Anda di halaman 1dari 17

BAB II DASAR TEORI

BAB II

DASAR TEORI

2.1 KLASIFIKASI MASSA BATUAN, STRUKTUR DAN BIDANG DISKONTINUITAS

2.1.1 Massa Batuan

Massa batuan merupakan volume batuan yang terdiri dan material batuan berupa
mineral, tekstur dan komposisi dan juga terdiri dari bidang-bidang diskontinu,
membentuk suatu material dan saling berhubungan dengan semua elemen sebagai
suatu kesatuan. Kekuatan massa batuan sangat dipengaruhi oleh frekuensi bidang-
bidang diskontinu yang terbentuk, oleh sebab itu massa batuan akan mempunyai
kekuatan yang lebih kecil bila dibandingkan dengan batuan utuh. Menurut Hoek & Bray
(1981) dalam Sitohang (2008), massa batuan adalah batuan insitu yang dijadikan
diskontinu oleh sistem struktur seperti joint, sesar dan bidang perlapisan.

Sementara itu dalam kaitannya dengan rekayasa batuan, klasifikasi massa batuan (rock
mass classification) berarti mengumpulkan data dan mengklasifikasikan singkapan
batuan berdasarkan parameter-parameter yang telah diyakini dapat mencerminkan
perilaku massa batuan tersebut. Salah satu contoh skema klasifikasi yang cukup
populer dan yang telah memasukan elemen desain di dalamnya yaitu rock mass rating
(RMR) atau geomechanics classification system (Bieniawski, 1984). Selain itu, terdapat
juga beberapa sistem klasifikasi massa batuan yang dirancang khusus untuk lereng,
misalnya sistem slope mass rating (SMR) yang dikemukakan oleh Romana (1985).
Sistem ini mendasarkan pada hasil RMR dengan memberikan beberapa penyesuaian.

2.1.2StrukturBatuan
Struktur batuan adalah gambaran tentang kenampakan atau keadaan batuan,
termasuk di dalamnya bentuk atau kedudukannya. Berdasarkan keterjadiannya,
Struktur batuan dapat dikelompokkan menjadi:

1. Struktur primer, yaitu struktur yang terjadi pada saat proses pembentukan
batuan. Misalnya : bidang perlapisan silang (cross bedding) pada batuan
sedimen atau kekar akibat pendinginan (cooling joint) pada batuan beku.

2. Struktur skunder, yaitu struktur yang terjadi kemudian setelah batuan


terbentuk akibat adanya proses deformasi atau tektonik. Misalnya : lipatan
(fold), patahan (fault) dan kekar (joint). Bidang diskontinu dapat ditemukan
pada struktur primer maupun struktur sekunder.

2.1.3BidangDiskontinu
Secara umum, bidang diskontinu merupakan bidang yang memisahkan massa
batuan menjadi bagian yang terpisah. Menurut Priest (1993) dalam Sitohang (2008),
pengertian bidang diskontinu adalah setiap bidang lemah yang terjadi pada bagian yang

Analisis Kestabilan Lereng Batuan dengan Menggunakan Metode Kinematik dan 1


Klasifikasi Massa Batuan; Studi Kasus di Area Penambangan Andesit, Desa Jelekong, Kecamatan Bale
Endah, Kabupaten Bandung, Jawa Barat
BAB II DASAR TEORI
memiliki kuat tarik paling lemah dalam batuan. Menurut Gabrielsen (1990) dalam
Sitohang (2008), keterjadian bidang diskontinu tidak terlepas dan masalah perubahaan
stress (tegangan), temperatur, strain (regangan), mineralisasi dan rekristalisasi yang
terjadi pada massa batuan dalam waktu yang panjang.
Menurut Hencher (1987) struktur geologi dan diskontinuitas pada batuan
merupakan bidang-bidang lemah dan jalur perembesan airtanah. Keberadaan struktur
geologi dan diskontinuitas akan mengurangi tingkat kekuatan geser batuan dan
implikasi utamanya adalah meningkatkan peluang terjadinya longsor. Dengan
munculnya bidang lemah tersebut, maka batuan yang tadinya utuh akan berubah
menjadi massa batuan dengan kekuatan yang jauh lebih kecil dari sebelumnya.

Beberapa jenis bidang diskontinu yang digolongkan berdasarkan ukuran dan


komposisinya adalah sebagai berikut:

1. Fault (patahan) adalah bidang diskontinu yang secara jelas memperlihatkan


tanda-tanda bidang tersebut mengalami pergerakan. Tanda-tanda tersebut
diantaranya adalah adanya zona hancuran maupun slicken sided atau jejak
yang terdapat di sepanjang bidang fault. Fault dikenal sebagai weakness zone
karena akan memberikan pengaruh pada kestabilan massa batuan dalam
wilayah yang luas.

2. Joint (kekar). Bidang diskontinu yang telah pecah namun tidak mengalami
pergerakan atau walaupun bergerak, pergerakan tersebut sangat sedikit
sehingga bisa diabaikan. Joint merupakan jenis bidang diskontinu yang paling
sering hadir dalam batuan.

3. Bedding (bidang pelapisan). Bedding terdapat pada permukaan batuan yang


mengalami perubahan ukuran dan orientasi butir dari batuan tersebut serta
perubahan mineralogi yang terjadi selama proses pembentukan batuan
sedimen.

4. Fracture dan crack. Fracture diartikan sebagai bidang diskontinu yang pecah
tidak paralel dengan struktur lain yang tampak pada batuan. Beberapa rock
mechanic engineer menggunakan istilah fracture dan crack untuk menjelaskan
pecahan atau crack yang terjadi pada saat pengujian batuan, peledakan dan
untuk menjelaskan mekanisme pecahnya batuan brittle.

5. Fissure. Ada banyak ahli yang menjelaskan pengertian fissure, salah satunya
adalah menurut Fookes dan Denness (1969) dalam Sitohang (2008) yang
mendefinisikan fissure sebagai bidang diskontinu yang membagi suatu material
utuh tanpa inemisahkannya menjadi bagian terpisah.

Adanya bidang diskontinu pada batuan akan mempengaruhi banyak hal yang
berhubungan dengan aktifitas penambangan. Diantaranya adalah pengaruh terhadap
kekuatan dari batuan. Seniakin banyak bidang diskontinu yang memotong massa
batuan, semakin kecil pula kekuatan dan batuan tersebut. Bidang-bidang diskontinu

Analisis Kestabilan Lereng Batuan dengan Menggunakan Metode Kinematik dan 2


Klasifikasi Massa Batuan; Studi Kasus di Area Penambangan Andesit, Desa Jelekong, Kecamatan Bale
Endah, Kabupaten Bandung, Jawa Barat
BAB II DASAR TEORI
yang ada pada massa batuan inilah yang memiliki potensi untuk menyebabkan
terjadinya failure pada batuan yang diekskavasi. Selain itu adanya bidang diskontinu
juga akan memberikan pengaruh lain dalam sebuah kegiatan pertambangan. Hal ini
berkaitan dengan ukuran fragmentasi material yang ditambang.

Dalam analisis bidang diskontinu terdapat beberapa istilah yang biasa dipakai secara
umum. Berikut ini akan dibahas beberapa poin yang berkaitan dengan bidang
diskontinu.

1. Joint Set adalah sejumlah joint yang memiiiki orientasi yang relatif sama, atau
sekelompok joint yang paralel.

2. Spasi Bidang Diskontinu (Joint Spacing). Menurut Priest (1993) ada tiga macam spasi
bidang diskontinu. Ketiga macam joint spacing tersebut adalah spasi total (total
spacing), spasi set (set/joint set spacing) dan spasi set normal (normal set spacing).

a) Total spacing

Adalah jarak antar bidang diskontinu dalam suatu lubang bor atau sampling line pada
pengamatan di permukaan.

b) Joint set spacing

Adalah jarak antara bidang diskontinu dalam satu joint set. Jarak diukur di sepanjang
lubang bor atau sampling line pada pengamatan di permukaan.

c) Normal set spacing

Hampir sama dengan set spacing, bedanya pada normal set spacing, jarak yang diukur
adalah jarak tegak lurus antara satu bidang diskontinu dengan bidang diskontinu
lainnya yang ada dalam satu joint set.

3. Orientasi Bidang Diskontinu (Joint Orientation). Orientasi bidang diskontinu yaitu


kedudukan dari bidang diskontinu yang meliputi arah dan kemiringan bidang. Arab, dan
kemiringan dan bidang diskontinu biasanya dinyatakan dalam (Strike/Dip) atau (Dip
Direction/Dip).

a) Strike (jurus)

Merupakan arah dari garis horizontal yang terletak pada bidang diskontinu yang miring,
Arah ini diukur dari utara searah jarum jam ke arah garis horizontal tersebut.

b) Dip (kemiringan bidang)

Dip adalah sudut yang diukur dan bidang horizontal ke arah kemiringan bidang
diskontinu.

c) Dip Direction

Analisis Kestabilan Lereng Batuan dengan Menggunakan Metode Kinematik dan 3


Klasifikasi Massa Batuan; Studi Kasus di Area Penambangan Andesit, Desa Jelekong, Kecamatan Bale
Endah, Kabupaten Bandung, Jawa Barat
BAB II DASAR TEORI
Dip direction merupakan arah penunjaman dari bidang diskontinu. Dip & Direction
(DDR) diukur dari North searah jarum jam ke arah penunjaman tersebut atau sama
dengan 90 derajat dari strike searah jarum jam ke arah penunjaman.

Gambar 2.1 Bidang diskontinuitas

2.2 Kestabilan lereng

Kestabilan lereng batuan banyak dikaitkan dengan tingkat pelapukan dan struktur
geologi yang hadir pada massa batuan tersebut, seperti sesar, kekar, lipatan dan bidang
perlapisan (Sulistianto, 2001). Struktur-struktur tersebut, selain lipatan, selanjutnya
disebut sebagai bidang lemah. Disamping struktur geologi, kehadiran air dan
karakteristik fisik-mekanik juga dapat mempengaruhi kestabilan lereng.

Akibat dari ketidak stabilan lereng, akan menimbulkan banyak gejala fisik pada massa
batuan. Secara umum perpaduan orientasi diskontinuitas batuan akan membentuk tiga
tipe longsoran/keruntuhan utama pada batuan (Gambar 2.1), yaitu :

- Keruntuhan geser planar (plane sliding failure)

- Keruntuhan geser baji (wedge sliding failure)

- Keruntuhan jungkiran (toppling failure)

Namun demikian, seringkali tipe keruntuhan yang ada merupakan gabungan dari
beberapa keruntuhan utama sehingga seakan-akan membentuk suatu tipe keruntuhan

Analisis Kestabilan Lereng Batuan dengan Menggunakan Metode Kinematik dan 4


Klasifikasi Massa Batuan; Studi Kasus di Area Penambangan Andesit, Desa Jelekong, Kecamatan Bale
Endah, Kabupaten Bandung, Jawa Barat
BAB II DASAR TEORI
yang tidak beraturan (raveling failure) atau seringkali disebut sebagai tipe keruntuhan
kompleks.

Untuk mengetahui adanya potensi tipe keruntuhan pada suatu aktivitas pemotongan
lereng batuan, perlu dilakukan pemetaan orientasi diskontinuitas yang dilakukan, baik
sebelum maupun sesudah lereng batuan tersebut tersingkap. Sementara itu, metode
analitik untuk memprediksi potensi keruntuhan batuan dan cara penanggulangannya
seringkali tidak efektif (Maerz, 2000). Oleh karena itu, penggunaan desain empiris dan
klasifikasi massa batuan menjadi penting (Franklin dan Maerz, 1996).

Gambar 2.2 tipe tipe longsoran

2.3 Metode Kinematik

Berbagai jenis longsoran lereng (slope failure) berhubungan dengan struktur-struktur


geologi yang mengakibatkan adanya suatu diskontinuitas pada suatu massa batuan.
Salah satu metode yang seringkali digunakan untuk melakukan identifikasi dan
karakterisasi bidang diskontinuitas pada singkapan lereng batuan yaitu metoda scan
line (Hudson dan Harrison, 1997).

Analisis Kestabilan Lereng Batuan dengan Menggunakan Metode Kinematik dan 5


Klasifikasi Massa Batuan; Studi Kasus di Area Penambangan Andesit, Desa Jelekong, Kecamatan Bale
Endah, Kabupaten Bandung, Jawa Barat
BAB II DASAR TEORI
Dalam kaitannya dengan usaha pemetaan diskontinuitas batuan, scan line sampling
harus dilakukan secara sistematik pada seluruh singkapan batuan yang ada. Parameter
yang diukur di lapangan adalah panjang lintasan scan line (L), jumlah diskontinuitas (N)
dalam lintasan pengukuran, dan kedudukan bidang-bidang diskontinuitas. Dengan
demikian, maka frekuensi dikontinuitas (λ) dapat dinyatakan sebagai :

L N=λ

dan rata-rata spasi diskontinuitas (x ) adalah :

NL

x=

Dalam memperhitungkan stabilitas lereng batuan, data kedudukan bidang-bidang


diskontinuitas hasil pengukuran scan line sampling digambarkan di dalam stereoplot.
Pada umumnya, jika data struktur geologi tersebut telah diplot, beberapa konsentrasi
kutub yang signifikan dapat hadir di dalam stereoplot.

Gambar 2.3 Penggambaran kutub bidang-bidang struktur pada umumnya


memperlihatkan konsentrasi kutub, misalnya kutub A dan B.

Adalah sangat berguna untuk dapat memilah antara bidang-bidang yang berpotensi
mengalami keruntuhan, dengan bidang-bidang yang kemungkinan tidak akan terlibat di
dalam longsoran.

Faktor kinematik lereng dikatakan memenuhi syarat untuk menyebabkan


ketidakstabilan apabila pada lereng terdapat ruang bagi blok massa batuan untuk
bergerak pada bidang gelincirnya menuju ruang tersebut (Hoek dan Bray, 1981).

2.3.1 Analisis Kinematika dari Keruntuhan Geser Planar (Plane Failure)

Longsoran bidang (plane failure) adalah bentuk longsoran yang paling mudah untuk
diidentifikasi dan dianalisis. Longsoran bidang dapat terjadi dengan bidang gelincir

Analisis Kestabilan Lereng Batuan dengan Menggunakan Metode Kinematik dan 6


Klasifikasi Massa Batuan; Studi Kasus di Area Penambangan Andesit, Desa Jelekong, Kecamatan Bale
Endah, Kabupaten Bandung, Jawa Barat
BAB II DASAR TEORI
tunggal ataupun set bidang gelincir. Kondisi-kondisi yang dapat menyebabkan
keruntuhan tipe ini adalah :

- kemiringan lereng (ȕs) lebih besar daripada kemiringan bidang gelincir (ȕj)
- jejak bagian bawah bidang diskontinuitas yang menjadi bidang gelincir harus
muncul di muka lereng.

- bidang gelincir memiliki jurus (α j ) yang sejajar atau hampir sejajar (maksimal

20º) dengan jurus permukaan lereng (αs ).

- Kemiringan bidang gelincir (ȕj) lebih besar daripada sudut geser dalamnya.

Analisis Kestabilan Lereng Batuan dengan Menggunakan Metode Kinematik dan 7


Klasifikasi Massa Batuan; Studi Kasus di Area Penambangan Andesit, Desa Jelekong, Kecamatan Bale
Endah, Kabupaten Bandung, Jawa Barat
BAB II DASAR TEORI

2.3.2 Analisis Kinematika dari Keruntuhan Geser Baji (Wedge Failure)

Berbeda dengan keruntuhan geser planar, keruntuhan geser baji akan terjadi bila ada dua bidang
diskontinuitas atau lebih berpotongan sedemikian rupa sehingga membentuk baji terhadap lereng.
Persyaratan lain yang harus terpenuhi di antaranya adalah :

- arah garis perpotongan (trend) kedua bidang diskontinuitas harus mendekati arah kemiringan muka
lereng.
- sudut lereng lebih besar daripada sudut garis potong kedua bidang diskontinuitas
- garis perpotongan kedua bidang diskontinuitas harus menembus permukaan lereng.
- plunge dari garis perpotongan kedua bidang diskontinuitas lebih besar daripada sudut geser
dalamnya.

Uji Markland (Hoek dan Bray, 1981) dilakukan untuk menentukan kemungkinan terjadinya keruntuhan
geser baji (wedge sliding failure), dengan arah luncuran terjadi pada penunjaman garis perpotongan
antara dua buah bidang diskontinu planar (Gambar 2.3B). Uji ini juga mencakup longsoran bidang yang
merupakan kasus khusus dari longsoran baji (Gambar 2.3C). Pada longsoran baji, jika kontak pada kedua
bidang tetap terjadi, luncuran hanya dapat terjadi pada arah penunjaman garis perpotongan.

2.3.3 Analisis Kinematika dari Keruntuhan Jungkiran (Toppling Failure)

Keruntuhan jungkiran umumnya terjadi pada massa batuan yang kemiringan bidangbidang
diskontinuitasnya berlawanan arah dengan kemiringan lereng. Bidang-bidang diskontinuitas tersebut
membentuk kolom-kolom yang akan mengguling bila bidang diskontinuitas yang menghubungkan antar
kolom menggelincir.

Analisis keruntuhan jungkiran lebih rumit bila dibandingkan dengan bentuk keruntuhan planar dan baji.
Karena interaksi antar kolom-kolom yang mengguling secara simultan serta gaya-gaya geser yang terjadi
antar kolom harus diperhatikan.

Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan keruntuhan tipe jungkiran adalah :

- jurus dari bidang diskontinuitas harus paralel atau mendekati paralel dengan jurus permukaan lereng
(perbedaan arah maksimal 20º).
- sudut kemiringan bidang diskontinuitas harus sama besar dengan kemiringan permukaan lereng.
plunge dari bidang gelincir harus lebih kecil dari kemiringan permukaan lereng dikurangi sudut geser
dalam dari bidang gelincir tersebut (Goodman, 1980).

Analisis Kestabilan Lereng Batuan dengan Menggunakan Metode Kinematik dan 8


Klasifikasi Massa Batuan; Studi Kasus di Area Penambangan Andesit, Desa Jelekong, Kecamatan Bale Endah, Kabupaten
Bandung, Jawa Barat
BAB II DASAR TEORI

a. Keruntuhan planar

b. Keruntuhan baji

c. Keruntuhan jungkiran

Gambar 2.4 Model stereoplot kondisi struktur yang dapat menyebabkan jenis-jenis longsoran utama
pada batuan (Hoek, 2000).

2.4 RMR

Klasifikasi geomekanika diusulkan oleh Bieniawski pada tahun 1984. Dalam menggunakan klasifikasi
geomekanika, massa batuan dibagi menjadi beberapa kelompok daerah yang didasarkan kesamaan sifat
dan karakteristik. Meskipun massa batuan bersifat diskontinuitas secara alamiah, namun pada setiap
kelompok daerah yang telah dibagi akan memiliki kesamaan, seperti misalnya tipe batuan yang sama
atau jarak spasi antar bidang diskontinuitas yang relatif sama. Setelah kelompok daerah ditentukan maka
selanjutnya dicari parameter-parameter klasifikasi pada setiap kelompok daerah dengan melakukan
pengukuran lapangan.
Analisis Kestabilan Lereng Batuan dengan Menggunakan Metode Kinematik dan 9
Klasifikasi Massa Batuan; Studi Kasus di Area Penambangan Andesit, Desa Jelekong, Kecamatan Bale Endah, Kabupaten
Bandung, Jawa Barat
BAB II DASAR TEORI

Di dalam klasifikasi ini, lima parameter dasar diukur atau diestimasi secara langsung di lapangan,
meliputi :

a. Kuat tekan uniaksial material batuan (intact rock)


b. RQD (rock quality designation)
c. Spasi diskontinuitas
d. Kondisi diskontinuitas
e. Kondisi keairan/airtanah

pada awalnya telah dikembangkan pada South African Council of Scientific and Industrial Research (CSIR)
oleh Bieniawski (1973) berdasarkan pengalamannya di terowongan dangkal pada batuan sedimen (Kaiser
et al., 1986; dalam Singh, 2006). Klasifikasi geomekanik didasarkan pada hasil penelitian 49 terowongan
di Eropa dan Afrika, dimana klasifikasi ini menilai beberapa parameter yang kemudian diberi bobot
(rating) dan digunakan untuk perencanaan terowongan (Bieniawski, 1973, 1976, 1984; dalam Nurfalah,
2010). Tujuan menggunakan klasifikasi ini dalah sebagai bentuk komunikasi para ahli untuk
menyelesaikan permasalahan geoteknik. Seperti dapat memperkirakan sifat-sifat dari massa batuan dan
dapat juga merencanakan kestabilitas terowongan atau lereng.

Klasifikasi geomekanik sistem RMR adalah suatu metode empiris untuk menentukan pembobotan dari
suatu massa batuan, yang digunakan untuk mengevaluasi ketahanan massa batuan sebagai salah satu
cara untuk menentukan kemiringan lereng maksimum yang bisa diaplikasikan untuk hal pembuatan
terowongan (Bieniawski, 1973; dalam Nurfalah 2010). Klasifikasi ini didasarkan pada enam parameter,
antara lain sebagai berikut :

2.4.1 Kekuatan batuan (Rock strength)

Bieniawski (1984), kekuatan suatu batuan secara utuh dapat diperoleh dari Point Load Strength Index
atau Uniaxial Compressive Strengh. Beliau menggunakan klasifikasi Uniaxial Compressive Strength (UCS)
yang telah diusulkan oleh Deere & Miller, 1968 (Bieniawski, 1984) dan juga UCS yang telah ditentukan
dengan menggunakan Hammer Test. Kekuatan batuan utuh adalah kekuatan suatu batuan untuk
bertahan menahan suatu gaya hingga pecah. Kekuatan batuan dapat dibentuk oleh suatu ikatan adhesi
Analisis Kestabilan Lereng Batuan dengan Menggunakan Metode Kinematik dan 10
Klasifikasi Massa Batuan; Studi Kasus di Area Penambangan Andesit, Desa Jelekong, Kecamatan Bale Endah, Kabupaten
Bandung, Jawa Barat
BAB II DASAR TEORI

antarbutir mineral atau tingkat sementasi pada batuan tersebut, serta kekerasan mineral yang
membentuknya. Hal ini akan sangat berhubungan dengan genesa, komposisi, tekstur, dan struktur
batuan.

TABEL 2.1 Klasifikasi Kekuatan batuan

Sumber : ISRM, 1981; dalam Hutchinson, 1996

Analisis Kestabilan Lereng Batuan dengan Menggunakan Metode Kinematik dan 11


Klasifikasi Massa Batuan; Studi Kasus di Area Penambangan Andesit, Desa Jelekong, Kecamatan Bale Endah, Kabupaten
Bandung, Jawa Barat
BAB II DASAR TEORI

Tabel. 2. Uji kuat tekan batuan

Sumber: dokumentasi pribadi

2.4.2 Rock Quality Designation (RQD)

Menurut Deere et al., (1967, dalam Hoek, 1995) kualitas massa batuan dapat dinilai dari harga RQD,
yaitu suatu pedoman secara kuantitatif berdasarkan pada perolehan inti yang mempunyai panjang 100
mm atau lebih tanpa rekahan. RQD dapat didefinisikan seperti pada. Nama lain dari RQD adalah suatu
penilaian kualitas batuan secara kuantitatif berdasarkan kerapatan kekar.

Gambar 2. Gambar Pengukuran dan perhitungan RQD

Sumber: Deree, 1989; dalam Hoek, 1995

2.4.2 Jarak diskontinuitas (Spacing of discontinuities)


Analisis Kestabilan Lereng Batuan dengan Menggunakan Metode Kinematik dan 12
Klasifikasi Massa Batuan; Studi Kasus di Area Penambangan Andesit, Desa Jelekong, Kecamatan Bale Endah, Kabupaten
Bandung, Jawa Barat
BAB II DASAR TEORI

Diskontinuitas adalah bentuk-bentuk ketidakmenerusan massa batuan, seperti kekar, bedding atau
foliasi, shear zones, sesar minor, atau bidang lemah lainnya. Jarak diskontinuitas dapat diartikan sebagai
jarak rekahan bidang-bidang yang tidak sejajar dengan bidang-bidang lemah lain. Sedangkan spasi
bidang diskontinuitas adalah jarak antar bidang yang diukur secara tegak lurus dengan bidang
diskontinuitas.

Tabel 2.1 Tabel Klasifikasi Jarak Diskontinuitas

Sumber: Bieniawski, 1979; dalam Hutchinson, 1996

2.4.1 Kondisi diskontinuitas (Condition of discontinuities)

Kondisi diskontinuitas merupakan suatu parameter yang terdiri dari beberapa sub-sub parameter, yakni
kemenerusan bidang diskontinuitas (persistence), lebar rekahan bidang diskontinuitas (aperture),
kekasaran permukaan bidang diskontinuitas (roughness), material pengisi bidang diskontinuitas
(infilling), dan tingkat pelapukan dari permukaan bidang diskontinuitas (weathered).

Analisis Kestabilan Lereng Batuan dengan Menggunakan Metode Kinematik dan 13


Klasifikasi Massa Batuan; Studi Kasus di Area Penambangan Andesit, Desa Jelekong, Kecamatan Bale Endah, Kabupaten
Bandung, Jawa Barat
BAB II DASAR TEORI

Tabel 2. 3 Tabel Kondisi Diskontinuitas

Sumber: Bieniawski, 1979; dalam Singh 2006

2.4.5 Kondisi Airtanah (Groundwater condition)

Air tanah sangat berpengaruh terhadap lubang bukaan suatu terowongan, sehingga posisi muka air
tanah terhadap posisi lubang bukaan sangat perlu diperhatikan. Kondisi air tanah dapat dinyatakan
secara umum, yaitu kering (dry), lembab (damp), basah (wet), menetes (dripping), dan mengalir
(flowing).

Tabel. 2.4 Tabel Kondisi Air Tanah

Analisis Kestabilan Lereng Batuan dengan Menggunakan Metode Kinematik dan 14


Klasifikasi Massa Batuan; Studi Kasus di Area Penambangan Andesit, Desa Jelekong, Kecamatan Bale Endah, Kabupaten
Bandung, Jawa Barat
BAB II DASAR TEORI

Sumber: ISRM, 1978; dalam Hutchinson, 1996

2.4.6 Orientasi diskontinuitas (Orientation of discontinuities)

Orientasi diskontinuitas merupakan strike/dip diskontinuitas (dip/dip direction). Orientasi bidang


diskontinuitas sangat mempengaruhi kestabilan lubang bukaan terowongan, terutama apabila adanya
gaya deformasi yang mengakibatkan berkurangnya suatu kuat geser.

Orientasi bidang diskontinuitas yang tegak lurus sumbu lintasan terowongan, sangat menguntungkan.
Sebaliknya orientasi bidang diskontinuitas yang sejajar dengan sumbu lintasan terowongan, akan sangat
tidak menguntungkan.

Di lapangan, orientasi bidang diskontinuitas dapat diperoleh dengan mengukur strike/dip kekar
menggunakan kompas geologi. Begitu pula dengan arah lintasan terowongan, dapat diperoleh dengan
mengukur azimuth arah lintasan terowongan menggunakan kompas geologi.

Setelah parameter-parameter klasifikasi diperoleh, kemudian dihitung rating dari massa batuan dengan
menggunakan rock mass rating system (Tabel 2.1). Penjabaran lebih detail mengenai parameter kondisi d

iskontinuitas diberikan pada Tabel 2.2 yang mengikutsertakan karakteristik diskontinuitas secara lebih
menseluruh. Kemudian diberikan Tabel 2.3 sebagai suatu pembagian massa batuan berdasarkan total
nilai pembobotan yang secara langsung didapatkan dari Tabel 2.1. Lebih lanjut lagi, Tabel 2.4 diberikan
dengan tujuan untuk memaparkan setiap kelas massa batuan agar memudahkan pengaplikasian dalam
hal kerekayasaan berdasarkan kelas massa batuan tersebut. Gambar 2.3 sampai 2.5 merupakan grafik
yang digunakan untuk menginterpolasi nilai pembobotan untuk parameter kekuatan batuan (intact rock),
RQD, dan spasi bidang diskontinuitas. Sementara itu, Gambar 2.6 memperlihatkan hubungan antara
spasi bidang diskontinuitas dengan nilai RQD.

Hasil akhir penilaian RMR kemudian dapat digunakan untuk mendeterminasi kemampuan lereng akan
stabil tanpa diberi perkuatan dan memilih jenis perkuatan yang dibutuhkan.

Analisis Kestabilan Lereng Batuan dengan Menggunakan Metode Kinematik dan 15


Klasifikasi Massa Batuan; Studi Kasus di Area Penambangan Andesit, Desa Jelekong, Kecamatan Bale Endah, Kabupaten
Bandung, Jawa Barat
BAB II DASAR TEORI

Gambar 2.2. Grafik perbandingan nilai rating untuk setiap


parameter kekuatan intact rock.

Gambar 2.3. Grafik perbandingan nilai rating untuk setiap spasi


bidang diskontinuitas.

Gambar 2.4. Grafik perbandingan nilai rating terhadap nilai RQD.

2.5 ALAT DAN BAHAN

Analisis Kestabilan Lereng Batuan dengan Menggunakan Metode Kinematik dan 16


Klasifikasi Massa Batuan; Studi Kasus di Area Penambangan Andesit, Desa Jelekong, Kecamatan Bale Endah, Kabupaten
Bandung, Jawa Barat
BAB II DASAR TEORI

Adapun peralatan yang dibutuhkan pada praktikum ini yaitu :

Analisis Kestabilan Lereng Batuan dengan Menggunakan Metode Kinematik dan 17


Klasifikasi Massa Batuan; Studi Kasus di Area Penambangan Andesit, Desa Jelekong, Kecamatan Bale Endah, Kabupaten
Bandung, Jawa Barat

Anda mungkin juga menyukai