Anda di halaman 1dari 21

BAB I PENDAHULUAN

Istilah demensia terkait HIV (HIV associated dementia HAD) mencakup spektrum luas perwujudan psikiatri dan neurologi dari infeksi HIV pada SSP. HAD mencakup berbagai derajat gejala kognitif, motor, dan perilaku. Pada bagian akhir spektrum yang parah ini terdapat ADC, satu kondisi yang dapat mengakibatkan kerusakan SSP secara bermakna dan ini merupakan suatu penyulit yang didefinisikan AIDS. Di sisi lain dari spektrum ini adalah MCMD terkait HIV. Ini menggambarkan gejala yang sebenarnya tidak memenuhi syarat untuk demensia karena gejala ini tidak mengganggu kegiatan sehari-hari secara bermakna. Kejadian dan prevalensi ADC berbeda-beda, tergantung dari tahap infeksi dan kelompok yang diteliti. Penelitian sebelum HAART menyatakan bahwa hingga 20% pasien dengan AIDS mengalami demensia HIV dan kejadian tahunan setelah berkembang menjadi AIDS kurang-lebih 7%. Penelitian yang lebih baru kurang jelas mengenai kejadian ADC pada masa HAART, tetapi penelitian di Australia menyimpulkan bahwa ADC meningkat sesuai dengan perbandingan dari penyakit yang didefinisikan AIDS dan sedikitnya sebagian dari peningkatan ini berhubungan dengan rendahnya daya tembus obat antiretroviral terhadap SSP. ADC adalah demensia subkortikal, dan perkembangannya terjadi secara tersembunyi. Sebagai demensia subkortikal, biasanya tidak disertai gejala kognitif fokal, seperti afasia, apraksia, dan agnosia. Gejala motor biasanya menyeluruh. ADC mempunyai tahapan dari 0 sampai 4, dengan tahap 0 adalah fungsi mental dan motor yang normal, dan tahap 4 merupakan tahap akhir, dengan kekurangan kognitif dan motor yang parah. Secara khas, pasien yang menderita HAD mula-mula mengeluhkan terjadinya penurunan kognitif yang ringan, seperti mental yang lamban dan sulit untuk berkonsentrasi, mengingat, dan menyelesaikan tugas. Pada titik ini, hasil pemeriksaan sederhana untuk mengetahui keadaan mental biasanya normal, tetapi beberapa kemunduran psikomotor mungkin terlihat. Gejala motor dapat mencakup mudah kikuk atau gaya berjalan seperti sempoyongan serta refleks-refleks primitif dari hidung (snout), genggaman (grasp), telapak tangan (palmomental), serta pergerakan jari yang melambat dan kesulitan untuk mengatur gerakan mata. Dalam perilaku, menarik diri dari pergaulan, apatis, atau berkurangnya perhatian kepada teman atau kegemaran mungkin terjadi. Terutama pada awal terjadinya,
1

gejala ini mungkin keliru dianggap depresi bila mereka benar-benar menunjukkan pseudodepresi yang umum terjadi pada pasien dengan ADC. Gejala HAD, yang awalnya mungkin ringan, dapat melaju kepada kemerosotan menyeluruh fungsi kognitif, perlambatan psikomotor yang parah, paraparesis, dan tidak dapat menahan untuk buang air kecil dan air besar. Kesadaran terjaga kecuali untuk hipersomnia (sering sangat mengantuk). Diagnosis HAD biasanya dibuat berdasarkan riwayat, penilaian klinis, dan menyingkirkan penyebab perubahan status mental lain yang dapat diobati. Penggambaran jarang membantu kecuali sebagai penolong dalam menyingkirkan penyebab lain. CT dan MRI secara umum menunjukkan atrofi yang merata dengan sulkus yang meluas dan pembesaran bilik jantung, tetapi penemuan ini tidak berkaitan dengan status klinis. Tomografi positron emission (PET) bisa memperlihatkan hipermetabolisme subkortikal pada tahap dini dan hipometabolisme kortikal dan subkortikal pada tahap berikutnya. EEG mungkin normal atau menunjukkan perlambatan yang merata, khususnya pada tahap lanjut. Dalam penelitian terhadap orang HIV-positif nondemensia, hasil CT foton tunggal berkaitan dengan disfungsi kognitif. Sebagaimana yang dinyatakan, pemeriksaan sederhana keadaan mental jarang berguna dalam mendiagnosis ADC. Sebenarnya, deretan tes neuropsikiatri yang lebih luas diperlukan tetapi biasanya di luar jangkauan praktis dari sebagian besar layanan klinis. Sebagian besar penelitian menunjukkan bahwa keluhan subyektif pasien yang bergejala mencerminkan hilangnya kognitif yang objektif dan tidak dapat dijelaskan melalui gangguan depresi psikiatri. Sedikitnya satu penelitian menyimpulkan bahwa pada orang yang bergejala, tidak ada hubungan antara keluhan yang subjektif dan fungsi kognitif, tetapi keluhan ini terkait dengan afeksi dan suasana hati. Skala demensia HIV lebih praktis, yang terdiri dari empat subset yang mengukur keterampilan kognitif dan motor dan dapat dilakukan pada pasien yang rawat inap atau pun pasien rawat jalan saat kunjungan ke dokter. Pada masa sebelum HAART, sedikit yang dapat dilakukan untuk menghentikan laju HAD. Namun, selama beberapa tahun terakhir, ada peningkatan bermakna dalam pemahaman neuropatogenesis penyakit HIV di otak serta dampak obat antiretroviral pada SSP dan penyerapannya ke dalam SSP. Dengan peningkatan pemahaman tentang patogenesis, ada sejumlah bukti yang terus berkembang yang mendukung pengobatan infeksi HIV yang mendasarinya. Tinjauan ulang terhadap penelitian yang menunjukkan perbaikan penyakit HIV di otak dengan HAART jauh di luar cakupan artikel ini; namun, berdasarkan data ini, terapi antiretroviral dengan obat yang dapat menembus SSP secara optimal (AZT, ddI, d4T, nevirapine, efavirenz, indinavir) sebaiknya diteruskan secara agresif sebagai sarana untuk
2

memperlambat, atau dalam beberapa kasus, membalik arah laju HAD. Tentu saja, karena kepatuhan adalah hal yang tidak mungkin pada pasien dengan HAD tahap apa pun, sangat diperlukan adanya pengawasan terhadap pengobatan termasuk terapi dengan pengawasan langsung (directly observed therapy DOT). Psikostimulan (pemolin, metilfenidat, dekstoamfetamin) mungkin berguna untuk mengobati apatis dan perlambatan psikomotor. Antidepresan sebaiknya dipakai untuk mengobati depresi yang terjadi bersamaan, tetapi antidepresan trisiklik sebaiknya dihindari karena adanya kekhawatiran yang meningkat sehubungan dengan delirium antikoligernik. Ada angka kesakitan lain yang bermakna pada pasien dengan penyakit psikiatri yang terkait HIV (depresi, mania, delirium) dan HAD. Meskipun demikian, cukup sulit untuk membuat diagnosis dari depresi utama pada pasien dengan gangguan kognitif, motor, dan perilaku. Sebaiknya jangan dianggap atau disimpulkan bahwa ada depresi yang mendasarinya atau karena pasien mengalami ADC atau MCMD, lalu ia mengalami depresi. Diagnosis depresi pada orang yang mempunyai gejala medis dan neurologis sebaiknya dibuat oleh ahli jiwa yang sudah terbiasa dengan penyakit dan perwujudan dari depresi itu sendiri.

BAB II EPIDEMIOLOGI
Kasus HIV AIDS di Indonesia terus bertambah jumlahnya, menurut data Ditjen PPM dan PL Depkes RI jumlah penderita HIV AIDS di Indonesia yang dilaporkan dari 1 Januari 2011 sampai dengan 31 Maret 2011 adalah sebanyak 351 kasus, sedangkan secara kumulatif dari 1 April 1987 sampai dengan 31 Maret 2011 adalah 24.482 kasus dengan sebanyak 4603 penderita meninggal. Angka kumulaitf tersebut memperlihatkan juga bahwa kelompok umur terbanyak yang menderita infeksi HIV adalah kelompok umur 20 29 tahun yaitu sebanyak 47.2%, data ini penting mengingat kelompok usia tersebut merupakan kelompok usia produktif. Data sampai Maret 2011 untuk Provinsi Jawa Tengah didapatkan sebanyak 1030 kasus dengan 314 kasus yang meninggal. Data UNAIDS menyebutkan bahwa pada tahun 2009 jumlah penderita HIV di seluruh dunia adalah 33.300.000 penderita Komplikasi neurologi pada penderita HIV dapat mengenai susunan saraf tepi dan susunan saraf pusat. Komplikasi yang dapat mengenai susunan saraf pusat bermanifestasi sebagai demensi terkait HIV (7% dari penderita HIV) dengan gejala didapatkan gangguan kognitif, motorik, dan gangguan perilaku. Gangguan neurokognitif tersebut dikenal dengan HIV-Associated Neurocognitive Disorder (HAND) berupa HIV-Associated Dementia (HAD) atau AIDS Dementia Comple, Mild Neurocognitive Disorder (MND), dan Asymptomatic Neurocognitive Impairment (ANI). Perkembangan pengobatan HIV dengan menggunakan terapi kombinasi antiretroviral (ART) telah mengurangi insiden gangguan neurokognitif tersebut dibandingkan sebelum era ART. Komplikasi gangguan neurokognitif juga terjadi pada penderita HIV asimtomatik. Gangguan Kognitif pada penderita HIV AIDS dipengaruhi juga oleh obat anti retroviral, infeksi oportunistik, usia, merokok, pendidikan. Sistem imunitas pada penderita HIV berperan penting. Sistem Imunitas tersebut berhubungan dengan sel limfosit. Jumlah limfosit total yang terdiri dari tiga tipe yang dapat diidentifikasi berdasarkan molekul permukaannya, yaitu sel limfosit B (23%), sel limfosit T (65%) dan NK cells (7%), jumlah leukosit total umumnya 20% 40% dari jumlah leukosit atau sekitar 1500 2700/mm3. Limfosit T adalah sel yang berperan dalam sistem imun spesifik. Salah satu jenis sel-T adalah sel CD4+ yang merupakan target dari HIV yang jumlahnya sekitar 45% - 75% dari limfosit total. Jumlah limfosit T CD4+ telah diketahui berhubungan dengan gangguan kognitif. Jumlah CD4+ yang rendah, meningkatkan HAD (HIV-Associated Dementia). Tidak
4

tersedianya pemeriksaan limfosit T CD4+ di fasilitas kesehatan negara berkembang, maka digunakan jumlah limfosit total sebagai pengganti parameter limfosit T CD4+. Penelitian sebelumnya menyimpulkan bahwa jumlah limfosit total < 1200 sel/mm3 mempunyai sensitivitas 88,14% dan spesifisitas 34,78% untuk jumlah CD4+ < 200 sel/mm3. Jumlah total limfosit < 1200 sel/mm3 memperkirakan jumlah CD4+ < 200 sel/mm3 mempunyai sensifisitas 41% dan spesifisitas 83,5%. Skrining fungsi kognitif yang sering digunakan adalah Mini Mental State Examination (MMSE). Tes yang dapat juga dipakai adalah Montreal Mild Cognitive Assesment (MoCA). Penelitian Nasreddin, dkk, sensifisitas 90% dan spesifisitasnya 87% untuk mendeteksi Mild Cognitive Impairment. MoCA versi Indonesia disebut MoCA-Ina telah diuji validitas dan reliabilitas untuk gangguan fungsi kognitif di RSCM Jakarta oleh Husein,dkk. Hubungan antara gangguan fungsi kognitif dengan jumlah limfosit total dan limfosit T CD4+ belum pernah dilakukan. Dari data tersebut di atas jumlah penderita HIV AIDS terbanyak adalah usia produktif yang bila terjadi gangguan kognitif akan menyebabkan gangguan dalam pekerjaan atau kehidupan sosialnya. Dengan mengetahui adanya gangguan kognitif tersebut maka penanganan dan pencegahan gangguan kognitif yang lebih berat untuk pasien tersebut diharapkan akan lebih baik.

BAB III ISI


3.1. HlV-AlDS lstilah Human Immunodeficiency Virus (HIV) dipakai sejak tahun 1986 sebagai nama untuk retrovirus yang diusulkan pertama kalinya oleh Luc Montagnier sebagai penyebab AIDS (Acquired Imunodeficiency Syndrome). HIV adalah anggota genus Lentivirus, keluarga Retrovirus yang ditandai oleh suatu periode latensi panjang dan sebuah sampul lipid dati set induk yang mengelilingi sebuah pusat protein RNA. Dikenal dua spesies HIV yang menginfeksi manusia yaitu HIV-1 dan HIV-2. HIV-1 sendiri dianggap sebagai sumber dari kebanyakan infeksi di seluruh dunia.

3.1.1. Struktur Genomik HlV HIV adalah virus sitopatik yang diklasifikasikan dalam famili Retroviridae, subfamili lentivirinae, genus Lentivirus, dan berdasarkan strukturnya HIV termasuk famili retrovirus yang merupakan kelompok virus RNA yang mempunyai berat molekul 9,7 kb (kilobase). HIV memiliki tonjolan ekstemal yang dibentuk oleh 2 protein utama envelope virus, gp120 di sebelah luar dan gp41 yang terletak di transmembran. Gp120 tersebut memiliki afinitas tinggi terutama terhadap reseptor CD4+, sedangkan gp4l bertanggung jawab dalam proses internalisasi atau adsorpsi. Selain itu ia juga mempunyai untaian RNA yang pada setiap untaiannya memiliki sembilan gen (gag,pol,vif,vpu,env,rev,tat,nev). RNA

tersebut diliputi oleh kapsul berbentuk kerucut yang terdiri atas sekitar 2000 kopi p24 protein Virus dan dikelilingi oleh kapsid selubung virus (envelope). Masing masing subunit selubung virus terdiri atas 2 non-kovalen rangkaian protein membran glikoprotein 120 (gp120), protein membran luar dan glikoprotein (gp41).

3.1.2. Patogenesis Infeksi HIV Menurut Kelly (2004) yang diperkuat oleh Matapalil et al (2006) fase perjalanan infeksi HIV dapat dibagi dalam tiga fase, yaitu : fase infeksi akut, kronik dan laten.

1. Fase Infeksi Akut Fase ini terdapat 40-90% kasus yang merupakan keadaan klinis yang bersifat sementara yang berhubungan dengan replikasi virus pada stadium tinggi dan ekspansi virus
6

pada respon imun yang spesifik. Proses replikasi tersebut menghasilkan virus-virus baru yang jumlahnya jutaan dan menyebabkan terjadinya viremia yang memicu timbulnya sindroma

infeksi akut. Diperkirakan 50-70% orang yang terinfeksi HIV mengalami sindroma infeksi akut selama 3 minggu setelah terinfeksi virus dengan gejala umum seperti demam, faringitis, limfadenopati, artralgia, mialgia letargi, malaise, nyeri kepala, mual, muntah, diare, anoreksia, penurunan berat badan. HIV juga dapat menyebabkan kelainan sistem saraf

meskipun paparan HIV terjadi pada stadium infeksi masih awal. Fase ini terjadi penurunan limfosit T yang cukup dramatis yang kemudian diikuti kenaikan limfosit T, meskipun demikian tidak ada antibodi spesifik HIV yang dapat terdeteksi pada stadium awal infeksi ini. Selama masa infeksi akut, HIV mereplikasikan dirinya secara terus-menerus, sehingga mencapai level 100 juta kopi HIV RNA/ml. HIV tersebut mempunyai topisme pada berbagai sel target, terutama pada sel-sel yang mampu mengekspresi CD4+, yaitu: 1. Sistem saraf : astrosit, mikroglia, dan oligodendroglia

2. Sirkulasi sistemik : limfosit T, limfosit B, monosit dan makrofag 3. Kulit : sellangerhans, fibroblast dan dendritik

Terjadi interaksi antara gp120 virus dengan reseptor CD4+ yang terdapat pada sel limfosit T pada awal infeksi, interaksi tersebut menyebabkan tetjadinya ikatan dengan

reseptor kemokin yang bertindak sebagai koreseptor spesifik CXCR4 dan CCR5 yang juga terdapat pada membran sel target. Proses internalisasi HIV pada membran sel target juga

memerlukan peran Glikoprotein 41 (gp41) yang terdapat pada selubung virus. Gp4l tersebut berperan dalam proses fusi membran virus dengan membran sel target. Peran dari gp41 tersebut menebabkan seluruh komponen inti HIV dapat masuk dan mengalami proses internalisasi yang ditandai dengan masuknya inti nukleokapsid ke dalam sitoplasma.

2. Fase Infeksi Laten Pembentukan respon imun spesifik HIV dan terperangkapnya virus dalam sel dendritik folikuler di pusat germinativum kelenjar limfe menyebabkan virion dapat

dikendalikan, gejala akan hilang dan mulai memasuki fase laten. Fase ini jarang ditemukan virion di plasma, sebagian besar virus terakumulasi di kelenjar limfe dan tetjadi replikasi di kelenjar limfe sehingga di dalam darah jumlahnya menurun. Jumlah limfosit T CD4+

menurun hingga sekitar 500-200 sel/mm3. Fase ini berlangsung rata-rata sekitar 8-10 tahun setelah terinfeksi HIV. Tahun ke 8 setelah terinfeksi HIV akan muncul gejala klinis seperti demam, banyak keringat pada malam hari, kehilangan berat badan kurang dari 10% diare,

lesi pada mukosa dan kulit yang berulang. Gejala-gejala tersebut merupakan awal tanda munculnya infeksi oportunistik.

3. Fase lnfeksi Kronik Selama fase ini terdapat peningkatan jumlah virion secara berlebihan di dalam sirkulasi sistemik dan tidak mampu dibendung oleh respon imun. Terjadi penurunan jumlah limfosit T CD4+ hingga di bawah 300 sel/mm. Penurunan ini mengakibatkan sistem imun menurun dan pasien semakin rentan terhadap berbagai macam penyakit sekunder. Perjalanan penyakit semakin progresif yang mendorong ke arah AIDS.

3.1.3. Gangguan neurokognitif pada infeksi HIV Infeksi HIV dapat menyebabkan kerusakan pada sistem saraf pusat, bila otak yang terkena dapat terjadi gangguan neurokognitif yang disebut HIV- associated neurocognitive disorder (HAND) berupa HIV-associated dementia (HAD) atau AIDS dementia complex, mild neurocognitive disorder (MND), dan asymptomatic neurocognitive impairment (ANI). Gejala gangguan neurologik tersebut dapat diprediksi dengan jumlah limfosit CD4+ pada penderita, jadi penderita dengan CD4+ masih cukup tinggi atau diatas 200 sel/l mengalami gangguan neurokognitif berupa MND atau ANI. HAND terjadi pada penderita yang sudah dalam fase AIDS. Sindrom yang terjadi pada HAND berupa gangguan neurokognitif (mudah lupa), gangguan emosi (menyebabkan agitasi atau apatis), dan disfungsi motorik (tremor, ataksia, spastisitas). Gejala klinis demensia tersebut berbeda antara satu individu dengan individu lain, ada yang mengalami perburukan dalam beberapa minggu atau dalam beberapa bulan. MND terjadi sebelum HAD, yang mana terkadang sulit diidentifikasi karena penyakit komorbiditas seperti cedera kepala atau koinfeksi seperti hepatitis C. Diagnosis HAD atau MND menentukan prognosis dan bergantung pada pemakaian obat anti retroviral. Gejala klinis yang menuntun ke arah diagnosis HAND atau demensia HIV adalah : 1. Serologi HIV positif 2. Terdapat gangguan yang bersifat progresif, kognitif, perilaku, memori, dan perlambatan mental 3. Pemeriksaan neurologik : gambaran gejala neurologik yang bersifat difus, perlambatan rapid eye movement dan motorik ekstremitas, hiperefleksia, hipertonia, dan dijumpainya release sign. 4. Pemeriksaan neuropsikologi : impairmen pada dua jenis pemeriksaan yaitu fungsi lobus frontal, kecepatan motorik dan memori verbal.
8

5. Cairan otak : tidak dijumpai neurosifilis dan menigitis kriptokokus 6. Pemeriksaan radiologik : atrofi serebri dan disingkirkan adanya lesi fokal 7. Tidak dijumpai penyakit psikiatrik mayor dan intoksikasi 8. Tidak dijumpai gangguan metabolik, hipoksemia, sepsis, dan lain lain 9. Tidak dijumpaiu penyakit oportunistik otak yang aktif Berdasarkan American Academy of Neurology kriteria dari gangguan kognitif terkait HIV/MND adalah : Probable (harus ada semua gejala dibawah ini) : 1. Abnormalitas kognitif/motorik/perilaku yang di dapat, dipastikan oleh anamnesa yang dipercaya dan pemeriksaan neurologik neuropsikologik 2. Mild impairment dari aktifitas sehari hari 3. Tidak masuk kriteria demensia HIV atau myelopati HIV 4. Tidak disebabkan etiologi lain Possible (harus ada salah satu gejala di bawah ini) : (1), (2), dan (3) didapatkan gejala di atas, tetapi ada alternatif etiologi lain dan penyebab dari (1) tidak pasti. (1), (2), dan (3) didapatkan gejala di atas, tetapi etiologi dari (1) tidak dapat ditentukan berdasarkan evaluasi yang inkomplit Kriteria MND : 1. Gangguan fungsi kognitif yang didapat, dimana minimal terlibatnya 2 domain kognitif, yang didokumentasikan paling sedikit dalam, 1,0 standar deviasi di bawah ini, dari umur, pendidikan, norma yang cocok berdasarkan tes neuropsikologik yang terstandarisasi. Penilaian neuropsikologik harus termasuk kemampuan: verbal/bahasa, atensi/kecepatan proses abstrak/eksekutif, memori (pembelajaran, mengingat), perseptual kompleks performa motorik, kemampuan motorik. 2. Gangguan kognitif menyebabkan sedikitnya gangguan ringan keterlibatan fungsional sehari hari ( paling sedikit satu dibawah ini) : Berkurangnya ketajaman mental diri sendiri, tidak efisien dalam bekerja, pekerjaan rumah tangga atau fungsi sosial Pengamatan dari orang lain yang menyatakan bahwa individu tersebut telah mengalami kemunduran ringan dari mental, dengan gabungan dari gejala tidak
9

efisien dalam bekerja, pekerjaan rumah tangga atau fungsi sosial 3. Gangguan kognitif didapatkan paling sedikit 1 bulan 4. Gangguan kognitif tidak termasuk kriteria untuk delirium atau demensia HIV 5. Tidak didapatkan bukti penyebab lain dari MND (infeksi susunan saraf pusat, neoplasma, penyakit serebrovaskuler, penyakit neurologi yang telah ada, gangguan psikiatrik, atau ketergantungan berat substansi tertentu) Kriteria diagnosis ANI : 1. Gangguan fungsi kognitif yang didapat, dimana minimal terlibatnya 2 domain kognitif, yang didokumentasikan paling sedikit dalam 1,0 standar deviasi di bawah ini, dari umur, pendidikan, norma yang cocok berdasarkan tes neuropsikologik yang terstandarisasi. 2. Gangguan kognitif tidak menyebabkan gangguan fungsional sehari hari 3. Gangguan kognitif tidak memenuhi kriteria delirium atau demensia 4. Tidak ada bukti yang menjadi penyebab lain dari ANI.

3.2. Limfosit Total Limfosit total merupakan bagian dari sel darah putih, jumlahnya sekitar 20% - 35% dari leukosit yang beredar. Pemeriksaan darah limfosit dapat terlihat berupa sel bulat kecil berdiameter 7 12 m, dengan nukleus yang berlekuk dan sitoplasma biru terang. Mempunyai granul azurofil sedikit, hamoir tidak mempunyai retikulum endoplasma tetapi mempunyai ribosom bebas dalam sitoplasmanya. Salah satu sifat penting dari limfosit adalah motilitasnya yang dapat menembus dinding kapiler dan meninggalkan aliran darah lalu bergerak bebas dalam jaringan ikat tubuh/ maka limfosit bisa didapatkan dalam pembuluh darah, pembuluh limfe, atau jaringan ikat, juga merupakan bagian utama dari timus, limfonodus, limpa dan jaringan limfoid pada mukosa saluran cerna, saluran napas dan saluran kemih. Limfosit total terdiri dari tiga tipe yang dapat diidentifikasi berdasarkan molekul permukaannya, yaiut sel limfosit B (23%), sel limfosit T (65%) dan NK cells (7%). Limfosit B dan T penampilannya identik, maka pemeriksaan dalam respon imun tergantung metoda imunositokimia canggih berdasarkan perbedaan molekul yang terpapar pada permukaannya. Limfosit B berasal dari sel induk sumsum tulang dan bertahan selama beberapa bulan dan selama itu beredar melalui darah, limfonodus, limpa dan saluran limfe secara berulang
10

ulang beberapa kali. Peredaran tersebut yang dapat bertemu dan mengenali antigen yang pernah memasuk tubuh. Identifikasi limfosit B dengan melihat antibodi atau imunoglobulin sebagai protein membran integral pada permukaannya yang berfungsi sebagai sistem imun humora. Beberapa sitokin seperti IL-2, IL-5, IL-11 dan NGF bekerja pada sel B sehingga dapat meningkatkan proliferasi dan diferensiasi menuju sel yang dapat mensekresi imunoglobulin. Limfosit T berasal dari sel induk sumsum tulan juga tetapi setelah memasuki darah langsung keluar dari peredarah darah untuk menuju dan menetap di timus, lalu berproliferas. Sel T bersifat klonal dan sangat spesifik antigen, di membran plasmanya memiliki protein protein reseptor spesifik, berupa reseptor antigen yang terdiri atas dua rantai polipeptida ( dan ). Diferensiasi sel T dalam timus menghasilkan populasi yang memaparkan reseptor dengan berbagai kekhususan berbeda. Sel sel dengan reseptor yang dapat mengenali molekul histokompatibilitas atau MHC (Major Histocompatibility Complex) individu itu sendiri akan mati selama berada timus. Eliminasi sel reaktif tersebut berakibat tersisanya populasi sel T matang yang sanggup bereaksi hanya dengan antigen dari luar tubuh. Selama diferensiasi, limfosit T tidak saja mendapat reseptor berbeda namun juga memaparkan molekul permukaan antibodi monoklonal. Semua antibodi yang bereaksi dengan penanda yang sama dikelompokkan berdasarkan tes imunofluoresen ke dalam kelompok diferensiasi atau Cluster of Differentiation (CD) seperti CD1, CD2, CD3, dan seterusnya. Duan diantar subset limfosit T CD tersebut mendapat perhatian khusus, yaitu CD4+ yang berfungasi sebagai T-helper dalam produksi antibodi yang mengenali MHC class II sedangkan CD8+ berfungsi sebagai sel T sitotoksik yang merupakan sel efektor dalam respon sel yang dapat melisis antigen dan mengenali MHC class I. Sel T-helper yang matur berspon terhadap antigen asing dengan memodulasi sitokin seperti IFN-, IL dan TNF-. Sel NK (Natural Killer) merupakan limfosit yang pada umumnya berukuran lebih besar di antara jenis limfosit lainnya dan berperan pada aktifitas sitotoksik non spesifik dalam melawan infeksi virus dan sel tumor. Beberapa peneliti seperti Srirangaraj dan Daka menggunakan jumlah limfosit total sebagai pengganti nilai jumlah limfosit T CD4+ sebagai penanda (marker) progresifnya dari infeksi HIV.

11

3.2.1. Sel Limfosit T CD4+ Nilai normal sel limfosit T CD4+ adalah 500 1200 sel/mm3, digunakan untuk mengetahui sistem imun dari pasien dan untuk penentuan terapi serta profilaksis patogen oportunistik pada penderita HIV/ AIDS. Infeksi HIV terjadi penurunan limfosit T CD4+, virus HIV menggunakan sel untuk berkembang di inang dari sel T dengan mengikat protein dari viral envelope yang dikenal dengan gp120 dan gp41 lalu virus HIV tersebut memasuki sel tersebut dengan 3 tahap, yaitu perleketan, penggabungan, dan masuk ke dalam sel (gambar 1)

Gambar 1. Cara Virus HIV memasuki sel Sumber : Levy J Pemeriksaan jumlah limfosit T CD4+ dengan menggunakan cara flow cytometri yang biasanya diulang setiap 3 6 bulan sekali pada pasien HIV/ AIDS. Beberapa faktor mempengaruhi jumlah limfosit T CD4+, seperti perubahan diurnal yang menunjukan bahwa nilai terendah adalah pada pukul setengah satu siang sedangkan nilai puncak pada pukul setengah sembilan malam, variasi tersebut belum secara jelas hubungannya dengan irama sirkardian. Penurunan dapat terjadi juga pada penderita infeksi akut dan operasi mayor. Pemberian kortikosteroid pada penyakit akut dapat menurunkan jumlah limfosit T CD4+, tetapi pemakaian lama untuk penyakit kronik menunjukan tidak terlalu berpengaruh. Perubahan pada penyakit akut mungkin disebabkan redistribusi leukosit antara sirkulasi perifer dengan sumsum tulang, limpa, dan nodus limfoid. Jenis kelamin, usia pada orang dewas, stres psikologi, stres fisik, dan kehamilan mempunyai efek minimal terhadap jumlah limfosit T CD4+. Pemakaian obat antiretroviral dapat meningkatkan jumlah limfosit T CD4+ sebanyak 50 sel/mm3 setelah pemakaian 4 sampai 8 minggu dan meningkat 50 100 sel/mm3 tiap tahunnya. Jumlah limfosit T CD4+ dalam presentase terkadang digunakan untuk mengetahui kondisi umunitas penderit HIV/ AIDS untuk menghindari hasil positif palsu rendah dan
12

positif palsu tinggi, tetapi data dari penelitian besar observasional menganjurkan bahwa jumlah limfosit T CD4+ paling bermanfaat untuk prediksi perkembangan infeksi oportunistik.

3.3 Fungsi Kognitif 3.3.1. Pengertian Fungsi Kognitif Pengertian kognitif menurut behavioral neurology, adalah suatu proses dimana semua masukan sensoris (taktil, visual dan auditorik) akan diubah, diolah, disimpan, dan selanjutnya digunakan untuk hubungan interneuron secara sempurna sehingga individu mampu melakukan penalaran terhadap masukan sensoris tersebut. Konsep yang paling banyak dianut, bahwa fungsi kognitif mencakup lima domain, yaitu : 1. Perhatian (atensi) Atensi adalah kemampuan untuk bereaksi atau memperhatikan satu stimulus tertentu, dengan mampu mengabaikan stimulus lain yang tidak dibutuhkan. Atensi merupakan hasil hubungan antara batang otakm aktivitas limbic dan aktivitas korteks sehingga mampu untuk focus pada stimulus spesifik dan mengabaikan stimulus lain yang itdak relevan. Konsentrasi merupakan kemampuan untuk mempertahankan atensi dalam periode yang lebih lama. Gangguan atensi dan konsentrasi akan mempengaruhi fungsi kognitif lain seperti memori, bahas dan fungsi eksekutif. 2. Bahasa Bahasa merupakan perangkat dasar komunikasi dan modalitas dasar yang membangun kemampuan fungsi kognitif. Didapatkan gangguan bahasa, maka pemeriksaan kognitif seperti memori verbal, fungsi eksekutif akan mengalami kesulitan atau tidak dapat dilakukan 3. Memori Fungsi memori terdiri dari proses penerimaan dan penyandian informasi, proses penyimpanan serta proses mengingat. Semua hal yang berpengaruh dalam ke tiga proses tersebut akan mempengaruhi fungsi memori. 4. Visuospasial Kemampuan visuospasial merupakan kemampuan konstruksional seperti menggambar atau meniru berbagai macam gambar (misalnya : lingkaran, kubus) dan menyusun balok balok. Semua lobus berperan dalam kemampuan konstruksi dan lobus parietal terutama hemisfer kanan berperan paling dominan.

13

5. Fungsi eksekutif Fungsi eksekutif adalah kemampuan kognitif tinggi seperti cara berpikir dan kemampuan pemecahan masalah. Fungsi ini dimediasi oleh korteks prefrontal dorsolateral dan struktur subkortikal yang berhubungan dengan daerah tersebut. Fungsi eksekutif dapat terganggu bila sirkuit frontal subkortikal terputus. Lezack membagi fungsi eksekutif menjadi 4 komponen yaitu volition (kemauan), planning (perencanaan), purposive action (bertujuan), effective performance (pelaksanaan yang efektif) seandainya ada gangguan fungsi eksekutif , maka gejala yang muncul sesuai keempat komponen diatas.

3.3.2 Anatomi Fungsional Fungsi Kognitif Otak dalam menjalanjan fungsi kognitif sebagai satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Fungsi kognitif di dalam otak dikelola oleh system limbuik. Struktur limbic terdiri dari amigdala, hipokampus, nucleus talamik anterior, girus subkalosus, girus cinguli, girus parahipokampus, formasio hipokampus, dan korpus mamillare. Alveus, fimbria, forniks, traktus mammilotalamikus, dan striae terminaliks membentuk jaras - jaras penghubung system ini (gambar 2)

The limbic System

Gambar 2. Sistem limbik. Sumber:Waxman SG

14

3.3.3. Manifestasi Gangguan Manifestasi gangguan fungsi kognitif dapat melipuuti gangguan pada aspek bahasa, memori, emosi, visuospasial, dan kognisi. 1. Gangguan bahasa : Menurut Critchley (1959) yang dikutip dari Sidarta (1989) gangguan bahasa yang terjadi pada demensia terutama tampak pada kemiskinan kosa kata. Pasien tak dapat menyebutkan nama benda atau gambar yang ditunjukkan padanya (Confrontation naming), tetapi lebih sulit lagi menyebutkan nama benda dalam satu kategori (category naming), misalnya disuruh menyebutkan nama buah atau hewan dalam satu kategori. Sering adanya diskrepansi antara penamaan konfrontasi dan penamaan kategori dipakai untuk mencurigai adanya demensia dini. Misalnya orang dengan cepat dapat menyebutkan nama benda dalam satu kategori, ini didasarkan karena adanya abstraksinya mulai menurun. 2. Gangguan memori : Gangguan mengingat sering merupakan gejala yang pertama timbul pada demensia dini. Tahap awal yang terganggu adalah memori banrunya, yakni cepat lupa apa yang baru saja dikerjakan. Lambat laun memori lama juga dapat terganggu. Dalam klinik neurologi fungsi memori dibagi dalam tiga tingkatan bergantung lamanya rentang waktu antara stimulus dan recall yaitu : Memori segera (immediate memory), rentang waktu antara stimulus dan recall hanya beberapa detik. Dibutuhkan pemusatan perhatian untuk mengingat (attention) disini. Memori baru (recent memory), rentang waktu lebih lama yaitu beberapa menit, jam, bulan, bahkan tahun. Memori lama (remote memory), rentang waktunya bertahun tahun bahkan seumur hidup. 3. Gangguan emosi : Efek langsung yang paling umum dari penyakit pada otak pada personality adalah emosi yang tumpul, disinhibition, kecemasan yang berkurang atau euphoria ringan, dan menurunnya sensitifitas sosial. Dapat juga terjadi kecemasan yang berlebihan, depresi dan hipersensitif. 4. Gangguan visuospasial : Gangguan juga sering timbul dini pada demensia. Pasien banyak lupa waktu, tidak tahu kapan siang dan malam, lupa wajah teman dan sering tidak tahu tempat sehingga sering tersesat (disorientasi waktu, tempat, dan orang ). Secara obyektif gangguan visuospasial ini dapat ditentukan dengan meminta pasien mengkopi gambar atau menyusun balok balok sesuai bentuk tertentu.

15

5. Gangguan kognisi (cognition): Fungsi ini yang paling sering terganggu pada pasien demensia, terutama daya abstraknya. Penderita selalu berpikir konkrit, sehingga sukar sekali memberi makna peribahasa dan daya persamaan (similarities) mengalami penurunan.

3.3.4. Faktor Resiko Terjadinya Gangguan Kognitif Beberapa kondisi atau penyakit dapat mengakibatkan gangguan fungsi kognitif, antara lain: 1. Usia. Meningkatnya usia dapat terjadi perubahan fungsi kognitif yang sesuai dengan perubahan neurokimiawi dan morfologi (proses degenerative) 2. Pendidikan. Banyak studi menunjukkan bahwa pendidikan yang lebih tinggi, berisiko rendah menderita penyakit Alzheimer. 3. Genetik. Termasuk faktor genetic adalah faktor bawaahn, jenis kelamin, dan ras. Penyakit genetic yang berhubungan dengan gangguan kognitif diantaranya Huntington, Alzheimer, Pick, Fragile X, Duchenne Muscular Distrofi, dan sindroma Down. 4. Berbagai penyebab yang dapat mempengaruhi perkembangan otak pada masa prenatal dan pasca natal. 5. Cedera kepala. Cedera kepala dapat mengakibatkan perubahan kognitif, biasanya jenis cedera kepala tertutup. Gangguan kognitif yang dapat timbul pada cedera kepala antara lain amnesia anterograd dan retrograde, fungsi memori, gangguan kemampuan konstruksi, fungsi bahasa, persepsi, kemampuan motorik dan kemampuan psikiatrik. 6. Obat obat toksil atau napza (narkotika, psikotropika, dan zat adiktif). Beberapa zat toksi yang dapat mengakibatkan gangguan fungsi kognitif antara lain, karbonmonoksida, logam berat, alcohol, obat obatan (seperti kokain, mariyuana, halusinogen), amfetamin. 7. Infeksi susunan saraf pusat. Beberapa penyakit infeksi SSP seperti meningitis, ensefalitis, maupun abses otak dapat mengakibatkan gejala sisa berupa gangguan kognitif. 8. Epilepsi. Frekuensi dan variasi gangguan kognitif yang terlihat pada penderita epilepsy cukup tinggi, dan dampak psikologis maupun sosial juga tinggi. Obat obat epilepsy sendiri
16

dapat menimbulkan efek samping berupa gangguan kognitif. 9. Penyakit Serebrovaskuler. Gangguan kognitif yang timbul pada penyakit serebrovaskuler dapat menjadi awal terjadinya demensia vaskuler 10. Tumor Otak. Tumor otak mengakibatkan perluasan lesi fokal yang dapat menimbulkan satu atau kombinasi beberapa gejala kognitif. Gejala gejala yang dapat timbul antara lain afasia, disorientasi, kesulitan membaca, menulis, dan berhitugn, kebingungan, dan gejala psikiatrik. Gejala lain dapat terjadi sesuai dengan lokasi tumor. 11. Nutrisi. Zat gizi yang dibutuhkan untuk perkembangan otak bukan hanya zat gizi makro tetapi juga zat gizi mikro. 12. Hormon Tiroid. Defisit atau kelebihan hormon tiroid selama perkembangan dapat berefek buruk pada fungsi neurologi. Karena laju produksi sel sel pada berbagai region otak berbeda beda waktunya, maka periode kritis aksi hormone tiroid pada proliferasi sel berbagai region otak tertentu akan berbeda beda pula. 13. Stimulasi. Semakin banyak stimulasi yang diterima seseorang di lingkungan rumah maupun yang formal akan mempengaruhi fungsi kognitif 14. Stress. Selain reaksi emosional, orang seringkali menunjukan gangguan kognitif yang cukup berat jika berhadapan dengan stressor yang serius, akan sulit berkonsentrasi dan mengorganisasikan pikiran secara logis. 15. HAART (Highly Active Antiretroviral therapy). Penggunaan HAART (Highly Active Antiretroviral Therapy) memperlihatkan angka harapan hidup penderita HIV/ AIDS meningkat. Obat tersebut menyebabkan peningkatan supresi virus dalam peredaran darah sistemik. Gangguan kognitif pada penderita HIV/AIDS menunjukkan penurunan sejak penggunaan HAART. Perubahan patofisiologi di otak pada pasien dengan HIV-Associated Neurocognitive Disorders (HAND) dapat berkurang berdasarkan penelitian Borjabad, dkk setelah penggunaan ART. 16. Merokok. Merokok dapat menyebabkan gangguan kognitif terutama fungsi memori Nikotin
17

dalam rokok merupakan zat neurotoksik. 17. Diabetes Melitus. Kerusakan pembuluh darah otak karena komplikasi penyakit DM sering menyebabkan infark lakuner yang dapat menimbulkan gangguan kognitif. 18. Penyakit Parkinson. Penyakit Parkinson dapat menyebabkan demensia Lewis Bodies 19. Gangguan Psikiatrik. Penderita dengan gangguan psikiatrik dapat terjadi pseudo demensia dan sulit dinilai fungsi kognitifnya.

3.4 Hubungan Limfosit T CD4+ dengan Gangguan Fungsi Kognitif Hubungan limfosit T CD4+ dengan gangguan fungsi kognitif merupakan hubungan tidak langsung yaitu melalui beberapa mekanisme. HIV memasuk tubuh manusia maka akan menginfeksi limfosit T CD4+ dan kemudian menginfeksi makrofag. HIV menginfeksi limfosit T CD4+ yang berpasangan dengan koreseptor kemokin CXCR4 atau CCR5. Tahap awal ketika HIV menginfeksi limfosit T CD4+ dan makrofag, virus tersebut akan menyerang sel tersebut dengan membentuk enzim virus reverse transcriptase yang akan mengubah RNA virus menjadi DNA virus lalu menginsersi genetic sel dari penderita. Limfosit T CD4+ yang diserang oleh HIV akan rusak sehingga jumlahnya akan menurun dan bila jumlah limfosit T CD4+ berkurang di bawah 200 sel/mm3 selain rentan terhadap infeksi oportunistik, virus akan menginduksi cedera jaringan otak yang akan menyebabkan HAD. HIV memasuki system susunan saraf pusat melalui sawar darah otak dengan perantaraan limfosit T CD4+ dan makrofag. Protein Tat dari HIV akan menyebabkan stress oksidatif, menginduksi apoptosis, dan merusak tight junction dari sel endotel. Sarung protein HIV gp160 yang terbagi menjadi gp120 dan gp41, telah terbukti toksik terhadap neuron. Cedera neuronal dan kematian sel terjadi melalui paparan protein virus tersebut dan molekuk neurotoksik seperti MMPs (matriks metalloproteinase) dan ROS (reactive oxygen species) seperti peroksinitrit, dan juga NO. Di susunan saraf pusat HIV akan menginfiltrasi makrofag, microglia dan astrosit tetapi tidak menginfeksi neuron, oligodendrosit, atau sel Schwan. Limfosit T CD4+ yang terinfeksi HIV mengaktivasi sitokin pro inflamasi dan kemokin (seperti MCP-1/CCL2, MIP-1/) melalui makrofag atau microglia. Peningkatan sitokin di jaringan otak yang terinfeksi HIV, seperti BDNF, GDNF, IGF, NGF, TNF-, IL-8, IL-1 dan lain lain akan menyebabkan fungsi dari neuron dan astrosit terganggu. Sitokin
18

tersebut menghalangi pengambilan glutamate oleh astrosit sehingga mengakibatkan akumulasi neurotransmitter eksitatorik. Aktivitas yang berlebihan dari reseptor glutamate (NMDA/N-methyl-D-aspartate atau AMPA/alpha-amino-3-hydroxy-5-methyl-4-

isoxalopropionic acid) menyebabkan eksitotoksisitas yang menuju apoptosis neuronal. Kemokin akan menyebabkan penarikan makrofag ke jaringan otak yang telah mengalami inflamasi sehingga proses inflamasi akan berlanjut. Infeksi lanjut pada HIV akan menyebabkan ensefalitis, yang ditandai dengan sel raksasa multinukleus, terdeteksinya antigen virus, kerusakan pervaskuler, dan kepucatan menyeluruh dari substansia alba atau kerusakan sinaptodendritik dan inhibisi terhadap LTP (Long Term Potentiation). Kerusakan sinaptodendritik adalah suatu perubahan structural dan kimiawi yang mengganggu fungsi hubungan neuronal. Fungsi kognitif bergantung pada integritas yang kompleks dari hubungan sinaptodendritik, jadi bila ada kerusakan akan terjadi gangguan kognitif dan perilaku.

19

BAB IV KESIMPULAN
Gangguan fungsi kognitif yang disebabkan oleh karena kerusakan sinaptodendritik di otak sehingga mengganggu fungsi hubungan neuronal, diinduksi oleh proses inflamasi sebagai akibat masuknya HIV ke dalam otak yang dibawa oleh limfosit T CD4+, monosit dan makrofag. Kematian neuron karena proses inflamasi juga menghambat long term potentiation (LTP) pada proses memori. Penelitian Valcour, dkk mendapatkan hasil bahwa jumlah lomfosit T CDD4+ yang rendah dapat meningkatkan kejadian gangguan kognitif berupa HAD (HIV-associated dementia). Berdasarkan hasil yang didapatkan adanya gangguan fungsu kognitif dengan nilai skor MoCa-Ina yang semakin rendah dengan menurunnya jumlah limfosit T CD4+. Hasil analisis uji Pearson jumlah limfosit total dan limfosit T CD4+ menunjukan semakin banyak HIV bereplikasi di dalam tubuh makan semakin banyak sel limfosit T CD 4+ yang rusak sehingga jumlahnya menurun dan menyebabkan jumlah limfosit total mengalami penurunan juga. Penelitian Srirangaraj kemudian penelitian Daka telah menyimpulkan bahwa jumlah limfosit total < 1200 sel/mm3 dapat memperkirakan jumlah limfosit T CD4+ < 200 sel/mm3. Faktor resiko dengan gangguan fungsi kognitif memperlihatkan bahwa jumlah limfosit total, limfosit T CD4+ dan infeksi oportunistik merupakan faktor risiko terjadinya gangguan fungsi kognitif. Ada teori yang menyatakan penggunaan HAART (Highly Active Anti Retroviral Therapy) memperlihatkan penurunan gangguan kognitif pada penderita HIV/AIDS karena beberapa faktor risiko gangguan kognitif dan obat ARV yang mempunyai efek samping gangguan kognitif yaitu efavirens. Pemakaian ARV merupakan pengobatan yang harus dimakan setiap hari dan seumur hidup sehingga berpotensi untuk drop out atau berhenti minum obat. Pencegahan gangguan kognitif pada pasien HIV dapat dilakukan dengan minum obat secara teratur dengan didampingi orang dekat pasien yang dapat mengingatkan jika penderita lupa atau mengalami kebosanan dalam minum obat tersebut.

20

DAFTAR PUSTAKA

1. Asosiasi Alzheimer Indonesia. Pengenalan dan Penatalaksanaan Demensia Alzheimer dan Demensia lainnya. Konsensus Nasional, Edisi I. Jakarta. 2003. 2. Mesulam MM. Principles of Behavioral and Cognitive Neurology, 2nd ed, Oxford. Oxford University Press. 2002. 3. Sacktor N, Wong M, Nakasujja N, Skolasky R, Selnes O, Musisi S, et al. The International HIV Dementia Scale : a new rapid screening test for HIV dementia. AIDS. 2005. 4. Victor M. Ropper AH. Principles of Neurology 7th ed. New York: McGraw Hill, 2001.

21

Anda mungkin juga menyukai