DISUSUN OLEH:
1. BENY VENALOSA 20186013239
2. ERISNA 20186013222
3. KOMALASARI 2018601228
1
DAFTAR ISI
Halaman
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................. 1
LAMPIRAN
2
BAB I
PENDAHULUAN
1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Aksiologi
Menurut bahasa yunani, aksiologi berasal dari kata axios artinya
nilai dan logos artinya teori atau ilmu. Menurut Kamus bahasa indonesia
aksiologi adalah kegunaan ilmu pengetahuan bagi kehidupan manusia,
kajian tentang nilai-nilai khususnya etika. nilai digunakan sebagai kata
benda abstrak, Dalam pengertian yang lebih sempit seperti baik, menarik
dan bagus.Sedangkan dalam pengertian yang lebih luas mencakup sebagai
tambahan segala bentuk kewajiban, kebenaran dan kesucian.
2. Bramel
Menurut Bramel, aksiologi ini terbagi dalam tiga bagian. Moral conduct,
merupakan tindakan moral, bidang ini melahirkan disiplin khusus, yaitu
etika. Esthetic expression, merupakan ekspresi keindahan. Bidang ini
menimbulkan atau melahirkan suatu keindahan. Sosio-political life.
Aksiologi merupakan nilai-nilai sebagai tolak ukur kebenaran, etika serta
moral sebagai dasar normative penelitian dan juga penggalian, dan juga
penerapan ilmu.
2
3. Kattsoff (2004: 319)
Mendefinisikan bahwa aksiologi ialah sebagai ilmu pengetahuan yang
menyelediki hakekat nilai yang umumnya ditinjau dari sudut pandang
kefilsafatan.
B. Moral
Kata moral dalam bahasa Yunani sama dengan ethos yang
melahirkan etika. Sebagai cabang filsafat, etika sangat menekankan
pendekatan yang kritis dalam melihat nilai (takaran, harga, angka
kepandaian, kadar/mutu, sifat-sifat yang penting/berguna) dan moral
tersebut serta permasalahan-permasalahan yang timbul dalam kaitan dengan
nilai dan moral itu (Ihsan Fuad, 2010:271).
Moral merupakan kondisi pikiran, perasaan, ucapan, dan perilaku
manusia yang terkait dengan nilai-nilai baik dan buruk. Manusia yang tidak
memiliki moral disebut amoral artinya dia tidak bermoral dan tidak memilki
nilai positif di mata manusia lainnya. Sehingga moral adalah hal mutlak
yang harus dimiliki oleh manusia. Moral itu sifat dasar yang diajarkan di
sekolah dan manusia harus mempunyai moral jika ia ingin dihormati oleh
sesamanya.
Moral adalah perbuatan/tingkah laku/ucapan seseorang dalam
berinteraksi dengan manusia. Apabila yang dilakukan seseorang itu sesuai
dengan nilai rasa yang berlaku di masyarakat tersebut dan dapat diterima
serta menyenangkan lingkungan masyarakatnya, maka orang itu dinilai
mempunyai moral yang baik, begitu juga sebaliknya. Moral adalah produk
dari budaya dan agama. Moral juga dapat diartikan sebagai sikap,perilaku,
tindakan, kelakuan yang dilakukan seseorang pada saat mencoba melakukan
sesuatu berdasarkan pengalaman, tafsiran, suara hati, serta nasihat
(http://id.wikipedia.org/wiki/moral).
Penerapan dari ilmu pengetahuan dan teknologi membutuhkan
dimensi etis sebagai pertimbangan dan mempunyai pengaruh pada proses
perkembangan lebih lanjut ilmu pengetahuan dan teknologi. Tanggung
jawab etis merupakan sesuatu yang menyangkut kegiatan maupun
3
penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam hal ini berarti ilmuwan
dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi harus
memperhatikan kodrat manusia, martabat manusia, menjaga keseimbangan
ekosistem, bertanggung jawab pada kepentingan umum, kepentingan
generasi mendatang, dan bersifat universal, karena pada dasarnya ilmu
pengetahuan dan teknologi adalah untuk mengembangkan dan
memperkokoh eksistensi manusia bukan untuk menghancurkan eksistensi
manusia (Ihsan Fuad, 2010:280).
Darsono (2010:247) mengemukakan moral adalah sistem nilai
(sesuatu yang dijunjung tinggi) yang berupa ajaran (agama) dan paham
(ideologi)sebagai pedoman untuk bersikap dan bertindak baik yang
diwariskan dari generasi ke generasi berikutnya. Tujuan moral adalah
mengarahkan sikap dan perilaku manusia agar menjadi baik sesuai dengan
ajaran dan paham yang dianutnya. Manfaat moral adalah menjadi pedoman
untuk bersikap dan bertindak atau berperilaku dalam interaksi sosial yang
dinilai baik atau buruk. Tanpa memiliki moral, seseorang akan bertindak
menyimpang dari norma dan nilai sosial dimana mereka hidup dan mencari
penghidupan.
4
melainkan untuk tujuan perang, memerangi semua manusia dan untuk
menguasai mereka.
Di pihak lain, perkembangan dan kemajuan ilmu sering melupakan
kedudukan atau faktor manusia. Penemuan ilmu semestinya untuk
kepentingan manusia, jadi ilmu yang menyesuaikan dengan kedudukan
manusia, namun keadaan justru sebaliknya yaitu manusialah yang akhirnya
harus menyesuaikan diri dengan ilmu.
Jadi ilmu bukan saja menimbulkan gejala dehumanisasi namun
bahkan kemungkinan mengubah hakikat kemanusiaan. Ilmu bukan lagi
merupakan sarana yang membantu manusia mencapai tujuan hidupnya,
namun bahkan kemungkinan mengubah hakikat kemanusiaan. Ilmu bukan
lagi merupakan sarana yang membantu manusia mencapai tujuan hidupnya,
namun juga menciptakan tujuan hidup itu sendiri.
5
mutlak harus terjadi dan apa yang bakal terjadi tidak perlu terjadi; hal itu
semata-mata bergantung kepada keputusan manusia sendiri (Ihsan, 2010:
281).
Menurut Abbas Hama (dikutip Surajiyo, 2008:153) Para ilmuwan
sebagai orang yang professional dalam bidang keilmuwan sudah barang
tentu mereka juga memiliki visi moral, yaitu moral khusus sebagai ilmuwan.
Moral inilah didalam filsafat ilmu disebut juga sebagai sikap ilmiah.
Menurut Abbas (dikutip Surajiyo, 2008:156) sedikitnya ada enam sikap
ilmiah yang perlu dimiliki oleh para ilmuwan yaitu :
1. Tidak ada rasa pamrih (disinterstedness), artinya suatu sikap diarahkan
untuk mencapai pengetahuan ilmiah yang objektif dengan
menghilangkan pamrih atau kesenangan pribadi.
2. Bersikap selektif, yaitu suatu sikap yang tujuannya agar para ilmuwan
Mampu mengadakan pemilihan terhadap segala sesuatu yang dihadapi.
Misalnya hipotesis yang beragam, metodologi yang masing-masing
menunjukkan kekuatannya atau cara penyimpulan yang satu cukup
berbeda walaupun masing-masing menunjukkan akurasinya.
3. Adanya rasa percaya yang layak baik terhadap kenyataan maupun
terhadap alat-alat indra serta budi (mind).
4. Adanya sikap yang mendasar pada suatu kepercayaan (belief) dan dengan
merasa pasti (conviction) bahwa setiap pendapat atau teori yang
terdahulu telah mencapai kepastian.
5. Adanya suatu kegiatan rutin bahwa seorang ilmuwan harus selalu tidak
puas terhadap penelitian yang telah dilakukan, sehingg selalu ada
dorongan untuk riset dan riset sebagai aktivitas yang menonjol dalam
hidupnya.
6. Harus memiliki sikap etis (akhlak) yang selalu berkehendak untuk
mengembangkan ilmu untuk kemajuan ilmu dan untuk kebahagiaan
manusia, lebih khusus untuk pembangunan bangsa dan negara.
6
moral yang melandasi sikap etis seorang ilmuan. Kegiatan intelektual yang
meninggikan kebenaran sebagai tujuan akhirnya mau tidak mau akan
mempengaruhi pandangan moral.
Kebenaran berfungsi bukan saja sebagai jalan pikirannya namun
seluruh jalan hidupnya. Dalam usaha masyarakat untuk menegakkan
kebenaran inilah maka seorang ilmuwan terpanggil oleh kewajiban
sosialnya, bukan saja sebagai penganalisis materi kebenaran tersebut namun
juga sebagai prototipe moral yang baik (Suriasumantri, 2000: 244).
Seorang ilmuwan mempunyai tanggung jawab sosial, bukan saja
karena dia adalah warga masyarakat yang kepentingannya terlibat secara
langsung di masyarakat namun yang lebih penting adalah karena dia
mempunyai fungsi tertentu dalam kelangsungan hidup bermasyarakat.
Fungsinya selaku ilmuwan tidak berhenti pada penelaahan dan keilmuan
secara individual namun juga ikut bertanggung jawab agar produk keilmuan
sampai dan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat (Suriasumantri Jujun S,
2000:237).
Jika dinyatakan bahwa ilmu bertanggung jawab atas perubahan
sosial, maka hal itu berarti ilmu telah mengakibatkan perubahan sosial dan
juga ilmu bertanggung jawab atas sesuatu yang bakal terjadi. Jadi tanggung
jawab tersebut bersangkut paut dengan masa lampau dan juga masa depan
(Ihsan Fuad,2010:281).
Ilmuwan berdasarkan pengetahuannya memiliki kemampuan untuk
meramalkan apa yang akan terjadi. Umpamanya saja apakah yang akan
terjadi dengan ilmu dan teknologi kita di masa depan berdasarkan proses
pendidikan keilmuan sekarang. Dengan kemampuan pengetahuannya
seorang ilmuwan juga harus dapat mempengaruhi opini masyarakat
terhadap masalah-masalah yang seyogyanya mereka sadari (Suriasumantri
Jujun S,2000:241).
Tanggung jawab ilmu atas masa depan pertama-tama menyangkut
usaha agar segala sesuatu yang terganggu oleh campur tangan ilmu bakal
dipulihkan kembali. Campur tangan ilmu terhadap masa depan bersifat berat
sebelah, karena sekaligus tertuju kepada keseimbangan dalam alam dan
7
terhadap keteraturan sosial. Gangguan terhadap keseimbangan alam
misalnya pembasmian kimiawi terhadap hama tanaman, sistem pengairan,
dan sebagainya. Perlu diingat bahwa keberatsebelahan itu sebenarnya bukan
hanya karena tanggung jawab ilmu saja, melainkan juga oleh manusia
sendiri (Ihsan Fuad, 2010: 282).
Seorang ilmuwan pada hakikatnya adalah manusia yang biasa
berpikir dengan teratur dan teliti. Bukan saja jalan pikirannya mengalir
melalui pola-pola yang teratur namun juga segenap materi yang menjadi
bahan pemikirannya dikaji dengan teliti. Seorang ilmuwan tidak menolak
atau menerima sesuatu begitu saja tanpa suatu pemikiran yang cermat.
Disinilah kelebihan seorang ilmuwan dibandingkan dengan cara berpikir
seorang awam (Suriasumantri Jujun S, 2000 : 243).
8
bukan untuk kepentingan pribadinya atau kepentingan sesaat. para ilmuwan
sebagai orang yang profesional dalam bidang keilmuan tentu perlu memiliki
visi moral khusus sebagai ilmuwan. Moral inilah di dalam filsafat ilmu
disebut sikap ilmiah. Sikap yang perlu dimiliki oleh para ilmuwan, antara
lain:
1) Tidak ada rasa pamrih, yaitu suatu sikap yang diarahka untuk mencapai
pengetahuan ilmiah yang objektif dengan menghilangkan pamrih atau
kesenangan pribadi.
2) Bersikap selektif, yaitu suatu sikap yang bertujuan agar para imuawan
mampu mengadakan pemilihan terhadap berbagai hal yang dihadapi.
3) Seoarang ilmuwan sangat menghargai terhadap segala pendapat yang
dikemukakan oleh orang lain, oleh para ilmuwan lainnya, memiliki
keyakinan yang kuat terhadap kenyataan maupun terhadap alat indera
serta budi, adanya sikap yang positif terhadap setiap pendapat atau teori
terdahulu telah memberikan inspirasi bagi terlaksanya penelitian dan
pengamatan lebih lanjut.
4) Seorang ilmuan juga memilki rasa tidak puas terhapa penelitian yang
telah dilakukan sehingga dia terdorong untuk terus melakukan riset atau
penelitian.
5) Seorang ilmuwan harus memilki akhlak atau sikap etis yang selalu
berkehendak untuk mengembangkan ilmu untuk kebahagian manusia,
lebih khusus untuk pembangunan bangsa dan negara. Akhlak dan sikap
etis dalam mengembangkan ilmu untuk memiliki sopan santun ilmiah
yaitu dengan berhati-hati dalam mengeluarkan pendapat, dan kalau
teryata dia salah maka harus segera menyadari dan mengklasifikasi
kesalahan tersebut.
9
kelompok dalam mengatur tingkah lakunya; kumpulan asas atau nilai moral
(Kode Etik) dan ilmu tentang perihal yang baik dan yang buruk. Misalnya
saja tanggung jawab etika ilmuwan yang berkenaan dengan penulisan karya
ilmiah, maka kode etik pada penulisan karya ilmiah harus memenuhi
beberapa kriteria, yaitu sebagai berikut:
1) Obyektif (berdasarkan kondisi faktual)
2) Up to date(yang ditulis merupakan perkembangan ilmu paling akhir)
3) Rasional(berfungsi sebagai wahana penyampaian kritik timbal-balik)
4) Reserved(tidak overcliming, jujur, lugas dan tidak bermotif pribadi)
5) Efektif dan efisien(tulisan sebagai alat komunikasi yang berdaya
tariktinggi).
E. Objek Aksiologi
Dua hal yang sangat terkait dengan aksiologi adalah etika dan
estetika. Etika sebenarnya membahas tentang rasionalitas nilai tindakan
manusia, tentang baik dan buruknya sebuah tindakan. Karena itu, etika
sering disebut dengan filsafat moral. Etika membahas tentang bagaimana
manusia bertindak. Etika mambahas baik-buruknya dan benar-tidaknya
tingkah laku manusia beserta kewajiban-kewajibannya.
Mengapa dalam filsafat terdapat pandangan yang mengatakan nilai
sangatlah penting, Hal tersebut disebabkan karena filsafat ialah sebagai
philosophy of life mengajarkan nilai-nilai yang terdapat dalam kehidupan
yang berguna ialah sebagai pengontrol sifat keilmuan manusia. Teori nilai
ini sama halnya dengan agama yang menjadi pedoman kehidupan manusia.
1. Etika
Etika merupakan salah satu cabang ilmu fisafat yang membahas
moralitas nilai baik dan buruk, etika bisa di definisikan sebagai nilai-nilai
atau norma-norma yang menjadi pegangan manusia atau masyarakat
yang mengatur tingkah lakunya.
Etika berasal dari dua kata ethos yang berarti sifat, watak,
kebiasaan, ethikos berarti susila, keadaban atau kelakuan dan perbuatan
yang baik.
10
Dalam istilah lain dinamakan moral yang berasal dari bahasa
latin mores, jamak dari mos yang berarti adat, kebiasaan. Dalam bahasa
arab disebut akhlaq yang berarti budi pekerti dan dalam bahasa Indonesia
dinamakan tata susila.
Dalam hal ini ada berbagai pembagian etika yang dibuat oleh
para ahli etika, beberapa ahli membagi ke dalam dua bagian, yaitu etika
deskriptif dan etika normative, ada juga yang menambahkan yaitu etika
metaetika.
a. Etika deskriptif
Etika deskriptif adalah cara melukiskan tingkah laku moral
dalam arti luas seperti: adat kebiasaan, anggapan tentang baik atau
buruk, tindakan yang di perbolehkan atau tidak. Etika deskriptif
mempelajari moralitas yang terdapat pada individu, kebudayaan atau
sub-kultur tertentu. Oleh karena itu, etika deskriptif ini tidak
memberikan penilaian apapun, ia hanya memaparkan. Etika deskriptif
lebih bersifat netral. Misalnya, penggambaran tentang adat mangayau
kepala pada suku primitive.
Etika deskriptif dibagi ke dalam dua bagian: pertama, sejarah
moral, yang meneliti cita-cita, norma-norma yang pernah di
berlakukan dalam kehidupan manusia pada kurun waktu dan suatu
tempat tertentu atau dalam suatu lingkungan besar yang mencakup
beberapa bangsa. Kedua, fenomenologi moral, yang berupaya
menemukan arti dan makna moralitas dari berbagai fenomena moral
yang ada.
b. Etika Normatif
Etika normatif mendasarkan pendiriannya atas norma. Ia dapat
mempersoalkan norma yang diterima seseorang atau masyarakat
secara lebih kritis. Ia bisa mempersoalkan apakah norma itu benar
atau tidak. Etika normatif berarti sistem-sistem yang dimaksudkan
untuk memberikan petunjuk atau penuntun dalam mengambil
keputusan yang menyangkut baik atau buruk.
11
Etika normatif kerap kali juga disebut filsafat moral atau juga
disebut etika filsafati. Etika normatif dapat dibagi kedalam dua teori,
yaitu teori nilai dan teori keharusan. Teori-teori nilai mempersoalkan
sifat kebaikan, sedangkan teori keharusan membahas tingkah laku.
Adapula yang membagi etika normative kedalam dua golongan
sebagai berikut: konsekuensialis dan nonkonsekuensialis.
Konsekuensialis berpendapat bahwa moralitas suatu tindakan
ditentukan oleh konsekuensinya. Adapun nonkonsekuensialis
berpendapat bahwa moralitas suatu tindakan ditentukan oleh sebab-
sebab yang menjadi dorongan dari tindakan itu, atau ditentukan oleh
sifat-sifat hakikinya atau oleh keberadaanya yang sesuai dengan
ketentuan-ketentuan dan prinsip-prinsip tertentu.
2. Estetika
Estetika adalah cabang filsafat yang mempersoalkan seni dan
keindahan. Istilah estetika berasal dari kata Yunai yang mempunyai arti
aesthesis, yang berati pencerapan indrawi, pemahaman intelektual, atau
bisa juga berati pengamatan spiritual. Istilah art berasal dari kata latin
ars, yang berarti seni, keterampilan, ilmu, atau kecakapan.
Estetika adalah cabang filsafat yang memberikan perhatian pada
sifat keindahan, seni, rasa, atau selera, kreasi, dan apresiasi tentang
keindahan. Secara ilmiahnya, ia didefinisikan sebagai studi tentang
nilai-nilai yang dihasilkan dari emosi-sensorik yang kadang dinamakan
nilai sentimentalitas atau cita rasa atau selera. Secara luasnya, estetika
didefinisikan sebagai refleksi kritis tentang seni, budaya, dan alam.
Estetika dikaitkan dengan aksiologi sebagai cabang filsafat dan juga
diasosiasikan dengan filsafat seni.
Estetika dapat dibagi kedalam dua bagian, yaitu estetika
deskriptif dan estetika normative. Estetika deskriptif menguraikan dan
melukiskan fenomena-fenomena pengalaman keindahan. Estetika
normative mempersoalkan dan menyelidiki hakikat, dasar, dan ukuran
pengalaman keindahan. Adapula yang membagi estetika kedalam
12
filsafat seni (philosophy of art) dan filsafat keindahan (philosophy of
beauty). Filsafat seni mempersoalkan status ontologis dari karya-karya
seni dan memepertanyakan pengetahuan apakah yang dihasilkan oleh
seni serta apakah yang dapat diberikan oleh seni untuk menghubungkan
manusia dengan realitas. Filsafat keindahan membahas apakah
keindahan itu ada apakah nilai indah itu objektif atau subjektif.
13
Secara singkat bisa dikatakan bahwa pertanyaan dalam filsafat
menyangkut persoalan kenyataan sebagai kenyataan, dan hal ini perlu
dibedakan antara yang nampak (appearance) dengan kenyataan (reality).
Inilah yang membedakan filsafat dengan ilmu-ilmu lain.
Sedangkan yang dimaksud obyek forma filsafat adalah sudut
pandang atau pendekatan yang digunakan oleh filsafat dalam mengkaji
obyek materia. Obyek forma dari filsafat adalah berpikr radikal, bebas, dan
berada dalam dataran makna untuk mencari hakekat segala sesuatu yang
terdapat dalam obyek materia (yaitu alam, manusia, dan Tuhan).
Jadi sudut pandang filsafat tidak terbatas pada salah satu perspektif
saja melainkan menyeluruh dan terbuka bagi sudut pandang lain sebanyak-
banyaknya untuk dapat mencakup wawasan yang seluas-luasnya dan
sedalam-dalamnya, sehingga hakekat dan keberadaan realitas, baik menurut
bagian-bagiannya maupun keseluruhannya menjadi jelas.
Kajian dalam filsafat terhadap obyeknya (obyek materia) dari
waktu ke waktu mungkin tidak berubah, tetapi corak dan sifatnya serta
dimensi yang menjadi tekanan dan fokus kajian harus berubah dan
menyesuaikan dengan perubahan serta konteks kehidupan manusia, dan
semangat baru yang selalu muncul dalam perkembangan jaman.
Itulah sekilas tentang obyek filsafat secara umum. Berangkat dari
kerangka tersebut maka obyek filsafat ilmu juga terdiri dari dua hal, yaitu
obyek material dan obyek formal. Dengan mengutip pendapat Noeng
Muhajir, Suwardi Endraswara mengatakan bahwa obyek material filsafat
ilmu adalah (1) fakta dan (2) kebenaran dalam semua disiplin ilmu. Jadi
obyek material filsafat ilmu adalah pengetahuan itu sendiri yaitu
pengetahuan yang telah disusun secara sistematis dengan metode ilmiah
tertentu, sehingga dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara
umum.
Sedangkan obyek formal filsafat ilmu akan menelaah masalah (1)
konfirmasi dan (2) logika. Kedua hal ini menjadi dasar bagaimana filsafat
ilmu menemukan kebenaran. Jadi obyek formal filsafat ilmu adalah hakikat
(esensi) ilmu pengetahuan, artinya filsafat ilmu lebih menaruh perhatian
14
terhadap problem mendasar ilmu pengetahuan, seperti apa hakikat ilmu
pengetahuan, bagaimana cara memperoleh kebenaran ilmiah dan apa fungsi
ilmu itu bagi manusia. Problem inilah yang dibicarakan dalam landasan
pengembangan ilmu pengetahuan, yakni landasan ontologis, epistemologis
dan aksiologis.
15
BAB III
KESIMPULAN
16
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Tafsir. 2003. Filsafat Umum: Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra.
Bandung: Remaja Rosda Karya.
http://zainabzilullah.wordpress.com/2013/01/20/ontologi-epistemologi-dan-
aksiologi-sebagai-landasan-penelaahan-ilmu.html
https://amanahtp.wordpress.com/2011/10/10/aksiologi-ilmu-dan-moral-tanggung-
jawab-sosial-ilmuwan-revolusi-genetika.html
https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_pendidikan_dir/d4c08843cfc73356ccaa483
5913cc7c0.pdf
https://www.academia.edu/20177855/aksiologi_filsafat_ilmu
17
Susanto. 2011. Filsafat Ilmu: Suatu Kajian Dalam Dmensi Ontologis,
Epistemologis, dan Aksiologis. Jakarta: Bumi Aksara.
18