Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

DIABETES MILITUS DENGAN HOPERTIROID

DISUSUN OLEH :

1. VICKHA SEPTIANY 21117128

2. WISMA WARDANI 21117136

3. YOLA ALFINA 21117138

4. YOSANANDA F 21117140

5. YUTI SARTIKA 21117142

DOSEN PEMBIMBING :SURATIN, S.Kep., Ns., M.kep

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


STIKes MUHAMMADIYAH PALEMBANG
TAHUN AJARAN 2018/2019
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.


Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan penulis
kelancaran dalam menyusun makalah ini, sehingga karya tulis ini dapat
diselesaikan. Kami juga ingin mengucapkan terima kasih bagi seluruh pihak yang
telah membantu dalam pembuatan karya tulis ini dan berbagai sumber yang telah
kami pakai sebagai data dan fakta pada karya tulis ini.
Kami mengakui bahwa manusia mempunyai keterbatasan dalam berbagai
hal.Oleh karena itu tidak ada hal yang dapat diselesaikan dengan sangat
sempurna.Begitu pula dengan karya tulis ini yang telah selesaikan.Tidak semua
hal dapat penulis deskripsikan dengan sempurna dalam karya tulis ini.Penulis
melakukannya semaksimal mungkin dengan kemampuan yang penulis miliki.Di
mana penulis juga memiliki keterbatasan kemampuan.
Maka dari itu penulis bersedia menerima kritik dan saran. Penulis akan
menerima semua kritik dan saran tersebut sebagai batu loncatan yang dapat
memperbaiki karya tulis penulis di masa mendatang. Sehingga semoga karya tulis
berikutnya dan karya tulis lain dapat diselesaikan dengan hasil yang lebih baik.

Palembang, 28 April 2019

Penulis,
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ...............................................................................................
Daftar Isi ..........................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................
A. Latar Belakang .....................................................................................
B. Tujuan .................................................................................................
C. Manfaat
BAB II PEMBAHASAN .................................................................................
A. Pengertian ............................................................................................
B. Epidemiologi
C. Hubungan Status Klinis Tiroid dengan Intoleransi Glukosa
D. Resistensi Insulin dan Intoleransi Glukosa

BAB III PENUTUP....................................................................................................


A. Kesimpulan .........................................................................................
B. Saran ....................................................................................................
Daftar Pustaka ................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Diabetes mellitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik
dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi
insulin, kerja insulin atau kedua-duanya. Diagnosis DM umumnya akan
dipikirkan bila ada keluhan khas DM berupa poliuria, polidipsia, polifagia,
dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya. Secara
epidemiologik diabetes seringkali tidak terdeteksi dan dikatakan onset atau
mulai terjadinya adalah 7 tahun sebelum diagnosis ditegakkan, sehingga
morbiditas dan mortalitas dini terjadi pada kasus yang tidak terdeteksi
(Soegondo, et al., 2005).
Diabetes mellitus jika tidak dikelola dengan baik akan dapat
mengakibatkan terjadinya berbagai penyakit menahun, seperti penyakit
serebrovaskular, penyakit jantung koroner, penyakit pembuluh darah
tungkai, penyakit pada mata, ginjal, dan syaraf. Jika kadar glukosa darah
dapat selalu dikendalikan dengan baik, diharapkan semua penyakit
menahun tersebut dapat dicegah, atau setidaknya dihambat. Berbagai
faktor genetik, lingkungan dan cara hidup berperan dalam perjalanan
penyakit diabetes (Soegondo, et al., 2005)
Dengan demikian adanya kelainan ataupun gangguan yang terjadi
pada kelenjar atau pusat penyekresi hormone ini maka dapat
mempengaruhi segala aktifitas kimia tubuh (metabolisme). Sehingga pada
klien dengan gangguan tiroid (hipertiroiditisme atau hipotiroidisme) yang
mana merupakan suatu penyakit yang menyerang kelenjar tiroid, akan
merasa terganggu untuk melakukan aktifitas dikarenakan efek dari
kelainan tersebut yang sangat mempengaruhi proses metabolisme dalam
tubuh.
Dewasa ini jumlah penderita hipertiroid terus meningkat. Hipertiroid
merupakan penyakit hormon yang menempati urutan kedua terbesar di
Indonesia setelah diabetes. Posisi ini serupa dengan kasus di dunia.
Hipertiroid atau disebut juga tirotoksikosis merupakan suatu
ketidakseimbangan metabolisme yang terjadi karena produksi yang
berlebihan hormone tiroid. Bentuk yang paling umum adalah graves, yang
meningkatkan produksi hormone tiroksin (T4), membuat kelenjar tiroid
membesar (goiter; Gondok) dan menyebabkan perubahan system yang
multiple.
Insidensi hipertiroid paling tinggi pada wanita berusia antara 30 dan
60 tahun, khususnya wanita dengan riwayat kelainan tiroid dalam
keluarga; hanya 5% pasien berusia di bawah 15 tahun.
B. TUJUAN

Adapun tujuan pembuatan makalah, yaitu untuk mengetahui lebih


spesifik mengenai penyakitdiabetes mellitus, dapat memahami defenisi
hipertiroid
C. MANFAAT

Adapun manfaat yang diperoleh, yaitu dapat mengetahui mengenai


penyakit diabetesmellitus, dan Hipertiroid.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian

Diabetes Mellitus adalah Suatu kumpulan gejala yang timbul pada


seseorang yang disebabkan oleh adanya peningkatan kadar glukosa dalam
darah akibat kekurangan insulin baik absolut maupun relatif (Subekti, et al..,
1999). Suatu penyakit dimana kadar glukosa (gula sederhana) di dalam
darah tinggi karena tubuh tidak dapat melepaskan atau menggunakan insulin
secara cukup.

Hipertirodisme suatu keadaan klinik yang ditimbulkan oleh sekresi


berlebihan dari hormone tiroid. Didapatkan pula peningkatan produksi
triiodotironin (T3) sebagai hasil meningkatnya konverensi tiroksin (T4) di
jaringan perifer. Diagnosis hipertirodisme didapatkan melalui berbagai
pemeriksaan meliputi pengukuran langsung konsentrasi tiroksin “ bebas”
(dan sering triiodoitironin) plasma dengan pemeriksaan radiomunologi yang
tepat. Uji lain yang sering digunakan adalah pengukuran kecepatan
metabolism basal, pengukuran konsentrasi TSH plasma dan kosentrasi TSI
(Guyton & Hall, 2007).

Hipertiroid atau disebut juga tirotoksikosis merupakan suatu


ketidakseimbangan metabolisme yang terjadi karena produksi yang
berlebihan hormone tiroid (Kowalak, 2011). Hipertiroid adalah suatu
ketidakseimbangan metabolik yang merupakan akibat dari produksi hormon
tiroid yang berlebihan (Dongoes, 2000).

B. Epidemiologi

Diabetes melitus (DM) dan penyakit tiroid adalah dua kelainan


endokrinopati yang paling sering ditemukan pada populasi dewasa.
Diketahui bahwa kerja hormon insulin dan tiroid saling memengaruhi pada
metabolisme seluler. Hal ini menyebabkan hormon tersebut menjadi
berlebihan atau kekurangan yang nantinya akan mengakibatkan gangguan
fungsi baik kerja hormon itu sendiri maupun tiroid
Istilah tirotoksikosis menyangkut berbagai gejala klinis yang
merupakan manifestasi kelebihan hormon tiroid. Sementara hipertiroid
adalah tirotoksikosis yang disertai hiperaktivitas kelenjar tiroid. Berbagai
keadaan dapat menyebabkan hipertiroid misalnya penyakit graves
(tersering), adenoma toksik, struma multinodosa toksik, dan tiroiditis.
Hormon tiroid maupun insulin mempunyai peranan penting dalam
metabolisme seluler. Disfungsi tiroid akan memberikan pengaruh negatif
terhadap pengendalian DM dan pengendalian glukosa yang buruk akan
memberikan pengaruh buruk pada kerja hormon tiroid. Beberapa penelitian
menunjukkan hubungan antara disfungsi tiroid dengan metabolisme
karbohidrat dan juga lipid. Namun, karena mekanismenya masih belum
jelas, maka dipertanyakan apakah temuan-temuan tersebut bukan
merupakan suatu kebetulan.
Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mengetahui keterkaitan
intoleransi glukosa dan hipertiroid secara lebih mendalam. Penelitian yang
telah dilakukan masih sangat sedikit, baik di luar negeri maupun di
Indonesia. Di Indonesia sendiri belum ada data mengenai prevalensi
intoleransi glukosa pada hipertiroid. Oleh karena itu, penelitian ini
dilakukan untuk mengetahui hubungan status tiroid dengan kejadian
intoleransi glukosa pada pasien hipertiroid dan membandingkannya dengan
pasien hipertiroid yang telah mencapai status klinis eutiroid dan populasi
normal. Dengan demikian, diharapkan penelitian ini dapat menjadi awal
untuk selanjutnya dapat dilanjutkan dengan penelitian-penelitian lain.

C. Hubungan Status Klinis Tiroid dengan Intoleransi Glukosa


Intoleransi glukosa yang terjadi pada hipertiroid memang terjadi
karena keadaan hipertiroidnya, sehingga menimbulkan berbagai mekanisme
sampai terjadi gangguan metabolisme glukosa. Temuan ini konsisten
dengan temuan Ozdemir, dkk.16 dan Litaka, dkk.17 yang menyatakan
intoleransi glukosa pada pasien hipertiroid akan membaik dengan perbaikan
status klinis tiroid. Dari data ini dianggap bahwa pasien hipertiroid yang
sudah mencapai status klinis eutiroid atau hipertiroid subklinis akan
mempunyai faktor risiko yang sama dengan orang normal untuk terjadinya
intoleransi glukosa.

D. Resistensi Insulin dan Intoleransi Glukosa

Berdasarkan WHO, untuk menentukan resistensi insulin didapatkan


nilai HOMA-R lebih dari persentil 75. Dari hasil penelitian ini, nilai yang
didapatkan yaitu 1,81 μIU/L. Penelitian lain oleh Suyono, dkk.18 di Jakarta
melaporkan nilai HOMA-R untuk resistensi insulin sebesar 3,45 μIU/L
untuk populasi >55 tahun. Pranoto, dkk.19 yang melakukan penelitian di
Surabaya melaporkan nilai HOMA-R 4 untuk resistensi insulin populasi
yang ditelitinya. Sedangkan Nasution20 mendapatkan nilai HOMA-R
resistensi insulin untuk populasi usia lanjut yang ditelitinya adalah 2,67
μIU/L. Perbedaan nilai potong HOMA-R yang pernah dilaporkan
mengindikasikan bahwa resistensi insulin berbeda antara satu populasi
dengan populasi lainnya. Hal ini mungkin dipengaruhi oleh umur, jenis
kelamin, etnis dan distribusi lemak tubuh.Kadar insulin pada penelitian ini
minimal yang bisa terdeteksi oleh Laboratorium Prodia adalah 2 μIU/ mL.
Ternyata didapatkan 17 pasien dengan kadar insulin <2 μIU/mL, sehingga
HOMA-R tidak bisa dihitung. Pada pasien-pasien ini HOMA-R dihitung
secara manual dengan rumus dengan kadar insulin dianggap 2 μIU/ mL.
Berarti kadar angka rerata HOMA-R yang ada, tidak menggambarkan
keadaan yang sesungguhnya.
Menurut Litaka, dkk, resistensi insulin pada penyakit graves
kemungkinan berhubungan dengan efek insulin dan hipertiroidisme di hepar
yang saling berlawanan. Hormon tiroid dapat meningkatkan produksi
glukosa dalam keadaan puasa serta menurunkan sensitivitas hepatik
terhadap insulin. Selain karena peningkatan produksi glukosa, terjadi
peningkatan ekspresi dari transporter glukosa (GLUT2)1,2 pada membran
plasma hepatosit bersamaan juga meningkatnya aktivitas IL-6 dan TNF-a
pada kelainan hipertiroid autoimun seperti penyakit graves melalui lajur NF-
κB. Resistensi insulin pada pasien-pasien ini akan mengalami perbaikan
setelah kelainan endokrinnya diobati. Hal ini juga terbukti dari penelitian
ini, bahwa walaupun memang terjadi resistensi insulin, tetapi dengan
memperbaiki dan mengatasi keadaan hipertiroidnya, setelah pasien
mencapai status klinis eutiroid/hipertiroid subklinis resistensi insulin ini
juga ikut membaik. Walaupun demikian, tata laksana diabetes secara umum
harus diberikan untuk mencegah komplikasi akut maupun kronik, misal
pemberian anti diabetik tetap perlu pertimbangan. Hal ini karena tidak dapat
dipastikan kapan seorang pasien akan menjadi eutiroid atau apakah
diabetesnya akan membaik atau tidak. Namun, anti diabetik oral yang
diberikan mungkin dosisnya perlu disesuaikan setelah keadaan klinis pasien
mencapai status eutiroid atau hipertiroid subklinis.
Pada penelitian ini, tidak bisa dibedakan resistensi insulin yang
ditemukan pada pasien karena hipertiroidnya atau karena genetik, pola
hidup, atau faktor lainnya seperti lingkar pinggang, berat badan, usia, atau
jenis kelamin. Secara teoritis hal ini memang sulit dibedakan karena
resistensi insulin yang terjadi pada hipertiroid memang tidak berbeda
dengan resistensi insulin karena genetik dan faktor lainnya. Namun, pada
hipertiroid hal ini terjadi secara reversibel. Sehingga, jika ditemukan
resistensi insulin pada pasien hipertiroid, tidak bisa dipastikan bahwa
resistensi insulinnya karena hipertiroid. Begitu juga jika ditemukan
resistensi insulin pada pasien yang sudah eutiroid, tidak bisa dipastikan
bahwa hal itu disebabkan faktor genetik. Berdasarkan perhitungan sampel,
maka perbedaan proporsi intoleransi glukosa pada pasien hipertiroid dengan
status hipertiroid dan eutiroid/hipertiroid subklinis pada penelitian ini akan
bermakna secara klinis jika rasio prevalens >2 (P1:P2=2). Selain itu, analisis
statistik menunjukkan bahwa resistensi insulin bukan merupakan efek
modifikasi maupun efek perancu. Pada kelompok dengan resistensi insulin,
hubungan intoleransi glukosa dengan status klinis tiroid secara klinis
bermakna (PR= 2,0 (IK 95% 0,47-8,56)), namun secara statistik tidak
bermakna (p=0,314). Sedangkan, pada kelompok tanpa resistensi insulin,
hubungan intoleransi glukosa dengan status klinis tiroid baik secara klinis
maupun statistik bermakna (PR 2,4 (IK 95% 1,30-6,19); p=0,004)).
Hasil ini dipikirkan karena sampel pada penelitian ini kurang.
Walaupun perhitungan yang dilakukan sejak awal adalah 80 subjek namun
ini belum diperhitungkan untuk stratifikasi. Dan ternyata setelah dilakukan
strata untuk kelompok dengan resistensi insulin hanya didapatkan 20 subjek.
Hal inilah yang kemungkinan membuat pada kelompok resistensi insulin
menjadi tidak bermakna. Didapatkan bahwa kejadian intoleransi glukosa
pada pasien hipertiroid tanpa resistensi insulin ternyata lebih besar
dibandingkan pada kelompok dengan resistensi insulin. Artinya, pada
penelitian ini kejadian intoleransi glukosa pada pasien hipertiroid
kemungkinan lebih banyak disebabkan karena gangguan pada sel b berupa
apoptosis sel b dan atau hiperglukagonemia yang memang ditemukan pada
hipertiroid.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Seperti yang diuraikan diatas bahwa ISPA mempunyai variasi
klinis yang bermacam-macam, maka timbul persoalan pada pengenalan
(diagnostik) dan pengelolaannya.Sampai saat ini belum ada obat yang
khusus antivirus.Idealnya pengobatan bagi ISPA bakterial adalah
pengobatan secara rasional.Pengobatan yang rasional adalah apabila
pasien mendapatkan antimikroba yang tepat sesuai dengan kuma
penyebab. Untuk dapat melakukan hal ini , kuman penyebab ISPA
dideteksi terlebih dahulu dengan mengambil material pemeriksaan yang
tepat, kemudian dilakukan pemeriksaan mikrobiologik, baru setelah itu
diberikan antimikroba yang sesuai.

B. Saran
1. Semoga makalah sederhana ini dapat menjadi ilmu yang bermanfaat
bagi pembaca
2. Makalah ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi pembaca terutama
perawat dalam membuat asuhan keperawatan
DAFTAR PUSTAKA

Wismandari Wisnu, Pradana Soewondo, Imam Subekti,


Hubungan Status Tiroid dengan Intoleransi Glukosa pada Pasien Hipertiroid,
JAKARTA
Mardianto, Suherdy dan Dharrna Likdarto; Gambaran Fungsi Hormon Tiroid
Pada Pehderita DM Tipe 2 Rarrat Jalan

Anda mungkin juga menyukai