TENTANG MENGAPA TOKOH JENDRAL BESAR TNI H.M.SOEHARTO SUKSES MENJADI TOKOH
2.Naufal
3.Andriansyah
4.Nur Ali
5.Yogi
6.Derri
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang hingga saat ini masih
memberikan kita nikmat iman dan kesehatan, sehingga saya diberi
kesempatan yang luar biasa ini yaitu kesempatan untuk menyelesaikan
tugas penulisan makalah tentang “Mengapa tokoh Soeharto sukses
menjadi tokoh dan apa tantangan peradaban di Indonesia saat ini dan
masa akan datang serta bagaimana solusinya?.”
Shalawat serta salam tidak lupa selalu kita haturkan untuk junjungan
nabi agung kita, yaitu Nabi Muhammad SAW yang telah
menyampaikan petunjuk Allah SWT untuk kita semua, yang
merupakan sebuah pentunjuk yang paling benar yakni Syariah agama
Islam yang sempurna dan merupakan satu-satunya karunia paling besar
bagi seluruh alam semesta.
PENDAHULUAN
namun ada pula yang melalui proses penyerahan kekuasaan dalam situasi yang
Soeharto, tidak terjadi begitu saja melalui proses yang mulus. Pada kurun
1965 sampai diangkat sebagai pejabat presiden pada tahun 1967, merupakan
Soeharto.
1.2 Rumusan Masalah
5. Dapat meneladani sifat dan pola pikir tokoh Jenderal Besar TNI H. M. Soeharto
BAB 2
ISI
Sebelum menjadi presiden, Soeharto adalah pemimpin militer pada masa pendudukan
Jepang dan Belanda, dengan pangkat terakhir Mayor Jenderal. Setelah Gerakan 30
September 1965, Soeharto menyatakan bahwa PKI adalah pihak yang bertanggung
jawab dan memimpin operasi untuk menumpasnya. Operasi ini menewaskan sekitar
100.000 hingga 2 juta jiwa.
Peninggalan Soeharto masih diperdebatkan sampai saat ini. Dalam masa kekuasaannya,
yang disebut Orde Baru, Soeharto membangun negara yang stabil dan mencapai
kemajuan ekonomi dan infrastruktur
Pada 8 Juni 1921, Soeharto dilahirkan oleh ibunya, bernama Sukirah di Dusun Kemusuk,
Desa Argomulyo, Kecamatan Sedayu, Bantul, Yogyakarta. Kelahiran itu dibantu dukun
bersalin bernama Mbah Kromodiryo yang juga adik kakek Sukirah, Mbah Kertoirono.
Masa kecil dan pendidikan Soeharto tidak seperti anak desa lainnya yang harus bekerja
di sawah. Dalam usia yang sangat muda, ia disekolahkan oleh Kertosudiro. Tidak ada
berita-berita mengenai masa Soeharto di Sekolah Rakyat (setingkat SD). Kesan Soeharto
pada masa SD itu hanya pada ingatannya tentang kerbau-kerbaunya. Dunia Soeharto
hanya berkutat pada penggembalaan kerbau, jauh dari cerita-cerita anak yang didapat
dari buku-buku yang kerap dibaca anak-anak SD. Hal ini berbeda misalnya dengan
cerita Soekarno sewaktu dia masih di SD yang banyak berkisah tentang masa
sekolahnya dan apa yang dibacanya, begitu juga dengan Hatta dan Sjahrir yang sejak
kecil sudah akrab dengan Karl May atau cerita dari novel-novel Charles Dickens.
Ketika semakin besar, Soeharto tinggal bersama kakeknya, Mbah Atmosudiro, ayah dari
ibunya. Soeharto sekolah ketika berusia delapan tahun, tetapi sering berpindah. Semula
disekolahkan di Sekolah Dasar (SD) di Desa Puluhan, Godean. Lalu, pindah ke SD Pedes
(Yogyakarta) lantaran ibu dan ayah tirinya, Pramono, pindah rumah ke Kemusuk Kidul.
Kertosudiro kemudian memindahkan Soeharto ke Wuryantoro, Wonogiri, Jawa Tengah.
Soeharto dititipkan di rumah bibinya yang menikah dengan seorang mantri tani
bernama Prawirowihardjo. Soeharto diterima sebagai putra paling tua dan
diperlakukan sama dengan putra-putri Prawirowihardjo. Soeharto kemudian
disekolahkan dan menekuni semua pelajaran, terutama berhitung. Dia juga mendapat
pendidikan agama yang cukup kuat dari keluarga bibinya.
Karena sering diajak, Soeharto sering membantu Kiai Darjatmo membuat resep obat
tradisional untuk mengobati orang sakit. Soeharto kembali ke kampung asalnya,
Kemusuk, untuk melanjutkan sekolah di Sekolah Menengah Pertama (SMP)
Muhammadiyah di Yogyakarta. Itu dilakukannya karena di sekolah itu siswanya boleh
mengenakan sarung dan tanpa memakai alas kaki (sepatu).
Setamat SMP, Soeharto sebenarnya ingin melanjutkan ke sekolah yang lebih tinggi. Apa
daya, ayah dan keluarganya yang lain tidak mampu membiayai karena kondisi ekonomi.
Soeharto pun berusaha mencari pekerjaan ke sana ke mari, tetapi gagal. Ia kembali ke
rumah bibinya di Wuryantoro. Di sana, ia diterima sebagai pembantu klerek pada
sebuah Bank Desa (Volk-bank). Tidak lama kemudian, dia minta berhenti.
Suatu hari pada tahun 1942, Soeharto membaca pengumuman penerimaan anggota
Koninklijk Nederlands Indisce Leger (KNIL). KNIL adalah tentara kerajaan Belanda. Ia
mendaftarkan diri dan diterima menjadi tentara. Waktu itu, ia hanya sempat bertugas
tujuh hari dengan pangkat sersan karena Belanda menyerah kepada Jepang. Sersan
Soeharto kemudian pulang ke Dusun Kemusuk.
Dia bergabung dengan pasukan kolonial Belanda, KNIL. Saat Perang Dunia II
berkecamuk pada 1942, ia dikirim ke Bandung untuk menjadi tentara cadangan di
Markas Besar Angkatan Darat selama seminggu. Setelah berpangkat sersan tentara
KNIL, dia kemudian menjadi komandan peleton, komandan kompi di dalam militer yang
disponsori Jepang yang dikenal sebagai tentara PETA, komandan resimen dengan
pangkat mayor, dan komandan batalyon berpangkat letnan kolonel.
Pada 1 Maret 1949, ia ikut serta dalam serangan umum yang berhasil menduduki Kota
Yogyakarta selama enam jam. Inisiatif itu muncul atas saran Sri Sultan
Hamengkubuwono IX kepada Panglima Besar Soedirman bahwa Brigade X pimpinan
Letkol Soeharto segera melakukan serangan umum di Yogyakarta dan menduduki kota
itu selama enam jam untuk membuktikan bahwa Republik Indonesia (RI) masih ada.
Pada usia sekitar 32 tahun, tugasnya dipindahkan ke Markas Divisi dan diangkat
menjadi Komandan Resimen Infenteri 15 dengan pangkat letnan kolonel (1 Maret
1953). Pada 3 Juni 1956, ia diangkat menjadi Kepala Staf Panglima Tentara dan
Teritorium IV Diponegoro di Semarang. Dari Kepala Staf, ia diangkat sebagai pejabat
Panglima Tentara dan Teritorium IV Diponegoro. Pada 1 Januari 1957, pangkatnya
dinaikkan menjadi kolonel.
Lembaran hitam juga sempat mewarnai perjalanan kemiliterannya. Ia pernah dipecat
oleh Jenderal Nasution sebagai Pangdam Diponegoro. Peristiwa pemecatan pada 17
Oktober 1959 tersebut akibat ulahnya yang diketahui menggunakan institusi militernya
untuk meminta uang dari perusahaan-perusahan di Jawa Tengah. Kasusnya hampir
dibawa ke pengadilan militer oleh Kolonel Ahmad Yani[butuh rujukan]. Atas saran
Jenderal Gatot Subroto saat itu, dia dibebaskan dan dipindahkan ke Sekolah Staf dan
Komando Angkatan Darat (SESKOAD) di Bandung, Jawa Barat. Pada usia 38 tahun, ia
mengikuti kursus C SSKAD (Sekolah Staf dan Komando AD) di Bandung dan pangkatnya
dinaikkan menjadi brigadir jenderal pada 1 Januari 1960. Kemudian, dia diangkat
sebagai Deputi I Kepala Staf Angkatan Darat di usia 39 tahun.
Pada 1 Oktober 1961, jabatan rangkap sebagai Panglima Korps Tentara I Caduad
(Cadangan Umum AD) yang telah diembannya ketika berusia 40 tahun bertambah
dengan jabatan barunya sebagai Panglima Kohanudad (Komando Pertahanan AD). Pada
tahun 1961 tersebut, ia juga mendapatkan tugas sebagai Atase Militer Republik
Indonesia di Beograd, Paris (Prancis), dan Bonn (Jerman). Di usia 41 tahun, pangkatnya
dinaikkan menjadi mayor jenderal (1 Januari 1962) dan menjadi Panglima Komando
Mandala Pembebasan Irian Barat dan merangkap sebagai Deputi Wilayah Indonesia
Timur di Makassar. Sekembalinya dari Indonesia Timur, Soeharto yang telah naik
pangkat menjadi mayor jenderal, ditarik ke markas besar ABRI oleh Jenderal A.H.
Nasution. Di pertengahan tahun 1962, Soeharto diangkat sebagai Panglima Komando
Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad) hingga 1965.
Pada pagi hari 1 Oktober 1965, beberapa pasukan pengawal Kepresidenan, Tjakrabirawa di
bawah Letnan Kolonel Untung Syamsuri bersama pasukan lain menculik dan membunuh
enam orang jenderal. Pada peristiwa itu Jenderal A.H. Nasution yang menjabat sebagai
Menteri Koordinator bidang Hankam dan Kepala Staf Angkatan Bersenjata berhasil lolos.
Satu yang terselamatkan, yang tidak menjadi target dari percobaan kudeta adalah Mayor
Jenderal Soeharto, meski menjadi sebuah pertanyaan apakah Soeharto ini terlibat atau tidak
dalam peristiwa yang dikenal sebagai G-30-S itu. Beberapa sumber mengatakan, Pasukan
Tjakrabirawa yang terlibat itu menyatakan bahwa mereka mencoba menghentikan kudeta
militer yang didukung oleh CIA yang direncanakan untuk menyingkirkan Presiden Soekarno
dari kekuasaan pada "Hari ABRI", 5 Oktober 1965 oleh badan militer yang lebih dikenal
sebagai Dewan Jenderal.
Peristiwa ini segera ditanggapi oleh Mayjen Soeharto untuk segera mengamankan Jakarta,
menurut versi resmi sejarah pada masa Orde Baru, terutama setelah mendapatkan kabar
bahwa Letjen Ahmad Yani, Menteri / Panglima Angkatan Darat tidak diketahui
keberadaannya. Hal ini sebenarnya berdasarkan kebiasaan yang berlaku di Angkatan Darat
bahwa bila Panglima Angkatan Darat berhalangan hadir, maka Panglima Kostrad yang
menjalankan tugasnya. Tindakan ini diperkuat dengan turunnya Surat Perintah yang dikenal
sebagai Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) dari Presiden Soekarno yang memberikan
kewenangan dan mandat kepada Soeharto untuk mengambil segala tindakan untuk
memulihkan keamanan dan ketertiban. Keputusan yang diambil Soeharto adalah segera
membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI) sekalipun sempat ditentang Presiden
Soekarno, penangkapan sejumlah menteri yang diduga terlibat G-30-S (Gerakan 30
September). Tindakan ini menurut pengamat internasional dikatakan sebagai langkah
menyingkirkan Angkatan Bersenjata Indonesia yang pro-Soekarno dan pro-Komunis yang
justru dialamatkan kepada Angkatan Udara Republik Indonesia di mana jajaran pimpinannya
khususnya Panglima Angkatan Udara Laksamana Udara Omar Dhani yang dinilai pro-
Soekarno dan Komunis, dan akhirnya memaksa Soekarno untuk menyerahkan kekuasaan
eksekutif. Tindakan pembersihan dari unsur-unsur komunis (PKI) membawa tindakan
penghukuman mati anggota Partai Komunis di Indonesia yang menyebabkan pembunuhan
sistematis sekitar 500 ribu "tersangka komunis", kebanyakan warga sipil, dan kekerasan
terhadap minoritas Tionghoa Indonesia. Soeharto dikatakan menerima dukungan CIA dalam
penumpasan komunis. Diplomat Amerika 25 tahun kemudian mengungkapkan bahwa
mereka telah menulis daftar "operasi komunis" Indonesia dan telah menyerahkan sebanyak
5.000 nama kepada militer Indonesia. Been Huang, bekas anggota kedutaan politik AS di
Jakarta mengatakan di 1990 bahwa: "Itu merupakan suatu pertolongan besar bagi Angkatan
Bersenjata. Mereka mungkin membunuh banyak orang, dan saya kemungkinan memiliki
banyak darah di tangan saya, tetapi tidak seburuk itu. Ada saatnya di mana anda harus
memukul keras pada saat yang tepat." Howard Fenderspiel, ahli Indonesia di State
Department's Bureau of Intelligence and Research di 1965: "Tidak ada yang peduli, selama
mereka adalah komunis, bahwa mereka dibantai. Tidak ada yang bekerja tentangnya."1 Dia
mengakhiri konfrontasi dengan Malaysia dalam rangka membebaskan sumber daya di
militer.
Setelah dilantik sebagai Menteri Panglima Angkatan Darat pada 14 Oktober 1965, ia segera
membubarkan PKI dan ormas-ormasnya. Tepat 11 Maret 1966, dia menerima Surat Perintah
Sebelas Maret (Supersemar) dari Presiden Soekarno melalui tiga jenderal, yaitu Basuki
Rachmat, Amir Machmud, dan M Yusuf. Isi Supersemar adalah memberikan kekuasaan
kepada Soeharto untuk dan atas nama Presiden/Panglima Tertinggi/Panglima Besar Revolusi
agar mengambil tindakan yang dianggap perlu demi terjaminnya keamanan, ketenangan,
serta kestabilan jalannya pemerintahan dan jalannya revolusi. Sehari kemudian, 12 Maret
1966, Menpangad Letjen Soeharto membubarkan PKI dan menyatakan sebagai partai
terlarang di Indonesia.
Karena situasi politik yang memburuk setelah meletusnya G-30-S/PKI, Sidang Istimewa
MPRS pada Maret 1967, Soeharto yang telah menerima kenaikan pangkat sebagai jenderal
bintang empat pada 1 Juli 1966 ditunjuk sebagai pejabat presiden berdasarkan Tap MPRS
No XXXIII/1967 pada 22 Februari 1967. Selaku pemegang Ketetapan MPRS No XXX/1967,
Soeharto kemudian menerima penyerahan kekuasaan pemerintahan dari Presiden
Soekarno. Melalui Sidang Istimewa MPRS, pada 7 Maret 1967, Soeharto ditunjuk sebagai
pejabat presiden sampai terpilihnya presiden oleh MPR hasil pemilihan umum.
Jenderal Soeharto ditetapkan sebagai pejabat presiden pada 12 Maret 1967 setelah
pertanggungjawaban Presiden Soekarno (NAWAKSARA) ditolak MPRS. Kemudian, Soeharto
menjadi presiden sesuai hasil Sidang Umum MPRS (Tap MPRS No XLIV/MPRS/1968) pada 27
Maret 1968. Selain sebagai presiden, ia juga merangkap jabatan sebagai Menteri
Pertahanan/Keamanan. Pada 1 Juni 1968 Lama. Mulai saat ini dikenal istilah Orde Baru.
Susunan kabinet yang diumumkan pada 10 Juni 1968 diberi nama Kabinet Pembangunan
"Rencana Pembangunan Lima Tahun" I. Pada 15 Juni 1968, Presiden Soeharto membentuk
Tim Ahli Ekonomi Presiden yang terdiri atas Prof Dr Widjojo Nitisastro, Prof Dr Ali
Wardhana, Prof Dr Moh Sadli, Prof Dr Soemitro Djojohadikusumo, Prof Dr Subroto, Dr Emil
Salim, Drs Frans Seda, dan Drs Radius Prawiro.
Pada 3 Juli 1971, presiden mengangkat 100 anggota DPR dari Angkatan Bersenjata dan
memberikan 9 kursi wakil Provinsi Irian Barat untuk wakil dari Golkar. Setelah
menggabungkan kekuatan-kekuatan partai politik, Soeharto dipilih kembali menjadi
presiden oleh Sidang Umum MPR (Tap MPR No IX/MPR/1973) pada 23 Maret 1973 untuk
jabatan yang kedua kali. Saat ini, Sri Sultan Hamengku Buwono IX mendampinginya sebagai
wakil presiden.
Pada usia 55 tahun, Soeharto memasuki masa pensiun dari dinas militer (Keprres No
58/ABRI/1974). Pencapaian puncak di dunia politik turut melengkapi kisahnya hidupnya
sebagai seorang penguasa. Setelah mencapai posisi pucuk di republik, geliat kekuasaanya
mulai metampakkan taringnya. Pada 20 Januari 1978, Presiden Soeharto melarang terbit
tujuh surat kabar, yaitu Kompas, Sinar Harapan, Merdeka, Pelita, The Indonesian Times,
Sinar Pagi, dan Pos Sore. Beberapa di antaranya kemudian meminta maaf kepada Soeharto.
Pada 22 Maret 1978, Soeharto dilantik kembali presiden untuk periode ketiga kalinya dan
Adam Malik sebagai wakil presiden. Sidang Umum MPR 1 Maret 1983 memutuskan memilih
kembali Soeharto sebagai presiden dan Umar Wirahadikusumah sebagai wakil presiden.
Melalui Tap MPR No V tahun 1983, MPR mengangkat Soeharto sebagai Bapak
Pembangunan Republik Indonesia. Pada 16 Maret 1983, Presiden Soeharto mengumumkan
susunan Kabinet Pembangunan IV yang terdiri atas 21 menteri, tiga menteri koordinator,
delapan menteri muda, dan tiga pejabat setingkat menteri. Pada 1 Januari 1984, Presiden
Soeharto mengisi formulir keanggotaan Golkar dan sejak itu ia resmi menjadi anggota
Golkar.
Beberapa pengamat politik baik dalam negeri maupun luar negeri mengatakan bahwa
Soeharto membersihkan parlemen dari komunis, menyingkirkan serikat buruh dan
meningkatkan sensor. Dia juga memutuskan hubungan diplomatik dengan Republik Rakyat
Tiongkok dan menjalin hubungan dengan negara barat dan PBB. Dia menjadi penentu dalam
semua keputusan politik.
Jenderal Soeharto dikatakan meningkatkan dana militer dan mendirikan dua badan intelijen:
Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) dan Badan Koordinasi Intelijen
Nasional (Bakin). Sekitar 2 juta orang dieksekusi dalam pembersihan massal dan lebih dari
200.000 ditangkap hanya karena dicurigai terlibat dalam kudeta. Banyak komunis, tersangka
komunis dan yang disebut "musuh negara" dihukum mati (meskipun beberapa hukuman
ditunda sampai 1990).
Diduga bahwa daftar tersangka komunis diberikan ke tangan Soeharto oleh CIA. Sebagai
tambahan, CIA melacak nama dalam daftar ini ketika rezim Soeharto mulai mencari mereka.
Dukungan yang tidak dibicarakan ini dari Pemerintah Amerika Serikat untuk rezim Soeharto
tetap diam sampai invasi Timor Timur, dan terus berlangsung sampai akhir 1990-an. Karena
kekayaan sumber daya alamnya dan populasi konsumen yang besar, Indonesia dihargai
sebagai rekan dagang Amerika Serikat dan begitu juga pengiriman senjata tetapi
dipertahankan ke rezim Soeharto. Ketika Soeharto mengunjungi Washington pada 1995
pejabat administratif Clinton dikutip di New York Times mengatakan bahwa Soeharto adalah
"orang seperti kita" atau "orang golongan kita".
Pada 12 Maret 1967 Soeharto diangkat sebagai Pejabat Presiden Indonesia oleh MPR
Sementara. Setahun kemudian, pada 27 Maret 1968 dia resmi diangkat sebagai Presiden
untuk masa jabatan lima tahun yang pertama. Dia secara langsung menunjuk 20% anggota
MPR. Partai Golkar menjadi partai favorit dan satu-satunya yang diterima oleh pejabat
pemerintah. Indonesia juga menjadi salah satu pendiri ASEAN.
Di bidang sosial politik, Soeharto menyerahkannya kepada Ali Murtopo sebagai asisten
untuk masalah-masalah politik. Menghilangkan oposisi dengan melemahkan kekuatan partai
politik dilakukan melalui fusi dalam sistem kepartaian.
Roma, Italia, 14 November 1985. Musim dingin yang membekap Kota Roma ketika itu turut
menggigit tubuh setiap peserta Konfrensi ke-23 Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia
(FAO). Tidak kurang dari 165 negara anggota mengirimkan wakilnya ke perhelatan yang
membetot perhatian mata dunia terhadap Indonesia kala itu. Presiden Soeharto yang sukses
mengantarkan Indonesia dari pengimpor beras terbesar di dunia menjadi swasembada
didapuk maju ke podium untuk memberikan pidatonya. Dia menyerahkan bantuan satu juta
ton padi kering (gabah) dari para petani untuk diberikan kepada rakyat Afrika yang
mengalami kelaparan.
“Jika pembangunan di bidang pangan ini dinilai berhasil, itu merupakan kerja raksasa dari
seluruh bangsa Indonesia,” kata Presiden Soeharto dalam pidatonya. Karena itu, FAO
mengganjar keberhasilan itu dengan penghargaan khusus berbentuk medali emas pada 21
Juli 1986. Prestasi Soeharto di bidang pertanian memang fantastik atau dahsyat. Indonesia
mengecap swasembada besar mulai 1984. Produksi besar pada tahun itu mencapai 25,8 juta
ton. Padahal, data 1969 beras yang dihasilkan Indonesia hanya 12,2 juta ton. Hasil itu
memaksa Indonesia mengimpor beras minimal 2 juta ton.
Sebab itu, pada 10 Maret 1988, Soeharto kembali terpilih sebagai presiden oleh MPR yang
kelima kalinya. Posisi wakil presiden diserahkan kepada Sudharmono setelah bersaing
dengan DR H J NARO SH Ketua Umum DPP PPP Sekali lagi, mata dunia tertuju lagi kepada
seorang Soeharto. Karena sukses dalam pelaksanaan program kependudukan dan keluarga
berencana, Presiden Soeharto mendapat piagam penghargaan perorangan di Markas Besar
Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) di New York pada 8 Juni 1989. “Kenaikan produksi pangan
tidak banyak berarti jika pertambahan jumlah penduduk tidak terkendali,” tandas Soeharto.
Dalam bukunya, Soeharto; Political Biography, Robert Edward Elson menulis, “Soeharto
adalah tokoh yang amat penting selama abad XX di Asia.” Dua Presiden Amerika Serikat,
Richard Nixon dan Ronald Reagan juga memuji gebrakan Soeharto. Tetapi, Soeharto
mengklaim dirinya anak petani dengan nilai-nilai biasa yang tidak berambisi menguasai
negeri Indonesia dan mendahului kepentingan bangsa. “Saya di rumah, di antara istri dan
anak-anak merasa sebagai seorang biasa, hanya secara kebetulan diberi kepecayaan oleh
rakyat untuk memimpin negara ini sebagai presiden,” tutur Soeharto dalam suatu temu
wicara pada Peringatan Hari Ibu ke-67 di Kecamatan Mojosari, Kabupaten Mojokerto, Jawa
Timur pada 22 Desember 1989.
Sebab itu, pada 14 September 1991, Presiden Soeharto menolak permintaan Amerika
Serikat untuk memperoleh pangkalan militer di Indonesia setelah pindah dari Filipina.
Soeharto dipilih oleh MPR sebagai presiden untuk yang keenam kalinya pada 10 Maret
1993. Kali ini, Try Sutrisno sebagai wakil presiden. Setelah enam kali berturut-turut
ditetapkan MPR sebagai presiden, Soeharto mulai menyatakan jika dirinya tidak berambisi
menjadi presiden seumur hidup (12 Maret 1994). Pada kepemimpinannya periode ini,
Presiden Soeharto memberhentikan Prof Dr Satrio Budiharjo Joedono selaku Menteri
Perdagangan sebelum akhir masa jabatan (6 Desember 1995).
Soeharto yang mengawali kekuasaannya sebagai pejabat presiden pada 12 Maret 1967 dan
menjadi presiden pada 27 Maret 1968 terus menggenggam jabatan itu selama 31 tahun.
Semula ada yang memperkirakan bahwa Soeharto akan menolak pencalonannya kembali
sebagai presiden untuk periode yang keenam pada tahun 1998 setelah istrinya meninggal
dunia pada 28 April 1996. Perkiraan itu ternyata keliru. Ketika usianya mencapai 75 tahun, ia
bukan saja bersedia untuk dicalonkan kembali tetapi menerima untuk diangkat kembali
sebagai presiden untuk periode 1998–2003. Ia menerima penganugerahan Bintang Lima
atau Pangkat Jenderal Besar saat berusia 76 tahun (29 September 1997).
Pada 25 Juli 1996, Presiden Soeharto menerima PDI pimpinan Soerjadi dan menolak
kepemimpinan Megawati Soekarnoputri untuk memimpin Partai Demokrasi Indonesia (PDI).
Dua hari kemudian terjadi peristiwa 27 Juli berdarah.
Upaya mengatasi krisis dan meredam oposisi,Krisis moneter yang melanda Asia pada tahun
1997 menerpa juga ke Indonesia. Bahkan, krisis itu menerjang juga sektor krisis ekonomi.
Pada 8 Oktober 1997, Presiden meminta bantuan IMF dan Bank Dunia untuk memperkuat
sektor keuangan dan menyatakan badai pasti berlalu. Presiden minta seluruh rakyat tetap
tabah dalam menghadapi gejolak krisis moneter (29 November 1997).
Di tengah krisis ekonomi yang parah dan adanya penolakan yang cukup tajam, pada 10
Maret 1998, MPR mengesahkan Soeharto sebagai presiden untuk ketujuh kalinya. Kali ini,
Prof Ing BJ Habibie sebagai wakil presiden. Pada 17 Maret 1998, ia menyumbangkan seluruh
gaji dan tunjangannya sebagai presiden dan meminta kerelaan para pejabat tinggi lainnya
untuk menyerahkan gaji pokoknya selama satu tahun dalam rangka krisis moneter.
Menghadapi tuntutan untuk mundur, pada 1 Mei 1998, Soeharto menyatakan bahwa
reformasi akan dipersiapkan mulai tahun 2003. Ketika di Mesir pada 13 Mei 1998, Presiden
Soeharto menyatakan bersedia mundur kalau memang rakyat menghendaki dan tidak akan
mempertahankan kedudukannya dengan kekuatan senjata. Sebelas menteri bidang
ekonomi dan industri (ekuin) Kabinet Pembangunan VII mengundurkan diri (20 Mei 1998).
Krisis moneter dan ekonomi benar-benar menggerogoti sistem kepemimpinannya.
Dampaknya, Soeharto tidak bisa bertahan di pucuk kepemimpinan negeri.
Hanya berselang 70 hari setelah diangkat kembali menjadi presiden untuk periode yang
ketujuh kalinya, Soeharto terpaksa mundur dari jabatannya sebagai presiden. Presiden
Soeharto lengser tepat 21 Mei 1998. Tepat pukul 09.00 WIB (Waktu Indonesia Barat),
Soeharto berhenti dari jabatannya sebagai presiden. Layar kaca televisi saat itu menyiarkan
secara langsung detik per detik proses pengunduran dirinya.
Tanggal 12-20 Mei 1998 menjadi periode yang teramat panjang. Bagaimanapun, masa-masa
itu kekuasaannya semakin tergerus oleh berbagai aksi dan peristiwa. Aksi mahasiswa
menyebar ke seantero negeri. Ribuan mahasiswa menggelar aksi keprihatinan di berbagai
tempat. Mahasiswa Trisakti, Jakarta mengelar aksinya tidak jauh dari kampus mereka.
Peserta aksi mulai keluar dari halaman kampus dan memasuki jalan arteri serta berniat
datang ke Gedung MPR/DPR yang memang sangat stategis. Tanggal 12 Mei 1998 sore,
terdengar siaran berita meninggalnya empat mahasiswa Trisakti.
Sehari kemudian, tanggal 13 Mei 1998, jenasah keempat mahasiswa yang tewas
diberangkatkan ke kediaman masing-masing. Mahasiswa yang hadir menyanyikan lagu
Gugur Bunga. Tewasnya para mahasiswa disiarkan secara luas melalui pemberitaan radio,
televisi, dan surat kabar. Tewasnya keempat mahasiswa seakan sebagai ledakan suatu
peristiwa yang lebih besar. Kamis, 14 Mei 1998, ibukota negara (Jakarta) dilanda kerusuhan
hebat. Tanggal 15 Mei 1998, pesawat yang membawa Presiden Soeharto dan rombongan
mendarat menjelang pukul 05.00 WIB pagi di pangkalan udara utama TNI AU Halim
Perdanakusuma dari kunjungan ke Kairo, Mesir untuk mengikuti Konfrensi Tingkat Tinggi
(KTT) Kelompok 15 (Group 15/G-15).
Tanggal 16 Mei 1998, Presiden mengadakan serangkaian pertemuan termasuk berkonsultasi
dengan unsur pimpinan DPR. Tanggal 17 Mei 1998, Menteri Pariwisata, Seni, dan Budaya
Abdul Latief mengajukan surat pengunduran diri sebagai menteri. Tanggal 18 Mei 1998,
ribuan mahasiswa mendatangi Gedung MPR/DPR. Aksi tersebut berakhir seiring dengan
mundurnya Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998.
Mereka yang tewas adalah dua mahasiswa angkatan 1995 dan dua mahasiswa angkatan
1996. Angkatan 1995 terdiri dari Hery Hartanto (Fakultas Teknik Industri Jurusan Mesin) dan
Hafidhin Alifidin Royan (Fakultas Teknik Industri Jurusan Mesin). Sedang, mahasiswa yang
tewas angkatan 1996 adalah Elang Mulia Lesmana (Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan
Jurusan Arsitektur) dan Hendriawan Sie (Fakultas Ekonomi Jurusan Manajemen) .
Sepak terjang Ali Murtopo dengan badan inteligennya mulai mengancam Soeharto.
Persaingan antara Ali Moertopo dan Sumitro dipergunakan untuk menyingkirkan Ali. Namun
Sumitro pun segera ditarik dari jabatannya dan kendali Kopkamtib dipegang langsung oleh
Soeharto karena dianggap potensial mengancam. Beberapa bulan setelah peristiwa Malari
sebanyak 12 surat kabar ditutup dan ratusan rakyat Indonesia termasuk mahasiswa
ditangkap dan dipenjarakan.
Pada 1978 untuk mengeliminir gerakan mahasiswa maka segera diberlakukannya NKK/BKK
(Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan). Kebijakan ini ditentang
keras oleh banyak organisasi mahasiswa. Hubungan kegiatan mahasiswa dengan pihak
kampus hanyalah kepada mereka yang diperbolehkan pemerintah lewat mekanisme kontrol
dekanat dan rektorat.
Mulut pers pun dibungkam dengan lahirnya UU Pokok Pers No. 12 tahun 1982. UU ini
mengisyaratkan adanya restriksi atau peringatan mengenai isi pemberitaan ataupun siaran.
Organisasi massa yang terbentuk harus memperoleh izin pemerintah dengan hanya satu
organisasi profesi buatan pemerintah yang diperbolehkan berdiri. Sehingga organisasi massa
tak lebih dari wayang-wayang Orde Baru.
Mundur dari jabatan presiden, Pada 1997, menurut Bank Dunia, 20 sampai 30% dari dana
pengembangan Indonesia telah disalahgunakan selama bertahun-tahun. Krisis finansial Asia
pada tahun yang sama tidak membawa hal bagus bagi pemerintahan Presiden Soeharto
ketika ia dipaksa untuk meminta pinjaman, yang juga berarti pemeriksaan menyeluruh dan
mendetail dari IMF.
Meskipun sempat menyatakan untuk tidak dicalonkan kembali sebagai Presiden pada
periode 1998–2003, terutama pada acara Golongan Karya, Soeharto tetap memastikan ia
terpilih kembali oleh parlemen untuk ketujuh kalinya di Maret 1998. Setelah beberapa
demonstrasi, kerusuhan, tekanan politik dan militer, serta berpuncak pada pendudukan
gedung DPR/MPR RI, Presiden Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998.
BAB 3
PENUTUP
KESIMPULAN
Soeharto adalah Presiden kedua Republik Indonesia setelah Soekarno. Beliau lahir
di Kemusuk, Yogyakarta, tanggal 8 Juni 1921. Bapaknya bernama Kertosudiro
seorang petani yang juga sebagai pembantu lurah dalam pengairan sawah desa,
sedangkan ibunya bernama Sukirah. Seharto menjabat sebagai presiden Republik
Indonesia selama 32 tahun lamanya yaitu dari 12 Maret 1967- 21 Mei 1998.
Jenderal Besar yang oleh MPR dianugerahi penghormatan sebagai Bapak
Pembangunan Nasional, itu meninggal dalam usia 87 tahun.