Anda di halaman 1dari 20

Tinjauan Pustaka

ESOPHAGEAL CANDIDIASIS

I Gede Putu Jarwa Antara


Divisi Gastroenterohepatologi Program Studi Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah
Denpasar

Pendahuluan

Esophageal candidiasis (EC) merupakan salah satu infeksi oportunistik


yang paling sering terjadi pada pasien dengan gangguan imunitas seluler, seperti
pada infeksi human immunodeficiency virus (HIV). Namun, bisa juga ditemukan
EC pada individu tanpa infeksi HIV. Apabila EC ditemukan pada individu tanpa
kecurigaan infeksi HIV, faktor predisposisi kondisi medis harus diidentifikasi.
Penggunaan antibiotika spektrum luas bisa menyebabkan hilangnya bakteri yang
menghambat pertumbuhan jamur sehingga memicu pertumbuhan berlebihan dari
jamur candida.
Sejak awal tahun 1980 kebanyakan penelitian mengenai EC dikaitkan
dengan pasien HIV. Tetapi dengan adanya pemeriksaan endoskopi membawa
pengaruh meningkatnya diagnosis EC pada individu tanpa infeksi HIV (phaosawasi
83).
Dalam beberapa tahun terakhir sering didapatkan penggunaan proton-pump
inhibitor (PPI) dan beberapa laporan mengaitkan penggunaan omeprazole dengan
peningkatan kejadian EC (karmeli 95).
Perkembangan EC adalah melalui proses dua tahap yaitu kolonisasi pada
esofagus dan kemudian invasi pada lapisan epitel.
Jamur dalam family Candida merupakan penyebab esophageal candidiasis.
Terdapat 20 spesies Candida yang menyebabkan kondisi ini, tetapi pada umumnya
adalah Candida albicans.
Jamur ditemukan dimana-mana di alam. Manusia selalu terpapar berbagai
genera jamur melalui berbagai rute, tetapi sebagian besar melalui ingesti makanan
yang bisa menjadi kolonisasi pada traktus gastrointestinalis. Tergantung dari

1
2

interaksi antara faktor virulensi dan faktor antifungi, kolonisasi bisa terjadi
sementara atau persisten dan kelainan lokal bisa terjadi (vasquez 2010).
Dari beberapa jamur patogenik, Candida merupakan genus dominan yang
menyebabkan penyakit pada manusia. Candida albicans merupakan spesies dengan
prevalensi tertinggi diantara isolasi jamur dan merupakan patogen jamur
oportunistik utama pada hewan berdarah hangat (vazquez 2010). Beberapa faktor
host lokal dan sistemik serta faktor eksogen meningkatkan prevalensi Candida pada
traktus gastrointesinal (GI). Keparahan dari infeksi candida meningkat dengan
peningkatan keparahan faktor predisposis. Respon sel T CD4+ merupakan
mekanisme pertahanan mukosa GI yang normal melawan Candida spp. dan
umumnya terjadi pada kejadian oropharyngeal candidiasis (OPC) dan esophageal
candidiasis (EC) dengan jumlah CD4 yang rendah (Villar 2008). Mekanisme
proteksi anti-Candida masih belum sepenuhnya dimengerti. Akhir akhir ini peneliti
telah mendemonstrasikan sitokin khususnya IFN-γ, bisa menghambat transformasi
blastoconidia Candida ke fase hifa yang lebih invasif. Fidel dkk telah
mendemonstrasikan penurunan E-cadherin dan penurunan sel T CD4+ pada
mukosa dikaitkan dengan episode OPC akut (Klein 90).
Esophagus merupakan tempat yang paling banyak kedua sebagai tempat
infeksi jamur setelah oropharynx. Prevalensi esophageal candidiasis meningkat
sejalan dengan keterkaitan dengan pasien dengan infeksi HIV. Sekitar 10-15% dari
pasien dengan individu dengan infeksi HIV juga mengalami kejadian esophageal
candidiasis (vazqueze 2010). Candida albicans tetap merupakan organisme utama
yang diidentifikasi pada esophageal candidiasis. Esophageal candidiasis pada
pasien HIV bisa merupakan manifestasi pertama dari AIDS. Tingginya prevalensi
esophageal candidiasis mengindikasikan peran kritis dari cell-mediated immunity
yang normalnya melindungi esophagus dari invasi candida. Esophageal candidiasis
cenderung terjadi pada fase lanjutan perjalanan ilmiah infeksi HIV dan kebanyakan
bervariasi pada jumlah sel T CD4+ yang rendah (vazquez 2003).
Kejadian yang tidak biasa terjadi pada pasien dengan AIDS fase lanjut dan
mendekati fase akhir kehidupan menderita esophageal candidiasis berat yang
dimanifestasikan dengan ketidakmampuan dalam asupan makanan.
3

Etiologi
Jamur candida normalnya terdapat pada permukaan kulit dan dalam tubuh. Dan
sistem kekebalan tubuh meregulasi antara bakteri dan mikroba yang
menguntungkan dalam tubuh. Kadang kadang perubahan keseimbangan antara
Candida dan bakteria ini menyebabkan pertumbuhan jamur dan perkembangan
infeksi.
Faktor risiko
Pasien dengan imunokompromais mempunyai risiko yang tinggi mendapatkan
infeksi candida. Antara lain pasien dengan HIV AIDS, kanker, pasien geriatri.
Menurut CDC 20% pasien dengan kanker berkembang menjadi esofageal
candidiasis. Pasien dengan diabetes menjadi salah satu faktor risiko khususnya bila
kadar gula darah tidak terkontrol dengan baik. Faktor lain yang bisa juga
meningkatkan risiko perkembangan esofagela candidiasis antara lain merokok,
penggunaan antibiotika berlebihan dan penyakit kronis.
Diagnosis
Esophageal candidiasis umumnya menyebabkan disfagia, odinofagia dan
nyeri restrosternal. Eskipun kejadian ini merupakan perkembangan dari oral
candidiasis, sekitar 10% kasus terjadi hanya pada esophagus dengan tempat yang
paling sering di 2/3 distal dibandingkan 1/3 proksimal. Suatu bentuk yang jarang
dari esophageal candidiasis yaitu tidak adanya gejala klinis tetapi pada pemeriksaan
terdapat keterlibatan yang luas pada esophagus (gambar 1) (darouiche 1998).
Diagnosis yang baik bisa dibuat dengan visualisasi langsung pada
esophagus dengan bukti histologi adanya invasi candida pada pemeriksaan biopsi.
Tetapi kriteria klinis bisa dipakai sebagai dasar pemberian antifungi pada kasus
dengan pasien risiko tinggi. Diagnosis banding esophageal candidiasis termasuk
gastroesophageal reflux disease, ulkus HIV idiopatik dan esophagitis viral
(cdc2009).
4

Terapi
Berbagai agen antifungi bisa menjadi pilihan untuk pengobatan EC pada
pasien dengan infeksi HIV. Pada psien dengan infeksi HIV, pengobatan antifungi
efikasinya lebih rendah dibandingkan dengan pasien yang menderita
imunodefisisnesi lainnya seperti pada kanker. Begitu pula dengan waktu untuk
mencapai respon klinisnya juga cenderung tertunda dan angak kekambuhannya
juga tinggi pada populasi ini (glatt 1988).
Penting diketahui bahwa patogen oportunistik pada populasi HIV AIDS,
pengobatan antifungi menurunkan tanda dan gejala infeksi dan menghasilkan
respon klinis transien dengan menurunkan kuantitas organisme pada area yang
terpengaruh. Sangat sulit untuk mengeradikasi secara penuh Candida dari
permukaan mukosa pada psien yang imunokompromais (glat 88).
Kelas agen yang digunakan untuk pengobatan candidiasis termasuk
golongan polyenes (seperti amfoterisin B dan nystatin), inhibitor sentesis
pyrimidine (flucytosine), azole (miconazole, clotrimazole, ketoconazole,
itraconazole, fluconazole, voriconazole dan posaconazole) dan golongan
echinocandin (caspofungin, micafungin dan anidulafungin). Dosis regimen agen ini
dapat dilihat pada tabel 3.
5

Beberapa penelitian yang menilai penggunaan terapi antifungi pada OC dan


OEC dapat dilihat pada tabel 4 (vezqueze 2010). Terapi antifungi sistemik
menggunakan flukonazole oral atau parenteral merupakan terapi handalan untuk
esophageal candidiasis selama lebih dari 2 dekade. Terapi ini bisa dilihat pada tabel
2. (darouiceh 98 dan cdc 2009).
6

Awal langkah managemen EC adalah usaha untuk menentukan dan meminimalkan


faktor predisposisi seperti kortikosteroid, agen kemoteerapi dan antimikroba
(lortolhary 2012). Fluconazole oral mempunyai profil keamanan yang sangat baik
dibandingkan dengan ketokonazole, mempunyia absorpsi di lambung yang sangat
baik dan juga bisa dalam dimasukkan dalam bentuk intravena bila diperlukan
(vazqueze 2010).
Terdapat penelitian yang membandingkan fluconazole dengan clotrimazole
atau ketokonazole untuk terapi EC menunjukkan angka kesembuhan yang tinggi
yang mempunyai superiroritas yang lebih tinggi dibandingkan dengan imidazole
yang lain. Lebih lanjut fluconazole mendemonstrasikan onset yang cepat dan
resolusi yang lebih cepat terhadap perbaikan gejala (Wit91).
7

Kardiomiopati primer biasanya tidak diketahui penyebabnya oleh karena itu


penatalaksanaannya terbatas pada manajemen gagal jantung. Sedangkan pada
kardiomiopati sekunder, identifikasi penyebab dasar dapat memudahkan untuk
pemberian terapi yang lebih spesifik. Iron Overload Cardiomyopathy (IOC)
merupakan salah satu kardiomiopati sekunder yang diakibatkan oleh infiltrasi zat
besi ke interstitium jantung sehingga menyebabkan kardiomiopati restriktif (1,2).
Terapi utama untuk iron overload yang berkaitan dengan hemokromatosis
primer adalah plebotomi dan terapi kelasi besi. Beberapa studi menemukan bahwa
L-type Ca Channel (LTCC) menyediakan jalur dengan kapasitas tinggi untuk
penyerapan Fe ke dalam kardiomiosit pada kondisi iron overload sehingga LTCC-
blocker merupakan salah satu terapi baru untuk mengurangi efek toksik dari zat besi
yang berlebihan pada sistem. Sampai saat ini berbagai metode untuk mendeteksi
kelainan serta terapi terbaru ini masih terus dikembangkan (6).

Definisi
Istilah IOC telah
9,11).

Patofisiologi
Secara umum,
).

Diagnosis
Diagnosis esophageal candidiasis berdasarkan pemeriksaan endoskopi
terhadap tipe lesi mukosa dan pemeriksaan histopatologi.

Pemeriksaan penunjang
Menegakkan diagnosa suatu IOC, 5).

Penanda biokimia
Pemeriksaan kadar serum zat besi adalah salah satu pemeriksaan yang
sering dilakukan, namun nilai pemeriksaan ini tidak dapat sepenuhnya diandalkan
untuk diagnostik, mengingat pemeriksaan ini tergantung pada status gizi, kadar
protein pengangkut, riwayat kehilangan darah sebelumnya, dan yang lainnya. Nilai
pemeriksaan ini menggambarkan kadar zat besi yang aktif di darah untuk
8

mendiagnosis peningkatan namun tidak menggambarkan total zat besi yang


tersimpan (1).
Pemeriksaan serum feritin dikatakan jauh lebih berguna untuk mendiagnosa
peningkatan total penyimpanan zat besi. Pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan
pertama untuk mengkonfirmasi potensial iron overload pada pasien yang dicurigai
mengalami kelebihan zat besi. Namun pemeriksaan ini tidak cukup untuk
mendeteksi suatu IOC karena feritin tidak memberikan informasi lokalisasi
kelebihan zat besi pada jaringan mengingat deposisi zat besi pada organ yang
berbeda dapat bermacam-macam pada individual yang berbeda, selain itu feritin
hanya menggambarkan proporsi zat besi yang tersimpan di darah, yang
merepresentasikan hanya 1% dari total zat besi yang tersimpan, ferritin memiliki
kemampuan reproduksi yang buruk, mengingat kadar zat besi pada individual
dalam dua pengukuran konsekuentif dapat berfluktuasi, sehingga sulit untuk
mengukur kadar absolut iron overload dan respon terhadap intervensi terapi (1,7).

Elektrokardiogram
Pemeriksaan rekam jantung dapat berguna dalam keadaan dimana sudah
terjadi gangguan irama jantung (aritmia). Pasien dengan gejala aritmia memiliki
angka mortalitas yang tinggi. Penemuan pada rekaman EKG, termasuk holter
monitoring 24 jam pada stadium awal dapat membantu meningkatkan kewaspadaan
pengawasan dalam keadaan ini, namun hal ini bukanlah sebagai penanda spesifik
suatu IOC. Salah satu parameter EKG, dispersi gelombang QT, dikatakan sebagai
parameter yang relevan untuk deposisi zat besi dan durasi aksi potensial jantung.
Kuryshev dkk menemukan bahwa sebanyak 14 orang dari 24 pasien thalassemia
dengan iron overload memiliki peningkatan dispersi gelombang QT (lebih dari 60
milisecond) (8).

Biopsi jaringan
Biopsi jaringan merupakan salah satu baku emas untuk mendiagnosis suatu
iron overload. Teknik pemeriksaan ini telah berhasil dilakukan pada jaringan hati
dengan iron overload, dan sudah digunakan juga untuk jantung pada beberapa
keadaan. Namun deposisi zat besi di jantung cenderung pada suatu area yang kecil
dan terisolasi, dimana yang tersering biasanya pada epikardium sehingga tindakan
9

biopsi ini sulit dilakukan dan dapat meleset dari area deposisi yang mengakibatkan
hasil negatif palsu. Pada spesimen biopsi otot jantung, derajat dan distribusi dari
penyimpanan zat besi dikenal dengan hemosiderin, yang terbaik diperiksa dengan
menggunakan pengecatan pearl dan prussian (1,8).

Gambar 2. Biopsi endomiokardium dari pasien hemokromatosis dengan iron overload


jantung (14)

Pengkajian semi kuantitatif penyimpanan zat besi adalah berdasarkan


jumlah miosit yang mengandung zat besi yang stainable. Pada jantung yang normal,
tidak ditemukan adanya zat besi yang stainable. Deposisi zat besi muncul di
sarkoplasma dimulai pada area perinuklear dan berdiseminasi ke seluruh
sarkoplasma sesuai dengan perkembangan iron overload. Konsentrasi zat besi
dapat dihitung dengan menggunakan penyerapan atom spektometri. Olson dkk
melaporkan jumlah rata-rata zat besi pada spesimen biopsi adalah 399 mikrogram/g
berat kering pada subjek normal dan 1701 mikrogram/g berat kering pada
hemokromatosis idiopatik. Hasil positif menunjukkan terjadinya proses iron
overload, namun tidak menunjukan seberapa berat proses yang terjadi. Biopsi
jaringan merupakan suatu tindakan invasif dan tidak ideal untuk digunakan dalam
menjaring pasien dengan tanpa gejala (7).

Echocardiography
Echocardiography merupakan salah satu teknik pemeriksaan non invasif
untuk menilai fungsi ventrikel kiri jantung. Pada keadaan iron overload,
pemeriksaan echocardiography biasanya menunjukkan suatu dilatasi biventrikular,
dan kardiomiopati restriktif progrefif akibat kerusakan otot jantung. Disfungsi
diastolik ventrikel dapat ditemukan diawal sebelum terjadinya disfungsi sistolik
dengan menggunakan Tissue Doppler Echocardiography (TDE). Pada pasien
10

dengan iron overload ukuran sistolik jantung dengan TDE didapatkan menurun
pada ventrikel kiri dan ventrikel kanan. Vogel dkk melaporkan penurunan puncak
sistolik dan diastolik pada gelombang pengisian awal TDE sering ditemukan pada
pasien dengan -thalassemia yang telah terbukti mengalami ironoverload pada
pemeriksaan MRI jantung. Penurunan puncak sistolik dan diastolik ini lebih
prominen pada septum ventrikel kiri dibandingkan dinding lateral bebas (7,15).
Pemeriksaan dengan echocardiography standar biasanya memberikan
penemuan yang positif pada stadium akhir. Beberapa studi menyatakan bahwa
dobutamin dosis rendah stress echocardiography dapat berguna untuk deteksi awal
disfungsi jantung pada pasien dengan resiko hemosiderosis jantung. Dobutamine
stress echocardiography dan angiografi nuklir telah digunakan untuk mendeteksi
abnormalitas gerakan otot jantung dinding regional pada stadium awal pasien
dengan thalassemia. Leon dkk melakukan angiografi radionuklir pada pasien
dengan iron overload akibat transfusi dan menemukan ejeksi fraksi saat istirahat
adalah normal pada 21 pasien dari 24 pasien sedangkan ejeksi fraksi saat
beraktivitas abnormal pada 13 pasien. Dari pemeriksaan angiografi radionuklir
ditemukan bahwa disfungsi diastolik muncul sangat awal pada populasi dengan
resiko, sedangkan disfungsi sistolik berkembang hanya pada stadium akhir penyakit
(7).

Computed Tomography Scan(CT-Scan)


CT-scan dapat mengidentifikasi densitas tinggi elektron besi pada organ, namun
sensitivitas dan spesifikasi pemeriksaan ini buruk dengan angka positif palsu yang
tinggi berkaitan dengan fibrosis. CT-scan memiliki sensitivitas yang rendah (63%)
dan spesifitas tinggi (96%) untuk mendiagnosis iron overload, terutama untuk
mendeteksi stadium awal iron overload jaringan (7,16).

Magnetic Resonance Imaging (MRI)


Selama beberapa tahun terakhir berbagai kelebihan Cardiovascular Magnetic
Resonance (CMR) telah membawa teknologi ini menjadi salah satu pemeriksaan
yang rutin digunakan. Dalam waktu 40–60 menit, MRI dapat memberikan
informasi mengenai anatomi jantung, fungsinya, karakteristik jaringan, perfusi, dan
aliran katup jantung. MRI merupakan pemeriksaan non invasif yang terbaik untuk
11

mengukur kadar zat besi untuk kepentingan konfirmasi diagnosis, mengukur berat-
ringannya penyakit, monitoring terapi dengan sensitivitas dan spesifikasi yang
tinggi (16,17).
Beberapa studi menunjukkan beberapa metode MRI dapat digunakan untuk
menghitung deposisi zat besi pada beberapa jaringan, seperti di jaringan hati dan
jantung. MRI menghasilkan gambar dari transmisi sinyal gelombang yang
diinduksi oleh proton tubuh pada daerah tinggi magnetik. Pada jantung normal,
sinyal ini homogen dan waktu relaksasi (waktu bagi sinyal yang ada untuk
menghilang) berlangsung dengan durasi yang lebih lama, sedangkan pada jantung
dengan iron overload, akumulasi ion besi pada jaringan yang bersifat
superparamagnetik akan menyebabkan distorsi lapangan magnet dan relaksasi
putarannya sehingga menghasilkan pemendekan waktu relaksasi longitudinal (T1)
dari putaran, yang mana mengakibatkan pemendekan waktu relaksasi transverse
yang dipengaruhi oleh inhomogenitas lapangan magnet (T2*) sehingga
menggelapkan gambar jauh lebih cepat (7,16,18).
CMR memberikan pengukuran akurat ejeksi fraksi sistolik ventrikel kiri,
volume, dan massa jantung. Korelasi penurunan ejeksi fraksi ventrikel kiri dengan
kandungan zat besi yang lebih tinggi pada otot jantung diukur dengan menggunakan
teknik T2* yang merupakan teknik yang telah digunakan secara luas pada
pengkajian klinis keseluruhan kandungan zat besi pada IOC. Secara umum metode
T2* ini sensitif dan spesifik untuk mengukur deposisi zat besi. Nilai T2* jantung
normal adalah T2* > 20 milisecond (ms) (angka median untuk populasi normal
adalah 40 ms), iron overload jantung moderate apabila didapatkan T2* 10–20 ms,
dan iron overload berat adalah jika nilai T2* jantung < 10 ms. Beberapa penelitian
mendapatkan ejeksi fraksi ventrikel kiri yang signifikan, terjadi penebalan ventrikel
kiri pada keadaan iron overload berat (T2*< 10 ms) dibandingkan dengan
kelompok kontrol dan pasien dengan T2* > 20 ms (17,20).
Pada pasien dengan iron overload moderate didapatkan ejeksi fraksi
normal, namun rotation twist ventrikel kiri sudah mengalami penurunan bermakna
dibandingkan dengan kelompok kontrol. Dari semua parameter, rotational twist
ventrikel kiri adalah yang paling awal terkena dampak dan memiliki korelasi erat
dengan beratnya iron overload pada jantung dan merupakan penanda awal
12

disfungsi sistolik ventrikel kiri pada pasien dengan iron overload. Pada studi
prospektif didapatkan insiden terjadinya gagal jantung pada pasien dengan T2* < 6
ms dibandingkan pasien dengan T2* > 10 ms. Aritmia biasanya muncul seiring
dengan semakin luasnya distribusi T2* jantung. Pemeriksaan ini juga dapat
digunakan untuk memonitor keberhasilan terapi kelasi pada kondisi iron overload
(17,20).

Penatalaksanaan
Keadaan iron overload pada jantung adalah merupakan suatu proses kumulatif,
dimana diagnosis dan terapi awal harus menjadi tujuan terapi utama untuk
mencegah terjadinya kegagalan berbagai organ tubuh (5).

Plebotomi
Plebotomi merupakan standar emas terapi pasien dengan HH. Tindakan ini dapat
menyebabkan terjadinya anemia iatrogenik akibat pemindahan sekitar 400– 00 cc
darah (200-250 mg zat besi) pada setiap sesinya sehingga akan memindahkan zat
besi dari organ tempat penyimpananannya untuk memproduksi hemoglobin. Pada
fase awal penyakit, prosedur ini dapat dilakukan sebanyak satu atau dua kali
seminggu untuk mendapatkan target ferritin dibawah 20 ng/ml. Setelah kadar feritin
terapeutik tercapai, frekuensi plebotomi tergantung pada pengamatan secara
periodik serum besi dan kadar feritin dengan pengunaan interval plebotomi secara
berkala. Tindakan ini cocok diterapkan pada pasien dengan hemokromatosis primer
ketika serum feritin mencapai 1000 ng/miligram atau jika muncul gejala menetap
fase induksi dengan pengeluaran mingguan satu sampai dua unit darah untuk
mengurangi serum ferritin 50 ng/ml dan saturasi transferin 30% diikuti dengan fase
pengaturan jangka panjang sampai serum ferritin 100 ng/ml dan saturasi transferrin
50% (7,10).
Diabestani dkk dari UCLA mempelajari 10 pasien dengan hemokromatosis
primer, dimana dua diantaranya mengalami disfungsi sistolik ventrikel kiri dan
sebanyak 3 orang dengan fungsi ventrikel normal. Setelah mendapatkan plebotomi,
lima pasien dengan abnormalitas ventrikel sebelumnya mengalami perbaikan.
Monitoring rutin kadar hemoglobin, ferritin, dan hematokrit sangat penting dalam
13

masa terapi plebotomi. Perbaikan fungsi jantung pada pasien HH dengan


kardiomiopati dan aritmia telah dilaporkan dengan tindakan pengeluaran zat besi
yang agresif dengan plebotomi, terutama pada fase awal penyakit. Tindakan
phlebotomi tidak dapat dilakukan pada pasien dengan anemia bermakna,
keganasan, dan hemodinamik yang tidak stabil (1,7).

Terapi kelasi besi


Pada keadaan dimana tindakan phlebotomi tidak dapat dilakukan maka terapi
kelasi besi merupakan pilihan alternatif yang efektif. Tujuan terapi ini adalah
detoksifikasi organ yang mengandung zat besi berlebihan dengan mengikat zat besi,
memindahkannya dari deposit interseluler, dan mengeluarkannya melalui urine dan
traktus gastrointestinal. Terapi kelasi besi merupakan pilihan utama pada pasien
dengan iron overload sekunder, dimana tindakan ini telah menunjukkan
keberhasilannya dalam memperbaiki fungsi ventrikel, mencegah aritmia, dan
mengurangi mortalitas pada pasien dengan iron overload sekunder. Agen yang
tersedia saat ini adalah deferoxamine, deferasirox, dan deferipone (1,5,7).
Deferoxamine telah teruji secara klinis, merupakan molekul iron chelation yang
tinggi spesifik hexadentate yang berikatan dengan pelepasan zat besi dari sistem
retikuloendotelial yang telah melepaskan zat besi setelah katabolisme senescent
Red Blood Cell (RBC) dan mengekskresikannya ke urine. Agen ini juga memiliki
afinitas yang tinggi terhadap ikatan dengan trivalent ferric iron dan dikatakan dapat
memindahkan zat besi jantung melalui interaksi langsung dengan ion ini.
Keuntungan terapi deferoxamine subkutaneus jangka panjang adalah meningkatkan
angka kesintasan dan mengurangi komplikasi jantung pada pasien yang mengalami
iron overload baik karena thalassemia ataupun akibat transfusi (5,7).
Pemberian dosis tinggi intravena lebih dipilih dibandingkan infus subkutaneus
untuk pemindahan zat besi jantung secara cepat pada pasien dengan iron overload
berat yang disertai gagal jantung. Suatu studi prospektif mengkonfirmasi
keuntungan deferoxamine terhadap pengurangan jumlah zat besi di otot jantung
pasien dengan IOC yang diterapi dengan deferoxamine intravenous selama 12
bulan kemudian diperiksa dengan teknik T2* MRI. Pengurangan kadar zat besi
berkaitan dengan peningkatan nilai T2* MRI dan pengurangan volume dan index
14

massa ventrikel kiri. Sayangnya terapi ini membutuhkan biaya yang tinggi,
bioavaibilitas yang buruk, dan memerlukan pemberian berulang (7).
Deferiprone adalah agen kelasi aktif oral yang bersifat hidrofilik dan lipofilik
sehingga mampu masuk kedalam sel otot jantung. Beberapa studi menunjukkan
agen ini lebih superior dibandingkan deferoxamine dalam mengeluarkan zat besi
dari otot jantung sehingga meningkatkan perbaikan fungsi jantung. Absorpsi agen
ini dimulai di lambung dan mencapai puncaknya dalam waktu 2 jam dari pemberian
setelah dimetabolisme di hati (7,21).
Mengingat perbedaan deferoxamine dan deferiprone dalam hal cara masuk
menuju tempat zat besi, penggunaan kombinasi kedua agen ini memliki efek
sinergis dalam mengeluarkan kelebihan zat besi. Studi terbaru membandingkan
kombinasi terapi deferoxamine subkutaneus dan oral deferiprone dengan
monoterapi deferoxamine menunjukkan bahwa kombinasi terapi lebih superior
dalam mengelurkan zat besi jantung dan meningkatkan perbaikan ejeksi fraksi
ventrikel kiri pada pasien dengan iron overload berat. Studi observasional dan
prospektif telah membuktikan efektivitas terapi kombinasi untuk mengeluarkan
kelebihan zat besi pada hati maupun jantung, memperbaiki fungsi endotel dan
ventrikel kiri, dan juga fungsi endokrin (5,21).
Deferasirox adalah agen chelation oral tridentate lipofilik yang selektif mengikat
zat besi dalam ratio 2:1 dan memindahkan zat besi dari tempat penyimpanannya.
Keuntungan penggunaan agen ini telah ditunjukkan pada pasien thalassemia,
penyakit sickle cell, gangguan myopoliferatif dan anemia diamond-blackfan.
Namun data yang mendukung keamanan dan efisifikasi terapi deferasirox jangka
panjang lebih dari 1 tahun untuk tatalaksana IOC masih sangat kurang. Deferasirox
merupakan agen kelasi pilihan pada pasien MDS dengan ketergantungan transfusi
karena skema pemberiannya yang mudah yaitu melalui oral dengan frekuensi satu
kali sehari (7,10).
Pada pasien dengan thalassemia mayor, terapi kelasi biasanya dimulai pada dua
atau tiga tahun setelah pemberian transfusi. Skema dosis yang dipakai bergantung
kepada gejala yang mucul dan beratnya siderosis jantung dan liver. Sedangkan pada
pasien dengan ketergantungan transfusi darah akibat MDS ataupun kelainan
hematologi yang didapat lainnya biasanya diberikan terapi kelasi setelah 10 sampai
15

20 transfusi untuk mencegah akumulasi zat besi pada jaringan secara signifikan
(10).

Penanganan gagal jantung


Pada pasien iron overload dengan tanda dan gejala gagal jantung ataupun
didapatkannya bukti objektif disfungsi jantung fungsional maupun struktural maka
pasien harus mendapatkan intensifikasi iron chelation therapy dan obat-obat gagal
jantung konvensional diantaranya renin-angiotensin-aldosterone system inhibitor
dan -blocker berdasarkan rekomendasi terbaru yang digunakan sebagai terapi
gagal jantung secara umum. Obat gagal jantung lainnya dapat digunakan tergantung
kasus setiap individual, seperti diuretik untuk mengurangi gejala kongesti, warfarin,
digitalis, atau amiodarone pada kasus dengan atrial fibrilasi dan komplikasi
thromboemboli. Dari beberapa studi didapatkan pada kelompok thalassemia mayor
dengan gagal jantung, kombinasi terapi transfusi reguler, terapi kelasi, dengan
terapi konvensional gagal jantung menghasilkan angka survival rata rata 5 tahun
sama dengan populasi gagal jantung umumnya (10).
Pada pasien dengan gagal jantung stadium IV-New York Heart Association
(NYHA) tanpa perbaikan gejala gagal jantung setelah pemberian terapi
medikamentosa agresif termasuk cardiac resynchronization theraphy (CRT),
transplantasi jantung dapat menjadi pertimbangan dikombinasikan dengan terapi
agresif untuk mengurangi iron overload. Caines dkk melaporkan hasil dari 16
pasien dengan IOC dan stadium akhir gagal jantung yang menerima transplantasi
jantung dari tahun 1967 sampai 2003 dengan usia rata-rata 31 tahun (14 -63 tahun),
sebanyak 41% memiliki angka rata-rata kesintasan dalam 10 tahun (5,7).

Terapi baru yang potensial


Beberapa terapi dan teknik pengobatan terbaru dalam mengatasi keadaan
iron overload telah ditemukan dan masih terus dipelajari efektivitasnya, yaitu
diantaranya pemberian calcium chanel blocker, hepcidin dan terapi genetik (4,7).
Beberapa studi mendapatkan bahwa LTCC berperan dalam transport zat
besi dijantung, dimana penyerapan zat besi meningkat melalui agonis LTCCs.
Oudit dkk mendemonstrasikan terapi LTCC-blocker seperti amlodipin dan
verapamil dapat menghambat LTCC pada kardiomiosit, mengurangi akumulasi
16

besi pada miokardium (otot jantung), mengurangi stress oksidatif dan


meningkatkan ketahanan hidup pada tikus percobaan dengan iron overload.
Sedangkan pada tikus dengan iron overload dengan ekspresi berlebihan yang
spesifik dari LTCC memiliki akumulasi zat besi yang meningkat dijantung dan
stress oksidatif sehingga mengakibatkan menurunnya fungsi jantung dibandingkan
dengan tikus percobaan pada kelompok kontrol. Mekanisme penghantaran zat besi
kedalam jaringan, termasuk miosit jantung masih terus dipelajari sampai saat ini.
NTBI akan masuk ke jantung dalam bentuk ferrous dan meningkat dengan
augmentasi zat besi. Bukti terbaru menunjukkan bahwa LTCC berkaitan dengan
transport zat besi ke kardiomiosit. Secara primer LTCC mengangkut Ca2+, namun
juga dapat mengangkut ion lainnya yaitu Fe+2, Zn+2 (5, 6, 7).
Bukti definitif lainnya mengenai peran LTCC dalam iron overload
ditemukan oleh Oudit dkk dengan menggunakan level terapi LTCC-blocker
verapamil dan amlodipin untuk terapi IOC pada tikus dan menunjukkan bahwa
terapi dengan CCB menghambat LTCC pada miosit jantung dengan mengurangi
akumulasi zat besi pada otot jantung, stress oksidatif, meningkatkan kesintasan,
mencegah hipotensi, serta menjaga struktur dan fungsi jantung. Penemuan ini
menunjukkan kemungkinan peran CCB untuk pencegahan dan terapi IOC (7).
The Human Hepcidine gene (HAMP) terdapat pada kromosom 19 yang
meng-encode protein, 84 amino acid pro-prehepcidin, yang diproduksi secara
primer di hati yang mengalami proses translasional yang menghasilkan 25 bentuk
asam amino dewasa, hepcidin memiliki peran penting dalam mengatur hemostasis
zat besi pada tubuh. Hepcidin berikatan dengan ferroportin menghasilkan degradasi
ferroportin dengan menghambat pengiriman zat besi ke luar jaringan. Hambatan ini
mengakibatkan penurunan kadar serum besi dengan menghambat absorpsi zat besi
dari usus, zat besi kemudian didaur ulang dari makrofag, dan berpindah dari
penyimpanan zat besi di hepatosit jaringan hati. Hepcidin diatur oleh hemojuvelin
transferrin receptor 2, transferrin, HFE gen, hipoksia, inflamasi, dan faktor
erythoid (5,7).
Selain diproduksi di hati, hepcidin juga dipercaya dihasilkan oleh makrofag,
sel lemak, dan jantung. Kadar hepcidin yang rendah diobservasi pada studi HH dan
penyakit iron overload non-hemokromatosis, sehingga analisis hepcidin dapat
17

memberikan informasi dalam screening, monitoring, prognosis, dan terapi HH.


Dengan menggunakan teknik spectometry mass maka dapat diidentifikasi berbagai
macam bentuk hepcidin pada urine dan serum. Penambahan kadar hepcidin dengan
penurunan kadar zat besi, hepcidin inducers, suplemen hepcidin, dan anti oksidan
kemungkinan memiliki peran untuk penatalaksanaan kondisi iron overload di masa
depan (5,7).
Penyembuhan kelainan genetik seperti -thalassemia dan sickle cell disease
sebelum ataupun sesudah berkembangnya iron overload pada jaringan dapat
menjadi pilihan untuk mencegah terjadinya IOC. Terapi genetik melibatkan
perbaikan dari defek yang mendasari dengan modulasi stem sel autologous secara
genetik yang ditanam melalui vektor ke sel target. Penggunaan vektor Lentiviral
terbukti efisien dalam transmisi paparan kompleks globin yang mengandung
pengaturan transkripsi dari locus -globin, yang dibutuhkan dalam terapi -
thalassemia. Pendekatan terapi gen telah dirancang dengan target ekspresi berlebih
hepcidin dan menghambat DMT-1, ferroportin, dan gen HFE menggunakan stem
cell duodenal dan menunjukkan penurunan dari akumulasi zat besi pada HH.
Walaupun pendekatan terapi gen ini menjanjikan, teknik ini memiliki angka
morbiditas dan mortalitas yang relatif tinggi dan berbagai studi masih diperlukan
untuk mempelajari lebih jauh keuntungan dan keamanan terapi ini sebelum diterima
secara luas sebagai penatalaksanaan IOC (7).

Prognosis
IOC merupakan suatu keadaan yang berpotensial menyebabkan kematian,
namun merupakan keadaan yang dapat diatasi ketika didiagnosa dan diterapi
sesegera mungkin. Pasien dengan hematokromatosis primer mengalami deposisi
zat besi terutama di hati dan cenderung berkembang menjadi hepatoma, sedangkan
pada pasien dengan hematokromatosis sekunder lebih sering mengalami
komplikasi jantung, termasuk diantaranya gagal jantung, dan aritmia. Secara umum
jika onset gagal jantung telah muncul, waktu bertahan hidup pasien biasanya kurang
dari 3 bulan jika tidak diterapi. Pemberian terapi kelasi secara rutin dapat
memperbaiki kondisi pasien dengan keadaan ini. Namun, jika sudah terjadi
gangguan fungsi sistolik jantung, angka kesintasan pasien akan terancam dan
menjadi sangat terbatas. Mengingat teknik diagnostik untuk mendeteksi kandungan
18

zat besi langsung pada jantung masih sangat terbatas maka teknik untuk
memprediksi prognosis pasien pun terbatas (5,7).

Ringkasan
IOC adalah merupakan kardiomiopati sekunder yang terjadi akibat
akumulasi zat besi di otot jantung yang terutama disebabkan secara primer oleh
kelainan genetik metabolisme zat besi dan secara sekunder akibat transfusi sel darah
merah multipel. Angka kejadian IOC telah meningkat secara signifikan di seluruh
dunia dan merupakan penyebab utama kematian pada thalassemia yaitu sebesar
71% kasus. Pada stadium awal IOC, pasien biasanya tidak menimbulkan gejala.
Jika sudah terjadi disfungsi sistolik pada jantung maka akan meningkatkan resiko
terjadinya gagal jantung dengan presentasi klinis awal pasien biasanya adalah sesak
nafas akibat dari adanya disfungsi diastolik ventrikel kiri sekunder dari proses
restriktif (1,2,5,7).
Upaya menegakkan diagnosa suatu IOC, terutama pada stadium awal
tidaklah mudah mengingat deteksi kadar zat besi yang absolut pada jantung adalah
sulit untuk dilakukan sehingga menyulitkan untuk memberikan terapi konvensional
diawal dan memperbaiki prognosis. Beberapa pendekatan pemeriksaan penunjang
yang dapat dilakukan untuk mendiagnosis IOC diantaranya adalah pemeriksaan
serum besi, serum feritin, EKG, biopsi jantung, echocardiography, CT-scan, dan
MRI. MRI merupakan pemeriksaan non invasif yang terbaik untuk mengukur kadar
zat besi untuk kepentingan konfirmasi diagnosis, mengukur berat ringannya
penyakit, monitoring terapi dengan sensitivitas dan spesifikasi yang tinggi
(5,7,8,10).
Sampai saat ini terapi utama untuk keadaan iron overload berat adalah
phlebotomi dan terapi kelasi besi yang akan memfasilitasi pengeluaran kelebihan
besi pada tubuh. Terapi utama ini ditambah dengan manajemen diet serta
manajemen gagal jantung jika sudah disertai gejala-gejala gagal jantung. Beberapa
penemuan terapi terbaru untuk keadaan ini masih terus dipelajari dan
dikembangkan hingga saat ini diantaranya adalah penggunaan CCB, hepcidin, dan
terapi genetik. IOC merupakan suatu keadaan yang berpotensial menyebabkan
kematian, namun merupakan keadaan yang dapat diatasi ketika didiagnosa lebih
awal dan diterapi sesegera mungkin (1,5,7).
19

Daftar pustaka
1. Vazquez JA, Sobel JD. Candidiasis. In: Dismukes WE, Pappas PG, Sobel JD,
editors. Clinical Mycology. London: Oxford University Press; 2003. p. 143-
187.
2. Beutler E. Disorder of iron metabolism. In: Kaushansky K, Beutler E,
Seligshon U, Lichtman MA, Kipps TJ, Prchal JT, editors. Williams
Hematology 8th ed. New York: McGraw-Hill; 2010. p. 688-743.
3. Hoffbrand AV. Iron I: physiology and deficiency. In: Hoffbrand AV, Mehta
AB, editors. Haematology at a glance 4th ed. London: John Willey & Sons;
2014. p. 33-35.
4. Chattipakorn N, Kumfu S, Fucharoen S, Chattipakorn S. Calcium channels and
iron uptake into the heart. World J Cardiol 2011; 3(7): 215-218.
5. Oudit GY, Moe G. Iron overload cardiomyopathy associated with iron
overload conditions: incidence, pathophysiology, and treatment. Cardiology
rounds 2007; 7 (3): 1-6.
6. McDonagh T, Macdougall C. Iron therapy for the treatment of iron deficiency
in chronic heart failure: intravenous or oral? European Journal of Heart Failure
2015; 17: 248-262.
7. Gujja P, Rosing DR, Tripodi DJ, Shizukuda Y. Iron overload cardiomyopathy,
better understanding of an increasing disorder. J Am Coll Cardiol. 2010;
56(13): 1001–1012.
8. Lekawanvijit S, Chattipakorn N. Iron overload thalassemic cardiomyopathy:
iron status assessment and mechanisms of mechanical and electrical
disturbance due to iron toxicity. Can J Cardiol 2009; 25(4): 213-218.
9. Hoffbrand AV, Moss PA, Pettit JE. Iron overload. In: Hoffbrand’s essential
haematology 7th ed. London: Blackwell; 2016. p. 42-48.
10. Kremastinos DT, Farmakis D. Iron overload cardiomyopathy in clinical
practice. Circulation 2011; 124: 2253-2263.
11. Gatterman N. The treatment of secondary hemochromatosis. Dtsch Arztebl Int
2009; 106(30): 499-504.
12. Kayrak M, Acar K, Elvin E, Ozbek O, Abdulhalikov T, Sonmez O, Alibas H.
The association between myocardial iron load and ventricular repolarization
20

parameters in asymptomatic beta-thalassemia patients. Advances in


Hematology 2012; 10: 1-6.
13. Kremastinos DT, Farmakis D, Aessopos A, Hahalis G, Hamodraka E, Tsiapras
D et al. -Thalassemia cardiomyopathy history, present considerations, and
future perspective. Circ Heart Fail 2010; 3: 451-458.
14. Stone JR, Diagnostic biopsies of the native heart. Surgical pathology clinics
2012; 5(2): 401-416.
15. Vogela M, Anderson LJ, Holdena S, Deanfielda JE, Pennell, Walker JM.
Tissue doppler echocardiography in patients with thalassaemia detects early
myocardial dysfunction related to myocardial iron overload. European Heart
Journal 2003; 24: 113–119.
16. Andrade MQ, Blasbalg R, Ortega CD, Rodstein MA, Baroni RH. Rocha MS,
et al. MR imaging findings of iron overload. RadioGraphics 2009; 29: 1575–
1589.
17. Hanlon R, Pennell DJ, Menger JS, Wabmuth R. Differentiation of
cardiomyopathies by use of CMR. Clinical Cardiovascular MRI. 2007; (2): 22-
33.
18. Fischer R, Harmatz PR. Non-invasive assessment of tissue iron overload.
Hematology 2009; 1: 215-221.
19. Ptaszek LM, Price ET, Hu MY, Yang PC. Early diagnosis of hemocromatosis-
related cardiomyopathy with magnetic resonance imaging. Journal of
cardiovascular Magnetic Resonance 2005; 7: 689-692.
20. Seldrum S, Pierard S, Moniotte S, Vermeylen C, Vancraeynest D, Pasquet A,
et al. Iron overload in polytransfused patients without heart failure is associated
with subclinical alterations of systolic left ventricular function using
cardiovascular magnetic resonance tagging. Journal of Cardiovascular
Magnetic Resonance 2011; 13(23): 1-9.
21. Alpendurda F, Smith GC, Carpenter CP, Nair SV, Tanner MA, Banya W, et al.
Effect of combine deferiprone with deferoxamine on right ventricular function
in thalassemia major. Journal of Cardiovascular Magnetic Resonance 2012;
14(8): 1-10.

Anda mungkin juga menyukai