TINJAUAN PUSTAKA
Obesitas
Obesitas (obesity) berasal dari bahasa latin yaitu “ob” yang berarti akibat
dari dan “esum” artinya makan, sehingga obesitas dapat didefinisikan sebagai
akibat dari pola makan yang berlebihan (Freitag 2010). Obesitas atau
kegemukan merupakan kelebihan berat badan karena terdapatnya timbunan
lemak berlebihan dalam tubuh. Perbandingan yang normal antara lemak tubuh
dengan berat badan adalah sekitar 25%-30% pada wanita dan 18%-23% pada
pria. Wanita dengan lemak tubuh lebih dari 30% dan pria dengan lemak tubuh
lebih dari 25% disebut mengalami obesitas (Mustofa 2010).
Kegemukan (obesitas) juga dapat diartikan sebagai refleksi
ketidakseimbangan asupan dan pengeluaran energi. Salah satu penyebabnya
adalah kegemaran makan secara berlebihan, terutama makanan tinggi kalori
tanpa diimbangi oleh aktivitas cukup. Hal itu mengakibatkan surplus energi hanya
disimpan sebagai lemak tubuh. Penyebab lainnya adalah adanya gangguan
metabolik dalam tubuh yang dapat menyebabkan hiperfagia atau nafsu makan
berlebihan (Anwar & Khomsan 2009).
Status gizi merupakan keadaan kesehatan tubuh seseorang atau
sekelompok orang yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan dan
penggunaan zat gizi makanan (Riyadi 2006). Klasifikasi berat badan berdasarkan
IMT pada penduduk Asia dewasa dapat dilihat pada Tabel 1 dibawah ini.
Penyebab Obesitas
Obesitas merupakan penyakit yang berkembang dari interaksi genetik
dan lingkungan dalam waktu yang cukup lama sehingga obesitas tidak hanya
terjadi pada sekali waktu, tetapi merupakan konsekuensi dari apa yang dilakukan
oleh seseorang dalam hidupnya. Asupan energi yang berlebihan, pengeluaran
energi dalam bentuk aktivitas fisik yang rendah atau kombinasi dari kedua faktor
tersebut menyebabkan keseimbangan energi menuju ke arah positif. Balance
energi yang positif seringkali menuju ke arah peningkatan berat badan (Freitag
2010).
6
bergantung pada berapa banyak otot yang bergerak, berapa lama dan berapa
berat pekerjaan yang dilakukan (Almatsier 2006).
Gaya hidup di era modern dengan aktivitas fisik ringan akan
memudahkan terjadinya penumpukan lemak tubuh. Proses timbulnya lemak di
sekeliling tubuh berlangsung perlahan, lama dan seringkali tidak disadari.
Fasilitas perkantoran dan belanja yang dilengkapi dengan lift/elevator
menyebabkan seseorang malas untuk berjalan dan menggerakkan anggota
tubuhnya. Sementara kesibukan di tempat kerja atau di rumah tidak menyisakan
waktu sedikitpun untuk berolahraga (Khomsan 2005).
Perubahan pola aktivitas ikut bertanggung jawab terhadap terjadinya
obesitas. Lingkungan, baik itu dari segi teknologi maupun kebudayaan, telah
memainkan peranannya dalam perubahan aktivitas fisik manusia sehingga
menjadi lebih rendah dibandingkan sebelumnya. Rendahnya aktivitas fisik ini
akan mendorong keseimbangan energi ke arah positif sehingga mengarah pada
penyimpanan energi dan penambahan berat badan (Freitag 2010).
Faktor aktivitas fisik yang kurang sangat kentara menjadi penyebab
kegemukan terutama pada anak masa kini. Orang-orang makmur yang tidak aktif
memerlukan lebih sedikit kalori. Seseorang yang cenderung mengonsumsi
makanan kaya lemak dan tidak melakukan aktivitas fisik yang seimbang, akan
mengalami obesitas. Kurangnya aktivitas gerak badan menjadi penyebab
kegemukan karena kurangnya pembakaran lemak dan sedikitnya energi yang
dipergunakan (Mustofa 2010).
Rissanen et al. (2003) menyatakan bahwa rendahnya aktivitas fisik
merupakan faktor yang paling bertanggung jawab terhadap terjadinya obesitas.
Sebagai contoh, obesitas tidak terjadi pada para atlet yang aktif, sedangkan para
atlet yang berhenti melakukan latihan olahraga lebih sering mengalami kenaikan
berat badan dan kegemukan. Dengan banyak berolahraga, jantung akan tetap
terlatih untuk bekerja dengan baik, sirkulasi darah menjadi lancar, otot tetap
lemas dan lentur, kondisi tubuh tetap fit serta terhindar dari kegemukan (Astawan
& Wahyuni 1988). Rendahnya aktivitas fisik berhubungan positif dengan obesitas
pada perempuan tetapi tidak pada laki-laki (Janghorbani et al. 2007).
Intervensi latihan (exercise) intensif tingkat moderat selama 12 bulan
secara nyata merubah berat tubuh. Exercise berperan pada penurunan lemak
tubuh khususnya lemak pada perut (Irwin et al. 2003). Latihan sedang sampai
berat selama 12 bulan menurunkan berat tubuh rata-rata pada perempuan 1.4 kg
8
dan kontrol 0.7 kg, pada laki-laki 1.8 kg dan 0.1 kg pada kontrol. Exercise dapat
menurunkan obesitas sentral dengan durasi 370 menit/minggu pada laki-laki dan
295 menit/minggu pada perempuan. Aktivitas fisik berat atau sedang minimal 60
menit/hari disarankan untuk menurunkan obesitas (McTiernan et al. 2007).
Aktivitas fisik menentukan kondisi kesehatan seseorang. Tabel 2
menunjukkan nilai PAR untuk setiap kegiatan. Nilai PAR diperlukan untuk
menentukan tingkat aktivitas fisik (PAL). Tingkat aktivitas fisik (Physical Activity
Level) diperoleh dengan mengalikan PAR (Physical Activity Ratio) dengan lama
melakukan sebuah aktivitas (FAO/WHO/UNU 2001). Secara sederhana, rumus
untuk menghitung nilai PAL adalah:
memiliki nilai PAL antara 1.40-1.69. Seseorang yang mempunyai aktivitas fisik
yang ringan menggunakan kendaraan untuk transportasi, umumnya tidak
berolahraga, dan cenderung meluangkan waktu hanya untuk kegiatan yang
dilakukan dengan duduk dan berdiri, dengan sedikit gerakan tubuh. Aktivitas fisik
sedang memiliki nilai PAL 1.70-1.99. Seseorang yang mempunyai tingkat
aktivitas fisik sedang tidak memerlukan energi yang besar, namun kebutuhan
energi pada kegiatan ini lebih tinggi dari kegiatan aktivitas yang ringan. Aktivitas
fisik berat memiliki PAL 2.00-2.39. Aktifitas fisik berat dilakukan oleh seseorang
yang melakukan kerja berat dalam waktu yang lama (FAO/WHO/UNU 2001).
Faktor Genetik
Kelebihan konsumsi energi bukan satu-satunya penyebab kegemukan.
Faktor genetik juga berperan penting terhadap munculnya kegemukan pada
seseorang. Jika kedua orangtua gemuk, risiko kegemukan pada anak-anaknya
mencapai 80%. Namun, jika hanya satu orangtua yang gemuk, peluang anak-
anaknya menjadi gemuk adalah sebesar 40% (Anwar & Khomsan 2009).
Penelitian terbaru menunjukkan bahwa rata-rata faktor genetik
memberikan pengaruh sebesar 33% terhadap berat badan seseorang. Hal ini
merupakan faktor keturunan dari orang tua yang sulit dihindari. Bila ayah atau ibu
memiliki kelebihan berat badan, hal ini dapat diturunkan pada anak. Obesitas
yang disebabkan oleh lingkungan pada generasi sebelumnya dapat tertanam di
dalam gen generasi tersebut yang dapat diwariskan kepada generasi berikutnya.
Sering didapati, anak yang obesitas biasanya berasal dari keluarga yang
obesitas. Bila kedua orangtua obes, sekitar 80% anak-anak mereka akan obes.
Bila salah satu orang tua obes, menjadi 40% dan bila orangtuanya tidak obes
prevalensi obes untuk anak turun menjadi 14% (Mustofa 2010).
Para ilmuwan curiga bahwa gen-gen mungkin dapat menyebabkan
obesitas pada manusia karena berat seorang anak seringkali berhubungan
dengan berat badan orangtua. Di dalam penelitian terhadap anak-anak SMA,
hanya terdapat 8% dari pelajar dengan orangtua kurus menjadi obesitas. Jika
salah satu atau kedua orangtua mereka menderita obesitas, sekitar ¾ dari
mereka menjadi gemuk. Berat badan anak yang diadopsi tidak bergantung
kepada orangtua angkat mereka. Pada tahun 1994 ilmuwan mengumumkan
penemuan gen pertama yang dipercaya ada hubungannya dengan obesitas bagi
manusia. Sejak itu, para peneliti menemukan gen-gen yang lain yang terlihat
memainkan peranan bagi obesitas manusia (Mustofa 2010).
10
mentimun. Hal ini menunjukkan bahwa ketergantungan pada makanan cepat saji
telah meningkat selama periode waktu (Anonim 2007).
Menurut WHO (2000), perkembangan industri makanan yang salah
satunya berkembangnya makanan cepat saji, yaitu makanan yang tinggi lemak
tetapi rendah karbohidrat kompleks merupakan salah satu faktor risiko terjadinya
obesitas. Banyaknya jenis fast food yang dikonsumsi merupakan faktor risiko
terjadinya obesitas (OR=11.0). Ini berarti mengonsumsi fast food akan berisiko
11 kali mengalami obesitas jika dibandingkan yang tidak mengonsumsinya.
Fast food atau ready-to-eat-food jadi pilihan utama orangtua yang sibuk
atau konsumsi ketika menghabiskan waktu bersama keluarga pada masyarakat
modern. Hal ini disebabkan karena pengolahannya yang cenderung cepat karena
menggunakan tenaga mesin, terlihat bersih karena penjamahnya adalah mesin,
restoran yang mudah ditemukan serta karena pelayanannya yang selalu sedia
setiap saat, bagaimanapun cara pemesanannya (Worthington&William 2000).
Pada hakekatnya fast food (makanan siap saji) tidak sama dengan junk
food (makanan sampah yang hanya padat kalori). Bahan penyusun fast food
termasuk golongan pangan bergizi. Hal yang paling penting adalah pengaturan
frekuensi makannya agar tidak mengonsumsinya secara berlebihan (Khomsan
2005). Menurut Khomsan (2002), fast food dikatakan negatif karena ketidak
seimbangannya (dari segi porsi serta komposisi sayuran sehingga miskin akan
vitamin dan mineral), tinggi garam dan rendah serat (merupakan faktor pemicu
munculnya penyakit hipertensi), serta sumber lemak dan kolesterol
(mengandalkan pangan hewani ternak sebagai menu utama).
Ketidakseimbangan zat gizi dalam tubuh dapat terjadi jika fast food dijadikan
sebagai pola makan setiap hari.
Hasil penelitian Virgianto dan Purwaningsih (2006) mengatakan bahwa
variasi jenis makanan cepat saji bukanlah faktor risiko untuk terjadinya obesitas.
Setelah dilakukan uji korelasi, ternyata memang tidak didapatkan hubungan
antara variasi jenis makanan cepat saji dengan terjadinya obesitas. Jenis-jenis
makanan cepat saji yang banyak dikonsumsi adalah hamburger, fried chicken,
pizza dan donat.
Makanan cepat saji memberikan sumbangan kalori yang bervariasi
terhadap total konsumsi harian tergantung dari jenis makanan cepat saji tersebut.
Kandungan energi, lemak, kolesterol dan garam pada makanan cepat saji pada
umumnya tinggi, namun sangat miskin serat. Dalam 100 gram, burger
12
mengandung 261 kalori, french fries mengandung 342 kalori, fried chicken pada
bagian dada ayam atau sayapnya mengandung 303 kalori, pizza yang berisi keju
mengandung 268 kalori, dan hotdog mengandung 247 kalori. Kandungan serat
dalam berbagai macam makanan cepat saji relatif rendah. Oleh karena itu,
diperlukan konsumsi serat sebagai tambahan untuk mengimbangi tingginya
kolesterol dalam darah (Virgianto&Purwaningsih 2006). Satu buah fried chicken
mempunyai ukuran 116.51 gram dan mempunyai kandungan energi sebesar
287.85 kkal. Satu porsi burger mempunyai ukuran 127.96 gram dan mempunyai
kandungan energi sebesar 380.67 kkal. Satu porsi fried fries berukuran 100 gram
mempunyai kandungan energi sebesar 321.05 kkal (Anonim 2006)
Pengertian fast food lebih luas dari makanan yang dibuat dengan cepat
dan dapat dinikmati dalam waktu yang singkat. Jenis makanan ini memiliki ciri
khas yaitu porsi yang disajikan sangat besar, padat energi, sangat lezat, banyak
mengandung gandum terproses, banyak ditambahkan gula, tinggi lemak, tinggi
lemak jenuh dan lemak trans dan rendah serat (Feitag 2010). Dengan melihat ciri
khas makanan itu, sudah dapat dipastikan bahwa ujung dari fast food adalah
obesitas. Tidak hanya di Amerika dan Negara-negara barat lainnya, fast food
juga sudah merambah ke negara-negara Asia termasuk Indonesia (Feitag 2010).
Secara umum produk fast food dapat dibedakan menjadi dua, yaitu produk fast
food yang berasal dari Barat dan lokal. Fast food yang berasal dari Barat sering
juga disebut fast food modern seperti Mc. Donald, Kentucky Fried Chicken
(KFC), Pizza Hut dan sejenisnya. Makanan yang disajikan pada umumnya
berupa hamburger, pizza, dan sejenisnya. Sedangkan fast food lokal sering juga
disebut dengan istilah fast food tradisional seperti warung tegal, restoran
padang, warung sunda (Hayati 2000).
Sebuah penelitian di Amerika Serikat sebanyak 6212 anak dan remaja
yang berumur antara 4-19 tahun ikut serta dalam penelitian ini dan dari
keseluruhan sampel tersebut terdapat 30% lebih yang mengonsumsi makanan
fast food. Penelitian ini telah membuktikan bahwa orang yang sering
mengonsumsi fast food akan lebih banyak mendapatkan energi tapi tidak dengan
zat gizi lainnya (Feitag 2010). Di dalam makanan fast food terdapat kalori dalam
jumlah tinggi, lemak dan gula sederhana yang mampu meningkatkan risiko untuk
menjadi gemuk bahkan obesitas. Selain itu, kandungan vitamin yang seharusnya
ada didalam sayur dan buah menjadi lebih jarang dikonsumsi oleh penikmat fast
food (Freitag 2010).
13
Sosial Ekonomi
Jenis kelamin
Tingkat Pendidikan
Besar Keluarga
Pendapatan
Pendapatan merupakan faktor yang paling menentukan kuantitas dan
kualitas makanan. Menurut Madanijah (2004), perubahan pendapatan secara
langsung akan berpengaruh terhadap konsumsi pangan. Peningkatan
pendapatan berarti memperbesar peluang untuk membeli pangan dengan
kualitas dan kuantitas yang lebih baik. Sebaliknya penurunan pendapatan akan
menyebabkan penurunan dalam hal kualitas dan kuantitas pangan yang dibeli.
Selain pendapatan, faktor ekonomi yang berpengaruh terhadap konsumsi
pangan adalah harga pangan dan harga barang non pangan. Perubahan harga
dapat berpengaruh terhadap besarnya permintaan pangan. Harga pangan yang
tinggi menyebabkan berkurangnya daya beli masyarakat. Keadaan ini
menyebabkan daya beli masyarakat berkurang.
Konsumsi Pangan
jam atau sehari yang lalu. Metode ini dapat menaksir asupan gizi pada individu
(Gibson 2005).
Pengetahuan Gizi
3. Ilmu gizi memberikan fakta-fakta yang perlu sehingga penduduk dapat belajar
menggunakan pangan dengan baik bagi kesejahteraan gizi.
Tingkat pengetahuan gizi seseorang berpengaruh terhadap sikap dan
perilaku makanan yang pada akhirnya akan berpengaruh pada keadaan gizi
individu yang bersangkutan. Semakin tinggi tingkat pengetahuan gizi seseorang
diharapkan semakin baik pula keadaan gizinya (Irawati et al. 1992).
Serat Pangan
Menurut Astawan & Wresdiyati (2004), serat pangan larut dalam air
merupakan komponen serat yang dapat larut di dalam air dan dalam saluran
pencernaan. Komponen serat ini dapat membentuk gel dengan cara menyerap
air. Kelompok serat pangan larut air adalah pektin, psilium, gum, musilase,
karagenan, asam alginat, dan agar-agar. Fungsi utama serat pangan larut air
adalah sebagai berikut ( Astawan & Wresdiyati 2004):
1. memperlambat kecepatan pencernaan dalam usus sehingga aliran energi
ke dalam tubuh menjadi stabil;
2. memberikan perasaan kenyang yang lebih lama;
3. memperlambat kemunculan gula darah (glukosa) sehingga insulin yang
dibutuhkan untuk mengubah glukosa menjadi energi semakin sedikit;
4. membantu mengendalikan berat badan dengan memperlambat
munculnya rasa lapar;
5. meningkatkan kesehatan saluran pencernaan dengan cara meningkatkan
motilitas (pergerakan) usus besar;
6. mengurangi risiko penyakit jantung;
7. mengikat asam empedu;
8. mengikat lemak dan kolesterol kemudian dikeluarkan melalui feses
(proses buang air besar).
Serat pangan tidak larut adalah serat yang tidak dapat larut, baik di dalam
air maupun didalam saluran pencernaan. Sifat yang menonjol dari komponen
serat ini adalah kemampuannya menyerap air serta meningkatkan tekstur dan
volume feses sehingga makanan dapat melewati usus besar dengan cepat dan
mudah. Kelompok serat pangan tidak larut air adalah selulosa, hemiselulosa, dan
lignin. Sebaiknya mengonsumsi kombinasi bermacam serat pangan dari beras
yang masih terdapat kulit arinya, biji-bijian, sayur-sayuran, dan buah-buahan,
agar dapat memenuhi kebutuhan serat pangan dan sekaligus memenuhi gizi
yang lengkap dan seimbang ( Astawan & Wresdiyati 2004).
Fungsi serat pangan tidak larut air adalah sebagai berikut ( Astawan &
Wresdiyati 2004):
1. mempercepat waktu transit makanan dalam usus dan meningkatkan berat
feses;
2. memperlancar proses buang air besar;
3. mengurangi risiko wasir, divertikulosis dan kanker usus besar.
19
kalsium, kalium, seng, dan besi sehingga dikhawatirkan tubuh akan kekurangan
mineral tersebut (Devi 2010).
Diet tinggi serat adalah modifikasi dari susunan makanan biasa dengan
menambahkan bahan pangan yang banyak mengandung serat pangan.
Banyaknya serat pangan yang diperoleh umumnya sekitar lima kali banyaknya
serat kasar (2-10 kali) yang terdapat dalam bahan pangan, bergantung pada
jenis bahannya. Menurut Astawan dan wresdiyati (2004), untuk memenuhi
kebutuhan serat 25-30 gram setiap hari, penyusunan menu pola seimbang
sehari-hari adalah 3 porsi nasi, 2 porsi lauk hewani (daging/ikan atau ayam/telur),
2 porsi lauk nabati (tempe/tahu atau kacang-kacangan lain), 1 porsi kudapan
(misalnya kacang hijau atau umbi-umbian), 3 porsi aneka sayuran, 2 porsi aneka
buah-buahan. Satu porsi setara dengan satu satuan penukar pada bahan
makanan.