Anda di halaman 1dari 17

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Sosiokultural, Aspek Legal Etik Asuhan Keperawatan Jiwa

2.1.1 Defenisi

Kebudayaan secara teknis adalah ide atau tingkah laku yang dapat dilihat maupun
yang tidak terlihat.Faktor budaya bukan merupakan penyebab lansung menimbulkan
gangguan jiwa.Biasanya terbatas menentukan warna gejala-gejala.Di samping
mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan kepribadian seseorang misalnya
melalui aturan-aturan kebiasaan yang berlaku dalam kebudayaan.

Menurut Santrock (1999) beberapa faktor-faktor kebudayaan tersebut :

1. Cara-cara membesarkan anak


cara membesarkan yang kaku dan otoriter hubungan orang tua anak menjadi
kaku dan tidak hangat. Anak-anak setelah dewasa mungkin mungkin bersifat
sangat agresif dan pendiam dan tidak suka bergaul atau justru menjadi penurut
yang berlebihan.
2. Sistem nilai
Perbedaan sistem nilai moral dan etika antara kebudayaan yang satu dengan
yang lain, antara masa lalu dengan sekarang sering menimbulkan maslah-
masalah kejiwaan. Begitu pula perbedaan moral yang di ajarkan dirumah/
sekolah dengan di praktekan nya di masyarakat sehari-hari.
3. Kepincangan antara keinginan dengan kenyataan yang ada
Iklan di radio, tv, surat kabar dll menimbulkan banyangan-banyangan yang
menyilaukan tentang kehidupan modern yang mungkin jauh dari kenyataan
hidup sehari-hari.
4. Ketegangan akibat faktor ekonomi dan kemajuan teknologi
Dalam masyarakat modern kebutuhan dan persaingan makin meningkat dan
makin ketat untuk meningkatkan ekonomi hasil-hasil teknologi modern.Faktor
gaji yang rendah, perumahan yang buruk, waktu istirahat dan berkumpul
dengan keluarga terbatas dll merupakan sebagian mengakibatkan
perkembangan kepribadian abnormal.
5. Perpindahan kesatuan keluarga
Khusus untuk anak yang sedang berkembang kepribadiannya, perubahan-
perubahan lingkungan sangat cukup mengganggu.
6. Masalah golongan minoritas
Tekanan-tekanan perasaan yang di alami golongan ini dari lingkungan dapat
mengakibatkan rasa pemberontakan yang selanjutnya akan tampil dalam
bentuk sikap acuh atau melakukan tindakan-tindakan yang merugikan ornag
banyak.

Konteks sosiokultural asuhan keperawatan jiwa .Factor resiko sosiokultural pada


gangguan jiwa meliputi:

1. Usia
2. suku bangsa
3. gender
4. pendidikan
5. penghasilan
6. system keyakinan
Faktor predisposisi ini dapat secara bermakna meningkatkan potensi
berkembangnya gangguan jiwa, mengurangi potensi penyembuhan, atau
keduanya.Satu atau dua dari factor ini sendiri tidak dapat menggambarkan
secara adekuat konteks sosiokultural asuhan keperawatan jiwa.Walaupun
demekian, secara bersamaan factor-factor tersebut memberikan gambaran
sosiokultural pasien yang penting untuk praktik keperawatan jiwa yang
bermutu.Peran dan fungsi perawat jiwa mempertahankan perilaku pasien yang
berperan pada fungsi yang terintegrasi.System pasien atau klien dapat berubah
individu, keluarga, kelompok, organisasi, atau komunitas. American nurse’s
association mendefenisikan keperawatan kesehatan jiwa sebagai: Suatu
bidand spesialisasi praktik keperawatan yang menerapkan teori perilaku
manusia sebagai ilmunya dan penggunaan diri yang bermanfaat sebagai
kiatnya. Tiga domain praktik keperawatan jiwa kontemporer meliputi :
(Vidbeck, 2008)
1. Aktifitas asuhan langsung
2. Aktifitas komunikasi, dan
3. Aktifitas penatalaksanaan fungsi penyuluhan, koordinasi,delegasi, dan
kolaborasi pada peran perawat ditunjjukan dalam domain praktik yang
tumpang tindih ini. Aktifitas tetap mencerminkan sifat dan lingkup dari
asuhan yang kompeten oleh perwat jiwa walaupun tidak semua perawat
berperan serta pada semua aktifitas.selain itu, perawat jiwa mampu
melakukan hah-hal- berikut ini.
4. Membuat pengkajian kesehatan biopsikososial yang peka terhadap budaya.
5. Merancang dan meimplementasikan rencana tindakan untuk pasien dan
keluarga yang mengalami masalah kesehatan kompleks dan kondisi yang
dapat menimbulkan sakit.
6. Berperan serta dalam aktifitas manajemen kasus, seperti mengoorganisasi,
mengakses,menegosiasi, mengkoordinasi, dan mengintregasikan pelayanan
dan perbaikan bagi individu dan keluaraga.
7. Memberikan pedoman perawatan kesehatan kepada individu, keluarga,dan
kelompok untuk menggunakan sumber kesehatan jiwa yang tersedia
dikomunitas termasuk pemberi perawatan, lembaga, teknologi, dan system
social yang paling tepat. Meningkatkan dan memelihara kesehatan jiwa
serta mengatasi pengaruh gangguan jiwa melalui penyuluhan dan
konselling.
8. Memberikan asuha kepada pasien penyakit fisik yang mengalami masalah
psikologis dan pasien gangguan jiwa yang mengalami yang mengalami
masalah fisik.
9. Mengelola dan mengoordinasi sitem asuhan yang mengintregasikan
kebutuhan pasien, keluarga,stafmdan pembuat kebijakn.

2.2.2 Persepsi Masyarakat Tentang Gangguan Jiwa


Manusia sebagai mahluk sosial tidak dapat dipisahkan dari masyarakat. Untuk
mempertahankan eksistensinya manusia perlu orang lain dan mengadakan
interaksi sosial di dalam kelompoknya.Kelompok ini dibedakan menjadi
kelompok kecil (keluarga) dan kelompokyang lebih luas
(masyarakat).Masyarakat merupakan sekelompok orang yangmemiliki identitas
sendiri dan mendiami wilayah atau daerah tertentu, sertamengembangkan
norma-norma yang harus dipatuhi oleh para anggotanya.Selain itu masyarakat
juga terdiri dari arti masyarakat secara luas yangmengartikan bahwa masyarakat
merupakan kumpulan dari individu-individuyang saling berinteraksi, yang
mempunyai tujuan bersama dan yangcenderung memiliki kepercayaan, sikap
dan perilaku yang sama. (Sarwono,2007).
Persepsi masyarakat terhadap kesehatan mental berbeda di setiap
kebudayaan.Dalam suatu budaya tertentu, orang-orang secara sukarelamencari
bantuan dari para profesional untuk menangani gangguan jiwanya.Sebaliknya
dalam kebudayaan yang lain, gangguan jiwa cenderung diabaikansehingga
penanganan akan menjadi jelek, atau di sisi lain masyarakat kurangantusias
dalam mendapatkan bantuan untuk mengatasi gangguan jiwanya.Bahkan
gangguan jiwa dianggap memalukan atau membawa aib bagikeluarga.Hal
kedua inilah yang biasanya terjadi dikalangan masyarakat saatini.
Model kesehatan Barat memandang gangguan jiwa sebagai suatu halyang harus
disembuhkan.Sehingga pelayanan kesehatan jiwa cenderungberorientasi hanya
pada gangguan jiwa yang menimpa orang tersebut dansering mengabaikan
aspek-aspek yang berkaitan dengan kehidupan dankesejahteraan
kliennya.Sebaliknya di berbagai negara, gangguan jiwa dapat dipersepsi
secaraholistik, dan memperhitungkan adanya kesulitan mental dan spiritual
yangdialami klien yang dapat menyebabkan gangguan jiwa. Apabila
seseorangtidak sampai pada tingkatan ini, mereka seringkali tidak berani
mencaribantuan sehingga diagnosanya akan menjadi jelek dan
memperburukkeadaannya.
Pada abad XX, kepercayaan bahwa gangguan jiwa disebabkan olehkekuatan
supranatural seperti roh atau arwah masih dijumpai, misalnya diMeksiko dan
Filipina.Demikian juga di negara-negara Afrika, Asia Tenggara,India, Siberia,
Haiti, bahkan di Amerika Serikat. Saat ini, di negara-negarabarat dapat
dibedakan pandangan tentang terjadinya penyimpangan tingkahlaku, yang salah
satunya adalah penjelasan magis yakni perilaku aneh ataumenyimpang karena
kekuatan roh jahat (Gunawan 2002. http://www.tempo. co.id /medika Dalam
masyarakat kita, ada beberapa keadaan yang merupakan bentukpersepsi untuk
individu dengan gangguan jiwa menurut (Soewadi, 1997) yangdikutip
Mubin,(2008).
1. Pertama, keyakinan atau kepercayaan bahwa gangguanjiwa itu disebabkan
oleh guna-guna, tempat keramat, roh jahat, setan, sesajiyang salah, kutukan,
banyak dosa, pusaka yang keramat, dan kekuatan gaibatau supranatural.
2. Kedua, keyakinan atau kepercayaan bahwa gangguan jiwamerupakan
penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
3. Ketiga, keyakinan ataukepercayaan bahwa gangguan jiwa merupakan
penyakit yang bukan urusanmedis.
4. Keempat, keyakinan atau kepercayaan bahwa gangguan jiwamerupakan
penyakit yang selalu diturunkan.
Menurut Rahmat (2004) persepsi dipengaruhi oleh pengalaman, dimana
seseorang yang telah mempunyai pengalaman tentang hak-hak tertentuakan
mempengaruhi kecermatan seseorang dalam memperbaiki persepsi.Sedangkan
menurut (Willis, 1976; Kolb & Brodie, 1982) pada zaman prasejarah
masyarakat selalu beranggapan bahwasanya suatu penyakit itudisebabkan oleh
kekuatan supranatural.
Pada mulanya, masyarakat dengan dasar pengetahuan yang minimsekali,
ditambah dengan dasar kepercayaan dan keyakinan yang dimiliki,menganggap
bahwa penyakit yang menimpanya sebagai "murka dari YangMaha
Kuasa".Oleh sebab itu, tidak jarang ditemukan masyarakat yangmelaksanakan
hajatan dengan berbagai sajian untuk menyembuhkan orangsakit (Jafar et al,
1990)Persepsi yang timbul di masyarakat disebabkan oleh gejala-gejala
yangdianggap aneh dan berbeda dengan orang normal.Adanya persepsi ini
jugaberkaitan dengan faktor tradisi atau kebudayaan dalam masyarakat yang
masihpercaya takhayul dan tindakan-tindakan irrasional warisan nenek
moyang.Selain itu, persepsi tersebut muncul karena penyebab gangguan jiwa
itusendiri dirasa sulit ditemukan. Bahkan, para ahli jiwa masih sering
berdebattentang etiologi gangguan jiwa (Soewadi, 1997)

2.1.3Peran Legal Perawat Jiwa

Perawat jiwa memiliki hak dan tanggung jawab dalam tiga peran legal: (Stuart,
2007).
1. Perawat sebagai pemberi asuhan keperawatan

2. Perawat sebagai pekerja

3. Perawat sebagai warga Negara.

Mungkin mengalami konflik kepentingan antara hak dan tanggung


jawab ini.Penilaian keperawatan propsesinal memerlukan pemeriksaan yang
teliti dalam konteks asuhan keperawatan, kemungkinan konsekuensi tindakan
keperawatan, dan alternative yang mungkin dilakukan perawat.Masalah Legal
Dalam Praktek Keperawatan yaitu : ( Struart, 2007).

1. Dapat terjadi bila tidak tersedia tenaga keperawatan yg memadai tidak


tersedia standar praktek dan tidak ada kontrak kerja.
2. Perawat profesional perlu memahami aspek legal untuk melindungi diri dan
melindungi hak-hak pasien dan memahami batas legal yang mempengaruhi
praktek keperawatan.
3. Pedoman legal Undang-undang praktek, peraturan Kep Men Kes No 1239
dan Hukum adat.

Pertanggung Jawaban Pidana Terkait Dengan Kondisi Jiwa Seseorang


1. Tindakan kriminal yang dilakukan oleh seseorang yang diduga memiliki
kelainan jiwa perlu mendapatkan penyelididkan dari seorang ahli kesehatan
jiwa ( Visum et repertum psikiatrikum; VER)
2. Argumen yang menyebutkan bahwa seseorang yang didakwa melakukan
tindakan kriminal dianggap tidak bersalah karena orang tersebut tidak bisa
mengontrol perbuatannya atau tidak mengerti perbedaan antara benar dan
salah yang dikenal sebagai Peraturan M’Naghten.
3. Saat orang tersebut memenuhi kriteria, dia dapat dinyatakan tidak bersalah
karena mengalami gangguan jiwa.

2.1.4Hak-Hak Klien dengan Gangguan Jiwa

Klien kesehatan jiwa tetap memiliki semua hak sipil yang diberikan
kepada semua orang, kecuali hak untuk meninggalkan rumah sakit dalam kasus
komitmen involunter. Klien memiliki hak untuk menolak terapi, mengirim dan
menerima surat yang masih tertutup, dan menerima atau menolak pengunjung.
Setiap larangan ( misalnya : surat, pengunjung, pakaian) harus ditetapkan oleh
pengadilan atau instruksi dokter untuk alasan yang dapat diverifikasi dan
didokumentasikan. Contohnya sebagai berikut : (Vidbeck, 2008).

1. Klien yang pernah berupaya bunuh diri tidak diizinkan menyimpan ikat
pinggang, tali sepatu, atau gunting, karena benda tersebut dapat digunakan
untuk membahayakan dirinya.
2. Klien yang menjadi agresif setelah kunjungan seseorang dilarang dikunjungi
orang tersebut selama suatu periode waktu.
3. Klien yang mengancam orang lain di luar rumah sakit melalui telepon
diizinkan menelepon hanya jika diawasi sampai kondisinya membaik.

Hak-hak Pasien Berdasarkan American Hospital Association (1992) :


1. Pasien memiliki hak untuk mendapatkan perawatan yang penuh rasa hormat
dan perhatian.
2. Pasien memiliki hak dan dianjurkan untuk memperoleh informasi yang dapat
dipahami, terkini, dan relevan tentang diagnosa, terapi, dan prognosis dari
dokter dan pemberi perawatan langsung lainnya.
3. Pasien memiliki hak untuk membuat keputusan tentang rencana perawatan
sebelum dan selama proses terapi dan menolak terapi yang direkomendasikan
atau rencana perawatan sejauh yang diperbolehkan oleh hukum dan kebijakan
rumah sakit dan diinformasikan tentang konsekuensi medis tindakan ini. Bila
pasien menolak terapi, pasien berhak memperoleh perawatan dan pelayanan
lain yang tepat, yang disediakan rumah sakit, atau dipindahkan ke rumah sakit
lain. Rumah sakit harus memberi tahu pasien tentang setiap kebijakan yang
dapat memengaruhi pilihan pasien di dalam institusi tersebut.
4. Pasien memiliki hak untuk meminta petunjuk lanjutan tentang terapi (
misalnya living will, perwalian perawatan kesehatan, atau menunjuk
pengacara untuk mengatur perawatan kesehatan selama waktu tertentu),
dengan harapan bahwa rumah sakit akan menerima maksud petunjuk tersebut
sejauh yang diperbolehkan oleh hukum dan kebijakan rumah sakit.
5. Pasien memiliki hak terhadap setiap pertimbangan privasi. Diskusi kasus,
konsultasi, pemeriksaan, dan terapi harus dilaksankan agar privasi setiap
pasien terlindungi.
6. Pasien memiliki hak untuk berharap bahwa semua komunikasi dan catatan
yang berhubungan dengan perawatannya akan dijaga kerahasiannya oleh
rumah sakit, kecuali pada kasus seperti kecurigaan tentang penganiayaan dan
bahaya kesehatan masyarakat, ketika pelaporan kasus tersebut diizinkan atau
diwajibkan oleh hukum. Pasien memiliki hak untuk berharap bahwa rumah
sakit akan menegaskan kerahasiaan informasi ini ketika memberi tahu pihak
lain yang berhak meninjau informasi dalam catatan tersebut.
7. Pasien memiliki hak untuk meninjau catatan yang berhubungan dengan
perawatan medisnya dan meminta penjelasan atau interpretasi informasi
sesuai kebutuhan, kecuali jika dilarang oleh hukum.
8. Pasien memiliki hak untuk berharap bahwa dalam kapasitas dan kebijakannya,
rumah sakit akan merespon dengan baik permintaan pasien untuk memperoleh
perawatan dan pelayanan yang tepat dan diindikasikan secara medis.
9. Pasien memiliki hak untuk bertanya dan diinformasikan tentang adanya
hubungan bisnis antara rumah sakit, institusi pendidikan, pemberi perawatan
kesehatan lain, atau pihak pembayar yang dapat memengaruhi terapi dan
perawatan pasien.
10. Pasien memiliki hak untuk menyetujui atau menolak partisipasi dalam studi
penelitian yang diajukan atau eksperimen pada manusia yang memengaruhi
perawatan dan terapi atau memerlukan keterlibatan pasien secara langsung,
dan meminta penjelasan sepenuhnya tentang studi tersebut sebelum memberi
persetujuan. Pasien yang menolak untuk berpartisipasi dalam penelitian atau
eksperimen tetap berhak mendapat perawatan yang paling efektif, yang dapat
diberikan rumah sakit.
11. Pasien memiliki hak untuk menharapkan kontinuitas perawatan yang layak
jika tepat dan mendapat informasi dan dokter dan pemberi perawatan lain
tentang pilihan perawatan pasien yang realistis dan tersedia ketika perawatan
rumah sakit tidak lagi tepat.
12. Pasien memiliki hak untuk mendapat informasi tentang kebijakan dan praktik
di rumah sakit yang berhubungan dengan perawatan pasien, terapi, dan
tanggung jawab. Pasien memiliki hak untuk mendapat informasi tentang
sumber yang tersedia untuk mengatasi perselisihan, keluhan, dan konflik,
misalnya komite etik, perwakilan pasien, dan mekanisme lain yang tersedia di
instusi. Pasien memiliki hak mendapat informasi tentang biaya rumah sakit
untuk pelayanan yang diberikan dan metode pembayaran yang digunakan.

Hak pasien jiwa secara umum (Stuart, 2007) :


1. Hak untuk berkomunikasi dengan orang lain di luar RS dengan
berkorespondensi, telepon dan mendapatkan kunjungan
2. Hak untuk berpakaian
3. Hak untuk beribadah
4. Hak untuk dipekerjakan apabila memungkinkan
5. Hak untuk menyimpan dan membuang barang
6. Hak untuk melaksanakan keinginannya
7. Hak untuk memiliki hubungan kontraktual
8. Hak untuk membeli barang
9. Hak untuk pendidikan
10. Hak untuk habeas corpus
11. Hak untuk pemeriksaan jiwa atas inisiatif pasien
12. Hak pelayanan sipil
13. Hak mempertahankan lisensi hukum; supir, lisensi profesi
14. Hak untuk memuntut dan dituntut
15. Hak untuk menikah dan bercerai
16. Hak untuk tidak mendapatkan restrain mekanik yang tidak perlu
17. Hak untuk review status secara periodic
18. Hak untuk perwalian hokum
19. Hak untuk privasi
20. Hak untuk informend consent
21. Hak untuk menolak perawata

Pengangkatan konservator atau pelindung hukum merupakan proses yang


terpisah dari komitmen sipil. Individu yang mengalami disabilitas berat terbukti
tidak kompeten tidak dapat menyediakan makanan, pakaian, dan tempat tinggal
bagi diri mereka sendiri walaupun sumber-sumber tersedia dan tidak dapat
bertindak sesuai keinginan mereka sendiri, dapat memerlukan pengangkatan
seorang konservator.Pada kasus ini, pengadilan menunjuk seseorang untuk
bertindak sebagai pelindung hukum.Petugas ini memiliki banyak tanggung jawab
untuk individu tersebut, seperti memberi persetujuan tindakan, menulis cek, dan
membuat kontrak. Klien yang memiliki pelindung hukum tidak lagi memiliki hak
untuk membuat kontrak atau persetujuan hukum (misal, pernikahan atau
penggadaian) yang memerlukan tanda tangan : hal ini mempengaruhi banyak
aktivitas sehari-hari yang kita anggap benar. Karena konservator atau pelindung
hukum berbicara atas nama klien, perawat harus mendapat persetujuan atau izin
dari konservator klien.(Stuart, 2007).
Klien memiliki hak untuk menjalani terapi di lingkungan yang kurang
restriktif yang tepat untuk memenuhi kebutuhan mereka. Hal ini berarti bahwa
klien tidak harus dirawat di rumah sakit jika ia dapat diobati di lingkungan rawat
jalan atau group home. Hal ini juga berarti bahwa klien harus bebas dari restrein
atau seklusi kecuali hal tersebut dibutuhkan.Restrein adalah aplikasi langsung
kekuatan fisik pada individu, tanpa izin individu tersebut, untuk membatasi
kebebasan geraknya.Kekuatan fisik ini dapat menggunakan tenga manusia, alat
mekanis atau kombinasi keduanya.Restrein dengan tenaga manusia terjadi ketika
anggota staf secara fisik mengendalikan klien dan memindahkannya ke ruang
seklusi.Restrein mekanis adalah peralatan, biasanya restrein pada pergelangan
kaki dan pergelangan tangan, yang diikatkan ke tempat tidur untuk mengurangi
agresi fisik klien, seperti memukul, menendang, dan menjambak rambut.
Seklusi adalah pengurungan involunter individu dalam ruangan terkunci yang
dibangun secara khusus serta dilengkapi dengan jendela atau kamera pengaman
untuk memantau klien secara langsung (JCAHO, 2000).Ruangan tersebut sering
kali dilengkapi dengan tempat tidur yang diikatkan ke lantai dan sebuah kasur
untuk keamanan. Setiap benda tajam atau berpotensi berbahaya seperti pena,
kacamata, ikat pinggang, dan korek api dijauhkan dari klien sebagai tindakan
kewaspadaan keselamatan. Seklusi membuat stimulasi berkurang, melindungi
orang lain dari klien, mencegah perusakan properti, dan memberi privasi kepada
klien. Tujuan seklusi ialah memberi klien kesempatan untuk memperoleh
kembali pengendalian diri secara fisik dan emosional.(Stuart, 2007).
Perawat juga harus menawarkan dukungan kepada keluarga
klien.Keluarga mungkin marah atau malu ketika klien direstrein atau
diseklusi.Penting untuk memberi penjelasan yang menyeluruh dan cermat
tentang perilaku klien dan penggunaan restrein atau seklusi selanjutnya.Akan
tetapi, apabila klien adalah orang dewasa, diskusi tentang hal ini memerlukan
persetujuan pemberian informasi yang ditanda tangani.Pada kasus anak-anak,
persetujuan yang ditanda tangani tidak diperlukan untuk menginformasikan
orang tua atau pelindung tentang penggunaan restrein atau seklusi.Dengan
memberi informasi kepada keluarga dapat membantu menghindari kesulitan legal
atau etik dan membuat keluarga tetap terlibat dalam terapi klien.(Stuart, 2007).
Hirarki Dalam Membatasi Pasien Jiwa (Stuart, 2007) :
Pembatasan bisa dalam makna dibatasi secara fisik atau dibatasi pilihannya.
Hirarki dari yang paling restriktif ke yang kurang restriktif.
1. Ekstrimitas tubuh
2. Batasan ruang gerak ( kamar isolasi)
3. Batasan dalam aktivitas sehari-hari, misal acara TV, waktu merokok,
komunikasI.
4. Aktivitas yang bermakna, misal akses untuk ikut rekreasI.
5. Pilihan perawatan
6. Kontrol sumber keuangan
7. Ekspresi verbal dan emosional

Satu pengecualian terhadap hak klien dalam kerahasiaan ialah kewajiban


untuk memperingatkan, yang didasarkan pada keputusan Pengadilan Tinggi
California, dalam Tarasoff vs. Regents of the University of California.Akibat
keputusan ini ialah klinisi kesehatan jiwa berkewajiban untuk memperingatkan
pihak ketiga yang dapat diidentifikasi tentang ancaman yang dilakukan seseorang
walaupun ancaman tersebut didiskusikan selama sesi terapi, yang sebaliknya
dilindungi oleh pihak istimewa.Klinisi harus mengajukan empat pertanyaan
untuk menentukan apakah terdapat kewajiban untuk memperingatkan (Suart,
2007) :

1. Apakah klien berbahaya bagi orang lain ?


2. Apakah bahaya tersebut akibat gangguan jiwa serius ?
3. Apakah bahaya tersebut segera terjadi ?
4. Apakah bahaya tersebut ditargetkan pada korban yang dapart diidentifikasi ?

Misalnya, jika seorang pria dimasukkan ke fasilitas psikiatri karena ia


bermaksud membunuh istrinya, ada suatu kewajiban yang jelas untuk
memperingatkan istrinya. Akan tetapi, jika individu paranoid yang masuk
fasilitas psikiatri mengatakan, “ Saya akan menangkap mereka sebelum mereka
menangkap saya” tetapi tidak memberikan informasi lain, tidak ada pihak ketiga
spesifik yang diperingatkan. Keputusan tentang kewajiban untuk
memperingatkan pihak ketiga biasanya dibuat oleh psikiater, atau dilingkungan
rawat jalan, keputusan dibuat oleh ahli terapi kesehatan jiwa yang
berkualifikasi.(Stuart, 2007).

2.1.5 Asuhan Keperawatan Jiwa


Perawat jiwa memberikan perawatan sepanjang rentang
asuhan.Perawatan ini meliputi intervensi yang berhubngan dengan pencegahan
primer, sukunder, dan tersier.Pencegahan primer Pencegahan primer adalah
intervensi biologi, social, atau psikologis yang bertujuan meningkatkan
kesehatan dan kesejahtraan atau menurunkan insiden penyakit dimasyarakat
dengan mengubah factor faktor penyebab sebelum membahayakan.Pangkajian
kebutuhan akan tindakan keperawatan preventif termasuk identifikasi:
(Suliswati, 2005).
1. Faktor resiko yang apabila ada pada diri seseorang membuatnya lebih
cendrung mengalami gangguan.
2. Faktor pelindung yang meningkatkan respos individu terhadap stress.
3. Populasi target individu yang rentan meengalami gangguan jiwa atau yang
mumgkin menunjukkan respon koping maladaptive terhadap stressor
spesifik atau factor resiko.
Pencegahan sukunder termasuk menurunkan prevalensi
gangguan.Aktiviras pencegahan sukunder meliputi penemuan kasus dini,
skrining, dan pengobatan efektif yang cepat.Intervebsi krisis adalah suatu
modalitas yang terapi pencegahan sukunder yang penting.Pencegahan Tersier
aktivitas pencegahan tersier mencoba untuk mengurangi beratnya gangguan dan
disabilitas yang berkaitan.Rehabilitasi adalah oroses yang memungkinkan
individu untuk kembali ketingkat fungsi setinggi mungkin.Rehabilitasi jiwa
berkembang dari kebutuhan untuk menciptakan kesempatan bagi individu yang
didiagnosis mengalami gangguan jiwa berat, agar dapat hidup, belajar dan
bekerja dilingkungan masyarakat yang mereka pilih. Rehabilitasi mengajukan
bahwa penderita gangguan jiwa harus dianggap sama seperti individu yang
mengalami disabilatasi. Sama seperti disabilitasi yang mengalami gangguan
fisik, individu yang mengalami disabilitas jiwa membutuhkan pelayanan dalam
rentang yang luas, sering kali dalam waktu yang lam. Rehabilitasi jiwa
menggunakan pendekatan berpusat pada individu, orang ke orang yang berbeda
dengan model pelayanan medis tradisioanal.(Suliswati, 2005).
Ansietas dapat diekspresikan secara langsung melalui perubahan
fisiologis dan perilaku dan secara tidak langsung melalui timbulnya gejala atau
mekanisme koping sebagai upaya untuk melawan ansietas.Berbagai teori telah
dikembangkan untuk menjelaskan asal ansietas.(Suliswati, 2005).
1. dalam pandangan psikianalitis
2. menurut pandangan interpersonal
3. menurut pandangan perilaku
4. kajian keluarga
5. kajian biologis.
Stressor pencetus dapat berasal dari sumber internal atau eksternal.
Stressor pencetus dapat dikelompokkan dalam dua kategori
1. ancaman terhadp integrittas fisik
2. ancaman terhadap system diri.

Intervensi pada ansietas tingkat berat dan panik.


1. Prioritas tertinggi tujuan keperawatan harus ditujukan untuk menurunkan
ansietas tungkat berat atau panic pasien, dan intervensi keperawatan yang
berhubungan harus sufortif dan protektif. Lihat ringkasan rencana asuhan
keperawatan yang berhubungan dengan ansietas tingkat berat dan panik.
2. Intervensi pada ansietas tingkat sedang Saat ansietas pasien menurun sampai
tingkat ringan atau sedang, perawat dapat mengimplementasikan intervensi
keperawatan redukatif atau berorientasi pada pemahaman.

Gangguan : Gangguan ansietas umum


Pengobatan
1. Sebagian besar penelitian hasil pengobatanmenunjukkan bahwa pengobatan
aktif lebih baik dari pada pendekatan tak langsung, dan secara keseluruhan
lebih utama daripada tanpa pengobatan;namun,, sebagian besar penelitian
tersebut gagal menunjukkan angka diferensia keefektifan diantara
pengobatan aktif.
2. Benzodiazepin mengurangi gejala ansietas dan kekhawatiran pada
gangguan ansietas umum.
3. uspiron tampak sebanding dengan benzodiazepine dalam mengurangi gejala
gangguan ansietasumm
4. Antidepresan trisiklik menunjukkan manfaatnya dalam pengobatan
gangguan ansietas umum.

Gangguan: gangguan stress pascatrauma


Pengobatan
1. MAOI mengurangi pikiran intrusive, meningkatkan tidur, mengurangi
ansietas,dan defresi pada pasien gangguan stre pascatrauma.
2. Antidefresan trisiklik mengurangi pikiran intrusive, obsesi,dan defresi pada
pasien ini.
3. SSRI secara nyata mengurangi pikiran intrusive, perilaku menghindar, dan
masalah tidur.
DAFTAR PUSTAKA

Stuart, Gail W.2007.Buku Saku Keperawatan Jiwa. Jakarta : EGC.


Suliswati, 2005. Konsep Dasar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta : EGC

Vidbeck, Sheila L. 2008. Buku Ajar Keperawatan Jiwa.Psychiatric mental health


nursing.Jakarta : EGC.

Anda mungkin juga menyukai

  • MDGs Dan SDGs
    MDGs Dan SDGs
    Dokumen9 halaman
    MDGs Dan SDGs
    ArianaHestikaFitri
    Belum ada peringkat
  • Diabetes Melitus
    Diabetes Melitus
    Dokumen7 halaman
    Diabetes Melitus
    ArianaHestikaFitri
    Belum ada peringkat
  • Bab 2 Resiko
    Bab 2 Resiko
    Dokumen1 halaman
    Bab 2 Resiko
    ArianaHestikaFitri
    Belum ada peringkat
  • Isi Hiv Aids Pada Anak
    Isi Hiv Aids Pada Anak
    Dokumen15 halaman
    Isi Hiv Aids Pada Anak
    Annisa
    Belum ada peringkat
  • Bab 2 (Pneumonia)
    Bab 2 (Pneumonia)
    Dokumen4 halaman
    Bab 2 (Pneumonia)
    ArianaHestikaFitri
    Belum ada peringkat
  • Itik
    Itik
    Dokumen1 halaman
    Itik
    ArianaHestikaFitri
    Belum ada peringkat
  • TGS HIPERTENSI Fix
    TGS HIPERTENSI Fix
    Dokumen43 halaman
    TGS HIPERTENSI Fix
    ArianaHestikaFitri
    Belum ada peringkat
  • Peran Perawat Komunitas
    Peran Perawat Komunitas
    Dokumen2 halaman
    Peran Perawat Komunitas
    ArianaHestikaFitri
    Belum ada peringkat
  • BOROCO
    BOROCO
    Dokumen4 halaman
    BOROCO
    ArianaHestikaFitri
    Belum ada peringkat
  • Advokasi Buk Rani
    Advokasi Buk Rani
    Dokumen7 halaman
    Advokasi Buk Rani
    ArianaHestikaFitri
    100% (1)
  • Bab Ii
    Bab Ii
    Dokumen4 halaman
    Bab Ii
    ArianaHestikaFitri
    Belum ada peringkat
  • BOROCO
    BOROCO
    Dokumen4 halaman
    BOROCO
    ArianaHestikaFitri
    Belum ada peringkat