Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

FILSAFAT DAN PERKEMBANGAN TEORI PENDIDIDKAN

DISUSUN OLEH:
1. BENY VENALOSA 20186013239
2. ERISNA 20186013222
3. KOMALASARI 2018601228

PROGRAM PASCA SARJANA


MAGISTER MANAJEMEMEN PENDIDIKAN
UNIVERSITAS PGRI
PALEMBANG
2019

1
DAFTAR ISI

Halaman
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................. 1

1.1 Latar Belakang ........................................................................................ 1


1.2 Rumusan Masalah ................................................................................... 1
1.3 Tujuan Penulisan ..................................................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN .............................................................................. 2

A. Pengertian Aksiologi ............................................................................... 2


B. Moral ....................................................................................................... 3
C. Hubungan Antara Ilmu Dan Moral ......................................................... 4
D. Tanggung Jawab Sosial Ilmuan .............................................................. 5
E. Objek Aksiologi ...................................................................................... 10

BAB III KESIMPULAN .............................................................................. 16

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 17

LAMPIRAN

2
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Cabang-cabang Ilmu filsafat banyak sekali di antaranya yang ada
dalam pembahasan makalah ini adalah, aksiologi,tanggung jawab sosial
ilmuan dan objek, Aksiologi merupakan cabang filsafat ilmu yang
mempertanyakan bagaimana manusia menggunakan ilmunya. Pembahasan
aksiologi menyangkut masalah nilai kegunaan ilmu, teori pengetahuan
aksiologi adalah cabang filsafat yang berurusan dengan hakikat dan linkup
pengetahuan, pengandaian-pengandaian dan dasar-dasarnya serta
pertanggung jawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki.
Dalam pembahasan kali ini saya akan membahas beberapa point diantaranya
adalah : pengertian aksiologi menurut para ahli, hubungan antara ilmu dan
miral, tanggung jawab sosial ilmuan dan objek aksiologi.

1.2 Rumusan Masalah


 Menjelaskan pengertian aksiologi dalam filsafat
 Menjelaskan tentang moral
 Hubungan antara ilmu dan moral
 Tanggung jawab sosial ilmuan
 objek aksiologi

1.3 Tujuan Penulisan


 Untuk mengetahui konsep aksiologi dalam filsafat dan ilmu manajemen
 Untuk mengetahui tanggung jawawab sosial ilmuan
 Untuk mengetahui objek aksiologi teantang etika dan estetika
 Sebagai tugas mata kuliah filsafat dan perkembangn teori manajemen
pendidikan

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Aksiologi
Menurut bahasa yunani, aksiologi berasal dari kata axios artinya
nilai dan logos artinya teori atau ilmu. Menurut Kamus bahasa indonesia
aksiologi adalah kegunaan ilmu pengetahuan bagi kehidupan manusia,
kajian tentang nilai-nilai khususnya etika. nilai digunakan sebagai kata
benda abstrak, Dalam pengertian yang lebih sempit seperti baik, menarik
dan bagus.Sedangkan dalam pengertian yang lebih luas mencakup sebagai
tambahan segala bentuk kewajiban, kebenaran dan kesucian.

Aksiologi Menurut Para Ahli


Untuk dapat lebih mengenal apa yang dimaksud dengan aksiologi,
pemakalah akan menguraikan beberapa definisi mengenai aksiologi yang
dikemukan oleh beberapa para ahli, di antaranya sebagai berikut:
1. Jujun S. Suriasumantri
Aksiologi yang terdapat di dalan bukunya filsafat ilmu sebuah pengantar
popular bahwa aksiologi ini diartikan ialah sebagai teori nilai yang
berhubungan dengan kegunaan dari pengetahuan yang di peroleh.

2. Bramel
Menurut Bramel, aksiologi ini terbagi dalam tiga bagian. Moral conduct,
merupakan tindakan moral, bidang ini melahirkan disiplin khusus, yaitu
etika. Esthetic expression, merupakan ekspresi keindahan. Bidang ini
menimbulkan atau melahirkan suatu keindahan. Sosio-political life.
Aksiologi merupakan nilai-nilai sebagai tolak ukur kebenaran, etika serta
moral sebagai dasar normative penelitian dan juga penggalian, dan juga
penerapan ilmu.

2
3. Kattsoff (2004: 319)
Mendefinisikan bahwa aksiologi ialah sebagai ilmu pengetahuan yang
menyelediki hakekat nilai yang umumnya ditinjau dari sudut pandang
kefilsafatan.

B. Moral
Kata moral dalam bahasa Yunani sama dengan ethos yang
melahirkan etika. Sebagai cabang filsafat, etika sangat menekankan
pendekatan yang kritis dalam melihat nilai (takaran, harga, angka
kepandaian, kadar/mutu, sifat-sifat yang penting/berguna) dan moral
tersebut serta permasalahan-permasalahan yang timbul dalam kaitan dengan
nilai dan moral itu (Ihsan Fuad, 2010:271).
Moral merupakan kondisi pikiran, perasaan, ucapan, dan perilaku
manusia yang terkait dengan nilai-nilai baik dan buruk. Manusia yang tidak
memiliki moral disebut amoral artinya dia tidak bermoral dan tidak memilki
nilai positif di mata manusia lainnya. Sehingga moral adalah hal mutlak
yang harus dimiliki oleh manusia. Moral itu sifat dasar yang diajarkan di
sekolah dan manusia harus mempunyai moral jika ia ingin dihormati oleh
sesamanya.
Moral adalah perbuatan/tingkah laku/ucapan seseorang dalam
berinteraksi dengan manusia. Apabila yang dilakukan seseorang itu sesuai
dengan nilai rasa yang berlaku di masyarakat tersebut dan dapat diterima
serta menyenangkan lingkungan masyarakatnya, maka orang itu dinilai
mempunyai moral yang baik, begitu juga sebaliknya. Moral adalah produk
dari budaya dan agama. Moral juga dapat diartikan sebagai sikap,perilaku,
tindakan, kelakuan yang dilakukan seseorang pada saat mencoba melakukan
sesuatu berdasarkan pengalaman, tafsiran, suara hati, serta nasihat
(http://id.wikipedia.org/wiki/moral).
Penerapan dari ilmu pengetahuan dan teknologi membutuhkan
dimensi etis sebagai pertimbangan dan mempunyai pengaruh pada proses
perkembangan lebih lanjut ilmu pengetahuan dan teknologi. Tanggung
jawab etis merupakan sesuatu yang menyangkut kegiatan maupun

3
penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam hal ini berarti ilmuwan
dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi harus
memperhatikan kodrat manusia, martabat manusia, menjaga keseimbangan
ekosistem, bertanggung jawab pada kepentingan umum, kepentingan
generasi mendatang, dan bersifat universal, karena pada dasarnya ilmu
pengetahuan dan teknologi adalah untuk mengembangkan dan
memperkokoh eksistensi manusia bukan untuk menghancurkan eksistensi
manusia (Ihsan Fuad, 2010:280).
Darsono (2010:247) mengemukakan moral adalah sistem nilai
(sesuatu yang dijunjung tinggi) yang berupa ajaran (agama) dan paham
(ideologi)sebagai pedoman untuk bersikap dan bertindak baik yang
diwariskan dari generasi ke generasi berikutnya. Tujuan moral adalah
mengarahkan sikap dan perilaku manusia agar menjadi baik sesuai dengan
ajaran dan paham yang dianutnya. Manfaat moral adalah menjadi pedoman
untuk bersikap dan bertindak atau berperilaku dalam interaksi sosial yang
dinilai baik atau buruk. Tanpa memiliki moral, seseorang akan bertindak
menyimpang dari norma dan nilai sosial dimana mereka hidup dan mencari
penghidupan.

C. Hubungan Antara Ilmu Dan Moral


Merupakan kenyataan yang tidak bisa dipungkiri bahwa peradaban
manusia sangat berhutang kepada ilmu dan teknologi. Berkat kemajuan
dalam bidang ini maka pemenuhan kebutuhan manusia bisa dilakukan
secara lebih cepat dan lebih mudah disamping penciptaan berbagai
kemudahan dalam bidang-bidang seperti kesehatan, pengangkutan,
pemukiman, pendidikan, dan komunikasi (Suriasumantri, 2000:229).
Jujun S. Suriasumantri (dikutip Ihsan, 2010:273) Perkembangan
ilmu, sejak pertumbuhannya diawali dan dikaitkan dengan sebuah
kebutuhan kondisi realitas saat itu. Pada saat terjadi peperangan atau ada
keinginan manusia untuk memerangi orang lain, maka ilmu berkembang,
sehingga penemuan ilmu bukan saja ditujukan untuk menguasai alam

4
melainkan untuk tujuan perang, memerangi semua manusia dan untuk
menguasai mereka.
Di pihak lain, perkembangan dan kemajuan ilmu sering melupakan
kedudukan atau faktor manusia. Penemuan ilmu semestinya untuk
kepentingan manusia, jadi ilmu yang menyesuaikan dengan kedudukan
manusia, namun keadaan justru sebaliknya yaitu manusialah yang akhirnya
harus menyesuaikan diri dengan ilmu.
Jadi ilmu bukan saja menimbulkan gejala dehumanisasi namun
bahkan kemungkinan mengubah hakikat kemanusiaan. Ilmu bukan lagi
merupakan sarana yang membantu manusia mencapai tujuan hidupnya,
namun bahkan kemungkinan mengubah hakikat kemanusiaan. Ilmu bukan
lagi merupakan sarana yang membantu manusia mencapai tujuan hidupnya,
namun juga menciptakan tujuan hidup itu sendiri.

D. Tanggung Jawab Sosial Ilmuan


Tanggung jawab sosial ilmuwan adalah suatu kewajiban seorang
ilmuwan untuk mengetahui masalah sosial dan cara penyelesaian
permasalahan sosial tersebut. Tanggung jawab merupakan hal yang ada
pada setiap makhluk hidup.
Hal demikian dapat dilihat pada manusia yang menunjukkan
tanggung jawabnya dengan merawat dan mendidik anaknya sampai dewasa.
Tanggung jawab terdapat juga pada bidang yang ditekuni oleh manusia,
seperti negarawan, budayawan, dan ilmuwan.
Tanggung jawab tidak hanya menyangkut subjek dari tanggung
jawab itu sendiri, seperti makhluk hidup atau bidang yang ditekuni oleh
manusia akan tetapi juga menyangkut objek dari tanggung jawab, misalnya
sosial, mendidik anak, memberi nafkah, dan sebagainya jika dinyatakan
bahwa ilmu bertanggung jawab atas perubahan sosial, maka hal itu berarti
(1) ilmu telah mengakibatkan perubahan sscial dan juga (2) ilmu
bertanggung jawab atas sesuatu yang bakal terjadi. Jadi tanggung jawab
tersebut bersangkut paut dengan masa lampau dan juga masa depan. Yang
perlu diperhatikan ialah bahwa apa yang telah terjadi sebenarnya tidak

5
mutlak harus terjadi dan apa yang bakal terjadi tidak perlu terjadi; hal itu
semata-mata bergantung kepada keputusan manusia sendiri (Ihsan, 2010:
281).
Menurut Abbas Hama (dikutip Surajiyo, 2008:153) Para ilmuwan
sebagai orang yang professional dalam bidang keilmuwan sudah barang
tentu mereka juga memiliki visi moral, yaitu moral khusus sebagai ilmuwan.
Moral inilah didalam filsafat ilmu disebut juga sebagai sikap ilmiah.
Menurut Abbas (dikutip Surajiyo, 2008:156) sedikitnya ada enam sikap
ilmiah yang perlu dimiliki oleh para ilmuwan yaitu :
1. Tidak ada rasa pamrih (disinterstedness), artinya suatu sikap diarahkan
untuk mencapai pengetahuan ilmiah yang objektif dengan
menghilangkan pamrih atau kesenangan pribadi.
2. Bersikap selektif, yaitu suatu sikap yang tujuannya agar para ilmuwan
Mampu mengadakan pemilihan terhadap segala sesuatu yang dihadapi.
Misalnya hipotesis yang beragam, metodologi yang masing-masing
menunjukkan kekuatannya atau cara penyimpulan yang satu cukup
berbeda walaupun masing-masing menunjukkan akurasinya.
3. Adanya rasa percaya yang layak baik terhadap kenyataan maupun
terhadap alat-alat indra serta budi (mind).
4. Adanya sikap yang mendasar pada suatu kepercayaan (belief) dan dengan
merasa pasti (conviction) bahwa setiap pendapat atau teori yang
terdahulu telah mencapai kepastian.
5. Adanya suatu kegiatan rutin bahwa seorang ilmuwan harus selalu tidak
puas terhadap penelitian yang telah dilakukan, sehingg selalu ada
dorongan untuk riset dan riset sebagai aktivitas yang menonjol dalam
hidupnya.
6. Harus memiliki sikap etis (akhlak) yang selalu berkehendak untuk
mengembangkan ilmu untuk kemajuan ilmu dan untuk kebahagiaan
manusia, lebih khusus untuk pembangunan bangsa dan negara.

Proses menemukan kebenaran secara ilmiah mempunyai implikasi


etis bagi seorang ilmuan. Karakteristik proses tersebut merupakan kategori

6
moral yang melandasi sikap etis seorang ilmuan. Kegiatan intelektual yang
meninggikan kebenaran sebagai tujuan akhirnya mau tidak mau akan
mempengaruhi pandangan moral.
Kebenaran berfungsi bukan saja sebagai jalan pikirannya namun
seluruh jalan hidupnya. Dalam usaha masyarakat untuk menegakkan
kebenaran inilah maka seorang ilmuwan terpanggil oleh kewajiban
sosialnya, bukan saja sebagai penganalisis materi kebenaran tersebut namun
juga sebagai prototipe moral yang baik (Suriasumantri, 2000: 244).
Seorang ilmuwan mempunyai tanggung jawab sosial, bukan saja
karena dia adalah warga masyarakat yang kepentingannya terlibat secara
langsung di masyarakat namun yang lebih penting adalah karena dia
mempunyai fungsi tertentu dalam kelangsungan hidup bermasyarakat.
Fungsinya selaku ilmuwan tidak berhenti pada penelaahan dan keilmuan
secara individual namun juga ikut bertanggung jawab agar produk keilmuan
sampai dan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat (Suriasumantri Jujun S,
2000:237).
Jika dinyatakan bahwa ilmu bertanggung jawab atas perubahan
sosial, maka hal itu berarti ilmu telah mengakibatkan perubahan sosial dan
juga ilmu bertanggung jawab atas sesuatu yang bakal terjadi. Jadi tanggung
jawab tersebut bersangkut paut dengan masa lampau dan juga masa depan
(Ihsan Fuad,2010:281).
Ilmuwan berdasarkan pengetahuannya memiliki kemampuan untuk
meramalkan apa yang akan terjadi. Umpamanya saja apakah yang akan
terjadi dengan ilmu dan teknologi kita di masa depan berdasarkan proses
pendidikan keilmuan sekarang. Dengan kemampuan pengetahuannya
seorang ilmuwan juga harus dapat mempengaruhi opini masyarakat
terhadap masalah-masalah yang seyogyanya mereka sadari (Suriasumantri
Jujun S,2000:241).
Tanggung jawab ilmu atas masa depan pertama-tama menyangkut
usaha agar segala sesuatu yang terganggu oleh campur tangan ilmu bakal
dipulihkan kembali. Campur tangan ilmu terhadap masa depan bersifat berat
sebelah, karena sekaligus tertuju kepada keseimbangan dalam alam dan

7
terhadap keteraturan sosial. Gangguan terhadap keseimbangan alam
misalnya pembasmian kimiawi terhadap hama tanaman, sistem pengairan,
dan sebagainya. Perlu diingat bahwa keberatsebelahan itu sebenarnya bukan
hanya karena tanggung jawab ilmu saja, melainkan juga oleh manusia
sendiri (Ihsan Fuad, 2010: 282).
Seorang ilmuwan pada hakikatnya adalah manusia yang biasa
berpikir dengan teratur dan teliti. Bukan saja jalan pikirannya mengalir
melalui pola-pola yang teratur namun juga segenap materi yang menjadi
bahan pemikirannya dikaji dengan teliti. Seorang ilmuwan tidak menolak
atau menerima sesuatu begitu saja tanpa suatu pemikiran yang cermat.
Disinilah kelebihan seorang ilmuwan dibandingkan dengan cara berpikir
seorang awam (Suriasumantri Jujun S, 2000 : 243).

Beberapa bentuk tanggung jawab sosial ilmuwan, yaitu:


1) Seorang ilmuwan harus mampu mengidentifikasi kemungkinan
permasalahan sosial yang akan berkembang berdasarkan permasalahan
sosial yang sering terjadi dimasyarakat.
2) Seorang ilmuwan harus mampu bekerjasama dengan masyarakat yang
mana dimasyarakat tersebut sering terjadi permasalahan sosial sehingga
ilmuwan tersebut mampu merumuskan jalan keluar dari permasalahan
sosial tersebut.
3) Seorang ilmuwan harus mampu menjadi media dalam rangka
penyelesaian permasalahan sosial dimasyarakat yang mana masyarakat
yang terdiri dari keanekaragaman ras, agama, etnis dan kebudayaan
sehingga berpotensi besar untuk timbulnya suatu konflik.

Tanggung Jawab Moral


Tanggung jawab moral tidak dapat dilepaskan dari karakter internal
dari ilmuwan itu sendiri sebagi seorang manusia, ilmuwan hendaknya
memiliki moral yang baik sehingga pilihannya ketika memilih
pengembangan dan pemilihan alternatif, mengimplementasikan keputusan
serta pengawasan dan evaluasi dilakukan atas kepentingan orang banyak,

8
bukan untuk kepentingan pribadinya atau kepentingan sesaat. para ilmuwan
sebagai orang yang profesional dalam bidang keilmuan tentu perlu memiliki
visi moral khusus sebagai ilmuwan. Moral inilah di dalam filsafat ilmu
disebut sikap ilmiah. Sikap yang perlu dimiliki oleh para ilmuwan, antara
lain:
1) Tidak ada rasa pamrih, yaitu suatu sikap yang diarahka untuk mencapai
pengetahuan ilmiah yang objektif dengan menghilangkan pamrih atau
kesenangan pribadi.
2) Bersikap selektif, yaitu suatu sikap yang bertujuan agar para imuawan
mampu mengadakan pemilihan terhadap berbagai hal yang dihadapi.
3) Seoarang ilmuwan sangat menghargai terhadap segala pendapat yang
dikemukakan oleh orang lain, oleh para ilmuwan lainnya, memiliki
keyakinan yang kuat terhadap kenyataan maupun terhadap alat indera
serta budi, adanya sikap yang positif terhadap setiap pendapat atau teori
terdahulu telah memberikan inspirasi bagi terlaksanya penelitian dan
pengamatan lebih lanjut.
4) Seorang ilmuan juga memilki rasa tidak puas terhapa penelitian yang
telah dilakukan sehingga dia terdorong untuk terus melakukan riset atau
penelitian.
5) Seorang ilmuwan harus memilki akhlak atau sikap etis yang selalu
berkehendak untuk mengembangkan ilmu untuk kebahagian manusia,
lebih khusus untuk pembangunan bangsa dan negara. Akhlak dan sikap
etis dalam mengembangkan ilmu untuk memiliki sopan santun ilmiah
yaitu dengan berhati-hati dalam mengeluarkan pendapat, dan kalau
teryata dia salah maka harus segera menyadari dan mengklasifikasi
kesalahan tersebut.

Tanggung Jawab Etika


Kemudian tanggung jawab yang berkaitan dengan etika meliputi
etika kerja seorang ilmuwan yang berkaitan dengan nilai-nilai dan norma-
norma moral (pedoman, aturan, standar atau ukuran, baik yang tertulis
maupun tidak tertulis) yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu

9
kelompok dalam mengatur tingkah lakunya; kumpulan asas atau nilai moral
(Kode Etik) dan ilmu tentang perihal yang baik dan yang buruk. Misalnya
saja tanggung jawab etika ilmuwan yang berkenaan dengan penulisan karya
ilmiah, maka kode etik pada penulisan karya ilmiah harus memenuhi
beberapa kriteria, yaitu sebagai berikut:
1) Obyektif (berdasarkan kondisi faktual)
2) Up to date(yang ditulis merupakan perkembangan ilmu paling akhir)
3) Rasional(berfungsi sebagai wahana penyampaian kritik timbal-balik)
4) Reserved(tidak overcliming, jujur, lugas dan tidak bermotif pribadi)
5) Efektif dan efisien(tulisan sebagai alat komunikasi yang berdaya
tariktinggi).

E. Objek Aksiologi
Dua hal yang sangat terkait dengan aksiologi adalah etika dan
estetika. Etika sebenarnya membahas tentang rasionalitas nilai tindakan
manusia, tentang baik dan buruknya sebuah tindakan. Karena itu, etika
sering disebut dengan filsafat moral. Etika membahas tentang bagaimana
manusia bertindak. Etika mambahas baik-buruknya dan benar-tidaknya
tingkah laku manusia beserta kewajiban-kewajibannya.
Mengapa dalam filsafat terdapat pandangan yang mengatakan nilai
sangatlah penting, Hal tersebut disebabkan karena filsafat ialah sebagai
philosophy of life mengajarkan nilai-nilai yang terdapat dalam kehidupan
yang berguna ialah sebagai pengontrol sifat keilmuan manusia. Teori nilai
ini sama halnya dengan agama yang menjadi pedoman kehidupan manusia.
1. Etika
Etika merupakan salah satu cabang ilmu fisafat yang membahas
moralitas nilai baik dan buruk, etika bisa di definisikan sebagai nilai-nilai
atau norma-norma yang menjadi pegangan manusia atau masyarakat
yang mengatur tingkah lakunya.
Etika berasal dari dua kata ethos yang berarti sifat, watak,
kebiasaan, ethikos berarti susila, keadaban atau kelakuan dan perbuatan
yang baik.

10
Dalam istilah lain dinamakan moral yang berasal dari bahasa
latin mores, jamak dari mos yang berarti adat, kebiasaan. Dalam bahasa
arab disebut akhlaq yang berarti budi pekerti dan dalam bahasa Indonesia
dinamakan tata susila.
Dalam hal ini ada berbagai pembagian etika yang dibuat oleh
para ahli etika, beberapa ahli membagi ke dalam dua bagian, yaitu etika
deskriptif dan etika normative, ada juga yang menambahkan yaitu etika
metaetika.
a. Etika deskriptif
Etika deskriptif adalah cara melukiskan tingkah laku moral
dalam arti luas seperti: adat kebiasaan, anggapan tentang baik atau
buruk, tindakan yang di perbolehkan atau tidak. Etika deskriptif
mempelajari moralitas yang terdapat pada individu, kebudayaan atau
sub-kultur tertentu. Oleh karena itu, etika deskriptif ini tidak
memberikan penilaian apapun, ia hanya memaparkan. Etika deskriptif
lebih bersifat netral. Misalnya, penggambaran tentang adat mangayau
kepala pada suku primitive.
Etika deskriptif dibagi ke dalam dua bagian: pertama, sejarah
moral, yang meneliti cita-cita, norma-norma yang pernah di
berlakukan dalam kehidupan manusia pada kurun waktu dan suatu
tempat tertentu atau dalam suatu lingkungan besar yang mencakup
beberapa bangsa. Kedua, fenomenologi moral, yang berupaya
menemukan arti dan makna moralitas dari berbagai fenomena moral
yang ada.
b. Etika Normatif
Etika normatif mendasarkan pendiriannya atas norma. Ia dapat
mempersoalkan norma yang diterima seseorang atau masyarakat
secara lebih kritis. Ia bisa mempersoalkan apakah norma itu benar
atau tidak. Etika normatif berarti sistem-sistem yang dimaksudkan
untuk memberikan petunjuk atau penuntun dalam mengambil
keputusan yang menyangkut baik atau buruk.

11
Etika normatif kerap kali juga disebut filsafat moral atau juga
disebut etika filsafati. Etika normatif dapat dibagi kedalam dua teori,
yaitu teori nilai dan teori keharusan. Teori-teori nilai mempersoalkan
sifat kebaikan, sedangkan teori keharusan membahas tingkah laku.
Adapula yang membagi etika normative kedalam dua golongan
sebagai berikut: konsekuensialis dan nonkonsekuensialis.
Konsekuensialis berpendapat bahwa moralitas suatu tindakan
ditentukan oleh konsekuensinya. Adapun nonkonsekuensialis
berpendapat bahwa moralitas suatu tindakan ditentukan oleh sebab-
sebab yang menjadi dorongan dari tindakan itu, atau ditentukan oleh
sifat-sifat hakikinya atau oleh keberadaanya yang sesuai dengan
ketentuan-ketentuan dan prinsip-prinsip tertentu.

2. Estetika
Estetika adalah cabang filsafat yang mempersoalkan seni dan
keindahan. Istilah estetika berasal dari kata Yunai yang mempunyai arti
aesthesis, yang berati pencerapan indrawi, pemahaman intelektual, atau
bisa juga berati pengamatan spiritual. Istilah art berasal dari kata latin
ars, yang berarti seni, keterampilan, ilmu, atau kecakapan.
Estetika adalah cabang filsafat yang memberikan perhatian pada
sifat keindahan, seni, rasa, atau selera, kreasi, dan apresiasi tentang
keindahan. Secara ilmiahnya, ia didefinisikan sebagai studi tentang
nilai-nilai yang dihasilkan dari emosi-sensorik yang kadang dinamakan
nilai sentimentalitas atau cita rasa atau selera. Secara luasnya, estetika
didefinisikan sebagai refleksi kritis tentang seni, budaya, dan alam.
Estetika dikaitkan dengan aksiologi sebagai cabang filsafat dan juga
diasosiasikan dengan filsafat seni.
Estetika dapat dibagi kedalam dua bagian, yaitu estetika
deskriptif dan estetika normative. Estetika deskriptif menguraikan dan
melukiskan fenomena-fenomena pengalaman keindahan. Estetika
normative mempersoalkan dan menyelidiki hakikat, dasar, dan ukuran
pengalaman keindahan. Adapula yang membagi estetika kedalam

12
filsafat seni (philosophy of art) dan filsafat keindahan (philosophy of
beauty). Filsafat seni mempersoalkan status ontologis dari karya-karya
seni dan memepertanyakan pengetahuan apakah yang dihasilkan oleh
seni serta apakah yang dapat diberikan oleh seni untuk menghubungkan
manusia dengan realitas. Filsafat keindahan membahas apakah
keindahan itu ada apakah nilai indah itu objektif atau subjektif.

Obyek Filsafat Ilmu


Sebelum pemakalah menjelaskan obyek Filsafat Ilmu, akan terlebih
dahulu menjelaskan obyek filsafat secara umum. Seperti ilmu pengetahuan
pada umumnya, filsafat juga memiliki obyek studi yang meliputi obyek
materi maupun obyek forma.
Obyek materia filsafat adalah segala sesuatu yang ada dan yang
mungkin ada. Tentang obyek materia ini banyak yang sama dengan obyek
materia sains. Bedanya ialah dalam dua hal. Pertama, sains menyelidiki
obyek materia yang empiris, filsafat menyelidiki obyek yang itu juga, tetapi
bukan bagian yang empiris, melainkan bagian yang abstraknya. Kedua, ada
obyek materia filsafat yang memang tidak dapat diteliti oleh sains, seperti
Tuhan, hari akhir, yaitu obyek materia yang untuk selama-lamanya tidak
empiris.
Hal itu berarti bahwa filsafat mempelajari apa saja yang menjadi isi
alam semesta mulai dari mineral (benda mati), benda hidup (vegetativa,
animalia, dan manusia), dan causaprima (sang Pencipta). Selanjutnya obyek
ini sering disebut pula sebagai realitas atau kenyataan (the reality).
Sementara itu, Tri Astutik Haryati menyebutkan ada perbedaan lain
antara filsafat dan ilmu. Kalau ilmu-ilmu lain membatasi pembahasannya
pada alam yang dapat diamati (empiris), menyelidiki obyeknya dengan
pertanyaan “bagaimana” dan “apa sebabnya”. Maka filsafat menggunakan
pertanyaan “apa itu”, “dari mana”, dan “ke mana”. Sehingga yang hendak
dicari dalam filsafat bukan sebab dan akibat dari suatu masalah—seperti
yang diselidiki oleh ilmu—tapi apa hakekat yang sebenarnya dari sesuatu
itu, dari mana asalnya, dan ke mana tujuannya.

13
Secara singkat bisa dikatakan bahwa pertanyaan dalam filsafat
menyangkut persoalan kenyataan sebagai kenyataan, dan hal ini perlu
dibedakan antara yang nampak (appearance) dengan kenyataan (reality).
Inilah yang membedakan filsafat dengan ilmu-ilmu lain.
Sedangkan yang dimaksud obyek forma filsafat adalah sudut
pandang atau pendekatan yang digunakan oleh filsafat dalam mengkaji
obyek materia. Obyek forma dari filsafat adalah berpikr radikal, bebas, dan
berada dalam dataran makna untuk mencari hakekat segala sesuatu yang
terdapat dalam obyek materia (yaitu alam, manusia, dan Tuhan).
Jadi sudut pandang filsafat tidak terbatas pada salah satu perspektif
saja melainkan menyeluruh dan terbuka bagi sudut pandang lain sebanyak-
banyaknya untuk dapat mencakup wawasan yang seluas-luasnya dan
sedalam-dalamnya, sehingga hakekat dan keberadaan realitas, baik menurut
bagian-bagiannya maupun keseluruhannya menjadi jelas.
Kajian dalam filsafat terhadap obyeknya (obyek materia) dari
waktu ke waktu mungkin tidak berubah, tetapi corak dan sifatnya serta
dimensi yang menjadi tekanan dan fokus kajian harus berubah dan
menyesuaikan dengan perubahan serta konteks kehidupan manusia, dan
semangat baru yang selalu muncul dalam perkembangan jaman.
Itulah sekilas tentang obyek filsafat secara umum. Berangkat dari
kerangka tersebut maka obyek filsafat ilmu juga terdiri dari dua hal, yaitu
obyek material dan obyek formal. Dengan mengutip pendapat Noeng
Muhajir, Suwardi Endraswara mengatakan bahwa obyek material filsafat
ilmu adalah (1) fakta dan (2) kebenaran dalam semua disiplin ilmu. Jadi
obyek material filsafat ilmu adalah pengetahuan itu sendiri yaitu
pengetahuan yang telah disusun secara sistematis dengan metode ilmiah
tertentu, sehingga dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara
umum.
Sedangkan obyek formal filsafat ilmu akan menelaah masalah (1)
konfirmasi dan (2) logika. Kedua hal ini menjadi dasar bagaimana filsafat
ilmu menemukan kebenaran. Jadi obyek formal filsafat ilmu adalah hakikat
(esensi) ilmu pengetahuan, artinya filsafat ilmu lebih menaruh perhatian

14
terhadap problem mendasar ilmu pengetahuan, seperti apa hakikat ilmu
pengetahuan, bagaimana cara memperoleh kebenaran ilmiah dan apa fungsi
ilmu itu bagi manusia. Problem inilah yang dibicarakan dalam landasan
pengembangan ilmu pengetahuan, yakni landasan ontologis, epistemologis
dan aksiologis.

15
BAB III
KESIMPULAN

Dalam mendefinisikan Aksiologis banyak para filusuf mendefinisikannya


dengan berbagai macam ragam definisi salah satunya itu Menurut Bramel,
aksiologi terbagi dalam tiga bagian. Pertama, moral conduct, yaitu tindakan
moral, bidang ini melahirkan disiplin khusus, yakni etika. Kedua, esthetic
expression, yaitu ekspresi keindahan. Bidang ini melahirkan keindahan. Ketiga,
sosio-political life, yaitu kehidupan social politik, yang akan melahirkan filsafst
sosio-politik.
Studi tentang tindakan manusia biasanya hanya semata menggambarkan
siapakah mereka dan bagaimana mereka. Dalam hal seperti ini, ilmu antropologi
atau filsafat manusia memainkan peranan penting, misalnya ia menggambarkan
berbagai macam kebudayaan manusia yang menunjukkan kebiasaan, adat, cara
bahasa dan lainnya. Jadi, pertanyaannya Apakah manusia?
Peran dan fungsi ilmuwan dalam masyarakat juga perlu diperhitungkan,
karena ilmuwan merupakan orang yang dapat menemukan masalah spesifik dalam
ilmu. Selain itu, ilmuwan pula terbebani oleh tanggung jawab, tanggung jawab
yang diemban oleh ilmuwan meliputi tanggung jawab sosial, moral, dan etika.
Ilmu akan senatiasa berkembang, sesuai dengan perkembangan zaman dan inovasi
kreativitas yang dilakukan berdasarkan pemikiran manusia. Perkembangan ilmu
yag semakin pesat ini menghasilkan teknologi dan penemuan mutakhir
memberikan sejumlah tantangan besar bagi manusia di masa depan, baik
tantangan mental, fisik, sampai moral. Kemajuan ilmu demi kepentingan manusia
ini memang sering salah pemanfaatan dan penyikapan, sehingga sebenarnya
tantangan yang akan dihadapi lebih kepada masalah teknis.

16
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Tafsir. 2003. Filsafat Umum: Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra.
Bandung: Remaja Rosda Karya.

Bakhtiar, Amsal. 2012. Filsafat Ilmu. Jakarta: Rajawali Pers.

Bakry, Hasbullah. 1981. Sistematik Filsafat. Jakarta: Widjaja.

http://zainabzilullah.wordpress.com/2013/01/20/ontologi-epistemologi-dan-
aksiologi-sebagai-landasan-penelaahan-ilmu.html

https://amanahtp.wordpress.com/2011/10/10/aksiologi-ilmu-dan-moral-tanggung-
jawab-sosial-ilmuwan-revolusi-genetika.html

https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_pendidikan_dir/d4c08843cfc73356ccaa483
5913cc7c0.pdf

https://www.academia.edu/20177855/aksiologi_filsafat_ilmu

Ihsan Fuad. 2010. Filsafat Ilmu, Jakarta : Rineka Cipta.

Jujun S. Suriasumantri. 1990. Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer.


Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Prawironegoro, Darsono. 2010. Filsafat Ilmu Pendidikan.


Jakarta : Nusantara Consulting, 2010.

Rapar, Jan Hendrik.. 1995. Pengantar Filsafat. Yogyakarta: Kanisius.

Rizal Mustansyir dan misnal Munir. 2009. Filsafat Ilmu.


Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Sudarsono. 2008. Ilmu Filsafat Suatu Pengantar. Jakarta : Rineka Cipta.

Suparlan Suhartono. 2004. Dasar-dasar Filsafat. Jogjakarta : Ar-Ruzz.

Suparlan Suhartono. 2004. Dasar-Dasar Filsafat. Jogjakarta : Ar-Ruzz.

Surajiyo. 2009. Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia.


Jakarta : Bumi Aksara.

Suriasumantri Jujun S. 2000. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer.


Jakarta : Pustaka Sinar Harapan.

17
Susanto. 2011. Filsafat Ilmu: Suatu Kajian Dalam Dmensi Ontologis,
Epistemologis, dan Aksiologis. Jakarta: Bumi Aksara.

Suwardi Endraswara. 2012. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Caps.

Soyomukti, Nurani. 2011. Pengantar Filsafat Umum. Yoyakarta: Ar-Ruzz Media.

18

Anda mungkin juga menyukai