat diperoleh di apotek,toko obat atau di warung-warung.
Contohnya: obat flu kombinasi tabletdan ibuprofen.

Penandaan :

c. Obat wajib Apotek


Obat wajib Apotek adalah obat keras yang dapat diserahkan oleh Apoteker
kepadapasien di Apotik tanpa resep dokter. Obat wajib apotikdalam pemberian nanti harus
dicatatterkat data pasien dan penyakityang diderita oleh Apoteker. Sesuai permenkes
No.919/MENKES/PER/X/1993, kriteria obat yang dapatdiserahkan :
1. Tidak dikontraindikasikan untuk penggunaan pada wanita hamil,anak di bawah usia 2tahun
dan orang tua diatas 65 tahun.
2. Pengobatan sendiri dengan obat dimaksud tidak memberikanresiko pada kelanjutan
penyakit.
3. Penggunaan tidak memerlukan cara atau alat khusus yang harusdilakukan oleh tenaga
kesehatan.
4. Obat dimaksud memiliki rasio keamanan yang dapatdipertanggungjawabkan untuk
pengobatan sendiri.

4. Informasi Kemasan, Etiket dan Brosur


Sebelum menggunakan obat, pasien harus membaca sifat dan cara pemakaiannya
pada etiket, brosur atau kemasan obat agar penggunaannyatepat dan aman. Pada setiapbrosur
atau kemasan obat selalu dicantumkan:
a. Nama obat
b. Komposisi
c. Indikasi
d. Informasi cara kerja obat
e. Aturan pakai
f. Peringatan (khusus untuk obat bebas terbatas)
g. Perhatian
h. Nama produsen
i. Nomor batch/lot
j. Nomor registrasi
Nomor registrasi dicantumkan sebagai tanda ijin edar absah yang
diberikan oleh pemerintah pada setiap kemasan obat.
k. Tanggal kadaluarsa

5. Cara Pemilihan Obat


Obat-obatan yang dapat digunakan pada pengobatan sendiri seringdisebut sebagai
over the counter drugs (OTC). Pemilihan obat yang tepatmutlak diperlukan dengan
memperhatikan hal-hal sebagai berikut.
a. Gejala atau keluhan penyakit
b. Kondisi khusus misalnya hamil, menyusui, bayi, lanjut usia, diabetes
mellitus dan lain-lain.
c. Pengalaman alergi atau reaksi yang tidak diinginkan terhadap obat
tertentu.
d. Nama obat, zat berkhasiat, kegunaan, cara pemakaian, efek samping
dan interaksi obat yang dapat dibaca pada etiket atau brosur obat.
e. Pilihlah obat yang sesuai dengan gejala penyakit dan tidak ada
interaksi obat dengan obat yang sedang diminum.
f. Untuk pemilihan obat yang tepat dan informasi yang lengkap, tanyakan
kepada Apoteker.

6. Pemilihan Obat
Menurut pedoman yang dikeluarkan oleh Departemen Kesehatan Republik Indonesia
(2004), untuk menetapkan jenis obat yang dibutuhkan perlu diperhatikan :
a. Gejala dan keluhan penyakit.
b. Alergi atau reaksi yang tidak diinginkan terhadap obat tertentu.
c. Nama obat, zat berkhasiat, kegunaan, cara pemakaian, efek samping,
dan interaksi obat dengan obat yang sedang diminum.
d. Perlu konsultasi dengan tenaga apoteker untuk penjelasan obat berikut
kegunaannya
7. Hal-hal yang harus Diperhatikan
Penggunaan obat harus diperhatikan baik oleh pengguna maupunpetugas pelayanan
kesehatan. Hal-hal yang perlu diperhatikan meliputi:
a. Kemasan/wadah
b. Harus tersegel dengan baik, tidak rusak, tidak berlubang, tanggal
c. kadaluarsa jelas terbaca
d. Penandaan pada wadah
1) Pasien harus membacazat berkhasiat dan manfaatnya
2) Pasien harus membacaaturan pakainya, misalnya sebelum atau sesudah makan
e. Untuk pencegahan overdosis, sebaiknya pasien minum obat 2 kali
f. dosis bila sebelumnya lupa minum obat
g. Pasien harus membaca kontraindikasinya. Misalnya: tidak boleh
h. diminum oleh ibu hamil/menyusui, tidak boleh diminum olehpenderita gagal
ginjal
i. Pasien harus membacaefek samping yang mungkin timbul
j. Pasien harus membaca cara penyimpanannya
1) Apabila ragu, maka pasien harus menanyakan pada Apoteker
2) Apabila sakit berlanjut, diharapkan pasien menghubungi dokter

8. Penggunaan Obat Swamedikasi


Pada pasien swamedikasi terdapat cara penggunaan obat yang harus disampaikan oleh
apoteker kepada pasien, antara lain sebagai berikut(Depkes RI, 2006):
1. Penggunaan obat tidak untuk pemakaian secara terus menerus.
2. Gunakan obat sesuai dengan anjuran yang tertera pada etiket atau brosur.
3. Bila obat yang digunakan menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan, hentikan
penggunaan dan tanyakan kepada Apoteker dan dokter.
4. Hindarkan menggunakan obat orang lain walaupun gejala penyakit sama
Apotek sebagai sarana kesehatan yang dibutuhkan oleh masyarakat
untukmendapatkan obat. Menurut Peraturan Pemerintah (PP) 51 Tahun2009, apotek
merupakan sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukanpraktek kefarmasian oleh
apoteker. Pelayanan kefarmasian adalah suatupelayanan langsung dan bertanggung
jawab kepada pasien yang berkaitandengan sediaan farmasi dengan maksud mencapai
hasil yang pasti untukmeningkatkan mutu kehidupan pasien.Pelayanan kefarmasian
pada saat ini telah bergeser orientasinyadari obat ke pasien yang mengacu kepada
Pharmaceutical Care. Kegiatanpelayanan kefarmasian yang semula hanya berfokus
pada pengelolaan obatsebagai komoditi menjadi pelayanan yang komprehensif yang
bertujuanuntuk meningkatkan kualitas hidup dari pasien. Penggunaan
pelayanankefarmasian tidak hanya digunakan untuk pelayanan resep tapi juga
untukpengobatan sendiri (swamedikasi). Sebagai salah satu penyedia layanankesehatan,
apoteker memiliki peran dan tanggungjawab yang besar padaswamedikasi. Apoteker
harus memberikan edukasi kepada pasien yangmemerlukan Obat non Resep untuk
penyakit ringan dengan memilihkanObat bebas atau bebas terbatas yang sesuai.

4. Peran apoteker dalam perawatan diri dan


Apoteker memiliki beberapa fungsi, diuraikan di bawah ini.
 Sebagai komunikator pengobatan sendiri
•Apoteker harus memulai dialog dengan pasien (dan dokter pasien, bila perlu) untuk
mendapatkan riwayat pengobatan cukup rinci
• Untuk mengatasi kondisi pasien secara tepat apoteker harus mengajukan pertanyaan-
pertanyaan kunci pasien dan menyampaikan informasi yang relevan kepadanya
(misalnya bagaimana untuk mengambil obat-obatan dan
bagaimanaMenanganimasalah keamanan)
•Apoteker harus siap dan memadai dilengkapi untuk melakukan skrining yang tepat
untuk kondisi dan penyakit tertentu, tanpa mengganggu kewenangan resep ini
• Apoteker harus memberikan informasi yang obyektif tentang obat-obatan
• Apoteker harus mampu menggunakan dan menafsirkan sumber informasi tambahan
untuk memenuhi kebutuhan pasien
•Apoteker harus dapat membantu pasien melakukan yang tepat dan bertanggung
jawab pengobatan sendiri atau, bila perlu, rujuk pasien nasihat medis
•Apoteker harus memastikan rincian kerahasiaan mengenai kondisi pasien
 Sebagai pemasok obat berkualitas
• Apoteker harus memastikan bahwa produk yang ia / dia membeli berasal dari
sumber terpercaya danberkualitas baik
• Apoteker harus memastikan penyimpanan yang benar dari produk ini.
 Sebagai seorang pelatih dan pengawas
 Untuk memastikan up-to-date kualitas layanan, apoteker harus didorong untuk
berpartisipasi dalam kegiatan
 Pengembangan profesional seperti pendidikan berkelanjutan.
 Apoteker sering dibantu oleh staf non-apoteker dan harus memastikan bahwa
layananyang diberikan oleh pembantu
 Tersebut sesuai dengan standar yang ditetapkan praktek

 Sebagai kolaborator
Sangat penting bahwa apoteker mengembangkan hubungan kolaboratif yang
berkualitas dengan:
• Profesional perawatan kesehatan lainnya
•Asosiasi profesional nasional
•Industri farmasi
• Pemerintah (lokal / nasional)
• Pasien dan masyarakat umum
Dengan demikian, peluang untuk memanfaatkan sumber daya dan keahlian,
dan untuk berbagi data dan pengalaman, dalam rangkameningkatkan perawatan diri
dan pengobatan sendiri, akan ditingkatkan.
 Sebagai promotor kesehatan
Sebagai anggota tim kesehatan, apoteker harus:
• Berpartisipasi dalam pemeriksaan kesehatan untuk mengidentifikasi masalah
kesehatan dan mereka yang berisiko di masyarakat
• Berpartisipasi dalam kampanye promosi kesehatan untuk meningkatkan kesadaran
tentang isu-isu kesehatan dan pencegahanpenyakit
• Memberikan saran kepada individu untuk membantu mereka membuat pilihan
kesehatan informasi.
DAFTAR PUSTAKA

Ahaditomo, 2004. Standar Kompotensi Farmasis Indonesia, ISFI, Jakarta.

(BPOM) Badan Pengawasan Obat dan Makanan. 2014. Peraturan Kepala Badan Pengawas
Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2014 Tentang Pedoman Uji Klinik
Obat Herbal. Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia.

Depkes RI, 2004, Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek. Keputusan Menteri Kesehatan
Nomor.1027/Menkes/SK/IX/2004.

Djarwanto dan Pangestu Subagyo, 1996, Statistik Induktif, Edisi Keempat, Yogyakarta:
BPFE.

Kepmenkes RI No. 1027/MENKES/SK/IX/2004, tentang Standar Pelayanan Farmasi di


Apotek.Jakarta: Depkes RI

Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 2009, tentang Pekerjaan Kefarmasian. Jakarta: Depkes
RI

Pohan, I., 2004, Jaminan Mutu Layanan Kesehatan, Penerbit Buku Kedokteran, EGC,
Jakarta.

Siregar, C.J.P., 2004, Pelayanan Farmasi yang Baik dalam, Rangkuman Makalah, Diskusi dan
Pendapat pada The 4" Pan Pacific Asian Conggress On Clinical Pharmacy, 10-14 Juli 2004.

WHO, 1998, The Role of Pharmacist to Self-care and Self-medication, Geneva:WHO.

Anda mungkin juga menyukai