Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Tanah dalam pengertian yuridis adalah permukaan bumi, hak atas tanah

adalah hak atas sebagian tertentu dari permukaan bumi, yang terbatas, berdimensi

dua dengan ukuran panjang dan lebar.1 Permasalahan tanah yang mendasar dan

sering terjadi di masyarakat disebabkan oleh tidak dimilikinya alat bukti

kepemilikan hak atas tanah yang sah, yang dikarenakan kurangnya kesadaran dan

pengetahuan masyarakat tentang pentingnya memiliki bukti hukum atas suatu

kepemilikan tanah. Berdasarkan peraturan perundang - perundangan yang berlaku

serta dalam rangka usaha menjamin kepastian hukum dan hak-hak atas tanah bagi

masyarakat, semua tanah-tanah yang berada di wilayah Indonesia harus terdaftar.

Hal ini untuk menjamin kepastian hukum atas tanah di samping juga memberikan

perlindungan hukum kepada pemilik tanah yang bersangkutan. Hal ini diatur

sebagaimana telah ditetapkan dalam Pasal 19 Ayat (1) UUPA tentang Pendaftaran

Tanah yang menyatakan bahwa (Aartje Tehupeiory. 2012) : “Untuk menjamin

kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah

Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan

1
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok
Agraria, Isi dan Pelaksanaannya. Jakarta: Djambatan, 2008. Hlm. 18.

1
2

Pemerintah”. Dari bunyi pasal tersebut jelas sekali bahwa tujuan diadakan

pendaftaran tanah oleh pemerintah adalah untuk menjamin kepastian hukum.2

Berdasarkan Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang

Pendaftaran Tanah dijelaskan bahwa tujuan dari pendaftaran tanah adalah sebagai

berikut:

1. Untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada

pemegang hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-hak lain

yang terdaftar agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai

pemegang hak yang bersangkutan;

2. Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan

termasuk Pemerintah agar dengan mudah dapat memperoleh data yang

diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang

tanah dan satuan-satuan rumah susun yang sudah terdaftar, untuk

terselenggaranya tertib administrasi pertanahan.3

Negara merupakan penguasa tertinggi, negara dapat menguasai untuk

mengatur penggunaan tanah kepada seseorang atau Badan Hukum dengan suatu

hak menurut kepentingan dan peruntukkannya. Misalnya Hak Milik, Hak Guna

Bangunan, Hak Guna Usaha, Hak Pakai, dan lain-lain. Dengan adanya wewenang

negara dalam menguasai tanah dimaksudkan agar tanah dapat digunakan untuk

2
Aartje Tehupeiory, Pentingnya Pendaftaran Tanah di Indonesia. Jakarta: Raih Asa Sukses
(Penebar Swadaya Grup, 2012. Hlm. 11.
3
Adrian Sutedi, S.H.,M.H., Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya. Jakarta: Sinar
Grafika, 2008. Hlm. 202.
3

mencapai kemakmuran yang sebenar-benarnya, hak-hak atas tanah yang diberikan

oleh negara dapat dialihkan atau beralih serta dapat ditingkatkan.

Obyek pendaftaran tanah pada Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997

Pasal 9 Ayat (1) meliputi: Bidang-bidang tanah yang dipunyai dengan hak milik,

hak guna usaha, hak guna bangunan dan hak pakai; Tanah Hak Pengelolaan;

Tanah Wakaf; Hak Milik atas satuan rumah susun; Hak Tanggungan; Tanah

Negara.4 Tanah Hak Milik dapat dialihkan menjadi Tanah Wakaf. Wakaf

merupakan suatu perbuatan hukum seseorang atau badan hukum yang

memisahkan sebagian dari harta kekayaannya yang berupa tanah milik dan

melembagakannya untuk selama-lamanya untuk kepentingan peribadatan atau

kepentingan umum lainnya sesuai dengan ajaran agama Islam (Peraturan

Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 Pasal 1 Ayat 1).5

Tanah Wakaf adalah tanah yang digunakan sebagai tempat peribadatan seperti

masjid, mushola, sekolah, dan panti asuhan. Biasanya tanah wakaf lebih banyak

digunakan sebagai tempat peribadatan khususnya bagi umat Islam. Karena

dikelola secara bersama maka tanah wakaf rentan akan masalah perebutan tanah

antara wakif (pihak yang mewakafkan harta bendanya) dan nazhir (pihak yang

menerima harta benda dari wakif). Praktek perwakafan di Indonesia hampir

seluruhnya dilaksanakan menurut agama Islam dan tradisi masyarakat masing-

masing atau dengan kata lain belum menggunakan prosedur atau peraturan yang

4
Adrian Sutedi, S.H.,M.H., Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya. Jakarta: Sinar
Grafika, 2008. Hlm. 221.
5
Adrian Sutedi, S.H.,M.H., Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya. Jakarta: Sinar
Grafika, 2008. Hlm. 105.
4

telah diatur oleh pemerintah yaitu dengan mensertifikatkan tanah wakaf tersebut.

Pendaftaran tanah diadakan bertujuan untuk melindungi pendaftaran tanah dari

pewakif, ahli waris, maupun lembaga yang diberi serta melindungi

keberlangsungan benda wakaf itu sendiri. Hal ini terbukti dengan adanya upaya

pensertifikatan tanah wakaf yang dilakukan di Kabupaten Semarang pada Tahun

2017 yang berjumlah 25 bidang tanah yang telah bersertipikat sebagai tanah

wakaf. Selain sebagai alat pembuktian yang kuat, sertipikat juga memberikan

kepastian hukum yang tidak bisa diganggu gugat, sehingga masyarakat tidak perlu

khawatir lagi jika sewaktu-waktu terjadi sengketa tanah wakaf.

Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik

menunjukkan keterlibatan Kantor Pertanahan dalam pendaftaran tanah hak milik.

Berdasarkan Pasal 36 Ayat (2) maka pemegang hak atas tanah berkewajiban

melaporkan perubahan data pada Kantor Pertanahan. Hal ini dapat diartikan

bahwa perwakafan tanah hak milik tidak hanya untuk memenuhi segala

persyaratan yang diatur dan ditentukan oleh ajaran Islam saja, namun juga harus

memenuhi segala persyaratan yang ditentukan oleh berbagai peraturan perundang-

undangan yang mengatur tentang perwakafan yang berlaku.

Sebagai upaya memenuhi kebutuhan masyarakat diperlukan sebuah pelayanan

yang bersifat umum misalnya upaya Kantor Pertanahan untuk memberikan

jaminan kepastian hukum mengenai tanah wakaf atas kepemilikan tanah dengan

penerbitan sertipikat tanah. Adanya pelayanan dari kantor pertanahan akan

memberikan kepuasan kepada masyarakat serta dapat menjadi tolak ukur dalam

keberhasilan dalam bidang pelayanan.


5

Berdasarkan uraian dari latar belakang di atas, maka penulis merasa tertarik

untuk melakukan penelitian mengenai tanah wakaf dengan mengangkat judul

Tugas Akhir “Prosedur Pelaksanaan Pendaftaran Hak Atas Tanah Wakaf di

Kantor Pertanahan Kabupaten Semarang”

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang, maka penulis merumuskan permasalahan

sebagai berikut :

1. Bagaimana prosedur pelaksanaan pendaftaran hak atas tanah karena wakaf di

Kantor Pertanahan Kabupaten Semarang?

2. Apa saja kendala-kendala yang dihadapi dalam melaksanakan pendaftaran

hak atas tanah karena wakaf di Kantor Pertanahan Kabupaten Semarang?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penulisan Tugas Akhir ini adalah:

1. Mengetahui prosedur pelaksanaan pendaftaran hak atas tanah karena wakaf

di Kantor Pertanahan Kabupaten Semarang

2. Mengetahui kendala-kendala yang dihadapi dalam melaksanakan

pendaftaran hak atas tanah karena wakaf di Kantor Pertanahan Kabupaten

Semarang

1.4 Manfaat Penelitian

Dari penelitian yang dilakukan penulis maka dapat diperoleh manfaat sebagai

berikut:
6

1. Manfaat secara umum

Dapat menambah ilmu pengetahuan mengenai Prosedur Pendaftaran Hak

Atas Tanah Wakaf di Kantor Pertanahan Kabupaten Semarang

2. Manfaat secara khusus

a. Bagi Penulis

Sebagai persyaratan untuk kelulusan Program Studi D-III Pertanahan

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Diponegoro Semarang

b. Bagi Masyarakat

Menambah wawasan dan pengetahuan kepada masyarakat luas dalam

bidang pertanahan khususnya mengenai prosedur pelaksanaan

pendaftaran hak atas tanah wakaf di Kantor Pertanahan Kabupaten

Semarang

c. Bagi Pemerintah

Sebagai masukan kepada Pemerintah Kabupaten Semarang mengenai

prosedur pelaksanaan pendaftaran hak atas tanah wakaf di Kantor

Pertanahan Kabupaten Semarang

1.5 Dasar Teori

Teori merupakan seperangkat proposisi yang menggambarkan suatu gejala

terjadi seperti ini. Untuk memudahkan penelitian diperlukan pedoman berfikir

yaitu kerangka teori. Sebelum melakukan penelitian yang lebih lanjut seorang

peneliti perlu menyusun suatu kerangka teori sebagai landasan berfikir untuk

menggambarkan dari sudut mana peneliti menyoroti masalah yang dipilih.6

6
Suyanto, 2005:34
7

1.5.1 Pengertian Tanah

Tanah menurut KBBI adalah permukaan bumi atau lapisan bumi yang diatas

sekali, keadaan bumi di suatu tempat, permukaan bumi yang diberi batas.7

Secara yuridis, pengertian tanah dijelaskan dalam pasal 4 ayat (1) UUPA

adalah dalam permukaan bumi, sedang hak atas tanah adalah hak atas tanah

sebagian tertentu permukaan bumi, yang berbatas, berdimensi dua dengan

ukuran panjang dan lebar.

Tanah diberikan kepada dan dipunyai oleh orang dengan hak-hak yang

disediakan oleh UUPA, adalah untuk digunakan atau dimanfaatkan.

Diberikannya dan dimilikinya tanah dengan hak-hak tersebut tidak akan

bermakna jika penggunaannya terbatas hanya pada tanah permukaan bumi saja.

Oleh karena itu dalam ayat (2) dinyatakan bahwa hak-hak atas tanah bukan

hanya memberikan wewenang untuk mempergunakan sebagian tertentu

permukaan bumi yang bersangkutan, yang disebut “tanah”, tetapi juga “tubuh

bumi yang ada dibawahnya dan air serta ruang yang ada diatasnya”. 8

Tubuh bumi dan air serta ruang yang dimaksudkan itu bukan kepunyaan

pemegang hak atas tanah yang bersangkutan. Ia hanya diperbolehkan

menggunakannya. Dan itu pun ada batasnya seperti yang dinyatakan dalam

Pasal 4 ayat (2) dengan kata-kata: “sekedar diperlukan untuk kepentingan yang

langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu,

7
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok
Agraria, Isi dan Pelaksanaannya. Jakarta: Djambatan, 2008. Hlm. 19.
8
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok
Agraria, Isi dan Pelaksanaannya. Jakarta: Djambatan, 2008. Hlm. 18.
8

dalam batas-batas menurut undang-undang ini (yaitu: UUPA) dan peraturan-

peraturan lain yang lebih tinggi”.9

Hak atas tanah yang berlaku di Indonesia saat ini merupakan salah satu hal

yang diatur dalam Hukum Agraria dan didasarkan pada keberadaan hukum

adat. Bahwa tanah merupakan asset yang sangat berharga dan penting pada saat

ini serta banyak permasalahan yang timbul dan bersumber dari hak atas tanah.

Cara untuk mengantisipasi dan mencegah permasalahan yang mungkin timbul,

maka pemilik hak atas tanah tersebut perlu mendaftarkan tanahnya ke Kantor

Pertanahan. Hak atas tanah suatu bidang tanah harus didaftarkan karena dengan

mendaftarkan hak atas tanah nya, maka kepemilikan atas suatu bidang tanah

tersebut berkekuatan hukum.

1.5.2 Pendaftaran tanah

1.5.2.1 Pengertian Pendaftaran Tanah

Menurut Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997,

Pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah

secara terus-menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan,

pengolahan, pembukuan dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data

yuridis, dalam bentuk peta dan daftar mengenai bidang-bidang tanah dan

satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian sertifikat sebagai surat tanda

9
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok
Agraria, Isi dan Pelaksanaannya. Jakarta: Djambatan, 2008. Hlm. 19.
9

bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan Hak Milik

Atas Satuan Rumah Susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya.10

Pendaftaran Tanah menurut Boedi Harsono adalah suatu rangkaian

kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah secara terus-menerus dan teratur,

berupa pengumpulan keterangan atau data tertentu mengenai tanah-tanah

tertentu, yang ada di wilayah-wilayah tertentu, pengolahan, penyimpanan,

dan penyajiannya bagi kepentingan rakyat, dalam rangka memberikan

jaminan kepastian hukum di bidang pertanahan termasuk penerbitan tanda

buktinya dan pemeliharaannya.11

Pendaftaran tanah diselenggarakan untuk menjamin kepastian hukum atas

tanah dan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dan pemerintah. Hal ini

merupakan kewajiban bagi pemegang hak yang bersangkutan untuk

melaksanakan pendaftaran tanah secara terus-menerus setiap ada peralihan

hak atas tanah dalam rangka menginventarisasi data-data yang berkenaan

dengan peralihan hak atas tanah tersebut menurut UUPA serta peraturan

pelaksanaannya yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 yang telah

disempurnakan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 guna

mendapatkan sertifikat tanah sebagai tanda bukti yang kuat.

Obyek Pendaftaran Tanah yang terdapat pada Peraturan Pemerintah

Nomor 24 Tahun 1997 Pasal 9 Ayat (1), meliputi:

a. Bidang-bidang tanah yang dipunyai dengan hak milik, hak guna usaha,

hak guna bangunan dan hak pakai;

10
Peraturan Pemerintah Pasal 1 ayat (1) Nomor 24 Tahun 1997
11
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok
Agraria, Isi dan Pelaksanaannya. Jakarta: Djambatan, 2008. Hlm. 72.
10

b. Tanah Hak Pengelolaan;

c. Tanah Wakaf;

d. Hak Milik atas satuan rumah susun;

e. Hak Tanggungan

f. Tanah Negara.12

1.5.2.2 Tujuan Pendaftaran Tanah

Kegiatan pendaftaran tanah mempunyai tujuan, yaitu untuk menjamin

kepastian hukum dan kepastian hak atas tanah. Hal ini dilakukan bagi

pemegang hak atas tanah, agar dengan mudah dapat membuktikan bahwa

dialah yang berhak atas suatu bidang tanah tertentu, melalui pemberian

Sertifikat Hak Atas Tanah.13

Selanjutnya, bagi pihak-pihak yang berkepentingan (calon pembeli/calon

kreditur) agar mereka dengan mudah memperoleh keterangan yang

diperlukan. Dengan dinyatakannya data fisik dan data yuridis yang disajikan

di Kantor Pertanahan yang berlaku terbuka bagi umum di mana keterangan

diberikan dalam dalam bentuk Surat Keterangan Pendaftaran Tanah

(SKPT)14

Kepastian hukum yang dimaksud dalam kegiatan pendaftaran di atas

antara lain:

12
Peraturan Pemerintah Pasal 9 Ayat (1) Nomor 24 Tahun 1997
13
Aartje Tehupeiory, Pentingnya Pendaftaran Tanah di Indonesia. Jakarta: Raih Asa Sukses
(Penebar Swadaya Grup, 2012. Hlm. 9.
14
Ibid
11

1. Kepastian hukum mengenai orang atau badan yang menjadi pemegang

hak (subjek hak)

2. Kepastian hukum mengenai lokasi, batas, serta luas suatu bidang tanah

hak (subjek hak); dan

3. Kepastian hukum mengenai haknya15

Dalam kegiatan penyelenggaraan pendaftaran tanah, ada beberapa syarat

penting untuk menjamin kepastian hukum, yaitu:

1. Peta-peta kadastral dapat dipakai rekonstuksi di lapangan dan

digambarkan batas yang sah menurut hak

2. Daftar ukur membuktikan pemegang terdaftar di dalamnya sebagai

pemegang hak yang susah menurut hukum dan

3. Setiap hak dan peralihannya harus didaftarkan16

Apabila ditinjau dari tujuannya, pendaftaran tanah ini dapat dikatakan

sebgagai Legal Cadastre atau Rechts Kadaster, yaitu pendaftaran tanah dalam

rangka menjamin kepastian hokum dan kepastian hak atas tanah.17

Hal ini diatur sebagaimana telah ditetapkan dalam Pasal 19 ayat (1) UUPA

tentang Pendaftaran Tanah yang menyatakan bahwa: “Untuk menjamin

kepastian hokum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh

15
Ibid, Hlm 10.
16
Aartje Tehupeiory, Pentingnya Pendaftaran Tanah di Indonesia. Jakarta: Raih Asa Sukses
(Penebar Swadaya Grup, 2012. Hlm. 10.
17
Aartje Tehupeiory, Pentingnya Pendaftaran Tanah di Indonesia. Jakarta: Raih Asa Sukses
(Penebar Swadaya Grup, 2012. Hlm. 11.
12

wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan

Peraturan Pemerintah.” 18

Dari bunyi pasal tersebut di atas, jelas sekali bahwa tujuan diadakan

pendaftaran oleh pemerintah adalah untuk menjamin kepastian hukum.

Kepastian hukum yang dijamin itu meliputi kepastian mengenai:

a. Letak, batas, dan luas tanah

b. Status tanah dan orang yang berhak atas tanah; dan

c. Pemberian surat berupa sertifikat.19

Untuk melaksanakan pendaftaran tanah dimaksud yang sifatnya secara

nasional, dengan mengingat keadaan negara dan masyarakat, serta keperluan

lalu lintas social ekonomis, telah dikeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 10

Tahun 1961 selanjutnya disebut PP tentang Pendaftaran Tanah (yang berlaku

selama 27 tahun). Pasal tersebut telah disempurnakan dengan Peraturan

Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 guna mendapatkan sertifikat tanah sebagai

tanda bukti yang kuat.20

1.5.2.3 Dasar Hukum Pendaftaran Tanah

Dasar hukum mengenai Pendaftaran Tanah tertuang dalam Pasal 19 ayat (1)

UUPA, Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 pengganti Peraturan

18
Aartje Tehupeiory, Pentingnya Pendaftaran Tanah di Indonesia. Jakarta: Raih Asa Sukses
(Penebar Swadaya Grup, 2012. Hlm. 11.
19
Aartje Tehupeiory, Pentingnya Pendaftaran Tanah di Indonesia. Jakarta: Raih Asa Sukses
(Penebar Swadaya Grup, 2012. Hlm. 11.
20
Aartje Tehupeiory, Pentingnya Pendaftaran Tanah di Indonesia. Jakarta: Raih Asa Sukses
(Penebar Swadaya Grup, 2012. Hlm. 12.
13

Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah; serta

Peraturan Kepala BPN Nomor 2 Tahun 1992.

Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 merupakan peraturan induk

untuk menyelenggarakan pendaftaran tanah sebagaimana dikehendaki oleh

Pasal 19 UUPA. Selain itu, dapat dijumpai peraturan lainnya sebagai

peraturan pelaksanaan pendaftaran tanah.

PP Nomor 10 Tahun 1961 secara resmi mulai berlaku dan dilaksanakan pada

tanggal 21 September 1961 di Pulau Jawa, Bali, dan Madura. Sementara itu,

untuk daerah-daerah lainnya diberlakukan dan dilaksanakan secara bertahap.

Dengan demikian, sekarang di seluruh Indonesia diberlakukan PP Nomor 10

Tahun 1961 yang kemudian disempurnakan menjadi PP Nomor 24 Tahun

1997.21

Dasar hukum yang mengatur mengenai pendaftaran tanah antara lain:

1. Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA) Pasal 19,

Pasal 23, Pasal 32, dan Pasal 38;

2. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah;

3. Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3

Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor

24 Tahun 1997;

4. Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan

Pejabat Pembuat Akta Tanah;

21
Aartje Tehupeiory, Pentingnya Pendaftaran Tanah di Indonesia. Jakarta: Raih Asa Sukses
(Penebar Swadaya Grup, 2012. Hlm. 12.
14

5. Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4

Tahun 1999 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor

37 Tahun 1998.22

1.5.3 Perwakafan Tanah

1.5.3.1 Pengertian Perwakafan Tanah

Perwakafan Tanah adalah perbuatan hukum suci, mulia dan terpuji yang

dilakukan oleh seseorang atau badan hokum dengan memisahkan sebagian

dari harta benda kekayaannya yang berupa tanah Hak Milik dan

melembagakannya untuk selama-lamanya mejadi “wakaf sosial”, yaitu wakaf

yang diperuntukkan bagi kepentingan peribadatan atau keperluan lainnya

sesuai dengan ajaran Islam. 23

UUPA memerintahkan pengaturan perwakafan tanah Hak Milik dengan

Peraturan Pemerintah karena pada waktu itu belum ada pengaturannya yang

tuntas dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Keadaan tersebut

memudahkan terjadinya penyimpangan dari hakikat dan tujuan wakaf. 24

Peraturan Pemerintah yang diperintahkan pembentukannya oleh UUPA

tersebut adalah Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang

Perwakafan Tanah Milik, yang sepanjang mengenai pendaftaran tanah-tanah

22
Aartje Tehupeiory, Pentingnya Pendaftaran Tanah di Indonesia. Jakarta: Raih Asa Sukses
(Penebar Swadaya Grup, 2012. Hlm. 13.
23
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok
Agraria, Isi dan Pelaksanaannya. Jakarta: Djambatan, 2008. Hlm. 345.
24
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok
Agraria, Isi dan Pelaksanaannya. Jakarta: Djambatan, 2008. Hlm. 345.
15

Hak Milik yang sudah diwakafkan, diatur pelaksanaannya dalam Peraturan

Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 1977. 25

Yang berhak untuk mewakafkan disebut dengan “wakif” yang umumnya

merupakan perorangan pemilik tanah yang bersangkutan, yang telah dewasa,

dan sehat akalnya, serta yang oleh hokum tidak terhalang untuk melakukan

perbuatan hokum. Bisa juga badan-badan hokum yang sudah ditunjuk sebagai

badan yang dapat mempunyai tanah dengan Hak Milik berdasarkan Peraturan

Pemerintah Nomor 38 Tahun 1963 tentang penunjukan badan-badan hukum

yang dapat mempunyai Hak Milik Atas Tanah, seperti badan-badan

keagamaan serta bank-bank yang didirikan oleh Negara (Pasal 1). Tidak

semua badan dapat menjadi wakif karena tanah yang diwakafkan harus

berstatus tanah Hak Milik. 26

Yang dapat menjadi pengurus wakaf yaitu “Nadzir”, bisa perorangan yang

memenuhi syarat, antara lain harus berkewarganegaraan Indonesia dan

beragama Islam. Bisa juga badan hukum Indonesia yang berkedudukan di

Indonesia dan mempunyai perwakilan di kecamatan tempat letak tanah yang

diwakafkan (Pasal 6). 27

Dalam Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977, Tanah Wakaf

yang dapat diwakafkan terbatas pada tanah yang berstatus Hak Milik, sebagai

25
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok
Agraria, Isi dan Pelaksanaannya. Jakarta: Djambatan, 2008. Hlm. 346.
26
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok
Agraria, Isi dan Pelaksanaannya. Jakarta: Djambatan, 2008. Hlm. 346.
27
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok
Agraria, Isi dan Pelaksanaannya. Jakarta: Djambatan, 2008. Hlm. 346.
16

hak atas tanah yang berbeda dengan hak-hak atas tanah lainnya, secara hakiki

tidak terbatas jangka waktu. Maka jika tanah yang diwakafkan bukan tanah

Hak Milik, tanah yang bersangkutan harus ditingkatkan statusnya lebih

dahulu menjadi Hak Milik. Tanah Hak Milik yang diwakafkan tersebut juga

harus bebas dari segala beban, jaminan, sita, dan sengketa. Tanah yang

mengandung pembebanan atau sedang dalam proses perkara atau sengketa,

tidak dapat diwakafkan sebelum masalah diselesaikan terlebih dahulu.28

1.5.3.2 Dasar Hukum Perwakafan Tanah

Dasar hukum perwakafan tanah antara lain sebagai berikut:

1. Pasal 49 ayat (3) Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 Tentang

Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.

2. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 Tentang Perwakafan

Tanah Milik.

3. Undang-Undang Nomor 41 tahun 2004 Tentang Perwakafan.

4. Surat keputusan bersama Menteri Agama dan Kepala Badan

Pertnahan Nasional Nomor 422 dan Nomor 3/SKB/2004, Tentang

Sertipkat Tanah Wakaf

5. Instruksi Menteri Agama Nomor 15 Tahun 1989 Tentang

Pembuatan Akta Ikrar Wakaf dan Pensertifikatan Tanah Wakaf

6. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2006

Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004

Tentang Wakaf

28
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok
Agraria, Isi dan Pelaksanaannya. Jakarta: Djambatan, 2008. Hlm. 346-347..
17

1.5.4 Unsur-Unsur Wakaf

Unsur-unsur wakaf berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 tahun 2004 yang

terdapat dalam pasal 6 adalah sebagai berikut:

1. Wakif

Wakif adalah pihak yang mewakafkan harta benda miliknya (Pasal 1

Ayat 2). Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Pasal 7,

wakif terdiri dari:

1) Perseorangan

Wakif perseorangan dapat melakukan wakaf apabila memenuhi

persyaratan (pasal 8 ayat 1):

a. Dewasa;

b. Berakal sehat;

c. Tidak terhalang melakukan perbuatan hokum; dan

d. Pemilik sah harta benda wakaf.

2) Organisasi

Wakif organisasi hanya dapat melakukan wakaf apabila memenuhi

ketentuan organisasi untuk mewakafkan harta benda wakaf milik

organisasi sesuai dengan anggaran dasar organisasi yang

bersangkutan. (pasal 8 ayat 2)

3) Badan Hukum

Wakif badan hokum hanya dapat melakukan wakaf apabila

memenuhi ketentuan badan hukum untuk mewakafkan harta benda


18

milik badan hokum sesuai dengan anggaran dasar badan hokum

yang bersangkutan. (pasal 8 ayat 3)

2. Nadzir

Nadzir adalah pihak yang menerima harta benda wakaf dari Wakif untuk

dikelola dan dikembangkan sesuai dengan peruntukannya. (pasal 1 ayat

4).

Menurut pasal 9 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004, nadzir

meliputi:

a. Perseorangan

Perseorangan hanya dapat menjadi Nadzir apabila memenuhi

persyaratan (pasal 10 ayat 1) sebagai berikut:

1) Warga Negara Indonesia;

2) Beragama Islam;

3) Dewasa;

4) Amanah;

5) Mampu secara jasmani dan rohani; dan

6) Tidak terhalang melakukan perbuatan hukum.

b. Organisasi;

Organisasi hanya dapat menjadi Nadzir apabila memenuhi

persyaratan (pasal 10 ayat 2):

1) Pengurus organisasi yang bersangkutan memenuhi persyaratan

Nadzir perseorangan; dan


19

2) Organisasi yang bergerak di bidang social, pendidikan,

kemasyarakatan, dan/atau keagamaan islam.

c. Badan hukum

Badan hukum hanya dapat menjadi Nadzir apabila memenuhi

persyaratan (pasal 10 ayat 3):

1) Pengurus badan hukum yang bersangkutan memenuhi

persyaratan Nadzir perseorangan;

2) Badan Hukum Indonesia yang dibentuk sesuai dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku; dam

3) Badan hukum yang bersangkutan bergerak di bidang social,

pendidikan, kemasyarakatan, dan/atau keagamaan islan.

Nadzir memiliki tugas sebagai berikut:

1) Melakukan pengadministrasian harta benda wakaf;

2) Mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf sesuai

dengan tujuan, fungsi, dan peruntukannya;

3) Mengawasi dan melindungi harta benda wakaf;

4) Melaporkan pelaksanaan tugas kepada Badan Wakaf Indonesia.

3. Harta Benda Wakaf

Harta benda wakaf hanya bisa diwakafkan apabila dimiliki dan dikuasai

oleh Wakif secara sah (pasal 15). Harta benda wakaf meliputi:

a. Benda tidak bergerak

b. Benda bergerak
20

4. Ikrar Wakaf

a. Ikrar wakaf dapat dilaksanakan oleh wakif kepada Nadzie di hadapan

PPAIW dengan disaksikan oleh 2 (dua) orang saksi.

b. Ikrar wakaf dinyatakan secara lisan dan/atau tulisan serta

dituaangkan dalam akta ikrar wakaf oleh PPAIW.

5. Peruntukkan harta benda wakaf

Dalam rangka mencapai tujuan dan fungsi wakaf, harta benda wakaf

hanya dapat diperuntukkan bagi:

a. Sarana dan kegiatan ibadah;

b. Sarana dan kegiatan pendidikan serta kesehatan;

c. Bantuan kepada fakir miskin, anak terlantar, yatim piatu, beasiswa;

d. Kemajuan dan peningkatan ekonomi umat; dan/atau

e. Kemajuan kesejahteraan umum lainnya yang tidak bertentangan

dengan syariah dan peraturan perundang-undangan.

6. Jangka waktu wakaf29

1.5.5 Tanah Wakaf Hak Milik

Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 Pasal 4 tentang

Perwakafan Tanah Milik ditegaskan bahwa tanah yang dapat diwakafkan

terbatas pada tanah yang harus berstatus hak milik sebagaimana hak atas tanah

yang berbeda dengan hak-hak atas tanah lainnya, secara hakiki tidak terbatas

pada jangka waktunya. Maka, perbuatan mewakafkan adalah suatu perbuatan

yang suci, mulia, dan terpuji sesuai dengan ajaran agama Islam. Oleh karena itu,

29
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004
21

maka tanah-tanah yang hendak diwakafkan harus betul-betul merupakan hak

milik bersih dan tidak ada cacat ditinjau dari sudut pemilikannya. Selain itu

persyaratan ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya lembaga perwakafan ini

untuk sering berhadapan dengan Pengadilan yang dapat memerosotkan wibawa

dan syariat agama Islam. Berdasarkan pandangan tersebut diatas, maka tanah

yang mengandung pembebanan seperti hipotik, crediet verband, tanah dalam

proses perkara dan sengketa, tidak dapat diwakafkan sebelum masalahnya

diselesaikan terlebih dahulu.

1.6 Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif sedangkan untuk tipe penelitian

bersifat deskriptif, yaitu

1.6.1. Tipe Penelitian

Tipe penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah tipe penelitian

deskriptif. Metode deskriptif merupakan suatu metode dalam meneliti status

sekelompok manusia, suatu objek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran

ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang. Tujuan dari penelitian

deskriptif ini adalah untuk membuat deskripsi, gambaran, atau lukisan secara

sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan

antarfenomena yang diselidiki. Nazir (1988: 63).


22

1.6.2. Sumber Data

Menurut sumbernya, data penelitian digolongkan sebagai (Uma Sekaran, 2011) :

1. Data Primer

Data primer adalah data yang mengacu pada informasi yang diperoleh

dari tangan pertama oleh peneliti yang berkaitan dengan variabel minat

untuk tujuan spesifik studi. Sumber data primer adalah responden

individu, kelompok fokus, internet juga dapat menjadi sumber data primer

jika koesioner disebarkan melalui internet.

2. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang mengacu pada informasi yang

dikumpulkan dari sumber yang telah ada. Sumber data sekunder adalah

catatan atau dokumentasi perusahaan, publikasi pemerintah, analisis

industri oleh media, situs Web, internet dan seterusnya.

1.6.3. Metode Pengumpulan Data

1. Wawancara

Wawancara merupakan pertemuan dua orang untuk bertukar informasi

dan ide melalui tanya jawab, sehingga dapat dikonstruksikan makna

dalam suatu topik tertentu. Esterberg, dalam Sugiyono (2012:233).

Dalam mengumpulkan data, penulis melakukan wawancara di Kantor

Pertanahan Kabupaten Semarang dengan para pihak mengenai Prosedur

Pelaksanaan Pendaftaran Hak Atas Tanah Wakaf.


23

3. Studi Pustaka

Studi Pustaka adalah langkah yang penting dimana setelah seorang

peneliti menetapkan topik penelitian, langkah selanjutnya adalah

melakukan kajian yang berkaitan dengan teori yang berkaitan dengan

topik penelitian. Dalam pencarian teori, peneliti akan mengumpulkan

informasi sebanyak-banyaknya dari kepustakaan yang berhubungan.

Sumber-sumber kepustakaan dapat diperoleh dari : buku, jurnal, majalah,

hasil-hasil penelitian (tesis dan disertasi), dan sumber-sumber lainnya

yang sesuai (internet, koran dll). Nazir (1998 : 112)

Dalam mengumpulkan data, penulis melakukan pencarian sumber data

yang dapat diperoleh dari buku, jurnal, studi literature terhadap data-data

yang berkaitan dengan Prosedur Pelaksanaan Pendaftaran Hak Atas

Tanah Wakaf

1.7 Metode Analisis Data

Analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode

analisis kualitatif yaitu setelah data terkumpul kemudian dituangkan dalam

bentuk uraian logis dan sistematis. Sumber data terdiri dari data primer yaitu

data yang diperoleh langsung dari hasil wawancara, data sekunder yaitu data

yang diperoleh secara tidak langsung yang bersumber dari study kepustakaan

dan dokumen-dokumen tentang ”Prosedur Pelaksanaan Pendaftaran Hak Atas

Tanah Wakaf di Kantor Pertanahan Kabupaten Semarang”


24

1.8 Sistematika Penulisan

Agar penulisan tugas akhir ini terarah sesuai tema yang dibahas dan

terciptanya tugas akhir yang baik dan benar, maka penulis memberikan

gambaran umum secara garis besar dari setiap masing- masing bab. Adapun

sistemtika penulisan Tugas Akhir yang berjudul “Prosedur Pelaksanaan

Pendaftaran Hak Atas Tanah Wakaf di Kantor Pertanahan Kabupaten

Semarang” adalah sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN

Berisi tentang Latar Belakang Penulisan, Perumusan

Masalah, Tujuan, Manfaat, Landasan Teori, Metode

Penelitian dan Sistematika Penulisan.

BAB II GAMBARAN UMUM KABUPATEN SEMARANG DAN

KANTOR PERTANAHAN KABUPATEN SEMARANG

Berisi tentang Gambaran Umum Kabupaten

Semarang, Gambaran Umum Kantor Pertanahan Kabupaten

Semarang, Visi dan Misi, Fungsi, Pembagian Bidang Kerja

Kantor Pertanahan Kabupaten Semarang.

BAB III PROSEDUR PELAKSANAAN PENDAFTARAN HAK

ATAS TANAH WAKAF DI KABUPATEN SEMARANG

Dalam bab ini berisi tentang semua pembahasan

mengenai Prosedur Pelaksanaan Pendaftaran Hak Atas

Tanah Wakaf di Kabupaten Semarang, beserta kendala-

kendala yang terkait pembahasan tersebut.


25

BAB IV PENUTUP

Kesimpulan dan Saran

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai