Anda di halaman 1dari 11

REFERAT

EDEMA PARU

Disusun oleh:

Larashati Putri Wijaya G99181041

Pembimbing :

dr. Septian Adi Permana, Sp.An, M.Kes

KEPANITERAAN KLINIK/PROGRAM STUDI PROFESI


DOKTER BAGIAN ILMU ANESTESIOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET
RSUD DR. MOEWARDI
SURAKARTA
2019

1
A. Definisi
Edema paru merupakan salah satu kegawatdaruratan dalam bidang
medis yang memerlukan penanganan segera. Edema paru dikarakteristikan
dengan adanya dispnea dan hipoksia sekunder akibat akumulasi cairan pada
paru yang mengakibatkan gangguan pertukaran gas (Purvey, 2017). Tipe edema
paru berdasarkan etiologinya dibedakan menjadi dua yakni kardiogenik dan
non-kardiogenik. Non-kardiogenik disebabkan oleh adanya peningkatan
permeabilitas dari kapiler alveoli sementara tipe kardiogenik disebabkan oleh
peningkatan tekanan hidrostatik pada mikrovaskular paru. Sindrom gagal nafas
akut, syok hipovolemik, Disseminated intravascular coagulopathy, inhalasi
asap, trauma kepala, sepsis, tenggelam, obat-obatan merupakan penyebab non-
kardiogenik edema pulmo. Sedangkan penyebab edema paru kardiogenik
diantaranyaelevasi mitral stenosis, atrial myxoma, gagal jantung, disfungsi
diastol ventrikel kiri, overload volume ventrikel kiri, infark miokard, diaritmia,
kardiomiopati (Sureka et al, 2015; Belice et al, 2014)
B. Epidemiologi
Data yang didapatkan dari 2011-2012 di Australia menunjukkan
estimasi jumlah 96.700 pasien dengan gagal jantung yang disertai setidaknya
satu kali episode edema paru. Angka kematian pada pasien yang dirawat
dirumah sakit dengan edema paru meningkat lebih dari 40%. Penyebab utama
dari edema pulmo ini adalah iskemi miokardioak, atrial fibrilation (AF),
disfungsi valvular akut dan kelebihan cairan (fluid overload). Penyebab lain
seperti emboli paru, anemia, stenosis arteri renalis hingga pengobatan yang
tidak adekuat dan efek samping obat juga dapat memicu munculnya edema
paru. (Purvey et al, 2017).
C. Patofisiologi
Patogenesis dari edema paru yang disebabkan oleh peningkatan tekanan
hidrostatik berkaitan dengan hukum Starling (ekstravasasi cairan berdampak
pada peningkatan tekanan hidrostatik atau penurunan gradien tekanan onkotik

2
pada barrier alveolo-kapiler yang intak). Selain itu, kapasitas sistem limfe
untuk mengurangi cairan dari ruang insterstisial dan mendrainase cairan ke
vena sistemik bergantung pada tekanan vena sistemik dan integritas limfe.
Gambaran klinis yang khas pada edema pulmo didominasi oleh kongesti paru
akibat peningkatan akut afterload. Peningkatan afterload dapat menjadi
mekanisme primer yang berperan dalam terjadinya edema paru yang diinduksi
oleh disfungsi kardiak dan kongesti paru serta dapat menjadi mekanisme
sekunder dari disfungsi kardiak yang luas (Chloncel et al, 2015; Purvey et al,
2017).
Pada penelitian menunjukkan bahwa mekanisme edema paru
dideskripsikan sebagai sebuah konsekuensi dari peningkatan afterload pada
pasien dengan penurunan kapasitas sistolik dan diastolik untuk beradaptasi
terhadap perubahan loading untuk menjaga fungsi ventrikel kanan. Terdapat
hipotesis yang menyatakan bahwa pasien edema paru merespon terhadap
peningkatan afterload dengan diikuti peningkatan denyut jantung dan
vasokonstriksi perifer. (Chloncel, 2015). Peningkatan kongesti perifer dan berat
badan memiliki proporsi relatif kecil pada pasien edema paru yang
menunjukkan bahwa volume redistribusi relatif bukanlah peran utama pada
patofisiologi terjadinya edema paru. Hal ini juga didukung dengan data yang
menunjukkan bahwa pasien gagal jantung yang dirawat di rumah sakit
sebelumnya tidak mengalami penambahan berat badan atau hanya mengalami
penambahan berat badan yang sedikit (Purvey et al, 2017).
Meskipun mekanisme yang terkait dengan tekanan dianggap cukup untuk
menjelaskan edema paru, penelitian terbaru menunjukkan bahwa edema pulmo
kardiogenik juga diatur oleh proses pensinyalan aktif, yang menunjukkan
bahwa endotel dan alveolar dapat berkontribusi secara kritis terhadap terjadinya
edema paru oleh karena tekanan hidrostatik. Penyerapan cairan alveolar
berlebih merupakan sebuah proses aktif yang melibatkan pengangkutan
natrium keluar ruang udara alveolar disertai air yang mengikuti gradien osmotik

3
natrium. Transpor aktif natrium transepitel dari ruang udara ke ruang interstitial
paru-paru adalah mekanisme utama klirens cairan alveolar. Mekanisme ini
tergantung pada pengambilan natrium oleh amilorida pada membran apikal
alveolar tipe II diikuti ekstrusi dari natrium pada permukaan basolateral oleh
NaK-ATPase. Bagian utama dari pembentukan edema paru kardiogenik berasal
adari sekresi aktif klorin epitelial dan cairan sekunder ke dalam ruang alveolar.
Sekresi klorin transepitel dipicu oleh adanya hambatan serapan natrium dan
dimediasi melalui transmembran cystic fibrosis transmembrane conductance
regulator (CFTR) dan Na-K-2Cl-co-transporter 1 (NKCC1) (Clonchel et al,
2015).
D. Manifestasi Klinis
Gambaran klinis edema paru yaitu dari anamnesis ditemukan adanya
sesak napas yang bersifat tiba-tiba yang dihubungkan dengan riwayat nyeri
dada dan riwayat sakit jantung. Perkembangan edema paru bisa berangsur-
angsur atau tiba-tiba seperti pada kasus edema paru akut. Selain itu, sputum
dalam jumlah banyak, berbusa dan berwarna merah jambu. Gejala-gejala umum
lain yang mungkin ditemukan ialah: mudah lelah, lebih cepat merasa sesak
napas dengan aktivitas yang biasa (dyspnea on exertion), napas cepat
(takipnea), pening, atau kelemahan. Tingkat oksigenasi darah yang rendah
(hipoksia) mungkin terdeteksi pada pasien dengan edema paru. Pada auskultasi
dapat didengar suara-suara paru yang abnormal, seperti ronki atau crakles.
E. Terapi dan Tatalaksana
Prinsip penatalaksanaan meliputi pengobatan suportif yang ditujukan
terutama untuk mempertahankan fungsi paru (seperti pertukaran gas, perfusi
organ), sedangkan penyebab utama juga harus diselidiki dan diobati sesegera
mungkin bila memungkinkan. Prinsip penatalaksanaan meliputi pemberian
oksigen yang adekuat, restriksi cairan, dan mempertahankan fungsi
kardiovaskular. Beberapa terapi yang digunakan antara lain nitrat, diuretik,
morfin, inotrop. Nmaun beberapa pasien memerlukan bantuan ventilator.

4
Algoritma manajemen edema paru pre-hospital dapat dilihat pada gambar
berikut;

Tanda dan gejala edema paru

Persiapan darurat transfer ke rumah sakit


Posisikan pasien duduk
Awasi tanda vital dan ritme jantung

Jika tekanan sistolik Adanya overload


Jika saturasi <92%
>100mmHg cairan

Spray atau tablet Berikan 40 mg


sublingual Glyceryl furosemid IV Siapkan oksigen
trinitrat
Target saturasi oksigen
(ulang tiap 5 menit) 92-96%:

 4L/menit via
nasal canule
 5-10 L/menit
via masker
 15 L/menit via
NRRM

Jika saturasi masih


tetap <92% lakukan
CPAP atau BiPAP

Gambar 1. Algoritma Manajemen Edema Paru Pre-Hospital

5
A) Nitrat
Meskipun penggunaan luas nitrat pada edema paru, terdapat kurangnya
bukti yang mendukung praktik ini. Ketika nitrat dibandingkan dengan
furosemide dan morfin, atau ketika dibandingkan dengan furosemide saja, tidak
ada perbedaan yang signifikan terkait efikasi pada outcome atau hasil akhirnya
seperti kebutuhan terhadap ventilasi mekanis, perubahan tekanan darah atau
detak jantung dan infark miokard (Chloncel, 2015; Purvey 2017).
Mekanisme kerja nitrat adalah merelaksasi otot polos, menyebabkan
venodilatasi dan akibatnya reduksi preload pada dosis rendah. Pada dosis tinggi
menyebabkan dilatasi arteriolar sehingga mengurangi afterload dan tekanan
darah. Khusus di arteri koroner, dilatasi ini menghasilkan peningkatan darah
koroner. Hal ini secara kolektif meningkatkan oksigenasi dan mengurangi
beban kerja jantung. Secara umum, nitrat dapat diberikan secara sublingual.
Rumah sakit dapat menggunakan infus secara intravena dan lebih disukai
karena kecepatan onset dan kemudahan untuk mentitrasi dosis (Chloncel et al,
2015; Purvey et al, 2017).
Nitrat dikaitkan dengan hipotensi dan oleh karena itu pemantauan
tekanan darah sangat penting untuk memastikan tekanan darah sistolik tetap
terjaga di atas 90 mmHg. Nitrat seharusnya tidak diberikan jika tekanan darah
kurang dari 90 mmHg atau pasien memiliki stenosis aorta. Apabila pasien baru
saja mengonsumsi inhibitor fosfodiesterase seperti sildenafil, maka nitrat
dikontraindikasikan. Nitrat umumnya ditoleransi dengan baik dengan efek
samping yang paling umum yaitu sakit kepala. Efek samping lainnya termasuk
refleks takikardia dan bradikardia paradoks. Nitrat juga dikaitkan dengan
takifilaksis namun masih dapat ditoleransi dalam 16-24 jam administrasi yang
berkelanjutan (Chloncel et al, 2015; Purvey et al, 2017).

6
Tabel 1. Sedian dan Dosis Nitrat

Sediaan Dosis Frekuensi Dosis Maksimum


Spray Glyceryl 400 mcg (2 Ulangi tiap 5 1200 mcg
trinitrate puff) menit
Tablet 300-600 mcg Ulangi tiap 5 1800 mcg
sublingual menit
Glyceryl
trinitrate
Infus intravena 5-10 mcg per Dua kali sehari 200 mcg per
Glyceryl menit menit
trinitrate*
Ket: *lini pertama pada paru edema

B) Diuretik
Masih kurangnya bukti studi yang menunjukkan diuretik bermanfaat
pada edema paru. Namun, diuretik diindikasikan untuk pasien dengan bukti
kelebihan cairan. Loop diuretik seperti furosemide mengurangi preload dan
harus digunakan secara bijaksana pada pasien yang mungkin memiliki deplesi
volume intravaskular. Administrasi intravena lebih disukai, dengan dosis
furosemide mulai dari 40-80 mg. Dosis yang lebih tinggi dari kisaran tersebut
digunakan untuk pasien yang sudah mengonsumsi diuretik oral atau pada
pasien dengan penyakit ginjal kronis. Bolus awal dapat diberikan perlahan-
lahan secara intravena dan diulangi 20 menit kemudian jika diperlukan. Setelah
bolus, intravena kontinyu dapat dipertimbangkan, dengan dosis berkisar 5–10
mg per jam. Sebuah studi RCT menunjukkan tidak adanya perbedaan hasil
antara bolus dan infus kontinyu. Dosis yang lebih tinggi juga dikaitkan dengan
peningkatan yang lebih besar terjadinya dispnea. Selain itu, pemberian dosis
yang tinggi Juga dikaitkan dengan memburuknya fungsi ginjal (Chloncel et al,
2015; Purvey et al, 2017).

7
Tabel 2. Sedian dan Dosis Diuretik

Sediaan Dosis Frekuensi


Bolus intravena perlahan 4 mg/menit Ulang setelah 20
menit jika perlu
 Fungsi ginjal normal 40-80 mg

 Insufisiensi normal atau Hingga 60-200


gagal jantung mg

 Pengguna loop diuretik Dosis awal iv


kronis sama dengan
dosis maintenance
oral
Infus intravena 5-10 mg per jam Kontinyu

C) Morfin
Morfin telah menjadi bagian dari pengobatan tradisional untuk edema
paru dan dapat mengurangi dyspnea. Hal ini kemudian dapat menghasilkan
pooling vena dan pengurangan preload. Namun mekanisme aksi sekarang
banyak dipertanyakan. Morfin juga mengurangi aktivitas saraf simpatik dan
dapat mengurangi kecemasan dan stres akibat dispnea.
Efek samping morfin dapat berupa depresi pernapasan dan depresi
sistem saraf pusat, berkurangnya curah jantung dan hipotensi. Oleh karena tidak
adanya data yang teruji maka dari bukti-bukti yang ada saat ini menunjukkan
bahwa penggunaan morfin dapat menyebabkan bahaya. Maka dari itu morfin
tidak lagi direkomendasikan untuk penggunaan rutin pada edema paru. Namun
morfin mungkin masih bermanfaat pada nyeri dada yang resisten terhadap
nitrat. Dosis rendah morfin (1-2,5 mg) dapat bermanfaat untuk memfasilitasi
toleransi dari tindakan ventilasi non-invasif tetapi pasien perlu dimonitoring
(Chloncel, 2015; Ellingsrud dan Agewall, 2016).

8
D) Bantuan Ventilasi
Langkah pertama dalam meningkatkan ventilasi untuk pasien edema
paru adalah untuk memastikan mereka pada posisi duduk. Hal ini mengurangi
mismatch ventilasi-perfusi membantu memudahkan pasien untuk bernafas.
Oksigen tidak selalu dianjurkan untuk pasien tanpa hipoksemia karena
hiperoksemia dapat menyebabkan vasokonstriksi, mengurangi curah jantung,
dan meningkatkan mortalitas jangka pendek. Terdapat risiko terkait pemberian
oksigen untuk pasien yang sesak napas tanpa adanya hipoksemia karena
menutupi klinis dan menghambat pemberian pengobatan yang tepat. Tambahan
oksigen dan bantuan ventilasi hanya boleh digunakan jika saturasi oksigen
kurang dari 92% (Chloncel, 2015; Purvey 2017).
Namun jika diperlukan, oksigen harus diberikan untuk mencapai target
saturasi oksigen sebesar 92-96%. Titrasi oksigen dapat dilakukan
menggunakan beberapa perangkat untuk menyalurkan oksigen. Diantaranya
termasuk 4 L / menit melalui nasal canule, 5-10 L / menit via masker, 15 L /
menit melalui masker reservoir non-rebreather atau nasal canule aliran tinggi.
Jika pasien mengalami gangguan pernapasan, asidosis atau hipoksia, meskipun
sudah diberikan oksigen tambahan namun ventilasi non-invasif tetap dilakukan
(Chloncel, 2015; Purvey 2017).
Tidak ada ada perbedaan signifikan dari keuntungan antara bi-level
positive airway pressure (BiPAP) dibandingkan continous positive airway
pressure (CPAP), jadi modalitas yang dipilih harus disesuaikan juga oleh
ketersediaan di masing-masing daerah. Ventilasi non-invasif harus dimulai
pada oksigen 100% dengan kontraindikasi yaitu hipotensi, pneumotoraks,
muntah, tingkat perubahan kesadaran atau ketidakpatuhan. Namun apabila
sudah dengan ventilasi non invasif namun tetap terjadi hiperkapnia, hipoksemia
atau asidosis, maka intubasi harus dipertimbangkan. Indikasi lain untuk intubasi
lainnya termasuk tanda-tanda kelelahan fisik, penurunan tingkat kesadaran atau
syok kardiogenik (Chloncel, 2015; Purvey 2017).

9
E) Inotrop
Obat inotropik intravena diindikasikan pada edema paru bila terdapat
hipotensi dan bukti berkurangnya perfusi organ. Penggunaannya terbatas pada
pasien yang memiliki penyakit kronis karena terkait dengan durasi rawat inap
di rumah sakit dan peningkatan mortalitas. Pada kasus gangguan fungsi
ventrikel kiri dan hipotensi, terapi lini pertamanya adalah infus dobutamin.
Selain efek positifnya, dobutamin memiliki efek vasodilatasi perifer yang dapat
menyebabkan perburukan hipotensi yang mungkin memerlukan
penatalaksanaan dengan vasopressor. Dobutamine bisa menyebabkan aritmia
dan merupakan kontraindikasi jika pasien memiliki aritmia ventrikel atau
fibrilasi atrium. Inotrop lain yang dapat meningkatkan curah jantung dan
meningkatkan perfusi perifer adalah milrinone. Milrinone hanya digunakan
untuk manajemen jangka pendek gagal jantung yang tidak respon dengan terapi
lain. Milrinone dapat meningkatkan mortalitas pada pasien gagal jantung
eksaserbasi akut (Chloncel, 2015; Purvey 2017).

10
DAFTAR PUSTAKA

Belice T, Yuce S, Kizilkaya B, Kurt A, Cure E. 2014. Noncardiac Pulmonary


Edema induced by Sitagliptin Treatment. Journal of family medicine and
primary care;3(4): 456-7.
Chioncel U, Collins S, Ambrosy A, Gheorghiade M, Filippatos G. 2015.
Pulmonary Oedema-Therapeutic Targets. Raddcliffe Cardiology;1:38-43.
Ellingsrud C, Agewall S. 2016. Morphine in the treatment of acute pulmonary
oedema-Why. International Journal of Cardiology;202:870-873.
Purvey M, Allen G. 2017. Managing Acute Pulmonary Oedema. Aust Prescr;
40 :59-63.
Sureka B, Bansal K, Arora A. 2015. Pulmonary edema - cardiogenic or
noncardiogenic?. Journal of family medicine and primary care, 4(2), 290.

11

Anda mungkin juga menyukai