Anda di halaman 1dari 26

ARTIKEL ISLAM DI JAWA (PENYEBARAN ISLAM DI JAWA)

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Islam Nusantara

Yang Diampuh oleh Erfan Efendi,M.Pd.I,

Disusun oleh Kelompok 2:

1. Melinda Eka Aditiya (T20184004)


2. Iftitah Alfiyah Husna (T20184006)
3. Hamisa Karomah (T20184026)
4. Intan Dwi Permatasari (T20184030)
5. Widat Uzlifah (T20184032)

PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH (D1)

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) JEMBER

Oktober 2018
PENYEBARAN ISLAM DI JAWA

Oleh: Kelompok 2

Abstrak

Islam masuk ke Jawa pada abad pertama hijriyah atau ke-7 M, namun proses
Islamisasi masih terjadi setelah berdirinya kerajaan Islam di Demak Jawa Tengah
pada abad 15 (1475M) dan didukung oleh para da’i kharismatik yang dikenal sebagai
Walisongo. Ada dua model da’wah walisongo, pertama dilakukan Sunan Giri di
Gresik yakni dengan pendekatan struktural, karena sebagai da’i mereka juga sekaligus
sebagai penguasa (Raja Giri). Model kedua dilakukan Sunan Kalijaga, yakni dengan
pendekatan kultural, karena dia berada diluar kekuasaan, sehingga da’wahnya justru
melalui simpul-simpul budaya yang ada pada saat itu. penyebaran juga terjadi dengan
berdirinya kerajaan-kerajaan Islam di Jawa yang lain.

A. Pendahuluan

Sejauh menyangkut kedatangan Islam di Nusantara, termasuk Jawa para ahli


selalu terlibat diskusi panjang mengenai 3 hal pokok: tempat asal kedatangan Islam,
para pembawa dan waktu kedatangannya. Padahal, eksistensi Cina-Muslim pada awal
perkembangan Islam di Jawa tidak hanya ditunjukkan oleh kesaksian-kesaksian para
pengelana asing, sumber-sumber Cina, teks lokal Jawa maupun tradisi lisan saja,
melainkan juga dibuktikan berbagai peninggalan purbakala Islam di Jawa. Ini
mengisyaratkan adanya pengaruh Cina yang cukup kuat, sehingga menimbulkan
dugaan bahwa pada bentangan abad ke-15/16 telah terjalin apa yang disebut Sino-
Javanese Muslim Culture. Ukiran di masjid kuno Mantingan-Jepara, menara masjid
pecinaan Banten, konstruksi pintu makam Sunan Giri di Gresik, arsitektur keraton
Cirebon beserta taman Sunyaragi, konstruksi masjid Demak terutama soko tatal
penyangga masjid beserta lambang kura-kura, konstruksi masjid Sekayu di Semarang
dan sebagainya, semuanya menunjukkan pengaruh budaya Cina yang cukup kuat.
Bukti lain dapat ditambah dari dua bangunan masjid yang berdiri megah di Jakarta,
yakni masjid Kali Angke yang dihubungkan dengan Gouw Tjay dan Masjid Kebun
Jeruk yang didirikan oleh Tamien Dosol Seeng dan Nyonya Cai.

Agama Islam pertama kali masuk ke Indonesia melalui Sumatera, selanjutnya


penyiaran Agama Islam berkembang ke pulau-pulau lain di Nusantara. Ketika
kekuatan Islam semakin melembaga, berdirilah kerajaan-kerajaan Islam . Berkat
dukungan Kerajaan-kerajaan serta upaya gigih dari para ulam, Islam sampai ke tanah
Jawa. Pada sisi lain ada yang menyatakan penyebaran Islam di Jawa dirintis oleh para
saudagar muslim dai Malaka. Malaka merupakan kerajaan Islam yang mencapai
puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Sultan Mansyur Syah. Para saudagar
Muslim pada mulanya merambah daerah-daerah pesisir utara Jawa. Di daerah-daerah
ini terdapat beberapa kerajaan kecil yag telah melepaskan diri dari kepuasaan kerajaan
Majapahit, seperti Demak, Jepara, Tuban, Gresik,dan Giri. Melalui kontak
perdagangan tersebut akhirnya masyarakat Jawa mengenal Islam.

B. PENYEBARAN ISLAM DI JAWA

Agama Islam tersebar di Asia Tenggara dan kepulauan Jawa sejak abad ke-12
atau ke-13. masuk Islamnya berbagai suku bangsa di kepulauan Indonesia ini tidak
berlangsung dengan jalan yang sama. Salah satunya adalah di Jawa. Selain itu Ada
sebuah perjalanan history Islam masuk ke Jawa yang jarang terdengar, hampir
dikatakan sejarah pertama Islam masuk ke Jawa melalui Cina. Islam terlahir dari
seorang Rasul yang berbahasa Arab, melalui perjalan panjang melewati Cina untuk
berlabuh di Jawa. Bermula setelah wafatnya Muhammad terpecahnya pemahaman
terhadap pengganti Beliau. Kemudian dilanjutkan oleh Masa 4 khalifah. Terbunuhnya
Cucuanda Rasul Hasan dan Husein, melalui Huruhara selepas itu di Damascus (Yazid
bin Muawiyah), sehingga berkembangnya fitnah yang terus. Yang mengingatkan pada
perkataan Muhammad sang Nabi "Jika terjadi fitnah di Damascus, hindarilah dan
pergilah ke Yaman" Merupakan maknawi dari hakekat orang islam dalam berhijrah.

Sekelompok mengikuti harfiah dari perkataan rasul untuk ke Yaman (Hadramut)


menetap dalam lembah di Shibam (Manhantan of desert) sampai Tarim. Yang
kemudian menjadi beberapa kelompok Family yang bergelar Sayid/Syarief atau orang
jawa sebut Habib (al-atas, as- segaff dll). Kelompok lain menyebar mengikuti
maknawi Perkataan-Nya, menyebar terus ke berbagai penjuru dunia, ada yang ke
Mesir Libya (sarachen) Maghrabi (tunis ,aljier, maroko )terus ke Andalusia. Ke cyprot
(lacarna) Albania dan Sebrenica. Ada pula yang ke Baghdad, persia dan kemudian
terus mengikuti jalur sutra tradisional melalui Asia Tengah menuju China (melewati
sekarang Uzbekistan, kota khiva kota kelahiran tareqot Naqsyahbandi, samarkand,
terus ke Uygur China terus menyebar ke berbagai pelosok China dan membaur dalam
segi tasawuf kehidupan bangsa China Yin- Yang.

Penanggalan 32 Hijriah tahun bulan Islam, ditemukan makam islam di China


(merupakan rombongan pertama Muslim di Cina yang kemungkinan dikepalai oleh
sahabat Nabi yang bernama Said bin wakash). Disini islam berkembang,berbaur dan
terus turun ke selatan melalui generasi ketiga dan kedua. Menuju Nusantara, islam via
Cina menapaki negeri kepulauan ini bermula di Kepulauan Maluku, kemudian
berkembang dan dan berketurunan menjadi Sultan Babullah di Tidore (Ditemukan
kuburan bertarikh Islam 162 Hijriah). Merebak terus ke Penjuru Nusantara (kepala
burung Irian, Timor) ada juga yang menuju Sulawesi kemudian berketurunan menjadi
Para raja (turunan terakhir dan cukup terkenal Aru Palaka) tepatnya di negeri Selong.
Dengan mengingat lagu nenek moyangku seorang pelaut, mereka terus berlayar dan
mendarat di Gresik pada akhir kejayaan Majapahit. Berbaur dan mengembangkan
Cinta Kasih, dengan pengetahuan dan kelebihan pengalaman. Keturunan mereka
menjadi awal pendiri bangkitnya kerajaan Islam. Dimulai dari Demak, Pajang, sampai
Mataram Islam Sendiri. Ki Ageng Selo (Selong) ada pertalian darah dengan kanjeng
Sunan Kalijaga adalah Ayah dari Ki Ageng Nis, kakek dari Anggir Pemanahan sang
pendiri Mataram walaupun masih dibawah Pajang yang didirikan oleh Karebet (jaka
Tingkir murid Sunan Kalijaga). Keturunan mataram ini terus berkembang sampai
Sultan Agung yang menyerang Batavia dengan bantuan Saudara baur Chinanya yang
berada di Banten bermarga Tung (kemudian menjadi Tubagus) menguasai seluruh
pantai utara Jawa. Terus berkembang sampai pangeran Samber Nyowo, Sunan
Kuning. Sehingga pecahnya Mataram menjadi Surakarta dan Ngayogyakarta saat ini
karena kuasa dan harta. Islam terus berkembang di China dan terus juga menyebar ke
Jawa.

Walisongo sebagai jantung penyiaran Islam di Jawa. Ajaran-ajaran Walisongo


memiliki pengaruh yang besar di kalangan masyarakat Jawa, bahkan kadang kala
menyamai pengaruh seorang Raja. Masyarakat Jawa memberikan gelar sunan pada
Walisongo. Kata sunan diambil dari kata susuhunan yang artinya, “yang dijunjung
tinggi/dijunjung diatas kepala”, gelar atau sebutan yang dipakai para raja. Bagi
sebagian besar masyarakat Jawa, Walisongo memiliki nilai kekeramatan dan
kemampuan-kemampuan diluar kelaziman. Walisongo merupakan sembilan ulama
yang merupakan pelopor dan pejuang penyiaran Islam di Jawa pada abad ke-15 dan
ke-16. Sekalipun masih terdapat perbedaan pendapat tentang nama-nama Wlisongo.
Namun yang lazim diakui sebagai walisongo sebagai berikut:

1. Maulana Malik Ibrahim/ Sunan Gresik

Sunan Gresik atau Maulana Malik Ibrahim di kenal dengan berbagai nama. Di
antaranya, Maulana Maghribi, disebut demikian karena beliau berasal dari daerah
Maghribi, Afrika Utara. Maulana Malik Ibrahim datang ke Pulau Jawa bersama
dengan Raja Cermin beserta dengan putra putri nya. Raja Cermin adalah Raja
Hindustan. Sebagian Riwayat ada yang meyebutkan bahwa Sunan Gresik datang dari
Turki sebagai utusan dakwah Khalifah Turki Utsmaniyah. Beliau pernah mengembara
di Gujarat sehingga cukup berpengalaman menghadapi orang – orang Hindu. Yang
mana saat itu raja dan rakyat masih beraga Hindu atau Budha , sebagai agama resmi
kerajaan. Maulana Malik Ibrahim terkenal sebagai Si Kakek Bantal. Penolong fakir,
miskin dan juga ahli tata negara yang di hormati oleh para pangeran dan sultan.
Berbagai gelar tersebut menunjukkan betapa hebat perjuangan beliau untuk
masyarakat Jawa. Beliau juga di kenal ahli pertanian dan pengobatan. Semenjak
beliau berada di Gresik, hasil pertanian rakyat Gresik meningkat tajam, Sunan Giri
mempunyai gagasan mengalirkan air dari gunung untuk mengairi lahan pertanian.
Maulana Malik Ibrahim mempunyai sifat lemah lembut,welas asih. Dan ramah kepada
semua orang baik muslim ataupun Hindu, yang membuat Maulana Maghribi sangat
di segani oleh masyarakat. Kepribadian yang terpuji itulah yang membuat banyak
orang rela berbondong-bondong masuk Islam dengan sukarela dan menjadi pengikut
setianya.

Di Gresik, Maulana Malik Ibrahim mendirikan sebuah pesantren, tempat yang


di jadikan untuk mempelajari AL Qur’an, hadist, bahasa Arab, dan sebagainya di
sana. Inilah yang menjadi cikal bakal pesantren di Jawa, Dari pesantren yang pertama
berdiri tersebut beliau menuai hasil yang sangat memuaskan. lahirlah para mubaligh
yang kemudian tersebar luas ke seluruh Nusantara. Tradisi pesantren ini berkembang
hingga sekarang. Pengikut Sunan Gresik semakin bertambah, Beliau mempunyai
niatan untuk mengislamkan Raja Majapahit. Hal itu di utarakan beliau kepada
sahabatnya, Raja Cermin. Ternyata Raja Cermin juga mempunyai niatan yang sama
untuk mengajak Prabu Brawijaya untuk masuk agama Islam. Maka pada tahun 1321
M, Raja Cermin datang ke Gresik disertai putri nya yaitu Dewi Sari. Tujuan sang putri
adalah untuk memberikan bimbingan kepada para putri istana Majapahit untuk
mengenal Islam. Maulana Malik Ibrahim wafat pada tahun 1419 M atau 822 H. Beliau
di makamkan di Gapura Wetan, Gresik, Jawa Timur.

Sebenarnya, Maulana Malik Ibrahim mengalami kesulitan dalam berdakwah


karena ia berasal dari Maroko yang berbahasa Arab dan dari negeri Campa yang
berbahasa Kamboja. Namun, berkat keakrabannya dengan rakyat setempat dan
kecerdasan otaknya, ia berhasil menguasai bahasa Jawa dengan cepat, meskipun tidak
fasih. Kepada rakyat jelata yang tingkat pengetahuan mereka masih renda sekali, ia
tidak berdakwah tentang perkara-perkara yang musykil. Mereka dibina untuk bisa
lebih pandai dan cekatan mengolah tanah agar sawah dan kebun mereka bisa dipanen
lebih banyak. Sesudah itu, mereka dianjurkan bersyukur kepada Yang Memberikan
Rezeki, yaitu Gusti Allah.

2. Sunan Ampel

Diantara para wali yang termasuk paling menonjol adalah Sunan Ampel. Ia
putra seorang wali yang melahirkan dua wali di antara putra-putrinya. Sejak kecil
Raden Rahmat sudah terbiasa hidup bersahaja, walaupun ia cucu raja. Ibunya selalu
menanamkan pengertian bahwa manusia yang dihormati karena kekayaan dan
kemewahannya, penghormatan itu tidak akan kekal bagai semut merubung gula. Bila
gulanya habis, semut pun akan bubar, berpencaran kemana-mana. Sebaliknya, jika
seseorang dihormati lantaran budi pekertinya, sampai mati pun namanya tetap harum.
Sunan Ampel merupakan putra dari ayah yang bernama Syekh Ibrahim Asmarakandi
yang berasal dari Samarqand. Samarqand merupakan wilayah besar yang melahirkan
ulama-ulama’ besar seperti Imam Bukhari yang termasyhur sebagai perawi hadist
shohih. Di Samarqand hidup pula seorang ulama’ besar yang bernama Syekh
Jamaluddin Jumadil Kubra. Beliau mempunyai anak yang bernama Ibrahim. Syekh
Ibrahim Asmarakandi di perintahkan oleh sang ayah untuk berdakwah di wilayah
negara- negara Asia. Beliau berhasil mengislamkan Raja Campa dan rakyatnya,
Bahkan, kemudian raja Campa dijodohkan dengan putri raja yang bernama Dewi
Candra Wulan.

Dari pernikahan Syekh Ibrahim Asmarakandi dengan Dewi Candra Wulan


memiliki dua orang putera yaitu Raden Rahmat atau Sayid Ali Rahmatullah dan
Raden Santri atau Sayid Ali Murtadho. Adik dari Dewi Candra Wulan yang bernama
Dewi Dwarawati di peristeri oleh Prabu Brawijaya dari Majapahit. Namun kala itu,
Kerajaan Majapahit sedang mengalami masa kemunduran yang di sebabkan oleh
perang antar saudara. Oleh sebab itu, Sang Prabu Brawijaya merasa sangat risau.
Kemudian Dewi Dwarawati mengusulkan untuk memanggil keponakannya yang
tinggal di Campa yaitu Sayid Ali Rahmatullah. Karena beliau memang ahli dalam
mengatasi kemerosotan budi pekerti. Maka dikirimlah utusan dari negeri Campa
untuk meminta Sayyid Ali Rahmatullah datang ke Majapahit yang kemudian
disambut dengan senang hati oleh sang Raja Campa. Berangkatlah Sayid Ali
Rahmatullah ke tanah Jawa yang di temani oleh sang ayah yaitu Syekh Maulana
Malik Ibrahim Asmarakandi dan sang kakak yaitu Sayid Ali Murtadho. Ada dugaan
yang menyebutkan bahwa mereka tidak langsung menuju majapahit, namun singgah
terlebih dahulu ke daerah Tuban. Namun ketika di Tuban, sang ayah jatuh sakit dan
kemudian wafat.

Sepeninggal ayahanda, Sayid Ali Murtadho melanjutkan dakwahnya keliling


Pulau Bali, Sumba, Sumbawa madura hingga mencapai Bima. Sementara Sayid Ali
Rahmatullah melanjutkan perjalanan menuju Majapahit. Sesampainya di Majapahit,
beliau di sambut gembira oleh sang Prabu. Beliau di hadiah sebidang tanah beserta
bangunannya di Surabaya. Beliau diminta untuk mendidik para bangsawan dan
pangeran Majapahit agar berbudi pekerti luhur. Pada hari yang di tentukan,
berangkatlah Sayid ali Rahmatullah ke Surabaya yang bernama Ampel Dhenta. Prabu
Brawijaya menyertakan 300 anggota keluarganya untuk mengikuti Sayid Ali
Rahmatullah. Selama di perjalanan, beliau melakukan dakwah sehingga bertambah
pula rombongannya.

Sebelum tiba di Ampel, beliau mendirikan sebuah langgar sederhana di


Kembang Kuning yang letaknya delapan kilometer dari Ampel. Karena berdakwah di
sekitar Ampel, maka beliau di sebut sebagai Sunan Ampel. Sunan Ampel di sebut
sebagai bapaknya para Wali. Beliau merupakan sesepuh walisongo, mufti atau
petinggi agama Islam setanah Jawa. Beberapa murid dan putra beliau menjadi bagian
dari Wali Songo. Diantaranya Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Drajat, dan Sunan
Kalijaga.

Ajaran dari Sunan Ampel yang terkenal adalah falsafah moh limo. Artinya,
tidak melakukan lima hal tercela. Moh limo tersebut yaitu, moh main (tidak mau judi),
moh ngombe (tidak mau mabuk), moh maling (tidak mau mencuri), moh madat (tidak
mau mengisap candu), dan moh madon (tidak mau berzina).

Sunan Ampel di kenal sebagai pendakwah sekaligus ahli pidato yang pandai
memikat pendengarnya. Ajaran Sunan Ampel begitu bermakna bagi anak
keturunannya. Sekalipun beliau telah wafat pada tahun 1481 M dengan candra
sengkala ulama Ampel seda Masjid. Cerita lisan dari masyarakat meyebutkan bahwa
beliau wafat saat sujud di masjid. Namun ada riwayat lain yang menyebutkan beliau
wafat pada tahun 1406 Jawa.

3. Sunan Bonang
Sunan Bonang merupakan seorang Wali yang mempunyai nama asli Raden
Makdum atau Maulana Makdum Ibrahim. Beliau lahir di daerah Ampel, surabaya
pada tahun 1465. Beliau di tugaskan untuk berdakwah di daerah Bonang, Tuban.
Semasa kecil, Sunan Bonang selalu di didik oleh sang ayah dengan disiplin dengan
ketat. Ayah beliau merupakan Sunan Ampel. Sunan Bonang pernah menaklukkan
Kebondanu, seorang pemimpin perampok dan anak buahnya dengan hanya
menggunakan tembang gending “Dharma” dan “Macapat”. Mendengar tembang
tersebut , Kebondanu dan anak buahnya merasa lemas dan tidak dapat menggerakkan
tubuhnya. Setelah mereka bertaubat, mereka kemudian menjadi pengikut Sunan
Bonang, Namun kesaktian Sunan Bonang tidak hanya terletak pada gamelan dan
gaungnya. Pada masa hidupnya,Sunan Bonang termasuk penyokong Kerajaan Islam
Demak. Beliau juga turut merancang sendi – sendi keprajuritan, peraturan muamalah,
undang-undang, dan masjid Demak. Beliaulah yang memutuskan untuk pengangkatan
Sunan Ngudung sebagai panglima tentara Islam Demak. Dalam menyiarkan ajaran
Islam, Sunan Bonang mengandalkan sejumlah kitab. Diantaranya, Ihya Ulumudin dari
Al Ghazali dan Al Anthaki dari Dawud Al Anthaki. Tulisan Abu Yazid Al Busthami
dan Syekh Abdul Qadir Jaelani juga menjadi acuan baginya. Ajaran Sunan Bonang
memuat tiga tiang agama meliputi tasawuf, ushuludin, dan fikih. Dalam berdakwah,
Sunan Bonang kerap menggunakan kesenian rakyat untuk menarik simpati
masyarakat awam, Seperangkat gamelan bonang misalnya, yang bila di pukul
mengeluarkan bunyi yang sangat merdu. Jika sang gendang di pukul sendiri oleh sang
sunan, suaranya sangat menyentuh hati para pendengarnya. Kemudian mereka
berbondong – bondong datang ke masjid. Dalam bidang sastra budaya, sumbangan
beliau meliputi dakwah melalui pewayangan san turut mendirikan masjid Demak.
Selain itu beliau juga menyempurnakan Instrumen gamelan, terutama bonang,
kenong, dan kempul. Mengubah Suluk Wujil dan tembang “Macapat”. Pada zaman
sekarang, salah satu ajaran Sunan Bonang telah di gubah menjadi syair pujian
“Tombo Ati”.
Sebagai wali, Sunan Bonang terkenal bijaksana. Ia memiliki sifat
kepemimpinan yang santun dan berwawasan luas. Dari pergaulannya dengan
masyarakat yang masih kental dipengaruhi budaya dan agama Hindu-Budha, ia
memperoleh ilham betapa penting peranan kesenian dalam membentuk jati diri dan
budi pekerti manusia. Oleh karena itu, ia berdakwah melalui pendekatan seni.
4. Sunan Drajat
Kata Drajat berasal dari bahasa Arab, yaitu darajat yang berarti martabat atau
tingkatan. Sunan Drajat merupakan seorang putra dari Sunan Ampel dari
pernikahannya dengan Dewi Candrawati. Sunan Drajat juga adik dari Sunan Bonang.
Beliau hidup pada zaman Majapahit Akhir, sekitar tahun 1478 M. Diantara para Wali
songo, mungkin beliaulah yang mempunyai nama paling banyak. Ketika muda, Sunan
Drajat dikenal sebagai Raden Qosim atau Kasim. Selain itu, berbagai naskah kuno
menyebutkan beberapa nama beliau yang lain. Misalnya Sunan Mahmud, Sunan
Mayang Madu, Sunan Muryapada, Raden Imam, Maulana Hasyim, Syekh Masakeh,
Pangeran Syarifudin, Pangeran Kadrajat, dan Masaikh Munar.
Empat pokok ajaran Sunan Drajat adalah “paring teken marang kang kalunyon
lan wuta; paring pangan marang kang kaliren; paring sandhang marang kang
kawudan; paring payung marang kang kodanan.” Artinya, berikanlah tongkat kepada
orang yang buta; berikanlah makan pada orang yang kelaparan; berikanlah pakaian
kepada orang yang telanjang; berikanlah payung pada orang yang kehujanan.
Sunan Drajat sangat memperhatikan kaumnya. Beliau kerap kali berjalan
mengitari perkampungan pada malam hari. Penduduk merasa aman dan terlindung
dari gangguan makhluk halus yang konon cerita sangat meraja lela selama adanya
setelah pembukaan hutan. Usai sholat Ashar beliau keliling perkampungan seraya
berdzikir dan mengingatkan penduduk untuk melaksanakan sholat magrib.
“Berhentilah bekerja, jangan lupa sholat,” nasihat beliau dengan membujuk. Di saat
yang lain beliau juga merawat dan mengobati warga yang sakit dengan ramuan
tradisional dan doa. Sunan Drajat terkenal akan kearifan dan kedermawannannya.
Beliau menurunkan ajaran agar tidak saling menyakiti, baik melaui perkataan atau
perbuatan. “ Bapang den simpangi, ana catur mungkur”, demikian petuahnya. Artinya,
janganlah mendengarkan pembicaraan yang menjelek jelekkan orang lain dan
hindarilah perbuatan yang dapat mencelakai orang lain. Kelembutan Sunan Drajat
telah mendorongnya untuk mengenalkan Islam melalui konsep dakwah bil hikmah,
yaitu secara bijak dan tanpa memaksa.
Ada beberapa cara yang dilakukan Sunan Drajat dalam menyampaikan
dakwahnya. Pertama, lewat pengajian secara langsung di masjid ataupun di langgar.
Kedua, melalui penyelenggaraan pendidikan di pesantren, lantas memberikan fatwa
atau petuah dalam menyelesaikan suatu masalah. Ketiga, melalui kesenian tradisional.
Beliau juga menyampaikan ajaran agama melalui ritual adat tradisional sepanjang
tidak bertentangan dengan ajaran Islam.
5. Sunan Kalijaga
Sunan Kalijaga merupakan salah satu wali yang paling poluler di Jawa karena
beliau lebih di kenal luas oleh para masyarakat. Bahkan sebagian orang Jawa
menganggapnya sebagai guru agung tanah Jawa. Beliau mempunyai nama kecil yaitu
Raden Sahid. Raden Sahid merupakan putra Tumenggung Wilwatika, Adipati Tuban.
Sang Tumenggung merupakan keturunan Ranggalawe yang sudah beragama Islam
dan berganti nama menjadi Raden Sahur. Ibunda dari Raden Sahid bernama Dewi
Nawangrum. Semasa kecil, Raden Sahid sudah mempelajari Islam di Tuban.
Akan tetapi, melihat kondisi lingkungan yang sangat bertentangan dengan
ajaran Islam sehingga memberontaklah Raden Sahid. Ia melihat banyak Rakyat jelata
yang hidupnya sengsara. Sedangkan para bangsawan Tuban hidup dengan berfoya-
foya. Para pemuka agama yang diam saja tak banyak berpendapat. Di sisi lain, pejabat
kadipaten pun sewenang wenang memperlakukan rakyat kecil. Karena itu, hati Raden
Sahid merasa sangat gelisah. Raden Sahid muda memiliki solidaritas tinggi terhadap
kawan kawannya. Tak segan-segan ia bergaul dengan di lingkungan rakyat. Di kala
itulah raden tak lagi tahan melihat kondisi penderitaan kaum miskin pedesaan. Maka
ketika malam hari, ia sering mengambil bahan makanan dari gudang kadipaten dan
memberikannya kepada rakyat miskin. Lambat laun, perbuatan Raden Sahid tersebut
kemudian di ketahui oleh pihak ayahnya.
Sang Raden pun kemudian di usir dari istana sehingga akhirnya ia mengembara
tanpa tujuan yang pasti. Di hutan Jatiwangi, yaitu di perbatasan Kudus dan Pati,
menetaplah Raden Sahid. Di sana beliau merampok orang- orang kaya yang pelit
terhadap orang miskin.
Kemudian hasilnya beliau berikan pada mereka kaum miskin. Sunan kalijaga
dalam berdakwahnya tidak mendirikan pesantren. Karena, menurut beliau semua
dunia adalah pesantren. Dalam berdakwah, Sunan Kalijaga menggubah tembang “ilir-
ilir”, membuat kreasi seni batik yang bermotifkan lukisan burung, menggubah
tembang “macapat”, “Dhandhanggula”, menyelaraskan gong sekaten. Dan
menyungging wayang kulit untuk sarana dakwah. Tata cara pemeluk agama lama,
seperti semadi dan sesaji justru di gunakan sebagai alat penyebaran agama Islam.
Oleh karena itulah sunan Kalijaga memelopori ritual peringatan maulid Nabi
Muhammad di Surakarta dan Yogyakarta dengan upacara Sekaten, Grebeg Maulud,
Grebeg Besar, dan Grebeg Syawal.
Jasa Sunan Kalijaga tidak terhitung banyaknya. Pantaslah apabila Sunan
Kalijaga dianggap sebagai sesepuh para wali bersama Sunan Ampel. Sunan Kalijaga
termasuk sunan yang paling panjang pengabdiannya, yakni sampai mengalami zaman
kelahiran Kesultanan Pajang di pedalaman Jawa Tengah.
6. Sunan Kudus
Sunan Kudus mempunyai nama yaitu Ja’far Shodiq. Beliau merupakan ulama’
besar yang menyebarkan Islam di sekitar Kudus, Jawa Tengah. Beliau lahir dari
Ayah yang bernama Raden Usman Haji yang bergelar Sunan Ngudung di jipang
Panolan, Blora pada pertengahan abad 15 M atau 9 H. Meski bergelar sebagai Sunan
Kudus, namun beliau bukanlah berasal dari Kudus melainkan dari Demak. Di sanalah
Ja’far Shodiq dilahirkan sebagai anak dari perkawinan Sunan Ngudung dan Syarifah.
Sejak Kecil, Ja’far Shodiq ingin hidup merdeka dan membaktikan hidupnya untuk
kepentingan agama Islam.
Cara simpatik Sunan Kudus membuat para penganut agama lain terpikat untuk
mendengarkan dakwahnya. Surah Al Baqarah, yang dalam bahasa Arab berarti sapi,
sering di bacakan Sunan agar memikat pendengar. Bangunan di sekitar Masjid Kudus
di bangun dengan desain bangunan Hindu karena pada masa itu memang yang
mendominasi adalah masyarakat beragama Hindu.
Kebiasaan unik Sunan Kudus dalam berdakwah adalah acara bedug dandang
yang merupakan kegiatan menunggu bulan Ramadhan. Untuk mengundang para
Jemaah datang ke Masjid, Sunan Kudus menabuh beduk bertalu- talu. Setelah mereka
semua berkumpul, Sunan mengumumkan kapan persisnya hari pertama puasa. Nama
Sunan Kudus di kalangan masyarakat setempat dimitoskan sebagai seorang tokoh
yang terkenal dengan seribu satu kesaktiannya. Sunan Kudus kemudian wafat pada
tahun 1550 M atau 960 H. Beliau di makamkan di Kudus.
Selain menguasai ilmu agama, Sunan Kudus juga seorang panglima perang
yang lihai mengatur strategi. Sunan Kudus juga terkenal sebagi seorang seniman. Ia
banyak megarang lagu-lagu dakwah dalam bentuk tembang antara lain, mijil dan
gending maskumambang. Begitu pula ia menguasai ilmu filsafat serta ilmu-ilmu
agama yang mampu mendukung dakwahnya.
7. Sunan Muria
Sunan Muria merupakan putera dari Sunan Kalijaga. Ibu Sunan Muria bernama
Dewi Sarah. Istri Sunan Muria adalah Dewi Sujinah yang merupakan kakak dari
Sunan Kudus. Nama Sunan Muria kecil adalah Raden Umar Sahid. Beliau di sebut
Sunan Muria karena wilayah syiar Islamnya meliputi lingkungan Gunung Muria.
Ketangguhan Sunan Muria dalam berdakwah tidak dapat di ragukan lagi. Gaya
berdakwah yang modern, mengikuti Sunan Kalijaga, dan menyelusup lewat berbagai
tradisi Jawa. Misalnya, adat kenduri pada hari- hari tertentu setelah kematian anggota
keluarga, seperti nelung dina hingga nyewu, tidak di haramkan oleh sang sunan.
Tradisi berbau klenik, seperti membakar kemenyan atau menyuguhkan sesaji di ganti
dengan do’a dan sholawat.
Cara pertama berdakwah dilakukan dengan metode pendekatan yang moderat,
yaitu berkompromi dengan adat istiadat setempat. Hukum-hukum agama disampaikan
amat ramah terhadap kepercayaan lama. Cara berdakwahnya terkesan lunak atau
dilunakkan, mengikuti petatah-petitih yang mengalir dalam keseharian masyarakat.
mereka bahkan sering menggunakan metode sinkretisme, yaitu dengan membaurkan
ajaran Islam kedalam warisan budaya masa kemusyrikan.
Selain itu, Sunan Muria juga berdakwah lewat berbagi kesenian Jawa.
Misalnya, menciptakan tembang “Macapat”, “Sinom”, dan “Kinanti” yang hingga
sekarang masih lestari. Lewat tembang- tembang itulah beliau mengajak umat untuk
mengamalkan ajaran Islam. Sunan Muria lebih senang berdakwah kepada rakyat
jelata dari pada kaum bangsawan. Daerah dakwahnya cukup luas dan tersebar. Mulai
dari lereng Gunung Muria, pelosok Pati, Kudus, Juwana hingga pesisir utara.
8. Sunan Gunung Jati
Sunan Gunung Jadi memiliki nama asli yaitu Sarif Hidayatullah. Syarif
Hidayatullah berasal dari Mesir. Ibunda Sunan Gunung Jati merupakan putri dari
Prabu Siliwangi yang bernama Rara Santang yang kemudian di peristri oleh Raja
yang bernama Syarif Abdullah yang merupakan seorang Raja dari Mesir. Syarif
Hidayatullah lahir dan dibesarkan di Samudera Pasai, kerajaan Islam tertua di ujung
barat Pulau Sumatera. Sejak kecil ia dididik agama dan digembleng semangat
kebangsaan yang kuat. Oleh karena itu, ia merasa gerah menyaksikan Portugis
menyerbu Nusantara dan berusaha menduduki Kerajaan Malaka. Ketika Syarif
Hidayatullah masih berusia 21 tahun, Syarif Abdullah meninggal dunia. Syarif
Hidayatullah pun hendak di lantik sebagai pengganti Raja Mesir. Tetapi ia menolak.
Syarif Hidayatullah memilih untuk berkunjung ke Jawa tempat di mana sang Ibu di
lahirkan untuk berdakwah. Sewaktu di Mesir, Syarif Hidayatullah kerap berguru
kepada para ulama Mesir, sehingga beliau tidak canggung lagi ketika harus
berdakwah di Jawa.
Di Jawa, Syarif Hidayatullah meneruskan perguruan agama yang di bangun
Syekh Datuk Kahfi, di Gunung jati. Oleh karena itulah beliau di sebut sebagai Sunan
Gunung Jati. Pangeran Cakrabuwana mengawinkan putrinya yaitu Dewi Pakungwati
dengan Sunan Gunung Jati. . Setelah beliau berusia lanjut, Pangeran Cakrabuwana
menyerahkan tahta Caruban Larang kepada sang menantu yaitu Sunan Gunung Jati.
9. Sunan Giri
Sunan Giri yang digelari Prabu Satmata bukanlah seorang raja, apalagi semacam
penguasa tandingan terhadap Kerajaan Islam DEmak. Giri bukan Negara tersendiri
melainkan sebuah wilayah pesantren yang dikelola dengan sistem pemerintahan
secara rapi agar dapat menyebarkan dakwah dengan teratur dan gencar. Para muballig
Giri dikirim ke daerah dan kerajaan-kerajaan lain sebagai duta-duta kebenaran. Untuk
itu mereka diberi jati diri selaku utusan Giri Kedaton sehingga tidak diperlakukan
sewenang-wenang oleh penguasa kerajaan yang didatangi.
Dampai-sampai di Hitu, Halmahera, dulu selalu diadakan upacara pembacaan
surat Sunan Giri setahun sekali sebagai peringatan atas masuknya Islam kesana, Itu
berkat jasa Sunan Giri yang tidak hanya mengirimkan para muballig, tetapi juga
bimbingan agama lewat surat menyurat. Tak heran Islam dengan cepat tersiar luas,
terutama di daerah Jawa sendiri. Para pengikut agama Hindu dan Budha berbondong-
bondong mengucapkan dua kalimat syahadat.
Tentu saja kerajaan Majapahit merasa ditelikung kekuasaannya. Oleh karena itu,
Prabu Brahwijaya memerintahkan panglima perangnya untuk menyerbu Giri Kedaton
sebagai pusat dakwah di Nusantara.
Untuk tujuan dakwah, Sunan Giri banyak megarang tembang, termasuk lagu-
lagu dolanan anak-anak, antara lain Jamuran, Cublak-cublak Suweng, Jithungan dan
Delikan. Tembang yang digubah beserta syairnya ialah Asmaradhana dan Pucung.
Sunan Giri merupakan seorang anak yang berasal dari seorang ayah yaitu
Maulana Ishak yang berasal dari Pasai. Dan ibunya bernama Dewi Sekardaru, putri
Prabu Menak Sembayu, Raja Blambangan. Sunan Giri mulanya bernama Raden Paku,
yaitu nama yang di berikan oleh ayahnya ketika hendak pergi meninggalkan
Blambangan, sementara sang istri saat itu tengah hamil tujuh bulan.
Setelah lahirnya sang putra, ayahanda Dewi Sekardaru yaitu raja Blambangan
memerintahkan untuk memasukkan bayi tersebut ke dalam peti kemudian di
hanyutkan di lautan atas hasutan dari patihnya. Bayi tersebut kemudian di temukan
oleh rombongan kapal pesiar yang kapalnya macet karena adanya peti yang
mengganjal kapal tersebut. Diangkatlah peti tersebut lalu di buka. Seluruh awak kapal
tersebut sangat terkejut. Karena mereka menemukan bayi mungil yang tampan di
dalam peti tersebut. Bayi tersebut kemudian di serahkan kepada majikan mereka oleh
awak kapal yaitu, Nyai Ageng Pinatih yang merupakan mantan istri dari Patih
kerajaan Blambangan. Dan bayi tersebut di angkat menjadi anaknya. Singkat cerita,
pada usia 12 tahun kemudian anak tersebut di serahkan kepada Sunan Ampel untuk
dididik. Raden Paku yang awalnya adalah seorang pedagang yang membantu ibunya,
setelah menikah Raden Paku meninggalkan dunia perdagangan dan konsentrasi pada
syiar Islam.
Lantas, bermunajatlah beliau di sebuah gua desa kembangan dan Kebomas,
Kabupaten Gresik selama 50 hari 40 malam. Saat itu beliau teringat pesan ayahnya
untuk mendirikan pesantren yang bertanah sama yang di wasiatkan beliau. Usai
bermunajat, di carilah tempat tersebut dan akhirnya Raden Paku menemukan tanah
tersebut di Desa Sidomukti, tepatnya si sebuah daerah perbukitan. Lalu beliau
membangun sebuah pesantren di sana. Karena tempatnya di gunung, tempat itu di
sebut sebagai Pesantren Giri, semenjak itulah raden Paku di sebut sebagai Sunan Giri.
Sunan Giri dikenal sebagai ahli politik dan ketatanegaraan. Beliau pernah
menyusun peraturan ketata pajakan dan undang – undang kerajaan Demak. Berbagai
pandangan atau petuah nya di jadikan rujukan.
Jasa dan perjuangan sunan Giri terbesar adalah pengislaman penduduk Jawa
bagian Timur. Tak terhitung jumlah orang masuk islam karena bimbingan beliau.
Proses Islamisasi Jawa adalah hasil perjuangan dan kerja keras para Walisongo.
Proses Islamisasi ini sebagian besar berjalan secara damai, nyaris tanpa konflik baik
politik maupun kultural. Meskipun terdapat konflik, skalanya sangat kecil sehingga
tidak mengesankan sebagai perang, kekerasan ataupun pemaksaan budaya. Penduduk
jawa menganut Islam dengan suka rela. Kehadiran Walisongo bisa diterima dengan
baik oleh masyarakat karena Walisongo menerapkan metode dakwah dan akomodatif
dan kultur. Kedatangan para wali di tenga-tengah masyarakat Jawa tidak dipandang
sebagai sebuah ancaman. Para Wali menggunakan unsur-unsur budaya lama (hindu
dan budha) sebagai media dakwah. Dengan sabar sedikit demi sedikit Walisongo
memasukkan nila-nilai ajaran Islam kedalam unsur-unsur lama yang

sudah berkembang. Walisongo memiliki pendekatan yang Khas dalam


melakukan dakwah kepada khalayak. Mereka mampu memahami secara detail kondisi
sosiokultural masyarakat Jawa. Terdapat beberapa bentuk budaya lama yang telah
dimodifikasi para Wali, misalnya :

a. Sunan Kalijaga membolehkan pembakaran kemenyan. Semula pembakaran


kemenyan menjadi sarana dalam upacara penyembahan para dewa tetapi oleh Sunan
Kalijaga fungsinya diubah sebagai pengharum ruangan ketika seorang Muslim berdoa.
Dengan suasana yang harum itu, diharapkan doa dapat dilaksanakan dengan lebih
khusuk.

b. Sunan Kudus melarang penyembelihan lembu bagi masyarakat muslim di Kudus.


Laramgan ini adalah bentuk toleransi terhadap adat istiadat serta watak masyarakat
setempat yang sebelumnya masih kental dengan Agama Hindunya. Dalam keyakinan
Hindu lembu termasuk bintang yang dikeramatkan dan suci.

c. Para Wali mengadopsi bentuk atap Masjid yang bersusun tiga, yang merupakan
peninggalan tradisi lama (Hindu). Namun, Para Wali memberikan penafsiran baru
terhadap bentuk atap susun tersebut. Bentuk atap itu merupakan melambangkan Iman,
Islam dan Ihsan.
C. BUKTI-BUKTI ISLAM DI JAWA
Bukti-bukti bahwa Islam telah ada di Jawa itu bisa dibuktikan salah satunya
dengan ditemukannya makam, masjid, ragam hias dan tata kota.
1. Makam
Bukti sejarah yang paling faktual barangkali adalah ditemukannya batu nisan
kubur Fatimah binti Maemun di Leran Gresik yang berangka tahun 475 H (1082 M).
Pada makam nisan itu tercantum prasasti berhuruf dan berbahasa Arab yang
menyatakan bahwa makam itu adalah makam Fatimah binti Maemun bin Hibatallah
yang meninggal pada tanggal 7 Rajab 475 H.
2. Masjid
Sumber sejarah arkeolog juga banyak ditemukan di Jawa yaitu berdirinya
Masjid di suatu wilayah yang membuktikan bahwa adanya komuitas muslim di
wilayah tersebut.
3. Ragam hias
Dengan diterimanya ajaran islam di Jawa maka lahirlah beberapa ragam hias
baru, yaitu kaligrafi dan stiliran. Tetapi tulisan arab dijawa pada saat itu tidak
mengalir luwes buktinya Prasasti berhuruf arab yang tertera dimakam Fatimah binti
Maemun yang jauh lebih tua justru menampakan segi keindahan.

D. KERAJAA-KERAJAAN ISLAM DI JAWA

Kerajaan-kerajaan islam di Jawa sebelum berdirinya kerajaan-kerajaan islam,


di Jawa telah berdiri Kearjaan-kerajaan hindu n Kerajaan dan Budha yang cukup
kokoh dan tangguh, bahkan sampai saat ini hasil peradabannya masih dapat
disaksikan, setelah agama islam datang di Jawa dan kerajaan Majapahit semakin
merosot pengaruhnya di masyrakat, terjadilah pergeseran di bidang Politik. Menurut
Sartono, islamisasi menunjukkan suatu proses yang terjadi cepat, terutama sebagai
hasil dakwah para wali sebagai perintis dan penyebar agama islam di Jawa. Di
samping kewibawaan rohaniah, para wali juga berpengaruh dalam bidang polotik
bahkan ada yang memegang pemerintahan. Pengembangan polotik para wali yang
semula berkedudukan di Kota-Kota pantai ternyata tidak dapat dipertahankan oleh
penerusnya. Akhirnya, pusat aktivitas politiknya pindah kekadalaman yang semula
kuat kehinduannya, bahkan sampai ke Madura dan kota-kota lain di nusantara.
Artikel yang pendek ini melacak kerajaan-kerajaan islam yang pernah ada di
Jawa dan Madura. artikel ini tidak menguraikannya secara keseluruhan dan
kronologis, tetapi berdasarkan wilayah.

1. Kerajaan Demak (1500-1550)


Menurut tradisi seperti yang tercantum dalam historiografi tradisional Jawa,
pendiri kerajaan Demak ialah Raden Patah. Dia adalah seorang putra raja Majapahit
dari istri Cina yang dihadiakan pada raja Palembang. Asal-usul Raja Demak dari
keturunan Cina dapat dipercaya bahkan dia sudah menganut agama islam ketika ia
menetap di sana. Konon ia berasl dari Gresik dan menjabat sebagai patih. Dia hidup di
Demak pada perempat terakhir abad ke-15. Raden Patah terang-terangan memutuskan
segala ikatan nya dengan Majapahot yang sudah tidak berdaya lagi. Dengan bantuan
daerah-daerah lainnya di Jawa Timur yang sudah islam.
Demak dijadikan pusat dan benteng agama islam untuk wilayah barat dan Giri
untuk wilayah timur. Akan tetapi dalam segala hal Demak yang menjadi pimpinan
selurh pesisir dalam usaha menanam kekuatan di Jawa.
Raden Patah adalah salah satu murid sunan Kudus yang ulung. oleh karena itu
tatkala ia memimpin Demak, Sunan Kuduslah yang selalu mendampinginya. Sebagai
kelengkapan Negara, maka disusunlah angkatan perang. Mereka bukan saja sebagai
penjaga dan pengayom Negara, tetpi juga sanggup menjelmakak cita-ciat agama
islam. Mereka juga berhasrat agar agama islam unggul dan terus berkembang seperti
yang diinginkan oleh para wali songo.
Untuk dapat menhancurkan Portugis di luar Indonesia, dikerahkan Angkatan
Laut yang berpangkalan di Jepara yang dipimpin Oleh Adi Pati Unus , putra Raden
Fatah. Dengan bantuan dari Palembang, mereka menuju ke Malaka. Akan tetapi
serangan itu dapat ditangkis oleh Portugis. Hal itu terjadi pada tahun 1513, setelah itu
dengan dipimpin oleh ratu Kalinyamat armada laut Demak menyerang Portugis lagi.
Usaha ini pun gagal karna ternyata armada Portugis lebih unggul.
Tatkala prjuangan melawan Portugis belum selesai, pada tahun 1518 Raden
Patah wafat dan digantikan oleh putranya Adipati Unus. Namun saying, ia hanya
memerintah selama 3 tahun sehingga usahanya sebagai negarawan tidak banyak
diceritakan. Konon dia mempunya armada laut yang terdiri dari 40 kapal juang yang
berasal dari daerah takhlukan, terutama yang diperoleh dari Jepara.
Sebagai penggantinya adalah Sultan Trenggana saudara Adipati Unus. Dia
memerintah dari tahun 1521-1546. Tatkala dia memerintah, kerajaan telah di perluas
kebarat dan ketimur dengan gambaran tersebut perjuangan pangeran Trenggana tidak
kalah oleh para pendahulunya. Ada pun orang orang Portugis di Malaka, dirasanya
sebagai ancaman dan bahaya. untuk mennggempur langsung, dia belum sanggup.
Namun demikian dia berusaha membendung perluasan daerah-daerah yang dikuasai
oleh Portugis yang telah berhasil menguasai pula daerah Pase di Sumatra Utara.
Seorang ulama teerkemuka dari Pase, Fataah Hilla yang sempat melarikan diri dari
kepungan orang-orang Portugis, diterima oleh Trenggana. Fatahillah pun dikawinkan
dengan adiknya. Ternayat Fatahillah dapat menghalangi kemajuan orang-orang
Poertugis dengan merebut kunci-kunci perdagangan kerajaan Padjajaran di Jawa Barat
yang langsung masuk Islam yaitu Banten dan Cirebon. Sementara itu Trenggana
sendiri behasil menahlukkan Mataram dipedalaman Jawa Tengah dan juga Singasari
Jawa Timur bagian Selatan. Pasuruan dan Pnarukan dapat bertahan sedangkan
Blambangan menjadi bagian dari kerjaaan Bali yang tetap Hindu. Dalam usahanya
untuk menyerang Pasuruan pada tahun 1546, Trenggana wafat kemudian timbulklah
pertengkaran yang maha hebat di Demak tentang siapa yang menggantikannya.

Setelah Demak berkuasa kurang lebih selama setengah abad, ada beberapa hasil
peradaban yang pada masa-masa selanjutnya bahkan sampai kini masih dapat
dirasakan, misalnya:

1) Sultan Demak, Senopati Jinbun pernah menyusun suatu himpunan undsang-


undang dan peraturan dibidang pelaksanaan hukum. Namanya: Salokantara. Sebagai
kitab hukum, maka didalamnya anatara lain menerangkan tentang pemimpin
keagamaan yang pernah menjadi hakim. Mereka disebut dharmadhayaksa dan
kertopapatti.
2) Gelar pengalu (kepala), juga sudah dipakai disana, yang sudah dipakai oleh
imam di Masjid Demak. Hal itu juga terkait dengan orang yang terpenting disana,
yaitu nama Sunan Kalijaga. Kata Kali berasal dari bahasa Arab Qadli, walaupun hal
itu juga dikaitkan dengan nama sebuah sungai kecil , Kalijaga, di Cirebon. Ternyata
istilah Qadli, pada masa-masa selanjutnya banyak dipakai oleh imam-imam masjid.
3) Bertambanya bangunan-bangunan militer di Demak dan di ibukota lainnya di
Jawa pada abad XVI.
4) Peranan penting Masjid Demak sebagai pusat peribadatan kerajaan Islam
pertama di Jawa dapat mengadakan hubungan dengan pusat-pusat Islam internasional
di luar negeri (di Tanah Suci, bahkan dengan kekhalifahan Usmaniyah di Turki).
5) Munculnya kesenian, seperti wayang orang, wayang topeng, gamelan tembang
macapat, pembuatan keris, dan hikayat-hikaya Jawa yang dipandang sebagai
pertemuan para wali yang sezaman dengan Kerajaan Demak.
6) Perkembangan sastra Jawa yang berpusat dibandar-bandar pantai utara dan
pantai timur Jawa mungkin sebelumnya tidak islami, namun pada masa-masa
selanjutnya “diIslamkan”
Rupanya peradaban yang sudah cukup maju itu terhenti setelah Sultan
Trenggana wafat, karena setelah itu muncul kekacauan dan pertempuran anatara para
calon pengganti raja. Konon, ibukoda Demak pun hancur karenanya. Para calon
pengganti raja yang bertikai itu adalah adik Trenggan melawan anak Trenggana. Adik
Trenggana terbunuh dan anak Trenggana dan keluarganya dibunuh oleh anak adik
Trenggana, Arya Penangsang yang terkenal sangat kejam. Arya Penangsang juga
membunuh adipati Jepara yang sangat besar pengaruhnya. Istri adipati Jepara, Ratu
Kalinyamat mengangkat senjata dan dibantu oleh adipati-adipati yang lain untuk
melawan Arya Penangsang. Salah satunya adalah Adiwijaya (Jakatingkir), menantu
Sultan Trenggana yang berkuasa di Pajang. Akhirnya, Joko Tingkir dapat membunuh
Arya Penangsang. Pada tahun 1568, Keraton Demak pun dipindah ke Pajang.
2. Kerajaan Pajang (1568-1618)

Pengesahan Joko Tingkir sebagai raja pertama Pajang disahkan oleh Sunan Giri
dan segera mendapatkan pengakuan dari adipati-adipati diseluruh Jawa Tengah dan
Jawa Timur. Sedangkan Demak hanya sebagai kadipaten yang dipimpin oleh seorang
adipati, Arya Pangiri. Dia adalah anak Sultan Prawoto yang diangkat oleh Sultan
Pajang.

Setelah Joko Tingkir disahkan menjadi sultan, tanda kebesaran Demak


dipindahkan ke Pajang. Perlu diketahui tatkala terjdi konflik antara Arya Penangsang
dengan Adiwijaya mendapat perhatian dari Sunan Kudus. Sebenarnya Sunan Kudus
kurang cocok jika Adiwijaya menjadi Sultan. Sebab, disamping Adiwijaya kurang
mampu menghadapi Portugis, juga ibukota kerajaan akan dipindah ke Pedalaman
(Pajang). Padahal Sunan Kudus menentang kekuasaan pedalaman yang disana pernah
muncul gerakan agama yang mementang Islam yang dianut oleh pesisir. Gerakan
tersebut ditokohi oleh Syaikh Siti Jenar. Oleh karena itu, pengharapan Sunan Kudus
kandas.

Selama pemerintahan Jaka Tingkir, kesusteraan dan kesenian keratin yang


sudah maju peradabannya di Demak dan Jepara, lambat laun dikenal di pedalaman
Jawa Tengah. Berkat ajaran Syeikh Siti Jenar, agama Islam juga tersebar di Pengging.
Diberitakan bahwa hubungan keagamaan antara Keraton Pajang dengan masyarakat
santrinya yang telah dibentuk oleh ulama dari Semarang. Disamping masalah
keagamaan, di Pajang juga terdapat tulisan tenta ng sajak monolistik Jawa yang
dikenal dengan Niti Sruli. Sajak tersebut ditulis oleh pujanggan Pajang, Pangheran
Karang Gayam. Pada masa kesultanan Pajang, kesusteraan Jawa juga dihayati dan
dihidupkan di Jawa Tengah bagian selatan. Selanjutnya, kesusteraan Jawa di
pedalaman berkembang pada masa Mataram Islam.

Setelah Jaka Tingkir meninggal dunia pada tahun 1587, para penggantinya
tidak dapat mempertahankan pemerintahannya. Ahli waris Sultan Pajang ialah tiga
orang putra menantu; yaitu raja di Tuban, raja di Demak, dan raja-raja Araos Baya,
disamping putranya sendiri, Pangeran Benawa, yang konon masih sangat muda. Oleh
karena itu, dia disingkirkan oleh Arya Pangiri dan dijadikan adipati di Jipang. Sebagai
pemimpin Pajang adalah Arya Pangiri. Ternyata tindakan-tindakannya banyak yang
merugikan rakyat sehinggan menimbulkan rasa tidak senang dimana-mana.

Keadaan semacam itu dimanfaatkan oleh Pangeran Benawa untuk merebut


kembali kekuasaannya. Usahanya berhasil, sesudah terjadi pertempuran singkat pada
tahun 1588. Selanjutnya, Arya Pangiri dikembalikan ke Demak. Kemenangan tersebut
atas pearan Senopati Mataram yang dianggapnya sebagai kakak. Namun, baru satu
tahun memerintah, ia wafat. Meskipun ada pendapat yang mengatakan bahwa dia
meninggalkan Pajang, menuju Parakan.

Setelah itu, pemerintahan Pajang banyak dikendalikan oleh orang-orang


Mataram. Buktinya, Senopati Mataram mengangkat Gagak Bening, yang memerintah
sampai dengan tahun 1591. Senopati Mataram mengendalikan Pajang sampai dengan
tahun 1618.

3. Kerajaan Mataram
Kerajaan Mataram Sutawijaya menjabat sebagai raja pertama di Mataram (1589
– 1601) dengan gelar Panembahan Senopati ing Alaga Sayidin Panatagama. Pada
masa pemerintahannya, banyak terjadi perlawanan dari para bupati yang semula
tunduk pada Mataram, misalnya Demak dan Pajang. Perlawanan juga datang dari
daerah Surabaya, Madiun, Gresik, dan Ponorogo. Terjadinya perlawanan-perlawanan
ini dikarenakan Senopati mengangkat dirinya sendiri sebagai sultan di Mataram.
Padahal pengangakatan dan pengesahan sebagai sultan di Jawa biasanya dilakukan
oleh wali.

Selama berkuasa, hampir seluruh wilayah Pulau Jawa dapat dikuasainya. Akan
tetapi, ia tidak berhasil mendapatkan pengakuan dari raja-raja Jawa lain sebagai raja
yang sejajar dengan mereka. Sepeninggal Panembahan Senopati, penggantinya adalah
putranya, Raden Mas Jolang (1601 – 1613). Pada masa pemerintahannya ia
melanjutkan usaha ayahnya meluaskan wilayah kekuasaan Mataram. Akan tetapi, ia
tidak sekuat ayahnya sehingga tidak mampu memperluas wilayahnya dan wafat di
daerah Krapyak. Oleh karena itu, ia diberi gelar Panembahan Seda Krapyak.

Pengganti Mas Jolang adalah putranya Mas Rangsang atau Sultan Agung
Hanyakrakusuma (1613 – 1645). Ia bergelar Sultan Agung Senopati Ing Alaga
Sayidin Panatagama. Pada masa pemerintahannya, Mataram mencapai puncak
kejayaan. Sultan Agung berusaha menyatukan Pulau Jawa. Mataram berhasil
menundukkan Tuban dan Pasuruan (1619), Surabaya (1625), dan Blambangan (1639).
Hasil ekspansi ini membuat wilayah Mataram semakin luas.

Setelah Sultan Agung wafat, tidak ada raja pengganti yang memiliki kecakapan
seperti Sultan Agung, bahkan ada raja yang menjalin kerja sama dengan VOC.
Akibatnya, banyak terjadi pemberontakan, misalnya pemberontakan Adipati Anom
yang dibantu Kraeng Galesung dan Monte Merano, pemberontakan Raden Kadjoran,
serta pemberontakan Trunojoyo. Dalam menghadapi pemberontakan-pemberontakan
tersebut, raja-raja Mataram, misalnya Amangkurat I dan II, meminta bantuan VOC.
Hal inilah yang menyebabkan raja-raja Mataram semakin kehilangan kedaulatan.

Setelah wafat pada tahun 1703, Amangkurat II digantikan oleh putranya, yaitu
Sunan Mas (Amangkurat III). Pengangkatan Amangkurat III ditentang oleh Pangeran
Puger, adik Amangkurat II atau paman Amangkurat III. Akibatnya, terjadilah Perang
Mahkota I (1704 – 1708) yang dimenangkan oleh Pangeran Puger yang dibantu oleh
VOC. Setelah naik takhta, Pangeran Puger bergelar Paku Buwono I (1708 – 1719).
Adapun Sunan Mas/ Amangkurat III melarikan diri ke daerah pedalaman Malang.

Pada waktu Paku Bowono I wafat (1719), takhta kerajaan diganti oleh putra
mahkota, Sunan Prabu Mangkunegara yang bergelar Amangkurat IV (1719 – 1727).
Pada masanya, berkobar Perang Mahkota II (1719 – 1723). Selain Pangeran
Diponegoro (nama yang kebetulan sama dengan Pangeran Diponegoro yang melawan
Belanda pada abad ke-19) dan Pangeran Dipasanta, keduanya putra Paku Buwono I
dari selir, memberontak pula Pangeran Purboyo, Pangeran Blitar, dan Arya Mataram.
Pada tahun 1723, pemberontakanpemberontakan tersebut dapat dipadamkan berkat
bantuan VOC.

4. Kerajaan Cirebon

Kerajaan Cirebon adalah sebuah kerajaan Islam ternama di Jawa Barat dan
merupakan pangkalan penting dalam jalur perdagangan dan pelayaran antar pulau.
Pada abad ke-15 dan 16 Masehi, saat pemerintahan Pakungwati diserahkan kepada
Syarif Hidayatullah, beliau memerintah Pakungwati dan mengembangkan daerah
Cirebon menjadi kerajaan dan melepaskan diri dari Kerajaan Pajajaran. Lokasinya di
pantai utara Pulau Jawa yang merupakan perbatasan antara Jawa Tengah dan
JawaBarat, membuatnya menjadi pelabuhan dan "jembatan" antara kebudayaan Jawa
dan Sunda sehingga tercipta suatu kebudayaan yang khas, yaitu kebudayaan Cirebon
yang tidak didominasi kebudayaan Jawa maupun kebudayaan Sunda.

Babad Cirebon, yaitu Karya sastra sejarah yang ditulis pada abad ke-19 di
Cirebon. Menceritakan tentang perkembangan Kesultanan Cirebon pada awal waktu
penjajahan Belanda di Pulau Jawa. Sebagian besar isi dari babad ini menceritakan
tentang Sunan Gunung Jati selaku penyebar agama Islam di Jawa Barat yang juga
memberikan kejayaan di Kesultanan Cirebon. Babad Cirebon ditulis menggunakan
huruf Arab dan bahasa Jawa Cirebon. Carita Caruban Purwaka Nagari karya Pangeran
Dipati Carbon ditulis pada tahun 1702 masehi. Naskah ini terdiri dari 39 bagian yang
menceritakan perkembangan Cirebon, perjalanan hidup para petinggi kerajaan beserta
keluarganya, dan juga menceritakan silsilah keluarga kerajaan. Catatan Tom Pires
yang mengujungi Cirebon pada tahun 1513 yang berjudul Suma Oriental. Pires
memberikan informasi mengenai keadaan ekonomi dan politik di Jawa pada masa
paruh pertama abad ke-16. Ia menyebut lima pelabuhan utama Kerajaan Sunda,
adanya pelabuhan di Cirebon, dan pengaruh Demak terhadap wilayah barat Pulau
Jawa.

Politik yang terjadi pada Cirebon berawal dari hubungan politiknya dengan
Demak. kehidupan politik pada kala itu juga dipengaruhi oleh beberapa konflik.
Konflik yang terjadi ada konflik internal dan menjadi vassal VOC. Cirebon
mengandalkan perekonomiannya pada perdangangan jalur laut. Dimana terletak
Bandar-bandar dagang yang berfungsi sebagai tempat singgah para pedagang dari luar
Cirebon. Kehidupan Sosial Kerajaan Cirebon Perkembangan Cirebon tidak lepas dari
pelabuhan, karena pada mulanya Cirebon memang sebuah bandar pelabuhan. Maka
dari sini tidak mengherankan juga kondisi sosial di Kerajaan Cirebon juga terdiri dari
beberapa golongan. Diantara golongan yang ada antara lain, golongan raja beserta
keluargana, golongan elite, golongan non elite, dan golongan budak. Secara luwes
Islam memberikan warna baru dalam upacara yang biasanya disebut kenduren atau
selamatan. Cirebon memiliki beberapa tradisi ataupun budaya dan kesenian yang
hingga sampai saat ini masih terus berjalan dan masih terus dlakukan oleh
masyarakatnya.

Masa kejayaan kerajaan Cirebon yaitu ketika menjadi salah satu kota dagang
dan pelabuhan ekspor impor di pesisir utara Jawa baik dalam kegiatan pelayaran dan
perdagangan di kepulauan Nusantara maupun dengan bagian dunia lainnya. Diantara
faktor kemajuannya ialah dipimpin oleh Syarif Hidayatullah, letak yang strategis,
pelabuhan yang ramai, sumber daya alam dari daerah pedalaman

Kesultanan dibagi menjadi dua kekuasaan, yakni kesultanan Kasepuhan dan


kesultanan Kanoman. Perselisihan antara kedua kesultanan dan adanya campur tangan
politik VOC Belanda. Banyak peninggalan-peninggalan kerajaan Cirebon
diantaranya: Keraton Kasepuhan Cirebon pusat pemerintahan dari kesultanan cirebon
pada masa silam, Keraton Kanoman didirikan oleh Sultan Anom I pada tahun 1678,
Kacirebonan keraton terkecil, masjid agung Sang CiptaRasa didrikan hanya dalam
waktu 1 malam saja, masjid Jami Pakucen didirikan oleh Sunan Amangkurat I,
makam Sunan Gunung Jatiàbarang warisan budaya yang menurut sejarah dibawa oleh
istri Sunan Gunung Djati yang berasal dari Cina, yaitu Putri Ong Tien. Terdapat 9
pintu/gapura menuju makam Sunan Gunung Jati, kereta Singa Barong pada kereta
terukir pahatan belalai gajah melambangkan persahabatan Cirebon dan India, kepala
naga melambangkan persahabatan Cirebon dan China, dan buroq melambangkan
persahabatan Cirebon dan Mesir.

5. Kerajaan Banten

Mulanya, kerajaan Banten berada dibawah kekuasaan Kerajaan Demak. Namun,


Banten berhasil melepaskan diri ketika mundurnya Kerajaan Demak. Pemimpin
Kerajaan Banten pertama adalah Sultan Hasanuddin yang memerintah pada tahun
1522-1570. Sultan Hasanuddin berhasil membuat Banten sebagai pusat perdagangan
dengan memperluas sampai ke daerah Lampung, penghasil lada di Sumatera Selatan.
Tahun 1570 Sultan Hasanuddin meninggal kemudian dilanjutkan anaknya, Maulana
Yusuf (1570-1580) yang berhasil menakhlukkan Kerajaan Pajajaran pada tahun 1579.
Setelah itu, dilanjutkan oleh Maulana Muhammad (1585-1596) yang meninggal pada
penakhlukkan Palembang sehingga tidak berhasil mempersempit gerakan Portugal di
Nusantara.

Kerajaan Banten mencapai kejayaan pada masa pemerintahan Sultan Ageng


Tirtayasa (1651-1682). Dimana, Banten membangun armada dengan contoh Eropa
serta memberi upah kepada pekerja Eropa. Namun, Sultan Ageng Tirtayasa sangat
menentang Belanda yang terbentuk dalam VOC dan berusaha keluar dari tekanan
VOC yang telah memblokade kapal dagang menuju Banten. Selain itu, Banten juga
melakukan monopoli Lada di Lampung yang menjadi perantara perdagangan dengan
negara-negara lain sehingga Banten menjadi wilayah yang multi etnis dan
perdagangannya berkembang dengan pesat.

Kerajaan Banten mengalami kemunduruan berawal dari perselisihan antara


Sultan Ageng dengan putranya, Sultan Haji atas dasar perebutan kekuasaan. Situasi
ini dimanfaatkan oleh VOC dengan memihak kepada Sultan Haji. Kemudian Sultan
Ageng bersama dua putranya yang lain bernama Pangeran Purbaya dan Syekh Yusuf
terpaksa mundur dan pergi ke arah pedalaman Sunda. Namun, pada 14 Maret 1683
Sultan Ageng berhasil ditangkap dan ditahan di Batavia. Dilanjutkan pada 14
Desember 1683, Syekh Yusuf juga berhasil ditawan oleh VOC dan Pangeran purbaya
akhirnya menyerahkan diri.

Atas kemenangannya itu, Sultan Haji memberikan balasan kepada VOC berupa
penyerahan Lampung pada tahun 1682. Kemudian pada 22 Agustus 1682 terdapat
surat perjanjian bahwa Hak monopoli perdagangan lada Lampung jatuh ketangan
VOC. Sultan Haji meninggal pada tahun 1687. Setelah itu, VOC menguasai Banten
sehingga pengangkatan Sultan Banten harus mendapat persetujuan Gubernur Jendral
Hindian Belanda di Batavia.

Terpilihlah Sultan Abu Fadhl Muhammad Yahya sebagai pengganti Sultan Haji
kemudian digantikan oleh Sultan Abul Mahasin Muhammad Zainul Aabidin. Pada
tahun 1808-1810, Gubernur Hindia Jenderal Belanda menyerang Banten pada masa
pemerintahan Sultan Muhammad bin Muhammad Muhyiddin Zainussalihin.
Penyerangan tersebut akibat Sultan menolak permintaan Hindia Belanda untuk
memindahkan ibu kota Banten ke Anyer. Pada akhirnya, tahun 1813 Banten telah
runtuh ditangan Inggris.

E. PENUTUP

Demikianlah artikel yang kami susun, dan tentunya sangat jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat kami
harapkan demi kesempurnaan artikel ini. Semoga artikel ini bisa bermanfaat bagi kita
semua.

DAFTAR PUSTAKA

Arman Arroisi. 2000. Wali Sanga. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

https://moondoggiesmusic.com/wali-songo/amp/

https://waromuhammad.blogspot.com/2012/03/penyebaran-islam-di-jawa.html

Khamzah, M, dkk. 2014. Sejarah Kebudayaan Islam. PT Akik Pusaka.

Muljana, Slamet. 2005. Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa. Yogyakarta: PT. LkiS


Printing Cemerlang.

Ricklefs, M.C. 2013. Mengislamkan Jawa. Jakarta: NUS Press.


Yusuf, Mundzirin. 2006. Sejarah Peradaban Islam di Indonesia. Yogyakarta: Pustaka
Kelompok PT. Pinus.

Anda mungkin juga menyukai