Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Setiap individu atau organisasi tidak akan terlepas dari masalah. Masalah pada

dasarnya adalah penyimpangan atau ketidaksesuaian dari apa yang semestinya terjadi

atau tercapai. Kesalahan dalam melakukan identifikasi masalah akan menyebabkan

kesalahan dalam penyelesaiannya. Kesalahan identifikasi tersebut bisa disebabkan kita

salah dalam menafsirkan gejala yang merupakan akibat dari masalah yang terjadi.

Untuk dapat menyelesaikan masalah, maka perlu dilakukan proses penyelesaian

masalah dari mulai mengumpulkan informasi yang terkait dengan gejala dan masalah

yang dihadapi, hingga kepada penyelesaian masalah yang mungkin dapat dilakukan.

Proses tersebut sering kali dinamakan sebagai proses penyelesaian masalah (problem

solving).

Penyelesaian masalah sering kali tidak mudah karena berbagai faktor yang terkait

dengan masalah sering kali tidak berpola tunggal, baik yang terkait dengan faktor

penyebab maupun alternatif penyelesaiannya. Alternatif yang mana yang akan kita

pilih pada dasarnya mendorong kita untuk mengambil keputusan, karena keputusan

harus diambil agar proses dapat terus berjalan.

Pengambilan keputusan dalam penyelesaian masalah adalah kemampuan

mendasar bagi praktisi kesehatan, khususnya dalam asuhan keperawatan. Tidak hanya

berpengaruh pada proses pengelolaan asuhan keperawatan, tetapi penting untuk

meningkatkan kemampuan merencanakan perubahan. Perawat pada semua tingkatan

posisi klinis harus memiliki kemampuan menyelesaikan masalah dan mengambil

keputusan yang efektif, baik sebagai pelaksana/staf maupun sebagai pemimpin.

1
Penyelesaian masalah dan pengambilan keputusan bukan merupakan bentuk

sinonim. Pemecahan masalah dan proses pengambilan keputusan membutuhkan

pemikiran kritis dan analisis yang dapat ditingkatkan dalam praktek. Pengambilan

keputusan merupakan upaya pencapaian tujuan dengan menggunakan proses yang

sistematis dalam memilih alternatif. Tidak semua pengambilan keputusan dimulai

dengan situasi masalah.

Pemecahan masalah termasuk dalam langkah proses pengambilan keputusan,

yang difokuskan untuk mencoba memecahkan masalah secepatnya. Masalah dapat

digambarkan sebagai kesenjangan diantara “apa yang ada dan apa yang seharusnya

ada”. Pemecahan masalah dan pengambilan keputusan yang efektif diprediksi bahwa

individu harus memiliki kemampuan berfikir kritis dan mengembangkan dirinya

dengan adanya bimbingan dan role model di lingkungan kerjanya.

Oleh karena pentingnya pengambilan keputusan, maka perlu diberlakukan suatu

pembahasan secara mendalam mengenai pengambilan keputusan yang akan kita ikuti

dalam mata kuliah pengambilan keputusan, agar kita dapat memahami esensi dari

pengambilan keputusan itu sendiri. Selain sebagai kewajiban tugas kelompok,

makalah ini diperbuat bertujuan untuk memberi pemahaman kepada pembaca, agar

mampu memahami konsep dasar pengambilan keputusan secara sederhana dan jelas.

2
1.2.Tujuan Penulisan
1.2.1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui secara umum apa itu Teori dan Konsep dasar Pengambilan

Keputusan terutama dalam keperawatan.

1.2.2. Tujuan Khusus


a) Mahasiswa mengetahui konsep umum dari Decision Making

b) Mahasiswa mengetahui tipe dan jenis Decision Making

c) Mahasiswa mengetahui Prinsip Etik dalam Pengambilan Keputusan Keperawatan

di rumah sakit

d) Mahasiswa mengetahui dan memahami apa saja langkah-langkah dalam Decision

Making

e) Mahasiswa mampu memahami penerapan Decision Making dalam manajemen

keperawatan di rumah sakit terutama bagi perawat

f) Mahasiswa mampu mengetahui trend issue keperawatan

g) Mahasiswa mampu mengetahui cara penyelesaian masalah dan pemahaman

kolaborasi bersama tenaga medis lainnya

3
BAB II
TINJAUAN TEORI

A. Pengertian Decison Making


Pengambilan keputusan (desicion making) adalah melakukan penilaian dan

menjatuhkan pilihan. Keputusan ini diambil setelah melalui beberapa perhitungan dan

pertimbangan alternatif. Sebelum pilihan dijatuhkan, ada beberapa tahap yang mungkin

akan dilalui oleh pembuat keputusan. Tahapan tersebut bisa saja meliputi identifikasi

masalah utama, menyusun alternatif yang akan dipilih dan sampai pada pengambilan

keputusan yang terbaik.

Secara umum, pengertian pengambilan keputusan telah dikemukakan oleh banyak ahli,

diantaranya adalah :

1. G. R. Terry : Mengemukakan bahwa pengambilan keputusan adalah sebagai

pemilihan yang didasarkan kriteria tertentu atas dua atau lebih alternatif yang

mungkin.

2. Claude S. Goerge, Jr :Mengatakan proses pengambilan keputusan itu dikerjakan

oleh kebanyakan manajer berupa suatu kesadaran, kegiatan pemikiran yang

termasuk pertimbangan, penilaian dan pemilihan diantara sejumlah alternatif.

3. Horold dan Cyril O’Donnell : Mereka mengatakan bahwa pengambilan keputusan

adalah pemilihan diantara alternatif mengenai suatu cara bertindak yaitu inti dari

perencanaan, suatu rencana tidak dapat dikatakan tidak ada jika tidak ada keputusan,

suatu sumber yang dapat dipercaya, petunjuk atau reputasi yang telah dibuat.

4. P. Siagian : Pengambilan keputusan adalah suatu pendekatan sistematis terhadap

suatu masalah, pengumpulan fakta dan data, penelitian yang matang atas alternatif

dan tindakan.

4
B. Tipe-Tipe Decision Making
1. Programmed Decision Making

Seringkali situasi yang dihadapi oleh pengambil keputusan dalam sebuah

organisasi merupakan situasi yang sudah pernah terjadi sebelumnya dan muncul

kembali secara berulang-ulang. Untuk menghadapi situasi tersebut, organisasi

menggunakan apa yang disebut Performance Program, yaitu sebuah prosedur

standar dan terstruktur dalam pengambilan keputusan ketika menghadapi

situasi tertentu. Pengambilan keputusan seperti inilah yang disebut dengan

Programmed Decision. Programmed Decision memungkinkan pengambil keputusan

untuk mengambil keputusan secara cepat tanpa harus mencari informasi,

mempertimbangkan alternatif, dan berbagai hal lainnya yang memakan waktu. Meski

demikian, manajer harus waspada kapan saatnya menyesuaikan Performance Program

karena organisasi harus dapat berespon terhadap lingkungan yang dinamis dan

berubah-ubah.Performance Program yang efektif dipakai saat ini misalnya, mungkin

tidak efektif lagi untuk dipakai dua tahun mendatang. Contohnya adalah penetapan

gaji pegawai, prosedur penerimaan pegawai baru, prosedur kenaikan jenjang

kepegawaian dan sebagainya.

2. Non-Programmed Decision Makinng


Pengambilan keputusan yang merespon terhadap sebuah situasi baru yang belum

pernah dihadapi sebelumnya disebut sebagai non-programmed decision making.

Pengambilan keputusan tipe ini mengharuskan pengambil keputusan mencari

informasi sebanyak-banyaknya untuk dapat mengambil keputusan yang terbaik

diantara alternatif-alternatif yang ada. Mengingat lingkungan bisnis masa kini yang

terus berubah-ubah dengan cepat dan penuh dengan ketidakpastian, manajer akan

banyak menghadapi non-Programmed Decision.

5
Situasi non-programmed decision tertentu yang terjadi secara berulang-ulang

dapat dikembangkan menjadi Programmed Decision apabila manajer cermat dan

mampu membuat Performance Program yang tepat. Contohnya adalah pengalokasian

sumber daya-sumber daya organisasi, penjualan yang merosot tajam, pemakaian

teknologi yang modern dan sebagainya.

C. Prinsip Etik dalam Pengambilan Keputusan Keperawatan


1. Otonomi (Autonomy)

Prinsip otonomi didasarkan pada keyakinan bahwa individu mampu berpikir logis

dan mampu membuat keputusan sendiri. Orang dewasa dianggap kompeten dan

memiliki kekuatan membuat sendiri, memilih dan memiliki berbagai keputusan

atau piliah yang harus dihargai oleh orang lain. Prinsip otonomi merupakan respec

terhadap seseorang, atau dipandang sebagai persetujuan tidak memaksa dan

bertindak secara rasional. Otonomi merupakan hak kemandirian dan kebebasan

individu yang menuntut pembedaan diri. Praktek profesional merefleksikan

otonomi saat perawat menghargai hak-hak klien dalam membuat keputusan

tentang perawatan dirinya.

2. Berbuat Baik (Beneficience)

Beneficience berarti melakukan sesuatu yang baik. Kebaikan memerlukan

pencegahan dari kesalahan atau kejahatan, penghapusan kesalahan atau kejahatan

dan peningkatan kebaikan oleh diri dan orang lain. Terkadang dalam situasi

pelayanan kesehatan terjadi konflik antara prinsip ini dengan otonomi

3. Keadilan (Justice)

Prinsip keadilan dibutuhkan untuk tercapai yang sama dan adil terhadap orang lain

yang menjunjung prinsip moral, legal dan kemanusiaan. Nilai ini direfleksikan

dalam praktek profesional ketika perawat bekerja untuk terapi yang benar sesuai

6
hukum, standar praktek dan keyakinan yang benar untuk memperoleh kualitas

pelayanan kesehatan

4. Tidak Merugikan (Nonmaleficience)

Pada prinsip ini berarti tindakan keperawatan pada klien tidak menimbulkan

bahaya atau cidera fisik dan psikologis pada klien

5. Kejujuran (Veracity)

Prinsip veracity berarti penuh dengan kebenaran . Nilai ini diperlukan oleh

pemberi pelayanan kesehatan untuk menyampaikan kebenaran pada setiap klien

dan untuk meyakinkan bahwa klien sangat mengerti. Prinsip veracity berhubungan

dengan kemamapuan seseoranga untuk mengatakan kebenaran. Informasi harus

ada agar menjadi akurat, komprensensif, objek untuk memfasilitasi pemahaman

dan ada penerimaan materi yang ada dan mengatakan yang sebenarnya kepada

klien tentang sgala sesuatu yang berhubungan dengan keadaan diirinya selama

menjalani perawatan.

6. Menepati janji (Fidelity)

Prinsip ini dibutuhkan individu untuk menghargai janji dan komitmennya terhadap

orang lain. Perawat setia pada komitmennya dan menepati janji serta menyimpan

rahasia klien. Ketaan, kesetiaan, adalah kewajiban seorang perawat untuk

mempertahankan komitmen yang dibuatnya pada pasien.

7. Kerahasiaan (Confidentiality)
Aturan dalam prinsip kerahasiaan adalah informasi tentang klien harus di jaga
privasinya. Segala sesuatu yang terdapat dokumen catatan kesehatan klien hanya
boleh dibaca dalam rangka pengobatan klien. Tidak seorangpun dapat memperoleh
informasi tersebut kecuali jika di izinkan oleh klien dengan bukti persetujuan.
D. Langkah-langkah dalam Decision Making
Menurut G. R. Terry :
1. Merumuskan problem yang dihadapi

7
2. Menganalisa problem tersebut

3. Menetapkan sejumlah alternative

4. Mengevaluasi alternative

5. Memilih alternatif keputusan yang akan dilaksanakan

Menurut Peter Drucer :


1. Menetapkan masalah

2. Manganalisa masalah

3. Mengembangkan alternative

4. Mengambil keputusan yang tepat

5. Mengambil keputusan menjadi tindakan efektif

Pengambilan keputusan merupakan proses yang komleks yang memerlukan penanganan

yang serius. Secara umum, proses pengambilan keputusan meliputi tujuh langkah beriktu

(Gibson dkk, 1987):

1. Menerapkan tujuan dan sasaran : Sebelum memulai proses pengambilan

keputusan, tujuan dan sasaran keputusan harus ditetapkan terlebih dahulu, apa hasil

yang harus dicapai dan apa ukuran pencapaian hasil tersebut.

2. Identifikasi persoalan : Persoalan-persoalan di seputar pengambilan keputusan

harus diidentifikasikan dan diberi batasan agar jelas. Mengidentifikasikan dan

memberi batasan persoalan ini harus tepat pada inti persoalannya, sehingga

memerlukan upaya penggalian.

3. Mengembangkan alternatif : Tahap ini berisi pengnidentifikasian berbagai

alternatif yang memungkinkan untuk pengambilan keputusan yang ada. Selama

alternatif itu ada hubungannya, walaupun sedikit, harus ditampung dalam tahap ini.

Belum ada komentar dan analisis.

4. Memilih alternatif : Beberapa alternatif yang layak tersebut di atas harus dipilih

satu alternatif yang terbaik. pemilihan alternatif harus harus mempertimbangkan

8
ketersediaan sumberdaya, keefektifan alternatif dalam memecahkan persoalan,

kemampuan alternatif untuk mencapai tujuan dan sasaran, dan daya saing alternatif

pada masa yang akan datang.

5. Menerapkan keputusan : Keputusan yang baik harus dilaksanakan. Keputusan itu

sendiri merupakan abstraksi, sedangkan baik tidaknya baru dapat dilihat dari

pelaksanaannya.

6. Pengendalian dan evaluasi : Pelaksanaan keputusan perlu pengendalian dan

evaluasi untuk menjaga agar pelaksanaan keputusan tersebut sesuai dengan yang

sudah diputuskan.

E. Aplikasi Decision Making dalam Manajemen Keperawatan


Dalam mengaplikasikan pengambilan keputusan dalam bidang keperawatan

dibutuhkan peran perawat sebagai tenaga kerja yang bekerja di rumah sakit untuk

mengambil bagian dalam pembuatan keputusan terhadap asuhan keperawatan yang

diterapkannya pada pasien.

Perawat sebagai tenaga kesehatan mayoritas di tempat pelayanan kesehatan,

termasuk rumah sakit, mempunyai posisi yang utama dalam pemberian pelayanan

kesehatan karena asuhan keperawatan yang diberikan perawat bersifat kontinyu,

konstan, koordinatif, dan advokatif, sehingga perawat mempunyai peran penting yang

kesinambungan demi tercapainya tujuan pelayanan kesehatan yaitu pemberian asuhan

keperawatan. Tenaga perawat sebagai anggota tim kesehatan dalam menjalankan

peran dan fungsinya bersifat mandiri, kolaboratif dan atau saling tergantung dengan

anggota tim kesehatan lain. Menurut Potter and Perry (2005), bahwa perawat

mempunyai fungsi yang sangat luas yang membutuhkan pengetahuan dan ketrampilan

dalam lingkup area yang bervariasi. Dalam melaksanakan fungsinya tersebut perawat

melaksanakan peran-peran yang saling berhubungan seperti sebagai pemberi

9
pelayananan keperawatan, pengambil kepututsan klinik dan etik, protector dan

advokat dari pasien, manajer, rehabilitator, comforter, komunikator, dan pendidik.

Untuk dapat berperan secara aktif dalam memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan,

diperlukan perawat yang mampu berpikir kritis dan logis untuk mengambil keputusan

yang tepat dalam memecahkan masalah. Beberapa hal yang dapat menimbulkan

masalah peran yang ambigu menimbulkan dilema etik. Dilema etik merupakan suatu

masalah yang sulit dimana tidak ada alternatif yang memuaskan atau suatu situasi

dimana alternatif yang memuaskan dan tidak memuaskan sebanding. Dalam dilema

etik tidak ada yang benar atau salah. Untuk membuat keputusan yang etis, seseorang

harus tergantung pada pemikiran yang rasional dan bukan emosional. Kerangkan

pemecahan dilema etik banyak diutarakan dan pada dasarnya menggunakan kerangka

proses keperawatan/ pemecahan masalah secara ilmiah (Thompson & Thopson,

1981).

Sebagai seorang profesional, perawat bertanggung jawab dan mengemban

tanggung gugat untuk membuat keputusan dan mengambil langkah-langkah tentang

asuhan keperawatan yang diberikan. Kemampuan pengambilan keputusan yang tepat

dan akurat sangat dibutuhkan perawat untuk dapat menyelamatkan pasien yang

dihadapi. Agar perawat dapat melakukan tugasnya dengan baik, setiap perawat harus

memahami dan mampu menerapkan pelayanan keperawatan sesuai dengan standar

profesi keperawatan (Hidayat, 2012). Kemampuan perawat ketika menangani pasien

dalam kondisi-kondisi kritis tentu tidak lepas dari latar belakang pendidikan yang

pernah ditempuh serta pengalaman yang pernah dijalani. Termasuk di sini adalah

kemampuan perawat dalam mengambil keputusan saat gawat darurat. Perawat

memiliki tanggung jawab dan kewenangan untuk mengambil langkah-langkah

keperawatan yang diperlukan sesuai dengan standar keperawatan. Perawat dalam

10
menjalankan tugasnya harus sesuai dengan kode etik dan Standar Operasional

Prosedur (SOP) yang telah ditetapkan (Mudayana, 2014).

F. Trend Issue yang terjadi

Hubungan perawat-dokter adalah satu bentuk hubungan interaksi yang telah cukup

lama dikenal ketika memberikan bantuan kepada pasien. Perspektif yang berbeda

dalam memandang pasien, dalam prakteknya menyebabkan munculnya hambatan-

hambatan teknik dalam melakukan proses kolaborasi. Kendala psikologis keilmuan dan

individual, faktor sosial, serta budaya menempatkan kedua profesi ini memunculkan

kebutuhan akan upaya kolaborasi yang dapat menjadikan keduanya lebih solid dengan

semangat kepentingan pasien.

Berbagai penelitian menunjukan bahwa banyak aspek positif yang dapat timbul jika

hubungan kolaborasi dokter-perawat berlangsung baik. American Nurses Credentialing

Center (ANCC) melakukan risetnya pada 14 rumah sakit melaporkan bahwa hubungan

dokter-perawat bukan hanya mungkin dilakukan, tetapi juga berdampak langsung pada

hasil yang dialami pasien (Kramer dan Schamalenberg, 2003). Terdapat hubungan

korelasi positif antara kualitas hubungan dokter-perawat dengan kualitas hasil yang

didapatkan pasien.

Hambatan kolaborasi dokter dan perawat sering dijumpai pada tingkat profesional

dan institusional. Perbedaan status dan kekuasaan tetap menjadi sumber utama

ketidaksesuaian yang membatasi pendirian profesional dalam aplikasi kolaborasi.

Dokter cenderung pria, dari tingkat ekonomi lebih tinggi dan biasanya fisik lebih besar

dibanding perawat, sehingga iklim dan kondisi sosial masih medukung dominasi

dokter. Inti sesungguhnya dari konflik perawat dan dokter terletak pada perbedaan

sikap profesional mereka terhadap pasien dan cara berkomunikasi diantara keduanya.

11
Dari hasil observasi penulis di rumah sakit nampaknya perawat dalam memberikan

asuhan keperawatan belum dapat melaksanakan fungsi kolaborasi khususnya dengan

dokter. Perawat bekerja memberikan pelayanan kepada pasien hanya berdasarkan

intruksi medis yang juga didokumentasikan secara baik, sementara dokumentasi

asuhan keperawatan yang meliputi proses keperawatan tidak ada. Disamping itu hasil

wawancara penulis dengan beberapa perawat rumah sakit pemerintah dan swasta,

mereka menyatakan bahwa banyak kendala yang dihadapi dalam melaksanakan

kolaborasi, diantaranya pandangan dokter yang selalu menganggap bahwa perawat

merupakan tenaga vokasional, perawat sebagai asistennya, serta kebijakan rumah sakit

yang kurang mendukung.

Isu-isu tersebut jika tidak ditanggapi dengan benar dan proporsional dikhawatirkan

dapat menghambat upaya melindungi kepentingan pasien dan masyarakat yang

membutuhkan jasa pelayanan kesehatan, serta menghambat upaya pengembangan dari

keperawatan sebagai profesi.

G. Pemahaman Kolaborasi
Pemahaman mengenai prinsip kolaborasi dapat menjadi kurang berdasar jika hanya

dipandang dari hasilnya saja. Pembahasan bagaimana proses kolaborasi itu terjadi

justru menjadi point penting yang harus disikapi. Bagaimana masing-masing profesi

memandang arti kolaborasi harus dipahami oleh kedua belah pihak sehingga dapat

diperoleh persepsi yang sama. Seorang dokter saat menghadapi pasien pada umumnya

berfikir, ” apa diagnosa pasien ini dan perawatan apa yang dibutuhkannya” pola

pemikiran seperti ini sudah terbentuk sejak awal proses pendidikannya. Sulit dijelaskan

secara tepat bagaimana pembentukan pola berfikir seperti itu apalagi kurikulum

kedokteran terus berkembang. Mereka juga diperkenalkan dengan lingkungan klinis

dibina dalam masalah etika, pencatatan riwayat medis, pemeriksaan fisik serta

hubungan dokter dan pasien. mahasiswa kedokteran pra-klinis sering terlibat langsung

12
dalam aspek psikososial perawatan pasien melalui kegiatan tertentu seperti gabungan

bimbingan – pasien. Selama periode tersebut hampir tidak ada kontak formal dengan

para perawat, pekerja sosial atau profesional kesehatan lain. Sebagai praktisi memang

mereka berbagi lingkungan kerja dengan para perawat tetapi mereka tidak dididik

untuk menanggapinya sebagai rekanan/sejawat/kolega. (Siegler dan Whitney, 2000)

Dilain pihak seorang perawat akan berfikir; apa masalah pasien ini? Bagaimana

pasien menanganinya?, bantuan apa yang dibutuhkannya? Dan apa yang dapat

diberikan kepada pasien?. Perawat dididik untuk mampu menilai status kesehatan

pasien, merencanakan intervensi, melaksanakan rencana, mengevaluasi hasil dan

menilai kembali sesuai kebutuhan. Para pendidik menyebutnya sebagai proses

keperawatan. Inilah yang dijadikan dasar argumentasi bahwa profesi keperawatan

didasari oleh disiplin ilmu yang membantu individu sakit atau sehat dalam

menjalankan kegiatan yang mendukung kesehatan atau pemulihan sehingga pasien bisa

mandiri. Sejak awal perawat dididik mengenal perannya dan berinteraksi dengan

pasien. Praktek keperawatan menggabungkan teori dan penelitian perawatan dalam

praktek rumah sakat dan praktek pelayanan kesehatan masyarakat. Para pelajar bekerja

diunit perawatan pasien bersama staf perawatan untuk belajar merawat, menjalankan

prosedur dan menginternalisasi peran.

Kolaborasi merupakan proses komplek yang membutuhkan sharing pengetahuan

yang direncanakan yang disengaja, dan menjadi tanggung jawab bersama untuk

merawat pasien. Kadangkala itu terjadi dalam hubungan yang lama antara tenaga

profesional kesehatan. (Lindeke dan Sieckert, 2005). Kolaborasi adalah suatu proses

dimana praktisi keperawatan atau perawat klinik bekerja dengan dokter untuk

memberikan pelayanan kesehatan dalam lingkup praktek profesional keperawatan,

dengan pengawasan dan supervisi sebagai pemberi petunjuk pengembangan kerjasama

13
atau mekanisme yang ditentukan oleh peraturan suatu negara dimana pelayanan

diberikan. Perawat dan dokter merencanakan dan mempraktekan bersama sebagai

kolega, bekerja saling ketergantungan dalam batas-batas lingkup praktek dengan

berbagi nilai-nilai dan pengetahuan serta respek terhadap orang lain yang berkontribusi

terhadap perawatan individu, keluarga dan masyarakat.

Anggota Tim interdisiplin

Tim pelayanan kesehatan interdisiplin merupakan sekolompok profesional yang

mempunyai aturan yang jelas, tujuan umum dan berbeda keahlian. Tim akan berfungsi

baik jika terjadi adanya konstribusi dari anggota tim dalam memberikan pelayanan

kesehatan terbaik. Anggota tim kesehatan meliputi : pasien, perawat, dokter,

fisioterapi, pekerja sosial, ahli gizi, manager, dan apoteker. Oleh karena itu tim

kolaborasi hendaknya memiliki komunikasi yang efektif, bertanggung jawab dan saling

menghargai antar sesama anggota tim.

Pasien secara integral adalah anggota tim yang penting. Partisipasi pasien dalam

pengambilan keputusan akan menambah kemungkinan suatu rencana menjadi efektif.

Tercapainya tujuan kesehatan pasien yang optimal hanya dapat dicapai jika pasien

sebagai pusat anggota tim. Perawat sebagai anggota membawa persfektif yang unik

dalam interdisiplin tim. Perawat memfasilitasi dan membantu pasien untuk

mendapatkan pelayanan kesehatan dari praktek profesi kesehatan lain. Perawat

berperan sebagai penghubung penting antara pasien dan pemberi pelayanan kesehatan.

Dokter memiliki peran utama dalam mendiagnosis, mengobati dan mencegah penyakit.

Pada situasi ini dokter menggunakan modalitas pengobatan seperti pemberian obat dan

pembedahan. Mereka sering berkonsultasi dengan anggota tim lainnya sebagaimana

membuat referal pemberian pengobatan. Kolaborasi menyatakan bahwa anggota tim

kesehatan harus bekerja dengan kompak dalam mencapai tujuan. Elemen penting untuk

14
mencapai kolaborasi yang efektif meliputi kerjasama, asertifitas, tanggung jawab,

komunikasi, otonomi dan kordinasi.

Kerjasama adalah menghargai pendapat orang lain dan bersedia untuk memeriksa

beberapa alternatif pendapat dan perubahan kepercayaan. Asertifitas penting ketika

individu dalam tim mendukung pendapat mereka dengan keyakinan. Tindakan asertif

menjamin bahwa pendapatnya benar-benar didengar dan konsensus untuk dicapai.

Tanggung jawab, mendukung suatu keputusan yang diperoleh dari hasil konsensus dan

harus terlibat dalam pelaksanaannya. Komunikasi artinya bahwa setiap anggota

bertanggung jawab untuk membagi informasi penting mengenai perawatan pasien dan

issu yang relevan untuk membuat keputusan klinis. Otonomi mencakup kemandirian

anggota tim dalam batas kompetensinya. Kordinasi adalah efisiensi organisasi yang

dibutuhkan dalam perawatan pasien, mengurangi duplikasi dan menjamin orang yang

berkualifikasi dalam menyelesaikan permasalahan.

Kolaborasi didasarkan pada konsep tujuan umum, konstribusi praktisi

profesional, kolegalitas, komunikasi dan praktek yang difokuskan kepada pasien.

Kolegalitas menekankan pada saling menghargai, dan pendekatan profesional untuk

masalah-masalah dalam team dari pada menyalahkan seseorang atau atau menghindari

tangung jawab. Hensen menyarankan konsep dengan arti yang sama : mutualitas

dimana dia mengartikan sebagai suatu hubungan yang memfasilitasi suatu proses

dinamis antara orang-orang ditandai oleh keinginan maju untuk mencapai tujuan dan

kepuasan setiap anggota. Kepercayaan adalah konsep umum untuk semua elemen

kolaborasi. Tanpa rasa pecaya, kerjasama tidak akan ada, asertif menjadi ancaman,

menghindar dari tanggung jawab, terganggunya komunikasi . Otonomi akan ditekan

dan koordinasi tidak akan terjadi.

15
Elemen kunci kolaborasi dalam kerja sama team multidisipliner dapat

digunakan untuk mencapai tujuan kolaborasi team :

- Memberikan pelayanan kesehatan yang berkualitas dengan menggabungkan

keahlian unik profesional.

- Produktivitas maksimal serta efektifitas dan efesiensi sumber daya

- Peningkatnya profesionalisme dan kepuasan kerja, dan loyalitas

- Meningkatnya kohesifitas antar profesional

- Kejelasan peran dalam berinteraksi antar profesional,

- Menumbuhkan komunikasi, kolegalitas, dan menghargai dan memahami orang

lain.

Berkaitan dengan issue kolaborasi dan soal menjalin kerja sama kemitraan

dengan dokter, perawat perlu mengantisipasi konsekuensi perubahan dari vokasional

menjadi profesional. Status yuridis seiring perubahan perawat dari perpanjangan tangan

dokter menjadi mitra dokter sangat kompleks. Tanggung jawab hukum juga akan

terpisah untuk masing-masing kesalahan atau kelalaian. Yaitu, malpraktik medis, dan

malpraktik keperawatan. Perlu ada kejelasan dari pemerintah maupun para pihak

terkait mengenai tanggung jawab hukum dari perawat, dokter maupun rumah sakit.

Organisasi profesi perawat juga harus berbenah dan memperluas struktur organisasi

agar dapat mengantisipasi perubahan. (www. kompas.com. Diakses pada tanggal 20

Maret 2007)

Pertemuan profesional dokter-perawat dalam situasi nyata lebih banyak terjadi

dalam lingkungan rumah sakit. Pihak manajemen rumah sakit dapat menjadi fasilitator

demi terjalinnyanya hubungan kolaborasi seperti dengan menerapkan sistem atau

kebijakan yang mengatur interaksi diantara berbagai profesi kesehatan. Pencatatan

16
terpadu data kesehatan pasien, ronde bersama, dan pengembangan tingkat pendidikan

perawat dapat juga dijadikan strategi untuk mencapai tujuan tersebut.

Ronde bersama yang dimaksud adalah kegiatan visite bersama antara dokter-

perawat dan mahasiswa perawat maupun mahasiswa kedokteran, dengan tujuan

mengevaluasi pelayanan kesehatan yang telah dilakukan kepada pasien. Dokter dan

perawat saling bertukar informasi untuk mengatasi permasalahan pasien secara efektif.

Kegiatan ini juga merupakan sebagai satu upaya untuk menanamkan sejak dini

pentingnya kolaborasi bagi kemajuan proses penyembuhan pasien. Kegiatan ronde

bersama dapat ditindaklanjuti dengan pertemuan berkala untuk membahas kasus-kasus

tertentu sehingga terjadi trasnfer pengetahuan diantara anggota tim.

Komunikasi dibutuhkan untuk mewujudkan kolaborasi yang efektif, hal

tersebut perlu ditunjang oleh sarana komunikasi yang dapat menyatukan data kesehatan

pasien secara komfrenhensif sehingga menjadi sumber informasi bagi semua anggota

team dalam pengambilan keputusan. Oleh karena itu perlu dikembangkan catatan status

kesehatan pasien yang memungkinkan komunikasi dokter dan perawat terjadi secara

efektif.

Pendidikan perawat perlu terus ditingkatkan untuk meminimalkan kesenjangan

profesional dengan dokter melalui pendidikan berkelanjutan. Peningkatan pengetahuan

dan keterampilan dapat dilakukan melalui pendidikan formal sampai kejenjang

spesialis atau minimal melalui pelatihan-pelatihan yang dapat meningkatkan keahlian

perawat

BAB III
Contoh Kasus

17
Seorang laki-laki berumur 60 tahun datang ke Rumah Sakit dengan keluhan tidak

bisa buang air kecil selama + 5 hari sehingga terasa nyeri di bagian kandung kemih dengan

riwayat yang sama 2 minggu sebelumnya terpasang Dower Cateter (DC) . Setelah

diperiksa didapatkan diagnosa dokter umum yaitu inkontinensia urine, sehingga dokter

meminta perawat untuk memasang DC sesuai dengan ukuran kelamin dewasa. Pada saat

perawat pelaksana melakukan tindakan pemasangan DC, perawat melaporkan kepada

dokter bahwa selang DC tidak dapat masuk ke saluran kencing pasien dikarenakan ada

tahanan, sehingga dokter meminta perawat untuk menghentikan tindakan, namun pasien

merasa tidak puas sehingga pasien dan keluarga meminta kepada dokter agar perawat

memasang ulang DC. Akhirnya permintaan pasien dipenuhi, namun saat tindakan

pemasangan DC dilakukan tiba-tiba keluar darah segar dari saluran kencing pasien. Namun

pasien masih memaksa perawat untuk tetap melanjutkan tindakan tersebut dengan alasan

pasien merasakan sakit dan ingin bisa Buang Air Kecil (BAK). Disini apa yang

seharusnya dilakukan oleh perawat, menghentikan pemasangan dengan resiko pasien tidak

bisa BAK atau melanjutkan pemasangan DC selama pasien menunggu pemeriksaan

tunjangan lebih lanjut namun keinginan pasien tidak terpenuhi.

BAB IV
Pembahasan

18
Tujuan utama profesi perawat adalah bertugas sebagai problem solver, yaitu

memecahkan masalah kesehatan pasiennya dengan menggunakan metode pemecahan

masalah. Metode pemecahan masalah digunakan sebgai kerangka bagi perawat untuk

membuat keputusan etik. Dengan cara sebagai berikut ;

1) Menghubungkan kasus dengan teori yang paling tepat. Sehingga perawat

mendapatkan gambaran terkait pilihan keputusan yang harus diambilnya.

Mengumpulkan data dan mengidentifikasi masalah yang terjadi.

2) Perawat harus menghubungkan dengan prinsip prinsip etika profesi yang berlaku.

3) Perawat perlu mengidentifikasi siapa saja yang ikut serta dalam pengambilan

keputusan.

4) Perawat mengidentifikasi konsekwensi yang mungkin terjadi dari alternatif

keputusan yang ada.

5) Perlu memperhatikan keinginan pasien dalam hal ini berkaitan dengan prinsip etik

yaitu otonomi yang berarti hak untuk membuat keputusan

Prinsip utama dalam melaksanakan peran perawat adalah moral dan etika

keperawatan. Dalam setiap memberikan asuhan keperawatan kepada pasien, perawat harus

selalu berpedoman pada etika keperawatan dan standar keperawatan yang ada serta ilmu

keperawatan. Hal ini penting, guna menghindarkan kesalahan yang dapat berakibat fatal

terhadap pasien dan eksistensi profesi keperawatan yang sedang mencari identitas diri.

Pada kasus di atas dilema etik yang dialami klien yaitu pada nilai Autonomy dan

Non-Maleficience dimana pasien meminta untuk tetap dilakukan pemasangan DC namun

keadaannya yang tidak memungkinkan karena terjadi perdarahan pada saluran kencing

klien. Dalam keadaan ini, sebagai perawat harus mengutamakan keselamatan klien

sehingga perawat menganjurkan untuk tidak dilkukan pemasangan DC. Pada kasus seperti

19
ini peran perawat adalah sebagai solving maker dimana pengambilan keputusan bisa

diterima dengan baik oleh semua pihak.

Berikut adalah langkah-langkah yang diambil untuk menyelesaikan masalah yang

dialami oleh pasien

1. Menerapkan tujuan dan sasaran

Menentukan orang yang terlibat: pasien, keluarga pasien, dokter, dan perawat

a) Tindakan yang diusulkan: tidak menuruti keinginan pasien untuk memasang

ulang DC

b) Maksud dari tindakan tersebut: agar tidak membahayakan diri pasien.

c) Konsekuensi tindakan yang diusulkan, bila tidak dilakukan tindakan

pemasangan ulang DC, Pasien dan keluarganya menyalahkan perawat dan

apabila keluarga pasien kecewa terhadap pelayanan di Rumah Sakit mereka

bisa menuntut ke rumah sakit

2. Identifikasi persoalan

Mengidentifikasi konflik akibat situasi tersebut: Pasien tidak dapat BAK selama +

5 hari. Pasien meminta dokter agar perawat memasang ulang DC padahal pada

pemasangan DC yang pertama didapatkan tahanan pada saluran kencing pasien.

Keluarga mendukung keinginan pasien agar pasien dapat BAK. Konflik yang

terjadi adalah:

a) Pemasangan DC Ulang mengakibatkan perdarahan dari saluran kencing pasien.

b) Adanya perdarahan pada saluran kencing pasien mengakibatkan pasien dan

keluarga khawatir sehingga mengakibatkan pasien tidak nyaman dan tidak puas

dengan pelayanan yang diberikan.

20
3. Mengembangkan alternatif

Tindakan alternatif tentang rangkaian tindakan yang direncanakan dan konsekuensi

tindakan tersebut

1) Tidak menuruti keinginan pasien tentang pemasangan DC dengan konsekuensi

a. Tidak memperparah perdarahan dari saluran kencing pasien

b. Pasien tidak bisa BAK

c. Pelanggaran terhadap hak pasien untuk menentukan nasibnya sendiri

d. Menimbulkan kecemasan bagi pihak keluarga dan pasien

2) Tidak menuruti keinginan pasien, dan perawat membantu untuk meredakan

nyeri dengan manajemen nyeri sambil menunggu pemeriksaan lanjutan dengan

konsekuensi:

a) Tidak memperparah perdarahan dari saluran kencing pasien.

b) Pasien dibawa pada kondisi untuk beradaptasi pada nyerinya (meningkatkan

ambang nyeri)

c) Keinginan pasien untuk BAK tidak terpenuhi

3) Menuruti keinginan pasien untuk memasang ulang DC sambil menunggu

pemeriksaan tunjangan lebih lanjut. Artinya pemasangan DC dilanjutkan

meskipun terdapat perdarahan pada saluran kencing dengan konsekuensi:

a) Risiko memperparah perdarahan pada saluran kencing pasien.

b) Pasien dan keluarga harus menandatangani Inform Concent jika tetap

dilakukan pemasangan DC

21
c) Hak pasien sebagian dapat terpenuhi

4. Menentukan alternatif

Dalam kasus di atas terdapat dua tindakan yang memiliki risiko dan konsekuensi

masing-masing terhadap pasien. Perawat dan dokter perlu mempertimbangkan

pendekatan yang paling menguntungkan/ paling tepat untuk pasien. Namun upaya

alternatif tindakan lain perlu dilakukan terlebih dahulu misalnya manajemen nyeri

(relaksasi, pengalihan perhatian, atau meditasi) dan kemudian dievaluasi

efektifitasnya. Jadi pada kasus diatas pemilihan alternatif bagi pasien adalah pada

point 2

5. Implementasi Alternatif Terpilih

1) Memfasilitasi pasien dalam manajemen nyeri

2) Membantu proses adaptasi pasien terhadap nyeri/ meningkatkan ambang nyeri

3) Mengoptimalkan sistem dukungan

4) Membantu pasien untuk menemukan mekanisme koping yang adaptif terhadap

masalah yang sedang dihadapi

6. Evaluasi dan Umpan balik

Evaluai umpan balik dilakukan untuk melihat keefektifan dari tindakan yang

diterapkan pada klien (menejemen nyeri) .Apabila terbukti efektif diteruskan

namun apabila alternatif tindakan tidak efektif maka keputusan yang sudah

ditetapkan antara petugas kesehatan dan pasien/ keluarganya akan dilaksanakan.

Masalah etika keperawatan pada dasarnya merupakan masalah etika kesehatan,

yang lebih dikenal dengan istilah etika biomedis atau bioetis. Kasus diatas menjadi

suatu dilema etik bagi perawat dimana dilema etik merupakan suatu masalah yang

sulit dimana tidak ada alternatif yang memuaskan atau suatu situasi dimana alternatif

22
yang memuaskan dan tidak memuaskan sebanding. Pengambilan keputusan

merupakan suatu tindakan yang melibatkan berbagai komponen yang harus

dipertimbangkan secara matang oleh perawat, terutama yang terkait dengan

permasalahan pada tatanan klinik. Tindakan kelalaian dapat di minimalisir dengan

pengetahuan serta pemahaman penuh tentang kode etik perawat yang akan menjadikan

pedoman perawat profesional dalam melakukan tindakan praktik keperawatan secara

professional sehingga keselamatan dan kenyamanan pasien selalu menjadi prioritas

utama.

23
BAB V
Penutup
A. Kesimpulan
Setiap manusia mempunyai hak dasar dan hak untuk berkembang, demikian juga

bagi pasien sebagai penerima asuhan keperawatan mempunyai hak yang sama

walaupun sedang dalam kondisi sakit. Demikian juga perawat sebagai pemberi asuhan

keperawatan mempunyai hak dan kewajiban masing-masing. Kedua-duannya

mempunyai hak dan kewajiban sesuai posisinya. Disinilah sering terjadi dilema etik,

dilema etik merupakan bentuk konflik yang terjadi disebabkan oleh beberapa faktor,

baik faktor internal dan faktor eksternal, disamping itu karena adanya interaksi atau

hubungan yang saling membutuhkan.

Dilema etik sering terjadi di Rumah Sakit dalam menjalankan praktik asuhan

keperawatan. Sebagai tenaga profesional terkadang perawat berada pada posisi yang

sulit untuk memutuskan dikarenakan alternatif pilihan keputusan yang sama sama

memiliki nilai positif dan negatif. Dalam suatu keputusan etis suatu keputusan diambil

berdasarkan kebutuhan pasien dan tidak merugikan pasien. Keputusan etis dibuat

berdasarkan kesepakatan antara pasien dan perawat.

Dalam setiap pengambilan keputusan tindakan keperawatan perawat harus

melibatkan pasien atau keluarga. Putusan yang diambil harus melalui proses analisa

dan berdasarkan prinsip etik yang berlaku. Dalam suatu keputusan etis suatu

keputusan diambil berdasarkan kebutuhan pasien dan tidak merugikan pasien. Disini

seorang perawat harus mampu meyakinkan pasien bahwa keputusan etis yang diambil

adalah berdasarkan analisa dan pertimbangan yang matang. Oleh sebab itu dilema etik

harus diselesaikan baik pada tingkat individu dan institusi serta organisasi profesi

dengan penuh tanggung jawab dan tuntas. Pembelajaran tentang etika dan moral dalam

dunia profesi terutama bidang keperawatan harus ditanamkan kepada mahasiswa

24
sedini mungkin supaya nantinya mereka bisa lebih memahami tentang etika

keperawatan sehingga akan berbuat atau bertindak sesuai kode etiknya (kode etik

keperawatan).

B. Saran
Pengetahuan etika adalah dasar untuk menyelesaikan isu masalah praktek

keperawatan, namun sedikit yang diketahui tentang pentingnya etika dan faktor yang

berhubungan dengan pekerjaan dalam penyampaian perawatan yang berkualitas

(Connie, 2005). Perawat harus berusaha meningkatkan kemampuan profesional secara

mandiri atau secara bersama-sama dengan jalan menambah ilmu pengetahuan untuk

menyelesaikan suatu dilema etik. Selain itu, Sebagai seorang tenaga medis atau

kesehatan khususnya perawat haruslah memiliki etik keperawatan yang tidak hanya

dimiliki tetapi dihayati dan diterapkan dalam menjalankan tugas-tugas untuk

melaksanakan asuhan keperawatan terhadap pasien. Pasien tidak hanya dijadikan

obyek namun juga dijadikan patner aktif dalam pemberian atau peningkatan derajat

kesehatannya

25
Daftar Pustaka

Hani, Handoko. 2008. Manajemen Edisi Kedua. BPFE Yogyakarta : Yogyakarta

George. R. Terry. 2009. Prinsip-Prinsip Manajemen. Bumi Aksara : Jakarta

Mudayana, A. A. (2014). Peran Aspek Etika Tenaga Medis dalam Penerapan Budaya
Keselamatan Pasien di Rumah Sakit. Supplemen Majalah Kedokteran Andalas, 37, 69-
74.

Nursalam. (2008). Proses dan Dokumentasi Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika.

Potter & Perry. (2005). Fundamental of nursing: Concept, process and practice (A. Yasmin,
Trans. 4th ed.). Jakarta: EGC

Makalah Dilema etik. http://hafikoandresni005.com/2013/06/makalah-dilema-etik.html.


diakses tanggal 14 Maret 2016. Hidayat, S. A. (2012).

Etika Keperawatan. http://www.slideshare.net/ameeraffanya/makalah-etik-keperawatan.


diakses tanggal 14 Maret 2016.

26

Anda mungkin juga menyukai