Anda di halaman 1dari 26

4

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Geriatri

2.1.1 Definisi Geriatri

Istilah geriatri pertama kali digunakan oleh Ignas Leo Vascher pada tahun 1909.

Namun ilmu geriatri sendiri, baru berkembang pada tahun 1935. Pada saat itulah

diterapkan penatalaksanaan terpadu terhadap penderita-penderita lanjut usia (lansia)

dilengkapi dengan latihan jasmani dan rohani (Martono dan Pranarka, 2010).

Pasien geriatri adalah pasien usia lanjut yang berusia lebih dari 60 tahun serta

mempunyai ciri khas multipatologi, tampilan gejalanya tidak khas, daya cadangan

faali menurun, dan biasanya disertai gangguan fungsional. Penderita geriatri berbeda

dengan penderita dewasa muda lainnya, baik dari segi konsep kesehatan maupun segi

penyebab, perjalanan, maupun gejala dan tanda penyakitnya sehingga, tatacara

diagnosis pada penderita geriatri berbeda dengan populasi lainnya (Penninx et al.,

2004).

2.1.2 Proses Penuaan

Menurut Constantindes (1994) dalam Nugroho (2004) menua atau menjadi tua

dapat diartikan sebagai suatu proses menghilangnya secara pelahan-lahan

kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti dan mempertahankan

fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi dan memperbaiki

4
5

kerusakan yang diderita. Proses menua merupakan suatu proses fisiologik yang

berlangsung perlahan-lahan dan efeknya berlainan pada tiap individu. Menua

bukanlah suatu penyakit, tetapi merupakan suatu proses berkurangnya daya tahan

tubuh dalam menghadapi rangsangan dari dalam maupun luar tubuh (Nugroho, 2004).

Proses menua pada seseorang sebenarnya sudah mulai terjadi sejak pembuahan

atau konsepsi dan berlangsung sampai saat kematian. Proses menua (aging) adalah

proses alami yang disertai adanya penurunan kondisi fisik, psikologis maupun sosial

yang saling berinteraksi satu sama lain. Keadaan itu cenderung berpotensi

menimbulkan masalah secara umum maupun kesehatan jiwa secara khusus pada usia

lanjut (Kuntjoro, 2004).

Dengan demikian manusia secara progresif akan kehilangan daya tahan terhadap

infeksi dan akan menumpuk makin banyak distorsi metabolik dan stuktural yang

disebut sebagai penyakit degeneratif seperti, hipertensi, aterosklerosis, diabetes

melitus dan kanker yang akan menyebabkan kita menghadapi akhir hidup dengan

episode terminal yang dramatik seperti stroke, infark miokard, koma asidosis,

metastasis kanker dan sebagainya (Martono dan Darmojo, 2004).

2.1.3 Perubahan-perubahan yang Terjadi pada Usia Lanjut

Menurut Boedi Darmojo (2004), menjadi tua bukanlah suatu penyakit atau sakit,

tetapi suatu perubahan dimana kepekaan bertambah atau batas kemampuan


6

beradaptasi menjadi berkurang yang sering dikenal dengan geriatric giant yang

merupakan suatu sindroma geriatri.

Sindroma geriatri adalah kumpulan gejala mengenai kesehatan yang sangat sering

dikeluhkan oleh para lanjut usia dan/atau keluarganya. Sindroma itu bukanlah suatu

penyakit, sehingga diperlukan upaya penanganan lebih lanjut untuk mencari penyakit

yang mendasari timbulnya sindroma tersebut. Menurut Solomon et al. (1994) terdapat

beberapa masalah tersering yang dialami oleh populasi geriatri diantaranya

immobilitas (immobility), impaksi (impaction), ketidakseimbangan (instability),

iatrogenik (iatrogenic), kemunduran intelektual (intellectual impairment),

gangguan/susah tidur (insomnia), inkontinensia (incontinence), menutup diri

(isolation), impoten (impotence), menurunnya sistem imun (imuno-defficiency),

mudah terkena infeksi, malnutrisi (inanition), serta gangguan pengelihatan,

pembauan, pendengaran dan lain-lain (Solomon et al., 1994citKuswardhani et al.,

2008).

Perubahan yang terjadi pada lansia diantaranya yaitu:

1) Perubahan dari aspek biologis

Perubahan yang terjadi pada sel seseorang menjadi lansia yaitu adanya

perubahan genetika yang mengakibatkan terganggunya metabolisme protein,

gangguan metabolisme Deoxyribonucleic Nucleic Acid (DNA), terjadi ikatan

DNA dengan protein stabil yang mengakibatkan gangguan genetika,

gangguan kegiatan enzim dan sistem pembuatan enzim, menurunnya proporsi


7

protein diotak, otot, ginjal darah dan hati, terjadinya pengurangan parenchim

serta adanya penambahan lipofuscin.

2) Perubahan Psikologis

Perubahan psikologis pada lansia sejalan dengan perubahan secara fisiologis.

Masalah psikologis ini pertama kali mengenai sikap lansia terhadap

kemunduran fisiknya (disengagement theory) yang berarti adanya penarikan

diri dari masyarakat dan dari diri pribadinya satu sama lain. Lansia dianggap

terlalu lamban dengan daya reaksi yang lambat, kesigapan dan kecepatan

bertindak dan berfikir menurun. Perubahan psikis pada lansia adalah besarnya

individual differences pada lansia. Lansia memiliki kepribadian yang berbeda

dengan sebelumnya. Penyesuaian diri lansia juga sulit karena ketidakinginan

lansia untuk berinteraksi dengan lingkungan ataupun pemberian batasan untuk

dapat beinteraksi.

3) Perubahan seksual

Pada dasarnya perubahan fisiologis yang terjadi pada aktivitas seksual pada

usia lanjut biasanya berlangsung secara bertahap dan menunjukkan status

dasar dari aspek vaskuler, hormonal dan neurologiknya (Darmojo dan

Martono, 2004). Untuk suatu pasangan suami istri, bila semasa usia dewasa

dan pertengahan aktivitas seksual mereka normal, akan kecil sekali

kemungkinan mereka akan mendapatkan masalah dalam hubungan

seksualnya.
8

4) Perubahan sosial

Umumnya lansia banyak yang melepaskan partisipasi sosial mereka,

walaupun pelepasan itu dilakukan secara terpaksa. Orang lanjut usia yang

memutuskan hubungan dengan dunia sosialnya akan mengalami kepuasan.

Pernyataan tadi merupakan disaggrement theory. Aktivitas sosial yang banyak

pada lansia juga mempengaruhi baik buruknya kondisi fisik dan sosial lansia

(Santrock, 2004).

2.1.4 Permasalahan pada Usia Lanjut

Lanjut usia diukur menurut usia kronologis, fisiologis dan kematangan mental.

Ketiga hal tersebut seringkali tak berjalan sejajar seperti yang diharapkan. Dalam

ilmu geriatri yang dianggap penting adalah usia fisiologis seseorang bukan usia

kronologisnya. Meskipun demikian, dengan berjalannya waktu, manusia berupaya

dengan segala macam cara agar sedapat mungkin dapat menunda atau memperlambat

proses penuaan, dengan begitu angka mortalitasnya pun dapat menurun (Martono dan

Pranarka, 2010).

Pada populasi usia lanjut konsep kesehatan agak berbeda dengan konsep

kesehatan pada populasi lain. Pada populasi usia lanjut ini terdapat pengertian

status/kapasitas fungsional yang dimanifestasikan dengan aktivitas hidup sehari-hari.

Kapasitas fungsional merupakan keadaan lansia sebagai akibat dari interaksi antara

fungsi kesehatan fisik, psikologik, sosial-ekonomi dan religius spiritual. Interaksi dari
9

hal-hal tersebut merupakan gambaran kesehatan secara luas pada usia lanjut (Martono

dan Pranarka, 2010).

Ada beberapa permasalahan yang sering dihadapi oleh populasi geriatri

diantaranya:

a. Permasalahan dari Aspek Fisiologis

Terjadinya perubahan normal pada fisik lansia yang dipengaruhi oleh faktor

kejiwaan sosial, ekonomi dan medik. Perubahan tersebut akan terlihat dalam

jaringan dan organ tubuh seperti kulit menjadi kering dan keriput, rambut

beruban dan rontok, penglihatan menurun sebagian atau menyeluruh,

pendengaran berkurang, indra perasa menurun, daya penciuman berkurang,

tinggi badan menyusut karena proses osteoporosis yang berakibat badan

menjadi bungkuk, tulang keropos, massanya dan kekuatannya berkurang dan

mudah patah, elastisitas paru berkurang, nafas menjadi pendek, terjadi

pengurangan fungsi organ di dalam perut, dinding pembuluh darah menebal

sehingga tekanan darah tinggi, otot jantung bekerja tidak efisien, adanya

penurunan organ reproduksi terutama pada wanita, otak menyusut dan reaksi

menjadi lambat terutama pada pria, serta seksualitas tidak terlalu menurun.

b. Permasalahan dari Aspek Psikologis

Menurut Hadi Martono (1997) dalam Martono dan Pranarka (2010), beberapa

masalah psikologis lansia antara lain:


10

1) Kesepian (loneliness), yang dialami oleh lansia pada saat meninggalnya

pasangan hidup, terutama bila dirinya saat itu mengalami penurunan status

kesehatan seperti menderita penyakit fisik berat, gangguan mobilitas atau

gangguan sensorik terutama gangguan pendengaran harus dibedakan antara

kesepian dengan hidup sendiri. Banyak lansia hidup sendiri tidak mengalami

kesepian karena aktivitas sosialnya tinggi, lansia yang hidup di lingkungan

yang beranggota keluarga yang cukup banyak tetapi mengalami kesepian.

2) Duka cita (bereavement), pada periode duka cita ini merupakan periode

yang sangat rawan bagi lansia. Meninggalnya pasangan hidup, teman dekat,

atau bahkan hewan kesayangan bisa meruntuhkan ketahanan kejiwaan yang

sudah rapuh dari seorang lansia, yang selanjutnya memicu terjadinya

gangguan fisik dan kesehatannya. Adanya perasaan kosong kemudian diikuti

dengan ingin menangis dan kemudian suatu periode depresi. Depresi akibat

duka cita biasanya bersifat self limiting.

3) Depresi, persoalan hidup yang mendera lansia seperti kemiskinan, usia,

stress yang berkepanjangan, penyakit fisik yang tidak kunjung sembuh,

perceraian atau kematian pasangan, keturunan yang tidak bisa merawatnya

dan sebagainya dapat menyebabkan terjadinya depresi. Gejala depresi pada

usia lanjut sedikit berbeda dengan dewasa muda, dimana pada usia lanjut

terdapat gejala somatik. Pada usia lanjut rentan untuk terjadi: episode depresi

berat dengan ciri melankolik, harga diri rendah, penyalahan diri sendiri, ide
11

bunuh diri, penyebab terjadinya depresi merupakan gabungan antara faktor-

faktor psikologik, sosial dan biologik. Seorang usia lanjut yang mengalami

depresi bisa saja mengeluhkan mood yang menurun, namun kebanyakan

menyangkal adanya depresi. Yang sering terlihat adalah hilangnya

tenaga/energi, hilangnya rasa senang, tidak bisa tidur atau keluhan rasa sakit

dan nyeri kecemasan dan perlambatan motorik (Gumru and Arıcıoğlu, 2012).

4) Gangguan cemas, terbagi dalam beberapa golongan yaitu fobia, gangguan

panik, gangguan cemas umum, gangguan stress setelah trauma dan gangguan

obsesif-kompulsif. Pada lansia gangguan cemas merupakan kelanjutan dari

dewasa muda dan biasanya berhubungan dengan sekunder akibat penyakit

medis, depresi, efek samping obat atau gejala penghentian mendadak suatu

obat.

5) Psikosis pada lansia, dimana terbagi dalam bentuk psikosis bisa terjadi

pada lansia, baik sebagai kelanjutan keadaan dari dewasa muda atau yang

timbul pada lansia.

6) Parafrenia, merupakan suatu bentuk skizofrenia lanjut yang sering terdapat

pada lansia yang ditandai dengan waham (curiga) yang sering lansia merasa

tetangganya mencuri barang-barangnya atau tetangga berniat membunuhnya.

Parafrenia biasanya terjadi pada lansia yang terisolasi atau diisolasi atau

menarik diri dari kegiatan sosial.


12

7) Sindroma diagnosis, merupakan suatu keadaan dimana lansia menunjukkan

penampilan perilaku yang sangat mengganggu. Rumah atau kamar yang kotor

serta berbau karena lansia ini sering bermain-main dengan urin dan fesesnya.

Lansia sering menumpuk barang-barangnya dengan tidak teratur.

Karena banyaknya permasalahan yang dihadapi oleh populasi geriatri, maka

penatalaksanaan penderita geriatri juga memerlukan kerjasama suatu tim multi-

disiplin yang bekerja secara inter-disiplin. Tatalaksana holistik pada pasien geriatri

harus diperlihatkan dalam penatalaksanaan pelayanan kesehatan (Kuswardhani et al.,

2008).

2.2 Depresi

2.2.1 Pengertian Depresi

Depresi merupakan kondisi emosional yang biasanya ditandai dengan kesedihan

yang amat sangat, perasaan tidak berarti dan bersalah, menarik diri dari orang lain,

tidak dapat tidur, kehilangan selera makan, hasrat seksual dan minat serta kesenangan

dalam aktivitas yang biasa dilakukan. Depresi sering kali berhubungan dengan

berbagai masalah psikologis lain, seperti serangan panik, penyalahgunaan zat,

disfungsi seksual dan gangguan kepribadian (Davison dan Neale, 2006).

Depresi sebagai suatu gangguan suasana hati yang dicirikan dengan tidak ada

harapan dan patah hati, ketidakberdayaan yang berlebihan, tidak mampu mengambil

keputusan untuk memulai suatu kegiatan, tidak mampu untuk berkonsentrasi, tidak
13

punya semangat hidup, selalu tegang dan mencoba untuk bunuh diri. Episode depresi

bisanya berlangsung selama kurang dari 9 bulan, akan tetapi pada 15-20% penderita

bisa berlangsung selama 2 tahun atau lebih (Gumru and Arıcıoğlu, 2012)

Dalam pedoman penggolongan dan diagnosa gangguan jiwa di Indonesia III

(PPDGJ III) pada tahun 1993 disebutkan bahwa gangguan utama depresi adalah

adanya gangguan suasana perasaan, kehilangan minat, menurunnya kegiatan,

pesimisme menghadapi massa yang akan datang. Pada kasus patologi, depresi

merupakan ketidakmampuan ekstrim untuk bereaksi terhadap rangsang, disertai

menurunnya nilai dari delusi, tidak mampu dan putus asa (Maslim, 2004).

2.2.2 Gejala Umum Depresi

Menurut beberapa ahli, gejala depresi memiliki rentangan dan variasi yang luas

sesuai dengan berat ringannya depresi yang dialami. Namun secara garis besar dapat

dibagi menjadi gejala fisik, gejala psikis, gejala sosial (Lumongga, 2009).

Gejala fisik yang sering terdapat pada penderita depresi adalah gangguan pola

tidur, memiliki perilaku pasif, menurunnya efisiensi dan produktivitas kerja serta

mudah merasa lelah, letih dan sakit. Gejala psikis dari seorang penderita depresi

adalah kehilangan rasa percaya diri, cenderung memandang segala sesuatu dari sisi

negatif dan merasa diri tidak berguna. Sedangkan gejala sosial dari masalah depresi

biasanya adalah ketidakmampuan bersikap terbuka serta tidak mampu secara aktif

menjalin hubungan dengan lingkungan sekalipun ada kesempatan (Lumongga, 2009)


14

2.2.3 Faktor Penyebab Depresi

Menurut Nevid et al. (2004) Faktor-faktor yang meningkatkan risiko seseorang

untuk terjadi depresi meliputi :

a. Usia

Depresi mampu menjadi kronis apabila depresi muncul untuk pertama

kalinya pada usia lebih dari 60 tahun. Berdasarkan hasil studi pasien

lanjut usia yang mengalami depresi diikuti selama 6 tahun, kira-kira 80%

tidak sembuh namun terus mangalami depresi atau mengalami depresi

pasang surut.

b. Status sosioekonomi

Orang dengan taraf sosioekonomi yang lebih rendah memiliki risiko yang

lebih besar dibanding mereka dengan taraf yang lebih baik.

c. Status pernikahan

Berlangsungnya pernikahan membawa manfaat yang baik bagi kesehatan

mental laki-laki dan perempuan. Pernikahan tak hanya melegalkan

hubungan asmara antara laki-laki dan perempuan, karena ikatan suami-

istri ini juga dipercaya dapat mengurangi risiko mengalami depresi dan

kecemasan. Namun, bagi pasangan suami istri yang gagal membina

hubungan pernikahan atau ditinggalkan pasangan karena meninggal,

justru akan memicu terjadinya depresi. Hasil penelitian para ilmuwan di

New Zealand’s University of Otago yang dipimpin oleh Kate Scott ini
15

meneliti 34.493 orang yang tersebar di 15 negara. Dalam studi itu

diketahui bahwa berakhirnya hubungan suami istri karena perceraian atau

kematian dapat meningkatkan risiko mengalami gangguan kesehatan

mental. Dari sini terlihat bahwa fakta yang juga sesuai dengan hasil

survei dari WHO World Mental Health (WMH) itu menjelaskan bahwa

kesehatan mental amat dipengaruhi oleh sebuah perkawinan. Bisa juga

tergambar bagaimana kondisi kesehatan mental bagi seseorang yang

tidak pernah menikah dibandingkan dengan mereka yang mengakhiri

pernikahan. Scott mengatakan dalam studi itu diketahui bahwa menikah

memberikan dampak lebih baik ketimbang tidak menikah bagi kesehatan

jiwa untuk semua gender (Rachmanto, 2010).

d. Jenis kelamin

Menurut Schimeilpfering (2009), beberapa faktor risiko yang telah

dipelajari yang mungkin bisa menjelaskan perbedaan gender dalam

prevalensi depresi. Mengingat bahwa puncak onset gangguan depresi

pada perempuan bertepatan dengan usia reproduksi (antara usia 25

sampai 44 tahun), faktor risiko hormon mungkin memainkan peran.

Estrogen dan progesteron telah menunjukkan dapat mempengaruhi

neurotransmitter, neuroendokrin dan sistem sirkadian yang telah terlibat

dalam gangguan suasana perasaan. Fakta bahwa perempuan sering

mengalami gangguan suasana hati yang berhubungan dengan siklus


16

menstruasi mereka, seperti gangguan pramenstrual dysphoric, juga

menunjukkan hubungan antara hormon seks wanita dan suasana

perasaan. Meski menopause adalah saat ketika seorang wanita risiko

depresi berkurang, periomenopausal periode adalah masa peningkatan

risiko bagi orang-orang dengan riwayat depresi menjadi sangat besar.

2.2.4 Jenis-jenis Depresi

Penggolongan depresi sampai saat ini belum memuaskan semua pihak. Klasifikasi

depresi menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM) IV

yaitu:

1. Gangguan depresi mayor unipolar dan bipolar

2. Gangguan mood spesifik lainnya

- Gangguan disritmik depresi minor

- Gangguan siklotimik depresi dan hipomanik

- Gangguan depresi atipik

- Depresi postpartum

- Depresi menurut musim

3. Gangguan depresi akibat kondisi medik umum dan gangguan depresi akibat

zat

4. Gangguan penyesuaian dengan mood

(Supriani, 2011)
17

2.2.5 Patogenesis Depresi

Sampai saat ini, penyebab pasti dari depresi belum diketahui. Faktor yang diduga

menjadi penyebab depresi secara garis besar dibedakan menjadi faktor biologis dan

faktor psikososial. Faktor tersebut berinteraksi satu sama lainnya. Selain kedua faktor

tersebut, faktor genetik diduga memiliki peranan dalam pathogenesis depresi namun

belum sepenuhnya didukung bukti yang cukup (Lumongga, 2009).

Selain kedua faktor tersebut, terdapat suatu teori baru yang mengaitkan

patofisiologi depresi dengan perubahan sistem imun dan inflamasi. Beberapa

interleukin diduga menstimulasi sekresi corticotrophin releasing factor (CRF) di

hipotalamus dan mengakibatkan aktivitas berlebih dari aksis hypothalamo-pituitary-

adrenal (HPA) yang mana dapat menimbulkan depresi (Myint, 2007).

2.2.5.1 Faktor Biologis

Terdapat dua hal penting terjadinya depresi berdasarkan faktor biologis yaitu

disregulasi biogenik-amin dan disregulasi neuroendokrin. Abnormalitas metabolik

biogenik-amin yang sering dijumpai pada depresi yaitu 5-hydroxy indoleacetic acid

(5-HIAA), homovanillic acid (HVA), 3-methoxy 4-hydroxyphenylglycol (MHPG).

Sebagian besar penelitian melaporkan bahwa penderita gangguan depresi

menunjukkan berbagai macam abnormalitas metabolik biogenik-amin pada darah,

urin dan cairan serebrospinalis. Keadaan tersebut mendukung hipotesis gangguan

depresi berhubungan dengan disregulasi biogenik-amin. Dari beberapa biogenik-


18

amin, serotonin dan norepinefrin merupakan dua neurotransmiter yang paling

berperan dalam patofisiologi depresi (Raison and Miller, 2013).

Serotonin merupakan neurotransmiter biogenik-amin yang paling sering

dihubungkan dan dapat mencetuskan depresi. Penelitian biologi pada orang-orang

yang mencoba bunuh diri didapatkan konsentrasi serotonin dan metabolitnya yaitu 5-

HIAA dalam cairan serebrospinalis (Raison and Miller, 2013).

Dopamin juga diperkirakan memiliki peranan dalam depresi. Penemuan baru

subtipe reseptor dopamine dan meningkatnya pengertian tentang regulasi presinaptik

dan postsinaptik fungsi dopamine telah semakin memperkaya penelitian tentang

hubungan antara dopamine dan gangguan mood. Faktor neurokimiawi lain seperti

neurotransmiter asam amino khususnya gamma aminobutyric acid (GABA) dan

peptide neuroaktif, khususnya vasopresin, juga terlibat dalam patofisiologi depresi

dan gangguan mood (Supriani, 2011).

Hipotalamus merupakan pusat pengatur aksis neuroendokrin. Beberapa penelitian

menunjukkan hubungan antara HPA axis dengan depresi (Supriani, 2011).

2.2.5.2 Faktor Psikososial

Peristiwa kehidupan yang menyebabkan stres dapat bersifat akut ataupun kronik.

Tidak ada ciri-ciri kepribadian khas yang diduga mendasari terjadinya depresi. Semua

individu dapat menderita depresi bila berhadapan dengan kondisi yang memang bisa

menimbulkan atau mencetuskan depresi.


19

Berdasarkan teori psikodinamik oleh Sigmund Freud, dinyatakan bahwa

kehilangan obyek yang dicintai dapat mencetuskan depresi. Peristiwa kehidupan yang

menyebabkan stres lebih sering mendahului episode pertama depresi. Hubungan

tersebut telah dilaporkan untuk pasien gangguan depresi berat dengan suatu teori

bahwa stres menyebabkan perubahan biologi otak yang bertahan lama. Perubahan

yang bertahan lama tersebut dapat menyebabkan perubahan keadaan fungsional

berbagai neurotransmiter dan sistem pemberi sinyal intraneuronal. Akibat dari

perubahan tersebut adalah menyebabkan seseorang berada pada risiko yang lebih

tinggi untuk menderita episode depresi (Lumongga, 2009).

2.2.6 Diagnosis Depresi

Gangguan depresi pada usia lanjut ditegakkan berpedoman pada PPDGJ III.

Gangguan depresi dibedakan dalam depresi ringan, sedang dan berat sesuai dengan

banyak dan beratnya gejala serta dampaknya terhadap fungsi kehidupan seseorang.

Pada gangguan depresi terdapat 3 gejal utama yaitu suasana perasaan hati murung

dan sedih, hilangnya minat dan gairah serta hilangnya tenaga dan mudah lelah

(Maslim, 2004).

Selain gejala diatas, ada beberapa gejala tambahan lain yang bisa didapatkan pada

penderita depresi diantaranya konsentrasi yang menurun, perasaan bersalah, pesimis

memandang masa depan, pola tidur berubah, nafsu makan menurun, perubahan
20

psikomotor dan terkadang penderita sering berkata keinginan untuk menyudahi

hidupnya (Supriani, 2011).

Depresi keadaan gangguan psikologis yang ditandai dengan adanya gejala utama

dan gejala lain yang menyertainya. Berdasarkan PPDGJ-III ada beberapa kriteria

yaitu gejala utama dan gejala lain. Adapun gejala utama antara lain (1) Afek Depresi,

(2) kehilangan minat, (3) berkurangnya energi. Sedangkan gejala lain adalah

konsentrasi dan perhatian berkurang, kurang percaya diri, sering merasa bersalah,

pesimis, ide bunuh diri, gangguan tidur dan nafsu makan. Selain itu terkadang adanya

gangguan daam bentuk penurunan aktivitas kerja dan fungsi sosial (Maslim, 2004).

2.2.7 Tingkatan Depresi

Depresi menurut PPDGJ-III dalam Maslim (2004), dibagi dalam tiga tingkatan

yaitu depresi ringan, sedang dan berat. Dimana perbedaan antara episode terletak

pada penilaian klinis yang kompleks yang meliputi jumlah bentuk dan keparahan

gejala yang ditemukan. Depresi ringan ditegakkan bila terdapat dua gejala utama

ditambah dua gejala lain tanpa adanya gangguan aktivitas. Depresi sedang ditegakkan

bila ditemukan dua gejala utama ditambah tiga gejala lain dengan aktivitas yang agak

terganggu. Depresi berat ditegakkan dengan ditemukannya tiga gejala utama

ditambah empat gejala laindengan aktivitas yang sangat terganggu (Maslim, 2004).
21

2.3 Depresi pada Geriatri

Lansia merupakan masa dimana semua orang berharap akan menjalani hidup

dengan tenang damai serta adanya dukungan dari keluarga ataupun masyarakat. Pada

kenyataannya berbagai persoalan hidup yang dihadapi oleh lansia sepanjang

hayatnya, seperti penurunan fungsi organ-organ tubuh, konflik dengan keluarga

ataupun kondisi lainnya. Kondisi-kondisi hidup seperti ini dapat memicu terjadinya

depresi (Chan et al., 2007)

Depresi adalah gangguan kejiwaan yang paling umum pada lansia yang dapat

bermanifestasi sebagai depresi berat atau depresi ringan ditandai dengan kumpulan

gejala depresi. Pada beberapa penelitian menyimpulkan bahwa depresi merupakan

penyebab penderitaan emosional tersering dan mengakibatkan penurunan kualitas

hidup pada lansia (Taqui et al., 2007).

Depresi merupakan suatu keadaan yang tidak normal pada populasi geriatri.

Kurangnya keterpaduan dalam perawatan kesehatan dan pelayanan kesehatan mental

telah membuat sistem yang tidak komprehensif pada pasien geriatri dengan depresi

(Kuswardhani et al., 2008).

Secara umum depresi ditandai oleh suasana perasaan yang murung, hilang minat

terhadap kegiatan, hilang semangat, lemah, lesu, dan rasa tidak berdaya. Pada pasien

usia lanjut tampilan yang paling umum adalah keluhan somatis, hilang selera makan

dan gangguan pola tidur (Dewi et al., 2007).


22

Depresi pada pasien geriatri sering berkomorbid dengan penyakit lain, oleh

karena itu gejala dan keluhannya sering tersamar dan bertumpang tindih dengan

kondisi penyakit lain yang diderita, bahkan dengan proses penuaan normal sendiri.

Hal ini akan menyulitkan diagnosis yang berakibat tidak tertanganinya depresi,

sehingga dapat memperburuk prognosis, meningkatkan disabilitas dan mortalitas

(Dewi et al., 2007)

Penelitian tahun 2001 pada komunitas di seluruh dunia menunjukkan bahwa

angka depresi berat pada lansia adalah berkisar dari 3%-15% (Hoyer and Roodin,

2003). Penelitian yang dilakukan di Amerika pada tahun 2004 mengungkapkan

bahwa depresi mempengaruhi 13%-27% populasi lansia (National Institute of Mental

Health, 2004). Penelitian di Cina pada tahun 2006 menunjukkan bahwa 26,5% lansia

menderita depresi ringan dan 4,3% menderita depresi berat (Gao et al., 2009).

Penelitian pada tahun 2009 menyatakan bahwa prevalensi depresi pada lansia di asia

tenggara mencapai 58,2% (Wada, 2009).

Menurut Dewi et al. (2007), prevalensi depresi pada pasien geriatri yang dirawat

di Rumah Sakit dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) adalah sebesar 76,3%. Sedangkan

berdasarkan beberapa kepustakaan lain dikatakan prevalensi depresi pada geriatri

sebesar 30-50% (Bartels et al., 2004; Sadock and Sadock, 2007).

Di RSUP Sanglah Denpasar sendiri pernah dilakukan penelitian tentang

prevalensi depresi pada pasien lanjut usia yang dirawat di rumah sakit. Penelitian ini

menunjukkan depresi pada lansia sebesar 35% dengan gejala klinis nyata depresi
23

sebesar 13,5% dan sekitar 15% tidak menunjukkan gejala depresi yang jelas

(Kuswardhani, 2006).

Depresi pada geriatri bukan merupakan suatu keadaan yang disebabkan oleh

patologi tunggal, tetapi biasanya bersifat multifaktorial. Pada usia lanjut, stres

lingkungan sering menyebabkan depresi (Martono dan Pranarka, 2010).

Adapun cara untuk mendiagnosis depresi pada usia lanjut dapat dimulai dengan

anamnesis dilanjutkan dengan pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang seperti

menggunakan skala depresi pada geriatri (Kuswardhani et al., 2008).

Anamnesis merupakan hal yang sangat penting dalam diagnosis depresi dan harus

diarahkan pada pencarian terjadinya perubahan perilaku dari sebelumnya.

Aloanamnesis dengan keluarga terkadang sangat membantu dalam menggali

anamnesia dari pasien (Martono dan Pranarka, 2010).

Gejala depresi pada usia lanjut sering hanya berupa apatis dan penarikan diri dari

aktivitas sosial. Tanda disfori atau sedih yang jelas seringkali tidak didapatkan pada

usia lanjut. Oleh karena hal tersebut, terdapat skala yang membantu menapisdepresi

pada geriatri. Skala ini bernama Skala Depresi Geriatri (Geriatric Depression Scale)

yang dapat dilihat pada tabel 2.1 (Yesavage et al.,1982citDewi et al., 2007).
24

Tabel 2.1
Skala Depresi Geriatri (Yesavage et al.,1982citDewi et al., 2007).
1.Apakah anda sebenarnya puas dengan kehidupan anda ? Tidak
2.Apakah anda telah meninggalkan banyak kegiatan dan minat atau kesenangan anda?
Ya
3.Apakah anda merasa kehidupan anda kosong? Ya
4.Apakah anda sering merasa bosan? Ya
5. Apakah anda sangat berharap terhadap masa depan? Tidak
6. Apakah anda merasa terganggu dengan pikiran anda? Ya
7.Apakah anda mempunyai semangat yang baik setiap saat? Tidak
8.Apakah anda takut bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi pada anda? Ya
9.Apakah anda merasa bahagia untuk sebagian besar hidup anda? Tidak
10.Apakah anda sering merasa tidak berdaya? Ya
11. Apakah anda sering merasa resah dan gelisah? Ya
12.Apakah anda lebih senang tinggal dirumah daripada keluar dan mengerjakan sesuatu
yang baru? Ya
13. Apakah anda sering merasa khawatir pada masa depan anda? Ya
14.Apakah anda merasa mempunyai banyak masalah dengan daya ingat anda dibanding
kebanyakan orang? Ya
15.Apakah anda pikir bahwa hidup anda sekarang ini menyenangkan? Tidak
16.Apakah anda sering merasa sedih? Ya
17.Apakah anda merasa tidak berharga seperti perasaan anda saat ini? Ya
18.Apakah anda sangat menghawatirkan masa lalu anda? Ya
19. Apakah anda merasa hidup ini sangat menarik dan menyenangkan? Tidak
20. Apakah sulit bagi anda untuk memulai hal baru? Ya
21.Apakah anda merasa anda penuh semangat? Tidak
22.Apakah anda merasa bahwa keadaan anda tidak ada harapan? Ya
23.Apakah anda pikir bahwa orang lain lebih baik keadaannya daripada anda? Ya
24. Apakah anda sering merasa sedih terhadap hal-hal kecil? Ya
25. Apakah anda merasa sering ingin menangis? Ya
26. Apakah anda mempunyai masalah dalam konsentrasi? Ya
27. Apakah anda merasa senang ketika bangun pagi hari? Tidak
28. Apakah anda lebih memilih untuk tidak ikut pertemuan sosial dan bermasyarakat? Ya
29. Apakah mudah bagi anda mengambil keputusan? Tidak
30. Apakah pikiran anda secerah biasanya? Tidak
Skor: Hitung jawaban yang sesuai lalu jumlahkan.

Setiap jawaban yang sesuai mempunyai nilai 1

Skor < 10 : tidak depresi Skor20-30 : depresi berat

Skor 10-19: depresi ringan


25

2.4 Peranan Sistem Imun pada Depresi

2.4.1 Sitokin

Sitokin merupakan mediator yang dihasilkan oleh sel dalam reaksi radang atau

imunologik yang berfungsi sebagai isyarat antara sel-sel untuk membentuk jaringan

komunikasi dalam respon imun. Sitokin tersebut mempengaruhi peradangan dan

imunitas melalui pengaturan pertumbuhan, mobilitas dan diferensiasi leukosit dan sel

jenis lainnya (Ishartadiati, 2012).

Sitokin bekerja dengan cara berikatan dengan reseptor spesifik yang terdapat pada

membrane sel, kemudian membentuk kaskade yang mengakibatkan induksi serta

peningkatan ataupun penghambatan berbagai respon imun (Bratawidjaja, 2006).

Sitokin hampir tidak pernah diproduksi atau bekerja sendirian, tetapi selalu dalam

suatu jaringan kerja yang kompleks. Yang termasuk dalam sitokin adalah berbagai

interleukin, interferon (IFN α, β dan γ), tumor necrosis factor (TNF), colony

stimulating factor (CSF), dan lain-lain (Bratawidjaja, 2006).

2.4.2 Interleukin-6

Interleukin-6 (IL-6) merupakan glikoprotein multifungsi yang diproduksi

terutama oleh monosit, fibroblast, sel endotel dan sel stellate hati yang teraktivasi

selama inflamasi sistemik. Peningkatan titer IL-6 dihubungkan dengan depresi,


26

infeksi akut dan inflamasi akibat dari mekanisme penguatan yang kompleks yang

melibatkan Interleukin 1 (IL-1) dan Tumor Necrosis Factor alfa (TNF-α), yang mana

keduanya merupakan penginduksi yang poten terhadap respon IL-6 secara in vivo

(Madrona, 2012).

Ekspresi lokal dari IL-6 berkorelasi dengan aktivitas penyakit tanpa memandang

etiologinya. Pada keadaan stabil IL-6 biasanya tidak diproduksi oleh sel normal, tapi

ekspresinya siap diinduksi bila terjadi gangguan homeostasis. Hampir semua proses

peradangan mengakibatkan aktivasi makrofag jaringan dan infiltrasi monosit darah.

Aktivasi tersebut menyebabkan diproduksinya beberapa sitokin, salah satunya adalah

IL-6. Produksi sitokin-sitokin ini akan menyebabkan efek beragam pada hospes

diantaranya induksi demam, respon fase hepatik, yang disertai lekositosis dan

produksi protein fase akut seperti C-reactive protein (CRP) dan aktivasi dari sel T, sel

B dan makrofag (Ishartadiati, 2012).

2.4.3 Interleukin-6 Pada Geriatri

Pada lansia, tingkat sirkulasi yang lebih tinggi dari interleukin-6 (IL-6)

berkorelasi dengan kinerja fisik yang buruk, dan kelemahan otot yang sering dialami

oleh lansia. Bukti substansial menunjukkan bahwa inflamasi kronik yang ditandai

dengan peningkatan kadar interleukin-6 (IL-6) sebagai faktor fisiologik kunci

berkontribusi terhadap terjadinya multipatologis pada lansia. Beberapa studi


27

menunjukkan bahwa kadar interleukin dalam darah lansia berkontribusi secara

langsung pada kerapuhan yang terjadi pada lansia (Morris et al., 2011).

2.4.4 IL-6 Sebagai Mediator Depresi

Sebuah hipotesis mengenai sitokin dapat menimbulkan depresi memang sedang

banyak diteliti di beberapa tempat. Hipotesis ini dikemukakan karena adanya

peningkatan sitokin pada pasien depresi dibandingkan dengan orang normal dan

terkadang depresi juga muncul sebagai efek samping terapi sitokin (Dunn et al.,

2005).

Beberapa uji pada hewan menunjukkan aktivasi sistem imun memicu timbulnya

pola perilaku. Pola perilaku ini disebut sebagai perilaku sakit yang memiliki beberapa

kemiripan dengan gejala-gejala dari depresi. Karena itu diduga bahwa interleukin-6

dapat meinduksi terjadinya depresi (Dunn et al., 2005).

Penelitian di beberapa tempat yang berbeda menunjukkan hasil yang beragam.

Hasil yang dihasilkan mengenai keterlibatan interleukin-6 terhadap depresi

menunjukkan hasil yang tidak konsisten (Krishnadas and Cavanagh, 2012). Menurut

Morris et al. (2011) kemungkinan hal ini juga dipengaruhi oleh jenis kelamin dan ras.

Depresi juga sering muncul pada orang-orang yang mengalami kelainan sistem

imun. Interleukin-6 diduga dapat mengaktivasi aksis hypothalamo-pituitary-

adrenocortical (HPA), yang mana seringkali teraktivasi pada pasien depresi. Selain
28

itu interleukin-6 juga diduga mengaktivasi sistem noradrenergic di otak, yang juga

acapkali berperan pada munculnya depresi (Dunn et al., 2005).

2.4.5 Obat-obatan yang Mempengaruhi Kadar IL-6 Serum

Interleukin-6 merupakan sitokin yang dikeluarkan oleh tubuh ke dalam plasma

darah terutama pada fase infeksi akut atau infeksi kronis serta menginduksi

peradangan. Ada beberapa obat-obatan yang dapat mempengaruhi ekspresi IL-6

serum. Beberapa obat tersebut bekerja menurunkan kadar IL-6 serum seperti aspirin,

Non steroid antyinflamatory drugs (NSAID) dan kortikosteroid. Sedangkan, Obat

golongan barbiturat, opioid, codein, morfin diduga akan mengaktifkan sitokin, sel

mast dan faktor kemokin sehingga golongan obat ini akan meningkatkan ekspresi IL-

6 serum (Olson, 2006).

Antidepresan juga berefek pada kadar sitokin dalam darah. Pada tahun 1980-an,

rolipram, sebuah fosfodiesterase-4 inhibitor telah diuji sebagai antidepresan dan

diperoleh hasil tidak berefek langsung pada neurotransmitter di otak melainkan

menurunkan produksi TNF, interferon serta limfotoksin. Hal ini menunjukkan

penggunaan rutin antidepresan dapat menurunkan produksi sitokin (Gumru et al.,

2012).

Terapi 40 hari antidepresan golongan imipramine ataupun golongan

clomipramine diduga menurunkan substansi P pada otak tikus, dimana substansi P ini
29

dapat menstimulasi astrosit dan monosit membetuk IL-1, IL-6 dan TNF (Gumru et

al., 2012).

Anda mungkin juga menyukai