ESOPHAGEAL CANDIDIASIS
Pendahuluan
1
2
interaksi antara faktor virulensi dan faktor antifungi, kolonisasi bisa terjadi
sementara atau persisten dan kelainan lokal bisa terjadi (vasquez 2010).
Dari beberapa jamur patogenik, Candida merupakan genus dominan yang
menyebabkan penyakit pada manusia. Candida albicans merupakan spesies dengan
prevalensi tertinggi diantara isolasi jamur dan merupakan patogen jamur
oportunistik utama pada hewan berdarah hangat (vazquez 2010). Beberapa faktor
host lokal dan sistemik serta faktor eksogen meningkatkan prevalensi Candida pada
traktus gastrointesinal (GI). Keparahan dari infeksi candida meningkat dengan
peningkatan keparahan faktor predisposis. Respon sel T CD4+ merupakan
mekanisme pertahanan mukosa GI yang normal melawan Candida spp. dan
umumnya terjadi pada kejadian oropharyngeal candidiasis (OPC) dan esophageal
candidiasis (EC) dengan jumlah CD4 yang rendah (Villar 2008). Mekanisme
proteksi anti-Candida masih belum sepenuhnya dimengerti. Akhir akhir ini peneliti
telah mendemonstrasikan sitokin khususnya IFN-γ, bisa menghambat transformasi
blastoconidia Candida ke fase hifa yang lebih invasif. Fidel dkk telah
mendemonstrasikan penurunan E-cadherin dan penurunan sel T CD4+ pada
mukosa dikaitkan dengan episode OPC akut (Klein 90).
Esophagus merupakan tempat yang paling banyak kedua sebagai tempat
infeksi jamur setelah oropharynx. Prevalensi esophageal candidiasis meningkat
sejalan dengan keterkaitan dengan pasien dengan infeksi HIV. Sekitar 10-15% dari
pasien dengan individu dengan infeksi HIV juga mengalami kejadian esophageal
candidiasis (vazqueze 2010). Candida albicans tetap merupakan organisme utama
yang diidentifikasi pada esophageal candidiasis. Esophageal candidiasis pada
pasien HIV bisa merupakan manifestasi pertama dari AIDS. Tingginya prevalensi
esophageal candidiasis mengindikasikan peran kritis dari cell-mediated immunity
yang normalnya melindungi esophagus dari invasi candida. Esophageal candidiasis
cenderung terjadi pada fase lanjutan perjalanan ilmiah infeksi HIV dan kebanyakan
bervariasi pada jumlah sel T CD4+ yang rendah (vazquez 2003).
Kejadian yang tidak biasa terjadi pada pasien dengan AIDS fase lanjut dan
mendekati fase akhir kehidupan menderita esophageal candidiasis berat yang
dimanifestasikan dengan ketidakmampuan dalam asupan makanan.
3
Etiologi
Jamur candida normalnya terdapat pada permukaan kulit dan dalam tubuh. Dan
sistem kekebalan tubuh meregulasi antara bakteri dan mikroba yang
menguntungkan dalam tubuh. Kadang kadang perubahan keseimbangan antara
Candida dan bakteria ini menyebabkan pertumbuhan jamur dan perkembangan
infeksi.
Faktor risiko
Pasien dengan imunokompromais mempunyai risiko yang tinggi mendapatkan
infeksi candida. Antara lain pasien dengan HIV AIDS, kanker, pasien geriatri.
Menurut CDC 20% pasien dengan kanker berkembang menjadi esofageal
candidiasis. Pasien dengan diabetes menjadi salah satu faktor risiko khususnya bila
kadar gula darah tidak terkontrol dengan baik. Faktor lain yang bisa juga
meningkatkan risiko perkembangan esofagela candidiasis antara lain merokok,
penggunaan antibiotika berlebihan dan penyakit kronis.
Diagnosis
Esophageal candidiasis umumnya menyebabkan disfagia, odinofagia dan
nyeri restrosternal. Eskipun kejadian ini merupakan perkembangan dari oral
candidiasis, sekitar 10% kasus terjadi hanya pada esophagus dengan tempat yang
paling sering di 2/3 distal dibandingkan 1/3 proksimal. Suatu bentuk yang jarang
dari esophageal candidiasis yaitu tidak adanya gejala klinis tetapi pada pemeriksaan
terdapat keterlibatan yang luas pada esophagus (gambar 1) (darouiche 1998).
Diagnosis yang baik bisa dibuat dengan visualisasi langsung pada
esophagus dengan bukti histologi adanya invasi candida pada pemeriksaan biopsi.
Tetapi kriteria klinis bisa dipakai sebagai dasar pemberian antifungi pada kasus
dengan pasien risiko tinggi. Diagnosis banding esophageal candidiasis termasuk
gastroesophageal reflux disease, ulkus HIV idiopatik dan esophagitis viral
(cdc2009).
4
Terapi
Berbagai agen antifungi bisa menjadi pilihan untuk pengobatan EC pada
pasien dengan infeksi HIV. Pada psien dengan infeksi HIV, pengobatan antifungi
efikasinya lebih rendah dibandingkan dengan pasien yang menderita
imunodefisisnesi lainnya seperti pada kanker. Begitu pula dengan waktu untuk
mencapai respon klinisnya juga cenderung tertunda dan angak kekambuhannya
juga tinggi pada populasi ini (glatt 1988).
Penting diketahui bahwa patogen oportunistik pada populasi HIV AIDS,
pengobatan antifungi menurunkan tanda dan gejala infeksi dan menghasilkan
respon klinis transien dengan menurunkan kuantitas organisme pada area yang
terpengaruh. Sangat sulit untuk mengeradikasi secara penuh Candida dari
permukaan mukosa pada psien yang imunokompromais (glat 88).
Kelas agen yang digunakan untuk pengobatan candidiasis termasuk
golongan polyenes (seperti amfoterisin B dan nystatin), inhibitor sentesis
pyrimidine (flucytosine), azole (miconazole, clotrimazole, ketoconazole,
itraconazole, fluconazole, voriconazole dan posaconazole) dan golongan
echinocandin (caspofungin, micafungin dan anidulafungin). Dosis regimen agen ini
dapat dilihat pada tabel 3.
5
Definisi
Istilah IOC telah
9,11).
Patofisiologi
Secara umum,
).
Diagnosis
Diagnosis esophageal candidiasis berdasarkan pemeriksaan endoskopi
terhadap tipe lesi mukosa dan pemeriksaan histopatologi.
Pemeriksaan penunjang
Menegakkan diagnosa suatu IOC, 5).
Penanda biokimia
Pemeriksaan kadar serum zat besi adalah salah satu pemeriksaan yang
sering dilakukan, namun nilai pemeriksaan ini tidak dapat sepenuhnya diandalkan
untuk diagnostik, mengingat pemeriksaan ini tergantung pada status gizi, kadar
protein pengangkut, riwayat kehilangan darah sebelumnya, dan yang lainnya. Nilai
pemeriksaan ini menggambarkan kadar zat besi yang aktif di darah untuk
8
Elektrokardiogram
Pemeriksaan rekam jantung dapat berguna dalam keadaan dimana sudah
terjadi gangguan irama jantung (aritmia). Pasien dengan gejala aritmia memiliki
angka mortalitas yang tinggi. Penemuan pada rekaman EKG, termasuk holter
monitoring 24 jam pada stadium awal dapat membantu meningkatkan kewaspadaan
pengawasan dalam keadaan ini, namun hal ini bukanlah sebagai penanda spesifik
suatu IOC. Salah satu parameter EKG, dispersi gelombang QT, dikatakan sebagai
parameter yang relevan untuk deposisi zat besi dan durasi aksi potensial jantung.
Kuryshev dkk menemukan bahwa sebanyak 14 orang dari 24 pasien thalassemia
dengan iron overload memiliki peningkatan dispersi gelombang QT (lebih dari 60
milisecond) (8).
Biopsi jaringan
Biopsi jaringan merupakan salah satu baku emas untuk mendiagnosis suatu
iron overload. Teknik pemeriksaan ini telah berhasil dilakukan pada jaringan hati
dengan iron overload, dan sudah digunakan juga untuk jantung pada beberapa
keadaan. Namun deposisi zat besi di jantung cenderung pada suatu area yang kecil
dan terisolasi, dimana yang tersering biasanya pada epikardium sehingga tindakan
9
biopsi ini sulit dilakukan dan dapat meleset dari area deposisi yang mengakibatkan
hasil negatif palsu. Pada spesimen biopsi otot jantung, derajat dan distribusi dari
penyimpanan zat besi dikenal dengan hemosiderin, yang terbaik diperiksa dengan
menggunakan pengecatan pearl dan prussian (1,8).
Echocardiography
Echocardiography merupakan salah satu teknik pemeriksaan non invasif
untuk menilai fungsi ventrikel kiri jantung. Pada keadaan iron overload,
pemeriksaan echocardiography biasanya menunjukkan suatu dilatasi biventrikular,
dan kardiomiopati restriktif progrefif akibat kerusakan otot jantung. Disfungsi
diastolik ventrikel dapat ditemukan diawal sebelum terjadinya disfungsi sistolik
dengan menggunakan Tissue Doppler Echocardiography (TDE). Pada pasien
10
dengan iron overload ukuran sistolik jantung dengan TDE didapatkan menurun
pada ventrikel kiri dan ventrikel kanan. Vogel dkk melaporkan penurunan puncak
sistolik dan diastolik pada gelombang pengisian awal TDE sering ditemukan pada
pasien dengan -thalassemia yang telah terbukti mengalami ironoverload pada
pemeriksaan MRI jantung. Penurunan puncak sistolik dan diastolik ini lebih
prominen pada septum ventrikel kiri dibandingkan dinding lateral bebas (7,15).
Pemeriksaan dengan echocardiography standar biasanya memberikan
penemuan yang positif pada stadium akhir. Beberapa studi menyatakan bahwa
dobutamin dosis rendah stress echocardiography dapat berguna untuk deteksi awal
disfungsi jantung pada pasien dengan resiko hemosiderosis jantung. Dobutamine
stress echocardiography dan angiografi nuklir telah digunakan untuk mendeteksi
abnormalitas gerakan otot jantung dinding regional pada stadium awal pasien
dengan thalassemia. Leon dkk melakukan angiografi radionuklir pada pasien
dengan iron overload akibat transfusi dan menemukan ejeksi fraksi saat istirahat
adalah normal pada 21 pasien dari 24 pasien sedangkan ejeksi fraksi saat
beraktivitas abnormal pada 13 pasien. Dari pemeriksaan angiografi radionuklir
ditemukan bahwa disfungsi diastolik muncul sangat awal pada populasi dengan
resiko, sedangkan disfungsi sistolik berkembang hanya pada stadium akhir penyakit
(7).
mengukur kadar zat besi untuk kepentingan konfirmasi diagnosis, mengukur berat-
ringannya penyakit, monitoring terapi dengan sensitivitas dan spesifikasi yang
tinggi (16,17).
Beberapa studi menunjukkan beberapa metode MRI dapat digunakan untuk
menghitung deposisi zat besi pada beberapa jaringan, seperti di jaringan hati dan
jantung. MRI menghasilkan gambar dari transmisi sinyal gelombang yang
diinduksi oleh proton tubuh pada daerah tinggi magnetik. Pada jantung normal,
sinyal ini homogen dan waktu relaksasi (waktu bagi sinyal yang ada untuk
menghilang) berlangsung dengan durasi yang lebih lama, sedangkan pada jantung
dengan iron overload, akumulasi ion besi pada jaringan yang bersifat
superparamagnetik akan menyebabkan distorsi lapangan magnet dan relaksasi
putarannya sehingga menghasilkan pemendekan waktu relaksasi longitudinal (T1)
dari putaran, yang mana mengakibatkan pemendekan waktu relaksasi transverse
yang dipengaruhi oleh inhomogenitas lapangan magnet (T2*) sehingga
menggelapkan gambar jauh lebih cepat (7,16,18).
CMR memberikan pengukuran akurat ejeksi fraksi sistolik ventrikel kiri,
volume, dan massa jantung. Korelasi penurunan ejeksi fraksi ventrikel kiri dengan
kandungan zat besi yang lebih tinggi pada otot jantung diukur dengan menggunakan
teknik T2* yang merupakan teknik yang telah digunakan secara luas pada
pengkajian klinis keseluruhan kandungan zat besi pada IOC. Secara umum metode
T2* ini sensitif dan spesifik untuk mengukur deposisi zat besi. Nilai T2* jantung
normal adalah T2* > 20 milisecond (ms) (angka median untuk populasi normal
adalah 40 ms), iron overload jantung moderate apabila didapatkan T2* 10–20 ms,
dan iron overload berat adalah jika nilai T2* jantung < 10 ms. Beberapa penelitian
mendapatkan ejeksi fraksi ventrikel kiri yang signifikan, terjadi penebalan ventrikel
kiri pada keadaan iron overload berat (T2*< 10 ms) dibandingkan dengan
kelompok kontrol dan pasien dengan T2* > 20 ms (17,20).
Pada pasien dengan iron overload moderate didapatkan ejeksi fraksi
normal, namun rotation twist ventrikel kiri sudah mengalami penurunan bermakna
dibandingkan dengan kelompok kontrol. Dari semua parameter, rotational twist
ventrikel kiri adalah yang paling awal terkena dampak dan memiliki korelasi erat
dengan beratnya iron overload pada jantung dan merupakan penanda awal
12
disfungsi sistolik ventrikel kiri pada pasien dengan iron overload. Pada studi
prospektif didapatkan insiden terjadinya gagal jantung pada pasien dengan T2* < 6
ms dibandingkan pasien dengan T2* > 10 ms. Aritmia biasanya muncul seiring
dengan semakin luasnya distribusi T2* jantung. Pemeriksaan ini juga dapat
digunakan untuk memonitor keberhasilan terapi kelasi pada kondisi iron overload
(17,20).
Penatalaksanaan
Keadaan iron overload pada jantung adalah merupakan suatu proses kumulatif,
dimana diagnosis dan terapi awal harus menjadi tujuan terapi utama untuk
mencegah terjadinya kegagalan berbagai organ tubuh (5).
Plebotomi
Plebotomi merupakan standar emas terapi pasien dengan HH. Tindakan ini dapat
menyebabkan terjadinya anemia iatrogenik akibat pemindahan sekitar 400– 00 cc
darah (200-250 mg zat besi) pada setiap sesinya sehingga akan memindahkan zat
besi dari organ tempat penyimpananannya untuk memproduksi hemoglobin. Pada
fase awal penyakit, prosedur ini dapat dilakukan sebanyak satu atau dua kali
seminggu untuk mendapatkan target ferritin dibawah 20 ng/ml. Setelah kadar feritin
terapeutik tercapai, frekuensi plebotomi tergantung pada pengamatan secara
periodik serum besi dan kadar feritin dengan pengunaan interval plebotomi secara
berkala. Tindakan ini cocok diterapkan pada pasien dengan hemokromatosis primer
ketika serum feritin mencapai 1000 ng/miligram atau jika muncul gejala menetap
fase induksi dengan pengeluaran mingguan satu sampai dua unit darah untuk
mengurangi serum ferritin 50 ng/ml dan saturasi transferin 30% diikuti dengan fase
pengaturan jangka panjang sampai serum ferritin 100 ng/ml dan saturasi transferrin
50% (7,10).
Diabestani dkk dari UCLA mempelajari 10 pasien dengan hemokromatosis
primer, dimana dua diantaranya mengalami disfungsi sistolik ventrikel kiri dan
sebanyak 3 orang dengan fungsi ventrikel normal. Setelah mendapatkan plebotomi,
lima pasien dengan abnormalitas ventrikel sebelumnya mengalami perbaikan.
Monitoring rutin kadar hemoglobin, ferritin, dan hematokrit sangat penting dalam
13
massa ventrikel kiri. Sayangnya terapi ini membutuhkan biaya yang tinggi,
bioavaibilitas yang buruk, dan memerlukan pemberian berulang (7).
Deferiprone adalah agen kelasi aktif oral yang bersifat hidrofilik dan lipofilik
sehingga mampu masuk kedalam sel otot jantung. Beberapa studi menunjukkan
agen ini lebih superior dibandingkan deferoxamine dalam mengeluarkan zat besi
dari otot jantung sehingga meningkatkan perbaikan fungsi jantung. Absorpsi agen
ini dimulai di lambung dan mencapai puncaknya dalam waktu 2 jam dari pemberian
setelah dimetabolisme di hati (7,21).
Mengingat perbedaan deferoxamine dan deferiprone dalam hal cara masuk
menuju tempat zat besi, penggunaan kombinasi kedua agen ini memliki efek
sinergis dalam mengeluarkan kelebihan zat besi. Studi terbaru membandingkan
kombinasi terapi deferoxamine subkutaneus dan oral deferiprone dengan
monoterapi deferoxamine menunjukkan bahwa kombinasi terapi lebih superior
dalam mengelurkan zat besi jantung dan meningkatkan perbaikan ejeksi fraksi
ventrikel kiri pada pasien dengan iron overload berat. Studi observasional dan
prospektif telah membuktikan efektivitas terapi kombinasi untuk mengeluarkan
kelebihan zat besi pada hati maupun jantung, memperbaiki fungsi endotel dan
ventrikel kiri, dan juga fungsi endokrin (5,21).
Deferasirox adalah agen chelation oral tridentate lipofilik yang selektif mengikat
zat besi dalam ratio 2:1 dan memindahkan zat besi dari tempat penyimpanannya.
Keuntungan penggunaan agen ini telah ditunjukkan pada pasien thalassemia,
penyakit sickle cell, gangguan myopoliferatif dan anemia diamond-blackfan.
Namun data yang mendukung keamanan dan efisifikasi terapi deferasirox jangka
panjang lebih dari 1 tahun untuk tatalaksana IOC masih sangat kurang. Deferasirox
merupakan agen kelasi pilihan pada pasien MDS dengan ketergantungan transfusi
karena skema pemberiannya yang mudah yaitu melalui oral dengan frekuensi satu
kali sehari (7,10).
Pada pasien dengan thalassemia mayor, terapi kelasi biasanya dimulai pada dua
atau tiga tahun setelah pemberian transfusi. Skema dosis yang dipakai bergantung
kepada gejala yang mucul dan beratnya siderosis jantung dan liver. Sedangkan pada
pasien dengan ketergantungan transfusi darah akibat MDS ataupun kelainan
hematologi yang didapat lainnya biasanya diberikan terapi kelasi setelah 10 sampai
15
20 transfusi untuk mencegah akumulasi zat besi pada jaringan secara signifikan
(10).
Prognosis
IOC merupakan suatu keadaan yang berpotensial menyebabkan kematian,
namun merupakan keadaan yang dapat diatasi ketika didiagnosa dan diterapi
sesegera mungkin. Pasien dengan hematokromatosis primer mengalami deposisi
zat besi terutama di hati dan cenderung berkembang menjadi hepatoma, sedangkan
pada pasien dengan hematokromatosis sekunder lebih sering mengalami
komplikasi jantung, termasuk diantaranya gagal jantung, dan aritmia. Secara umum
jika onset gagal jantung telah muncul, waktu bertahan hidup pasien biasanya kurang
dari 3 bulan jika tidak diterapi. Pemberian terapi kelasi secara rutin dapat
memperbaiki kondisi pasien dengan keadaan ini. Namun, jika sudah terjadi
gangguan fungsi sistolik jantung, angka kesintasan pasien akan terancam dan
menjadi sangat terbatas. Mengingat teknik diagnostik untuk mendeteksi kandungan
18
zat besi langsung pada jantung masih sangat terbatas maka teknik untuk
memprediksi prognosis pasien pun terbatas (5,7).
Ringkasan
IOC adalah merupakan kardiomiopati sekunder yang terjadi akibat
akumulasi zat besi di otot jantung yang terutama disebabkan secara primer oleh
kelainan genetik metabolisme zat besi dan secara sekunder akibat transfusi sel darah
merah multipel. Angka kejadian IOC telah meningkat secara signifikan di seluruh
dunia dan merupakan penyebab utama kematian pada thalassemia yaitu sebesar
71% kasus. Pada stadium awal IOC, pasien biasanya tidak menimbulkan gejala.
Jika sudah terjadi disfungsi sistolik pada jantung maka akan meningkatkan resiko
terjadinya gagal jantung dengan presentasi klinis awal pasien biasanya adalah sesak
nafas akibat dari adanya disfungsi diastolik ventrikel kiri sekunder dari proses
restriktif (1,2,5,7).
Upaya menegakkan diagnosa suatu IOC, terutama pada stadium awal
tidaklah mudah mengingat deteksi kadar zat besi yang absolut pada jantung adalah
sulit untuk dilakukan sehingga menyulitkan untuk memberikan terapi konvensional
diawal dan memperbaiki prognosis. Beberapa pendekatan pemeriksaan penunjang
yang dapat dilakukan untuk mendiagnosis IOC diantaranya adalah pemeriksaan
serum besi, serum feritin, EKG, biopsi jantung, echocardiography, CT-scan, dan
MRI. MRI merupakan pemeriksaan non invasif yang terbaik untuk mengukur kadar
zat besi untuk kepentingan konfirmasi diagnosis, mengukur berat ringannya
penyakit, monitoring terapi dengan sensitivitas dan spesifikasi yang tinggi
(5,7,8,10).
Sampai saat ini terapi utama untuk keadaan iron overload berat adalah
phlebotomi dan terapi kelasi besi yang akan memfasilitasi pengeluaran kelebihan
besi pada tubuh. Terapi utama ini ditambah dengan manajemen diet serta
manajemen gagal jantung jika sudah disertai gejala-gejala gagal jantung. Beberapa
penemuan terapi terbaru untuk keadaan ini masih terus dipelajari dan
dikembangkan hingga saat ini diantaranya adalah penggunaan CCB, hepcidin, dan
terapi genetik. IOC merupakan suatu keadaan yang berpotensial menyebabkan
kematian, namun merupakan keadaan yang dapat diatasi ketika didiagnosa lebih
awal dan diterapi sesegera mungkin (1,5,7).
19
Daftar pustaka
1. Vazquez JA, Sobel JD. Candidiasis. In: Dismukes WE, Pappas PG, Sobel JD,
editors. Clinical Mycology. London: Oxford University Press; 2003. p. 143-
187.
2. Beutler E. Disorder of iron metabolism. In: Kaushansky K, Beutler E,
Seligshon U, Lichtman MA, Kipps TJ, Prchal JT, editors. Williams
Hematology 8th ed. New York: McGraw-Hill; 2010. p. 688-743.
3. Hoffbrand AV. Iron I: physiology and deficiency. In: Hoffbrand AV, Mehta
AB, editors. Haematology at a glance 4th ed. London: John Willey & Sons;
2014. p. 33-35.
4. Chattipakorn N, Kumfu S, Fucharoen S, Chattipakorn S. Calcium channels and
iron uptake into the heart. World J Cardiol 2011; 3(7): 215-218.
5. Oudit GY, Moe G. Iron overload cardiomyopathy associated with iron
overload conditions: incidence, pathophysiology, and treatment. Cardiology
rounds 2007; 7 (3): 1-6.
6. McDonagh T, Macdougall C. Iron therapy for the treatment of iron deficiency
in chronic heart failure: intravenous or oral? European Journal of Heart Failure
2015; 17: 248-262.
7. Gujja P, Rosing DR, Tripodi DJ, Shizukuda Y. Iron overload cardiomyopathy,
better understanding of an increasing disorder. J Am Coll Cardiol. 2010;
56(13): 1001–1012.
8. Lekawanvijit S, Chattipakorn N. Iron overload thalassemic cardiomyopathy:
iron status assessment and mechanisms of mechanical and electrical
disturbance due to iron toxicity. Can J Cardiol 2009; 25(4): 213-218.
9. Hoffbrand AV, Moss PA, Pettit JE. Iron overload. In: Hoffbrand’s essential
haematology 7th ed. London: Blackwell; 2016. p. 42-48.
10. Kremastinos DT, Farmakis D. Iron overload cardiomyopathy in clinical
practice. Circulation 2011; 124: 2253-2263.
11. Gatterman N. The treatment of secondary hemochromatosis. Dtsch Arztebl Int
2009; 106(30): 499-504.
12. Kayrak M, Acar K, Elvin E, Ozbek O, Abdulhalikov T, Sonmez O, Alibas H.
The association between myocardial iron load and ventricular repolarization
20