Anda di halaman 1dari 20

FAKULTAS KEDOKTERAN REFERAT

UNIVERSITAS HASANUDDIN MEI 2019

PATOFISIOLOGI FIXED DRUG ERUPTION

DISUSUN OLEH :

Puja Muhammad Iqbal C014182007

Andi Fuad Ansyari C014182035

Muh. Auliyha Fadly C014172183

Krisna Goysal C014182209

Danial Adli Bin Azman C014182211

Pembimbing Residen
dr. Gede Putra

Pembimbing Supervisor

Dr. dr. Faridha Ilyas, Sp.KK, FINSDV, FAADV

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK

BAGIAN KULIT DAN KELAMIN FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2019
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertandatangan dibawah ini, menyatakan bahwa:

Nama :

1. Puja Muhammad Iqbal C014182007

2. Andi Fuad Ansyari C014182035

3. Muh. Auliyha Fadly C014172183

4. Krisna Goysal C014182209

5. Danial Adli Bin Azman C014182211

Judul referat : Patofisiologi Fixed drug Eruption

Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada Departemen Ilmu

Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.

Makassar, Mei 2019

Pembimbing Supervisor Pembimbing Residen

Dr. dr. Faridha Ilyas, Sp.KK, FINSDV, FAADV dr. Gede Putra

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL ..................................................................................... i

HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................... ii

DAFTAR ISI .................................................................................................... iii

BAB 1. PENDAHULUAN ............................................................................... 1

BAB 2. PEMBAHASAN ...................................................................................

2.1 Definisi .................................................................................................... 2

2.2 Epidemiologi ........................................................................................... 2

2.3 Etiopatogenesis ....................................................................................... 4

2.4 Gejala Klinis ........................................................................................... 11

2.5 Diagnosis................................................................................................. 13

2.6 Diferential Diagnosis .............................................................................. 16

2.7 Penatalaksanaan ...................................................................................... 19

2.8 Prognosis ................................................................................................ 22

BAB 3. KESIMPULAN...................................................................................... 23

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 24

iii
BAB 1

PENDAHULUAN

Reaksi simpang terhadap obat merupakan kasus yang sering dijumpai saat ini.

Selain obat-obatan yang diresepkan oleh dokter, penjualan obat secara bebas, baik obat

herbal dan suplemen serta obat topikal dapat menyebabkan reaksi simpang. Terdapat 2

jenis reaksi simpang obat, yaitu reaksi tipe A yang dapat diprediksi karena sifat

farmakologik obatnya, dan tipe B yaitu pada populasi tertentu, misalnya idiosinkrasi

dan reaksi hipersensitivitas. Salah satu reaksi simpang obat adalah erupsi obat alergik.2

Erupsi obat yang terjadi akibat reaksi simpang obat disebut Cutaneous Adverse

Drug Reaction (CADR) atau disebut juga erupsi obat alergi. Erupsi Obat Alergi adalah

suatu reaksi yang dapat menyebabkan perubahan struktur atau fungsi pada kulit dan

mukosa yang disebabkan karena penggunaan obat. Erupsi obat dapat terjadi dari erupsi

ringan sampai erupsi berat yang dapat menyebabkan kematian.1,2

FDE merupakan salah satu bentuk erupsi kulit karena obat yang unik. FDE

ditandai oleh makula hiperpigmentasi dan kadang-kadang bula di atasnya, yang dapat

muncul kembali ditempat yang sama bila minum obat yang menyebabkan erupsi reaksi

alergi. FDE bukan kasus yang mengancam jiwa dimana akan sembuh bila obat

penyebab dapat diketahui dan disingkirkan. Namun demikian dilihat dari sudut pandang

kosmetik sangat mengganggu dan menimbulkan perasaan tidak nyaman. Jika tidak

diterapi secara kausal maka dapat bertambah parah dengan adanya penambahan jumlah

lesi.1 Prevalensi rrupsi alergi obat di negara maju yaitu sebesar 1%-3% dan 2%-5% di

negara berkembang dari seluruh reaksi simpang obat yang dilaporkan. Salah satu bentuk

Adverse Drug Eruption yaitu Fixed Drug Eruption (17,87%).3


BAB 2

PEMBAHASAN

2.1. Definisi

Fixed drug eruption adalah suatu sindrom klinis yang ditandai dengan

kelainan kulit yang biasanya muncul secara soliter, eritem, berwarna merah menyala

atau merah kehitaman berbentuk makula atau plak berwarna merah yang bisa

berkembang menjadi bulla. Lesi pada FDE akan muncul ditempat yang sama jika

pasien kembali terpapar dengan obat yang diduga sebagai penyebab FDE1,4

2.2. Epidemiologi

Prevalensi Cutaneus Adverse Drug Reaction di Negara maju yaitu sebesar 1%-

3% dan 2%-5% dinegara berkembang dari seluruh reaksi simpang obat yang

dilaporkan.2,4 Sebanyak 22% dari bentuk manifestasi reaksi simpang obat adalah Fixed

drug eruption (FDE). Penelitian oleh Noegrohowati mendapatkan FDE (63%) sebagai

manifestasi klinis erupsi alergi obat dari 58 kasus bayi dan anak. Berdasarkan penelitian

yang dilakukan di India pada tahun 2018 ditemukan perbandingan Fixed drug eruptions

pada pria dan wanita yaitu 1 : 1.2 dengan angka kejadian Fixed Drug Eruption tertinggi

yaitu pada usia 31-40 tahun.1,3

FDE disebabkan oleh obat-obat golongan Non Steroid Anti-Inflamatory Drug

(NSAID) seperti diclopenac (18,6%), Cotrimoxazole (16,27%), Ciprofloxacin

(13,95%), Ibuprofen (11,62%), Ofloxacin (10,46%), Phenytoin (10,46%),

Metronidazole (6,97%), Carbamazepine (5,81%), Levofloxacin (2,32%), dan

Gatifloxacin (2,32%).3

2
2.3. Etiopatogenesis

2.3.1. Patomekanisme Fixed Drug Eruption

Reaksi kulit terhadap obat dapat terjadi melalui dua mekanisme, yaitu

mekanisme non-imunologik atau imunologik.5 Mekanisme non-imunologik meliputi

overdosis, efek samping farmakologis, toksisitas kumulatif, toksisitas yang tertunda,

interaksi obat, perubahan metabolisme, dan eksaserbasi penyakit. Sedangkan erupsi obat

idiosinkratik merupakan reaksi yang tidak dapat diprediksi dan tidak dapat dijelaskan

atas dasar sifat farmakologi obat. Untuk beberapa reaksi ini, mekanisme imunologi

diduga sebagai penyebabnya disertai bukti yang mendukung. Metabolit reaktif obat

dapat berikatan secara kovalen dengan protein, dan protein yang diubah, dianggap

asing, sehingga akan menginduksi respon imun.5

Erupsi obat yang sering adalah reaksi hipersensitivitas dengan mekanisme

imunologi yang mendasari. Obat atau metabolitnya dapat bertindak sebagai hapten yang

menginduksi respon sel-mediasi atau respon humoral tertentu. Reaksi hipersensitivitas

berdasarkan klasifikasi Gell-Coombs terbagi empat yaitu, reaksi hipersensitivitas tipe I

(IgE-dependent) seperti urtikaria, angioedema dan anafilaksis, reaksi hipersensitivitas

tipe II (reaksi sitotoksik) seperti petechiae sekunder akibat trombositopenia yang

diinduksi oleh obat, reaksi hipersensitivitas tipe III (kompleks antigen-antibodi) seperti

vaskulitis, serum sickness dan tipe urtikaria tertentu, dan reaksi hipersensitivitas tipe IV

(Possible delayed-type) seperti erupsi eksantematosa, fixed and lichenoid drug

eruptions, serta Sindrom Stevens-Johnson (SJS) dan TEN.6

Obat-obatan yang menginduksi ADR dapat menciptakan reaksi yang dimediasi

imun melalui beberapa mekanisme. Kebanyakan obat perlu dimetabolisme menjadi

bentuk yang lebih aktif atau lebih imunogenik untuk mengikat protein dan

3
menyebabkan reaksi imunologi. Metabolit obat juga bisa menjadi toksik bagi sel,

sehingga menyebabkan kerusakan sel secara langsung. Metabolisme ini terjadi pada

sistem sitokrom P450 di hati.7

Gambar 1. Skema patogenesis erupsi obat8

Pada gambar di atas, ditunjukkan bahwa keadaan kritis dapat menginduksi respon

imun kutaneus terhadap obat, selain itu proses pembentukan neoantigen dengan

haptenasi protein dan aktivasi sel Langerhans. Antigen yang ditangkap oleh sel

Langerhans bersama dengan sinyal inflamasi menyebabkan maturasi sel Langerhans.

Maturasi sel Langerhans ini melepaskan sinyal langsung ke limfo nodus, dimana sel

Langerhans mempresentasi antigen ke sel T dan dapat berikatan secara kovalen atau

non-kovalen ke kompleks MHC II-peptida (major histocompatibility). Ikatan dengan

reseptor sel T akan mengeluarkan sinyal berupa CD80/CD38 yang menghasilkan

ekspansi klonal sel T reaktif-xnobiotik, yang berperan dalam mempresentasi alergen.6,8,

4
Sel T CD4+ dan CD8+ memiliki aktivitas sitotoksik yang dapat menyebabkan

kematian keratinosit. Sel CD4+ Th1 mengaktifkan makrofag yang berperan sebagai sel

efektor.13 Sel CD4+ Th1 melepas sitokin (IFN-ˠ) yang mengaktifkan makrofag dan

menginduksi inflamasi serta kematian sel.6,8,13

Erupsi obat secara klasik dimulai pada hari ke-7 hingga 14 setelah pemberian obat

baru dan bahkan dapat terjadi beberapa hari setelah obat dihentikan. Namun, erupsi

dapat berkembang lebih cepat, terutama dalam kasus-kasus yang tidak disengaja. Lesi

dimulai sebagai makula eritematosa yang kadang-kadang menjadi sedikit teraba dengan

distribusi yang biasanya simetris. Erupsi dimulai pada truncus dan ekstremitas atas yang

semakin konfluen. Biasanya berbentuk polimorfik dengan morbiliformis atau kadang-

kadang lesi urtikaria pada ekstremitas, area konfluen pada thoraks, dan lesi purpura

pada pergelangan kaki dan kaki. Pada selaput lendir biasanya tidak didapatkan lesi.

Pruritus dan demam ringan sering muncul. Erupsi itu mungkin skarlatiniformis pada

trunkus. Erupsi menghilang secara spontan setelah satu atau dua minggu tanpa

komplikasi dan / atau gejala sisa.6

Fixed Drug Eruption adalah suatu bentuk klasik dari hipersensitif tipe lambat yang

berkaitan dengan sel T CD8+. Biasanya lesi FDE muncul kurang lebih 2 jam setelah pemberian

obat kauskatik. Pada beberapa penelitian berpendapat bahwa sel mast di epidermis akan

teraktivasi dan melepaskan sel T CD8+ setelah pemberian obat kauskatik.8

Sel CD8+T intraepidermal yang berkumpul pada lesi Fixed Drug Erupsion (FDE)

memiliki peran yang besar dalam kerusakan jaringan yang lokalisir. Lesi FDE yang sudah lama

ditandai dengan jumlah sel CD8+T intraepidermal yang signifikan bersamaan dengan fenotipe

effektor-memori yang bersusun sejajar dengan sisi epidermal di dermoepidermal junction.

Limfosit T yang menetap di lesi kulit ini berperan dalam memori imunologis dan menjelaskan

rekurensi lesi pada tempat yang sama.6,8

5
Pada umumnya jumlah sel T yang dapat ditemukan di epidermis sedikit. Namun sel T

dapat meningkat pada tempat yang menjadi port de entry terhadap infeksi. Dalam mendukung

mekanisme pertahanan tubuh, sel T dan fenotipe efektor-memori cenderung berpindah ke

daerah infeksi seperti daerah mukosa. Sering ditemukan lesi FDE mulanya muncul pada daerah

yang sebelumnya pernah luka, seperti luka bakar atau gigitan serangga. Kerusakan jaringan

terjadi akibat dari aktivasi sel T CD8+ intraepidermal yang mematikan keratinosit sekeliling

dan melepaskan jumlah sitokin yang banyak seperti IFNy. Sitokin atau molekul adhesive yang

nonspesifik mempresentasikan sel T CD4+, CD8+ dan neutrofil ke sel jaringan yang khusus

tanpa ada antigen terhadap sel jaringan tersebut dapat memperberat kerusakan jaringan.6,8

2.4.Gejala Klinis

2.4.1. Fixed Drug Eruption

Fixed Drug Eruption biasanya muncul secara soliter, eritem, berwarna merah

menyala atau merah kehitaman berbentuk makula atau plak berwarna merah yang bisa

berkembang menjadi bulla. FDE umumnya ditemukan di genitalia dan daerah perianal,

meskipun lesi dapat terjadi dimana saja. Lesi boleh timbul pada wajah, sekitar mulut

dan bibir.Lesi biasanya muncul berbentuk bulat atau oval, makula merah terang atau

merah kehitaman yang boleh berevolusi menjadi plak edamatosa. Kadang-kadang

disertai rasa terbakar atau menyengat.4

Lesi dapat berkembang seawal 30 menit hingga 8 jam setelah konsumsi obat.

Apabila fase lesi ini muncul yang berlangsung berhari-hari, hiperpigmentasi akan

terjadi.1 Dengan pemberian obat yang berterusan, lesi tidak hanya berulang di tempat

yang sama, tetapi juga lesi baru akan muncul di daerah sekitar atau di daerah yang lain.

Apabila terjadi penyembuhan timbul pengelupasan yang diikuti dengan perubahan

6
warna yang menetap di daerah lesi dimana warna lesi menjadi lebih gelap atau

kecoklatan.1

Gambar 1. Fixed drug eruption: tetracycline. Plak berbatas tegas dan jelas pada lutut, gabungan dari 3 lesi. Lesi
besar menunjukkan kerutan epidermal, tanda pembetukan blister insipien. Ini adalah episode kedua setelah konsumsi
tetrasiklin. Tidak ada lesi lain yang muncul.4

Gambar 2. Fixed drug reaction

7
2.5. Diagnosis

Diagnosis FDE ditegakkan berdasarkan anamnesis dan gambaran klinis yang

khas. Riwayat perjalanan penyakit yang rinci, termasuk pola gejala klinis, macam obat,

dosis, waktu dan lama pajanan serta riwayat alergi obat sebelumnya penting untuk

membuat diagnosis. Selain itu pemeriksaan laboratorium dapat dilakukan untuk

menunjang diagnosis9

2.5.1 Anamnesis

Keluhan pasien berupa kemerahan atau luka pada sekitar mulut, bibir, atau di

alat kelamin, yang terasa panas. Keluhan timbul setelah mengkonsumsi obat-obat yang

sering menjadi penyebab seperti Sulfonamid, Barbiturat, Trimetoprim, dan analgetik.

Anamnesis yang dilakukan harus mencakup riwayat penggunaan obat-obatan atau jamu.

Kelainan timbul secara akut atau dapat juga beberapa hari setelah mengkonsumsi obat.

Keluhan lain adalah rasa gatal yang dapat disertai dengan demam yang subfebril.10

2.5.1.1 Faktor Risiko :

1. Riwayat konsumsi obat ( jumlah, jenis, dosis, dan cara pemberian)


Beberapa obat yang dapat menimbulkan erupsi ialah seperti sulfonamid,

barbiturat, trimetoprim, dan analgetik. Mahboob dkk, dalam penelitiannya

menyebutkan kotrimoksasol sebagai penyebab tersering FDE, diikuti tetrasiklin,

metronidazole, dan karbamazepin9

2. Riwayat alergi obat sebelumnya

2.5.2 Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik tanda berupa lesi khas vesikel, bercak eritema, lesi target

berbentuk target bentuk lonjong atau nummular, bercak hiperpigmentasi dengan

8
kemerahan di tepinya, terutama lesi yang berulang. Tempat predileksi paling sering di

sekitaran mulut, tangan dan area genital.10

2.5.3 Pemeriksaan penunjang

Diperlukan untuk membuktikan jenis obat yang diduga sebagai penyebab yaitu :

1. Biopsi kulit dilakukan pada kelainan kulit yang tidak jelas diagnosisnya dan

untuk menyingkirkan diagnosis lain.

2. Uji tempel tertutup dengan uji kulit yang digunakan untuk memastikan

penyebab/allergen yang diduga menjadi penyebab. Dilakukan dengan

menempelkan alergen penyebab di kulit. Uji tempel tidak di anjurkan

dilakukan selama erupsi masih aktif maupun sesudahnya, uji tempel

sebaiknya dilakukan sekurang-kurangnya 6 minggu setelah erupsi berkurang.

Uji tempel obat ini menggunakan alergen yang dibuat dari obat yang dicurigai

yang dilarutkan dalam vaselin album dan aquadest pada konsentrasi 30%15.

Pembacaan tes tempel dilakukan berdasarkan skor dimana jika hanya

makulopapular yang tidak jelas digambarkan sebagai reaksi meragukan, jika

terdapat eritema, infiltrasi atau papul dianggap sebagai lemah positif (non

vesikuler), jika terdapat vesikel dianggap positif kuat, dan jika terdapat lepuh

maka diintrepretasi sebagai ekstrim positif.

3. Uji provokasi oral merupakan metode pemberian obat terkontrol untuk

menegakkan diagnosis reaksi hipersensivitas terhadap obat pada pasien

dengan riwayat dugaan alergi obat. Uji ini bertujuan untuk mencetuskan tanda

dan gejala klinik yang lebih ringan dengan pemberian obat dosis kecil 1/10

9
dari obat penyebab sudah cukup untuk memprovokasi reaksi dan provokasi

biasanya sudah muncul dalam beberapa jam .12

2.6 DIAGNOSIS BANDING

1. Herpes simpleks

Lesi pada Fixed Drug Eruption dapat menyerupai herpes simpleks.

Herpes simpleks sendiri merupakan infeksi yang disebabkan oleh virus

herpes simpleks tipe 1 (HSV-1) dengan predileksi utama pada oralabial dan

virus herpes simpleks tipe 2 (HSV-2) dengan predileksi utama pada genital.

Herpes simpleks dapat ditularkan melalui kontak langsung, saliva dan

hubungan seksual. 11

Gejala akan muncul 3-7 hari setelahh terpapar. Penyakit ini diawali

dengan malaise, limfadenopati, anorexia dan kadang demam, lalu diikuti

dengan munculnya vesikel-vesikel pada kulit dengan dasar eritem yang

berkembang menjadi pustul,krusta, erosi dan ulkus. Lesi ini terasa nyeri,

seperti terbakar dan seperti tertusuk.11

Gambar 2. Herpes Simpleks

10
2. Pemfigus vulgaris

Pemfigus adalah kelompok penyakit blistering autoimun yang

ditandai dengan temuan histologi hilangnya adhesi antar sel-sel keratinosit

dan juga temuan immunopatologi bahwa adanya IgG yang merusak

permukaan sel keratinosit. Semua orang dengan pemfigus vulgaris

mendapatkan bulla pada kulit dan erosi pada mukosa.11

Gambar 3. Pemfigus vulgaris

2.7 Penalataksanaan

Mengetahui riwayat pasien dan membuat bagan obat mungkin diperlukan


dalam membantu mengidentifikasi obat penyebab keluhan. Pasien dan keluarga
harus menyadari bahwa ini adalah reaksi seumur hidup dan dapat berulang dengan
obat yang sama, atau dengan obat dari kelas struktur yang sama. Dalam kasus di
mana obat penyebab keluhan tidak dapat dihentikan, diskusi harus diadakan
mengenai risiko dan manfaat dari obat ini, baik dengan dokter kulit dan tim
subspesialis yang bersangkutan. Dalam hal ini, ruam akan memburuk sebelum
akhirnya menjadi lebih baik dan sembuh. Pasien harus dibuat sadar bahwa
pruritus dan eritema mungkin parah.14

11
Pemberian kortikosteroid sangat penting pada kondisi alergi obat sistemik,
kortikosteroid diharapkan mampu meningkatkan kinerja steroid endogen untuk
menurunkan respon inflamasi. Obat kortikosteroid yang sering digunakan adalah
tablet prednisone (1 tablet = 5 mg atau 10 mg) dengan dosis 0,5-1
mg/kgBB/hari.12
Penanganan selanjutnya adalah dengan penggunaan kortikosteroid Topikal
Potensi Sedang-Tinggi. Steroid topikal potensi sedang atau tinggi (seperti
triamsinolon asetonid 0.1%, fluosinonid 0.05%, betametason diproprionat 0.05%
atau klobetasol 0.05%) dapat membantu meringankan pruritus. Krim atau lotion
berguna untuk area permukaan yang luas. Potensi steroid topikal yang lebih
rendah, seperti hidrokortison 2.5% atau desonida 0.05%, dapat diberikan untuk
wajah dan daerah lipatan. Pasien harus diperingatkan untuk tidak menggunakan
steroid topikal yang kuat pada wajah atau di lipatan.14
Penanganan ketiga adalah dengan pemberian antihistamin. Antihistamin
juga berguna ketika gatal parah. Golongan antihistamin terbagi 2 yaitu, golongan
antihistamin generasi pertama (H1) dan generasi kedua (H2). Umurn-umurn ini
adalah anti reseptor H1 dan memblokir pelepasan histamin, dapat memberikan
pengobatan gejala pruritus dan membantu memperbaiki erupsi.(14). Contohnya
Dyphenhydramine, Loratadine, atau Cetrizine.14

Tabel 1. Dosis Rejimen untuk Antihistamin H17


Nama Obat Sediaan Dosis Kondisi yang
Membutuhkan
Penyesuaian Dosis

12
Generasi pertama H1
Chlorpheniramine 2-, 4-, 8-, 12-mg Dewasa: 4 mg tid, qid; 8–12 mg Gangguan Hepar
tablet bid
2 mg/5 mL sirup Umur 6–11 tahun: 2 mg q4–6h
Cyproheptadine 4-mg tablet Dewasa: 4 mg tid, qid Gangguan Hepar
2 mg/5 mL sirup Umur 7–14 tahun: 4 mg bid, tid

D iphenhydramine 25-, 50-mg tablet Dewasa: 25–50 mg q4–6h Gangguan Hepar


12.5 mg/5 mL sirup Umur 6–12 tahun: 12.5–25 mg
50 mg/15 mL sirup q4–6h
6.25 mg/5 mL sirup Umur <6 tahun: 6.25–12.5 mg
12.5 mg/5 mL sirup q4–6h
Hydroxyzine 10-, 25-, 50-, 100-mg Umur ≥6 tahun: 25–50 mg q6– Gangguan Hepar
tablet 8h atau qhs
10 mg/5 mL sirup Umur <6 tahun: 25–50 mg qd
T ripelennamine 5-, 50-, 100-mg Dewasa: 25–50 mg q4–6h Gangguan Hepar
tablets

Generasi kedua
Antihistamine H1
A crivastinea 8-mg tablet Dewasa: 8 mg tid Gangguan Ginjal
A zelastine 2-mg tablet Dewasa: 2–4 mg bid Gangguan Ginjal dan
Umur 6–12 tahun: 1–2 mg bid hepar
2 semprot/nostril bid

Cetirizine 0.1% nasal spray Umur ≥6 tahun: 5–10 mg qd Gangguan Ginjal dan
5-, 10-mg tablet Umur 2–6 tahun: 5 mg qd hepar
5 mg/mL sirup Umur 6 bulan–2 tahun: 2.5 mg
qd
D esloratadine 2.5-, 5-mg tablet Umur ≥12 tahun: 5 mg qd Gangguan Ginjal dan
5 mg/mL sirup Umur 6–12 tahun: 2.5 mg qd hepar
Umur 1–6 tahun: 1.25 mg qd
Umur 6–12 bulan: 1 mg qd
E bastineb 10-mg tablet Umur ≥6 tahun: 10–20 mg qd Gangguan Ginjal
Umur 6–12 tahun: 5 mg qd
Umur 2–5 tahun: 2.5 mg qd
F exofenadine 30-, 60-, 120-, 180- Umur ≥12 tahun: 60 mg qd, bid; Gangguan Ginjal
mg tablet 120–180 mg qd
Umur 6–12 tahun: 30 mg qd, bid
Umur ≥6 tahun: 5 mg qd
L evocetirizine 5-mg tablet Umur ≥6 tahun: 10 mg qd Gangguan Ginjal dan
L oratadine 10-mg tablet Umur 2–9 tahun: 5 mg qd hepar
5 mg/mL suspension
10-mg tablet Dewasa: 10 mg qd Hepar
Mizolastineb Gangguan Gangguan Ginjal dan
hepar

Adapun golongan antihistamin generasi kedua (H2) kurang menyebabkan kantuk


dibandingkan generasi pertama.

13
Tabel 4. Dosis Rejimen untuk Antihistamin H27
Nama Obat Sediaan Dosis Kondisi yang
Membutuhkan
Penyesuaian Dosis

Cimetidine 100-, 200-, 300-, Dewasa: 400–800 mg bid Gangguan Ginjal dan
400-, 800-mg hepar
tablet
300 mg/5 mL sirup
200 mg/20 mL sirup
Ranitidine 75-, 150-, 300-mg Dewasa: 75–150 mg bid
tablet Anak: 5–10 mg/kg/hari dibagi Gangguan Ginjal
15 mg/mL sirup dalam 2 dosis
150-mg granules
Famotidine 10-, 20-, 40-mg Dewasa: 20–40 mg bid
tablet Umur 1–16 tahun: 1 mg/kg/hari Gangguan Ginjal
40 mg/5 mL sirup dibagi dalam 2 dosis, maks 40
mg bid
Nizatidine 150-, 300-mg Umur ≥12 tahun: 150 mg qd, bid Gangguan Ginjal
capsule
15-mg/5-mL sirup

2.8 PENCEGAHAN, KOMPLIKASI, PROGNOSIS


Apabila obat penyebab erupsi obat alergi telah dapat dipastikan maka sebaiknya
kepada penderita diberikan catatan berupa kartu kecil yang memuat jenis obat tersebut
(serta golongannya). Kartu tersebut dapat ditunjukkannya bilamana diperlukan
(misalnya apabila penderita berobat), sehingga dapat dicegah pajanan ulang yang
memungkinkan terulangnya erupsi obat alergi.14
Pada manifestasi berat, dapat terjadi komplikasi berupa kecacatan dan kematian.
Hasil sebuah penelitian menunjukkan bahwa angka kematian pada kasus erupsi kulit
akibat obat kurang lebih sebesar 3,9%, dengan penyebab kematian tersering adalah
sepsis, gangguan elektrolit, dan pneumonia. Kecacatan yang pernah dilaporkan
merupakan komplikasi SJS/TEN, yaitu berupa kebutaan, perlekatan jaringan mukosa
dan striktur, kerusakan kuku, pigmentasi kulit, dan gejala kulit kering12
Prognosis erupsi kulit akibat obat dipengaruhi oleh berat ringannya manifestasi
klinis. Pada umumnya prognosis cukup baik, terutama bila obat penyebab pasti segera
diketahui dan dihentikan pemakaiannya.14

14
BAB 3

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

1. Obat-obatan yang paling sering menyebabkan fixed drug eruption adalah adalah

tetrasiklin, sulfonamid, metronidazole, nistatin, salisilat, Non Steroid Anti

Inflammatory Drugs (NSAIDs), phenacetin, fenilbutazone, kontrasepsi oral,

barbiturat, kuinin dan fenolftalein

2. Fixed Drug Eruption merupakan suatu reaksi hipersensitivitas tipe IV dengan

effloresensi yaitu makula/plak eritem berwarna merah-keunguan

3. Pengobatan Fixed Drug Eruption dengan menghentikan penggunaan obat yang

menyebabkan erupsi pada kulit dan dapat digunakan kortikosteroid untuk

menurunkan proses inflamasi.

15
DAFTAR PUSTAKA

1. Rochman M, Khamilatusy S. Fixed Drug Eruption pada Perioral akibat Obat

Golongan Quinolone. J Ked Gi Unpad. Desember 2018;30(3):201-206

2. Keumala, Windy. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi 7.Jakarta:Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia.2016. P190-5.

3. Janardhan,B. Prevalance and Pattern of Adverse Cutaneus Drug Reactions

Presenting to a Tertiary Care Hospital. Int J Res Dermatol.. January-March

2017;3(1) : 74-77

4. Shear, Neil H. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. Eight Edition

Volume 2. McGraw Hill.2012. P.450,454,457,591

5. William D. James, etc. Andrew’s Disease of the Skin: Clinical Dermatology.

Twelfth Edition. Philadelphia:Elsevier. 2016. P.112-6

6. Revuz J, Allanore L. Drug Reactions. In: Bolognia Dermatology. 2nd ed.

Spanyol: Mosby Elsevier; 2008. p. 301.

7. Wolff K, Johnson R, Saavedra A. Cutaneous Reactions to Drugs. In:


Fitzpatrick’s Color Atlas and Synopsis of Clinical Dermatology. Amerika
Serikat: Mc Graw Hill Education; 2013. p. 488–94.
8. Svensson C. Biotransformation of Drugs in Human Skin. DMD J.
2014;37(2):247–53.
9. Susilawati A, Gambaran Klinis Fixed Drug Eruption pada Anak di Rumah Sakit

Cipto Mangunkusumo. Jakarta. Sari Pediatri, 2014;15(5):269-73

16
10. Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter Di Fasilitas

Pelayanan Kesehatan Primer. Edisi revisi. Jakarta: IDI;2014. Bab3, Kulit: Fix

Drugs Eruption. P 507-512.

11. Alanore,LV., etc. Dermatology. Fourth edition. Elsevier. 2018. P.494,499,

1408,1409, 1427,1428, 1591, 1594, 1622.

12. Budianti WK. 2018. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Ed 7.Jakarta: Badan

PenerbitFKUI. 2018. Bab 2: Erupsi Obat Alergi.Pp 190-195.

13. Ardern-Jorden,Michael R dan Lee HY. Rook’s textbook of dermatology. Ninth

Edition Massachusetts: Blackwell Science.2016 P.293-300,3325,3336

14. Ayanlowo OO. Fixed drug eruption at a dermatology clinic in Lagos, Nigeria. J

Clin Sci 2015;12:108-12.

15. Balgis. Peran uji tempelobat dalam penegakan etiologi erupsi obat

makulopapular. Yogyakarta. Universitas Gadja Mada. 2016.

17

Anda mungkin juga menyukai