Anda di halaman 1dari 17

DISTRIBUSI DAN KELIMPAHAN PENYAKIT KARANG

SABUK HITAM SECARA SPASIAL DI KEPULAUAN SERIBU,


JAKARTA
Ofri Johan, Dietriech G. Bengen, Neviaty P. Zaman, dan Suharsono

KONDISI KESEHATAN TERUMBU KARANG FUNGIIDAE DI


PERAIRAN PULAU PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU
Beginer subhan, fadhilah rahmawati, Dondy Arafat, Nur Ari Bayu

PUNCAK PREVALENSI PENYAKIT KARANG JENIS SABUK HITAM


(BLACK BAND DISEASE) DI KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA
Ofri Johan, Anang Hari Kristanto, Joni Haryadi, dan I Nyoman Radiarta

Pengaruh Logam Berat Terhadap Karang


Denirsaq Budi Wicaksono, Bambang Yulianto, Ambariyanto

Status Kesehatan Terumbu Scleractanian System Shelf Reef


Di Sumatera Barat Indonesia.
Beginer subhan, fadhilah rahmawati, Dondy Arafat, Nur Ari Bayu
I PENDAHULUAN
Kepulauan Seribu terdiri atas 105 gugus pulau terbentang vertikal dari
Teluk Jakarta hingga ke Utara dengan Pulau Sebira sebagai pulau terluar dengan
jarak kurang lebih 150 km dari pantai Jakarta Utara. Sebagian dari jumlah pulau
tersebut terdapat 11 pulau yang berpenduduk yaitu Pulau Panggang, Pulau
Pramuka, Pulau Kelapa, Pulau Kelapa Dua, Pulau Harapan, Sebira, Pulau Tidung
Besar, Pulau Payung, Pulau Pari, Pulau Lancang Besar, dan Pulau Untung Jawa.
Wilayah administrasi Kabupaten Kepulauan Seribu memiliki luas daratan
mencapai 897,71 ha dan luas perairan mencapai 6.997,50 km2.
Salah satu akibat dari kondisi lingkungan yang tidak mendukung adalah
fluktuasi suhu, keadaan ini akan memberikan dampak negatif bagi kehidupan
karang yaitu timbulnya penyakit karang. Di samping itu, penyakit karang juga
dapat disebabkan oleh adanya polusi antropogenik dan juga tingginya intensitas
penyinaran cahaya matahari di perairan yang memiliki terumbu karang. Polusi
antropogenik merupakan suatu bentuk cemaran yang diakibatkan oleh aktivitas
manusia seperti adanya limbah rumah tangga dan pabrik yang terbawa oleh aliran
sungai sampai ke laut. Di Teluk Jakarta tingkat sedimentasi dan limbah
antropogenik ini cukup tinggi hingga terbawa arus sampai ke pulau-pulau lain di
Kepulauan Seribu.
Kondisi terumbu karang sudah semakin terdegradasi. Penyakit karang (coral
disease) diduga sebagai penyebab utama terdegradasinya karang. Penyakit sebagai
segala yang merusak (gangguan, gencatan, perkembangbiakan atau kekacauan
lainnya) dari fungsi penting tubuh, sistem atau organ. Faktor utama lainnya yang
berkontribusi terhadap penurunan terumbu karang adalah pemutihan karang.
Keanekaragaman karang lebih tinggi di wilayah IndoPasifik daripada di Karibia.
Indo-Pasifik memiliki lebih dari 80% terumbu karang di seluruh dunia dan lebih
dari 90% spesies karang dunia.
Penyakit karang telah terdokumentasi dengan baik, tetapi masih sedikit yang
diketahui tentang penyakit karang di Indo-Pasifik. Koloninya menunjukkan tanda-
tanda patologi, termasuk pemutihan, tandatanda predasi, penyakit dan patologi
yang belum diketahui. Kondisi kesehatan terumbu karang di Kepulauan Seribu
masih belum banyak teramati. Kesehatan terumbu karang Kepulauan Seribu dan
dunia pada umumnya, dalam tiga dekade terakhir ini terancam oleh peningkatan
suhu permukaan laut akibat El-Nino. Perubahan suhu perairan yang ekstrim dapat
memicu penyakit karang seperti coral bleaching. Salah satu jenis bakteri yang
ditemukan pada karang yang teridentifikasi terkena penyakit karang, Vibrio shiloi,
juga sangat bergantung pada suhu untuk dapat tumbuh, yaitu pada suhu >25 °C.
Fungiidae merupakan karang yang sering dimanfaatkan sebagai karang hias.
Penelitian penyakit karang sudah berkembang di beberapa perairan dunia
seperti di Caribbean, Florida, dan Australia dengan berbagai topik penelitian.
Penyakit karang jenis sabuk hitam (black band disease) sudah diketahui sejak
tahun 1972 di Puerto Rico (Antonious, 1973). Berdasarkan publikasi yang ada,
penelitian penyakit karang di Indonesia sudah dilakukan sejak tahun 2007 di
Kepulauan Seribu yaitu white syndrome dan pemutihan karang (bleaching), yang
merupakan penyakit pada karang famili Fungidae di Pulau Papateo (Yusran &
Estradivari, 2007); prevalensi penyakit karang di Wakatobi (Haapkyla et al.,
2007; 2009) dan mikroba yang menginfeksi karang pada jenis penyakit black
band disease (Sabdono & Radjasa, 2008).
Penyakit sabuk hitam atau black band disease adalah penyakit karang yang
disebabkan oleh gabungan mikroba patogen yang secara bersama-sama
membentuk sabuk di mana bentuk gabungan tersebut terdiri atas lima macam
mikroba yaitu filamentous cyanobacterium, Phormidium corallyticum, sejumlah
bakteri kelompok heterotropik (Garrett & Ducklow, 1975), jamur laut (Ramos
Flores, 1983); bakteri pengoksidasi sulphid (Beggiota) dan bakteri yang
menurunkan sulphat (Desulfovibrio) (Ducklow & Mitchell, 1979; Richardson,
1996). Populasi cyanobacteria dicirikan dengan adanya warna hitam kecoklatan
hingga merah, tebal sabuknya 1 mm dengan lebar antara 1-3 mm.
Menurut Wilkinson et al. (1993) dalam Wicaksono et al. (2013) terumbu
karang di Indonesia termasuk dalam katagori kritis dan terancam. Diperkirakan
hanya sekitar 7% terumbu karang yang kondisinya masih sangat baik, sedangkan
33% dalam kondisi baik, 46% rusak dan 15% lainnya sudah kritis (Moosa dan
Suharsono, 1996) dalam Wicaksono et al. (2013). Kondisi terumbu karang pada
akhir 2007 di Indonesia semakin menurun yaitu 5,51% dalam kondisi sangat baik,
25,11% dalam kondisi baik, 37,33% dalam kondisi sedang dan 32,05 % dalam
kondisi buruk. Semakin banyaknya aktivitas manusia yang menghasilkan limbah
logam berat, akan meningkatkan pencemaran lingkungan, termasuk di wilayah
laut. Pencemaran ini akan berdampak negatif terhadap ekosistem di laut,
khususnya terumbu karang.
Keberadaan logam berat pada suatu ekosistem menyebabkan organisme
dalam ekosistem tersebut menjadi terpapar. Jika melebihi ambang batas baku
mutu maka logam tersebut akan bersifat sebagai racun. Saat ini pencemaran
logam berat merupakan salah satu masalah lingkungan yang serius. Selain bersifat
racun bagi organisme perairan, logam berat dapat terakumulasi dalam tubuh ikan,
udang, kerang dan hasil laut lainnya (Rudiyanti, 2009). Salah satu contoh logam
berat yang berbahaya bagi organisme laut adalah Cadmium (Cd). Logam berat Cd
termasuk dalam salah satu deretan logam berat yang paling beracun bagi
organisme laut, meskipun dalam jumlah yang sedikit (Hawker dan Connell,
1992). Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 51 Tahun 2004
menyebutkan bahwa baku mutu Cd di perairan laut bagi kebutuhan biota laut
yakni sebesar 0.01 mg/l.
Banyak terjadi kasus pencemaran logam berat di perairan laut. Salah satu
contoh kasus pencemaran logam berat di Indonesia terjadi di perairan pantai
Takisung dan Batakan, Kalimantan Selatan dimana kandungan rata-rata logam Cd
di kedua perairan tersebut mencapai 0,06 ppm dan 0,074 ppm (Rachman, 2006).
Pencemaran logam berat lainnya terjadi di perairan Dadap, Cilincing, Demak dan
Pasuruan, dimana hasil monitoring pada tahun 2001 dan 2002 menunjukkan
bahwa kandungan Hg di perairan tersebut telah melebihi ambang batas yaitu
diatas 2 ppb. Di Indonesia terdapat baku mutu air laut yang mencakup pada
berbegai kebutuhan khusus seperti pelabuhan, wisata bahari dan biota laut.
Adapaun baku mutu tersebut tertuang dalam Keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup No. 51 Tahun 2004 tentang logam terlarut.
Penelitian penyakit karang sudah berkembang di beberapa perairan dunia
seperti di Caribbean, Florida, dan Australia dengan berbagai topik penelitian.
Penyakit karang jenis sabuk hitam (black band disease) sudah diketahui sejak
tahun 1972 di Puerto Rico (Antonious, 1973). Berdasarkan publikasi yang ada,
penelitian penyakit karang di Indonesia sudah dilakukan sejak tahun 2007.
II METODE PENELITIAN

2.1 Lokasi Penelitian


Penelitian dimulai sejak Juni sampai Juli 2011 di beberapa pulau di
Kepulauan Seribu Jakarta, meliputi: Pulau Pari, Pulau Tikus, Pulau Pramuka,
Pulau Semak Daun, Pulau Kelapa, Pulau Kotok, Pulau Putri, Pulau Belanda, dan
Pulau Peteloran.

Pengumpulan Data
Data Kondisi Terumbu Karang
Pengambilan data kondisi terumbu karang dilakukan dengan
menggunakan metode transek garis (Line Intercept Transect) pada kedalaman
antara 1-3 m (reef flat) dan 3-7 m.
Data Kelimpahan Penyakit Karang
Pengambilan data menggunakan transek sabuk (belt transect) dengan lebar
masingmasing 1 m ke samping kiri dan samping kanan garis transek dengan
panjang transek 20 m sebanyak tiga ulangan, sehingga luas cakupan daerah 120
m2.
Data Kualitas Perairan
Parameter lingkungan yang diukur meliputi oseanografi fisik (kedalaman,
suhu air, kecerahan, intensitas cahaya, dan substrat dasar), dan kimia (DO, pH,
nitrat, dan ortofosfat). Pengukuran data in situ dengan menggunakan alat YSI 556
MPS, sementara parameter lain dilakukan pengambilan sampel dan dianalisis di
Laboratorium.
Bahan dan Alat Penelitian
Penelitian ini menggunakan alat dasar lengkap snorkeling (fins, masker,
wetsuit), rol meter, kamera underwater merek Cannon Ixus 120, alat pengukur
kualitas air in situ merk YSI 556 MPS (suhu, konduktivitas, TDS, salinitas, DO,
pH), secchi disk, pengukur kecepatan arus, alat tulis bawah air, dan skala standar
untuk pengambilan foto bawah air. Bahan dan Alat Penelitian Penelitian ini
menggunakan alat dasar lengkap snorkeling (fins, masker, wetsuit), rol meter,
kamera underwater merek Cannon Ixus 120, alat pengukur kualitas air in situ
merk YSI 556 MPS (suhu, konduktivitas, TDS, salinitas, DO, pH),
Pengambilan data menggunakan metode Belt Transect sepanjang 60 meter
dengan lebar jarak pandang 2 meter pada kedalaman 5 meter. Karang yang didata
adalah karang dari Suku Fungiidae. Semua Fungiidae yang ditemukan dalam
luasan Belt Transect (60x2 meter) itu didokumentasikan menggunakan kamera
bawah air kemudian semua penyakit karang yang ditemukan pada suku ini
diidentifikasi dengan merujuk pada Beeden (2008). Prevalensi (kemerataan)
penyakit karang diketahui dengan mencatat jumlah kasus penyakit dan jumlah
karang sehat per satuan luas, dimana luas pengamatan pada penelitian adalah 120
m2. Persamaan prevalensi ini digunakan untuk melihat kemerataan penyakit
karang yang terdapat pada suku Fungiidae. Kelimpahan (abundance) penyakit
karang dihitung berdasarkan pembagian jumlah karang yang terkena suatu jenis
penyakit dengan jumlah seluruh karang yang terkena penyakit.
Penelitian dilakukan pada bulan November 2011 dengan satu kali
pengamatan pada enam lokasi di daerah tubir (upper reefs slope) dan sepuluh
lokasi di daerah lereng terumbu (reefs slope). Pada lokasi tubir, secara spasial
wilayah Kepulauan Seribu dibagi atas tiga zona berdasarkan jarak dari pulau
utama (Pulau Jawa), yaitu zona 1 (Pulau Pari bagian Timur dan bagian Selatan)
sebagai jarak terdekat, zona 2 (Pulau Pramuka bagian Utara dan bagian Selatan)
sebagai jarak sedang dan zona 3 (Pulau Penjaliran Timur dan Pulau Peteloran)
sebagai jarak terjauh. Pada pengamatan di sepuluh lokasi di bagian lereng
terumbu (reefs slope) dilakukan pada kedalaman 5-7 m pada saat terjadi puncak
prevalensi untuk mendapatkan perbedaan distribusi penyakit karang antara
perairan dangkal di tubir dan pada lereng terumbu.
Penelitian berupa pengumpulan data kondisi karang didapatkan dengan
menggunakan metode transek garis (Line Intersept Transect) menggunakan roll
meteran sepanjang 20 m dengan tiga kali ulangan dan diberikan jarak sekitar 5 m
sebagai pemisah ulangan antara yang satu dengan ulangan lainnya. Data karang
yang dicatat meliputi bentuk pertumbuhan (life form) di sepanjang garis transek
dengan ukuran koloni yang masuk kriteria dalam pencatatan dengan diameter
karang di atas 5 cm.
Pengamatan penyakit karang dilakukan dengan menggunakan metode
transek sabuk (belt transect) dengan ukuran 1 meter ke kiri dan 1 meter ke kanan
garis transek dengan panjang 20 m sehingga total luasan yang teramati adalah 120
m2 dan dilakukan tiga kali ulangan pada setiap lokasi di tubir dan lereng terumbu.
Data tutupan karang hidup, prevalensi penyakit karang jenis sabuk hitam (black
band disease) dan kelompok kriteria pengganggu kesehatan karang
(Compremished health) dianalisis dengan menggunakan Anova faktor tunggal
(Anova single factor) dengan program Excel 2007 untuk mendapatkan perbedaan
antara di tubir dengan lereng terumbu.
Kualitas air yang diamati adalah suhu (oC) dan intensitas cahaya
menggunakan alat data logger merk Hobo yang ditempatkan pada kedalaman 2 m
untuk mewakili data di tubir, pencatatan data secara otomatis setiap dua jam.
Sedangkan nitrat (mg/L), fosfat (mg/L), total organik matter (TOM), dan tingkat
kekeruhan dilakukan pengambilan sampel air.
III HASIL DAN BAHASAN

 Kondisi Terumbu Karang


Secara keseluruhan tutupan karang hidup ditemukan cukup tinggi pada
lokasi keberadaan penyakit karang BBD (black band disease) yaitu berkisar antara
57,17%-76,88%.
 Kelimpahan Penyakit Karang
Lokasi penelitian di mana ditemukan banyak karang terinfeksi penyakit
berada pada kedalaman antara 1-2 m di daerah dataran terumbu (reef flats).
Sementara pada kedalaman lain antara 3-7 m (reef crest) dan kedalaman 7-12 m
(reef slope) tidak ditemukan penyakit BBD.

 Kondisi Kualitas Perairan


Pengukuran parameter kualitas perairan secara in situ didapatkan data
suhu, salinitas, DO, pH, dan TDS. Berdasarkan data suhu diperoleh selang rataan
antara 28,98oC29,39oC; kondisi tersebut masih berada dalam selang baku mutu.
Pada penelitian awal ini yang dilaksanakan pada musim kemarau terlihat
hasil bahwa penyakit karang BBD banyak terjadi pada lokasi yang lebih dekat
dengan daratan utama, meskipun pada lokasi terjauh juga masih ditemukan
penyakit karang. Dua jenis penyakit karang yang sering ditemukan yaitu BBD
(black band disease) dan WS. Kondisi ini dapat menjawab salah satu asumsi
bahwa penyakit karang memang banyak ditemukan di lokasi yang dekat dengan
daratan utama yang dianggap sebagai pembawa bahan polusi antropogenik.
Namun pada lokasi terjauhpun penyakit karang masih ada ditemukan, di mana
mestinya polusi antropogenik diasumsikan tidak akan sampai ke lokasi tersebut.
Intensitas cahaya dan suhu sangat menentukan keberadaan penyakit
karang BBD dan WS, karena lokasi pengamatan berada pada perairan yang
dangkal yaitu di daerah reef flat. Kemudian jenis karang juga didominasi oleh
karang bentuk pertumbuhan foliose dan encrusting dari genus karang yang sama.
Penyakit BBD memiliki bakteri yang berasosiasi dengan cahaya matahari
sehingga banyak ditemukan pada karang yang dangkal dengan lebar permukaan
koloni karang yang lebih lebar, sehingga lebih efektif menangkap cahaya dan
menjadi rumah (host) dari bakteri yang pada akhirnya menimbulkan penyakit.
Marga dari karang Fungiidae yang ditemukan di stasiun penelitian di Pulau
Pramuka ada lima, yaitu Heliofungia, Herpolitha, Fungia, Ctenactis, dan
Sandalolitha. Marga yang paling banyak ditemukan adalah Fungia dan yang
paling jarang ditemukan adalah Heliofungia. Lokasi yang memiliki keragaman
Marga yang tinggi adalah pada Timur Laut Pramuka, yaitu sebanyak 5 marga, dan
yang paling kecil keragamannya adalah pada Dermaga 1, yaitu sebanyak 3 marga.

Pada stasiun Barat Daya Pramuka hanya ditemukan 4 marga dari Fungiidae,
yaitu 1 individu Herpolitha, 20 individu Fungia, 10 individu Ctenactis, dan 3
individu Sandalolitha. Pada stasiun Area Perlindungan Laut (APL) ditemukan 4
marga dari Fungiidae yaitu 22 individu Fungia, 5 individu Ctenactis, 5 individu
Herpolitha, dan 1 individu Sandalolitha. Timur Laut Pramuka merupakan stasiun
yang memiliki nilai keragaman yang paling tinggi karena ditemukan 5 Marga dari
Fungiidae, yaitu 9 individu Fungia, 4 individu Ctenactis, 2 individu Herpolitha, 2
individu Sandalolitha, dan 1 individu.
Heliofungia. Pada stasiun Timur Pramuka ditemukan 4 marga dari
Fungiidae, yaitu 6 individu Fungia, 4 individu Herpolitha, 3 individu Ctenactis,
dan 1 individu Heliofungia. Pada Dermaga 1 hanya ditemukan 3 marga karang
Fungiidae, yaitu 4 individu Fungia, 2 individu Ctenactis dan 1 individu
Herpolitha. Walaupun Timur. Laut Pramuka merupakan stasiun yang paling tinggi
keragamannya, namun Fungiidae paling berlimpah pada stasiun Barat Daya
Pramuka yaitu sebanyak 34 individu karang Fungiidae. Fungia merupakan marga
yang paling berlimpah pada seluruh stasiun pengamatan. Sedangkan Heliofungia
merupakan marga yang paling jarang ditemukan.
Penyakit karang paling banyak menjangkit pada marga Fungia. Dari total 61
individu Fungia yang terdata di perairan Pulau Pramuka, hanya 19 individu
(31,15%) saja yang masih dalam kondisi sehat dan 42 individu (68,85%) terkena
penyakit karang. Pada lokasi Area Perlindungan Laut (APL) paling banyak
ditemukan Fungia yang terserang penyakit, yaitu 17 individu (77,27%) dan hanya
5 Fungia (22,73%) yang sehat. Pada Fungia ditemukan Yellow Band Disease,
sedimentasi, pemutihan karang dengan pola patches dan full, serta gabungan
penyakit Yellow Band Disease dengan sedimentasi dalam satu individu.
Ctenactis merupakan marga dari suku Fungiidae kedua yang paling banyak
terkena penyakit karang setelah marga Fungia. Sebanyak 24 individu karang
Ctenactis ditemukan di seluruh stasiun pengamatan di Pulau Pramuka, 17 individu
(70,83%) di antaranya terkena penyakit karang. Lokasi yang paling banyak
ditemukan Ctenactis yang terserang penyakit adalah pada stasiun Barat Daya
Pramuka dengan jumlah 6 individu (60%) terserang penyakit dan 4 individu
(40%) dalam kondisi sehat. Pada Ctenactis ditemukan Yellow Band Disease,
pemutihan karang dengan semua pola (patches, spots, stripes, dan menyeluruh)
dan gabungan penyakit Yellow Band Disease dengan sedimentasi dalam satu
individu. Herpolitha menempati urutan ketiga yang paling banyak terkena
penyakit karang. Jumlah karang Herpolitha yang ditemukan adalah 13 individu,
dimana 5 individu (38,46%) terkena penyakit karang dan 8 individu (61,54%)
A. Kondisi Karang
Lokasi pengamatan yang terbagi menjadi daerah dekat, sedang, dan terjauh
dengan daratan utama Pulau Jawa adalah seluas 720 m2 dengan total panjang 360
m. Pengamatan kondisi karang pada lokasi penelitian diperoleh bahwa tutupan
karang hidup rata-rata pada tubir (65,08%) lebih tinggi dibandingkan dengan di
lereng terumbu (22,88%) (Gambar 1).

Karang Montipora sp. dan Acropora sp. lebih banyak ditemukan pada
perairan dangkal yaitu di tubir, sebaliknya karang jenis lain lebih banyak
ditemukan di lereng terumbu. Distribusi karang Montipora sp. secara alamiah
sangat mendukung tempat penyebaran atau infeksi bakteri patogen karena
populasinya lebih banyak dibandingkan dengan jenis karang lain (Gambar 2).

Prevalensi Penyakit Karang Tingkat prevalensi penyakit karang terbagi dua,


yaitu keterpaparan total penyakit karang dan penyakit sabuk hitam. Pengamatan
terhadap prevalensi penyakit karang dilakukan di masing-masing zona. Total
prevalensi penyakit karang dan penyakit sabuk hitam tertinggi terjadi pada Pulau
Pramuka dengan nilai berturut-turut 21,98% dan 19,82%; kemudian diikuti Pulau
Penjaliran dengan nilai 13% dan 11,79%; sedangkan prevalensi terendah pada
Pulau Pari dengan nilai 5,57% dan 5,33%.
Prevalensi penyakit karang sangat tinggi sekitar 91% dari total penyakit
karang yang ada di Kepulauan Seribu didominasi oleh penyakit sabuk hitam
(black band disease). Hasil uji Anova diperoleh terdapat perbedaan prevalensi
penyakit jenis sabuk hitam antara di tubir dengan di lereng terumbu (P =
0.00127), namun tidak berbeda nyata pada kelompok pengganggu kesehatan
karang (Compremished health) dengan nilai P lebih besar (P = 0,232). Kejadian
prevelensi puncak ini (outbreak) teramati bersamaan dengan musim peralihan
antara musim kemarau ke musim hujan pada bulan November 2011 (Gambar 3).

Pada saat puncak prevalensi, diperoleh perbedaan prevalensi gabungan


semua jenis penyakit, seperti penyakit sabuk hitam dan kelompok parameter
pengganggu kesehatan karang antara tubir dan lereng terumbu. Prevalensi
penyakit sabuk hitam lebih tinggi di tubir (12,53%) dibandingkan dengan yang di
lereng terumbu (0,05%). Kelompok faktor pengganggu kesehatan karang juga
lebih tinggi di tubir (3,25%) dibandingkan dengan di lereng terumbu (2,68%);
demikian juga gabungan jenis penyakit lain seperti WS (white syndrome) yang
terlihat di Gambar 4. Tingginya prevalensi penyakit karang di lokasi yang dangkal
(tubir) sangat erat kaitannya dengan suhu dan intensitas cahaya yang diterima di
lokasi tersebut.
dari total penyakit karang yang ada di Kepulauan Seribu didominasi oleh
penyakit sabuk hitam (black band disease). Hasil uji Anova diperoleh terdapat
perbedaan prevalensi penyakit jenis sabuk hitam antara di tubir dengan di lereng
terumbu, namun tidak berbeda nyata pada kelompok pengganggu kesehatan
karang (Compremished health).
B. Kondisi Kualitas
Perairan Berdasarkan data kualitas perairan, terdapat dua parameter yang
mengalami peningkatan pada saat penelitian yaitu suhu dan intensitas cahaya
matahari. Suhu tertinggi terjadi di Pulau Pari (30,36oC), kemudian diikuti di Pulau
Penjaliran (30,08oC) dan Pulau Pramuka (29,86oC). Berbeda dengan suhu,
intensitas cahaya tertinggi terjadi di Pulau Pramuka 9.464,530 lux, kemudian
diikuti oleh Pulau Penjaliran 9.353,420 lux dan Pulau Pari 6.747,953 lux seperti
terlihat pada Tabel 1.

Berdasarkan data suhu dan intensitas pada pengamatan selama kurang lebih
satu tahun (Tabel 2) terlihat suhu dan intensitas camg/L dan 55,93 mg/L pada saat
tingkat prevalensi penyakit sabuk hitam tertinggi (Tabel 1). Lokasi tempat
ditemukan penyakit karang dalam jumlah di luar batas normal yaitu di Pulau
Pramuka memiliki rata-rata TDS dan TOM lebih rendah dibandingkan dengan dua
lokasi lain, yaitu TDS 28,62±12,11 mg/L dan 29,16±14,45 mg/L.
Data meterologi yang meliputi lama penyinaran matahari, curah hujan, dan
kecepatan angin (Gambar 5) menunjukkan suatu saling keterkaitan. Lama
penyinaran matahari mengalami peningkatan sejak awal hingga di saat terjadinya
puncak prevalensi penyakit sabuk hitam, hal yang sama juga diperlihatkan oleh
data suhu dan intensitas cahaya matahari yang sampai ke dasar perairan di lokasi
pengamatan.
Curah hujan mengalami penurunan sebelum terjadi puncak prevalensi
penyakit dan sedikit mengalami peningkatan di saat terjadi puncak prevalensi
penyakit sabuk hitam. Kecepatan angin mengalami penurunan di saat puncak
prevalensi penyakit sabuk hitam (bulan November 2011) dan mengalami
peningkatan pada bulan Desember 2011 di Kepulauan Seribu, Jakarta.

Faktor utama penyebab terjadinya prevalensi di luar batas normal (outbreak)


di sebabkan oleh intensitas cahaya dan suhu yang mengalami peningkatan,
sementara faktor lain hanya sebagai pendukung dan penyebab terjadinya
peningkatan suhu dan intensitas cahaya seperti nilai TDS, TOM, dan arus yang
rendah menyebabkan cahaya matahari dapat diserap atau sampai ke dasar perairan
secara maksimal dibandingkan dengan waktu sebelumnya.
Logam berat di perairan tidak akan menjadi masalah apabila jumlahnya
berada di bawah ambang batas toksik. Hal ini dikarenakan hingga batas tertentu
logam berat diperlukan organisme untuk pertumbuhan sebagai trace element
essential. Namun, logam berat akan bersifat racun apabila melebihi batas tersebut
dan dapat menyebabkan kerusakan organ tubuh. Meskipun tubuh organisme
menerima logam berat dalam jumlah yang sedikit, namun jika hal ini berlangsung
terus menerus dan dalam waktu lama maka akan menyebabkan penumpukan
logam berat dan terjadilah akumulasi dalam tubuh organisme. mengenai
akumulasi logam berat dan pengaruhnya terhadap morfologi jaringan lunak
karang diketahui bahwa akumulasi logam paling banyak ditemukan pada tepi luar
dari jaringan lunak bagian tengah dan dalam karang Porites.
Karang memiliki sensitifitas yang tinggi khususnya zooxanthellae yang
beraosiasi di dalamnya terhadap perubahan lingkungan. Menyatakan adanya
penurunan densitas zooxanthellae pada karang P. damicornis yang diberi logam
berat dibandingkan dengan kontrol. Logam berat juga berpengaruh terhadap
kondisi mitotic index dari zooxanthellae yang diisolasi dari karang yang memiliki
life form Acropora Branching yaitu adanya penurunan nilai mitotic index sejalan
dengan hasil dari parameter densitas zooxanthellae yang mengalami penurunan
setelah diberi perlakuan logam berat. Pengaruh logam berat terhadap karang juga
diperlihatkan dari adanya reaksi awal berupa penarikan tentakel ke dalam koralit
dan kemudian pengeluaran mukus yang menyelubungi karang.
IV KESIMPULAN DAN SARAN
4.1 Kesimpulan
Pada penelitian ini dapat disimpulkan beberapa hal di antaranya adalah
penyakit karang black band disease (BBD) ditemukan pada setiap lokasi secara
spasial di Kepulauan Seribu, kelimpahannya banyak ditemukan pada perairan
yang lebih dangkal yaitu rataan termbu (reef plate) dibandingkan dengan lereng
terumbu (reef slope). Penyakit sabuk hitam (black band disease) mencapai puncak
prevalensi pada musim peralihan yang disebabkan oleh peningkatan intensitas
cahaya berkisar 6.747,953 lux - 9.464,530 lux dan suhu perairan berkisar 29,86oC-
30,08oC di bulan November 2011. Parameter lain juga berperan dalam pendukung
terjadinya peningkatan penyebaran penyakit dengan beberapa faktor yang
menyebabkan karang menjadi stres seperti TOM dan TDS yang tinggi serta
kecepatan arus, curah hujan, dan kecepatan angin yang rendah. Penyakit karang
sabuk hitam ditemukan sepanjang tahun di Kepulauan Seribu, Jakarta dengan
tingkat prevalensi yang berbeda-beda.
4.2 Saran
Penelitian penyakit karang masih baru dilakukan di Indonesia sehingga
masih banyak bagian-bagian penelitian yang belum dilakukan, di antaranya
analisis mikrobiologi penyebab penyakit karang, analisis histologi untuk melihat
bagian karang yang diserang atau rusak oleh penyakit dan untuk mengetahui
kenapa penyakit karang BBD banyak ditemukan pada karang jenis Montipora sp.
dan pada kedalaman dangkal saja. Penelitian penyakit karang secara komprehensif
baru dilakukan di perairan Kepulauan Seribu, Jakarta. Penelitian yang sama perlu
dilakukan di daerah lain untuk mengetahui distribusi dan kelimpahan penyakit
karang di perairan Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai