Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Toksisitas adalah kemampuan suatu zat kimia dalam
menimbulkankerusakan pada organisme baik saat digunakan atau saat berada
dalamlingkungan (Priyanto, 2009). Toksisitas dapat diartikan sebagai
kemampuan racun (molekul) untuk menimbulkan kerusakan apabila masuk ke
dalam tubuh dan lokasi organ yang rentan terhadapnya. Toksin atau racun
tersebut adalah zat yang dalam dosis kecil dapat menimbulkan kerusakan pada
jaringan hidup. Yang dimaksud dengan racun atau toksin disini dapat berupa
zat kimia, fisis, dan biologis. Toksisitas sangat beragam bagi berbagai
organisme, tergantung dari berbagai faktor seperti spesies uji, cara racun
memasuki tubuh, frekuensi dan lamanya pemaparan, konsentrasi zat pemapar,
dan kerentanan berbagai spesies terhadap pencemar (Soemirat, 2005).
Radikal bebas (Bahasa Latin: radicalis) adalah molekul yang mempunyai
sekelompok atom dengan elektron yang tidak berpasangan, hal ini meyebabkan
radikal bebas tersebut berkecenderungan mencari elektron untuk dijadikan
pasangan (mencapai duplet atau octet agar kondisi menjadi stabil). Radikal
bebas merupakan salah satu penyebab timbulnya berbagai penyakit
degeneratif, seperti kardiovaskuler, tekanan darah tinggi, stroke, sirosis hati,
katarak, diabetes mellitus dan kanker. Radikal bebas dapat dihasilkan dari
dalam tubuh dan luar tubuh. Radikal bebas memiliki elektron yang tidak
berpasangan pada orbit terluarnya, sehingga bersifat reaktif untuk bereaksi
dengan molekul lain. Radikal bebas dapat merusak makromolekul seperti
merusak lipid membran sel, DNA, dan protein yang menyebabkan stres
oksidatif sel (Valko, 2006).
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan radikal bebas ?
2. Bagaimanakah sifat radikal bebas ?
3. Darimanakah sumber radikal bebas ?

1
4. Bagaimanakah mekanisme radikal bebas ?
5. Apakah yang dimaksud dengan dampak stress oksidatif ?
6. Apa saja dampak radikal bebas pada tubuh manusia ?
7. Apakah yang dimaksud dengan antioksidan ?
8. Bagaimana cara identifikasi radikal bebas ?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian radikal bebas.
2. Untuk mengetahui sifat radikal bebas.
3. Untuk mengetahui sumber radikal bebas.
4. Untuk mengetahui mekanisme radikal bebas.
5. Untuk mengetahui dampak stress oksidatif.
6. Untuk mengetahui dampak radikal bebas pada tubuh manusia.
7. Untuk mengetahui pengertian antioksidan.
8. Untuk mengetahui Identifikasi radikal bebas.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Radikal bebas (free radical) atau sering juga disebut reactive oxygen species
(ROS) berasal dari bahasa latin radicalis adalah bahan kimia yang dapat berupa
atom maupun molekul yang tidak memiliki elektron berpasangan pada lapisan
luarnya. Sifat dari radikal bebas adalah sangat reaktif dan memiliki waktu paruh
yang sangat cepat. Radikal bebas akan segera bereaksi dengan cepat dengan
mengambil elektron molekul disekitarnya. Radikal bebas dapat merusak jaringan
normal terutama apabila jumlahnya terlalu banyak. Akibat dari radikal bebas dalam
jumlah besar adalah gangguan produksi DNA, lapisan lipid pada dinding sel,
pembuluh darah, produksi prostaglandin, kerusakan sel dan mengurangi
kemampuan sel untuk beradaptasi terhadap lingkungannya. Kadar Reactive
Oxygen Species (ROS) yang tinggi menyebabkan penimbunan kolesterol pada
dinding pembuluh darah dan akibatnya timbulah atherosklerosis atau lebih dikenal
dengan penyakit jantung koroner. Umumnya radikal bebas diperlukan bagi
kelangsungan beberapa proses fisiologis dalam tubuh, terutama untuk transportasi
elektron. Radikal bebas dalam kadar normal dibutuhkan untuk perkembangan sel
dan juga membantu sel darah putih atau leukosit untuk menghancurkan atau
memakan kuman yang masuk ke dalam tubuh. Oleh sebab itu radikal bebas juga
berperan dalam sistem imun dalam tubuh manusia. Apabila terjadi
ketidakseimbangan antara radikal bebas dan antioksidan yang disebut stress
oxidative maka akan mengganggu kerja sistem imun. Sistem imun yang melemah
dapat ditemukan pada perokok baik aktif maupun pasif, hal ini disebabkan
pembakaran asap rokok yang menghasilkan radikal bebas berkali-kali lipat
dibandingkan dengan radikal bebas pada metabolisme tubuh pada keadaan normal.
Secara alami dalam tubuh manusia telah memiliki mekanisme pertahanan terhadap
radikal bebas, yaitu antioksidan endogen intrasel yang terdiri atas enzim-enzim
yang disintesis oleh tubuh seperti Superoksida dismutase (SOD), katalase dan
glutation peroksidase.

3
BAB III

PEMBAHASAN

A. Pengertian Radikal Bebas


Istilah “radikal” sering digunakan dalam bidang kimia untuk menyebut
sennyawa seperti radikal karbonat (CO32-), radikal nitrat (NO3-) dan radikal
meti (CH3-). Senyawa radikal bebas yang dimaksud bukan senyawa-senyawa
tersebut. Radikal bebas yang diberi symbol R* adalah satu atom, molekul atau
senyawa yang dapat berdiri sendiri, mempunyai satu atau lebih elektron yang
tidak berpasangan pada orbital luarnya.
Adanya satu atau lebih elektron yang tidak berpasangan menyebabkan R *
berkecenderugan mencari elektron untuk dijadikan pasangan (mencapai duplet
atau ocktet) unuk mencapai kondisi stabil dengan mengambil pasangan
elektron dari senyawa lain atau ditarik pada medan magnet tertentu. Hal
tersebut menyebabkan R* reaktif terhadap senyawa lain. R* dapat terbentuk
dari senyawa non radikal melalui reaksi redoks (menerima atau melepas
elektron).
Banyak orang beranggapan bahwa R* hanya merugikan tubuh semata,
pendapat ini tidak tepat, karena R* juga berperan penting dalam proses-proses
biokimiawi yang diperlukan oleh tubuh. Proses-proses itu seperti reaksi
oksidasi suatu zat yang melibatkan sitokrom P450, dimana zat ini berfungsi
mempercepat laju reaksi reaksi kimia pada suhu tertentu, tanpa mengalami
perubahan atau terpakai oleh reaksi itu sendiri (katalis oksidator).

4
B. Sifat Radikal Bebas
Secara kimia, molekul radikal bebas tidak berpasangan, radikal bebas
cenderung untuk bereaksi dengan molekul sel tubuh. Atom sering kali
melengkapi lapisan luarnya dengan cara membagi elektron, atom-atom tersebut
bergabung bersama dan mencapai kondisi stabilitas maksimum untuk
membentuk molekul. Oleh karena itu radikal bebas bersifat sangat reaktif,
maka mempunyai spesifitas kimia yang rendah sehingga radikal bebas yang
beredar dalam tubuh berusaha untuk mengambil elektron yang berada pada
molekul lain. Radikal bebas memiliki 2 sifat yaitu :
 Reaktivitas tinggi, karena cenderung menarik elektron
 Dapat mengubah suatu molekul menjadi bersifat radikal
C. Sumber Radikal Bebas Dalam Tubuh Manusia
Radikal bebas yang ada dalam tubuh manusia dapat bersumber dari internal
atau eksternal. Kelebihan R* atau adanya tekanan dari R* sering disebut stress
oksidatif yang dapat berdampak buruk pada tubuh.
1. Sumber Internal
a. Proses Transpor Elektron di Mitokondria
Xenobiotik secara dramatis dapat meningkatkan produksi R* jika
mereka dapat masuk ke dalam mitokondria dan berinteraksi dengan satu
atau beberapa step dalam transport elektron. Masuknya xenobiotik
dalam transport elektron yang sangat komplek dapat mengakibatkan
terjadinya aliran elektron. Sebagai akibatnya, terutama jika zat-zat yang
masuk ke dalam mitokondria adalah elektron aseptor zat ini akan
mengalihkan aliran elektron dan mengakibatkan peningkatan jumlah
R*. Contoh zat yang bersifat demikian adalah doksorubisin, suatu
antibiotik untuk obat antikanker.

5
b. Proses Fagositosis
Proses fagositosis melibatkan sel-sel neutrophil, eosinophil, dan
basophil, monosit dan makrofag. Proses tersebut dapat menghasilkan
radikal superoksid (O2*-), radikal hidroksil (OH*), dan peroksida.
Peroksida bukan radikal bebas, tetapi merupakan sumber radikal bebas
hidroksil (OH*) yang efektif. Sel darah putih seperti neutrofil secara
khusus memproduksi radikal bebas yang digunakan dalam pertahanan
pejamu untuk menghancurkan patogen yang menyerang.
c. Enzim Yang Menggunakan O2 Secara Berlebihan
Ada sekitar 10-15% oksigen yang diambil saat bernapas, begitu pula
pada saat bernapas digunakan oleh enzim-enzim seperti oksidase,
oksigenase, dan sitokrom P450. Penggunaan secara berlebihan O2 oleh
enzim-enzim di atas akan menghasilkan O2*, sebagai hasil sampingnya.
d. Reaksi Dismutasi
Pada sistem biologi yang menghasilkan O2*- juga akan
menghasilkan H2O2 (peroksida). Peroksida merupakan derivate oksigen
yang bersifat oksidan dan dapat menembus membran sel dengan cepat.
Meskipun bukan radikal bebas, akumulasi H2O2 dapat berbahaya bila
terdapat bersamaan dengan logam (Fe dan Cu) karena akan bereaksi
meembentuk radikal hidroksil yang sangat reaktif. Reaksi dismutase ini
dapat terjadi pada pH fisiologis dan dipercepat 104 – 109 kali dengan
adanya enzim superokside dismutase
(SOD). Peroxida merupakan derivate oksigen yang bersifat oksidan dan
dapat menembus membrane sel.

O2*- + O2*- 2H+


H2O2 +O2

e. Oksidasi Hemoglobin

6
Diperkirakan 3% dar Hb yang terdapat pada sel darah merah
mengalami oksidasi menjadi oksihemoglobin. Oksihemoglobin secara
lambat akan melepaskan O2*- dalam jumlah yang bermakna. Kondisi
ini menyebabkan tubuh perlu antioksidan untuk melindungi sel darah
merah

f. Reaksi Fenton
Dalam tubuh manusia terdapat logam seperti besi (Fe2+) dan kuprum
(Cu+) baik dalam bentuk bebas atau terikat. Dalam tubuh, unsur besi
dapat berasal dari garam-garam besi pada terapi anemia, makanan atau
yang dilepas dari hemoglobin. Jumlah zat besi dalam tubuh seluruhnya
dapat mencapai 4,5 g di plasma / hari 35 mg. Logam Cu+ pada tubuh
orang dewasa dapat mencapai 80 mg yang terikat pada albumi dan
histidin. Walaupun Cu+ dalam tubuh keberadaannya terikat, tetapi
masih bisa bereaksi dengan H2O2 untuk membentu radikal OH*.
Ilmuan Jepang dan Israel telah membuktikan bahwaa tempat ikatan
Cu+ dengan unsur lain, seperti Cu+ - DNA , Cu+ - Virus, Cu+ - protein
(albumin) merupakan tempat sasaran toksik jika terpapar H2O2, ini
membuktikan bahwa ditempat tersebut dapat terbentuk OH* yang
bersifat merusak membran.

7
2. Sumber Eksternal
Radikal bebas dari luar masuk ke dalam tubuh terjadi secara sengaja
atau tidak sengaja, seperti polutan, rokok atau obat-obatan tertentu.
a. Ozon (Polutan)
Ozon adalah gas biru muda yang berperan penting dalam melindungi
bumi dari radiasi atmosfir bagian atas. Jumlah yang signifikan dapat
terjadi di atmosfir bawah di perkotaan sebagai hasil reaksi fotokimia
komplek yang melibatkan zat polutan dan sinar matahari. Zat polutan
tersebut adalah : ozon, hidrokabon dan nitrogen oksida. Ozon yang
terbentuk dengan adanya sinar UV dapat membentuk radikal OH*.
Reaksi-reaksi pembentukan radikal OH* melalui ozon dapat
disederhanakan sebagai berikut :
O2 2O
Energi
O2 + O O3 (ozon)
H+
O3 + UV (energi) OH*

b. Nitrogen Oksida (NOx)


Selain ozon, NOxjuga merupakan oksidator yang cukup kuat
sehingga dapat menyebabkan peroksidasi lipid (kerusakan oksidatif
dari minyak dan lemak yang mengandung ikatan karbon-karbon
rangkap). Polutan NOxdapat berasal dari asap rokok dan hasil
pembakaran kendaraan bermotor. Tiap hisapan rokok mengandung

8
jumlah senyawa oksidan yang sangat besar, meliputi aldehid, proxida,
epoxida, dan radikal bebas lain yang bersifat reaktif dan destruktif. Pada
perokok juga ditemukan peningkatan netrofil pada saluran pernafasan
bawah yang berkontribusi dalam produksi radikal bebas.
c. Sulfur Dioksida (SO2)
Zat ini merupakan hasil dari pembakaran minyak yang mengandung
sulfur atau dari pembakaran batu bara. SO2larut dalam air membentuk
ion sulfit dan sulfat yang bersifat asam. Ion SO32- dapat masuk ke dalam
tubuh manusia dan menstimulasi reaksi yang melibatkan radikal bebas

SO2 + H2O H2SO3 H+ + HSO3- H+ + SO32-

d. Peroksida (H2O2)
Adanya peroksida akan memacu terjadinya reaksi fenton di
lingkungan yang menghasilkan radikal OH*. Radikal OH* dapat dengan
mudah masuk ke dalam tubuh.
e. Oksidasi Hemoglobin
Diperkirakan 3 % dari Hb yang terdapat pada sel darah merah
mengalami oksidasi menjadi oksihemoglobin. Oksihemoglobin secara
lambat akan melepaska O2*- dalam jumlah yang bermakna. Kondisi ini
menyebabkan tubuh perlu antioksidan untuk melindungi sel darah
merah.
D. Mekanisme Radikal Bebas
1. Reaksi Dengan Enzim

Radikal bebas bersifat oksidator yang dapat mengoksidasi enzim yang


mempunyai gugus thiol (-SH) dan enzim lain seperti glyceraldehide-3-
phosphat dihidrogenase suatu enzim untuk reaksi glikolisis (pemecah
gula). Sel yang mampu memetabolisme glukosa untuk menghasilkan ATP.
Kekurangan ATP dapat menyebabkan kematian.

Stress oksidatif juga dapat menyebabkan oksidasi pada protein seluler,


terutama oksidasi pada rantai samping asam amino. Oksidasi ini akan

9
menyebabkan terbentuknya crosslinks dan terpragmentasi akibat dari
oksidasi peptida. Asam aminoyang mengandung sulfur, sistein, dan
metionin paling rentan terhadap proses oksidasi dan jika teroksidasi akan
terbentuk ikatan disulfida dan sulfoksida. Selain itu, asam amino aromatik
juga peka terhadap serangan reaktif oksigen spesies (ROS).

Salah satu contoh protein yang sering mendapatkan stress oksidatif atau
serangan dari radikal bebas adalah protein darah yang tersebut
hemoglobin, menyebabkan terganggunya fungsi darah. Eritrosit (Hb)
rentan terhadap stress oksudatif karena beberapa alasan:

a. Adanya konsentrasi O2 yang tinggi (Hb-O2). Konsentrasinya sekitar


25mM, sedangkan konsentrasi O2 pada bagian tubuh lain kurang dari
0,2 mM.
b. Kebanyakan xenobiotik terdistribusi pada sel darah merah dalam
konsentrasi yang tinggi.
c. Usia sel darah merah yang panjang atau dengan waktu paruh sekitar 120
hari. Sel darah merah tidak mempunyai nucleus dan reticulum
endoplasma, maka mereka tidak dapat mengganti protein yang akan
mudah menimbulkan keruskan.
2. Reaksi dengan DNA atau Asam nukleat
Radikal bebas bereaksi dengan DNA atau asam nukleat berakibat
kerusakan yang dapat memacu timbulnya kanker. Ini telah dibuktikan
melalui penelitian yang menggunakan bakteri, binatang dan kultur
tanaman. Selain itu, adanya oksidator atau peroksida dalam tubuh dapat
meningkat kadar Ca++ bebas intraseluler yang dapat menstimulasi enzim
protease dalam memecah metaloprotein. Pemecahan ini menyebabkan
ketersediaan zat besi (Fe2+) bebas sehingga memacu terjadinya reaksi
Fenton, menghasilkan radikal OH* yang sangat berbahaya.
ROS dalam tubuh terbentuk setiap saat oleh karena itu juga memerlukan
antioksidan secara terus menerus baik untuk mengikat ROS atau untuk
proses “repair”. Diperkirakan setiap harinya (teoritis), DNA mendapatkan

10
serangan (“pukulan”) dari ROS sebanyak 1,5 x 105 kali atau dapat mencapai
1019 “pukulan per individu. Salah satu marker untuk mendeteksi adanya
kerusakan DNA adalah dengan mengukur adanya 8-hidroksi
deoksiguanosin (8-OH-G). Zat ini merupakan hasil reaksi oksidasi basa puri
penyusun DNA (guanin) dengan radikal hidroksil (OH*).
Oksidasi pada basa purin mempunyai konsekwensi yang besar. Pada
kondisi normal, guanin akan berikatan dengan sitosin melalui 3 ikatan
hidrogen, sedangkan bentuk teroksidasi (8-OH-G) berikatan dengan adenin
melalui 2 ikatan hidrogen. Jika kesalahan ini tidak dapat diperbaiki,
kesalahan pasangan ini akan menyebabkan kesalahan sintesis DNA
berikutnya. Kesalahan sintesis DNA yang berlanjut dapat menyebabkan
mutasi yang pada akhirnya merangsang timbulnya tumor.
3. Reaksi dengan Lipid
Membran sel merupakan lipid bi layer yang tersusun dari asam lemak
dengan protein tertanam atau tersebar secara mosaik. Agar berfungsi
dengan baik, membran sel harus fluid (penyusun bergerak bebas). Fluiditas
membran sel sangat tergantung oleh PUFA (poly unsaturated fatty acid).

PUFA mempunyai ikatan rangkat rangkap yang lebih dari satu yang
menyebabkan rentan terhadap serangan radikal bebas. Reaksi PUFA
dengan radikal bebas akan mengalami peroksidasi dan terbentuk radikal
bebas baru yang lain. Prinsip reaksi radikal bebas dengan senyawa lain
adalah jika senyawa radikal bebas bereaksi dengan senyawa non radikal
akan menghasilkan senyawa radikal bebas baru yang reaktifitasnya lebih
rendah atau lebih tinggi. Inilah sebabnya, mengapa pada reaksi antara
radikal bebas denga PUFA dapat terjadi reaksi berantai.

CH2 – C – CH2 – OH + OH* – CH2 – C* – CH2 – O- + H2O

(reaksi inisiasi atau abstraksi H+)

Atom C (C radikal) dalam PUFA akan bereaksi dengan O2 yang terlarut


dalam membran, terbentuk radikal peroksil.

11
Lipid radikal (R) + O2 ROO* (peroksil) oksigen up take

Radikal peroksil sangat reaktif dan dapat bereaksi dengan PUFA


disekitarnya sebagaimana sekasi pada inisiasi, reaksi ini disebut propagasi.

ROO* + Lipid – H ROOH + R* (lipid radikal baru)

(hidroperoksi lipid)

Reaksi di atas akan berulang sehingga terjadi reaksi berantai. Karena


ROOH lebih hidrofilik dibandingkan dengan asam lemak, maka zat ini
cenderung bermigrasi kepermukaan membran sel, (ingat struktur lipid
bilayer, bagian/sisi luarnya lebih polar). ROOH mudah mengalami
dekomposisi menghasilkan antara lain malonil dialdehid (MDA), 4-
hidroksinoneal (4-HE), dan senyawa aldehid lain bersifat merusak
membran sel.

Pembentukan radikal bebas lipid dibagi menjadi menjadi tiga proses


tahapan sebagai berikut:

 Tahapan Inisiasi (Pembentukan R*)


Pada tahap ini dimulainya produksi asam lemak radikal. Dimana
terjadi serangan radikal bebas umumnya spesies oksigen reaktif (OH)
terhadap partikel lipid dan menghasilkan air (H2O) dan asam lemak
radikal.
 Tahapan Propogasi (Pemanjangan Rantai R*)
Asam lemak radikal yang dihasilkan dari proses inisiasi bersifat
sangat tidak stabil dan mudah bereaksi dengan molekul oksigen dan
akan menghasilkan suatu peroksi radikal asam lemak. Hal ini juga
ternyata bersifat tidak stabil dan kemudian bereaksi dengan asam
lemak bebas lainnya untuk menghasilkan asam lemak radikal yang
baru dan dapat menghasilkan peroksida lipid atau peroksida siklik bila
bereaksi dengan dirinya sendiri. Siklus ini berlanjut sedemikian rupa
hingga memasuki tahap terminasi.
 Tahapan Terminasi, (Bereaksinya Senyawa R*)

12
Ketika suatu radikal bereaksi dengan non radikal maka akan
menghasilkan suatu radikal baru. Proses ini dinamakan dengan
mekanisme reaksi rantai. Reaksi radikal akan berhenti bila terdapat
dua radikal yang saling bereaksi dan menghasilkan suatu spesies non
radikal. Hal ini hanya dapat terjadi ketika konsentrasi spesies radikal
sudah sedemikian tingginya sehingga memungkinkan dua spesies
radikal untuk saling bereaksi.
4. Reaksi dengan Karbohidrat
Radikal OH* dapat beraksi dengan karbohidrat yang terdapat pada
struktur DNA. DNA adalah polimer yang tersusun dari basa purin atau
pirimidin, fosfat dan gula ribose. Reaksi radikal bebas dengan gula
menghasilkan bermacam-macam senyawa yang bersifat mutagenik.
E. Dampak Stress Oksidatif
Peningkatan dari radikal bebas tersebut dapat memicu peroksidasi lipid.
Kerusakan akibat peroksidasi lipid dapat menghasilkan metabolit sekunder.
Salah satunya adalah malondialdehyd (MDA) yang merupakan hasil akhir
peroksidasi lipid (Josephy, 1997). Peningkatan radikal bebas dapat terlihat
pada perkembangan diabetes tipe I dan tipe II (Rajasekaran dkk., 2005).
Sehingga, pemberian antioksidan diperlukan pada pengobatan diabetes, karena
obat antidiabetes tidak bekerja memperbaiki selβ pankreas yang rusak akibat
radikal bebas, tetapi menstimulasi pelepasan insulin dari sel-β pankreas
(Adnyana dkk., 2004), dan dapat mencegah komplikasi mikrovaskular dan
makrovaskular (Soetedjo, 2009). Hal ini diperkuat dengan adanya penelitian
Mahdi dkk. (2003) yang menunjukkan adanya peningkatan MDA dan
penurunan aktivitas antioksidan pada tikus diabetes yang terinduksi
streptozosin. Hiperglikemik adalah suatu keadaan metabolisme karbohidrat
yang ditandai dengan kadar gula darah yang tinggi dan terdapat glukosa dalam
urin (Glukosuria) (Widowati, dkk, 1997). Hiperglikemik dapat menyebabkan
kereaktifan dari radikal bebas (Latief dkk., 2007). Pada keadaan hiperglikemik,
stres oksidatif akan menghambat pengambilan glukosa di sel otot dan sel lemak
serta penurunan sekresi insulin oleh sel-β di pankreas. Stres oksidatif secara

13
langsung mempengaruhi dinding vaskular, sehingga berperan penting dalam
patofisiologi terjadinya komplikasi diabetes tipe 2 (Soetedjo, 2009).
Kenaikan kadar glukosa darah pada DM meningkatkan pula glikasi non
enzimatic yang pada akhirnya menyebabkan bertumpuknya radikal bebas
akibat advanced Glycation End Products(AGES). Kejadian ini pada tahap
lanjut akan menyebabkan proses aterosklerosis. Kenaikan radikal bebas juga
disebabkan oleh gangguan polyol pathway yang pada DM meningkat
menyebabkan Nicotinamide Adenin Dinucleotide phosohate + hydrogen
(NADPH) lebih banyak dipakai sebagai koenzim membentuk sorbitol dan
tahap lanjut membentuk fruktose dengan enzim frukotosa 6 phosphatase.
Metabolisme glukosa dalam keadaan normal oleh Embden Meyer pathway
masuk dalam siklus Kreb untuk membentuk energi. Karena tugas NADPH
sebagai koenzim lebih banyak untuk membentuk sorbitol maka tugas
meningkatkan penangkapan radikal bebas menurun sehingga radikal bebas
meningkat.

Stress oksidatif dapat terjadi jika didalam tubuh banyak terdapat radikal
bebas (berlebihan) yang tidak dapat diimbangi dengan antioksidan yang ada.
Kondisi stress oksidatif yang ringan mungkin masih dapat ditolerir oleh
peningkatan antioksidan enzimatik (dari dalam tubuh) atau penambahan
antioksidan (non enzimatik), dari luar tubuh. Radikal bebas yang tidak
“dinetralisir” dapat menimbulkan kerusakan pada sel atau komponen sel dan
telah diyakini sebagai penyebab timbulnya berbagai penyakit. Penyakit-
penyakit itu adalah: kanker, diabetes melitus (DM), aterosklerosis, ulkus
peptikum, Alzheimer, rematik, paru menahun, dan beberapa penyakit
degeneratif.

Penelitian menunjukkan bahwa populasi yang banyak terpapar radikal


bebas mempunyai resiko yang lebih tinggi terkena penyakit-penyakit diatas.
Penyakit tersebut diatas timbul karena reaksi antara radikal bebas dengan
komponen-komponen sel, seperti enzim, lipid, DNA, dan karbohidrat. Yang
juga perlu diketahui bahwa, adanya stress oksidatiftidak hanya menyebabkan

14
kerusakan jaringan tetapi keterlibatan oksidan (R) dalam tranduksi signal dan
regulasi ekspresi gen dapat menimbulkan beberapa penyakit seperti infeksi,
kanker, penuaan, rematoid arthritis, parkinson, dan Alzheimer.

F. Dampak Radikal Bebas Pada Tubuh Manusia


Adapun dampak radikal bebas pada tubuh, antara lain :
a. Penyakit Kronis
Penyakit yang disebabkan oleh radikal bebas bersifat kronis, yaitu
dibutuhkan waktu bertahun-tahun untuk penyakit tersebut menjadi nyata.
Hal ini disebabkan Karena radikal bebas menyerang sel terlebih dahulu,
kemudian menyerang jaringan dan selanjutnya menyerang organ di
dalam tubuh, sehingga diperlukan waktu yang cukup lama. Contoh
penyakit yang sering dihubungkan dengan radikal bebas adalah serangan
jantung, kanker, katarak dan menurunya fungsi ginjal.
b. Kerusakan DNA
Seperti pada protein, kecil kemungkinan terjadinya kerusakan di DNA
menjadi suatu reaksi berantai, biasanya kerusakan terjadi bila ada lesi
atau kelainan pada susunan molekul, apabila tidak dapat diatasi dan
terjadi sebelum replikasi maka akan terjadi mutasi. Radikal oksigen dapat
menyerang DNA jika terbentuk disekitar DNA seperti pada radiasi
biologis. Radikal bebas yang mengambil elektron dari sel tubuh manusia
dapat menyebabkan perubahan struktur DNA sehingga terjadi mutasi.
Bila peubahan DNA ini terjadi bertahun-tahun, maka dapat menjadi
penyakit kanker.
c. Kerusakan Jaringan
Pada umumnya semua sel jaringan organ tubuh dapat menangkal
serangan radikal bebas karena di dalam sel terdapat sejenis enzim khusus
yang mampu melawannya, tetapi karena manusia secara alami
mengalami degradasi atau kemunduran seiring dengan peningkatan usia,
akibatnya pemusnahan radikal bebas tidak dapat terpenuhi dengan baik,
maka kerusakan jaringan terjadi secara perlahan-lahan.

15
G. Antioksidan
Salah satu upaya untuk melawan masuknya unsur radikal bebas ke dalam
tubuh manusia adalah dengan atioksidan. Antioksidan dapat mencegah
terjadinya oksidasi, mencegah kerusakan DNA akibat reaksi oksidasi di dalam
tubuh, serta mencegah perubahan yang terjadi di dalam pembuluh darah.
Antioksidan mampu menghentikan proses perusakan sel dengan cara
memberikan elektron kepada radikal bebas. Antioksidan akan menetralisir
radikal bebas sehingga tidak punya kemampuan lagi mencuri elektron dari sel
dan DNA.
Antioksidan adalah zat yang memperlambat atau menghambat stress
oksidatif pada molekul target. Antioksidan melindungi molekul target antara
lain dengan cara :
a. Menangkap radikal bebas dengan menggunakan protein atau enzim
(sebagai katalis) atau bereaksi langsung.
b. Mengurangi pembentukan radikal bebas dengan merubahnya menjadi
radikal bebas yang kurang aktif atau merubahnya menjadi senyawa non
radikal (SOD, GSH-Px/glutation peroksida, katalase).
c. Mengikat ion logam yang dapat menyebabkan timbulnya reaksi Fenton
yang menghasilkan radikal bebas (seruloplasmin, transferin).
d. Melindungi komponen sel utama yang menjadi sasaran radikal bebas
(Vitamin E dan C, sebagai donor elektron).
e. Memperbaiki target organ dari radikal bebas yang telah rusak.
f. Menggantikan sel yang rusak dengan sel baru (protease, fosfokinase).
Dengan demikian antioksidan merupakan senyawa yang sangat luas dan
banyak. Antioksidan digolongkan menjadi antioksidan enzimatik (intraseluler)
dan non enzimatik (ekstraseluler).

16
1. Antioksidan Enzimatik
Termasuk golongan ini adalah SOD, GSH-Px dan katalase.
a. SOD
Ada tiga jenis SOD yang diketahui, dua diantaranya terdapat pada
manusia yaitu CuZnSOD dan Mn-SOD, sedangkan Fe-SOD tidak
terdapat pada manusia. CuZnSOD terdapat di retikulum endoplasma,
nukleus, dan peroksisom sedangkan Mn-SOD terdapat di mitokondria.
Logam Cu+ sebagai katalisator sedangkan Zn++ diperlukan sebagai
stabilitator enzim. Fungsi SOD untuk mempercepat dismutasi O2*- dan
menjaga keseimbangan antara jumlah O2*- dan pembentukan H2O2.
b. GSH-Px
Glutation peroksidase mengoksidasi subtratnya (GSH) melalui
H2O2 menjadi GSSH (glutation teroksidasi).
GSH-Px
H2O2 + 2 GSH GSSG + 2 H2O

GSH-Px mempunyai aktivitas yang tinggi di hepar, aktivitas sedang


di jantung, paru-paru dan otak sedangkan aktivitas rendah di otot.
Akumulasi GSSH dapat bersifat toksik karena dapat menginaktivasi
sejumlah enzim dan dapat berikatan dengan protein membentuk protein
disulfit (protein-S-S-G). Pada sel normal ratio GSH/GSSG harus dijaga
tetap tinggi, untuk itu harus ada mekanisme reduksi GSSG kembali ke
GSH. Perubahan ini memerlukan katalisator enzim glutation reduktase
melalui reaksi sebagai berikut :
GSSG + NADPH + H+ 2 GSH + NADP+
c. Katalase
Katalase merupakan suatu enzim yang besar, mengandung 4 protein
sub unit, yang masing-masing mempunyai haem-Fe3+. Katalase berada
di peroksisom pada hampir semua jaringan mamalia. Namun di otot
jantung kemungkinan juga terdapat pada mitokondria.

17
Semua sel aerobik mempunyai aktivitas katalase di eritrosit dan sel
hepar. Enzim ini mengkatalis peruraian peroksida menjadi air dan
oksigen.
katalase
2H2O2 2 H2O + O2
Peran ini sangat penting karena H2O2 sangat berbahaya bagi
kehidupan sel, baik dalam bentuknya atau setelah mengalami
perubahan menjadi radikal OH*. Katalase mempunyai kapasitas yang
sangat besar menguraikan H2O2 permolekul enzim tiap menitnya.
Tetapi karena afinitasnya yang rendah terhadap H2O2 maka hanya akan
bekerja jika konsentrasi H2O2 cukup tinggi.
2. Antioksidan Non Enzimatik atau Ekstraseluler
Banyak sekali jenis antioksidan ekstraseluler, antara lain vitamin E,
vitamin C, beta-karoten, glutation, ceruplasmin, albumin, asam urat, dan
selenium. Cairan ekstraseluler (plasma darah, limpa, paru-paru, otak dan
persendian) mempunyai antioksidan yang bersifat polar dan nonpolar untuk
melindungi komponennya. Antioksidan yang sangat penting adalah
vitamin C dan E. Vitamin C untuk melindungi bagian yang polar dan
vitamin E untuk bagian yang non polar.
a. Vitamin C
Vitamin C dalam cairan ekstraseluler sangat baik berperan sebagai
scavenger terhadap beberapa radikal bebas, seperti : O2*- , radikal thiil
(SH*), OH*, dan meregulasi radikal vitamin E. Vitamin C juga
menetralisir beberapa radikal bebas melalui perannya sebagai donor
elekton. Hilangnya 1 elektron dari vitamin C menyebabkan
terbentuknya semihidroaskorbat yang akan teroksidasi menjadi
dihidroaskorbat. Oleh enzim dehidroascorbat reduktase, bentuk
teroksidasi dari vitamin C (dehidroaskorbat) kembali kebentuk aslinya
(tereduksi) yaitu asam askorbat.
b. Vitamin E
Vitamin E merupakan antioksidan non polar yang sangat penting
untuk menghambat peroksidasi lipid. Penghambatan peroksida lipid

18
terjadi karena kemampuan vitamin E bereaksi dengan radikal peroksil
dan alkoksil (ROO* dan RO*) lebih cepat dibandingkan reaksi radikat
tersebut dengan PUFA. Melalui pemberian 1 ion H+ dari vitamin E
terhadap ROO* dan RO* terjadi hambatan peroksidasi lipid (reaksi
berantai). Dengan alasan ini, vitamin E seing disebut sebagai chain
breaking antioksidant

ROO* + Vit E ROOH + radikal Vit E

RO* + Vit E ROH + radikal Vit E

Radikal vitamin E tidak cukup reaktif untuk mengabtraksi


(menarik) ion H+ dari PUFA, sehingga akan menghentikan reaksi
berantai. Elekton yang tidak berpasangan pada radikal vitamin E akan
mengalami delokalisasi pada struktur aromatiknya dan meningkatkan
stabilitasnya. Dalam tubuh ada mekanisme untuk meregenerasi radikal
vitamin E menjadi vitamin E lagi yang melibatkan peran vitamin C.

H. Efek Toksik Radikal Bebas


Radikal bebas mempunyai peran positif bagi tubuh manusia (Droge, 2002).
Namun, ketika kadarnya di dalam tubuh melebihi batas normal maka radikal
bebas menjadi suatu senyawa yang berbahaya bagi manusia. Akumulasi
radikal bebas yang terjadi akan menyebabkan terjadinya stress oksidatif
sehingga memicu berbagai macam penyakit kronis dan degeneratif. Penyakit
yang dapat menimbulkan dari adanya stress oksidatif diantaranya adalah
kanker, gangguan autoimun, penuaan dini, katarak, rheumatoid arthritis,
jantung dan penyakit neurogeneratif (Pham-Huy et al,. 2008). Mekanisme
terjadinya kanker sebagian besar disebabkan oleh adanya mutasi pada gen p53
atau gen yang berperan dalam proses apoptosis (Thomas, 2009). Oleh karena
itu, keseimbangan antara dua efek antagonis dari radikal bebas menjadi aspek
penting bagi kehidupan manusia (Pham-Huy et al,.2008)

19
I. Identifikasi Radikal Bebas
 Metode DPPH: Uji Antioksidan

Pengukuran aktivitas antioksidan menggunakan Metode DPPH atau


Diphenylpicrylhydrazyl pertama kali dilaporkan oleh Blois pada tahun
1958. Referensi: Blois MS (1958) Antioxidant determinations by the use
of a stable free radical. Nature 26: 1199-1200.
 Prinsip Metode DPPH
Pengukuran antioksidan dengan metode DPPH pada prinsipnya
adalah mengukur terjadinya pemudaran warna dari radikal DPPH
akibat adanya antioksidan yang dapat menetralkan molekul radikal
bebas. Jadi, radikal DPPH yang sebelumnya berwarna akan
kehilangan warnanya jika ada antioksidan, karena antioksidan akan
menyumbangkan elektronnya kepada radikal DPPH, sehingga radikal
yang sebelumnya tidak stabil (akibat adanya elektron yang tidak
berpasangan) menjadi stabil (electron di radikal bebas kini menjadi
berpasangan karena mendapat sumbangan electron dari antioksidan).
Pada dasarnya, karakteristik antioksidan adalah mudah untuk
menyumbangkan elektron, semakin mudah memberikan elektron
maka sifat antioksidannya semakin kuat.

20
 Perubahan Warna pada Metode DPPH
Radikal DPPH merupakan chromogen (memiliki warna) yang
dapat menyerap kuat sinar pada panjang gelombang antara 515 dan
528 nm. Saat radikal DPPH bertemu dengan senyawa yang mudah
untuk menyumbangkan elektron, seperti antioksidan, maka akan
bereaksi dan berubah menjadi senyawa diphenylpicrylhydrazine yang
berwarna kuning pucat. Di saat yang sama, absorbansinya pada
panjang gelombang antara 515 dan 528 nm juga akan berkurang
akibat hilangnya sinyal resonansi paramagnetic dari electron atau
Electron Paramagnetic Resonance (EPR) radikal bebas. Pengurangan
absorbansi itu linear dengan pengurangan jumlah radikal bebas yang
distabilkan oleh antioksidan, dan pengurangan absorbansi itu diukur
dengan menggunakan Spektrofotometer.

 Prosedur Metode DPPH


Pembuatan Larutan DPPH: Larutan DPPH dibuat sedemikian
rupa sehingga memiliki konsentrasi akhir sebesar 0.12 M. Caranya
adalah 23.5 mg DPPH ditimbang dan dimasukkan ke dalam 100 ml
labu ukur. 50 mL methanol dimasukkan ke dalam labu ukur, lalu
dilarutkan. 100 mL labu ukur dicukupkan volumenya dengan
menggunakan methanol. Larutan DPPH tersebut memiliki konsentrasi
0.6 M. Untuk mendapatkan larutan DPPH dengan konsentrasi 0.12 M,
maka larutan diencerkan dengan menggunakan methanol (1:5 v/v).
Larutan Stok Trolox dibuat dengan cara 5 mg Trolox ditimbang
dan dimasukkan ke dalam tube 2 mL. 1 mL methanol ditambahkan ke
dalam tube dan Trolox dilarutkan. Berikut ini langkah demi langkah
dalam melakukan metode DPPH:
a) Pembuatan Kurva Standard. Senyawa standard yang digunakan
biasanya adalah asam askorbat atau larutan Trolox. Untuk
penggunaan larutan stok Trolox, 50 mikroliter larutan stok Trolox
diencerkan ke dalam 950 mikroliter methanol. Dari larutan tersebut
(1 mM), sejumlah konsentrasi dipersiapkan dengan cara

21
mengencerkannya dalam methanol. Seri konsentrasi larutan Trolox
tersebut terdiri dari 0, 24, 28, 32, 36 dan 40 mikroMolar.
b) Larutan sampel dipersiapkan dengan konsentrasi sedemikian rupa
sehingga persentase penghambatan DPPH-nya mencapai kisaran
20-80%. Hal tersebut mungkin akan membutuhkan serangkaian
trial and error.
c) 100 mikroliter sampel atau larutan Trolox dicampurkan dengan
100 mikroliter larutan DPPH dalam microplate lalu diukur
menggunakan microplate reader (spektrofotometer) pada panjang
gelombang 515 nm.
d) Jika tidak menggunakan microplate, maka reaksi antara DPPH
dengan sampel atau Trolox dapat dilakukan di tabung reaksi
dengan masing-masing volume yang berbanding 1 : 1.
e) Campuran larutan sampel/Trolox dengan larutan DPPH disimpan
dalam tempat gelap pada suhu ruang selama 30 menit.
f) Setelah 30 menit, larutan diukur menggunakan Spektrofotometer
pada panjang gelombang 515 nm.
g) Kapasitas antioksidan sampel dihitung sebagai persentase inhibisi
(% I) radikal DPPH pada panjang gelombang 515 nm dengan
menggunakan formula berikut ini:
% I = [(Ao – A1) / Ao] x 100
Keterangan :

Ao = absorbansi DPPH pada larutan kontrol/methanol (blank)


setelah 30 menit.

A1 = absorbansi larutan sampel/Trolox setelah diinkubasi selama


30 menit.

22
 ESR

Electron Spin Resonance digunakan untuk mempelajari banyak hal.


ESR digunakan untuk penelitian pada bidang biologi, kimia, dan kesehatan
(Poole, 1983). Secara lebih spesifik, pada bidang biologi, ESR digunakan
untuk meneliti kloroplas saat diradiasi, hemoglobin, enzim, nukleus, serta
radiasi sinar ultraviolet. Pada bidang kimia, ESR bergunakan untuk
mempelajari polimer dan katalis. Dalam bidang kesehatan, ESR digunakan
untuk mengukur dosis radiasi (Alatas, 2007). ESR pertama kali
diaplikasikan untuk mengukur dosis radiasi pada korban bom atom
Hirosima dan Nagasaki. Tidak hanya itu, ESR juga digunakan untuk
meneliti dosis radiasi populasi yang tinggal dekat dengan reaktor nuklir
Chernobyl dan pekerja radiasi di Chernobyl. Pada bidang kesehatan, selain
untuk mengukur dosis radiasi, ESR juga berguna untuk meneliti kerusakan
sel akibat adanya radikal bebas, salah satu pemanfaatannya adalah untuk
mendeteksi kanker dalam tubuh (Marinus T. Vlaardingerbroek dan
Jacques A. den Boer, 2003).

ESR juga telah digunakan untuk mengamati radikal bebas pada kulit
yang terkena paparan sinar ultraviolet (Herrling, 2006). ESR dapat
digunakan untuk meneliti radikal bebas padat dan radikal bebas cair.
DPPH (diphenyl-picryl-hydrazil) adalah salah satu contoh radikal bebas
padat DPPH, merupakan zat yang memiliki elektron bebas dan merupakan
zat yang sederhana untuk pengukuran ESR (PASCO 173 Scientific, 1990).
Salah satu contoh radikal bebas cair adalah Hidrogen peroksida (H2O2).
Hidrogen peroksida adalah radikal yang berasal dari oksigen, H2O2
termasuk dalam Reactive Oxygen Species (ROS). Pada Electron Spin
Resonance (ESR) terjadi proses penyerapan energi gelombang
elektromagnetik oleh molekul dengan elektron yang tidak berpasangan.

23
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan
Toksisitas adalah kemampuan suatu zat kimia dalam
menimbulkankerusakan pada organisme baik saat digunakan atau saat berada
dalamlingkungan (Priyanto, 2009). Toksisitas dapat diartikan sebagai
kemampuan racun (molekul) untuk menimbulkan kerusakan apabila masuk ke
dalam tubuh dan lokasi organ yang rentan terhadapnya. Toksin atau racun
tersebut adalah zat yang dalam dosis kecil dapat menimbulkan kerusakan pada
jaringan hidup (Soemirat, 2005).
Radikal bebas (Bahasa Latin: radicalis) adalah molekul yang mempunyai
sekelompok atom dengan elektron yang tidak berpasangan, hal ini meyebabkan
radikal bebas tersebut berkecenderungan mencari elektron untuk dijadikan
pasangan (mencapai duplet atau octet agar kondisi menjadi stabil). Radikal
bebas merupakan salah satu penyebab timbulnya berbagai penyakit
degeneratif, seperti kardiovaskuler, tekanan darah tinggi, stroke, sirosis hati,
katarak, diabetes mellitus dan kanker. Radikal bebas dapat dihasilkan dari
dalam tubuh dan luar tubuh. Radikal bebas memiliki elektron yang tidak
berpasangan pada orbit terluarnya, sehingga bersifat reaktif untuk bereaksi
dengan molekul lain. Radikal bebas dapat merusak makromolekul seperti
merusak lipid membran sel, DNA, dan protein yang menyebabkan stres
oksidatif sel (Valko, 2006).
Radikal bebas yang diberi symbol R* adalah satu atom, molekul atau
senyawa yang dapat berdiri sendiri, mempunyai satu atau lebih elektron yang
tidak berpasangan pada orbital luarnya.

24

Anda mungkin juga menyukai