Anda di halaman 1dari 16

Tinjauan Pustaka September 2017

NEURALGIA POST HERPETIKA

NAMA : NINA FERA UTARI

STAMBUK : N 111 17 035

DIBAWAKAN DALAM RANGKA KEPANITERAAN KLINIK


DI BAGIAN ILMU PENYAKIT SARAF
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TADULAKO
PALU
2017
NEURALGIA POST HERPETIKA

1. Definisi
Neuralgia post herpetik (PHN) merupakan komplikasi yang serius dari herpes zooster yang
sering terjadi pada orang tua. Neuralgia ini dikarakteristikan sebagai nyeri seperti terbakar, teriris
atau nyeri disetetik yang bertahan selama berbulan-bulan bahkan dapat sampai tahunan.Burgoon,
1957, mendefinisikan neuralgia paska herpetika sebagai nyeri yang menetap setelah fase akut
infeksi. Rogers, 1981, mendefinisikan sebagai nyeri yang menetap satu bulan setelah onset ruam
herpes zoster. Tahun 1989, Rowbotham mendefinisikan sebagai nyeri yang menetap atau
berulang setidaknya selama tiga bulan setelah penyembuhan ruam herpes zoster. Dworkin,1994,
mendefinisikan neuralgia paska herpetika sebagai nyeri neuropatik yang menetap setelahonset
ruam (atau 3 bulan setelah penyembuhan herpes zoster). Tahun 1999, Browshermendefinisikan
sebagai nyeri neuropatik yang menetap atau timbul pada daerah herpes zosterlebih atau sama
dengan tiga bulan setelah onset ruam kulit. Dari berbagai definisi yang palingtersering digunakan
adalah definisi menurut Dworkin. Sesuai dengan definisi sebelumnya maka The International
Association for Study of Pain (IASP) menggolongkan neuralgia post herpetika sebagai nyeri kronik yaitu
nyeri yang timbul setelah penyembuhan usai atau nyeri yang berlangsung lebih dari tiga bulan tanpa
adanya malignitas. 1

Neuralgia pascaherpetik (NPH) merupakan sindrom nyeri neuropatik yang sangat


mengganggu akibat infeksi Herpes zoster. NPH biasanya terjadi pada populasi usia pertengahan
dan usia lanjut serta menetap hingga bertahun-tahun setelah penyembuhan erupsi (cacar).
Sejumlah pendekatan dilakukan untuk mengatasi nyeri akibat zoster, menghambat
progresivitasnya menuju NPH dan mengatasi NPH. Beberapa dari pendekatan ini terbukti efektif
namun NPH masih saja merupakan sumber rasa frustrasi bagi pasien dan dokter. 1

NPH umumnya didefinisikan sebagai nyeri yang timbul lebih dari 30 hari setelah onset
(gejala awal) erupsi zoster terjadi. Nyeri umumnya diekspresikan sebagai sensasi terbakar
(burning) atau tertusuk-tusuk (shooting) atau gatal (itching), bahkan yang lebih berat lagi terjadi
allodinia (rabaan atau hembusan angin dirasakan sebagai nyeri) dan hiperalgesia (sensasi nyeri
yang dirasakan berlipat ganda). Pada pasien dengan NPH, biasanya terjadi perubahan fungsi

Bagian/SMF Ilmu Penyakit Saraf Fak.Kedokteran Untad 2


RSUD Undata Palu
sensorik pada area yang terkena. Pada satu penelitian, hampir seluruh penderita memiliki area
erupsi yang sangat sensitif terhadap nyeri, dengan sensasi abnormal terhadap sentuhan ringan,
nyeri atau temperature pada area kulit yang terkena. Nyeri umumnya dipresipitasi oleh gerakan
(allodinia mekanik) atau perubahan suhu (allodinia termal). Sementara pada penelitian lainnya
dinyatakan bahwa derajat defisit sensorik berhubungan dengan beratnya nyeri. Selain itu, pasien
dengan NPH lebih cenderung mengalami perubahan sensorik dibanding penderita dengan zoster
yang sembuh tanpa neuralgia. 1

Nyeri yang berhubungan dengan zoster akut dan neuralgia postherpetik merupakan tipe
nyeri neuropatik akibat kerusakan pada saraf tepi dan perubahan proses signal sistem saraf pusat.
Aktivasi simpatis (sistem saraf otonom) yang intens pada area kulit yang terlibat merupakan
akibat dari proses inflamasi (peradangan) akut yang menyebabkan vasokonstriksi (penciutan
pembuluh darah), trombosis intravaskuler (penyumbatan pembuluh darah) dan iskemia
(kekurangan aliran darah) dari saraf tersebut. Pasca cedera saraf, terjadi pelepasan impuls saraf
tepi secara spontan, ambang aktivasi yang rendah dan respon berlebih terhadap rangsangan.
Pertumbuhan akson (serat saraf) baru setelah cedera tersebut membentuk saraf baru yang justru
memiliki kecenderungan memprovokasi pelepasan impuls berlebih. Aktivitas perifer (saraf tepi)
yang berlebihan tersebut diduga sebagai pencetus perubahan sifat saraf, sebagai akibatnya,
terjadi respon sistem saraf pusat yang berlebihan terhadap segala rangsang. Perubahan yang
terjadi ini sangat kompleks sehingga mungkin tidak dapat diatasi dengan satu jenis terapi saja. 1

2. Etiologi
Neuralgia post herpetik disebabkan oleh infeksi virus herpes zooster. Virus varisella zoster
merupakan salah satu dari delapan virus herpes yang menginfeksimanusia.Virus ini termasuk
dalam famili herpesviridae. Struktur virus terdiri dari sebuahicosahedral nucleocapsid yang
dikelilingi oleh selubung lipid. Ditengahnya terdapat DNA untai ganda. Virus varisella zoster
memiliki diameter sekitar 180-200 nm. Herpes Zooster adalah infeksi virus yang terjadi senantiasa
pada anak-anak yang biasa disebut dengan varicella (chicken pox). Tipe Virus yang bersifat patogen pada
manusia adalah herpes virus-3 (HHV-3), biasa juga disebut dengan varisella zoster virus (VZV). Virus ini
berdiam di ganglion posterior susunan saraf tepi dan ganglion kranialis terutama nervus kranialis V
(trigeminus) pada ganglion gasseri cabang oftalmik dan vervus kranialis VII (fasialis) pada ganglion
genikulatum. 2

Bagian/SMF Ilmu Penyakit Saraf Fak.Kedokteran Untad 3


RSUD Undata Palu
Herpes zoster merupakan infeksi virus (yang sifatnya terlokalisir) dari reaktivasi infeksi virus
varicella-zoster endogen (telah ada sebelumnya dalam tubuh seseorang). Virus ini bersifat laten pada saraf
sensorik atau pada saraf-saraf wajah dan kepala (saraf kranialis) setelah serangan varicella (cacar air)
sebelumnya. Reaktivasi virus sering terjadi setelah infeksi primer, namun bila sistem kekebalan tubuh
mampu meredamnya maka tidak nampak gejala klinis. Sekitar 90% orang dewasa di Amerika Serikat
pada pemeriksaan laboratorium serologik (diambil dari darah) ditemukan bukti adanya infeksi varicella-
zoster sehingga menempatkan mereka pada kelompok resiko tinggi herpes zoster. Angka insidens zoster
dalam komunitas diperkirakan mencapai 1.2 hingga 3.4 per-1000 orang tiap tahunnya. Dari angka
tersebut, diperkirakan insidennya bisa mencapai lebih dari 500,000 kasus tiap tahun dan sekitar 9-24%
pasien-pasien ini akan mengalami NPH. Peningkatan usia nampaknya menjadi kunci faktor resiko
perkembangan herpes zoster, insidensnya pada lanjut usia (diatas 60-70 tahun) mencapai 10 kasus per-
1000 orang pertahun, sementara NPH juga mencapai 50% pada pasien-pasien ini dan mengalami nyeri
yang berkepanjangan (dalam hitungan bulan bahkan tahun). NPH sendiri menimbulkan masalah baru
akibat disability, depresi dan terisolasi secara sosial serta menurunkan kualitas hidup. Sekali NPH terjadi,
akan sangat sulit melakukan penatalaksanaan secara efektif. 2

3. Patogenesis
Infeksi primer virus varisella zoster dikenal sebagai varisella atau cacar air.
Pajananpertama biasanya terjadi pada usia kanak-kanak. Virus ini masuk ke tubuh melalui
system respiratorik. Pada nasofaring, virus varisella zoster bereplikasi dan menyebar melalui
alirandarah sehingga terjadi viremia dengan manifestasi lesi kulit yang tersebar di seluruh
tubuh.Periode inkubasi sekitar 14-16 hari setelah paparan awal. Setelah infeksi primer dilalui,
virus inibersarang di ganglia akar dorsal, hidup secara dorman selama bertahun-
tahun.Patogenesis terjadinya herpes zoster disebabkan oleh reaktivasi dari virus varisellazoster
yang hidup secara dorman di ganglion. Imunitas seluler berperan dalam pencegahanpemunculan
klinis berulang virus varicella zoster dengan mekanisme tidak diketahui. Hilangnyaimunitas
seluler terhadap virus dengan bertambahnya usia atau status imunokompromisdihubungkan
dengan reaktivasi klinis. Saat terjadi reaktivasi, virus berjalan di sepanjang aksonmenuju ke
kulit. Pada kulit terjadi proses peradangan dan telah mengalami denervasi secaraparsial. Di sel-
sel epidermal, virus ini bereplikasi menyebabkan pembengkakan, vakuolisasi danlisis sel
sehingga hasil dari proses ini terbentuk vesikel yang dikenal dengan nama ‘Lipschutzinclusion
body’. Pada ganglion kornu dorsalis terjadi proses peradangan, nekrosis hemoragik,dan

Bagian/SMF Ilmu Penyakit Saraf Fak.Kedokteran Untad 4


RSUD Undata Palu
hilangnya sel-sel saraf. Inflamasi pada saraf perifer dapat berlangsung beberapa minggusampai
beberapa bulan dan dapat menimbulkan demielinisasi, degenerasi walleriandan proses sklerosis.
Proses perjalanan virus ini menyebabkan kerusakan pada saraf. 1
Beberapa perubahan patologi yang dapat ditemukan pada infeksi virus varisella zoster 3:
1. Reaksi inflamatorik pada beberapa unilateral ganglion sensorik di saraf spinal atausarafkranial
sehingga terjadi nekrosis dengan atau tanpa tanda perdarahan.
2. Reaksi inflamatorik pada akar spinal dan saraf perifer beserta ganglionnya.
3. Gambaran poliomielitis yang mirip dengan akut anterior poliomielitis, yang dapatdibedakan
dengan lokalisasi segmental, unilateral dan keterlibatan ‘dorsal horn’, akar danganglion.
4. Gambaran leptomeningitis ringan yang terbatas pada segmen spinal, kranial dan akarsaraf
yang terlibat.
Virus herpes zooster kebanyakan memusnahkan sel-sel ganglion yang berukuran besar. Yang
luput dari maut dan tersisa adalah sel-sel berukuran kecil. Mereka tergolong dalam serabut halus yang
mengahantarkan impuls nyeri, yaitu serabut A-delta dan C. Sehingga semua impuls yang masuk diterima
oleh serabut penghantar nyeri. Selain itu pada saraf perifer terjadi perlukaan mengakibatkan saraf perifer
tersebut memiliki ambang aktivasi yang lebih rendah sehingga menimbulkan hyperesthesia yaitu respon
sensitifitas yang berlebihan terhadap stimulus. Hal ini menunjukkan adanya kelainan pada proses
transduksi. 4

Penghantaran nyeri pada proses transmisi juga mengalami gangguan. Hal ini diakibatkan oleh
hilangnya impuls yang disalurkan oleh serabut tebal maka semua impuls yang masih bisa disalurkan
kebanyakan oleh serabut halus. Akibatnya sumasi temporal tidak terjadi, karena impuls yang seharusnya
dihantarkan melalui serabut tebal dihantarkan oleh serabut halus. Karena sebagian besar dari serabut tebal
sudah musnah, maka mayoritas dari serabut terdiri dari serabut halus. Karena itu sumasi temporal yang
wajar hilang. 1

Dengan hilangnya sumasi temporal maka proses modulasi yang terjadi pada kornu posterior
tidak berjalan secara normal akibatnya tidak terjadi proses antara sistem analgesilk endogen dengan
asupan nyeri yang masuk ke kornu posterior. Kornu posterior adalah pintu gerbang untuk membuka dan
menutup jalur penghantaran nyeri. Hal ini dapat mengakibatkan munculnya gejala hyperalgesia. 1

Maka dari itu impuls yang dipancarkan ke inti thalamus semuanya tiba kira-kira pada waktu
yang sama dan hampir semuanya telah dihantarkan oleh serabut halus yang merupakan serabut
penghantar impuls nyeri. Kedatangan impuls yang serentak dalam jumlah yang besar dipersepsikan

Bagian/SMF Ilmu Penyakit Saraf Fak.Kedokteran Untad 5


RSUD Undata Palu
sebagai nyeri hebat yang sesuai dengan sifat neuralgia. Sesuai dengan tipe pada penghantaran serabut
saraf masing-masing, yaitu serabut saraf tipe A membawa nyeri tajam, tusuk dan selintas sedangkan
serabut saraf tipe C membawa nyeri lambat dengan rasa terbakar dan berkepanjangan. Hal ini
mengakibatkan timbulnya allodinia, yaitu nyeri yang disebabkan oleh stimulus normal (secara normal
semestinya tidak menimbulkan nyeri). 1

Pada otopsi pasien yang pernah mengalami herpes zoster dan neuralgia paska
herpetikaditemukan atrofi kornu dorsalis, sedangkan pada pasien yang mengalami herpes zoster
tetapitidak mengalami neuralgia paska herpetika tidak ditemukan atrofi kornu dorsalis. 1

4. Epidemiologi
Kebanyakan data insidensi herpes zoster dan neuralgia paska herpertika didapatkan dari
dataEropa dan Amerika Serikat. Insedensi dari herpes zoster pada negara-negara
tersebutbervariasi dari 1.3 sampai 4.8/1000 pasien/tahun, dan data ini meningkat dua sampai
empatkali lebih banyak pada individu dengan usia lebih dari 60 tahun. Data lain menyatakan
padapenderita imunokompeten yang berusia dibawah 20 tahun dilaporkan 0.4-1.6 kasus per
1000;sedangkan untuk usia di atas 80 tahun dilaporkan 4.5-11 kasus per 1000. Pada penderita
imunidefisiensi (HIV) atau anak-anak dengan leukimia dilaporkan 50-100 kali lebih
banyakdibandingkan kelompok sehat usia sama.Penelitian Choo 1997 melaporkan prevalensi
terjadinya neuralgia paska herpetika setelah onsetruam herpes zoster sejumlah 8 kasus/100
pasien dan 60 hari setelah onset sekitar 4.5kasus/100 pasien. Sehingga berdasarkan penelitia
Choo, diperkirakan angka terjadi neuralgiapaska herpetika sekitar 80.000 kasus pada 30 hari dan
45.000 kasus pada 60 hari per 1 jutakasus herpes zoster di Amerika Serikat per tahunnya. 3
Sedangkan belum didapatkan angka insidensi Asia Australia dan Amerika Selatan,tetapi
presentasi klinis dan epidemiologi herpes zoster di Asia, Australia dan Amerika
Selatanmempunyai pola yang sama dengan data dari Eropa dan Amerika Serikat.Pada herpes
zoster akut hampir 100% pasien mengalami nyeri, dan pada 10-70%nyamengalamia neuralgia
paska herpetika. Nyeri lebih dari 1 tahun pada penderita berusia lebihdari 70 tahun dilaporkan
mencapai 48%.3

Bagian/SMF Ilmu Penyakit Saraf Fak.Kedokteran Untad 6


RSUD Undata Palu
5. Faktor resiko
Beberapa faktor resiko terjadinya neuralgia paska herpetika adalah meningkatnya
usia,nyeri yang hebat pada fase akut herpes zoster dan beratnya ruam HZ. Dikatakan bahwa
ruamberat yang terjadi dalam 3 hari setelah onset herpes zoster, 72% penderitanya
mengalamineuralgia paska herpetika. Faktor resiko lain yang mempunyai peranan pula
dalammenimbulkan neuralgia paska herpetika adalah gangguan sistem kekebalan tubuh,
pasiendengan penyakit keganasan (leukimia, limfoma), lama terjadinya ruam. 1

6. Manifestasi klinis herpes zoster dan neuralgia paska herpetika


Tanda khas dari haerpes zooster pada fase prodromal adalah nyeri dan parasthesia pada daerah
dermatom yang terkena. Dworkin membagi neuralgia post herpetik ke dalam tiga fase: 1. Fase akut: fase
nyeri timbul bersamaan/ menyertai lesi kulit. Biasanya berlangsung < 4 minggu, 2. Fase subakut: fase
nyeri menetap > 30 hari setelah onset lesi kulit tetapi < 4 bulan, 3. Neuralgia post herpetik: dimana nyeri
menetap > 4 bulan setelah onset lesi kulit atau 3 bulan setelah penyembuhan lesi herpes zoster. 1,3

Gambar 1. Lesi kulit pada herpes zoster


Pada umumnya penderita dengan herpes zoster berkunjung ke dokter ahli penyakit kulit oleh
karena terdapatnya gelembung – gelembung herpesnya. Keluhan penderita disertai dengan rasa demam,
sakit kepala, mual, lemah tubuh. 48-72 jam kemudian, setelah gejala prodromal timbul lesi
makulopapular eritematosa unilateral mengikuti dermatom kulit dan dengan cepat berubah bentuk
menjadi lesi vesikular. Nyeri yang timbul mempunyai intensitas bervariasi dari ringan sampai berat
sehingga sentuhan ringan saja menimbulkan nyeri yang begitu mengganggu penderitanya. Setelah 3-5

Bagian/SMF Ilmu Penyakit Saraf Fak.Kedokteran Untad 7


RSUD Undata Palu
hari dari awal lesi kulit, biasanya lesi akan mulai mengering. Durasi penyakit biasanya 7-10 hari, tetapi
biasanya untuk lesi kulit kembali normal dibutuhkan waktu sampai berminggu-minggu.1
Penyakit ini dapat sangat mengganggu penderitanya. Gangguan sensorik yang ditimbulkan
diperberat oleh rangsangan pada kulit dengan hasil hiperestesia, allodinia dan hiperalgesia. Nyeri yang
dirasakan dapat mengacaukan pekerjaan si penderita, tidur bahkan sampai mood sehingga nyeri ini dapat
mempengaruhi kualitas hidup jangka pendek maupun jangka panjang pasien. Nyeri dapat dirasakan
beberapa hari atau beberapa minggu sebelum timbulnya erupsi kulit. Keluhan yang paling sering
dilaporkan adalah nyeri seperti rasa terbakar, parestesi yang dapat disertai dengan rasa sakit (disestesi),
hiperestesia yang merupakan respon nyeri berlebihan terhadap stimulus, atau nyeri seperti terkena/
tersetrum listrik. Nyeri sendiri dapat diprovokasi antara lain dengan stimulus ringan/ normal (allodinia),
rasa gata-gatal yang tidak tertahankan dan nyeri yang terus bertambah dalam menanggapi rangsang yang
berulang. 1

Pada masa gelembung –gelembung herpes menjadi kering, orang sakit mulai menderita karena
nyeri hebat yang yang dirasakan pada daerah kulit yang terkena. Nyeri hebat itu bersifat neuralgik. Di
mana nyeri ini sangat panas dan tajam, sifat nyeri neuralgik ini menyerupai nyeri neuralgik idiopatik,
terutama dalam hal serangannya yaitu tiap serangan muncul secara tiba – tiba dan tiap serangan terdiri
dari sekelompok serangan – serangan kecil dan besar. Orang sakit dengan keluhan sakit kepala di
belakang atau di atas telinga dan tidak enak badan. Tetapi bila penderita datang sebelum gelembung –
gelembung herpes timbul, untuk meramalkan bahwa nanti akan muncul herpes adalah sulit sekali.
Bedanya dengan neuralgia trigeminus idiopatik ialah adanya gejala defisit sensorik. Dan fenomena
paradoksal inilah yang menjadi ciri khas dari neuralgia post herpatik, yaitu anestesia pada tempat –
tempat bekas herpes tetapi pada timbulnya serangan neuralgia, justru tempat –tempat bekas herpes yang
anestetik itu yang dirasakan sebagai tempat yang paling nyeri. Neuralgia post herpatik sering terjadi di
wajah dan kepala. Jika terdapat di dahi dinamakan neuralgia postherpatikum oftalmikum dan yang di
daun telinga neuralgia postherpatikum otikum. 1

Manifestasi klinis klasik yang terjadi pada herpes zoster adalah gejala prodromal
rasaterbakar, gatal dengan derajat ringan sampai sedang pada kulit sesuai dengan dermatom
yangterkena. Biasanya keluhan penderita disertai dengan rasa demam, sakit kepala, mual,
lemahtubuh. 48-72 jam kemudian, setelah gejala prodromal timbul lesi makulopapular
eritematosaunilateral mengikuti dermatom kulit dan dengan cepat berubah bentuk menjadi lesi
vesikular.Nyeri yang timbul mempunyai intensitas bervariasi dari ringan sampai berat sehingga
sentuhanringan saja menimbulkan nyeri yang begitu mengganggu penderitanya. Setelah 3-5 hari

Bagian/SMF Ilmu Penyakit Saraf Fak.Kedokteran Untad 8


RSUD Undata Palu
dariawal lesi kulit, biasanya lesi akan mulai mengering. Durasi penyakit biasanya 7-10 hari,
tetapibiasanya untuk lesi kulit kembali normal dibutuhkan waktu sampai berminggu-
minggu.Intensitas dan durasi dari erupsi kulit oleh karena infeksi herpes zoster dapat dikurangi
denganpemberian acyclovir (5x800mg/hari) atau dengan famciclovir atau
valacyclovir.Manifestasi klinis neuralgia paska herpetika adalah penyakit yang dapat
sangatmengganggu penderitanya. Gangguan sensorik yang ditimbulkan diperberat oleh
rangsanganpada kulit dengan hasil hiperestesia, allodinia dan hiperalgesia. Nyeri yang dirasakan
dapatmengacaukan pekerjaan si penderita, tidur bahkan sampai mood sehingga nyeri ini
dapatmempengaruhi kualitas hidup jangka pendek maupun jangka panjang pasien. Nyeri
dapatdirasakan beberapa hari atau beberapa minggu sebelum timbulnya erupsi kulit. Keluhan
yangpaling sering dilaporkan adalah nyeri seperti rasa terbakar, parestesi yang dapat
disertaidengan rasa sakit (disestesi), hiperestesia yang merupakan respon nyeri berlebihan
terhadapstimulus, atau nyeri seperti terkena/ tersetrum listrik. Nyeri sendiri dapat diprovokasi
antara laindengan stimulus ringan/ normal (allodinia), rasa gata-gatal yang tidak tertahankan dan
nyeriyang terus bertambah dalam menanggapi rangsang yang berulang. 1

7. Komplikasi
Komplikasi yang paling sering terjadi pada kasus herpes zoster adalah
timbulnyaneuralgia paska herpetika sehingga neuralgia paska herpetika bukan merupakan
kelanjutandari herpes zoster akut, tetapi merupakan penyakit yang berdiri sendiri yang
merupakankomplikasi herpes zoster. Neuralgia paska herpetika merupakan suatu kondisi
dimanamenetapnya nyeri di tempat lesi walaupun lesi kulit sudah sembuh lama. Dworkin
membagi neuralgia paska herpetika ke dalam tiga fase1:
- Fase akut: fase nyeri timbul bersamaan/ menyertai lesi kulit. Biasanyaberlangsung < 4 minggu
- Fase subakut: fase nyeri menetap > 30 hari setelah onset lesi kulit tetapi < 4bulan
- Neuralgia paska herpetika: dimana nyeri menetap > 4 bulan setelah onset lesikulit atau 3 bulan
setelah penyembuhan lesi herpes zoster.Nyeri digambarkan sebagai rasa seperti terbakar, teiris
tajam, rasa tertusuk-tusuk, rasatersetrum di sepanjang dermatom yang terkena/ terlibat.
Didapatkan pula gangguan allodiniadimana sentuhan ringan seperti pada pakaian atau seprei
tempat tidur menimbulkan rasa nyeritajam yang sangat mengganggu pasien. Gangguan nyeri
ini dapat menganggu pasien dalammelakukan aktivitas sehari-hari seperti mandi atau saat

Bagian/SMF Ilmu Penyakit Saraf Fak.Kedokteran Untad 9


RSUD Undata Palu
berpakaian atau saat tidur. Keluhansensorik lain yang dapat timbul berupa rasa baal daerah lesi,
sensitif terhadap perubahan temperatur. 1
Menurut Fields, terdapat dua tipe penilaian terhadap derajat dan luasnya gangguan
sensorikpada pasien neuralgia paska herpetika. Fase iritasi, dimana gangguan sensorik
(allodiniahilangnya sensorik) terbatas pada lesi kulit dan fase deaferentasi dimana gangguan
sensorikmeluas dari batas lesi kulit. Pada fase iritasi, penggunaan terapi anastetik lokal intra
dermallebih berguna dibandingkan dengan tipe deaferentasi. 1
Komplikasi lain yang dapat terjadi pada herpes zoster adalah: lesi herpes zoster yang
meluaske seluruh tubuh (biasanya terjadi pada penderita dengan imunodefisiensi),
ensefalitis,hepatitis, pneumonitis. 1

8. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan, yaitu: 1

1. Pemeriksaan neurologis pada nervus trigeminus dan pemeriksaan neurologis lainnya.

2. Elektromiografi (EMG) untuk melihat aktivitas elektrik pada nervus

3. Cairan cerebrospinal (CSF) abnormal dlm 61% kasus

4. Pleositosis ditemui pada 46% kasus, peningkatan protein 26% dan DNA VZV 22% kasus.

5. Smear vesikel dan PCR untuk konfirmasi infeksi.

6. Kultur viral atau pewarnaan immunofluorescence bisa digunakan untuk membedakan herpes simpleks
dengan herpes zoster

7. Mengukur antibodi terhadap herpes zoster. Peningkatan 4 kali lipat mendukung diagnosis herpes zoster
subklinis.

9. Tatalaksana terapi neuralgia paska herpetika


Secara umum terapi yang dapat kita lakukan terhadap kasus penderita denganneuralgia
paska herpetika dibagi menjadi dua jenis, yaitu terapi farmakologis dan terapi nonfarmakologis.

Bagian/SMF Ilmu Penyakit Saraf Fak.Kedokteran Untad 10


RSUD Undata Palu
 Terapi farmakologis:
a. Antivirus

Intensitas dan durasi erupsi kutaneus serta nyeri akut pada herpes zoster yang timbul akibat dari
replikasi virus dapat dikurangi dengan pemberian asiklovir, Valacyclovir, Famciclovir. Asiklovir
diberikan dengan dosis anjuran 5 x 800 mg/hari selama 7 – 10 hari diberikan pada 3 hari pertama sejak
lesi muncul.Efek samping yang dapat ditemukan dalam penggunaan obat ini adalah mual, muntah, sakit
kepala, diare, pusing, lemah, anoreksia, edema, dan radang tenggorokan. Valasiklovir diberikan dengan
dosis anjuran 1 mg/hari selama 7 hari secara oral. Efek samping yang dapat ditemukan da;lam
penggunaan obat ini adalah mual, muntah, sakit kepala, dan nyeri perut. Famsiklovir diberikan dengan
dosis anjuran 500 mg/hari selama 7 hari selama 7 hari. Efek samping dalam penggunaan opbat ini adalah
mual, muntah, sakit kepala, pusing, nyeri.2

b. Analgesik

Terapi sistemik umumnya bersifat simptomatik, untuk nyerinya diberikan analgetik. Jika diserta
infeksi sekunder deberikan antibiotic. Analgesik non opioid seperti NSAID dan parasetamol mempunyai
efek analgesik perifer maupun sentral walaupun efektifitasnya kecil terhadap nyeri neuropatik. Sedangkan
penggunaan analgesik opioid memberikan efektifitas lebih baik. Tramadol telah terbukti efektif dalam
pengobatan nyeri neuropatik. Bekerja sebagai agonis mu-opioid yang juga menghambat reuptake
norepinefrin dan serotonin. Pada sebuah penelitian, jika dosis tramadol dititrasi hingga maksimum 400
mg/hari dibagi dalam 4 dosis. Namun, efek pada sistem saraf pusat dapat menimbulkan terjadinya
amnesia pada orang tua. Hal yang harus diperhatikan bahwa pemberian opiat kuat lebih baik dikhususkan
pada kasus nyeri yang berat atau refrakter oleh karena efek toleransi dan takifilaksisnya. Dosis yang
digunakan maksimal 60 mg/hari. 1,22. Oxycodone berdasarkan penelitian menunjukkan efek yang
lebih baik dibandingkan plasebo dalam meredakan nyeri, allodinia, gangguan tidur, dan
kecacatan. 2

c. Anti epilepsi

Mekanisme kerja obat epilepsi ada 3, yakni dengan 1) memodulasi voltage-gated sodium
channel dan kanal kalsium, 2) meningkatkan efek inhibisi GABA, dan 3) menghambat transmisi
glutaminergik yang bersifat eksitatorik. Gabapentin bekerja pada akson terminal dengan memodulasi
masuknya kalsium pada kanal kalsium, sehingga terjadi hambatan. Karena bekerja secara sentral,
gabapentin dapat menyebabkan kelelahan, konfusi, dan somnolen. Dosis yang dianjurkan sebesar 1800-
3600 mg/d . Karbamazepin, lamotrigine bekerja pada akson terminal dengan memblokade kanal sodium,

Bagian/SMF Ilmu Penyakit Saraf Fak.Kedokteran Untad 11


RSUD Undata Palu
sehingga terjadi hambatan. Pregabalin bekerja menyerupai gabapentin. Onset kerjanya lebih cepat. Seperti
halnya gabapentin, pregabalin bukan merupakan agonis GABA namun berikatan dengan subunit dari
voltage-gated calcium channel, sehingga mengurangi influks kalsium dan pelepasan neurotransmiter
(glutamat, substance P, dan calcitonin gene-related peptide) pada primary afferent nerve terminals.
Dikatakan pemberian pregabalin mempunyai efektivitas analgesik baik pada kasus neuralgia paska
herpetika, neuropati diabetikorum dan pasien dengan nyeri CNS oleh karena trauma medulla spinalis.
Didapatkan pula hasil perbaikan dalam hal tidur dan ansietas. 4

d. Anti depressan

Anti depressan trisiklik menunjukkan peran penting pada kasus neuralgia paska herpetika. Obat
golongan ini mempunyai mekanisme memblok reuptake (pengambilan kembali) norepinefrin dan
serotonin. Obat ini dapat mengurangi nyeri melalui jalur inhibisi saraf spinal yang terlibat dalam persepsi
nyeri. Pada beberapa uji klinik obat antidepressan trisiklik amitriptilin, dilaporkan 47-67% pasien
mengalami pengurangan nyeri tingkat sedang hingga sangat baik. Amitriptilin menurunkan reuptake saraf
baik norepinefrin maupun serotonin. dengan pemberian tricyclic antidepressant seperti amiitriptyline
dengan dosis, 25-150 mg/d secara oral. Obat ini akan lebih efektif bila dikombinasikan dengan
phenitiazine. TCA telah terbukti efektif dalam pengobatan nyeri neuropatik dibanding SSRI (selective
serotonine reuptake inhibitor) seperti fluoxetine, paroxetine, sertraline, dan citalopram. Alasannya
mungkin dikarenakan TCA menghambat reuptake baik serotonin maupun norepinefrin, sedangkan SSRI
hanya menghambat reuptake serotonin. Efek samping TCA berupa sedasi, konfusi, konstipasi, dan efek
kardiovaskular seperti blok konduksi, takikardi, dan aritmia ventrikel. Obat ini juga dapat meningkatkan
berat badan, menurunkan ambang rangsang kejang, dan hipotensi ortostatik. Anti depressan yang biasa
digunakan untuk kasus neuralgia pot herpetika adalah amitriptilin, nortriptiline, imipramine, desipramine
dan lainnya. 2

e. Terapi topikal

Anestesi lokal memodifikasi konduksi aksonal dengan menghambat voltage-gated sodium


channels. Inaktivasi menyebabkan hambatan terhadap terjadinya impuls ektopik spontan. Obat ini bekerja
lebih baik jika kerusakan pada neuron hanya terjadi sebagian, fungsi nosiseptor tetap ada, dan adanya
jumlah kanal sodium yang berlebih. Mekanisme lainnya adalah dengan memodifikasi aktivitas NMDA.4

Lidokain topikal merupakan obat yang sering diteliti dengan hasil yang baik dalam mengobati
nyeri neuropatik. Sebuah studi menunjukkan efek yang baik dengan penggunaan lidocaine patch 5%
untuk pengobatan NPH. Obat ini ditempatkan pada daerah simtomatik selama 12 jam dan dilepas untuk

Bagian/SMF Ilmu Penyakit Saraf Fak.Kedokteran Untad 12


RSUD Undata Palu
12 jam kemudian. Obat ini dapat digunakan selama bertahun-tahun dan dipakai sebagai pilihan terapi
tambahan pada pasien orang tua. Penggunaan krim topikal seperti capsaicin cukup banyak dilaporkan.
Krim capsaicin sampai saat ini adalah satu-satunya obat yang disetujui FDA untuk neuralgia paska
herpetika. Capsaicin berefek pada neuron sensorik serat C (C-fiber). Telah diketahui bahwa neuron ini
melepaskan neuropeptida inflamatorik seperti substansia P yang menginisiasi nyeri. Dengan dosis tinggi,
capsaicin mendesensitisasi neuron ini. Tetapi sayangnya capsaicin mempunyai efek sensasi rasa terbakar
yang sering tidak bisa ditoleransi pemakainya (1/3 pasien pada uji klinik ini). 4

 Terapi non farmakologis

a. Akupunktur

Akupunktur banyak digunakan sebagai terapi untuk menghilangkan nyeri. Terdapat beberapa
penelitian mengenai terapi akupunktur untuk kasus neuralgia paska herpetika. Namun penelitian-
penelitian tersebut masih menggunakan jumlah kasus tidak terlalu banyak dan terapi tersebut dikombinasi
pula dengan terapi farmakologis.1

b. TENS (stimulasi saraf elektris transkutan)

Penggunaan TENS dilaporkan dapat mengurangi nyeri secara parsial hingga komplit pada
beberapa pasien neuralgia paska herpetik. Tetapi penggunaan TENS-pun dianjurkan hanya sebagai terapi
adjuvan/ tambahan disamping terapi farmakologis.1

c. Vaksin

Penggunaan vaksin untuk mencegah timbulnya Neurlagia Postherpertika pada orang lanjut usia
yaitu umur 60 tahun keatas dengan dosis 1 ml diberikan secara sub kutan ternyata efektif. Dari 107 orang
yang menderita neuralgia post herpetika kemudian diberikan vaksin ternyata dapat mereduksi nyeri yang
ditimbulkan hingga 66,5 %. 1

10. Pencegahan
Dari beberapa laporan penelitian didapatkan efektifitas yang cukup baik
padapenggunaan kortikosteroid dan antiviral dalam pencegahan timbulnya neuralgia
paskaherpetika. Kortikosteroid berperanan dalam mengurangi inflamasi zoster dan
mencegahkerusakan saraf, sedangkan antiviral (asiklovir) mempunyai manfaat dalam

Bagian/SMF Ilmu Penyakit Saraf Fak.Kedokteran Untad 13


RSUD Undata Palu
mengurangi nyeridan eritema, mencegah timbulnya lesi baru dan menyembuhkan kulit lebih
cepat. 2

11. PROGNOSIS

Umumnya prognosisnya baik, di mana ini bergantung pada tindakan perawatan sejak dini. pada
umumnya pasien dengan neuralgia post herpetika respon terhadap analgesik seperti antidepressan
trisiklik. Jika terdapat pasien dengan nyeri yang menetap dan lama dan tidak respon terhadap terapi
medikasi maka diperlukan pencarioan lanjutan untuk mencari terapi yang sesuai. 1

Prognosis ad vitam dikatakan bonam karena neuralgia paska herpetik tidak menyebabkan
kematian. Kerusakan yang terjadi bersifat lokal dan hanya mengganggu fungsi sensorik. Prognosis ad
functionam dikatakan bonam karena setelah terapi didapatkan perbaikan nyata, dan pasien dapat
beraktivitas baik seperti biasa.1

Prognosis ad sanactionam bonam karena walaupun risiko berulangnya HZ masih mungkin


terjadi sebagaimana disebutkan dari literatur, selama pasien mempunyai daya tahan tubuh baik
kemungkinan timbul kembali kecil.1

Bagian/SMF Ilmu Penyakit Saraf Fak.Kedokteran Untad 14


RSUD Undata Palu
KESIMPULAN

Neuralgia post herpetik adalah nyeri neuropatik yang menetap setelah onset ruam (atau
3 bulan setelah penyembuhan herpes zoster). Biasanya di dahului oleh adanya riwayat menderita
varicella pada masa kanak-kanak. Ketika telah berumur tua, terutama pada usia 50 tahun ke atas,
atau dalam keadaan imunokmpromise maka virus herpes ini akan mengalami reaktivasi.
Manifestasi klinis yang sering di jumpai adalah nyeri seperti rasa terbakar, parestesi yang dapat
disertai dengan rasa sakit (disestesi), hiperestesia yang merupakan respon nyeri berlebihan
terhadap stimulus, atau nyeri seperti terkena/ tersetrum listrik. Penatalaksanaan penyakit ini
dapat dilakukan dengan terapi farmakologi dan non farmakologi. Pemeriksaan penunjang pada
penyakit ini tidak terlalu berarti, cukup dengan anamnesis dan pemeriksaan fisis, diagnosa
penyakit ini sudah dapat ditegakkan. Prognosisnya tidak buruk, pada umumnya dapat sembuh
dengan terapi yang teratur.

Bagian/SMF Ilmu Penyakit Saraf Fak.Kedokteran Untad 15


RSUD Undata Palu
DAFTAR PUSTAKA

1. Regina ,W.L. 2012. Neuralgia Pascaherpetika. Fakultas Kedokteran Indonesia : Jakarta


2. Sumaryo, S. 2012. Prevention And Treatment Of Post Herpetic Neuralgia To Be Travelling.
Fakultas Kedokteran Diponegoro : Semarang
3. Johnson,W.R. 2014. Postherpetic Neuralgia. The new England Journal of Medicine :
England
4. Hanpaa,M. 2015. Treating Herpes Zoster and postherpetic neuralgia. International
Assoaciation for the study of pain : Finlandia

Bagian/SMF Ilmu Penyakit Saraf Fak.Kedokteran Untad 16


RSUD Undata Palu

Anda mungkin juga menyukai