Anda di halaman 1dari 7

1.

Neuropati HIV
Neuropati merupakan gangguan saraf perifer yang paling banyak ditemukan, pada pasien AIDS.2
Neuropati HIV Infeksi HIV dapat menimbulkan berbagai macam sindrom gangguan saraf perifer,
namun bentuk yang terbanyak dijumpai adalah Polineuropati Simetrik Distal (PSD). Prevalensi
neuropati HIV sangat bervariasi, antara 21-60%, dan hal ini diperkirakan akibat perbedaan definisi dan
metode diagnosis yang digunakan, baik hanya menggunakan gejala klinis atau instrumen skrining
tervalidasi. Dalam klinik ada dua tipe PSD yaitu yang disebabkan oleh HIV dan produknya (PSD-HIV)
dan yang disebabkan oleh antiretroviral toxic neuropathy (ATN-HIV). PSD-HIV banyak dijumpai di
era sebelum antiretroviral digunakan secara luas, biasanya timbul pada pasien HIV stadium lanjut. Pada
awalnya ATN-HIV terjadi pada pasien yang menggunakan obat stavudine, didanosine dan zalcitabine
yang merupakan golongan nucleoside reverse transcriptase inhibitors (NRTIs), namun kemudian juga
dilaporkan pada penggunaan ARV tipe yang lain. Secara klinis kedua bentuk ini sebagian besar
memberikan gejala dan tanda yang sama, yaitu polineuropati sensorik yang bersifat simetrik pada
bagian distal ektremitas.1
a. Patogenesis
Terdapat dua mekanisme neurotoksisitas pada neuropati HIV, yaitu toksisitas direk HIV
terhadap neuron, dan toksisitas indirek melalui respons inflamasi dan produk protein virus. Efek
toksisitas direk ditentukan oleh status imunosupresi, yang direfleksikan dengan rendahnya hitung
CD4 dan tingginya viral load, merupakan faktor risiko utama kejadian neuropati pada HIV.
Tingginya viral load yang dideteksi atau rendahnya hitung CD4 absolut pada pasien menandakan
tingginya aktivitas infeksi HIV dan semakin toksik terhadap sel neuron.
Bukti terkuat efek neurotoksisitas indirek pada susunan saraf perifer adalah melalui peran dari
glikoprotein 120 (gpl20). Gpl20 yang merupakan glikoprotein yang diekspresikan pada permukaan
selubung HIV. Secara in vitro, gpl20 dapat menginduksi lisis sel saraf pada sel-sel ganglion akar
dorsal dan mengaktivasi makrofag, yang kemudian pelepasan mediator inflamasi yang bersifat
neurotoksik, seperti TNF-alfa dan interleukin-l, berakibat pada kematian sel neuron melalui
mekanisme neurotoksisitas yang dimediasi oleh TNF reseptor. Sedangkan secara in vivo, aplikasi
gpl20 pada nervus isiadikus hewan coba menyebabkan infiltrasi makrofag dan edema saraf.
Sebagai tambahan, saat ini didapatkan bukti adanya kerusakan DNA mitokondria yang lebih
berat pada pasien HIV dengan PSD. Derajat kerusakan mitokondria pada bagian distal nervus
suralis lebih berat dibandingkan bagian proksimal dekat dengan ganglion akar dorsal. Distribusi ini
yang diperkirakan menjadi dasar mekanisme fenotip klinis neuropati yang bersifat length-
dependent.
Neuropati juga merupakan salah satu efek samping yang diakibatkan oleh penggunaan NRTIs,
seperti stavudin, didanosin, zalcitabin. Meskipun penggunaannya mulai ditinggalkan karena
tingginya angka neuropati yang ditimbulkan, namun beberapa negara miskin maskin
mengggunakan NRTIs, terutama stavudin, karena murah dan banyak tersedia. Toksisitas akibat
NRTIs juga diperkirakan akibat efek toksik terhadap mitokondria. NRTIs dapat mempengaruhi
fungsi enzim gamma polimerase yang mengakibatkan deplesi atau perubahan kualitatif DNA
mitokondria, yang berakhir pada gangguan fungsi mitokondria.1
Sebagian penderita yang mendapatkan stavudine memerlukan penghentian obat dan diganti
dengan obat lain, misalnya zidovudine. Meuropati akibat ARV biasanya memunculkan gejala dalam
waktu 4 sampai 6 bulan setelah mulai pengobatan.
b. Faktor Risiko
Terdapat beberapa faktor risiko yang meningkatkan angka kejadian neuropati pada HIV yaitu
usia, jenis kelamin, tinggi badan, indeks massa tubuh, efek toksik obat lain seperti isoniazid dan
infeksi virus sitomegalo. Faktor metabolik seperti diabetes mellitus dan konsumsi alcohol juga
dapat menyebabkan neuropati.
c. Gejala klinis
PSD HIV melibatkan serabut saraf besar dan serabut saraf kecil, walaupun demikian
manifestasi klinis yang dijumpai lebih banyak memperlihatkan proses patologi pada serabut saraf
kecil. Serabut saraf besar, merupakan serabut saraf bermielin, dan terdiri dari serabut saraf A alfa
dan A beta, dan memiliki fungsi terhadap kekuatan kontraksi otot, sensasi raba halus,
vibrasi/getaran, dan proprioseptif atau rasa posisi. Serabut ini juga mengatur mengenai refleks
tendon yang umumnya ditemukan menurun pada pasien dengan neuropati. Sedangkan serabut saraf
kecil merupakan serabut saraf yang memiliki diameter lebih kecil dari 7 µm, dan terdiri dari serabut
saraf Aδ yang bermielin dan serabut saraf C yang tidak bermielin. Serabut ini memiliki jumlah yang
jauh lebih banyak daripada serabut saraf besar dan merupakan serabut saraf yang lebih dahulu dan
paling banyak terkena.
Gejala PSD HIV, umumnya bersifat distal, simetris, dan predominan mengenai saraf sensorik.
Pasien umumnya baru berobat setelah muncul gejala. Namun diperkirakan angka neuropati
asimtomatik sebenarnya cukup tinggi dan banyak yang tidak terdiagnosis. Gejala utama yang
muncul ialah menurun atau absennya refleks achiles dan penurunan sensasi vibrasi dan pinprick
pada ekstremitas bawah. Munculnya kelemahan atau atrofi sebagai manifestasi lanjut neuropati
dapat terjadi, meskipun sangat jarang. Pasien dapat bersifat asimtomatik saat gejala ini ditemukan.1
Gejala klinis neuropati sensorik berkembang perlahan namun progresif, dimulai dari bagian
distal secara sistemik. Keluhan yang dapat ditemui antara lain rasa tebal, kesemutan, atau nyeri pada
distribusi stocking-glove. Parestesia merupakan gejala yang paling sering dijumoi, biasanya dimulai
dari ujung kaki.2 Nyeri neuropati yang muncul ialah akibat kerusakan serabut saraf kecil yang
memberikan manifestasi positif, yaitu parestesi dan nyeri, gangguan sensasi, suhu dan disfungsi
otonom. Nyeri diduga karena degenerasi pada fasikulus grasilis dan hilangnya akson sensorik
bagian distal.1
d. Diagnosis
Neuropati HIV dapat didiagnosis berdasarkan pemeriksaan klinis, dengan alat bantu diagnostik,
hingga biopsi kulit sebagai Gold Standard Diagnosis. Pada pemeriksaan klinis dapat dijumpai
keluhan nyeri neuropatik, gangguan sensorik, serta gangguan refleks, sensasi vibrasi, hingga
disekuilibrium dan gangguan motorik pada neuropati berat. Sedangkan alat bantu diagnostik yang
digunakan dapat berupa instrumen skrining tervalidasi, pemeriksaan elektrofisiologi, dan
stimulated skin wrinkling test yang akan dijelaskan kemudian.
Brief Peripheral Neuropathy Screen (BPNS) yang dikembangkan oleh AIDS Clinical Trials
Group (ACTG) merupakan instrumen sederhana dan mudah digunakan untuk skrining neuropati.
BPNS terdiri dari 3 keluhan subjektif dan 2 temuan objektif pemeriksaan neurologi, yaitu. adanya
sensasi nyeri atau rasa terbakar di tungkai dan kaki, parastesi di tungkai dan kaki dan sensasi baal
dan tebal di tungkai dan kaki dan adanya gangguan sensasi vibrasi pada distal ibu jari kaki dan
maleolus dan penurunan refleks achiles.
Pada neuropati HIV pemeriksaan elektroneurografi sering kali menunjukkan gambaran patologi
pada serabut saraf besar berupa penurunan amplitudo disertai dengan penurunan KHS (kecepatan
hantar saraf) saraf sensorik atau sensory nerve action potential (SNAP). Walaupun demikian perlu
diingat bahwa pemeriksaan elektroneurografi tidak selalu memperlihatkan kelainan bila patologi
utama hanya pada serabut saraf kecil. Pemeriksaan Stimulated Skin Wrinkling (SSW) merupakan
pemeriksaan sederhana yang melihat adanya vasokonstriksi di kulit, akibat perangsangan serabut
saraf simpatis post-ganglion. Pemeriksaan ini memperlihatkan proses patologi pada serabut saraf
kecil memiliki korelasi terhadap penurunan densitas serabut saraf intraepidermal yang banyak
dijumpai pada neuropati HIV.
Hasil biopsi kulit dan saraf sebagai standar baku emas diagnosis neuropati dapat menunjukkan
adanya penurunan densitas serabut saraf bebas dan edema terminal saraf. Derajat kerusakan saraf
berkorelasi dengan nyeri neuropatik yang muncul. Biopsi saraf lebih jarang dikerjakan karena lebih
invasif, namun perlu dipikirkan pada pasien dengan manifestasi neuropati yang atipikal, progresif,
dan predominan saraf motorik.
e. Terapi
Sebagian besar kasus PSD pada HIV bersifat subklinis, namun adanya keluhan nyeri akan
menimbulkan masalah yaitu dapat mempengaruhi kualitas hidup dan mengaruhi adherence terhadap
pengobatan ARV.1 Terapi yang dipilih pada PSD HIV umunya terapi simtomatik untuk mengatasi
nyeri neuropatik yang dialami pasien. Obat yang sering digunakan antara lain gabapentin,
pregabalin, dan lamotrigin.2 Adjuvan nyeri berupa antidepresan juga sering ditambahkan, seperti
amitriptilin atau duloksetin. Namun hingga saat ini, nyeri neuropatik yang muncul pada HIV sangat
sulit diatasi. Masih dikembangkan berbagai uji klinik untuk mengatasi nyeri pada PSD HIV. Tiga
jenis pengobatan yang memperlihatkan efektivitas dalam uji klinik adalah capsaicin topikal,
cannabis and preparat Nerve Growth Factor.1
2. HIV-Associated Neurocognitive Disorders (HAND)
Salah satu komplikasi HIV yang sering ditemui ialah gangguan kognitif. Meskipun pemberian obat
antiretroviral (ARV) sudah menurunkan angka gangguan kognitif yang progresif dan berat, namun studi
di seluruh dunia masih menunjukkan rendahnya performa kognitif pasien HIV bila diperiksa dengan
instrumen neurokognitif. Faktor yang berkontribusi adalah toksisitas direk HIV ke sistem saraf pusat,
adanya kondisi komorbid seperti infeksi oportunistik SSP, toksisitas ARV, serta diperkirakan adanya
proses inflamasi yang juga berkorelasi dengan kejadian gangguan kognitif.1
HAND merupakan kasus yang sangat sering dengan ditandai kelainan kognisi, motor sentral dan
gangguan perilaku. Beberapa nama yang sering pakai dalam kasus ini anatara AIDS dementia Complex,
HIV associated Dementia dan lainnya.3
Prevalensi demensia pada penderita HIV pada masa sebelum HAART (highly active anti retroviral
therapy) adalah 20-30%, dan angka ini turun 50% setelah HAART secara luas digunakan. Demensia
HIV adalah sindrom klinis yang ditandai dengan gangguan kognitif dan motoric yang menyebabkan
hambatan menjalankan aktivitas hidup sehari-hari.2
Tahun 2006, APNAC study (the Asia Pacific NeuroAIDS Consortium) melakukan penelitian
potong lintang di Asia Pasifik untuk mengetahui prevalensi gangguan kognitif. Di Indonesia didapatkan
7 dari 61 pasien HIV yang dianalisis mengalami gangguan kognitif.
Pada tahun 2006, NIH dan NINDS menghasilkan definisi konsensus penelitian terkait HIV-
associated neurovognitive impairment (HAND), terbagi menjadi 3 kelompok, yaitu seperti tercantum
pada tabel di bawah ini.
Tabel. Klasifikasi HIV-associated Neurocognitive Disorder (HAND)
a. Patofisiologi
Patofisiologi yang mendasari gangguan kognitif HIV di era ARV lebih ditekankan pada
perubahan fungsi neuron. Tentunya hal ini akan berimplikasi pada strategi terapi yang akan
dikembangkan. Inflamasi memiliki peran yang sangat penting dalam memicu terjadinya
neurodegenerasi pada infeksi HIV. Studi patologi sebelum era ARV memperlihatkan area yang
pucat pada substansia grisea pada kasus demensia HIV. Pada gejala yang lebih ringan temuan
patologi disertai dengan infiltrasi limfosit dan makrofag di perivascular. Pada kondisi lanjut akan
dijumpai kelompok makrofag berbentuk busa (foamy) dan sel berinti banyak (multinucleated cells)
di substansia grisea. Akan tetapi pada sepertiga kasus demensia HIV temuan patologi tidak
berkorelasi dengan derajat keparahan klinis. Pada studi patologi kasus HIV yang telah mendapatkan
ARV, gambaran substansia grisea yang pucat tidak selalu ditemukan. Perubahan integritas
substansia grisea terlihat pada diffusion tensor imaging dan memburuk dengan bertambahnya usia
dan lamanya infeksi. Monosit yang teraktivasi juga memiliki peran yang penting baik pada proses
masuknya virus HIV ke dalam otak maupun terbentuknya infeksi makrofag perivascular, mikroglia
dan astrosit. Meskipun astrosit tidak memproduksi virion pada kondisi normal, namun dapat
memproduksi non-struktural protein seperti tat, Rev dan Nefyang akan memicu inflamasi dan
kerusakan neuron. Setelah terapi ARV, meskipun virus telah disupresi ternyata proses inflamasi
tetap berlangsung. Inflamasi yang dipicu oleh HIV akan menyebabkan proteasome menjadi
immunoproteasome yang akan menghambat regulasi protein di sel otak, mempengaruhi hemostasis
selular dan respons terhadap stress. Sehingga mengakibatkan gangguan pada neuron dan dinamika
protein sinaps yang diduga akan berkontribusi pada kejadian gangguan kognitif. Hipotesa lainnya
menyatakan inflamasi di SSP dipengaruhi oleh microglia yang didasari oleh sirkulasi produk
translokasi mikroba dari bakteri usus dan gangguan pada mikrobiom. Selain itu inflamasi pada
pasien HIV dalam terapi ARV diduga merupakan bentuk lemah dari immune reconstitution
inflammatory syndrome.
b. Manifestasi Klinis
Telah disebutkan pada bagian pathogenesis bahwa terdapat perubahan bentuk klinis HAND
pada era sebelum ARV dibandingkan dengan era ARV. Pada era sebelum ARV, HAND sebagian
besar bermanifestasi sebagai deskripsi klasik dari AIDS dementia complex (ADC), yaitu demensia
subkortikal progresif dengan perlambatan kognitif dan motorik yang prominen, dan umumnya
berakhir dengan kematian kurang dari 1 tahun.1 HAND ini juga sering disebut demesia subkortikal
yang mana gangguan dominan di memori jangka pendek dan fungsi eksekusi cenderung merupakan
awal dari kelainan ini. Pada perjalanan lanjut baru mengenai memori jangka panjang yang disebut
demensia kortikal.3 Perubahan patologis yang muncul pada sindrom ini meliputi atrofi difus,
leukoensefalopati, nodul mikroglia, serta multinucleated giant cells yang diidentifikasi sebagai
HIV. Namun pada era terapi ARV, manifestasi yang muncul lebih menampakkan keterlibatan
struktur kortikal, yang bermanifestasi lebih dominan pada gangguan memori dan fungsi eksekutif.
Oleh karena itu, gejala klinis gangguan kognitif yang muncul saat ini lebih menyerupai penyakit
degeneratif lain, seperti penyakit Alzheimer.1
Manifestasi awal gangguan kognitif pada HIV sangat samar, seringkali disalahartikan dengan
depresi, pengaruh alcohol, narkoba, maupun manifestasi pentakit opportunistic. Dimulai dari
gangguan memori dan kelterlambatan psikomotor. Keluhan pada tahap dini yang sering didapatkan
ialah sering lupa, sulit konsentrasi, hilang libido, dan menarik diri dari kehiduoan social. 2
Keluhan motoric pada tahap awal yang biasa didapatkan ialah keterlambatan motoric,
keterbatasan menulis, dan gangguan berjalan.2
Pemeriksaan kognitif pada pasien HIV mengevaluasi 5 domain kognitif, yaitu:1

 Konsentrasi
 Bahasa
 Abstraksi-eksekutif
 Kemampuan persepsi motorik kompleks
 Memori

c. Terapi
ANI yang merupakan gangguan kognitif ringan pada ODHA merupakan faktor risiko untuk
terjadinya perburukan kognitif pada masa yang akan datang, walaupun demikian masih banyak
faktor lain turut berperan. Faktor lain yang berperan dalam perburukan neurokognitif pada ODHA
adalah umur, gangguan kardiovaskular (hipertensi, diabetes melitus), depresi dan penggunaan
alkohol.
Terapi medis untuk HAND hingga saat ini belum ada yang memberikan hasil yang memuaskan.
Efavirens merupakan salah satu ARV yang memiliki neurotoksisitas yang berhubungan dengan
gangguan neuropsikiatrik. Tata laksana memperbaiki faktor risiko kardiovaskular dan tata laksana
gangguan mental memberikan dampak positif untuk mencegah gangguan kognitif lebih lanjut pada
ODHA.
Strategi penanganan gangguan kognitif pada ODHA yang telah mendapat ARV terdiri dari:

 Menyingkirkan adanya infeksi otak dan infeksi oportunistik: pemeriksaan CD4, viral
load HIV, analisa cairan otak
 Penilaian adherence terhadap ARV
 Mencegah penggunaan ARV neurotoksik: efavirenz
 Tata laksana diet yang baik
 Anjuran olah raga
 Penilaian dan perbaikan sleep hygiene
 Pembatasan alcohol
 Penanganan depresi
Referensi:
1. Sugianto, Paulus. Ganiem, Rizal. Dkk. Modul Neuroinfeksi. 2019: Jakarta. Perhimpunan
Dokter Saraf Indonesia
2. Sudewi, Raka. INfeksi pada system saraf. Jakarta. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf
Indonesia.
3. Munir, Badrul. Manifestasi HIV-AIDS dalam Penyakit Neurologi. Malang. FK Universitas
Brawijaya

Anda mungkin juga menyukai