Anda di halaman 1dari 41

BAGIAN ILMU KEDOKTERAN JIWA REFARAT

FAKULTAS KEDOKTERAN Juni 2019


UNIVERSITAS HASANUDDIN

REFERAT : GANGGUAN KONVERSI


LAPORAN KASUS : SKIZOFRENIA PARANOID

DISUSUN OLEH:
MUH. ADYAKSA SIRADJA
C014182033

SUPERVISOR PEMBIMBING:
Dr. dr. Sonny T Lisal, Sp.KJ

RESIDEN PEMBIMBING:
dr. Ahyani Muslimin

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU KEDOKTERAN JIWA
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2019
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini, menyatakan bahwa:

Nama : Muh. Adyaksa Siradja

NIM : C014182033

Judul Refarat : Gangguan Konversi

Judul Kasus : Skizofrenia Paranoid

Adalah benar telah menyelesaikan refarat berjudul “Gangguan Konversi” dan laporan

kasus berjudul “Skizofrenia Paranoid” yang telah disetuji dan dibacakan di hadapan pembimbing

dan supervisor dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian Ilmu Kedokteran Jiwa Fakultas

Kedokteran Universitas Hasanuddin Periode 10 Juni – 07 Juli 2019.

Makassar, Juni 2019

Dr. dr. Sonny T Lisal, Sp.KJ dr. Ahyani Muslimin


Supervisor Pembimbing Residen Pembimbing

2
DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN …………………………………………………………………. 2

DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………………………….. 3

BAB I PENDAHULUAN ……………………………………………………………………… 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ………………………………………………………………. 5

2.1. Definisi ……………………………………...………………………………………. 5

2.2. Epidemiologi ………………………………………………………………………... 5

2.3. Etiologi ……………………………………………………………………………… 6

2.4. Gejala Klinis ………………………………………………………………………… 7

2.5. Kriteria Diagnosis …………………………………………………………………...10

2.6. Diagnosis Banding ………………………………………………………………......12

2.7. Penatalaksanaan ……………………………………………………………………..13

2.8. Prognosis ……………………………………………………………………………19

BAB III KESIMPULAN …………………………………………………………………...… 20

DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………………………. 21

3
BAB I
PENDAHULUAN

Gangguan konversi, merupakan salahsatu dari lima gangguan somatoform. Istilah


somatoform berasal dari bahasa Yunani soma yang artinya tubuh. Gangguan ini merupakan
kelompok besar dari berbagai gangguan yang komponen utama dari tanda dan gejalanya adalah
tubuh. Gangguan ini mencakup interaksi tubuh-pikiran (body-mind). Pemeriksaan fisik dan
laboratorium tidak menunjukkan adanya kaitan dengan keluhan pasien.1
Gangguan konversi adalah gangguan pada fungsi tubuh yang tidak sesuai dengan konsep
anatomi dan fisiologi dari sistem saraf pusat dan tepi. Hal ini secara khas terjadi dengan adanya
stress dan memunculkan disfungsi berat. Gangguan konversi juga disebut disosiatif karena dahulu
di anggap terjadi hilangnya asosiasi antara berbagai proses mental seperti identitas pribadi dan
memori, sensori dan fungsi motorik. Ciri utamanya adalah hilangnya fungsi yang tidak dapat
dijelaskan secara medis. Pada penderita didapatkan hilangnya fungsi seperti memori (amnesia
psikogenik), berjalan-jalan dalam keadaan trans (fugue), fungsi motorik (paralisis dan
pseudoseizure), atau fungi sensorik (anesthesia sarung tangan dan kaus kaki, glove and stocking
anaesthesia) 1,2
Gangguan konversi berkaitan dengan gangguan kecemasan. Dari beberapa literatur
mengatakan bahwa gangguan konversi bisa merupakan bagian dari gangguan somatoform atau
pada gangguan disosiatif, individu mengeluhkan gejala-gejala gangguan fisik yang terkadang
berlebihan, tetapi pada dasarnya tidak terdapat gangguan fisiologis. Pada gangguan somatoform,
individu mengeluhkan gejala-gejala gangguan fisik, yang terkadang berlebihan, tetapi pada
dasarnya tidak terdapat gangguan fisiologis. Pada gangguan disosiatif, individu mengalami
gangguan kesadaran, ingatan, dan identitas. Munculnya kedua gangguan ini biasanya berkaitan
dengan beberapa pengalaman yang tidak menyenangkan, dan terkadang gangguan ini muncul
secara bersamaan.1,2,3

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Reaksi konversi adalah adanya kehilangan atau perubahan yang akut dan sementara
pada fungsi motorik atau sensorik yang tidak sesuai dengan gangguan neurologis yang
diketahui. Definisi lain, gangguan konversi adalah gangguan pada fungsi tubuh yang tidak
sesuai dengan konsep anatomi dan fisiologi dari sistem saraf pusat dan tepi. Hal ini secara
khas terjadi dengan adanya stress dan memunculkan disfungsi berat. Kumpulan gejala yang
saat ini disebut dengan gangguan konversi dengan gangguan somatisasi, dikenal dengan
sebutan histeriam reaksi konversi atau reaksi disosiatif. 1,4
Sindrom klasik menyerupai sindrom neurologis. Konversi gejala motorik mirip
dengan sindrom seperti kelumpuhan, ataksia, disfagia, atau gangguan kejang (kejang
semu), dan mirip dengan gangguan sensoris disebabkan defisit neurologis seperti kebutaan,
tuli, atau anestesi. Bisa juga ada gangguan kesadaran (amnesia, mantra pingsan). Sindrom
nonneurologis seperti pseudocyesis (kehamilan palsu) atau muntah psikogenik juga telah
ditempatkan di bawah kategori gangguan konversi. Namun, banyak dokter terus
mencadangkan istilah reaksi konversi untuk sindrom yang meniru penyakit neurologis.4

Adapun menurut PPDGJ III gangguan konversi atau disosiatif adalah adanya
kehilangan (sebagian atau seluruh) dari integrasi normal antara: ingatan masa lalu,
kesadaran akan identitas dan penghayatan segera (awareness of identity and immediate
sensations), dan kendali terhadap gerakan tubuh. 5

2.2. Epidemiologi
Informasi epidemiologis tentang gangguan konversi terbatas. Perkiraan sangat
bervariasi: Kurang dari 1 persen pada populasi umum, 5 hingga 14 persen di antara rujukan
medis/bedah rumah sakit umum untuk layanan konsultasi psikiatri, dan 5 hingga 25 persen
pada pasien rawat jalan psikiatri yang dirawat. Kelainan ini tampaknya lebih sering terjadi
pada wanita dan dapat dilihat pada anak-anak semuda 7 atau 8 tahun. Jarang terjadi setelah
usia 35 tahun.5
Beberapa gejala konversi yang tidak cukup parah untuk dapat didiagnosisis
sebagai gangguan konversi dapat terjadi pada 1/3 populasi umum pada suatu hari dalam

5
hidupnya. Satu komunitas melaporkan insidens tahunan sebesar 22 per 100.000 orang.
DSM-IV-TR memberikan kisaran dari yang paling rendah 11 kasus sampai yang tertinggi
500 kasus gangguan konversi per 100.000 populasi. 1
Rasio wanita dibanding pria 2:1 sampai 10:1. Pada anak-anak, anak perempuan
juga lebih tinggi angka kejadiannya dibandingkan anak laki-laki. Pada gangguan konversi,
dilaporkan banyak terjadi pada kelompok populasi pedesaan, juga pada individu dengan
strata pendidikan yang rendah, dan tingkat kecerdasan rendah, kelompok sosioekonomi
rendah. Gangguan ini sering berkomorbiditas dengan gangguan depresi, gangguan cemas,
skizofrenia, dan frekuensinya meningkat pada keluarga yang anggotanya menderita
gangguan konversi. 1

2.3. Etiologi
Etiologi dan patogenesis gangguan konversi (gangguan gejala neurologis
fungsional) tidak jelas. Gangguan konversi biasanya diikuti oleh konflik dan stressor
yang berulang pada dirinya, dan gejalanya bermanifestasi sebagai hasil ndari konflik
yang terjadi pada alam bawah sadarnya (unconscious). Namun, ada banyak faktor
biologis, psikologis, dan sosial yang lebih umum pada pasien dengan gejala fungsional
daripada pasien dengan gejala yang sebanding karena penyakit yang dapat dikenali.
Faktor-faktor ini dapat menyebabkan pasien mengalami gangguan konversi atau
mempresipitasikan dan atau mengabadikan gejala. 6,7.
Faktor Psikoanalitik. Menurut teori psikoanalitik, gangguan konversi disebabkan
oleh represi konflik intrapsikis yang tidak disadari dan konversi anxietas menjadi suatu
gejala fisik. Konflik tersebut adalah antara impuls berdasarkan insting (contohnya
agresi atau seksualitas) dan larangan pengungkapan ekspresi. Gejalanya
memungkinkan ekspresi parsial keinginan atau dorongan terlarang, tetapi
menyamarkannya sehingga pasien dapat menghindari secara sadar untuk menghadapi
impuls yang tidak dapat diterima tersebut yaitu gejala gangguan konversi memiliki
hubungan simbolik dengan konflik yang tidak disadari. Gejala gangguan konversi juga
memungkinkn pasien menyampaikan bahwa mereka membutuhkan perhatian atau
perlakuan khusus. Gejala tersebut dapat berfungsi sebagai cara nonverbal untuk
mengendalikan atau memanipulasi orang lain.2,4

6
Teori Pembelajaran. Menurut conditioned learning theory, gejala konversi dapat
dilihat sebagai perilaku yang dapat dilihat sebagai perilaku yang dipelajari secara klasik
conditioning. Gejala-gejala penyakit yang dipelajari sejak masa kanak, akan digunakan
sebagai coping, dalam situasi yang tak disukainya. 2,4,7
Faktor Biologis. Semakin banyak data yang mengaitkan fakor biologis dan
neuropsikologis di dalam timbulnya gejala gangguan konversi. Studi pencitraan otak
sebelumnya menemukan adanya hipometabolisme hemisfer dominan dan
hipermetabolisme hemisfer nondominan dan mengaitkan hubungan hemisfer yang
terganggu sebagai penyebab gangguan konversi. Gejalanya dapat disebabkan oleh
bangkitan korteks berlebihan yang mematikan lengkung umpan balik negative antara
korteks serebri dengan formasio retikularis batang otak. Selanjutnya, peningkatan
kadar keluaran kortikofugal menghambat kesadaran pasien akan sensasi yang berkaitan
dengan tubuh, yang pada sebagian pasien dengan gangguan konversi dapat
menjelaskan adanya defisit sensorik yang dapat diamati.2,4

2.4. GEJALA KLINIS


Gejala konvesi menunjukkan gangguan neurologi dari system sensorik atau
motorik yang paling umum : paresis, kelumpuhan, aphonia, kejang, kebutaan, dan
anestesi. Gangguan konversi mungkin paling sering disertai gangguan kepribadian
pasif-agresif, dependen, anti social, dan histrionic. Gejala gangguan depresif dan
anxietas sering dapat menyertai gejala gangguan konversi, dan pasien ini memiliki
rasio bunuh diri.(2,8)
Gangguan konversi dapat muncul dengan :
a. Kejang non-epilepsi
Gangguan Kejang Konversi (juga disebut kejang disosiatif atau kejang
nonepileptik psikogenik) ditandai dengan guncangan anggota badan yang tidak umum,
tiba-tiba tidak bergerak, tidak ada gerak atau kehilangan kesadaran, gambaran klinis
yang berbeda dari satu kejang ke kejang berikutnya, dan tidak adanya kejang. aktivitas
paroxysmal pada electroencephalograms (EEGs). Contoh tanda positif gangguan
konversi dengan kejang adalah mata tertutup dengan resistensi terhadap pembukaan. 6

7
b. Kelemahan dan kelumpuhan
Parese/Kelemahan, umum terjadi pada pasien dengan kelainan konversi; sebuah
percobaan acak dengan 127 pasien menemukan bahwa kelemahan terjadi pada 31
persen. Pasien sering melaporkan riwayat terjatuh, atau "terseret" atau tekuk tiba-tiba
kaki yang terkena. Unilateral, gejala hemiparetik paling sering, tetapi kelemahan hanya
pada satu anggota badan atau di kedua kaki juga terjadi. Pasien biasanya melaporkan
bahwa anggota badan yang terkena tidak merasakan "bagian" dari mereka atau "milik"
mereka, yang dapat diartikan sebagai bentuk depersonalisasi. Gejala disosiatif lainnya
serta serangan panik, cedera fisik pada anggota tubuh yang terkena, dan nyeri biasanya
dikaitkan dengan timbulnya kelemahan konversi. Temuan diagnostik utama dalam
kelemahan konversi atau kelumpuhan adalah bahwa defisit tidak konsisten pada waktu
yang berbeda dalam pemeriksaan yang dilakukan. Hoover’s sign, co-contraction sign,
give-way weakness, and drift without pronation sign adalah tanda-tanda yang paling
dapat diandalkan untuk menunjang diagnosis. 6
c. Gangguan gerakan
Gangguan konversi dengan gejala atau defisit motorik dapat bermanifestasi
sebagai gangguan pergerakan. Ada beberapa sindrom gangguan gerakan fungsional
(psikogenik) yang didasarkan pada gejala yang muncul, termasuk:
● Getaran Psikogenik
● Distonia Psikogenik
● Gangguan Gaya Berjalan Psikogenik
● Myoclonus Psikogenik
● Parkinsonisme Psikogenik. 6
d. Gangguan bicara
Gejala gangguan berbicara dalam gangguan konversi yang paling umum adalah
disfonia fungsional, yang biasanya muncul sebagai bisikan atau suara serak, sering kali
setelah episode virus laringitis hilang. Petunjuk bahwa gangguan bicara fungsional
(psikogenik) termasuk adanya batuk atau suara bernyanyi yang normal. Diagnosis
gangguan konversi dikonfirmasi oleh gerakan pita suara normal pada laringoskopi. 6

8
e. Sensasi Globus (Sensasi Menelan)
Sensasi Globus (juga disebut globus pharyngeus) menggambarkan gejala konversi
"benjolan" atau "bola" di tenggorokan. Sensasi biasanya paling terasa pada waktu
selain saat menelan. 6
f. Keluhan sensoris
Gangguan sensorik (misalnya, anestesi atau kehilangan sensorik) sering terjadi
pada gangguan konversi; sebuah percobaan acak dengan 127 pasien menemukan
bahwa parestesia terjadi pada 50% dan mati rasa pada 41%. Selain itu, pasien sering
melaporkan perasaan "dipotong setengah" (garis tengah membelah) atau bahwa satu
sisi atau bagian dari tubuh mereka "bukan milik mereka", dan dapat melaporkan
campuran rasa sakit, gangguan sensorik, dan kelemahan. Gejala konversi yang jarang
berupa gangguan penciuman atau pendengaran. 6
g. Gejala visual
Gangguan visual fungsional (psikogenik) sering terjadi; percobaan acak dengan
127 pasien menemukan bahwa gejala visual fungsional terjadi pada 16 persen. Gejala
konversi visual termasuk penglihatan kabur intermiten, penglihatan ganda (karena
kejang gerakan mata konvergen), nistagmus, defek lapang pandang, dan kebutaan total.
Kebutaan total, seperti halnya kelumpuhan total, dikaitkan dengan peningkatan
probabilitas bahwa gejalanya adalah buatan. 6
h. Gejala kognitif
Gejala kognitif tidak dijelaskan sebagai bagian dari gangguan konversi; Namun,
beberapa pihak berwenang berpikir bahwa mereka harus dimasukkan. Gejala kognitif
yang sering ditemui pada pasien dengan gangguan konversi meliputi:
● Konsentrasi dan memori buruk
● Gangguan kelancaran
● Mengacak-acak kata saat berbicara
● Kesulitan menemukan kata
● Variabilitas dalam kecepatan respons

9
Gejala-gejala ini dapat bersifat episodik atau berkelanjutan, dan akut atau kronis.6
Menurut PPDGJ-III, gejala utama dari gangguan konversi adalah adanya
kehilangan (sebagian atau seluruh) dari integritas normal (dibawah kendali kesadaran)
antara :5
• Ingatan masa lalu
• Kesadaran identitas dan penginderaan segera (awareness of identity and
immediate sensations), dan
• Kontrol terhadap gerakan tubuh
Pada gangguan konversi kemampuan kendali di bawah kesadaran dan kendali
selektif tersebut terganggu sampai ke taraf yang dapat berlangsung dari hari ke hari
atau bahkan jam ke jam.5
Penderita mungkin tampak acuh tak acuh akan penyakitnya (la belle indifference).
Penampilan acuh tak acuh ini mungkin juga terjadi pada gangguan organic dan tidak
spesifik untuk penyakit ini. 2,5

2.5. KRITERIA DIAGNOSIS

Kriteria Diagnosis menurut DSM V


a. Satu atau lebih gejala motorik secara spontan yang berubah atau fungsi sensorik.
b. Temuan klinis memberikan bukti ketidakcocokan antara gejala dan kondisi neurologis
atau medis yang dikenali.
c. Gejala atau defisit tidak lebih baik dijelaskan oleh gangguan medis atau mental lainnya.
d. Gejala atau defisit menyebabkan gangguan klinis distress yang signifikan secara sosial,
pekerjaan,atau bidang fungsi penting lainnya atau memerlukan evaluasi medis.
Kode ICD-10-CM tergantung pada jenis gejala (lihat di bawah).
Tentukan jenis gejala:
(F44.4) Dengan kele/…………..mahan atau kelumpuhan
(F44.4) Dengan gerakan abnormal (mis., Tremor, gerakan distonik, mioklonus,
gangguan gaya berjalan)
(F44.4) Dengan gejala menelan
(F44.4) Dengan gejala bicara (mis., Disfonia, bicara cadel)

10
(F44.5) Dengan serangan atau kejang
(F44.6) Dengan anestesi atau kehilangan sensorik
(F44.6) Dengan gejala sensorik khusus (mis., Penglihatan, penciuman, atau
gangguan pendengaran)
(F44.7) Dengan gejala campuran

Spesifikkan jika:
 Episode akut : Gejala muncul kurang dari 6 bulan.
 Persistent : Gejala yang terjadi selama 6 bulan atau lebih.
Spesifikkan jika:
 Dengan pemicu stres psikologis (sebutkan pemicu stres)
 Tanpa tekanan psikologis4,9
Kriteria Diagnosis menurut PPDGJ III
Untuk diagnosis pasti maka hal-hal di bawah ini harus ada :
(a) Gambaran klinis yang ditentukan untuk masing-masing gangguan yang tercantum
pada F44.-;
(b) Tidak ada bukti adanya gangguan fisik yang dapat menjelaskan gejala-gejala
tersebut;
(c) Bukti adanya penyebab psikologis, dalam bentuk hubungan kurun waktu yang jelas
dengan problem dan kejadian-kejadian yang “stressful” atau hubungan interpersonal
yang terganggu (meskipun hal tersebut disangkal oleh penderita)5

11
2.6 Diagnosis Banding
Salah satu masalah utama didalam mendiagnosis gangguan konversi adalah
kesulitan untuk benar-benar menyingkirkan gangguan medis. Pemeriksaan neurologis
dan medis yang menyeluruh penting dilakukan pada semua kasus. Gejala gangguan
konversi terdapat pada skizofrenia, gangguan depresif, dan gangguan anxietas, tetapi
gangguan ini disertai gejala khas yang akhirnya membuat diagnosis menjadi
mungkin.10,11
a. Gangguan Neurologis Dan Medis Umum
Diagnosis banding untuk kelainan konversi mencakup banyak kelainan medis
umum dan semua penyakit neurologis, termasuk multiple sclerosis, myasthenia gravis,
kelainan gerakan, stroke, epilepsi, dan kelainan tulang belakang. Dokter yang
dihadapkan dengan gejala yang sulit untuk ditafsirkan harus berhati-hati dalam
mendiagnosis gangguan konversi, tidak peduli berapa banyak sejarah psikiatris
menyarankannya. Pasien mungkin melihat gejala penyakit gaib selama tahap awal
ketika tanda-tanda pada pemeriksaan fisik atau kelainan tes laboratorium tidak segera
terlihat. Selain itu, penyakit neurologis yang lebih tidak biasa seperti sindrom orang
kaku, ensefalitis limbik autoimun, dan epilepsi lobus frontal dapat hadir dengan fitur
yang tidak biasa seperti variabilitas gejala, perilaku aneh (misalnya, gerakan bersepeda
atau penusukan panggul), atau gejala lainnya (misalnya, emosional lability) yang
mungkin menyebabkan orang yang tidak waspada untuk mempertimbangkan gangguan
"psikogenik". Efek dari penyakit neurologis bisa menakutkan, yang dapat
menyebabkan pasien membesar-besarkan gejala mereka untuk meyakinkan dokter
tentang masalah mereka. Probabilitas bahwa gejala konversi nyata sebenarnya adalah
pertanda penyakit neurologis / medis umum mungkin lebih besar pada pasien dengan
gangguan gaya berjalan atau gangguan kejiwaan komorbiditas.6,12
b. Gangguan Psikiatrik
Diagnosis banding untuk gangguan konversi termasuk gangguan gejala somatik,
gangguan depersonalisasi / derealization, dan factitious disorder. 6
c. Malingering
Malingering dan gangguan konversi keduanya ditandai oleh gejala yang tidak
memiliki dasar patologis. Fitur penting dari berpura-pura sakit adalah memalsukan atau

12
membesar-besarkan gejala untuk manfaat eksternal yang jelas, seperti uang,
perumahan, obat-obatan, atau menghindari pekerjaan atau tuntutan pidana.
Malingering adalah perilaku dan bukan gangguan kejiwaan. Dokter harus
mempertimbangkan kemungkinan berpura-pura sakit jika ada yang berikut ini:
• Banyak inkonsistensi dalam riwayat pasien
• Ketidakpatuhan dengan evaluasi atau pengobatan diagnostic
• Gangguan kepribadian antisosial
• Konteks medis-hukum (misalnya, pasien dirujuk oleh pengacara untuk
evaluasi). 6

2.7. Penatalaksanaan
a. PENDEKATAN KEPADA PASIEN. Peringatan biasa pada anamnesis
yang dijelaskan untuk kelainan lain juga berlaku di sini. Harus ada perhatian khusus
yang diberikan pada riwayat trauma, pelecehan seksual dan fisik, dan riwayat keluarga
dengan gejala konversi. Pemeriksaan fisik harus memberikan perhatian khusus untuk
menyingkirkan penyakit neurologis seperti multiple sclerosis dan gangguan sistem
saraf perifer dan pusat lainnya. Studi laboratorium rutin diindikasikan, serta
elektroensefalogram (untuk membedakan antara kejang epilepsi dan pseudo) dan
penelitian khusus lainnya (mis., MRI, x-ray, spinal tap, dll.) Untuk mengesampingkan
kemungkinan etiologi organik lainnya.
b. REASURANSI. Banyak sindrom konversi memiliki jalur akut, jinak, dan
dapat timbul secara spontan dengan cara memahami pasien dan memberi dukungan.
Intervensi awal dapat mencegah potensi kronis dan perkembangan menjadi gangguan
somatisasi yang mengakar kuat.
c. HIPNOTERAPI. Ini mungkin pengobatan tertua yang digunakan untuk
gangguan konversi. Namun, ada sangat sedikit uji coba terkontrol secara acak, dan ini
tampaknya tidak meyakinkan karena hipnotis tidak dapat memprediksi hasil
pengobatan.
d. PSIKOTERAPI. Setelah kronisitas berkembang, perawatan intensif dapat
menggunakan semua modalitas pengobatan, termasuk rawat inap, terapi individu atau
kelompok, terapi berorientasi wawasan, teknik perilaku, hipnosis, wawancara natrium
amytal, terapi fisik, biofeedback, pelatihan relaksasi, dan obat-obatan (terutama untuk

13
kecemasan komorbiditas , depresi, atau gangguan somatoform lainnya). Interpretasi
atau penjelasan psikologis tidak bekerja dengan baik di awal proses, tetapi meyakinkan
pasien bahwa tes kritis normal dan bahwa gejala pada akhirnya akan membaik mungkin
bermanfaat. Setiap implikasi pada pasien bahwa ia berpura-pura sakit sangat
kontraproduktif. Intervensi perilaku harus fokus pada peningkatan harga diri, kapasitas
untuk ekspresi emosional dan ketegasan, dan kemampuan untuk berkomunikasi dengan
nyaman dengan orang lain.
e. PENGOBATAN FARMAKOLOGIS. Menyertai komorbiditas depresi ,
kecemasan, dan masalah perilaku dapat berpengaruh dengan intervensi farmakologis.
Penggunaan teknik hipnotik atau narkoleptik, jika ini sedang dipertimbangkan, harus
secara sementara ditawarkan kepada pasien yang takut akan kepasifan atau kehilangan
kontrol dapat menyebabkan kecemasan yang berlebihan.
Obat yang paling umum digunakan untuk gangguan konversi adalah antidepresan.
Kecemasan komorbiditas atau gangguan depresi sering merupakan indikasi untuk
menggunakan antidepresan, seperti serotonin reuptake inhibitor selektif. Adanya nyeri,
terutama dalam konteks kecemasan atau depresi, juga merupakan indikasi untuk
antidepresan, dan dimungkinkan untuk menggunakan satu obat untuk mengatasi rasa
sakit, kecemasan / depresi, dan gangguan konversi.4
Bukti tidak langsung yang mendukung penggunaan antidepresan untuk gangguan
konversi termasuk ulasan sistematis yang menyarankan antidepresan dapat berguna
untuk gangguan somatoform secara umum.12
- Antidepresan:
Depresi didefenisikan secara terminology sebagai satu masa sedih. Bisa juga
didefenisikan sebagai suatu psychoneurotic disorder dengan karasteristik penurunan
aktifitas dan mental, kesedihan, merasa tertolak/ terabaikan, putus asa hingga perasaan
ingin bunuh diri. Depresi terjadi ketika terjadi penurunan katekolamin dan
norephinefrin di dalam darah yang berfungsi dalam mengantarkan impuls saraf.
Antidepresan bekerja dengan cara menghambat penyerapan kembali katekolamin
melalui reseptor tertentu sehingga meningkatkan konsentrasi neutrotransmitter spesifik
di sekitar saraf otak. Ada 4 klasifikasi antidepresan antara lain12:

14
a. Trisiklik antidepresan (TCAs)
Beberapa obat golongan trisiklik sebagai contoh:

Tabel 1 Daftar obat golongan trisiklik, dosis, luas cakupan, efek samping dan toksisitas.12

15
b. Selective serotonin reuptake inhibitor (SSRI)

Tabel 2 Daftar obat golongan SSRI, dosis, luas cakupan, efek samping dan toksisitas. 12

c. Monoamine oxidase inhibitors (MAOIs)

Tabel 3 Daftar obat golongan MAOIs, dosis, luas cakupan, efek samping dan toksisitas.12

16
d. Serotonin-norepinephrine reuptake inhibitor (SNRI)

Tabel 4 Daftar obat golongan SNRI, dosis, luas cakupan, efek samping dan toksisitas. 12

17
- Antianxiety:

Tabel 5 daftar obat golongan SSRI, dosis, luas cakupan, efek samping dan toksisitas.12

18
F . TERAPI FISIK.
Dengan konversi kronis, kontraktur otot dapat terjadi dan terapi fisik diperlukan.
Namun, meskipun tidak ada kontraktur seperti itu, banyak pasien konversi menemukan
bahwa terapi fisik dapat membantu untuk gejala otot atau masalah keseimbangan.
Proses latihan dan aktivitas yang lambat secara progresif dapat membantu
mengembalikan fungsi.5,8

2.8. Prognosis
Prognosis untuk gangguan konversi umumnya buruk. Faktor-faktor yang terkait
dengan hasil yang buruk termasuk adanya beberapa gejala fisik, gejala yang
berlangsung lama, fungsi fisik yang buruk, gangguan kepribadian yang komorbiditas,
kepercayaan bahwa gejalanya tidak dapat dipulihkan dan disebabkan oleh penyakit
dengan dasar patologis yang diketahui, dan manfaat finansial terkait penyakit. Faktor-
faktor yang terkait dengan hasil positif dalam gangguan konversi meliputi respons yang
baik terhadap penjelasan dan pengobatan awal, kecemasan atau depresi komorbiditas,
perubahan status perkawinan, dan terapi yang baik dengan dokter.8

19
BAB III
KESIMPULAN

Gangguan konversi merupakan salah satu dari enam gangguan somatoform yang
dikategorikan dalam DSM-V. Gangguan konversi adalah adanya kehilangan atau
perubahan yang akut dan sementara pada fungsi motorik atau sensorik yang tidak sesuai
dengan gangguan neurologis yang diketahui atau yang telah dikonfirmasi.
Gangguan konversi di diagnosis bersesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan oleh

Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder (DSM-5) agar dapat membantu

menegakkan diagnosis dengan lebih efektif dan segera dapat ditangani. Namun terdapat

pendapat lain bahwa gangguan konversi masih sama kriteria diagnosisnya dengan Gangguan

Disosiatif (Konversi) (F.44) pada PPDGJ III.

Gangguan konversi dapat diobati dengan beberapa terapi seperti pendekatan dengan

pasien, reaassuranse, psikoterapi, dan farmakoterapi yaitu antidepresan. Setiap dari terapi

mempunyai kelebihan dan kekurangan yang tersendiri. Oleh itu, klinisi haruslah bijak dalam

mengatur pengobatan pada pasien gangguan konversi dapat meningkatkan kualitas hidupnya.

20
DAFTAR PUSTAKA

1. Hadisukanto Gitayanti. Gangguan Konversi. Dalam: Buku Ajar Psikiatri. Jakarta: Badan
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin; 2013. hal. 287-294.
2. Kaplan Harold I., Sadock Benjamin J., dan Grebb Jack A. Gangguan Konversi. Dalam:
Sinopsis Psikiatri Jilid 2. Edisi ke-7. Jakarta: Binarupa Aksara; 1997. hal. 74-78.
3. Hadisukanto Gitayanti. Gangguan Konversi. Dalam: Buku Ajar Psikiatri. Jakarta: Badan
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin; 2010. hal. 268-272.
4. Kaplan Harold I., Sadock Benjamin J., dan Pedro Ruiz., Gangguan Konversi. Dalam:
Comprehensive Textbook of Psychiatry. Jilid 1. Edisi ke-10. New York: Wolters
Kluwer; 2017. Hal. 4713-4717.
5. Maslim, Rusdi. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas dari PPDGJ III,
Jakarta; 2001
6. Jon Stone., Michael Sharpe., Conversion disorder in adults: Clinical features,
assessment, and comorbidity. Uptodate.com.
7. Ali Shadid, et al. Conversion Disorder : Mind vs Body: A Review. 2015
8. Utama Hendra.buku ajar psikiatri.Penerbit FK UI Jakarta,edisi 3
9. Gelder, Michael. New oxford textbook of psychiatry. 2nd edition. 2009. Oxford University
press, New York
10. Jerald Kay, Tasman Allan. Convertion Disorder. Essential of Psychiatry. Library of
Congress Cataloging-in-Publication Data. New York; 2006
11. Rubin, Eugene H. Zorumski, Charles F. Convertion Disorder, Adult Psychiatry, second
edition. Blackwell Publishing; 2005
12. Khouzam, field. Somatization disorder: clinical presentation and treatment in primary
care. Hospital physician. April 1999. Pp 20-5

21
LAPORAN KASUS

Skizofrenia Paranoid

IDENTITAS PASIEN

Nama : Tn. R
Jenis kelamin : Laki-laki
Tanggal lahir/ Umur : 37 Tahun
Status perkawinan : Duda
Agama : Islam
Warga Negara : Indonesia
Pekerjaan : Tidak bekerja
Alamat : Kajuara, Bone
No Status / No. Reg : 176843
Tanggal datang ke RSKD : 14 Juni 2019

LAPORAN PSIKIATRIK

Diperoleh secara autoanamnesis dan alloanamnesis dari:

Nama : Ny. Saati (085342203409)


Usia : 47 tahun
Agama : Islam

Suku : Bugis

Pendidikan Terakhir : SMA

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

Alamat : Kajuara, Bone

Hubungan dengan pasien : Tante pasien

22
I. RIWAYAT PENYAKIT

A. Keluhan Utama : Mengamuk

B. Riwayat Gangguan Sekarang

1. Keluhan dan Gejala

Seorang pasien laki-laki berusia 37 tahun datang ke IGD RSKD untuk kedua
kalinya dibawa oleh tante dan sepupunya dengan keluhan mengamuk yang dialami
dalam 1 minggu terakhir dan memberat pada 1 hari sebelum dibawa ke RSKD oleh
keluarganya. Pasien mengamuk pada hari Kamis, 13 Juni 2019 pukul 20.00 WITA
dengan merusak barang-barang, memecahkan piring dan gelas, berbicara keras tetapi
tidak menyentuh fisik orang lain dalam rumahnya setelah mencari remot TV tetapi
tidak ditemukan dan meminta uang untuk beli rokok tetapi tidak diberi oleh
keluarganya. Keluarganya mengatakan bahwa keluhan pasien mudah marah dan
tersinggung dirasakan sekitar 1 bulan lalu semenjak tidak meminum obat lagi,
memberat 1 minggu sebelum masuk RSKD dan memuncak 1 hari sebelum masuk
RSKD. Pasien sering marah apabila dibangunkan pada pagi hari, ditegur apabila
melakukan sesuatu , mudah sensitif, pasien sering berbicara sendiri dan keluarganya
tidak melihat orang lain yang ditemani bicara. Tetapi terkadang pasien menyesali
perbuatannya ketika sadar kembali. Keluarga merasa khawatir karena akhir-akhir ini
pasien sangat sensitive dan ingin melakukan hal yang diinginkannya saja. Perilaku
pasien setelah putus obat lebih dikhawatirkan oleh keluarga sehingga pasien dibawa
segera ke RSKD untuk rawat inap dan mendapatkan obat kembali. Pasien masih
dapat melakukan aktivitas nya seperti biasa seperti makan, minum, dan mandi.

Pada tahun 2009 pasien pertama kali dibawa keluarganya ke IGD RSKD Dadi
setelah bertemu ibunya di Malaysia dengan keluhan mengamuk. Dalam perjalanan
balik ke Indonesia, pasien mencoba lompat dari kapal untuk bunuh diri. Keluarga

23
merasa bahwa pasien marah kepada ibu nya karena merasa cemburu karena
beranggapan ibunya pilih kasih terhadap dirinya disbanding saudaranya. Pasien
dirawat di RSKD Dadi selama 1 minggu, mendapatkan obat dan mengonsumsi
obatnya secara teratur hingga 1 bulan yang lalu sebelum pasien di bawa ke IGD
RSKD Dadi. Pasien merupakan anak ke-3 dari 4 bersaudara. Anak pertama laki-laki,
anak kedua perempuan, dan anak keempat perempuan. Ayah pasien meninggal sejak
pasien berusia 5 tahun.

24
2. Hendaya/disfungsi

Berdasarkan alloanamnesis, autoanamnesis dan pemeriksaan status mental didapatkan


gejala klinis yang bermakna yaitu perilaku gelisah, sering bicara sendiri, mengamuk
ketika ditegur dan keinginannya tidak terpenuhi. Keadaan ini menimbulkan penderitaan
(distress) pada pasien, keluarga, dan masyarakat sekitar serta terdapat hendaya
(dissability) pada fungsi sosial seperti tidak bertemu orang lain selain kerabat
terdekatnya. Hendaya pekerjaan yakni tidak bekerja setelah pasien mengalami gejala
tersebut. Hendaya penggunaan waktu senggang seperti kurang tidur, sehingga dapat
disimpulkan bahwa pasien menderita gangguan jiwa.

3. Faktor Stressor Psikososial

Awal perubahan perilaku pasien 10 tahun lalu ketika pertama kali dibawa ke RSKD
dengan keluhan yang sama. Pasien sering mengatakan bahwa dia tidak menerima
kehidupannya seperti yang sekarang ini. Ayahnya meninggal ketika ia berusia 5 tahun,
Ibu kerja di Malaysia beserta kedua kakak dan adiknya tinggal di sana. Sewaktu kecil
pasien tinggal bersama tantenya dan dijemput Ibunya pada saat kelas IV SD dan putus
sekolah semenjak saat itu. Ketika pasien berbicara sendiri, pasien selalu membahas
mengenai kehidupannya yang tidak bisa dia terima dan merasa selalu dibicarakan oleh
keluarganya sehingga mudah tersinggung dan mengamuk.

4. Hubungan gangguan sekarang dengan riwayat fisik sebelumnya

• Trauma kepala (-)

• Infeksi (-)

• Kejang (-)

• Merokok (+) 1 bungkus setiap hari, sejak usia 15 tahun .

• Alkohol (-)

25
C. Riwayat Gangguan Sebelumnya

1. Riwayat penyakit fisik: tidak ada


2. Riwayat penggunaan NAPZA: tidak ada
3. Riwayat gangguan psikiatri sebelumnya: ada. 10 tahun lalu ketika pertama
kali dibawa ke RSKD Dadi

D. Riwayat Kehidupan Pribadi

1. Riwayat Prenatal dan Perinatal (0-1 tahun)

Riwayat kelahiran pasien lahir normal cukup bulan di rumahnya di Bone,


tanggal 10 Februari 1982 ditolong oleh dukun. Tidak ditemukan cacat lahir
ataupun kelainan bawaan. Ibu pasien juga tidak pernah mengalami pendarahan
dan penyakit fisik selama kehamilan. Tidak ada konsumsi alkohol, obat-obatan
atau jamu selama kehamilan dan mendapat ASI eksklusif dari ibunya sampai
usia 2 tahun.

2. Riwayat Masa Kanak Awal (1-3 Tahun)

Pasien tinggal bersama orang tua dan saudaranya. Pasien lanjut minum susu
formula pada usia 2 tahun dan mula makan makanan biasa. Pasien bertumbuh dan
berkembang seperti anak seusianya. Proses toilet training didapatkan pasien saat
umur 3 tahun. Saat itu ibu pasien mengajarkan dengan disiplin. Segala hal yang
bisa dilakukan pasien selalu dibantu oleh ibunya.

3. Riwayat Masa Kanak Awal dan Tengah (3-11 tahun)

Pasien diasuh dan tinggal bersama kedua orang tuanya dan saudaranya. Pada
waktu kecil, pasien mampu bermain dengan teman sebayanya. Pasien mendapat
kasih sayang dan perhatian yang cukup dari kedua orang tuanya. Namun Ayah
pasien meninggal ketika pasien berusia 5 tahun. Dan kemudian Ibu beserta saudara
lainnya pindah ke Malaysia untuk mencari kerja, sedangkan pasien tinggal
bersama tante dan neneknya di Bone. Pasien mulai bersekolah di SD pada usia 6

26
tahun. Pasien merupakan murid yang rajin dan tidak malas ke sekolah dan
termasuk dalam peringkat 10 besar di sekolah. Pasien adalah seorang yang mudah
bergaul tetapi lebih sering berdiam diri dan sensitive sejak kecil. Ketika pulang ke
rumah dari sekolah, pasien kadang singgah bermain dengan temannya tetapi
pulang sebelum sore.

4. Riwayat Masa Kanak Akhir dan Remaja (Usia 12-18 tahun)

Pasien dikenal sebagai seorang pendiam namun memiliki beberapa teman di


lingkungannya. Pasien lebih banyak memiliki teman di dekat rumahnya saja
karena lebih sering berinteraksi sama orang dalam lingkup rumah dan sekitarnya.
Pasien tidak memiliki pacar sewaktu remaja. Pasien sering berkumpul dengan
teman-temannya untuk latihan musik seperti bermain gitar.

5. Riwayat Masa Dewasa

• Riwayat Pekerjaan: Pasien pernah bekerja di pabrik rumput laut di Bone

• Riwayat Pernikahan: Pasien menikah pada tahun 2017 dan bercerai pada akhir
tahun 2017

• Riwayat Agama: Pasien beragama Islam

• Riwayat Pelanggaran Hukum: Selama ini pasien tidak pernah terlibat dengan
masalah pelanggaran hukum.

E. Riwayat Kehidupan Keluarga

Pasien merupakan anak ke 3 dari 4 bersaudara. Hubungan pasien dengan keluarga


baik sampai Ayahnya meninggal dan pasien tinggal terpisah dengan Ibu dan
saudaranya. Komunikasi tetap berjalan baik selama pasien tinggal bersama tante,
paman, dan sepupunya. Di Bone rumah kediaman neneknya, pasien sangat akrab
dengan sepupu sebayanya yang berjenis kelamin laki-laki. Semenjak tahun 2009,
setelah pasien dipulangkan dari RSKD, pasien lebih sering marah kepada
keluarganya di rumah karena sangat sensitive dan selalu merasa bahwa
keluarganya menceritakan dan membenci dirinya. Pasien juga sering berkata

27
membenci Ibunya karena pasien merasa akhir-akhir ini ibunya pilih-kasih kepada
anak-anaknya dan sering cemburu pada kakak perempuannya dengan alasan lebih
banyak uang yang diberikan oleh ibunya. Gejala membaik ketika pasien minum
obat dan segera menyadari perbuatannya.

GENOGRAM

v v
v v

v
v

v
v

Keterangan

= Laki – laki

= Perempuan

28
= Gangguan Jiwa

= Meninggal

= Penderita

= tinggal serumah

F. Situasi Sekarang

Saat ini pasien tinggal bersama kedua tante dan om nya, beserta 3 orang
sepupunya. Ibu pasien dan saudaranya masih tinggal di Malaysia. Pasien kadang ke
Malaysia untuk bertemu keluarganya.

G. Persepsi Pasien Tentang Diri dan Kehidupannya

Pasien sadar bahwa dirinya sakit , tetapi menyangkalnya pada saat yang bersamaan

29
II. STATUS MENTAL (Jumat, 14 Juni 2019)

A. Deskripsi Umum

1. Penampilan

Seorang laki-laki 37 tahun mengenakan baju kemeja berwarna abu-abu dan


celana panjang jeans hitam. Rambut pendek, lurus, dan berwarna hitam. Wajah
sesuai usia, perawakan kurus, perawatan diri kesan cukup.

2. Kesadaran : Berubah

3. Perilaku dan aktivitas psikomotor : Tenang

4. Pembicaraan : Spontan, lancar, intonasi agak pelan

5. Sikap terhadap pemeriksa : Kooperatif

B. Keadaan Afektif (Mood) , Perasaan, Empati dan Perhatian

1. Mood : Sulit dinilai (observasi)

2. Afek : Terbatas
Keserasian : Tidak serasi
3. Empati : Tidak dapat dirabarasakan

C. Fungsi Intelektual (Kognitif)

1. Taraf pendidikan, pengetahuan umum dan kecerdasan: Pengetahuan umum dan


kecerdasan sesuai dengan tingkat pendidikan pasien

2. Daya konsentrasi : Terganggu

3. Orientasi
Waktu : Baik

Tempat : Baik

30
Orang : Baik

4. Daya ingat:
Jangka Panjang : Baik

Jangka Pendek : Baik

Jangka Segera : Baik

5. Pikiran abstrak : Terganggu


6. Bakat kreatif : Tidak ada
7. Kemampuan menolong diri sendiri : Terganggu

D. Gangguan Persepsi

1. Halusinasi :

Halusinasi auditorik : ada

Pasien mendengar suara yang dipersepsikan sebagai suara laki-laki bahwa ada
yang selalu berbicara kepadanya dan mengomentari kehidupannya saat ini.
Dirasakan beberapa kali dalam seminggu, dengan durasi yang berbeda-beda
setiap mengalami halusinasi tersebut

2. Ilusi : tidak ada

3. Depersonalisasi : tidak ada

4. Derealisasi : tidak ada

E. Proses Berpikir

1. Arus pikiran

• Produktivitas : Cukup

• Kontinuitas : kadang-kadang irrelevan, koheren

• Hendaya berbahasa : Tidak ada

2. Isi pikiran:

31
• Pre-okupasi : Tidak Ada

• Gangguan isi pikiran :

Ideas of references :

Pasien meyakini bahwa keluarganya sering menceritai tentang dirinya dan


kehidupannya sehingga pasien lebih mudah tersinggung

Waham kebesaran :

Pasien mengaku bahwa memiliki tenaga dalam yang bisa menghancurkan


kayu dengan dorongan tangannya.

F. Pengendalian Impuls : Terganggu

G. Daya Nilai

1. Norma sosial : Terganggu

2. Uji daya nilai : Terganggu

3. Penilaian realitas : Terganggu

H. Tilikan (Insight)

Derajat 2 (Menyadari dirinya sakit dan meminta pertolongan, namun menyangkalnya


dalam waktu yang sama)

I. Taraf Dapat Dipercaya : Dapat dipercaya

III. PEMERIKSAAN FISIK DAN NEUROLOGIS

A. Status Internus

Kesadaran kompos mentis, tekanan darah 130/90 mmHg, Nadi 88x/menit,


Pernapasan 24x/menit, suhu 36,5 oC. Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak

32
ikterus, jantung paru abdomen dalam batas normal, ekstremitas atas dan bawah
tidak ada kelainan.

B. Status Neurologis

GCS: E4M6V5, Gejala rangsang selaput otak: kaku kuduk negatif, pupil bulat
isokor 2,5 mm / 2,5 mm, refleks cahaya (+/+), fungsi motorik dan sensorik
keempat ekstremitas dalam batas normal. Tidak ditemukan refleks patologis.
Cara berjalan normal, keseimbangan baik. Sistem saraf sensorik dan motorik
dalam batas normal. Kesan: Normal.

IV. IKHTISAR PENEMUAN BERMAKNA

Seorang pasien laki-laki berusia 37 tahun datang ke igd RSKD untuk kedua kalinya
dibawa oleh tante dan sepupunya dengan keluhan mengamuk yang dialami dalam 1
minggu terakhir dan memberat pada 1 hari sebelum dibawa ke RSKD oleh
keluarganya. Pasien mengamuk pada hari Kamis, 13 Juni 2019 pukul 20.00 WITA
dengan merusak barang-barang, memecahkan piring dan gelas, berbicara keras tetapi
tidak menyentuh fisik orang lain dalam rumahnya setelah mencari remot TV tetapi
tidak ditemukan dan meminta uang untuk beli rokok tetapi tidak diberi oleh
keluarganya. Keluarganya mengatakan bahwa keluhan pasien mudah marah dan
tersinggung dirasakan sekitar 1 bulan lalu semenjak tidak meminum obat lagi,
memberat 1 minggu sebelum masuk RSKD dan memuncak 1 hari sebelum masuk
RSKD. Pasien sering marah apabila dibangunkan pada pagi hari, ditegur apabila
melakukan sesuatu , mudah sensitif, pasien sering berbicara sendiri dan keluarganya
tidak melihat orang lain yang ditemani bicara. Tetapi terkadang pasien menyesali
perbuatannya ketika sadar kembali. Keluarga merasa khawatir karena akhir-akhir ini
pasien sangat sensitive dan ingin melakukan hal yang diinginkannya saja. Perilaku
pasien setelah putus obat lebih dikhawatirkan oleh keluarga sehingga pasien dibawa
segera ke RSKD untuk rawat inap dan mendapatkan obat kembali.

33
Awal perubahan perilaku pasien 10 tahun lalu ketika di Malaysia mengamuk saat
bertemu keluarganya lalu diantar oleh Ibunya kembali ke Makassar untuk dirawat di
RSKD Dadi. Dalam perjalanan di kapal, pasien sempat mencoba bunuh diri. Pasien
menjadi lebih sensitive terhadap keluarganya, dan lebih sering marah dengan alasan
yang tidak jelas. Pasien sering berbicara sendiri dan kadang sampai ber jam-jam
lamanya. Pasien mengatakan suara tersebut sering mengomentari tentang diri dan
kehidupannya, serta mengatakan bahwa keluarganya membenci dirinya.
Pada pemeriksaan status mental pasien datang berpakaian dengan mengenakan baju
kemeja berwarna abu-abu dan celana panjang jeans hitam. Rambut pendek, lurus, dan
warna hitam. Pembicaraan spontan dan sikap terhadap pemeriksa cukup kooperatif.
Mood sulit dinilai, afek terbatas, empati tidak dapat dirabarasakan. Daya konsentrasi
terganggu. Halusinasi auditorik, gangguan isi pikir yaitu waham. Tilikan derajat 2,
sadar bahwa dirinya sakit dan menyangkalnya pada waktu bersamaan. Secara
keseluruhannya, setiap informasi yang diutarakan pasien dapat dipercaya.

V. EVALUASI MULTIAKSIAL

Aksis I

Berdasarkan autoanamnesis, alloanamnesis dan pemeriksaan status mental,


ditemukan adanya gejala klinis yang bermakna yaitu pasien sering mengamuk
dengan alasan yang tidak jelas, konsentrasi terganggu dan lebih sering tidur Keadaan
ini menimbulkan penderitaan (distress) pada dirinya, sulit melakukan tugas dalam
kehidupan harian, dan sulit mengisi waktu luangnya dengan hal yang bermanfaat
(disability) sehingga dapat disimpulkan bahwa pasien menderita Gangguan jiwa.
Pasien mengalami hendaya berat dalam menilai realitas, mengalami halusinasi
auditorik sehingga pasien digolongkan dengan Gangguan Jiwa Psikotik. Pasien
tidak ditemukan adanya riwayat infeksi dan trauma kepala maupun gangguan
neurologis sehingga Gangguan Jiwa Organik dapat disingkirkan.

34
Berdasarkan autoanamnesis, alloanamnesis, dan pemeriksaan status mental
ditemukan adanya gejala klinis yang bermakna berupa afek berubah yakni terbatas,
konsentrasi berkurang, dan lebih suka tidur. Perubahan perilaku dimulai 10 tahun
sebelumnya, selalu merasa kehidupan yang dijalaninya sangat berat dan kurang
mendapat perhatian akan masalahnya. Setelah itu pasien mulai tampak gelisah,
mudah marah mudah emosi dan suka mengamuk, disertai halusinasi auditorik dan
waham kebesaran, serta merasa selalu dibicarakan (Ideas of references). Namun
ketika sadar, pasien kembali normal seperti biasa dan kadang menyesali
perbuatannya Selama ini pasien tidak memiliki riwayat penyakit, dan masuk RS
karena penyakit lain selain gangguan jiwa yang pertama kali dialaminya 10 tahun
yang lalu sebagai skizofrenia. Berdasarkan gejala-gejala klinis ini dapat ditegakkan
diagnosis Skizofrenia Paranoid (F20.0).

Pasien didiagnosis banding dengan:

1. Gangguan waham menetap (F22) : Pasien mempunyai waham bizarre dan ide
kejaran sehingga memenuhi kriteria skizofrenia. Pasien juga memiliki halusinasi
auditorik sehingga differensial diagnosis ini dapat disingkirkan.

Axis II

Data yang didapatkan belum cukup yang mengarah pada ciri suatu kepribadian tertentu
(tidak khas). Namun ciri kepribadiannya mengarah ke ciri kepribadian skizoid

Axis III

Tidak ada

Axis IV

Stressor tidak jelas

Axis V

GAF Scale 40-31

35
VI. DAFTAR MASALAH

• Organobiologik

Tidak ditemukan kelainan klinis yang bermakna, tetapi karena terdapat


ketidakseimbangan neurotransmitter maka pasien memerlukan
psikofarmakoterapi.

• Psikologik

Ditemukan adanya masalah psikologi yang diderita pasien, sehingga pasien


memerlukan psikoterapi.

• Sosial

Ditemukan adanya hendaya dalam sosial, bekerja sehingga pasien memerlukan


sosioterapi.

VII. RENCANA TERAPI

1. Farmakoterapi

R/Risperidon 2 mg 1 tablet/12jam/oral

Clozapine 25mg/24jam/oral malam

Dengan catatan : Selalu evaluasi tanda-tanda vital pasien, dan observasi ada
tidaknya efek samping pengobatan

2. Psikoterapi

Ventilasi: Memberikan kesempatan kepada pasien untuk menceritakan keluhan


dan isi hati serta perasaan sehingga pasien merasa lega.

3. Sosioterapi

Memberikan penjelasan kepada pasien, keluarga pasien dan orang-orang di


sekitarnya sehingga dapat menerima dan menciptakan suasana lingkungan yang
mendukung.

36
VIII. PROGNOSIS

Ad vitam : Bonam
Ad functionam : Dubia ad bonam
Ad sanationam : Malam
1. Faktor pendukung prognosis:

• Pasien menunjukkan gejala positif

• Keluarga pasien mendukung kesembuhan pasien

• Akses ke pelayanan jiwa lancar

2. Faktor penghambat:
 Pasien merasa sakit, namun menyangkal dalam waktu bersamaan. Dan
pasien lebih suka mengatur obatnya sendiri

IX. FOLLOW UP

Memantau keadaan umum pasien dan perkembangan penyakitnya serta menilai


efektivitas terapi dan kemungkinan efek samping yang terjadi.

X. DISKUSI

Gangguan psikotik adalah gangguan jiwa yang ditandai dengan adanya halusinasi,
waham, perilaku kataton, perilaku kacau, pembicaraan kacau yang pada umumnya
disertai tilikan yang buruk. Waham atau delusi adalah kepercayaan yang salah,
berdasarkan simpulan yang salah tentang kenyataan eksternal, yang dipegang teguh
meskipun apa yang diyakini semua orang merupakan bukti-bukti yang jelas dan tak
terbantahkan.

37
Skizofrenia Paranoid (F20.0)

Skizofrenia Paranoid adalah gangguan jiwa yang ditandai dengan


ketidakmampuan individu menilai kenyataan yang terjadi, misalnya terdapat
halusinasi, waham atau perilaku kacau/aneh.

Kriteria Diagnostik Menurut PPDGJ III:

F20.0 Skizofrenia Paranoid

 Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia:


1. Harus adanya sedikit satu gejala berikut:
a. “thought echo”/ “thought insertion” / “thought broadcasting”
b. “delusion of control” / “delusion of influence” / “delusion of passivity” /
“delusion perception” /
c. halusinasi auditorik
d. waham-waham menetap jenis lainnya yang menurut budaya setempat tidak
wajar dan sesuatu yang mustahil.

2. Atau paling sedikit dua gejala berikut:


a. Halusinasi yang menetap dari pancaindera apa saja, disertai baik oleh
waham yang mengambang ,aupun yang setengah berbentuk tanpa
kandungan afektif yang jelas
b. Arus pikiran yang terputus yang berakibat inkoherensi atau pembicaraan
yang tidak relevan
c. Perilaku katatonik
d. Gejala-gejala negatif

3. Gejala-gejala khas telah berlangsung selama kurun waktu satu bulan atau
lebih.
4. Harus ada suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu
keseluruhan dan penarikan diri secara sosial.
38
• Sebagai tambahan:

1. Halusinasi dan /atau waham harus menonjol:


a. Suara-suara halusinasi yang mengancam pasien atau
memberi perintah atau halusinasi auditorik tanpa bentuk
verbal berupa bunyi pluit atau bunyi tawa
b. Halusinasi pembauan atatu pengecapan rasa atau bersifat
seksual atau halusinasi visual
c. Waham dapat berupa hampir setiap jenis
2. Gangguan afektif, dorongan kehendak dan pembicaraan serta
gejala katatonik secara relative tidak nyata dan tidak menonjol.
Diagnosis banding yang boleh dipertimbangkan pada pasien ini adalah Gangguan
waham menetap (F22) dan Skizoafektif (F25).2

Medikasi antipsikotik adalah inti dari pengobatan skizofrenia, tetapi intervensi


psikososial dapat memperkuat perbaikan klinis. Penatalaksanaan psikososial umumnya
lebih efektif pada saat pasien berada dalam fase perbaikan dibanding fase akut. Terapi
berorientasi keluarga dapat dilakukan dengan memberikan penjelasan tentang gangguan
yang dialami pasien dan menciptakan suasana yang baik agar dapat mendukung proses
pemulihan pasien.

Pasien ini diberikan Risperidon 2 mg, sesuai dengan terapi antipsikosis atipikal.
Risperidon bekerja dengan cara menghambat reseptor serotonin dan dopamine.3 Pasien
turut diberikan Clozapin 25 mg yang merupakan obat antipsikosis. Ianya bekerja dengan
cara menghambat serotonin alfa adrenergik.

Pasien diberikan psikoterapi berupa terapi interpersonal dan sosioterapi. Hal ini
sesuai karena terapi interpersonal, sosioterapi dan kognitif telah terbukti efektifitasnya
dalam kasus gangguan psikotik. Terapi kognitif bertujuan untuk mengurangi gejala
depresi dan mencegah rekurensi, dengan cara mengajarkan pasien untuk
mengidentifikasi masalah dan mengubah pola pikir pasien menjadi positif. Terapi
interpersonal dilakukan untuk memperbaiki kemampuan sosial pasien dan memperbaiki
hubungan interpersonal. Selain itu, terapi sosioterapi dilakukan untuk keluarga pasien,

39
atau orang disekitar pasien dapat menerima keadaan pasien dan menciptakan suasana
yang mendukung pasien.

40
DAFTAR PUSTAKA

1. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Buku Ajar Psikatri (2nd ed).


Sylvia DE, Gitayanti H, editor. Jakarta: Badan Penerbit FKUI, 2013;

2. Maslim Rusdi. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa. Rujukan Ringkas dari
PPDGJ III dan DSM 5. Cetakan 2. Jakarta: Penerbit Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa
Fk-Unika Atma Jaya. Di cetak oleh PT. Nuh Jaya

3. Maslim R. Panduan Praktis Penggunaan Klinis Obat Psikotropik Edisi


2014. Jakarta : Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Atma Jaya, 2014

4. Sadock B, Sadock V. Kaplan & Saddock’s Comprehensive textbook of


psychiatry Vol I/II. Tenth Edition. China. Wolters Kluwer. 2017.

5. Amir Syarif et al. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Jakarta: FKUI Jakarta.
2012

6. Sadock, Benjamin James et al. Synopsis of Psychiatry. Philadelphia: Wolters


Kluwer; 2015
7. Kaplan HI, BJ Sadock, JA Grebb, Skizofrenia dalam Sinopsis Psikiatri, Jilid Satu,
Binarupa Aksara, Jakarta, 2010.

41

Anda mungkin juga menyukai