Anda di halaman 1dari 19

Kata Pengantar

Segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah
ini dengan judul “Manusia Menurut Pandangan Al-Qur’an, Hadits, Dan Ijtihad”
yang diajukan untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Agama I.
Tidak lupa pula kami menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada dosen pengampu Mata Kuliah Agama I yang telah membimbing
dalam pembuatan makalah ini serta kepada seluruh orang yang turut berperan
dalam karya-karyanya yang kami gunakan sebagai referensi dalam penyususnan
makalah ini.
Kami berharap agar makalah ini akan berguna dan bermanfaat bagi para
pembaca serta dapat dijadikan bahan acuan dalam pembelajaran.
Dalam pembuatan makalah ini pastinya terdapat kesalahan yang tidak
diketahui dan tidak disengaja, oleh sebab itu kami berharap agar para pembaca
dapat berpartisipasi untuk memberikan kritik dan saran yang membangun bagi
kami agar penulisan makalah yang lainnya dapat lebih baik lagi.

UNJA, 15 November 2017

Penyususn

ii
DAFTAR ISI

Kata Pengantar.......................................................................................................ii

Daftar Isi................................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang............................................................................................1


1.2 Rumusan Masalah.......................................................................................1
1.3 Tujuan.........................................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN
2.1 Manusia Menurut Al-Qur’an.....................................................................2
2.2 Manusia Menurut Hadits..........................................................................10
2.3 Manusia Menurut Ijtihad..........................................................................11

BAB III PENUTUP


3.1 Kesimpulan...............................................................................................16
3.2 Saran.........................................................................................................16

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................17

iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Manusia merupakan makhluk ciptaan Allah SWT yang paling sempurna.
Berbeda dengan hewan dan tumbuhan, manusia memiliki akal pikiran dan
perasaan. Kedua hal ini mendasari manusia dalam bertindak, melakukan kegiatan,
mengambil keputusan dan lain sebagainya.
Kajian tentang manusia telah banyak dilakukan oleh para ahli. Kajian ini
dikaitkan dengan berbagai kegiatan, seperti politik, ekonomi, sosial, budaya,
pendidikan, agama dan lain sebagainya. Hal tersebut dilakukan karena manusia
selain sebagai subjek (pelaku), juga sebagai objek (sasaran) dari berbagai kegiatan
tersebut. Termasuk dalam kajian Ilmu Pendidikan Islam. Pemahaman terhadap
manusia menjadi penting agar proses pendidikan tersebut dapat berjalan dengan
efektif dan efisien.
Telah banyak penelitian yang dilakukan oleh para ahli, namun dari sekian
banyak penelitian tersebut, hanya mampu menjelaskan manusia dari beberapa
segi tertentu saja. Oleh sebab itu, kami menyusun makalah ini untuk menjelaskan
manusia berdasarkan pandangan Al-Qur’an, Hadits, dan Ijtihad.

1.2 Rumusan Makalah


Dari pembahasan latar belakang di atas dapat ditarik rumusan masalah sebagai
berikut :
1.2.1 Bagaimana manusia menurut pandangan Al-Qur’an
1.2.1 Bagaiman manusia menurut pandangan Hadits
1.2.3 Bagaimana manusia menurut pandangan Ijtihad

1.3 Tujuan
Tujuan dari pembuatan makalah ini selain untuk menyelesaikan tugas
yang diberikan oleh dosen dari Mata Kuliah Agama I juga untuk memberikan
pemahaman lebih kepada para pembaca terhadapat manusia dilihat dari
pandangan Al-Qur’an, Hadits dan Ijtihad.

1
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Manusia Menurut Al-Qur’an
Di dalam Al-Qur‟an, manusia merupakan salah satu subjek yang
dibicarakan, terutama yang menyangkut asal-usul dengan konsep penciptaannya,
kedudukan manusia dan tujuan hidupnya. Hal tersebut merupakan suatu hal yang
wajar karena Al-Qur‟an diyakini oleh kaum muslimin sebagai firman Allah SWT
yang ditujukan kepada dan untuk manusia.
Dari menelaah ayat-ayat Al-Quran yang berbicara tentang manusia,
memberikan gambaran kontradiktif menyangkut keberadaannya. Disatu sisi
manusia dalam Al-Quran sering mendapat pujian Tuhan. Seperti pernyataan
terciptanya manusia dalam bentuk dan keadaan yang sebaik-baiknya, kemudian
penegasan tentang dimuliakannya makhluk ini dibanding dengan kebanyakan
makhluk-makhluk lain. Namun di sisi lain sering pula manusia mendapat celaan
Tuhan. Seperti bahwa ia amat aniaya dan ingkar nikmat, dan sangat banyak
membantah serta bersifat keluh kesah lagi kikir.
Gambaran kontradiktif itu bukanlah berarti bahwa ayat-ayat yang
berbicara perihal manusia bertentangan satu sama lain, melainkan justru
menandakan bahwa makhluk yang bernama manusia itu unik, makhluk yang serba
dimensi, dan makhluk yang berada di antara predisposisi negatif dan positif. Hal
ini dapat dipahami dengan mengkaji asal-usul kejadian manusia, proses
penciptaannya, kedudukannya dan keragaman terminologinya dalam Al-Quran.

A. Penciptaan Manusia Dalam Al-Qur’an


Generasi manusia yang ada sampai sekarang berasal dari manusia pertama
yaitu Adam dengan istrinya yang bernama Hawa. Diantara ayat yang secara jelas
menyatakan bahwa Adam dan Hawa merupakan ayah dan ibu generasi manusia
setelahnya, adalah:

2
‫ش ْي َطانَُ يَ ْفتِنَنَّ ُك َُم ََل آ َد ََم بَنِي يَا‬ ََ ‫ا ْل َجَنَّة ِمنََ أَبَ َو ْي ُك َْم أ َ ْخ َر‬
َّ ‫ج َك َما ال‬
“Hai anak-anak Adam, janganlah sekali-kali kamu dapat ditipu oleh
syetan, sebagaimana ia telah mengeluarkan ibu-bapakmu dari surga” (QS. Al-
A’raf : 27)
Menurut ulama Abdurrahman an-Nahlawy, ada dua hakikat penciptaan
manusia dilihat dari sumbernya. Yang pertama dari sumber yang jauh yakni
menyangkut proses penciptaan manusia dari tanah dan disempurnakannya
manusia dari tanah tersebut dengan ditiupkannya ruh. Asal yang kedua adalah
penciptaan manusia dari sumber yang dekat yakni penciptaan manusia dari nutfah
yakni sel telur dan sel sperma. Di dalam Al-Qur’an disebutkan tentang asal
penciptaan manusia, diantaranya sebagai berikut :

1. Penciptaan manusia dari tanah


Berikut ini adalah arti ayat-ayat yang menjelaskan kejadian penciptaan
manusia dari tanah.
a. QS As sajadah ayat 7
“Yang membuat segala sesuatu yang menciptakan sebaik-baiknya dan
memulai penciptaan manusia dari tanah. Kemudian Dia menjadikan
keturunan dari saripati air yang hina kemudian Dia menyempurnakan dan
meniupkan ke dalam (tubuh) nya ruh (ciptaan) Nya dan Dia menjadikan
bagi kamu pendengaran, penglihatan, dan hati (tetapi) sedikit sekali tidak
bersyukur.”
b. QS Shad ayat 71-72
“(Ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat: “Sesungguhnya
Aku akan menciptakan manusia dari tanah. Maka apabila telah
Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya roh (ciptaan) Ku,
maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadanya.”

2. Penciptaan manusia dari nutfah


Adapun penciptaan manusia dari nutfah atau mani disebutkan dalam ayat-
ayat berikut ini.

3
a. QS Al-Mukminun 12-14
“Dan Sesungguhnya kami Telah menciptakan manusia dari suatu saripati
(berasal) dari tanah. Kemudian kami jadikan saripati itu air mani (yang
disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu kami
jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu kami jadikan segumpal
daging, dan segumpal daging itu kami jadikan tulang belulang, lalu tulang
belulang itu kami bungkus dengan daging. Kemudian kami jadikan dia
makhluk yang(berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta yang
paling baik.”
b. QS Al Mukmin 67
Dia-lah yang menciptakan kamu dari tanah Kemudian dari setetes mani,
sesudah itu dari segumpal darah, Kemudian dilahirkannya kamu sebagai
seorang anak, Kemudian (kamu dibiarkan hidup) supaya kamu sampai
kepada masa (dewasa), Kemudian (dibiarkan kamu hidup lagi) sampai tua,
di antara kamu ada yang diwafatkan sebelum itu. (Kami perbuat demikian)
supaya kamu sampai kepada ajal yang ditentukan dan supaya kamu
memahami(nya). Dia-lah yang menghidupkan dan mematikan, Maka
apabila dia menetapkan sesuatu urusan, dia Hanya bekata kepadanya:
“Jadilah”, Maka jadilah ia.”
B. Terminologi Manusia Dalam Al-Qur’an
Di dalam Al-Quran terdapat tiga istilah kunci (key term) yang meskipun
mengacu pada makna pokok manusia, tetapi memiliki makna signifikan yang
berbeda-beda. Ketiga istilah kunci itu adalah Basyar, Insan, dan al-Nas. Agar
terhindar dari kerancuan semantik, perlu dipahami dalam konteks apa manusia
disebut basyar, insan, serta al-nas.
1. Basyar
Kata basyar disebut dalam Al-Quran 35 kali dikaitkan dengan manusia dan
25 kali dihubungkan dengan nabi/rasul. Kata basyar pada keseluruhan ayat
tersebut memberikan referensi kepada manusia sebagai makhluk biologis. Salah
satunya pada surah Yusuf : 31 :
‫ط ْعنََ أ َ ْك َب ْرَنَ َهُ َرأ َ ْينَ َهُ فَلَ َّما‬
َّ َ‫اش َوقُ ْلنََ أ َ ْي ِد َي ُهنََّ َوق‬ ََّ ِ ‫ن َبش ًَرا َهذَا َما‬
ََ ‫لِلِ َح‬ َْ ‫ك َِريم َملَكَ ِإ ََّل َهذَا ِإ‬

4
“Maka tatkala wanita-wanita itu melihatnya, mereka kagum kepadanya
(keelokan rupanya) dan mereka melukai (jari) tangannya dan berkata: Maha
sempurna Allah, ini bukanlah manusia (basyar). Sesungguhnya ini tidak lain
hanyalah malaikat yang mulia ” (QS.Yusuf : 31)
Ayat ini menceritakan wanita-wanita pembesar Mesir yang diundang
Zulaikha dalam suatu pertemuan yang takjub ketika melihat ketampanan Yusuf
as. Konteks ayat ini tidak memandang Yusuf as dari segi moralitas atau
intelektualitasnya, melainkan pada perawakannya yang tampan dan
penampilannya yang mempesona yang tidak lain adalah masalah biologis.
Penolakan orang-orang kafir untuk beriman, juga karena pandangan mereka
terhadap seorang rasul yang hanya pada sisi biologisnya saja. Yakni sebagai
manusia yang sama seperti mereka yang makan, minum, jalan-jalan di pasar, dan
melakukan aktifitas lainnya. Mereka tidak mempertimbangkan aspek lain dari
seorang rasul seperti kapasitas, moralitas, kredibilitas kepribadiannya, dan
akseptabilitas di mata umatnya. Karena itu Allah SWT menyuruh Rasulullah saw
untuk menegaskan bahwa secara biologis ia memang seperti manusia biasa, tetapi
memiliki perbedaan dari yang lain yaitu penunjukan langsung dari Tuhan untuk
menyampaikan risalah-Nya. Dan dari sisi inilah Rasulullah menjadi manusia luar
biasa.
َ‫ِإلَي يُو َحى ِمثْلُ ُك َْم َبشَرَ أَنَا ِإنَّ َما قُ ْل‬
“Katakanlah (Muhammad kepada mereka bahwa) aku ini manusia biasa
(basyar) seperti kamu. Hanya saja aku diberi wahyu” (QS.Al-Kahfi : 110)
Beberapa ayat di atas dengan jelas menegaskan bahwa konsep basyar selalu
dihubungkan dengan sifat-sifat ketubuhan (biologis) manusia yang mempunyai
bentuk/ postur tubuh, mengalami pertumbuhan dan perkembangan jasmani,
makan, minum, melakukan hubungan seksual, bercinta, berjalan-jalan di pasar,
dan lain-lain. Dengan kata lain, basyar dipakai untuk menunjuk dimensi alamiah
yang menjadi ciri pokok manusia pada umumnya.

5
2. Al-Insan.
Kata al-insan disebut sebanyak 65 kali dalam Al-Quran. Hampir semua
ayat yang menyebut manusia dengan kata insan, konteksnya selalu menampilkan
manusia sebagai makhluk istimewa, secara moral maupun spiritual. Keistimewaan
itu tidak dimiliki oleh makhluk lain. Jalaludin Rahmat memberi penjabaran al-
insan secara luas pada tiga kategori. Pertama, al-insan dihubungkan dengan
keistimewaan manusia sebagai khalifah dan pemikul amanah. Kedua, al-insan
dikaitkan dengan predisposisi negatif yang inheren dan laten pada diri manusia.
Ketiga, al-insan disebut dalam hubungannya dengan proses penciptaan manusia.
Kecuali kategori ketiga, semua konteks al-insan menunjuk pada sifat-sifat
psikologis atau spiritual.
Kategori pertama dapat dipahami melalui empat penjelasan sebagai
berikut:
a. Manusia dipandang sebagai makhluk unggulan atau puncak penciptaan
Tuhan. Keunggulannya terletak pada wujud kejadiannya sebagai
makhluk yang diciptakan dengan sebaik-baik penciptaan. Manusia
juga disebut sebagai makhluk yang dipilih Tuhan untuk mengemban
tugas kekhalifahan di muka bumi.
b. Manusia adalah satu-satunya makhluk yang dipercaya Tuhan untuk
mengemban amanah, suatu beban sekaligus tanggung jawabnya
sebagai makhluk yang dipercaya dan diberi mandat untuk mengelola
bumi. Menurut Fazlurrahman amanah yang dimaksud terkait dengan
fungsi kreatif manusia untuk menemukan hukum alam, menguasainya
(dalam bahasa Al-Quran mengetahui nama-nama semua benda), dan
kemudian menggunakannya dengan insiatif moral untuk menciptakan
tatanan dunia yang lebih baik. Sedangkan menurut Thabathaba’i
amanah dimaknai sebagai predisposisi positif (isti’dad) untuk beriman
dan mentaati Allah. Dengan kata lain manusia didisposisikan sebagai
pemikul al-wilayah al-Ilahiyah. Amanah inilah yang dalam ayat-ayat
lain disebut sebagai perjanjian primordial atau perenial. Secara
metaforis perjanjian itu digambarkan dalam QS. Al-A’raf : 172 :

6
َ‫ن َربُّكََ أ َ َخ َذَ َو ِإ ْذ‬
َْ ‫ن آ َد ََم بَنِي ِم‬
َْ ‫ور ِه َْم ِم‬ ْ َ ‫علَى َوأ‬
ُ ‫ش َه َد ُه َْم ذُ ِريَّت َ ُه َْم‬
ِ ‫ظ ُه‬ َ ‫ستَُ أ َ ْنفُس ِِه َْم‬
ْ َ‫أَل‬
‫ش ََِه ْدنَا بَ َلى قَالُوا ِب َر ِب ُك َْم‬
“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan dari sulbi (tulang
belulang) anak cucu Adam keturunan mereka, dan Allah mengambil
kesaksian terhadap ruh mereka (seraya berfirman) : Bukankah Aku ini
Tuhanmu?. Kami bersaksi” (QS.al-A’raf : 172)
c. Merupakan konsekuensi dari tugas berat sebagai khalifah dan pemikul
amanah, manusia dibekali dengan akal kreatif yang melahirkan nalar
kreatif sehingga manusia memiliki kemampuan untuk
mengembangkan ilmu pengetahuan. Karena itu berkali-kali kata al-
insan dihubungkan dengan perintah melakukan nadzar (pengamatan,
perenungan, pemikiran, analisa) dalam rangka menunjukkan kualitas
pemikiran rasional dan kesadaran khusus yang dimilikinya
d. Dalam mengabdi kepada Allah manusia (al-insan) sangat dipengaruhi
oleh lingkungan dan kondisi psikologisnya. Jika ditimpa musibah ia
selalu menyebut nama Allah. Sebaliknya jika mendapat keberuntungan
dan kesuksesan hidup cenderung sombong, takabbur, dan musyrik.[31]

Kategori kedua al-insan dikaitkan dengan predisposisi negatif pada


dirinya, dijelaskan dalam Al-Quran bahwa manusia itu cenderung berbuat zalim
dan kufur, tergesa-gesa, bakhil, bodoh, banyak membantah dan suka berdebat
tentang hal-hal yang sepele sekalipun, resah gelisah dan enggan membantu orang
lain, ditakdirkan untuk bersusah payah dan menderita, ingkar dan enggan
berterima kasih kepada Tuhan, suka berbuat dosa dan meragukan hari akhirat.
Sifat-sifat manusia pada pada kategori kedua ini bila dihubungkan dengan
sifat-sifat manusia pada kategori pertama, memberi kesimpulan bahwa manusia
adalah makhluk yang paradoksal, yang berjuang mengatasi konflik dan kekuatan
yang saling bertentangan, tarik menarik antara mengikuti fitrah (memikul amanah
dan menjadi khalifah) dan mengikuti nafsu negatif dan merusak.

7
3. Al-Nas
Konsep al-Nas mengacu pada manusia sebagi makhluk sosial. Manusia
dalam arti al-nas paling banyak disebut Al-Quran yaitu sebanyak 240 kali. Salah
satunya adalah :
‫اس أَيُّ َها يَا‬
َُ َّ‫شعُوبَا ً َو َجعَ ْلنَا ُك َْم َوأُنثَى ذَكَرَ ِمن َخلَ ْقنَاكُم إِنَّا الن‬
ُ ‫ارفُوا َوقَبَائِ ََل‬
َ َ‫ِلتَع‬
“Wahai manusia sesungguhnya Kami ciptakan kamu dari seorang laki-laki
dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-
suku supaya kamu saling kenal mengenal” (QS.al-Hujurat : 13)
Menariknya dalam mengungkapkan manusia sebagai makhluk sosial,
Al-Quran tidak pernah melakukan generalisasi, melainkan ditunjukkan dengan
dua model pengungkapan. Yang pertama dengan menunjukkan kelompok-
kelompok sosial dengan disertai karakteristik masing-masing yang berbeda satu
sama lain. Ayat-ayatnya biasanya menggunakan ungkapan wa min al-nas (dan
diantara manusia). Jika diperhatikan ayat-ayat yang menggunakan ungkapan ini
ditemukan petunjuk bahwa ada kelompok manusia (tidak seluruhnya) yang
mengaku beriman padahal sesungguhnya tidak beriman. Kemudian model yang
kedua dengan menginformasi bahwa manusia secara sosial cenderung memikirkan
kehidupan dunia.
Memperhatikan ungkapan ini ditemukan petunjuk dari Al-Quran bahwa
sebagian besar (mayoritas) manusia mempunyai kualitas rendah, dari sisi ilmu
maupun iman. Hal ini dapat dilihat dari ayat-ayatnya yang menyatakan bahwa
kebanyakan manusia tidak berilmu, tidak bersyukur, tidak beriman, fasiq,
melalaikan ayat-ayat Allah, kufur, dan harus menanggung azab. Kesimpulan itu
dipertegas dengan ayat-ayat lain yang menunjukkan bahwa sangat sedikit
kelompok manusia yang beriman, yang berilmu dan dapat mengambil pelajaran,
serta yang mau bersyukur atas nikmat Allah.
Jika dikaitkan dengan Al-Quran sebagai petunjuk, menunjukkan bahwa
sebagian besar bimbingan Tuhan diperuntukkan bagi manusia sebagai makhluk
sosial. Contohnya adalah masalah hubungan sosial pasca perkawinan meliputi
hak, kewajiban, tanggung jawab suami istri dalam rumah tangga dan hubungan
yang terjadi setelah berkeluarga mencakup pendidikan anak, kekerabatan, warisan

8
dan masalah yang berkaitan dengan kekayaan. Perlunya pengaturan ini karena
pada aspek-aspek sosial manusia sering kelewat batas dan tak terkendali.

C. Kedudukan Manusia
Kedudukan manusia dalam Al-Qur’an yaitu sebagai berikut.
1. Manusia Sebagai Makhluk Allah Yang Paling Sempurna
Allah menciptakan manusia dengan kesempurnaan dan keunikan . hal ini
dilihat dari segala hal yang menyangkut fisik dan jiwa seorang manusia. Ia
berbeda dengan makhluk lainnya dan bahkan Allah memerintahkan malaikat
untuk bersujud kepada Adam AS karena akal dan pengetahuan yang
dianugerahkan kepadanya. Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat At Tin
yang artinya :
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-
baiknya” (QS At tin : 4)
2. Manusia Sebagai Bukti Kekuasaan Allah SWT
Sejak awal penciptaannya, manusia pertama yakni Adam As telah
mengakui Allah sebagai Tuhannya dan hal tersebut mendorong manusia untuk
senantiasa beriman kepada Allah SWT. Penciptaan manusia juga memiliki hakikat
bahwa Allah menciptakan agama islam sebagai pedoman hidup yang harus
dijalani oleh manusia selama hidupnya. Seluruh ajaran islam adalah
diperuntukkan untuk manusia dan oleh karena itu manusia wajib beriman dan
bertaqwa kepada Tuhan yang maha esa yakni Allah SWT.
3. Manusia Sebagai Hamba Allah
Adapun Allah menciptakan manusia untuk mengabdi dan menjadi hamba
yang senantiasa beribadah dan menyembah Allah SWT sebagaimana yang
disebutkan dalam QS Adzzariyat ayat 56
“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
mengabdi kepada-Ku.”(QS Adzzariyat : 56)
Ibadah yang semestinya dilakukan manusia terdiri dari dua golongan yakni
ibadah yang bersifat khusus dan ibadah yang bersifat umum. Ibadah yang sifatnya
khusus antara lain ibadah sholat wajib, puasa, zakat, haji dan sebagainya.

9
Sedangkan ibadah yang bersifat umum seperti melakukan amal saleh yang tidak
hanya bermanfaat bagi dirinya akan tetapi bermanfaat juga untuk orang lain dan
dilandasi niat yang ikhlas dan bertujuan hanya mencari keridhaan Allah semata
seperti bersedekah (baca keutamaan bersedekah), menyambung tali silaturahmi,
menikah dan sebagainya.
4. Manusia Diciptakan Allah Sebagai Khalifah
Kata Khalifah berasal dari bahasa arab yakni khalafa atau khalifatan yang
artinya meneruskan, sehingga kata khalifah yang dimaksud adalah penerus agama
islam dan ajaran dari Allah SWT. Sebagai manusia yang berperan sebagai
khalifah maka manusia wajib menjalankan tugasnya untuk senantiasa menjaga
bumi dan makhluk lainnya dan ia akan dimintai pertanggung jawaban atas apa
yang diperbuatnya kelak di hari akhir. Hal ini disebutkan dalam firman Allah
SWT Surat Albaqarah ayat 30 yang artinya :
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat:
“Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” Mereka
berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang
akan membuat kerusakan padanyas dan menumpahkan darah, padahal kami
senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan
berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (QS
Al Baqarah :30)

2.2 Manusia Menurut Hadits


Adapun konsep manusia menurut perspektif hadits adalah manusia
dilahirkan dalam keadaan membawa fitrah. Yang dimaksud dengan fitrah disini
adalah agama yang lurus, potensi untuk mengesakan Allah dan makrifat kepada-
Nya, cenderung untuk melakukan kebaikan-kebaikan, dan tidak mengalami
penyimpangan. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a
bahwasanya Rasulullah Saw bersabda;

‫مامنمولوديولدعلىالفطرةفأبواهأنيهوداناوينصراناويمجسان‬

10
Artinya: "setiap kelahiran itu dilahirkan dalam keadaan fitrah (suci),
kemudian kedua orang tua mereka meyahudikan, menasranikan dan memajusikan
mereka"
Untuk mencapai bentuk fitrah ini tentu perlu dibina dan dikembangkan
dengan proses pendidikan dan pengajaran. Terkadang anak kecil harus
berhadapan dengan kondisi lingkungan yang mungkin berefek negatif baginya
dan kemudian membuatnya menyimpang dari sifat-sifat fitrah.
Jika manusia bisa mengatahui dan mengerti akan hal-hal yang baik dan
benar, maka manusia juga punya potensi untuk dapat terpengaruh oleh kondisi
sekitarnya yang bersifat negatif dan kemudian membuatnya keluar dari jalan ke-
fitrahan-nya.
Rasulullah Saw bersabda, “tidak ada seorang jabang bayi pun kecuali dia
terlahir dala keadaan fitrah”. Hanya saja dalam kehidupan manusia banyak sekali
pengaruh-pengaruh yang datang dari luar diri manusia (eksternal), baik yang
berasal dari keluarganya, lingkungannya, sosial masyarakatnya dan juga budaya
tempat dia hidup dan bertumbuh kembang juga bisa mengakibatkan si manusia
tersebut menjadi Yahudi, Nasrani, atau Majusi.
Dengan fitrahnya, manusia akan lebih cenderung untuk melakukan hal-hal
kebaikan dan lebih mencari kondisi yang bisa menenangkan jiwanya. Apabila dia
melakukan pelanggaran seperti berbuat dosa atau maksiat, maka hatinya akan
merasa gelisah dan resah, apalagi sampai dketahui oleh orang lain.

2.3 Manusia Menurut Ijtihad


Ijtihad (Arab: i‫ )اجتهاد‬adalah sebuah usaha yang sungguh-sungguh, yang
sebenarnya bisa dilaksanakan oleh siapa saja yang sudah berusaha mencari ilmu
untuk memutuskan suatu perkara yang tidak dibahas dalam Al Quran maupun
hadis dengan syarat menggunakan akal sehat dan pertimbangan matang. Namun
pada perkembangan selanjutnya, diputuskan bahwa ijtihad sebaiknya hanya
dilakukan para ahli agama Islam. Tujuan ijtihad adalah untuk memenuhi
keperluan umat manusia akan pegangan hidup dalam beribadah kepada Allah di
suatu tempat tertentu atau pada suatu waktu tertentu.

11
Ijtihad tentang manusia dalam islam yaitu sebagai berikut :
1. Hakikat Manusia
Sebelum memahami hakikat manusia, perlu kiranya mendefinisikan
manusia sebagai objek dalam pembahasan ini. Manusia dalam ilmu mantiq
disebut dengan “hayawanun natiq (hewan yang memiliki akal)”. Yang
membedakan manusia dengan hewan lain adalah akal yang dimilikinya. Dengan
akal, ia akan sampai kepada kebenaran. Manusia akan menggunakan akalnya
semasa hidupnya. Walaupun dengan akalnya manusia terkadang melakukan
kesalahan.
Menurut Al-Ghazali manusia memiliki identitas esensial dalam dirinya
yang tidak akan berubah-ubah, yaitu An-Nafs (jiwa). An-nafs dalam pandangan
Al-Ghazali adalah substansi manusia yang berdiri sendiri dan tidak membutuhkan
tempat. ini menunjukkan bahwa esensi manusia bukanlah dilihat dari fisiknya.
Sebab fisik tidak akan bisa berdiri sendiri tanpa An-Nafs.
Dengan demikian, Al-Ghazali membuktikan adanya substansi immaterial
yang disebut dengan an-nafs. Persoalan tentang ganjaran, hari akhir, dan konsep
kenabian tidak ada artinya jika An-Nafs tidak ada. Sebab, hanya an-nafs-lah yang
membedakan manusia dengan manusia lainnya, dan yang mempertanggung
jawabkan amal perbuatannya didunia kelak di akhirat adalah an-nafs. Bukan fisik.
Bukti lain yang ia lontarkan adalah tentang perbedaan makhluk hidup dangan
manusia. Tumbuhan hanya bisa bergerak monoton. Ini merupakan prinsip dasar
tumbuhan (An-Nafs Al-Nabatiyah). Juga terdapat pada hewan. Hewan memiliki
prinsip lebih tinggi dari tumbuhan. Selain memiliki prinsip gerak, hewan juga
memiliki prinsip rasa (syu’ur). Prinsip ini disebut dengan prisip Al-Nafs Al-
Hayawaniyah. Begitupun dengan manusia, selain memiliki prinsip gerak dan rasa,
manusia juga memiliki prinsip berfikir dan memiliki kehendak dalam memilih
perbuatan. Prinsip ini yang dinamakan dengan Al-Nafs Al-Insaniyah. Ketika
seseorang dalam keadaan hampa aktifitas dan menghentikan segala aktifitasnya,
ada satu yang tidak akan pernah berhenti, yaitu kesadaran diri. Kesadaran diri ini
merupakan prinsip dasar manusia.

12
2. Hak Asasi Manusia
Hak asasi manusia dalam Islam tertuang secara transenden untuk
kepentingan manusia melalui syariat Islam yang diturunkan melalui wahyu.
Menurut ajaran Islam manusia adalah makhluk yang bebas yang memiliki tugas
dan tanggung jawab, oleh karenanya ia memiliki hak dan kebebasan. Dasarnya
adalah keadilan yang ditegakan atas dasar persamaan atau egaliter tanpa pandang
bulu. Maknanya tugas yang diemban tidak akan terwujud tanpa adanya
kebebasan, sementara kebebasan secara eksistensial tidak akan terwujud tanpa
adanya tanggung jawab itu sendiri.
Prinsip-prinsip hak asasi manusia menjadi tujuan dari syariat islam
(maqoshid al-Syaria’at) yang telah dirumuskan oleh Imam al-Ghazali dan Abu
Ishaq as-Syatibi (Ahmad al-Mursi Husain Jauhar, 2009 : XV). Prinsip tersebut
terangkum dalam dalam al-dlaruriat al-khamsah (lima prinsip dasar) atau disebut
juga al huquq al insaniyah fi al Islam (hak asasi manusia dalam Islam). Konsep ini
ini mengandung lima prinsip dasar yang harus di jaga dan di hormati oleh setiap
individu, yakni :
a. Hifdzu al-Din (penghormatan atas kebebasan beragama)
Islam memberikan penghormatan dan kebebasan berkeyakinan dan
beribadah. Setiap pemeluk agama berhak atas agama dan madzhabnya.
Seseorang tidak boleh dipaksa untuk meninggalkan agamanya menuju
agama atau madzhab lainya dan tidak seorangpun boleh memaksa dan
menekan orang lain untuk berpindah dari keyakinanya untuk masuk Islam
(Q.S. al-Baqoroh : 256).

b. Hifdzu al-Mal (penghormatan atas harta benda)


Dalam ajaran islam harta adalah milik Allah SWT yang dititipka-Nya
pada Alam dan manusia sbagai anugerah. Seluruh bumi beserta segala
yang terkandung di dalamnya, dan apa yang berada di atasnya telah
dijadikan Allah SWT untuk seluruh manusia sebagai mana dijelaskan
dalam Al-Qur’an surah Al-Hadid ayat 7 yang artinya.
“Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah
sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya.

13
Maka orang-orang yang beriman di antara kamu dan menafkahkan
(sebagian) dari hartanya memperoleh pahala yang besar.( Q.S.al-Hadid : 7)

c. Hifdzu al-Nafs wa al-‘Ird (penghormatan atas jiwa, hak hidup dan


kehormatan individu)
Dalam ajaran Islam, penghormatan atas jiwa, hak hidup dan
kehormatan individu merupakan hak dasar dan tumpuan dari semua hak.
Hak-hak lain tidak akan ada dan relevan tanpa perlindungan hak hidup.
Maka perlindungan al-Qur’an terhadap hak ini sangat jelas dan tegas :
“Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil,
bahwa: Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena
orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan
dimuka bumi, Maka seakan-akan Dia telah membunuh manusia
seluruhnya. Dan Barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang
manusia, Maka seolah-olah Dia telah memelihara kehidupan manusia
semuanya. dan Sesungguhnya telah datang kepada mereka Rasul-rasul
Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian
banyak diantara mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas
dalam berbuat kerusakan dimuka bumi.”( Q.S al-Maidah : 32)
Karena penghargaan yang tinggi terhadap jiwa dan kehidupan
maka al-Qur’an memberikan sangsi yang tegas terhadap siapapun yang
mengingkarinya. Qishas atau hukuman mati terlahir dari spirit
perlindungan ini. Al-Qur’an menegaskan :
“ Dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup
bagimu, Hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.” (Q.S. al-
Baqoroh : 179 )

d. Hifdzu al-‘Aql (penghormatan atas kebebasan berfikir)


Penghormatan atas kebebasan berfikir serta hak atas pendidikan
merupakan penjabaran yang amat penting dari prinsip hifdz al-aql.
Menjaga akal budi dari zat-zat yang memabukan merupakan perlindungan
primer, maka pendidikan merupakan pemenuhan hak-hak sekunder untuk

14
pengembanganya. Tanpa pendidikan yang memadai akal sebagai anugerah
penting dari Tuhan kurang bernilai dan menyia-nyiakan anugerah Tuhan.

e. Hifdzu al-Nasl (keharusan untuk menjaga keturunan)


Dalam ajaran Islam menjaga dan memelihara keturunan di
manifestasikan dengan disyariatkan lembaga pernikahan. Islam
memandang lembaga pernikahan sebagai cara melindungi eksistensi
manusia secara terhormat dan bermartabat. Islam tidak menganjurkan,
meski tidak mengharamkan secara mutlak hidup celibat/membujang. Bagi
yang menjalankan pernikahan secara penuh tanggungjawab dijanjikan
dengan kemuliaan. Sebab dengan pernikahan yang penuh tanggungjawab
dan harmonis, generasi manusia yang saleh dapat dibina dari satu generasi
kegenerasi berikutnya secara berkesinambungan.

15
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Dari penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa perspektif tentang
manusia dalam islam dapat dilihat dari tiga sudut, yaitu Al-Qur’an, Hadits dan
Ijtihad, dimana dari ketiga hal tersebut yang menjadi pedoman dasarnya adalah
Al-Qur’an. Manusia dilihat dari pandangan Al-Qur’an terbagi menjadi awal
penciptaannya, termonologi dan kedudukannya. Di dalam Al-Qur’an dijelaskan
bahwa manusia berasal dari unsur utama tanah dan air yang dibentuk oleh Allah
SWT kemudian ditiupkan ruh sehingga sempurna kejadiannya. Dalam Al-Qur’an
juga disebutkan bahwa manusia mempunyai nama alias atau terminologi yaitu
basar, al-insan dan al-nas. Manusia diciptakan di muka bumi sebagai khalifah
sekaligus hamba yang harus mengabdi kepada Allah SWT. Kemudian menurut
hadits manusia merupakan makhluk yang fitrah ketika dilahirkan, suka berbuat
kebaikan dan memiliki potensi yang baik. Sedangkan dari pandangan ijtihad
manusia dpandang sebagai makhluk yang memiliki akala yang membuatnya dapat
bertindak sesuai dengan keinginan, memiliki peranan dan hak dalam menjalankan
kewajiban serta hak untuk dihormati.

3.2 Saran
Kami selaku penyusun makalah ini menyadari bahwa tak ada suatu hal
yang sempurna kecuali Allah SWT, untuk itu kami mohon saran maupun kritik
yang membangun agar kedepannya kami selaku penyusun dapat lebih baik lagi
dalam penulisan makalah selanjutnya.

16
DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi, Abu dan Nur Uhbiyati. 1991. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta : Rineka Cipta.

Al-Ghazali. 1990. Ihya Ulumuddin, (Seluk-Beluk Pendidikan al-Ghazali). Jakarta

http://www.fitrirafika.co.id/pandangan-Al-qur’an-terhadap-manusia.m=1

http://id.m.wikipedia.org/wiki/Ijtihad

http://www.dialoka.com/kajian/2015/08/14/114/manusia-dalam-pandangan-al-ghazali/

http://www.google.co.id=hal-tentang+manusia+yang+ada +dalam+hadits/

http://bdkbandung.kemenag.go,id/jurnal-tentang-ham-dalam-islam.m=1

17

Anda mungkin juga menyukai