Anda di halaman 1dari 52

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Vertigo didefinisikan sebagai ilusi gerakan, yang paling sering adalah


perasaan atau sensasi tubuh yang berputar terhadap lingkungan atau sebaliknya,
lingkungan sekitar kita rasakan berputar. Vertigo juga dirasakan sebagai suatu
perpindahan linear ataupun miring, tetapi gejala seperti ini relatif jarang
dirasakan.Vertigo termasuk ke dalam gangguan keseimbangan yang dinyatakan
sebagai pusing, pening, sempoyongan, rasa seperti melayang atau dunia seperti
berjungkir balik Gejala-gejala ini menimbulkan berbagai macam problem
emosional dan fisik seperti gangguan emosional, kecemasan, dan
ketidakmampuan melakukan aktivitas sehari-hari. Gangguan sistem vestibuler
mempengaruhi kesehatan dan berhubungan dengan kualitas hidup. Pasien vertigo
bisa menghindari kegiatan fisik dan stres psikologi serta menarik diri dari aktifitas
sosial, hal tersebut berhubungan dengan depresi yang mempengaruhi
pengendalian diri.1
Vertigo terbagi menjadi 2 yaitu vertigo vestibular dan vertigo non
vestibular. Neuhauser et al melaporkan dari 1003 sampel penelitiannya, 243 orang
mengalami vertigo vestibular, 742 orang mengalami vertigo non vestibular, dan
18 orang tidak dapat dibedakan antara vertigo vestibular dan vertigo non
vestibular. Vertigo vestibular memiliki kriteria sebagai berikut: vertigo rotasi,
vertigo posisi atau pusing permanen dengan mual dan gangguan keseimbangan
lainnya. Vertigo rotasi diartikan sebagai perasaan dirinya berputar atau objek yang
berputar. Vertigo posisi diartikan sebagai perasaan pusing karena perubahan
posisi kepala seperti berbaring dan bangkit dari tidur.2 Vertigo vestibular dibagi
lagi menjadi vertigo vestibular perifer dan vertigo vestibular sentral.3
Vertigo vestibular perifer lebih sering terjadi dengan angka kejadian sekitar
65%, sedangkan vertigo vestibular sentral sekitar 7%.3 Pada populasi usia 35
tahun ke atas, vertigo terjadi sekitar 56,4%.4 Sementara itu, angka kejadian vertigo
2

pada anak-anak tidak diketahui, tetapi dari studi yang lebih baru pada populasi
anak sekolah di Skotlandia, dilaporkan sekitar 15% anak paling tidak pernah
merasakan sekali serangan pusing dalam periode satu tahun. Sebagian besar
(hampir 50%) diketahui sebagai “paroxysmal vertigo”.5
Prevalensi vertigo di Berlin pada tahun 2007 yaitu 0,9%.4 Sedangkan di
Indonesia, Miralza et al melaporkan bahwa, pada tahun 2009 angka kejadian
vertigo di Indonesia sangat tinggi yaitu sekitar 50% dari populasi berusia 75
tahun. Sedangkan pada tahun 2010, angka kejadian vertigo yaitu 50% dari usia
40-50 tahun. Vertigo merupakan keluhan nomor tiga paling sering dikemukakan
oleh penderita yang datang ke praktek umum.6
Mekanisme terjadinya vertigo diawali dengan adanya putaran pada badan
yang dapat merangsang labirin. Pada sekeliling yang berputar, perangsangan
timbul melalui penglihatan visuospasial yang berhubungan dengan nuklei
vestibularis. Nuklei vestibularis dapat berhubungan dengan pusat muntah di dalam
medula oblongata sehingga menimbulkan rasa pusing dan mual yang dapat
menyebabkan terjadinya vertigo. Selain itu, gangguan lambung pun dapat menjadi
sebab dari vertigo.7
Telah dilaporkan bahwa vertigo dapat terjadi akibat beberapa faktor pemicu,
misalnya perubahan posisi kepala, obat-obatan, atau penyakit lainnya. Namun ada
satu faktor yang belum banyak diteliti sebelumnya, yaitu faktor stres. Stres
diketahui dapat mempengaruhi pusat Fungsi vestibular dalam keadaan sehat
maupun sakit baik secara langsung melalui tindakan glukokortikoid pada saluran
ion dan neurotransmisi di otak, atau secara tidak langsung melalui efek stres yang
berhubungan dengan neuroaktif substansi (misalnya histamin, neurosteroid).8
Perubahan kepribadian diamati pada disfungsi vestibular. Hal ini terjadi karena
Interaksi vestibular dengan sebagian besar struktur otak yang mengatur emosi.
Studi tersebut mendukung kerja sebelumnya karena mereka telah mengamati
secara signifikan tingkat stres yang tinggi pada pasien vertigo bila dibandingkan
dengan usia kontrol yang cocok. Sebuah studi yang dilakukan pada 190 pasien
oleh Science Links Japan menunjukkan bahwa 31,8 persen penderita vertigo juga
mengalami stres. Berbagai obat yang diambil untuk memerangi stres dapat
3

mengakibatkan vertigo, dari alkohol sampai antidepresan dan obat penenang.


Dalam studi Science Links Japan, vertigo dikaitkan dengan kelelahan dan
insomnia pada 46,3 persen pasien. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa
karena stres menyebabkan kelelahan dan insomnia, stres berhubungan dengan
vertigo. Stres dapat pula memicu perubahan tekanan darah yang dapat
memperparah vertigo dengan mempengaruhi aliran darah dan metabolisme di
telinga bagian dalam.9
Berdasarkan survey awal yang dilakukan oleh peneliti di Rumah Sakit
Umum Daerah Raden Mattaher Provinsi Jambi, didapatkan bahwa pada tahun
2016 terdapat 31 pasien vertigo Rawat Jalan, dan 212 pasien Rawat Inap.
Sedangkan pada tahun 2017, terdapat 275 pasien vertigo Rawat Jalan, dan 72
pasien vertigo Rawat Inap.
Berdasarkan latar belakang di atas, stres dianggap memiliki pengaruh
terhadap kejadian vertigo. Maka, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian ini.
Dengan prosedur memberikan kuesioner DASS-42 kepada pasien yang memenuhi
kriteria inklusi. Pada penelitian ini, tidak dibedakan tipe stres yang menjadi
variabel bebas dan populasi vertigo di RSUD Raden Mattaher yang menjadi
variabel terikat.

1.2 Perumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang, peneliti merumuskan masalah sebagai berikut:
“Apakah ada hubungan antara faktor stres dengan kejadian Vertigo”.

1.3 Tujuan Penelitian


1.3.1 Tujuan Umum
Menganalisis adakah hubungan antara faktor stres dengan kejadian vertigo.

1.3.2 Tujuan Khusus


1. Untuk mengetahui proporsi vertigo berdasarkan jenis kelamin, proporsi
vertigo berdasarkan usia, dan proporsi vertigo berdasarkan jenis
4

vertigonya pada pasien vertigo yang berobat ke poliklinik saraf RSUD


Raden Mattaher Provinsi Jambi periode September-Oktober 2018.
2. Untuk mengetahui proporsi stres berdasarkan tingkat stres pada pasien
vertigo yang berobat ke poliklinik saraf RSUD Raden Mattaher
Provinsi Jambi periode September-Oktober 2018.
3. Untuk mengetahui hubungan antara faktor stres dengan kejadian vertigo
pada pasien vertigo yang berobat ke poliklinik saraf RSUD Raden
Mattaher Provinsi Jambi periode September-Oktober 2018.

1.4 Manfaat Penelitian


1.4.1 Bagi Peneliti
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan pengetahuan
peneliti dibidang Saraf khususnya mengenai vertigo.

1.4.2 Bagi Peneliti Selanjutnya


Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi pertimbangan untuk dasar
referensi penelitian yang sejenis atau penelitian lain yang memakai
penelitian ini sebagai bahan acuannya.

1.4.3 Bagi Institusi FKIK Universitas Jambi


Hasil penelitian ini diharapkan memberikan informasi mengenai hubungan
antara faktor stres dengan kejadian vertigo dan menjadi bahan referensi di
Perpustakaan Universitas Jambi dan Fakultas Kedokteran dan Ilmu
Kesehatan Universitas Jambi.
.
5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Stres
2.1.1 Definisi
Stres adalah respons tubuh yang sifatnya nonspesifik terhadap setiap
tuntutan beban atasnya. Misalnya bagaimana respons tubuh seseorang manakala
yang bersangkutan mengalami beban pekerjaan yang berlebihan. Bila ia sanggup
mengatasinya artinya tidak ada gangguan pada fungsi organ tubuh, maka
dikatakan yang bersangkutan tidak mengalami stres. Tetapi sebaliknya bila
ternyata ia mengalami gangguan pada satu atau lebih organ tubuh sehingga yang
bersangkutan tidak lagi dapat menjalankan fungsi pekerjaannya dengan baik,
maka ia disebut mengalami distres. Dan bila ia sanggup menjalankan fungsi
pekerjaannya dengan baik, tanpa ada keluhan baik fisik maupun mental serta
merasa senang, maka ia dikatakan tidak mengalami stres melainkan disebut
eustres.11
Dalam pengertian umum, stres terjadi jika orang dihadapkan dengan
peristiwa yang mereka rasakan sebagai mengancam kesehatan fisik atau
psikologinya. Peristiwa tersebut biasanya dinamakan stresor.12 Dan reaksi orang
secara fisik, psikologik, dan perilaku terhadap peristiwa tersebut dinamakan
respons stres.13

2.1.2 Stressor
Sumber stres tersebut dikenal dengan istilah “stressor”. Sebenarnya, stresor
hanya memberikan rangsangan dan mendorong sehingga terjadi stres pada
seseorang. Stresor berperan sebagai pemicu stres pada individu. Stres tidak selalu
berarti sesuatu yang buruk. Stres hanyalah respon tubuh terhadap suatu perubahan
yang dianggap beban berat oleh tubuh. Banyak ahli yang mengatakan bahwa ada
perbedaan antara apa yang kita rasakan sebagai positif stres dan distres yang
mengacu pada negatif stres. Stresor yang memicu positif stres disebut dengan
6

stresor positif, sebaliknya stresor yang memicu negatif stres disebut dengan
stresor negatif. 14
Sumber stres (stressor) dapat dikategorikan menjadi tiga jenis, yaitu (1) life
events (peristiwa-peristiwa kehidupan), (2) chronic strain (ketegangan kronis),
dan (3) daily hassles (permasalahan-permasalahan sehari-hari).15
Life events (peristiwa-peristiwa kehidupan) berfokus pada peranan
perubahan-perubahan kehidupan yang begitu banyak terjadi dalam waktu yang
singkat sehingga meningkatkan kerentanan pada penyakit. Suatu peristiwa
kehidupan bisa menjadi sumber stres terhadap seseorang apabila kejadian tersebut
membutuhkan penyesuaian perilaku dalam waktu yang sangat singkat. Ketika
seseorang gagal berurusan (menyesuaikan) dengan situasi atau perubahan-
perubahan yang secara ekstrem tesebut, maka timbullah dampak buruk, misalnya
perasaan cemas.15
Spurgeon, Jackson dan Beach melakukan penelitian kepada 115 karyawan
yang berusia dari 16 tahun sampai 56 tahun di area United Kingdom dengan
menggunakan the Life Events Inventory (LEI). Spurgeon et al menemukan bahwa
ada sepuluh peristiwa kehidupan yang paling penting dan bisa memicu terjadinya
stres, yaitu kematian pasangan, perceraian, kehilangan anggota keluarga,
terpenjara, masalah keuangan, pertengkaran dalam keluarga, tunawisma,
pengangguran, anggota keluarga yang tiba-taba mencoba bunuh diri, dan anggota
keluaga yang menderita sakit serius. Hasil penelitian lainnya, Oswalt dan Riddock
melaporkan bahwa peristiwa kehidupan bisa juga menjadi sumber stres terhadap
siswa ketika mereka baru mulai memasuki masa perkuliahan. Hal tersebut terjadi
karena para siswa tersebut perlu menyesuaikan diri dengan lingkungan baru yang
sedang mereka hadapi.15
Chronic strains (ketegangan kronis) merupakan kesulitan-kesulitan yang
konsisten atau berulang-ulang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Ketegangan
kronis bisa mempengaruhi terhadap kesehatan manusia termasuk fisik maupun
psikologis. Hal tersebut dikarenakan ketegangan kronis yang terus berlanjut dan
menjadi ancaman kepada seseorang. Serido melakukan penelitian terhadap 1.031
warga Amerika Serikat yang berusia dari 25 sampai 74 tahun. Mereka
7

menemukan ada empat faktor yang menjadi pemicu terjadinya ketegangan kronis,
yaitu tuntutan-tuntutan pekerjaan, kurangnya pengendalian atas pekerjaan,
tuntutan-tuntutan dari rumah, kurangnya pengendalian dari rumah. Sedangkan di
lingkungan akademik, ketegangan kronis bisa dipicu karena banyak hal, misalnya
adalah tekanan akademik.15
Daily hassles (permasalahan sehari-hari) adalah peristiwa-peristiwa kecil
yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari yang memerlukan tindakan penyesuaian
dalam sehari saja. Misalnya, seseorang mengalami kesulitan, dan kesulitan
tersebut tidak berlanjut secara terus menerus. Kesulitan yang dihadapi itupun bisa
terselesaikan dalam kurun waktu yang singkat. Ada beberapa contoh dari
permasalah sehari-hari, misalnya pendatang yang tidak diharapkan, kemacatan
berlalu lintas, berkomunikasi dengan orang lain, tugas-tugas keseharian yang
penting, tenggat waktu yang tiba-tiba dan berargumentasi kepada orang lain.
Permasalahan-permasalahan tersebut hanya menimbulkan stres sesaat dan tidak
mengakibatkan terjadinya gangguan-gangguan fisik maupun mental yang parah.15
Penelitian lainnya mengemukakan bahwa stresor diklasifikasikan menjadi
lima, yang terdiri dari frustasi (frustration) yang terjadi ketika kebutuhan pribadi
terhalangi dan seseorang gagal dalam mencapai tujuan yang diinginkannya.
Kemudian konflik (Conflicts) yang hadir ketika pengalaman seseorang dihadapi
oleh dua atau lebih motif secara bersamaan. Lalu adanya Tekanan (Pressure) yang
menempatkan individu dalam posisi untuk mempercepat, meningkatkan
kinerjanya, atau mengubah perilakunya. Mengidentifikasi perubahan (Changes),
dan Self-Imposed merupakan sumber stres yang berasal dalam sistem keyakinan
pribadi pada seseorang, bukan dari lingkungan.15 Terdapat empat reaksi tubuh
terhadap stres, yang terdiri dari:
1. Reaksi dari fisiologis terhadap stres menekankan hubungan antara pikiran dan
fisik.
2. Reaksi dari emosional, yang diamati dalam reaksi emosional terhadap stres
ini adalah melalui emosi seperti rasa ketakutan, kecemasan, rasa bersalah,
kesedihan, depresi, atau kesepian.
8

3. Reaksi dari kognitif, mengacu pada pengalaman individu terhadap stres dan
penilaian kognitif yang terjadi dengan penilaiannya mengenai peristiwa stres
dan kemudian apa strategi coping yang mungkin paling tepat untuk
mengelola stres.
4. Reaksi dari perilaku yang berkaitan dengan reaksi emosional seseorang
terhadap stres yang dapat memberikan reaksi menangis, menjadi kasar kepada
orang lain atau diri sendiri dan penggunaan mekanisme pertahanan seperti
rasionalisasi.15

2.1.2.1 Faktor Fisik dan Biologis


Genetika dapat mempengaruhi psikologi keturunannya. Banyak ahli
beranggapan bahwa masa kehamilan mempunyai keakraban dengan kemungkinan
kerentanan stres pada anak yang dilahirkan. Beberapa riwayat penyakit (case
history) di masa lalu mempunyai efek psikologis di masa depan.16
Kualitas tidur juga mempengaruhi psikologis seseorang. Istirahat yang
cukup akan memberikan energi pada kegiatan yang sedang dilakukan. Serta
kebutuhan tidur akan mempengaruhi konsentrasi, semangat, dan gairah terhadap
pekerjaan yang dilakukan seseorang. Penderita insomnia mempunyai keretanan
terhadap stres yang lebih berat. Dalam studi Science Links Japan, vertigo
dikaitkan dengan kelelahan dan insomnia pada 46,3 persen pasien. Hasil
penelitian ini menyimpulkan bahwa karena stres menyebabkan kelelahan dan
insomnia, stres berhubungan dengan vertigo16
Lalu diet, diet yang berlebihan dapat mengakibatkan stres berat. Di Amerika
Serikat diperkirakan 6 diantara 10 orang yang melakukan diet ketat menyebabkan
kematian. Diet berlebihan ini akan menyebabkan sindrom anoreksia.16
Adanya kelainan pada postur tubuh juga dapat memicu timbulnya stres pada
individu serta beberapa penyakit yang dapat menjadi stresor pada individu berupa;
tuberkulosis, kanker, impotensi, anemia, dan berbagai penyakit lainnya.16

2.1.2.2 Faktor Psikologis


Berikut adalah beberapa faktor psikologis yang dapat memicu terjadi stres:16
9

1. Persepsi
Kadar stres dalam suatu peristiwa sangat bergantung pada bagaimana
individu bereaksi terhadap stres tersebut. Serta dipengaruhi oleh bagaimana
individu berpersepsi terhadap stresor yang muncul.
2. Emosi
Emosi merupakan hal sangat penting dan kompleks dalam diri individu.
Perbedaan kemampuan untuk mengenal dan membedakan setiap perasaan
emosi sangat berpengaruh terhadap stres yang sedang dialaminya. Stres dan
emosi mempunyai keterikatan yang saling memengaruhi keduanya, seperti
kecemasan, rasa bersalah, khawatir, ekspresi marah, rasa takut, sedih, dan
cemburu.
3. Situasi psikologis
Hal-hal yang mempengaruhi konsep berfikir (kognitif) dan penilaian
terhadap situasi-situasi yang mempengaruhinya. Situasi tersebut berupa
konflik, frustasi, serta situasi atau kondisi tertentu yang dapat memengaruhi
penilaian yang memberikan ancaman bagi individu, misalnya tingkat
kejahatan yang semakin meningkat akan memberikan rasa ancaman (stres).
4. Pengalaman hidup
Pengalaman hidup merupakan keseluruhan kejadian yang memberikan
pengaruh psikologis bagi invidu. Kejadian tersebut memberikan dampak
psikologis dan memungkinkan munculnya stres pada individu. Beberapa
kejadian tersebut adalah sebagai berikut:
a. Perubahan hidup. Kejadian yang memberikan perubahan hidup secara
mendadak, seperti: perkawinan, perceraian, pindah tempat kerja, jadwal
kerja yang padat, dan sebagainya.
b. Masa transisi (life passages). Perubahan-perubahan waktu yang
signifikan terhadap perubahan perilaku. Hal-hal tersebut termasuk masa
pubertas atau masa pra-pensiun.
c. Krisis kehidupan. Perubahan status radikal dalam kehidupan sesorang.
Kejadian-kejadian yang menyangkut krisis kehidupan adalah pemecatan,
bangkrut, hutang akibat gagal panen, dan sebagainya.
10

2.1.2.3 Faktor Lingkungan


Berikut adalah beberapa faktor lingkungan yang dapat memicu terjadi stres:16
1. Lingkungan fisik
Kondisi atau kejadian yang berhubungan dengan keadaan sekeliling individu
dapat memicu terjadinya stres. Hal tersebut dapat berupa bencana alam, seperti
gempa bumi, topan, badai, dan sebagainya. Hal-hal lain berupa kondisi cuaca,
kondisi lingkungan yang padat, kemacetan, lingkungan yang kotor, dan
sebagainya.
2. Lingkungan biotik
Gangguan yang berasal dari makhluk mikroskopik berupa virus atau bakteri.
Misalnya penderita alergi dapat menjadi stres bila lingkungan tempat
tinggalnya menjadi pemicu munculnya alergi bila berada di dalamnya.
3. Lingkungan sosial
Hubungan yang buruk dengan orang tua, bos, atau rekan kerja adalah hal-hal
yang berhubungan dengan orang lain, yang apabila tidak berjalan dengan baik
akan menjadi stresor bagi invidu jika tidak dapat memperbaiki hubungannya.

2.1.3 Manifestasi Klinis


2.1.3.1 Gejala
1. Gejala Kognitif
Stres dapat berpengaruh terhadap fungsi kognitif seseorang, beberapa hal
yang terjadi diantaranya:14
a. Masalah memori ingatan
b. Ketidakmampuan atau sulit berkonsentrasi
c. Pertimbangan yang buruk dan hanya melihat yang negatif
d. Pikiran yang gelisah, berpacu, atau merenung
e. Selalu khawatir.
2. Gejala emosional
Stres dapat menimbulkan gangguan emosional terhadap seseorang,
sehingga dapat terjadi hal-hal sebagai berikut:14
a. Kemurungan
11

b. Iritabilitas atau pemarah


c. Agitasi, kesulitan untuk bersantai
d. Merasa kewalahan
e. Rasa kesepian atau terisolasi
f. Depresi atau ketidakbahagiaan
3. Gejala Fisik
Stres juga dapat mempengaruhi kondisi fisik tubuh, sehingga dapat
menyebabkan penderita mengalami hal-hal sebagai berikut:14
a. Sakit dan nyeri, otot terasa tegang
b. Diare atau sembelit
c. Mual, pusing, atau nyeri abdomen
d. Nyeri dada dan detak jantung cepat
e. Hilangnya dorongan seksual
f. Sering pilek
g. Napas dan berkeringat yang dangkal
h. Rasa berputar, sehingga sering menyebabkan vertigo.
4. Perubahan Perilaku
Karena terjadinya gangguan emosional dan psikologi pasien, sehingga
pasien akan mengalami perubahan perilaku, diantaranya:14
a. Makan berlebih atau kurang
b. Tidur terlalu banyak atau terlalu sedikit
c. Mengasingkan diri dari orang lain
d. Menunda atau mengabaikan tanggung jawab
e. Menggunakan alkohol, rokok, atau obat-obatan untuk bersantai
f. Kebiasaan gugup (menggigit kuku, mondar-mandir).
12

2.1.4 Reaksi Fisiologis terhadap Stres

Gambar 2.1. Bagan Reaksi Tubuh Terhadap Stres.


(Sumber: Pranatahadi, Respon Fisiologis Stres, 2009)

Secara fisiologi, situasi stres mengaktivasi hipotalamus yang selanjutnya


mengendalikan dua sistem neuroendokrin, yaitu sistem simpatis yang akan
mempengaruhi bagian medula adrenal dan Bagian Pituitari anterior yang akan
mempengaruhi sistem korteks adrenal. Sistem saraf simpatik berespons terhadap
impuls saraf dari hipotalamus yaitu dengan mengaktivasi berbagai organ dan otot
polos yang berada di bawah pengendaliannya, sebagai contohnya, ia
meningkatkan kecepatan denyut jantung dan mendilatasi pupil. Sistem saraf
simpatis juga memberi sinyal ke medula adrenal untuk melepaskan epinefrin dan
norepinefrin ke aliran darah. Sistem korteks adrenal diaktivasi jika hipotalamus
mensekresikan CRF, suatu zat kimia yang bekerja pada kelenjar hipofisis yang
13

terletak tepat di bawah hipotalamus. Kelenjar hipofisis selanjutnya mensekresikan


hormon ACTH, yang dibawa melalui aliran darah ke korteks adrenal. Dimana, ia
menstimulasi pelepasan sekelompok hormon, termasuk kortisol, yang meregulasi
kadar gula darah. ACTH juga memberi sinyal ke kelenjar endokrin lain untuk
melepaskan sekitar 30 hormon. Efek kombinasi berbagai hormon stres yang
dibawa melalui aliran darah ditambah aktivitas neural cabang simpatik dari sistem
saraf otonomik berperan dalam respons fight or flight. Pelepasan kortisol dapat
menyebabkan beberapa reaksi tubuh, sebagai contoh yaitu penurunan hormon
testosteron yang akan menyebabkan seseorang mengalami libido.17
Respons fight-or-flight terjadi saat situasi stres mulai secara tiba-tiba.
Perubahan fisiologis tersebut terjadi akibat aktivasi oleh sistem neuroendokrin
yang dikendalikan oleh hipotalamus: sistem simpatetik dan sistem korteks
adrenal.17

Gambar 2.2. Bagan respon fight-or-flight.


(Sumber: Atkinson, Pengantar Psikologi, Jilid 2. 2010)

Respons fight-or-flight: Situasi stres mengaktivasi hipotalamus yang


selanjutnya mengendalikan neuroendokrin: sistem simpatis dan sistem korteks
adrenal. Sistem saraf simpatik berespons terhadap impuls saraf dari hipotalamus
(1), mengaktivasi berbagai organ dan otot polos yang berada dibawah
pengendaliannya (2). Contohnya, ia meningkatkan kecepatan denyut jantung dan
dilatasi pupil. Sistem saraf simpatik juga memberi sinyal ke medulla adrenal (3)
14

untuk melepaskan epinefrin dan norepinefrin ke aliran darah (4). Sistem korteks
adrenal diaktivasi jika hipotalamus mensekresikan CRF, suatu zat kimia yang
bekerja pada kelenjar hipofisis (5). Lalu, kelenjar hipofisis mensekresikan ACTH,
yang dibawa melalui aliran darah ke korteks adrenal (6) dimana ia menstimulasi
pelepasan sekelompok hormon, termasuk kortisol, yang meregulasi kadar gula
darah (7). ACTH juga memberi sinyal ke kelenjar endokrin lain untuk melepaskan
sekitar 30 hormon.12

2.1.5 Tahapan Stres


Berikut ini adalah tahapan stres:
1. Stres tahap I
Tahapan ini merupakan tahapan stres yang paling ringan, dan biasanya
disertai dengan perasaan-perasaan berikut:12
a. Semangat bekerja besar, berlebihan (over acting).
b. Penglihatan tajam tidak sebagaimana biasanya.
c. Merasa mampu menyelesaikan pekerjaan lebih dari biasanya; namun
tanpa disadari cadangan energi dihabiskan (all out) disertai rasa gugup
yang berlebihan pula.
d. Merasa senang dengan pekerjaannya itu dan semakin bertambah
semangat, namun tanpa disadari cadangan energi semakin menipis.
2. Stres tahap II
Keluhan-keluhan yang sering dikemukakan oleh seseorang yang berada pada
stres tahap II adalah sebagai berikut:12
a. Merasa letih sewaktu bangun pagi, yang seharusnya merasa segar
b. Merasa mudah lelah sesudah makan siang
c. Lekas merasa lelah menjelang sore hari
d. Sering mengeluh lambung atau perut tidak nyaman (bowel discomfort)
e. Detakan jantung lebih keras dari biasanya (berdebar-debar)
f. Otot-otot punggung dan tengkuk terasa tegang
g. Tidak bisa santai.
15

3. Stres tahap III


Pada tahap III keluhan semakin meningkat dan mengganggu yaitu:12
a. Gangguan lambung dan usus semakin nyata; misalnya keluhan maag
(gastritis), buang air besar tidak teratur (diare).
b. Ketegangan otot-otot semakin terasa.
c. Perasaan ketidaktenangan dan ketegangan emosional semakin meningkat.
d. Gangguan pola tidur (insomnia), misalnya sukar untuk mulai masuk tidur
(early imsomnia), atau terbangun tengah malam dan sukar kembali tidur
(middle imsomnia), atau bangun terlau pagi atau dini hari dan tidak dapat
kembali tidur (late imsomnia). Insomnia dapat berakibat vertigo pada
sebagian orang.
e. Koordinasi tubuh terganggu (badan terasa mau pingsan). Kesempatan
untuk beristrirahat guna menambah suplai energi yang mengalami defisit.
4. Stres tahapan IV
a. Untuk bertahan sepanjang hari saja sudah terasa amat sulit.
b. Aktivitas pekerjaan yang semula menyenangkan dan mudah diselesaikan
menjadi membosankan dan terasa lebih sulit.
c. Yang semula tanggap terhadap situasi menjadi kehilangan kemampuan
untuk merespons secara memadai (adequate).
d. Ketidakmampuan untuk melaksanakan kegiatan rutin sehari-hari.
e. Gangguan pola tidur disertai dengan mimpi-mimpi yang menegangkan.
Gangguan pola tidur tersebut dapat berupa insomnia, insomnia dapat
menyebabkan terjadinya vertigo.
f. Seringkali menolak ajakan (negativesm) kerena tidak semangat dan
kegairahan.
g. Daya konsentrasi dan daya ingat menurun.
h. Timbul perasaan ketakutan dan kecemasan yang tidak dapat dijelaskan
apa penyebabnya.12
5. Stres tahap V
Bila keadaan berlanjut maka seseorang itu akan jatuh dalam stres tahap V
yang ditandai dengan hal-hal berikut:12
16

a. Kelelahan fisik dan mental yang semakin mendalam (physical and


psychological ex-haution).
b. Ketidakmampuan untuk menyelesaikan pekerjaan sahari-hari yang ringan
dan sederhana.
c. Gangguan sistem pencernaan semakin berat (gastro-intestinal disorder)
d. Timbul perasaan ketakutan dan kecemasan yang semakin meningkat,
mudah bingung dan panik.
6. Stres tahap VI
a. Debaran jantung teramat keras
b. Susah bernafas (sesak dan megap-megap)
c. Sekujur badan terasa gemetar, dingin dan keringat bercucuran
d. Ketiadaan tenaga untuk hal-hal yang ringan
e. Pingsan dan kolaps (collapse)
Bila dikaji maka keluhan atau gejala-gejala sebagaimana digambarkan di atas
lebih didominasi oleh keluhan-keluhan fisik yang disebabkan oleh gangguan faal
(fungsional) organ tubuh sebagai akibat stresor psikososial yang melebihi
kemampuan seseorang untuk mengatasinya.12
17

2.1.6 Mekanisme Respons Tubuh Terhadap Stres

Gambar 2.3 Bagan Hubungan Antara Stressor dengan Kelenjar dan Hormon dalam
tubuh manusia.
(Sumber: Rumiani, Prokrastinasi Akademik ditinjau dari Motivasi Berprestasi dan
Stres Mahasiswa. 2006)

Otak bagian depan adalah bagian otak paling anterior dan paling terlihat,
terdiri dari dua belahan, satu di kiri dan satu di kanan. Setiap belahan otak telah
membagi tugas untuk menerima sebagian besar informasi sensorik dari sisi tubuh
yang kontralateral (berlawanan), serta mengendalikan sebagian besar otot pada
sisi tubuh yang berlawanan. Semua itu dikerjakan dengan bantuan akson yang
melintas ke sumsum tulang belakang dan nuklei saraf kranial.18
Lapisan luar otak bagian depan disebut korteks serebrum. Di bawah lapisan
korteks serebrum terdapat struktur-struktur lain, seperti talamus yang merupakan
sumber input utama untuk korteks serebrum. Di bawah lapisan korteks serebrum
terdapat struktur-struktur lain, seperti talamus yang merupakan sumber input
18

utama untuk korteks serebrum. Serangkaian struktur yang di sebut basal ganglia
memiliki peran utama dalam aspek-aspek pergerakan tertentu. Terdapat sejumlah
struktur lain yang saling terhubung dan membentuk pembatas yang mengelilingi
batang otak, di sebut dengan sistem limbik. Struktur-struktur tersebut berperan
penting, khususnya untuk pengaturan emosi, contohnya seperti makan, minum,
aktivitas seksual, kegelisahan, dan berperilaku kasar.18
Hormon adalah suatu zat kimia yang pada umumnya disekresikan oleh
kelenjar dan sel-sel lain, hormon ditransportasikan oleh darah menuju organ
target. Neurotransmitter dapat dianalogikan seperti sinyal pada kabel telepon,
dimana pesan dikirim langsung dan khusus untuk penerima. Hormon dapat
dianalogikan sebagai stasiun radio yang menyampaikan pesan kepada siapapun
yang menyetel gelombang stasiun radio tersebut. Hormon berguna untuk
mengatur perubahan jangka panjang pada beberapa bagian tubuh. Hormon yang
bersikulasi di otak akan memengaruhi aktivasi otak, begitu pula hormon yang
disekresi otak akan memengaruhi sekresi hormon lain. Kelenjar pituitari yang
melekat pada hipotalamus terdiri dari dua bagian kelenjar yang berbeda, yaitu
kelenjar pituitari anterior dan pituitari posterior keduanya menyekresikan hormon
yang berbeda. Kelenjar pituitari posterior yang terdiri atas jaringan saraf dapat
dianggap sebagai perluasan hipotalamus. Neuron di dalam hipotalamus
mensintesis hormon oksitosin dan vasopresin (dikenal juga dengan nama hormon
anti diuretik), kedua hormon tersebut turun melalui akson menuju kelenjar
pituitari posterior kemudian dilepaskan ke dalam darah. Hormon tersebut
mempengaruhi sistem saraf simpatik.18
Sistem saraf simpatik adalah sebuah jaringan saraf yang mempersiapkan
organ tubuh bagian dalam untuk aktivitas berat. Sistem saraf simpatik terdiri dari
sepasang rantai ganglia yang memanjang pada sisi tubuh dimulai dari bagian
tengah tulang belakang melalui akson. Akson simpatik memanjang dari ganglia
menuju organ target dan mengaktivasi mereka untuk memberikan respons
melawan atau melarikan diri, dimana napas dan detak jantung menjadi lebih cepat
dan aktivitas pencernaan menurun. Semua ganglia sistem saraf simpatik terkait
erat. Oleh karena itu, mereka sering kali bekerja seperti satu unit, sehingga
19

dikatakan bahwa ganglia saling bersimpati, walaupun bagian-bagian tertentu


dapat lebih aktif daripada bagian lain. Organ-organ seperti kelenjar keringat,
kelenjar adrenal, otot-otot yang mengonstriksi pembuluh darah, dan otot-otot yang
menegakkan rambut pada kulit, hanya memiliki saraf simpatik dan bukan saraf
parasimpatik.18
Stresor yang memengaruhi sirkuit-sirkuit neural menstimulasi pelepasan
adrenocorticotropic hormone (ACTH) (hormon adrenokortikotropik) dari pituitari
anterior, sehingga ACTH pada gilirannya akan memicu pelepasan glukokortikoid
dari korteks adrenal, sehingga glukokortikoid menghasilkan banyak di antara
efek-efek respons stres. Stresor juga mengaktifkan sistem saraf simpatik, sehingga
meningkatkan jumlah epinefrin dan norepinefrin yang dilepaskan dari medula
adrenal. Besarnya respons stres bukan hanya bergantung pada stresor dan
individunya. Fitur utama teori Selye adalah pendapatnya bahwa stresor fisik
maupun psikologis menginduksi respon stres yang secara umum sama. Respons
stres kompleks dan bervariasi, respons tepatnya bergantung pada stresornya,
kapan waktunya, sifat orang yang mengalami stres, dan bagaimana orang yang
mengalami stres bereaksi terhadap stresornya.18

2.1.7 Upaya Meningkatkan Kekebalan Terhadap Stres


Hal-hal yang dapat dilakukan untuk menghindari terjadinya stres pada
seseorang, yaitu dengan mengubah pola hidup. Kebiasaan yang dapat kita lakukan
untuk menghindari stres diantaranya:11
1. Makanan dan Minuman
Makan dan minum hendaknya yang halal dan baik serta tidak
berlebihan, berhenti makan sebelum kenyang. Jadwal makan hendaknya
teratur pagi, siang dan malam dan diusahakan jangan sampai terlambat.
Menu makanan hendaknya bervariasi, berimbang dan hangat. Sebab,
makanan yang dingin dan monoton dapat menurunkan daya tahan atau
kekebalan tubuh. Jumlah kalori makanan dan minuman hendaknya sedang-
sedang dan wajar saja, jangan berlebihan sehingga mengakibatkan
20

kegemukan; sebaliknya jangan pula sampai kekurangan sehingga


mengakibatkan kekurusan.
2. Tidur
Tidur adalah “obat” alamiah yang dapat memulihkan segala kekebalan
fisik dan mental. Tidur adalah kebutuhan mutlak bagi makhluk hidup,
terutama manusia; oleh karena itu jadwal tidur hendaknya teratur. Lamanya
tidur yang baik adalah 7-8 jam dalam semalam; yaitu masuk tidur jam
sembilan malam dan bangun tidur jam lima pagi keesokan harinya. Atau
paling tidak empat malam dalam seminggu seseorang itu tidur dalam jangka
waktu tersebut di atas, agar kekebalannya tidak menurun.
3. Olahraga
Untuk meningkatkan daya tahan dan kekebalan fisik maupun mental,
olahraga adalah salah satu caranya. Olahraga tidak perlu berlama-lama, bila
badan sudah berkeringat dapat dianggap cukup memadai, dan kemudian
mandilah dengan air hangat.
4. Rokok
Tidak merokok adalah kebiasaan hidup yang baik bagi kesehatan dan
ketahanan serta kekebalan tubuh.
5. Minuman keras
Tidak meminum minuman keras (minuman yang mengandung
alkohol) adalah kebiasaan hidup yang baik bagi kesehatan dan ketahanan
serta kekebalan tubuh. Dampak dari minuman keras adalah Gangguan
Mental dan Perilaku dan juga penyakit Lever (cirrhosis hepatis) yang
berlanjut pada kematian.
6. Berat badan
Orang dengan berat badan berlebihan (kegemukan/obesitas) atau
sebaliknya akan menurunkan daya tahan dan kekebalan tubuh terhadap
stres. Oleh karena itu berat badan hendaknya seimbang dengan tinggi badan
(tidak terlalu gemuk dan tidak terlalu kurus).
7. Pergaulan
21

Manusia adalah makhluk sosial; seseorang tidak dapat hidup sendiri


atau menyendiri. Untuk meningkatkan daya tahan dan kekebalan tubuh
terhadap stres, maka orang hendaknya banyak bergaul, banyak relasi dan
teman serta perluas pergaulan sosial; atau dengan kata lain perbanyaklah tali
silaturahmi antar sesama (hubungan horizontal) yang serasi, slaras dan
seimbang.
8. Waktu
Pengaturan waktu dalam kehidupan sehari-hari menjadi amat penting.
Seseorang hendaknya dapat mengatur waktu kehidupannya secara efektif
dan efisien.
9. Agama
Seseorang yang beragama hendaknya jangan sekedar formalitas
belaka, tetapi yang lebih utama mampu menghayati dan mengamalkan
keyakinan agamanya itu, sehingga ia memperoleh kekuatan dan ketenangan
daripadanya.
10. Rekreasi
Bila mungkin seseorang itu dapat mengatur waktu rekreasi bersama
keluarganya seminggu sekali untuk dapat berelaksasi dari pekerjaan.
11. Sosial ekonomi (keuangan)
Seseorang hendaknya dapat mengatur keseimbangan antara
pemasukan (pendapatan) dan pengeluaran agar keuangan teratur dan tidak
menimbulkan stres.
12. Kasih sayang
Salah satu kebutuhan dasar manusia selain sandang, pangan dan
papan, adalah kebutuhan psikologik yaitu mencintai dan dicintai dengan
penuh rasa kasih sayang.
13. Lain lain
Di kalangan masyarakat Barat yang tidak melakukan pendekatan
psikoreligius, dalam upaya seseorang untuk meningkatkan daya tahan dan
kekebalan terhadap stres dilakukan aktivitas seperti relaksasi, meditasi,
yoga, dan lain sebagainya.1
22

2.2 Vertigo
2.2.1 Definisi
Vertigo berasal dari kata latin vertere yang berarti memutar. Vertigo di
dalam kamus bahasa diterjemahkan sebagai pusing. Vertigo adalah setiap gerakan
atau rasa gerakan tubuh penderita atau obyek-obyek di sekitar penderita yang
bersangkutan dengan sistem keseimbangan (ekuilibrium).1
Definisi lain menyatakan bahwa vertigo adalah ilusi gerakan, yang paling
sering adalah perasaan atau sensasi tubuh yang berputar terhadap lingkungan atau
sebaliknya, lingkungan sekitar kita rasakan berputar. Vertigo juga dirasakan
sebagai suatu perpindahan linear ataupun miring, tetapi gejala seperti ini relatif
jarang dirasakan.Vertigo termasuk ke dalam gangguan keseimbangan yang
dinyatakan sebagai pusing, pening, sempoyongan, rasa seperti melayang atau
dunia seperti berjungkir balik Gejala-gejala ini menimbulkan berbagai macam
problem emosional dan fisik seperti gangguan emosional, kecemasan, dan
ketidakmampuan melakukan aktivitas sehari-hari.1

2.2.2 Klasifikasi
Vertigo diklasifikasikan menjadi dua, yaitu vertigo vestibular dan non-
vestibular.Vertigo vestibular adalah vertigo yang disebabkan oleh gangguan
sistem vestibular (sistem keseimbangan), sedangkan vertigo non vestibular adalah
vertigo yang disebabkan oleh gangguan sistem visual dan somatosensori.19
Tabel 2.1 Perbedaan vertigo vestibular dan vertigo non vestibular.
Klasifikasi
Karakteristik
Vertigo vestibular Vertigo non vestibular

Waktu Episodik Konstan

Sifat Vertigo Berputar Melayang

Faktor pencetus Gerakan kepala, Stres, hiperventilasi


perubahan posisi

Gejala penyerta Mual, muntah, tuli, Gangguan mata, gangguan


tinnitus somatosensorik

Sumber: Ropper AH et al, Adams and Victors principles of neurology. 8th ed, 2005.
23

Secara garis besar, sistem vestibular dikategorikan masing-masing ke dalam


komponen perifer dan sentral. Sistem perifer, secara bilateral mengandung tiga
komponen kanalis semisirkularis (posterior, superior, lateral) dan organ otolitik
(utrikulus dan sakulus). Kanalis semisirkularis mendeteksi gerakan rotasi kepala
sedangkan utrikula dan sakula merespon akselerasi linier dan gravitasi. Organ
vestibular ini berada dalam keadaan aktivitas simetris tonik. Informasi bersama
dengan input proprioseptif dan okular, diproses oleh jalur vestibular sentral
(misalnya nuklei vestibular) dan mempertahankan keseimbangan dan posisi
seseorang.20
Vertigo vestibular selanjutnya dapat dibedakan menjadi vertigo vestibular
perifer dan sentral. Vertigo vestibular perifer adalah vertigo yang terjadi akibat
gangguan alat keseimbangan tubuh di labirin (telinga dalam) atau di ganglion
vestibular atau di saraf kranial VIII (Saraf Vestibulokoklear) divisi vestibular.19
Vertigo vestibular sentral adalah vertigo yang terjadi akibat gangguan alat
keseimbangan tubuh di sistem saraf pusat, baik di pusat integrasi (serebelum dan
batang otak) ataupun di area persepsi (korteks). Penyebab vertigo sentral antara
lain adalah perdarahan atau iskemik di serebelum, nukleus vestibular, dan
koneksinya di batang otak, tumor di sistem saraf pusat, infeksi, trauma, dan
sklerosis multiple. Vertigo yang disebabkan neuroma akustik juga termasuk dalam
vertigo sentral. Vertigo akibat gangguan di korteks sangat jarang terjadi, biasanya
menimbulkan gejala kejang parsial kompleks.29

Tabel 2.2 Perbedaan vertigo vestibular perifer dan sentral


Klasifikasi
Karakteristik
Vertigo vestibular perifer Vertigo vestibular sentral

Kejadian Episodik, onset mendadak Konstan

Durasi Menit hingga jam Minggu hingga bulan

Frekuensi Hilang timbul Konstan

Arah nistagmus Satu arah Bervariasi


(spinning)

Aksis nistagmus Horizontal atau rotatorik Horizontal, vertikal, oblik,


24

atau rotatorik

Tipe nistagmus Fase lambat dan cepat Fase ireguler atau


setimbang (equal)

Hilang pendengaran, Bisa terjadi Tidak ada


tinnitus

Kehilangan kesadaran Tidak ada Dapat terjadi

Mual dan muntah Tipikal Tidak ada

Gejala neurologis Tidak ada Sering disertai defisit saraf


lainnya kranial serta tanta-tanda
serebelar dan piramidal.

Penyebab Meniere’s disease Massa Cerebellar / stroke

Labirintitis Encephalitis/ abscess otak

Positional vertigo Insufisiensi A. Vertebral

Neuroma Akustik

Sklerosis Multiple

Sumber: Wahyudi KT, Vertigo, 2012. Thompson TL, Amedee R, Vertigo: A Review of Common
Peripheral and Central Vestibular Disorders. United States: US National Library of Medicine
National Institutes of Health, 20

2.2.3 Etiologi
Vertigo merupakan suatu gejala, sederet penyebabnya antara lain akibat
kecelakaan, stres, gangguan pada telinga bagian dalam, obat-obatan, terlalu
sedikit atau banyak aliran darah ke otak dan lain-lain. Tubuh merasakan posisi
dan mengendalikan keseimbangan melalui organ keseimbangan yang terdapat di
telinga bagian dalam. Organ ini memiliki saraf yang berhubungan dengan area
tertentu di otak. Vertigo bisa disebabkan oleh kelainan di dalam telinga, di dalam
saraf yang menghubungkan telinga dengan otak dan di dalam otaknya sendiri.21
Keseimbangan dikendalikan oleh otak kecil yang mendapat informasi
tentang posisi tubuh dari organ keseimbangan di telinga tengah dan mata.
Penyebab umum dari vertigo, antara lain:21
1. Keadaan lingkungan : mabuk darat, mabuk laut.
2. Obat-obatan : alkohol, gentamisin.
25

3. Kelainan telinga : endapan kalsium pada salah satu kanalis


semisirkularis di dalam telinga bagian dalam yang menyebabkan benign
paroxysmal positional
4. Infeksi telinga bagian dalam karena bakteri, labirintitis, meniere’s disease
5. Peradangan saraf vestibular, herpes zoster.
6. Kelainan Neurologis: Tumor otak, tumor yang menekan saraf vestibularis,
sklerosis multipel, dan patah tulang otak yang disertai cedera pada labirin,
persyarafannya atau keduanya.
7. Kelainan sirkularis: Gangguan fungsi otak sementara karena berkurangnya
aliran darah ke salah satu bagian otak (transcient ischemic attack) pada
arteri vertebral dan arteri basiler.
Penyebab vertigo dapat berasal dari perifer yaitu dari organ vestibuler
sampai ke inti nervus VIII sedangkan kelainan sentral dari inti nervus VIII sampai
ke korteks.21

2.2.4 Patofisiologi
Etiologi vertigo adalah abnormalitas dari organ-organ vestibuler, visual,
ataupun sistem propioseptif. Labirin (organ untuk ekuilibrium) terdiri atas tiga
kanalis semisirkularis, yang berhubungan dengan rangsangan akselerasi angular,
serta utrikulus dan sakulus, yang berkaitan dengan rangsangan gravitasi dan
akselerasi vertikal. Rangsangan berjalan melalui nervus vestibularis menuju
nukleus vestibularis di batang otak, lalu menuju fasikulus medialis (bagian kranial
muskulus okulomotorius), kemudian meninggalkan traktus vestibulospinalis
(rangsangan eksitasi terhadap otot-otot ekstensor kepala, ekstremitas, dan
punggung untuk mempertahankan posisi tegak tubuh). Selanjutnya, serebelum
menerima impuls aferen dan berfungsi sebagai pusat untuk integrasi antara
respons okulovestibuler dan postur tubuh. Fungsi vestibuler dinilai dengan
mengevaluasi refleks okulovestibuler dan intensitas nistagmus akibat rangsangan
perputaran tubuh dan rangsangan kalori pada daerah labirin.1
Refleks okulovestibuler bertanggung jawab atas fiksasi mata terhadap objek
diam sewaktu kepala dan badan sedang bergerak. Nistagmus merupakan gerakan
26

bola mata yang terlihat sebagai respons terhadap rangsangan labirin, sertajalur
vestibuler retrokoklear, ataupun jalur vestibulokoklear sentral. Vertigo sendiri
mungkin merupakan gangguan yang disebabkan oleh penyakit vestibuler perifer
ataupun disfungsi sentral oleh karenanya secara umum vertigo dibedakan menjadi
vertigo perifer dan vertigo sentral. Penggunaan istilah perifer menunjukkan bahwa
kelainan atau gangguan ini dapat terjadi pada end-organ (utrikulus maupun
kanalis semisirkularis) maupun saraf perifer.1
Lesi vertigo sentral dapat terjadi pada daerah pons, medulla, maupun
serebelum. Kasus vertigo jenis ini hanya sekitar 20% - 25% dari seluruh kasus
vertigo, tetapi gejala gangguan keseimbangan (disekulibrium) dapat terjadi pada
50% kasus vertigo. Penyebab vertigo sentral ini pun cukup bervariasi, di
antaranya iskemia atau infark batang otak (penyebab terbanyak), proses
demielinisasi (misalnya, pada sklerosis multipel, demielinisasi pasca infeksi),
tumor pada daerah serebelopontin, neuropati kranial, tumor daerah batang otak,
atau sebab-sebab lain. Untuk mendiagnosis vertigo sentral, perlu dilakukan
pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan radiologi.1
Beberapa penyakit ataupun gangguan sistemik dapat juga menimbulkan
gejala vertigo. Begitu pula dengan penggunaan obat, seperti antikonvulsan,
antihipertensi, alkohol, analgesik, dan tranquilizer. Selain itu, vertigo juga dapat
timbul pada gangguan kardiovaskuler (hipotensi, presinkop kardiak maupun non-
kardiak), penyakit infeksi, penyakit endokrin (DM, hipotiroidisme), vaskulitis,
serta penyakit sistemik lainnya, seperti anemia, polisitemia, dan sarkoidosis.
Neurotransmiter yang turut berkontribusi dalam patofisiologi vertigo, baik perifer
maupun sentral, di antaranya adalah neurotransmiter kolinergik, monoaminergik,
glutaminergik, dan histamin. Beberapa obat antivertigo bekerja dengan
memanipulasi neurotransmiter-neurotransmiter ini, sehingga gejala-gejala vertigo
dapat ditekan. Glutamat merupakan neurotransmiter eksitatorik utama dalam
serabut saraf vestibuler.1
Glutamat ini memengaruhi kompensasi vestibuler melalui reseptor NMDA
(N-metil-D-aspartat). Reseptor asetilkolin muskarinik banyak ditemukan di daerah
pons dan medula, dan akan menimbulkan keluhan vertigo dengan memengaruhi
27

reseptor muskarinik tipe M2, sedangkan neurotransmiter histamin banyak


ditemukan secara merata di dalam struktur vestibuler bagian sentral, berlokasi di
pre dan post sinaps pada sel-sel vestibuler.1
Ada beberapa teori yang berusaha menerangkan kejadian
ketidakseimbangan tubuh, antara lain:21
1. Teori rangsang berlebihan (overstimulation)
Teori ini berdasarkan asumsi bahwa rangsang yang berlebihan
menyebabkan hiperemi kanalis semisirkularis sehingga fungsinya
terganggu; akibatnya akan timbul vertigo, nistagmus, mual dan muntah.
2. Teori konflik sensorik
Menurut teori ini terjadi ketidakcocokan masukan sensorik yang
berasal dari berbagai reseptor sensorik perifer yaitu antara mata/visus,
vestibulum dan proprioseptik, atau ketidakseimbangan/asimetri masukan
sensorik dari sisi kiri dan kanan. Ketidakcocokan tersebut menimbulkan
kebingungan sensorik di sentral sehingga timbul respons yang dapat berupa
nistagmus (usaha koreksi bola mata), ataksia atau sulit berjalan (gangguan
vestibuler, serebelum) atau rasa melayang, berputar (yang berasal dari
sensasi kortikal). Berbeda dengan teori rangsang berlebihan, teori ini lebih
menekankan gangguan proses pengolahan sentral sebagai penyebab.
3. Teori neural mismatch
Teori ini merupakan pengembangan teori konflik sensorik; menurut
teori ini otak mempunyai memori/ingatan tentang pola gerakan tertentu;
sehingga jika pada suatu saat dirasakan gerakan yang aneh/tidak sesuai
dengan pola gerakan yang telah tersimpan, timbul reaksi dari susunan
saraf otonom. Jika pola gerakan yang baru tersebut dilakukan berulang-
ulang akan terjadi mekanisme adaptasi sehingga berangsur-angsur tidak lagi
timbul gejala.
4. Teori otonomik
Teori ini menekankan perubahan reaksi susunan saraf otonom sebagai
usaha adaptasi gerakan/perubahan posisi, gejala klinis timbul jika sistem
28

simpatis terlalu dominan, sebaliknya hilang jika sistem parasimpatis mulai


berperan.
5. Teori neurohumoral
Di antaranya teori histamin (Takeda), teori dopamin (Kohl) dan teori
serotonin (Lucat) yang masing-masing menekankan peranan
neurotransmiter tertentu dalam mempengaruhi sistim saraf otonom yang
menyebabkan timbulnya gejala vertigo.
6. Teori sinap
Merupakan pengembangan teori sebelumnya yang meninjau peranan
neurotransmisi dan perubahan-perubahan biomolekuler yang terjadi pada
proses adaptasi, belajar dan daya ingat. Rangsang gerakan menimbulkan
stres yang akan memicu sekresi CRF (corticotropin releasing factor),
peningkatan kadar CRF selanjutnya akan mengaktifkan susunan saraf
simpatik yang selanjutnya mencetuskan mekanisme adaptasi berupa
meningkatnya aktivitas sistem saraf parasimpatik. Teori ini dapat
menerangkan gejala penyerta yang sering timbul berupa pucat, berkeringat
di awal serangan vertigo akibat aktivitas simpatis, yang berkembang
menjadi gejala mual, muntah dan hipersalivasi setelah beberapa saat akibat
dominasi aktivitas susunan saraf parasimpatis.21

2.2.5 Manifestasi Klinis


Gejala klinis pasien dengan dizziness dan vertigo dapat berupa gejala primer
dan sekunder. Gejala primer diakibatkan oleh gangguan pada sensorium. Gejala
primer berupa vertigo, impulsion, oscilopsia, ataxia dan gejala pendengaran.
Vertigo diartikan sebagai sensasi berputar yang dapat berupa horizontal, vertikal
atau rotasi. Vertigo horizontal merupakan tipe yang paling sering, disebabkan
oleh disfungsi dari telinga dalam. Jika vertigo bersamaan dengan nistagmus,
pasien biasanya merasakan sensasi pergerakan dari sisi yang berlawanan dengan
komponen lambat. Vertigo vertikal jarang terjadi. Jika vertigo tersebut bersifat
sementara biasanya disebabkan oleh BPPV, namun jika menetap biasanya berasal
dari sentral dan disertai dengan nistagmus dengan gerakan ke bawah atau ke atas
29

(rotator nistagmus). Vertigo rotasi merupakan jenis yang paling jarang


ditemukan.22
Impulsi diartikan sebagai sensasi berpindah, biasanya dideskripsikan
sebagai sensasi didorong atau diangkat. Sensasi impuls mengindikasi disfungsi
apparatus otolitik pada telinga dalam atau proses sentral sinyal otolit. Oscilopsia
ilusi pergerakan dunia yang diprovokasi dengan pergerakan kepala. Pasien dengan
bilateral vestibular loss akan takut untuk membuka kedua matanya. Sedangkan
pasien dengan unilateral vestibular loss akan mengeluh dunia seakan berputar
ketika pasien menoleh pada sisi telinga yang mengalami gangguan. Ataksia
adalah ketidakstabilan berjalan, biasanya universal pada pasien dengan vertigo
otologik dan sentral. Gejala pendengaran biasanya berupa tinnitus, pengurangan
pendengaran atau distorsi dan sensasi penuh di telinga. Gejala sekunder meliputi
mual, gejala otonom, kelelahan, sakit kepala, dan sensivitas visual. Gejala
nonspesifik berupa giddiness dan light headness. Istilah ini tidak terlalu memiliki
makna pada penggunaan biasanya. Jarang digunakan pada pasien dengan
disfungsi telinga namun sering digunakan pada pasien vertigo yang berhubungan
dengan masalah medis.

2.3 Hubungan Stres terhadap Vertigo


Pelepasan adrenocorticotropic hormone (ACTH) (hormon
adrenokortikotropik) dari pituitaria anterior yang akan memicu pelepasan
glukokortikoid dari korteks adrenal, sehingga glukokortikoid menghasilkan
banyak di antara efek-efek respons stres. Stresor juga mengaktifkan sistem saraf
simpatik, sehingga meningkatkan jumlah epinefrin dan norepinefrin yang
dilepaskan dari medula adrenal. Besarnya respons stres bukan hanya bergantung
pada stresor dan individunya. Fitur utama teori Selye adalah pendapatnya, bahwa
stresor fisik maupun psikologis menginduksi respons stres yang secara umum
sama. Respons stres kompleks dan bervariasi, respons tepatnya bergantung pada
stresornya, kapan waktunya, sifat orang yang mengalami stres, dan bagaimana
orang yang mengalami stres bereaksi terhadap stresornya.18
30

Telah dilaporkan bahwa stres dapat mempengaruhi pusat Fungsi vestibular


dalam keadaan sehat maupun sakit baik secara langsung melalui tindakan
glukokortikoid pada saluran ion dan neurotransmisi di otak, atau secara tidak
langsung melalui efek stres yang berhubungan dengan neuroaktif substansi
(misalnya histamin, neurosteroid). Studi sebelumnya membuktikan bahwa
disfungsi vestibular dan gangguan psikologi akan hidup berdampingan.9
Perubahan kepribadian diamati pada disfungsi vestibular. Hal ini terjadi karena
Interaksi vestibular dengan sebagian besar struktur otak yang mengatur emosi.
Studi tersebut mendukung penelitian sebelumnya karena mereka telah mengamati
secara signifikan tingkat stres yang tinggi pada pasien vertigo dengan usia kontrol
yang cocok. Sebuah studi yang dilakukan pada 190 pasien oleh Science Links
Japan menunjukkan bahwa 31,8 persen penderita vertigo juga mengalami stres.
Berbagai obat yang diambil untuk memerangi stres dapat mengakibatkan vertigo,
dari alkohol sampai antidepresan dan obat penenang. Dalam studi Science Links
Japan, vertigo dikaitkan dengan kelelahan dan insomnia pada 46,3 persen pasien.
Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa karena stres menyebabkan kelelahan
dan insomnia, stres berhubungan dengan vertigo. Stres dapat pula memicu
perubahan tekanan darah yang dapat memperparah vertigo dengan mempengaruhi
aliran darah dan metabolisme di telinga bagian dalam.25
Lesi telinga bagian dalam sering menyebabkan defisit vestibular dan
pendengaran secara paralel, sejauh mana lesi pada satu sistem dapat menyebabkan
hilangnya fungsi dan adaptasi dengan yang lain belum diketahui. Namun,
meskipun stres berpengaruh terhadap sistem vestibular dan pendengaran,
mekanisme plasitas di jalur sentral dan interaksinya secara sistematis masih
diselidiki.27
Sehubungan dengan lesi vestibular dan kompensasi vestibular sentral,
bukti dari penelitian hewan juga menunjukkan jalur saraf yang menghubungkan
inti vestibular dengan sistem limbik termasuk hipotalamus dan bahwa respons
stres yang ditimbulkan oleh gejala vestibular mendorong sinaptik dan plasitas
neuronal pada sistem vestibular. Namun, dalam bukti konklusif manusia yang
berkaitan dengan interaksi antara stres dan plastisitas sistem vestibular masih
31

kurang. Pada pasien yang kurang mendapat kompensasi setelah kerusakan


vestibular, bukti klinis menunjukkan adanya stres sebagai agen penyebab dan
sebagai faktor yang menghambat kompensasi. Penggunaan steroid pada
pengobatan gejala akut vestibular juga dianggap sebagai pemicu respons stres
akut pada saat kompensasi vestibular. Namun demikian, efek stres pada fungsi
vestibular dan kompensasi yang signifikan dan meningkat diakui sebagai sesuatu
yang penting dalam pengelolaan disfungsi vestibular pada manusia.27 Belum
pernah diteliti hubungan berapa lama atau seberapa berat stres tersebut hingga
dapat menimbulkan vertigo.

2.4 Kuesioner Tingkat Stres


Ada beberapa kuesioner yang sering digunakan untuk mengetahui tingkat
stres antara lain:
1. Kessler Psychological Distress Scale (K-10)28
Kessler Psychological Distress Scale (K-10) adalah skala yang
dikembangkan pada tahun 1992 oleh Professor Ronald C. Kessler dari Universitas
Harvard. Kuesioner ini dirancang untuk mengukur distres yang terdiri dari 10
pertanyaan tentang gejala-gejala kecemasan dan depresi yang dialami responden
selama 4 minggu terakhir. Kessler Psychological Distress Scale (K-10) terdiri dari
5 skala likert yakni:
a. Skor 1 : tidak pernah
b. Skor 2 : jarang
c. Skor 3 : kadang-kadang
d. Skor 4 : sering
e. Skor 5 : selalu
Setiap skor dari masing-masing pertanyaan akan dijumlahkan lalu akan
dikategorikan sesuai total skor. Tingkat stres dikategorikan sebagai berikut:
a. Total Skor <20 : tidak mengalami stres
b. Total skor 20-24 : stres ringan
c. Total skor 25-29 : stres sedang
d. Total skor ≥30 : stres berat
32

2. Perceived Stress Scale (PSS-10)29


Perceived Stres Scale (PSS-10) adalah instrumen asesmen stres yang
berkembang pada tahun 1983. Alat ini membantu kita mengerti bagaimana situasi
yang berbeda mampu mempengaruhi perasaan dan stres yang kita miliki.
Kuesioner ini terdiri dari 10 item pertanyaan tentang perasaan dan pemikiran
responden selama satu bulan terakhir. Pada setiap kasus pertanyaan, responden
akan ditanyakan untuk mengindikasi bagaimana perasaan dan cara berfikir
responden. Meskipun pertanyaan terlihat sama, namun terdapat perbedaan disetiap
pertanyaan. Sehingga responden harus menganggapnya sebagai pertanyan yang
terpisah. Cara terbaiknya responden harus menjawab secara cepat agar hasilnya
adil.Skala ukur ini terdiri dari 4 skala likert yakni :
a. Skor 0 : tidak pernah
b. Skor 1 : hampir tidak pernah
c. Skor 2 : kadang-kadang
d. Skor 3 : sering
e. Skor 4 : selalu
Sedangkan untuk 4 item pertanyaan positif (item 4, 5, 7, & 8),skornya
dinilai terbalik misalnya 0 = 4, 1 = 3, 2 = 2, 3 = 1 & 4 = 0. Setiap skor dari
masing-masing pertanyaan akan dijumlahkan lalu akan dikategorikan sesuai total
skor. Tingkat stress dikategorikan sebagai berikut:
a. Skor 0-13 tergolong stres rendah
b. Skor 14-26 tergolong stres sedang
c. Skor 27-40 tergolong stres tinggi

3. Depression Anxiety Stress Scale (DASS-42)10


Depression Anxiety Stress Scale 42 (DASS-42) ini merupakan kuesioner
yang dikembangkan oleh peneliti di Universitas New SouthWales. Kuesioner ini
terdiri dari 42 item pernyataan yang bertujuan untuk mengukur tiga skala emosi
negatif yakni depresi, kecemasan dan stres. Masing-masing skala tersebut terdiri
dari 14 item pertanyaan, terbagi menjadi subskala yang terdiri dari 2-5 item
dengan isi yang sama. Skala depresi menilai disforia, keputusasaan, devaluasi
33

kehidupan, pembantahan diri, kurangnya minat, anhedonia dan inersia. Skala


kecemasan menilai gairah otonom, efek otot rangka, kecemasan situasional, dan
pengalaman subjek terhadap efek kecemasan. Serta skala stres menilai kesulitan
relaks, agitasi, iritasi dan tidak sabar. Kuesioner ini terdiri dari 4 pilihan jawaban
skala likert sebagai berikut:
a. Skor 0 : Tidak sesuai dengan saya sama sekali atau tidak pernah
b. Skor 1 : Sesuai dengan saya sampai tingkat tertentu atau kadang-kadang
c. Skor 2 : Sesuai dengan saya sampai batas yang dapat dipertimbangkan atau
sering
d. Skor 3 : Sangat sesuai dengan saya atau selalu
e. Setiap skor dari masing-masing pertanyaan akan dijumlahkan lalu akan
dikategorikan sesuai total skor. Dibawah ini merupakan tabel dari kategori
tingkat depresi, kecemasan dan stres.
Tabel 2.3 Kategori Tingkat Stres

Skala Ukur Normal Ringan Sedang Berat Sangat Berat

Stres 0-14 15-18 19-25 26-33 ≥ 34


Sumber: Psychology Foundation of Australia. Depression Anxiety Stress Scale; Overview of
DASS and Its Uses. Damanik ED, editor. Depok, 2014.
Pada penelitian ini, peneliti tersebut menggunakan instrumen penelitian
yakni kuesioner Depression Anxiety Stress Scale 42 (DASS-42). Hal ini
dikarenakan, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Eveline Damanik pada 2
grup sampel, yakni sampel klinik adalah 42 responden yang tinggal di Yogyakarta
dan Bantul yang mengalami pengalaman bencana alam. Sedangkan sampel non
klinik adalah subjek yang tinggal di Jakarta dan sekitarnya yang tidak mengalami
pengalaman bencana alam yang berjumlah 42 responden. Pada hasil
penelitiannya, didapatkan reliabilitas nilai cronbach α = 0.9483. sehingga
disimpulkan bahwa kuesioner DASS-42 Bahasa Indonesia telah reliable dan
valid.10
34

2.1 Kerangka Teori

Gambar 2.8. Kerangka Teori

2.2 Kerangka Konsep

STRES VERTIGO

Gambar 2.9. Kerangka Konsep

2.3 Hipotesis
Terdapat hubungan antara faktor stres dengan kejadian vertigo.
35

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Jenis dan Rancangan Penelitian


Jenis penelitian ini merupakan penelitian analitik dengan pendekatan cross
sectional yang bertujuan untuk mengetahui apakah ada hubungan antara faktor
stres dengan kejadian vertigo. Studi cross sectional ini mempelajari hubungan
antara faktor-faktor risiko (variabel bebas) dengan efek (variabel terikat) berupa
keluhan atau status kesehatan tertentu dengan pendekatan point time dimana tiap
subjek diobservasi hanya satu kali saja tanpa follow up.

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian


3.2.1 Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan di poliklinik Saraf Rumah Sakit Umum Daerah
Raden Mattaher Provinsi Jambi.

3.2.2 Waktu Penelitian


Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September 2018 sampai sampel
terpenuhi.

3.3 Populasi dan Sampel Penelitian


3.3.1 Populasi Penelitian
Populasi dalam penelitian ini adalah pasien yang telah didiagnosa vertigo
oleh dokter spesialis saraf yang berobat di poliklinik saraf Rumah Sakit Umum
Daerah Raden Mattaher Provinsi Jambi pada tahun 2018 dan memenuhi kriteria
inklusi.

3.3.2 Sampel Penelitian dan Besar Sampel


1. Sampel Penelitian
Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah total sampling, yaitu
teknik pengambilan sampel sama dengan populasi. Teknik ini diambil karena
36

jumlah populasi yang kurang dari 100, dan seluruh populasi dijadikan sampel
penelitian semuanya.
Sampel penelitian ini adalah sebagian dari keseluruhan objek yang diteliti
dan dianggap mewakili keseluruhan populasi dan memenuhi kriteria inklusi dan
eksklusi.

2. Besar Sampel
Berdasarkan survey data awal di bagian Rekam Medis Rumah Sakit Umum
Daerah Raden Mattaher Jambi, didapatkan populasi pasien vertigo pada tahun
2017 yaitu 275 orang.
n = 275 : 12
= 22,9 per bulan.
Sehingga untuk penelitian selama 2 bulan, maka:
= 22,9 x 2 = 45,8 (dibulatkan menjadi 46)
Keterangan:
n : jumlah sampel yang diperlukan

3.3.3 Kriteria Inklusi dan Eksklusi


1. Kriteria Inklusi
Kriteria Inklusi dalam penelitian ini adalah :
1. Pasien vertigo yang berobat ke poliklinik saraf Rumah Sakit Umum
Raden Mattaher Provinsi Jambi periode September-Oktober 2018.
2. Pasien vertigo yang bersedia mengisi kuesioner dan telah dilakukan
inform consent
3. Pasien vertigo usia produktif

2. Kriteria Eksklusi
Kriteria eksklusi dalam penelitian ini adalah:
1. Pasien vertigo yang menolak untuk mengisi kuesioner
2. Pasien vertigo yang tidak dapat menulis dan tidak dapat membaca.
3. Pasien vertigo yang kehilangan kesadaran.
37

3.4 Definisi Operasional


Tabel 3.1 Definisi Operasional
No. Variabel Definisi Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala
Operasional Ukur

1 Stres Suatu Melalui Kuesioner 1. Normal: 0-14 Ordinal


tahapan pengisian Depression 2. Ringan: 15-18
reaksi tubuh lembar Anxiety 3. Sedang: 19-25
pada kuesioner Stress 4. Berat: 26-33
individu oleh Scale 5. Sangat berat: ≥34
terhadap responden (DASS-42)
stresor sendiri
2 Pasien Perasaan Didiagnosis Buku 1. Vertigo Nominal
Vertigo atau sensasi oleh dokter daftar Perifer
tubuh yang spesialis pasien di 2. Vertigo
berputar saraf poliklinik Sentral
terhadap Saraf
lingkungan
atau
sebaliknya,
lingkungan
sekitar kita
rasakan
berputar.
3 Usia Usia pasien Status Lembar 1. 12-25 tahun : Ordinal
terhitung Pasien identitas Remaja
dari tahun pasien 2. 26-45 tahun :
pertama Dewasa
lahir sampai 3. 46-65 tahun :
dengan Lansia
ulang tahun 4. ≥ 65 tahun :
terakhir saat Manula
penelitian
dilakukan
4 Jenis Jenis Status Lembar 1. Perempuan Nominal
Kelamin kelamin Pasien identitas 2. Laki-laki
pasien pasien
38

3.5 Instrumen Penelitian


Instrumen pengambilan data yang digunakan dalam penelitian ini berupa
kuesioner Depression Anxiety Stress Scale (DASS-42) Bahasa Indonesia.
Kuesioner ini dipilih dikarenakan telah reliable dan valid. Kuesioner ini akan
diajukan kepada pasien, diisi oleh pasien sendiri untuk mengukur tingkat stres.
Kuesioner ini disusun dalam bentuk pertanyaan tertutup dengan menggunakan
skala likert. Peneliti memberikan alternatif jawaban, sehingga responden mampu
menjawab sesuai pilihan yang telah disajikan. Nilai masing-masing jawaban akan
diakumulasi lalu total skor diklasifikasikan berdasarkan tingkat stres penderita
yakni normal, ringan, sedang, berat, dan sangat berat.

3.6 Metode Pengumpulan Data


3.6.1 Jenis Data
1. Data Primer
Data yang dikumpulkan berasal dari hasil wawancara yang dilakukan oleh
peneliti pada pasien vertigo yang sesuai kriteria inklusi.
2. Data Sekunder
Data sekunder dari penelitian ini adalah daftar pasien vertigo yang berobat
ke poliklinik Saraf Rumah Sakit Umum Daerah Raden Mattaher Provinsi
Jambi tahun 2018.

3.7 Pengolahan dan Analisis Data


3.7.1 Pengolahan Data
Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan sistem perangkat lunak
komputer seperti microsoft excel dan software pengolahan data statistik.
Adapun tahapan pengolahan data adalah sebagai berikut:
1. Editting
Dilakukan pemeriksaan hasil wawancara menggunakan kuesioner
mengenai kelengkapan dan kesesuaian hasil data yang telah
39

dikumpulkan serta ketepatan pengkodean sebelum proses pemasukan


data kedalam program pengolahan data.
2. Coding
Peneliti akan memberi kode atau tanda berupa angka pada masing-
masing jawaban lalu dipindahkan kedalam lembar tabel kerja untuk
mempermudah pengolahan data.
3. Data Entry
Dimasukkan data yang diperoleh ke dalam aplikasi pengolahan statistik
yang telah disiapkan pada program pengolahan data di dalam komputer.
4. Data Cleaning
Semua data dari responden di cek kembali untuk melihat kemungkinan
adanya kesalahan pengkodean, ketidaklengkapan data dan sebagainya,
kemudian dilakukan koreksi.

3.7.2 Analisis Data


Data ini menggunakan analisis univariat dan bivariat. Data yang sudah
diolah kemudian dianalisis menggunakan aplikasi statistik. Analisis ini
digunakan untuk mengetahui prevalensi serta hubungan variabel independen
dengan variabel dependen.

3.8 Etika Penelitian


Dalam melakukan penelitian, peneliti meminta izin kepada responden dengan
mengedepankan masalah-masalah etika sebagai berikut:
1. Lembar persetujuan penelitian (informed consent)
Lembar persetujuan peneliti diberikan kepada responden mengenai maksud
dan tujuan penelitian serta mengetahui hal-hal yang akan diteliti. Jika
responden bersedia diteliti, responden diminta untuk menandatangani
lembar persetujuan dan jika responden menolak untuk diteliti maka peneliti
tidak akan memaksa dan akan menjaga hak responden.
2. Kerahasiaan nama (anonimity)
40

Untuk menjaga kerahasiaan identitas subjek penelitian, peneliti akan


merahasiakan nama responden dengan cara tidak mencantumkan nama
responden pada lembar pengumpulan data dan hanya memberi simbol dan
nomor kode tertentu.
3. Kerahasiaan (confidentally)
Data informasi yang peneliti peroleh dari responden dijamin kerahasiaannya
oleh peneliti.
41

3.9 Alur Penelitian

Melihat data pasien vertigo di poliklinik saraf


Rumah Sakit Umum Daerah Raden Mattaher
Provinsi Jambi

Menentukan jumlah sampel


z
dengan Total Sampling

Mendapatkan nama calon responden dan


menyingkirkan responden dengan kriteria
eksklusi.

Menghubungi calon responden dan


melakukan informed consent

Pengisian data kuesioner oleh responden

Pengolahan dan Analisa data

Laporan
42

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Keterbatasan Penelitian


1. Penelitian ini menggunakan metode penelitian cross sectional yang
merupakan penelitian yang paling lemah diantara penelitian
epidemiologi lainnya. Penelitian cross sectional memiliki kelemahan
tidak dapat meneliti kondisi atau kasus yang sedikit, banyak
menimbulkan bias, kurang baik untuk meramalkan kecenderungan,
memerlukan sampel besar, kurang akurat untuk menggambarkan suatu
penyakit dan faktor risiko serta tidak dapat menghitung angka insiden.
2. Data diperoleh dari hasil jawaban kuesioner, sehingga kualitas data
tergantung persepsi responden dalam menjawab kuesioner.

4.2 Hasil Penelitian


Berdasarkan hasil penelitian dengan menggunakan data primer berupa
kuesioner yang diberikan pada pasien vertigo yang berobat ke Poli Saraf
RSUD Raden Mattaher Provinsi Jambi selama bulan September hingga
Oktober 2018, didapatkan 52 responden yang memenuhi kriteria inklusi.
Tujuan awal dari penelitian ini adalah untuk mengetahui adakah hubungan
antara faktor stres dengan kejadian vertigo.

4.2.1 Analisis Univariat


4.2.1.1 Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis
Kelamin
Berdasarkan pengumpulan data terhadap 52 responden pasien di
poliklinik saraf RSUD Raden Mattaher Provinsi Jambi tahun 2018, diperoleh data
distribusi pasien berdasarkan jenis kelamin (Tabel 4.1):
43

Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Responden berdasarkan Jenis Kelamin

Jenis Kelamin Frekuensi (f) Persentase (%)

Perempuan 37 71,2

Laki-Laki 15 28,8

Total 52 100,0

Sumber: Data Primer, 2018.

Pada Tabel 4.1 terlihat bahwa pasien vertigo dengan jenis kelamin
perempuan sebanyak 37 orang (71,2%) sedangkan pasien vertigo dengan jenis
kelamin laki-laki sebanyak 15 orang (28,8%). Maka pada penelitian ini
didapatkan bahwa pasien vertigo dengan jenis kelamin perempuan lebih banyak
daripada pasien vertigo dengan jenis kelamin laki-laki.

4.2.1.2 Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden Berdasarkan Usia


Berdasarkan pengumpulan data terhadap 52 responden pasien vertigo di
poliklinik saraf Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Jambi diperoleh data distribusi
responden berdasarkan usia (Tabel 4.2) :

Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Responden berdasarkan Usia

Kategori Usia Frekuensi (f) Persentase (%)

Remaja 4 7,7

Dewasa 23 44,2

Lansia 23 44,2

Manula 2 3,8

Total 52 100,0

Sumber: Data Primer, 2018.


44

Berdasarkan tabel 4.2 didapatkan bahwa pasien vertigo dengan kategori


usia remaja adalah sebanyak 4 orang (7,7%), pasien vertigo kategori usia dewasa
sebanyak 23 orang (44,2%), pasien vertigo kategori usia lansia sebanyak 23 orang
(44,2%) dan pasien vertigo kategori usia manula 2 orang (3,8%).

Dari penelitian ini, didapatkan bahwa pasien vertigo dengan kategori usia
terbanyak adalah kategori usia dewasa dan remaja, sedangkan yang paling sedikit
yaitu pasien vertigo kategori usia manula.

4.2.1.3 Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis


Vertigo
Berdasarkan pengumpulan data terhadap 52 responden pasien vertigo di
poliklinik saraf Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Jambi diperoleh data distribusi
responden berdasarkan Jenis Vertigo (Tabel 4.3) :

Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi Responden berdasarkan Tipe Vertigo

Jenis Vertigo Frekuensi (f) Persentase (%)

Perifer 43 82,7

Sentral 9 17,3

Total 52 100,0

Sumber: Data Primer, 2018.

Berdasarkan tabel 4.3 didapatkan bahwa pasien vertigo perifer sebanyak


43 orang (82,7%) sedangkan pasien vertigo sentral yaitu sebanyak 9 orang
(17,3%).

Dari penelitian ini didapatkan bahwa jenis vertigo terbanyak yang


diderita oleh responden adalah vertigo perifer, sedangkan yang paling sedikti
adalah vertigo sentral.
45

4.2.1.4 Distribusi Tingkat Stres pada Pasien Vertigo di Poliklinik Saraf


Rumah Sakit Umum Raden Mattaher Provinsi Jambi tahun 2018
Berdasarkan pengumpulan data terhadap 52 responden pasien vertigo di
poliklinik saraf Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Jambi diperoleh data
prevalensi responden berdasarkan Tipe Vertigo sebagai berikut (tabel 4.4):
Tabel 4.4 Distribusi Tingkat Stres Pasien

Tingkat Stres Frekuensi (f) Persentase (%)

Normal 13 25

Ringan 2 3,8

Sedang 11 21,2

Berat 18 34,6

Sangat Berat 8 15,4

Total 52 100,0

Sumber: Data Primer, 2018.

Berdasarkan tabel 4.4 didapatkan bahwa pasien dengan keadaan normal


sebanyak 13 orang (25%), tingkat stres ringan 2 orang (3,8%), tingkat stres
sedang 11 orang (21,2%), tingkat stres berat 18 orang (34,6%), dan tingkat stres
sangat berat 8 orang (15,4%).

Berdasarkan pengumpulan data dari 14 pernyataan kuesioner DASS-42


didapatkan bahwa pernyataan 1,5, dan 6 merupakan pernyataan yang paling
banyak dijawab oleh responden dengan skala likert sangat sesuai dengan saya atau
sering sekali. Sebaliknya pernyataan 3, 4, dan 10 merupakan pernyataan yang
paling sedikit dijawab dengan skala likert tidak sesuai dengan saya sama sekali
atau tidak pernah.
46

4.2.2 Analisis Bivariat


4.2.2.1 Hubungan Antara Faktor Stres dengan Kejadian Vertigo
Analisis bivariat diuji dengan uji statistik Kolmogorov-Smirnov Test
melalui Statistical Product and Service Solutions (SPSS) dikarenakan uji Statistik
Chi-Square tidak memenuhi syarat karena bentuk tabel analisis bivariat pada
penelitian ini adalah tabel 5x2. Kriteria hubungan ditetapkan berdasarkan p value
yang dihasilkan pada Confidential interval (CI) 95% dan α 0,05. Hubungan antara
faktor stres dengan kejadian vertigo pada responden disajikan dalam bentuk tabel
silang berikut (Tabel 4.5):
Tabel 4.5 Hubungan antara faktor stres dengan kejadian vertigo pada pasien vertigo
(responden) dengan menggunakan Kolmogorov-Smirnov Test
Pasien Vertigo
Tingkat Perifer Sentral Total P
Stres n % n % N % Value

Normal 12 92,3 1 7,7 13 100

Ringan 2 100 0 0 2 100

Sedang 9 81,8 2 18,2 11 100

Berat 15 83,3 3 16,7 18 100

Sangat 5 62,5 3 37,5 8 100


Berat
Total 43 82,7 9 17,3 52 100 0,04

*
Menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov dengan signifikansi α 0,05

Tabel 4.5 menunjukkan bahwa dari 52 orang responden, 13 diantaranya


tidak stres atau dalam keadaan normal, dimana 12 orang merupakan responden
terdiagnosis vertigo perifer (92,3%), dan 1 orang lainnya merupakan responden
terdiagnosis vertigo sentral (7,7%). Dari kategori stres ringan, terdapat 2 orang
responden terdiagnosis vertigo perifer (100%) dan tidak ada responden vertigo
sentral pada kategori tersebut. Selain itu, dari 11 responden yang mengalami stres
47

sedang, terdapat 9 responden terdiagnosis vertigo perifer (81,8%) dan 2 responden


terdiagnosis vertigo sentral (18,2%). Dari 18 responden yang mengalami stres
berat, 15 diantaranya merupakan responden terdiagnosis vertigo perifer (83,3%),
dan 3 lainnya merupakan responden terdiagnosis vertigo sentral (16,7%). Dari 8
orang yang mengalami stres sangat berat, 5 diantaranya merupakan responden
terdiagnosis vertigo vertigo perifer (62,5%) dan 3 orang lainnya terdiagnosis
vertigo sentral (37)
Berdasarkan hasil uji statistik dengan menggunakan Kolmogorov-Smirnov
didapatkan nilai probabilitas (p) value adalah 0,04 yang berarti p value < 0,05,
sehingga didapatkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara faktor stres
dengan kejadian vertigo.

4.3 Pembahasan
4.3.1 Proporsi Vertigo
4.3.1.1 Proporsi Vertigo Berdasarkan Jenis Kelamin
Dari hasil analisis univariat pada tabel 4.1 menunjukkan bahwa dari
52 responden pasien vertigo yang berobat ke poliklinik saraf RSUD Raden
Mattaher Provinsi Jambi didapatkan jumlah responden dengan jenis
kelamin perempuan sebanyak 37 responden (71,2%), sedangkan
responden dengan jenis kelamin laki-laki sebanyak 15 responden (28,8%)
artinya responden dengan jenis kelamin perempuan lebih banyak
terdiagnosa vertigo daripada jenis kelamin laki-laki.
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh
Rahul et al pada tahun 2016, terhadap 60 subyek dengan proporsi jumlah
subyek perempuan adalah 75% dan laki-laki adalah 25%.30 Penelitian
sama oleh Sokolova et al pada tahun 2014 pada 80 subyek, diperoleh
jumlah subyek perempuan 73% sedangkan laki-laki 27%. Prevalensi
relatif lebih tinggi pada perempuan dapat dikaitkan dengan variasi
hormonal.31
48

4.3.1.2 Proporsi Vertigo Berdasarkan Usia


Dari hasil analisis univariat pada tabel 4.2 menunjukkan bahwa
dari 52 responden pasien vertigo yang berobat ke poliklinik saraf RSUD
Raden Mattaher Provinsi Jambi didapatkan kategori usia terdiagnosis
vertigo paling banyak adalah kategori usia dewasa (26-45 tahun) sebanyak
23 responden (44,2%) dan juga lansia (46-65 tahun) dengan jumlah yang
sama yaitu sebanyak 23 responden (44,2%). Sedangkan jumlah yang
paling sedikit yaitu kategori usia manula (≥ 65 tahun) yang terdiri dari 2
orang (3,8%).
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh
Agrawal et al yang melaporkan bahwa prevalensi disfungsi vestibular
dalam 5 tahun belakangan di Amerika adalah 35% dengan rerata usia 40 -
50. Teori lain diungkapkan oleh Dewanto pada tahun 2009, menunjukkan
bahwa kasus vertigo perifer sering terjadi pada usia 50 ke atas.32

4.3.1.3 Proporsi Vertigo Berdasarkan Jenis Vertigo


Berdasarkan hasil analisis univariat pada tabel 4.3 didapatkan hasil
dari 52 responden pasien vertigo yang berobat ke poliklinik saraf RSUD
Raden Mattaher Provinsi Jambi bahwa 43 diantaranya adalah pasien
vertigo perifer (82,7%) dan 9 lainnya adalah pasien vertigo sentral
(17,3%). Artinya pada penelitian ini pasien vertigo perifer lebih banyak
ditemukan dari pada pasien vertigo sentral.
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh
Chaker et al pada tahun 2012 menunjukkan pasien yang mengalami
vertigo vestibular, 75% mendapatkan gangguan vertigo perifer dan 25%
mengalami vertigo sentral. 31

4.3.2 Proporsi Stres Berdasarkan Tingkat Stres


Dari hasil analisis univariat pada tabel 4.4 menunjukkan bahwa
dari 52 responden pasien vertigo yang berobat ke poliklinik saraf RSUD
Raden Mattaher Provinsi Jambi didapatkan 13 diantaranya adalah pasien
49

vertigo dengan tingkat stres normal atau tidak stres (25%). Dan selebihnya
responden mengalami stres dari berbagai tingkatan, baik itu ringan,
sedang, berat, maupun sangat berat. Artinya 75% responden lainnya
mengalami stres. Untuk kategori paling banyak terdapat pada tingkat stres
berat, dimana pada penelitian ini didapatkan 18 orang pasien vertigo yang
mengalami stres berat (34,6%) dan yang paling sedikit yaitu pasien vertigo
yang mengalami stres ringan (3,8%)
Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan
oleh Science Links Japan menunjukkan bahwa dari 190 responden 31,8 %
penderita vertigo juga mengalami stres..

4.3.3 Hubungan Antara Faktor Stres Dengan Kejadian Vertigo Pada


Pasien Vertigo yang Berobat ke Poliklinik Saraf RSUD Raden
Mattaher Provinsi Jambi Periode September-Oktober 2018.
Dari hasil penelitian yang dilakukan, didapatkan bahwa pasien
vertigo yang berobat ke poliklinik saraf RSUD Raden Mattaher Provinsi
Jambi cenderung mengalami stres dari pada yang tidak mengalami. Dari
52 responden, terdapat 13 orang responden yang tidak mengalami stres
dimana 12 diantaranya adalah pasien vertigo perifer, dan 1 orang lainnya
adalah pasien vertigo sentral. Untuk 39 responden lainnya didapatkan
bahwa responden tersebut mengalami stres. Kategori stres ringan terdiri
dari 2 orang terdiagnosis vertigo perifer, dan tidak ada pasien vertigo
sentral pada kategori stres tersebut. Kategori stres sedang terdiri dari 9
orang pasien vertigo perifer dan 2 orang pasien vertigo sentral. Kategori
stres berat merupakan tingkatan stres yang paling banyak dialami, terdiri
dari 15 orang pasien vertigo perifer dan 3 orang pasien vertigo sentral.
Kategori stres sangat berat terdiri dari 5 orang pasien vertigo perifer dan 3
orang pasien vertigo sentral. Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa
pasien vertigo cenderung mengalami stres dan paling banyak stres berat.
Hasil uji statistik dengan menggunakan Kolmogorov-Smirnov
didapatkan nilai probabilitas (p) value adalah 0,04 yang berarti p value <
50

0,05, sehingga disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna


antara faktor stres dengan kejadian vertigo.
Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan
oleh Science Links Japan menunjukkan bahwa dari 190 responden 31,8 %
penderita vertigo juga mengalami stres. Dalam penelitian ini vertigo
dikaitkan dengan kelelahan dan insomnia pada 46,3 % pasien. Hasil
penelitian ini menyimpulkan bahwa karena stres menyebabkan kelelahan
dan insomnia, stres berhubungan dengan vertigo.9 Penelitian serupa juga
dilakukan oleh Nages et al pada tahun 2005 dimana hasil penelitian
tersebut menyimpulkan bahwa stres dapat mempengaruhi pusat Fungsi
vestibular dalam keadaan sehat maupun sakit baik secara langsung melalui
tindakan glukokortikoid pada saluran ion dan neurotransmisi di otak, atau
secara tidak langsung melalui efek stres yang berhubungan dengan
neuroaktif substansi (misalnya histamin, neurosteroid). Studi sebelumnya
membuktikan bahwa disfungsi vestibular dan gangguan psikologi akan
hidup berdampingan.30
Hasil penelitian ini diperkuat dengan teori yang diungkapkan oleh
seorang mahasiswa dari University of IOWA, yang menyatakan bahwa
stres mental dapat memperburuk vertigo, tetapi tidak dapat menyebabkan
vertigo itu sendiri.9
51

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan
mengenai hubungan antara faktor stres dengan kejadian vertigo pada pasien
vertigo yang berobat ke poliklinik saraf RSUD Raden Mattaher Provinsi Jambi
pada bulan September-Oktober 2018, dapat disimpuljan bahwa:
1. Pasien vertigo yang menjadi responden sebanyak 52 responden terdiri dari
37 responden perempuan (71,2%) dan 15 responden laki-laki (28,8%).
2. Karakteristik pasien vertigo yang menjadi responden paling banyak adalah
pada kategori usia dewasa yaitu sebanyak 23 orang (44,2%) dan juga
kategori usia lansia yaitu sebanyak 23 orang (44,2%).
3. Jenis vertigo yang diderita oleh pasien yang menjadi responden paling
banyak yaitu vertigo perifer sebanyak 43 orang (82,7%) dan paling sedikit
yaitu vertigo sentral dengan responden sebanyak 9 orang (17,3%).
4. Karakteristik tingkat stres pada pasien vertigo yang paling banyak
didapatkan pada penelitian ini adalah tingkat stres berat yaitu sebanyak 18
orang (34,6%), sedangkan paling sedikit yaitu tingkat stres ringan sebanyak
2 orang (3,8%).
5. Pada penelitian ini didapatkan hasil analisis yang menunjukkan bahwa
terdapat hubungan antara faktor stres dengan kejadian vertigo.

5.2 Saran
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dan analisa terhadap hasil
penelitian, peneliti memberikan saran sebagai berikut:
5.2.1 Bagi Pasien
Diharapkan bagi pasien untuk selalu menjaga kestabilan emosional agar
tidak terjadi suatu kondisi yang tidak diharapkan akibat dari faktor stres
yang dialami oleh pasien.
52

5.2.2 Bagi Peneliti Selanjutnya


Disarankan untuk peneliti yang akan menggunakan skripsi tersebut sebagai
bahan referensi dan acuan untuk penelitiannya agar dapat membahas
faktor-faktor lain selain stres yang dapat memicu keadaan vertigo.

5.2.3 Bagi Institusi FKIK Universitas Jambi


Diharapkan penelitian ini dapat meningkatkan dan menambah referensi
serta wawasan mahasiswa mengenai hubungan antara faktor stres dengan
kejadian vertigo sehingga dapat diterapkan pada masyarakat.

5.2.4 Bagi RSUD Raden Mattaher Provinsi Jambi


Disarankan untuk memeriksa kembali nomor rekam medis agar
terdapatnya kesinambungan antara nomor rekam medis yang terdapat pada
list pasien dengan lembar rekam medis yang diberikan oleh ruang rekam
medis.

Anda mungkin juga menyukai

  • Batu Saluran Kemih
    Batu Saluran Kemih
    Dokumen2 halaman
    Batu Saluran Kemih
    Adelya Dwi Asyifa
    Belum ada peringkat
  • Poster Adelya Dwi Asyifah
    Poster Adelya Dwi Asyifah
    Dokumen1 halaman
    Poster Adelya Dwi Asyifah
    Adelya Dwi Asyifa
    Belum ada peringkat
  • MEDIA PENDIDIKAN
    MEDIA PENDIDIKAN
    Dokumen23 halaman
    MEDIA PENDIDIKAN
    Adelya Dwi Asyifa
    Belum ada peringkat
  • Topik 10-11 PDF
    Topik 10-11 PDF
    Dokumen54 halaman
    Topik 10-11 PDF
    AbdulAziz
    Belum ada peringkat
  • Bab 1-5
    Bab 1-5
    Dokumen12 halaman
    Bab 1-5
    Adelya Dwi Asyifa
    Belum ada peringkat
  • Pemeriksaan Saraf Kranial III, IV, dan VI
    Pemeriksaan Saraf Kranial III, IV, dan VI
    Dokumen21 halaman
    Pemeriksaan Saraf Kranial III, IV, dan VI
    Adelya Dwi Asyifa
    Belum ada peringkat
  • 4, D, Diagnosa Banding Disentri
    4, D, Diagnosa Banding Disentri
    Dokumen3 halaman
    4, D, Diagnosa Banding Disentri
    Adelya Dwi Asyifa
    Belum ada peringkat
  • Bells Palsy Neuro
    Bells Palsy Neuro
    Dokumen16 halaman
    Bells Palsy Neuro
    Adelya Dwi Asyifa
    Belum ada peringkat
  • Topik 10-11 PDF
    Topik 10-11 PDF
    Dokumen54 halaman
    Topik 10-11 PDF
    AbdulAziz
    Belum ada peringkat
  • Genitalia Dan Eks. Bawah
    Genitalia Dan Eks. Bawah
    Dokumen2 halaman
    Genitalia Dan Eks. Bawah
    Adelya Dwi Asyifa
    Belum ada peringkat
  • Topik Bahasan
    Topik Bahasan
    Dokumen2 halaman
    Topik Bahasan
    Adelya Dwi Asyifa
    Belum ada peringkat
  • Bab V Revisi
    Bab V Revisi
    Dokumen2 halaman
    Bab V Revisi
    Adelya Dwi Asyifa
    Belum ada peringkat
  • Tetanus
    Tetanus
    Dokumen1 halaman
    Tetanus
    Adelya Dwi Asyifa
    Belum ada peringkat
  • Sepsis dan gagal ginjal
    Sepsis dan gagal ginjal
    Dokumen29 halaman
    Sepsis dan gagal ginjal
    Adelya Dwi Asyifa
    Belum ada peringkat
  • Batu Saluran Kemih
    Batu Saluran Kemih
    Dokumen2 halaman
    Batu Saluran Kemih
    Adelya Dwi Asyifa
    Belum ada peringkat
  • Crs Adelya Dwi Asyifah
    Crs Adelya Dwi Asyifah
    Dokumen24 halaman
    Crs Adelya Dwi Asyifah
    Adelya Dwi Asyifa
    Belum ada peringkat
  • Tetanus
    Tetanus
    Dokumen1 halaman
    Tetanus
    Adelya Dwi Asyifa
    Belum ada peringkat
  • Bab I Revisi
    Bab I Revisi
    Dokumen4 halaman
    Bab I Revisi
    Adelya Dwi Asyifa
    Belum ada peringkat
  • Bab 1-5
    Bab 1-5
    Dokumen52 halaman
    Bab 1-5
    Adelya Dwi Asyifa
    Belum ada peringkat
  • Bab 1-5
    Bab 1-5
    Dokumen12 halaman
    Bab 1-5
    Adelya Dwi Asyifa
    Belum ada peringkat
  • Daftar Pustaka
    Daftar Pustaka
    Dokumen5 halaman
    Daftar Pustaka
    Adelya Dwi Asyifa
    Belum ada peringkat
  • Bab Ii Revisi
    Bab Ii Revisi
    Dokumen31 halaman
    Bab Ii Revisi
    Adelya Dwi Asyifa
    Belum ada peringkat
  • Bab Iv Dan Bab V
    Bab Iv Dan Bab V
    Dokumen11 halaman
    Bab Iv Dan Bab V
    Adelya Dwi Asyifa
    Belum ada peringkat
  • Clinical Science Session (CSS)
    Clinical Science Session (CSS)
    Dokumen28 halaman
    Clinical Science Session (CSS)
    Adelya Dwi Asyifa
    Belum ada peringkat
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen7 halaman
    Bab I
    Adelya Dwi Asyifa
    Belum ada peringkat
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen7 halaman
    Bab I
    Adelya Dwi Asyifa
    Belum ada peringkat
  • Bab Ii
    Bab Ii
    Dokumen51 halaman
    Bab Ii
    Adelya Dwi Asyifa
    Belum ada peringkat
  • ANALISIS STRES DAN VERTIGO
    ANALISIS STRES DAN VERTIGO
    Dokumen7 halaman
    ANALISIS STRES DAN VERTIGO
    Adelya Dwi Asyifa
    Belum ada peringkat
  • Bagan
    Bagan
    Dokumen3 halaman
    Bagan
    Adelya Dwi Asyifa
    Belum ada peringkat