Anda di halaman 1dari 63

BAB I

PENDAHULUAN

Batu di dalam saluran kemih (kalkulus uriner) adalah massa keras seperti
batu yang terbentuk di sepanjang saluran kemih dan bisa menyebabkan nyeri,
perdarahan, penyumbatan aliran kemih atau infeksi. Batu ini bisa terbentuk di
dalam ginjal (batu ginjal), maupun di dalam kandung kemih (batu kandung
kemih). Proses pembentukan batu ini disebut urolitiasis (litiasis renalis,
nefrolitiasis).1
Batu ginjal yang terletak di kaliks selain oleh indikasi umum, perlu
dilakukan tindak bedah bila terdapat hidrokaliks. Batu sering harus dikeluarkan
melalui nefrolitotomi yang tidak gampang karena batu biasanya tersembunyi di
dalam kaliks. Batu pelvis juga perlu dibedah bila menyebabkan hidronefrosis,
infeksi, atau menyebabkan nyeri yang hebat. Pada umumnya, batu pelvis terlebih
lagi yang berbentuk tanduk rusa amat mungkin menyebabkan kerusakan ginjal.
Operasi untuk batu pielum yang sederhana disebut pielolitotomi sedang untuk
bentuk tanduk rusa (staghorn) dengan pielolitotomi yang diperluas (extended
pyelolitotomi).2
Anestesi merupakan suatu peristiwa hilangnya sensasi, perasaan nyeri
bahkan hilangnya kesadaran sehingga memungkinkan dilakukan pembedahan.
Tujuan anestesi yaitu hipnotik, analgesi, dan relaksasi otot. Anestesi dibagi
menjadi 2 kelompok yaitu anestesi lokal dan anestesi umum. Anestesi umum
adalah tindakan menghilangkan rasa nyeri / sakit secara sentral disertai hilangnya
kesadaran dan dapat pulih kembali (reversible).7 Cara pemberian anestesi umum
dapat diberikan dengan cara parenteral, perektal maupun inhalasi. Sebagian besar
obat-obat yang diberikan selama anestesi diekresikan di ginjal. Untuk itu, perlu
pertimbangan khusus dalam memilih obat-obat yang akan diberikan selama
anestesi terutama pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal.

1
BAB II

LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN

Tanggal : 11 April 2019


Nama : Tn.J
Jenis Kelamin : Laki-laki TB/BB/IMT : 157 cm/53 kg/21.5
Umur : 45 tahun Gol Darah :O
Alamat : Rt 12 Olak Kemang
No MR : 915684
Ruangan : Pinang Masak
Diagnosis : Nefrolitiasis Bilateral
Tindakan : Bivalue Nefrolitomi + DJ Stent
MRS : 10 April 2019

B. HASIL KUNJUNGAN PRA ANESTESI


1. ANAMNESA
Keluhan utama:

Nyeri pinggang kanan.

Riwayat perjalanan penyakit :

± Sejak 1 tahun terakhir os sering merasakan nyeri pinggang hilang timbul. ±


Sejak 2 bulan terakhir keluhan nyeri pinggang semakin sering dan aktivitas
sehari-hari menjadi terganggu. BAK nyeri (+), sedikit (-), keruh (-), berpasir (+),
berwarna seperti teh pekat (-), berdarah (-), bernanah (-), BAB biasa. Mual (-),
muntah (-), demam (+) hilang timbul, sesak nafas (-), batuk pilek (-). Os masuk
RS Raden Mattaher melalui poli, dokter menyatakan terdapat batu di ginjal
sebelah kanan, selanjutnya os direncanakan dilakukan tindakan pembedahan
untuk mengeluarkan batu ginjal yang sebelah kanan pada tanggal 11/04/2019.

Riwayat penyakit dahulu:

 Riwayat Operasi : (-)

2
 Riwayat Hipertensi : (+)
 Riwayat Asma : (-)
 Riwayat DM : (-)
 Riwayat Penyakit lain : (-)
Riwayat penyakit keluarga:

Tidak ada yang menderita keluhan serupa

2. PEMERIKSAAN FISIK UMUM

Vital Sign

Keadaan umum: Tampak sakit sedang

Kesadaran : Compos Mentis, GCS 15 (E4 M6 V5)

TD : 120/90 mmHg

Respirasi : 20 x/ menit

Nadi : 120 x/ menit, isi dan tegangan cukup

Suhu : 36,5° C

b. Kepala : Normocephal, jejas (-), benjolan (-), nyeri tekan (-)

c. Mata : Conjungtiva anemis (-/-), Sklera ikterik (-/-), Pupil Isokor, Reflek
Cahaya (+/+)

d. THT : Perdarahan (-), faring hiperemis (-), Tonsil T1-T1, Mallampati 2

e. Leher : JVP 5-2 cmH2O, pembesaran KGB (-), pembesaran tiroid (-)

f. Thorax:

Paru :

- Inspeksi : Simetris kanan kiri, retraksi (-)

- Palpasi : Vocal Fremitus normal, kanan kiri sama

- Perkusi : Sonor di kedua lapangan paru

3
- Auskultasi : Vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)

Jantung :

- Inspeksi : Ictus Cordis tidak terlihat

- Palpasi : Ictus cordis ICS V linea midclavikula sinistra, Thrill tidak


teraba

- Perkusi : Batas jantung normal

- Auskultasi : BJ I/II regular, murmur (-), gallop (-)

g. Abdomen :

- Inspeksi : Datar, sikatriks (-)

- Auskultasi : Bising usus (+) normal

- Palpasi : Supel, nyeri tekan (-), nyeri lepas (-), hepar lien tidak
teraba, Nyeri Ketok CVA -/+

- Perkusi : Timpani

h. Ekstremitas:

- Superior : Akral hangat, sianosis (-/-), edema (-/-)

- Inferior : Akral hangat, sianosis (-/-), edema (-/-)

3. PEMERIKSAAN PENUNJANG

LABORATORIUM
a. Darah rutin (06-04-2019)
WBC : 8,54 x 103/mm3
RBC : 5,16 x 106/mm3
HB : 14,6 g/dl
HT : 43,7 %
PLT : 277 x 103/mm3
CT : 4 menit
BT : 2 menit

4
GDS : 100 mg/dl
b. Fungsi Ginjal (06-04-2019)
Ureum : 27 mg/dl
Kreatinin : 1,2 mg/dl

RADIOLOGI
c. Rontgen-Thorax PA
Kesan: Cor dan pulmo normal
d. USG (06-4-2019)
Kesan: Batu ginjal Bilateral
4. STATUS ASA: 1/2/3/4/5/E

Mallapati : 2

5. PERSIAPAN PRA ANESTESI

 Pasien telah diberikan informed consent


 Puasa 6 jam sebelum operasi
 Pasien dirawat 1 hari sebelum tindakan

C. LAPORAN ANESTESI

Tanggal : 11 April 2019


Operator : dr. Ardiansah, Sp.U
Ahli Anestesi : dr. Panal Hendrik Dolok Saribu, Sp.An

1. Tindakan Anestesi
1. Diagnosa pra bedah : Nefrolitiasis Dextra
2. Tindakan bedah : Bivalue Nefrolitomi + DJ Stent
3. Status fisik ASA : II
4. Jenis anestesi : Anastesi Umum
Metode :Anestesi Umum (Intubasi)
Pramedikasi :
 Ondansentron 8 mg (IV)

5
 Ranitidine 50 mg (IV)
 As. Traneksamat 1g (IV)
 Phetidin (0,5-1 mg/KgBB) = 26,5-53 mg
Induksi : Recofol (Propofol) (2-2,5 mg/KgBB) = 106-132 mg
Pemeliharaan anestesi : O2, N2O, dan Sevofluran
Posisi : Miring lateral kiri
Infus : Ringer Laktat
Status fisik : ASA II
Induksi mulai : 11.45 WIB
Operasi mulai : 12.00 WIB
Operasi selesai : 14.00 WIB
Berat badan pasien : 50 Kg
Durasi operasi : 3 jam
Pasien puasa : 6 jam
Medikasi :
 Fentanyl 100 mcg
 Recofol 150 mg
 Atracurium 40 mg

2. Keadaan Selama Operasi


a. Letak Penderita : Miring lateral kiri
b. Intubasi : Oral, No. Tube : 7,5 Balon
c. Penyulit Intubasi : Tidak ada
d. Lama Anestesi : ± 3 jam
e. Jumlah Cairan
Input :
 RL 4 kolf= 2000ml
 HES 65 % = 500 ml
Output :
 Urine : ± 200 cc
 Perdarahan : ± 200 cc
g. Kebutuhan cairan pasien ini :

6
BB = 53 Kg
 Maintenance (M)
M = 2 cc/kgBB/jam
M = 2 cc x 53
M = 106 cc/jam
 Pengganti Puasa (P)
P=6xM
P = 6 x 106
P = 636 cc
 Stress Operasi (O)
O = BB x 8 (Orasi Besar)
O = 53 x 8 cc
O = 424cc
Kebutuhan cairan selama operasi
Jam I = ½ (636ml) + 106 ml + 424 ml = 848 ml
Jam II = ¼ (636 ml) + 106 ml + 424 ml = 689 ml
Jam III = ¼ (636 ml) + 106 ml + 424 ml = 689 ml
Total cairan: 2226 ml
 EBV = 65 x BB
= 65 x 53
= 3445 cc
 EBL = 20% x EBV
= 20% x 3445cc
= 689cc
4. Monitoring
Jam Tindakan TD Nadi/SpO2 RR Ket

Pasien posisi terlentang di Urin bag telah


120/70
11 : 15 atas tempat tidur pemasangan 70/98 20 dikosongkan
mmhg
elektroda, TD, SpO2

-RL 500 cc
Infuse sudah terpasang dan 130/80 Premedikasi
11 : 30 80/98 18
diberikan premedikasi mmhg (ranitidine 50 mg,
Ondansentron 8 mg)

7
Phetidin: 30 mg
Induksi: Recofol
Anestesi mulai dilakukan 120/70
11 : 45 91/99 19 130mg Atracurium
dengan tindakan intubasi mmhg
30mg urin output: 50
cc

Pasien dimiringkan oprasi 110/68 Rl 500 cc


12 : 00 98/99 17
dimulai mmhg

120/70
12 : 15 100/100 19
mmhg

130/90 Urin output: 100 cc


12 : 30 92/100 18
mmhg

120/90 RL 500 cc
12 : 45 92/100 18
mmhg

120/90
13 : 00 93/100 19
mmhg

130/90 HES 65%


13.15 80/100 18
mmhg

13.30 130/90mmhg 76/100 19 Rl 500cc

Urin output: 150 cc


120/90
13:45 75/100 17
mmhg

14:00 Oprasi selesai 120/90 79/100 19

14.15 Ekstubasi 120/90 80/100 20 Rl 500 cc+


Analgetik
(keterolac 30
mg,tramadol 100
ml) ondansentron
4 mg
14.30 Pasien dipindahkan 110/80 105/100 18 Urin output: 200cc
recovery room

5. Ruang Pemulihan
 Masuk Jam : 14.30 WIB
 Keadaan Umum

8
Kesadaran : Compos mentis
GCS : 15
 Tanda vital
TD : 110/80 mmHg
Nadi : 105 x/menit
RR : 18 x/menit
 Pernafasan : Baik
 Scoring Aldrete:
Aktivitas :2
Pernafasan :2
Warna Kulit :2
Sirkulasi :2
Kesadaran :2
Jumlah : 10
Instruksi Post Operasi:

 Monitoring tanda vital dan perdarahan tiap 15 menit selama 24 jam


 Tirah baring tanpa menggunakan bantal 1x 24 jam
 Boleh minum bertahap
 Puasa sampai sadar penuh, bising usus (+)
 Cek Hb post operasi,
 Terapi selanjutnya disesuaikan dengan dr. Ardiansah, Sp.U
 Bed rest 24 jam
 Inj. Ceftrioaxon 1x 2 gram
 Inj. Ketorolac 3 X 30 mg
 Futrolite 2x1 kolf
 Diet bertahap bila sadar penuh

9
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

4.1 Anatomi dan Fisiologi Ginjal


Traktus urinarius atau yang sering disebut dengan saluran kemih terdiri dari
dua ginjal, dua ureter, satu kandung kemih (vesika urinaria) dan satu uretra.
Sistem urinaria disebut juga sebagai sistem sekretori yaitu sistem organ yang
memproduksi, menyimpan dan mengalirkan urine. Sistem urinaria berperan
penting dalam memelihara homeostasis air dan konsentrasi elektrolit tubuh.1,4
Ginjal manusia berjumlah 2 buah, terletak dipinggang, retroperitoneal.
Secara anatomi, ginjal dibagi menjadi dua bagian, yaitu korteks dan medula
ginjal. Di dalam korteks terdapat berjuta nefron sedangkan di dalam medulla
terdapat banyak duktuli ginjal. Ginjal mempunyai nefron yang tiap tubulus dan
glomerulusnya adalah satu unit. Ukuran ginjal ditentukan oleh sejumlah nefron
yang dimilikinya. Kira – kira terdapat 1,3 juta nefron dalam tiap ginjal manusia.
Terdapat beberapa fungsi ginjal yaitu: 4
a. Menyaring dan membersihkan darah dari zat-zat sisa metabolisme tubuh.
b. Mengeksresikan zat yang jumlahnya berlebihan
c. Reabsorbsi (penyerapan kembali) elektrolit tertentu yang dilakukan oleh bagian
tubulus ginjal
d. Menjaga keseimbanganan asam basa dalam tubuh
e. Menghasilkan zat hormon yang berperan membentuk dan mematangkan sel-sel
darah merah (SDM) di sumsum tulang
f. Hemostasis Ginjal, mengatur pH, konsentrasi ion mineral, dan komposisi air
dalam darah.

10
Gambar 4.1 Anatomi Ginjal dan Nefron
Ginjal mendapat aliran darah dari arteri renalis yang merupakan
percabangan dari aorta abdominalis, sedangkan darah vena dialirkan melalui vena
renalis yang bermuara ke dalam vena cava inferior. Darah yang mengalir ke kedua
ginjal normalnya merupakan 21% dari curah jantung, atau sekitar 1.200
liter/menit. Arteri renalis memasuki ginjal melalui hilum bersama dengan ureter
dan vena renalis kemudian bercabang secara progresif membentuk arteri
interlobaris, arteri arkuata, arteri interlobularis dan arteriol aferen yang menuju ke
kapiler glomerulus. Persarafan ginjal terdiri dari saraf simpatis (setinggi T8-L1)
dan parasimpatis (N.vagus), konduksi nyeri setinggi T10-L1.1
Di dalam glomerulus sejumlah besar cairan dan zat terlarut (kecuali protein
plasma) di filtrasi untuk memulai pembentukan urin. Ginjal memproduksi urine
yang mengandung sisa metabolism, nitrogen dari urea dan asam urat, kelebihan
ion dan beberapa obat-obatan. Urin merupakan larutan kompleks yang terdiri dari
sebagian besar air (96%) air dan sebagian kecil zat terlarut ( 4%) yang dihasilkan
oleh ginjal, disimpan sementara dalam kandung kemih dan dibuang melalui
proses mikturisi Proses pembentukan urin, yaitu : 4
a. Filtrasi (penyaringan) : capsula bowman dari badan malpighi menyaring darah
dalam glomerulus yang mengandung air, garam, gula, urea dan zat bermolekul
besar (protein dan sel darah) sehingga dihasilkan filtrat glomerulus (urin
primer). Di dalam filtrat ini terlarut zat seperti glukosa, asam amino dan garam-
garam.

11
b. Reabsorbsi (penyerapan kembali) : dalam tubulus kontortus proksimal zat
dalam urin primer yang masih berguna akan direabsorbsi yang dihasilkan filtrat
tubulus (urin sekunder) dengan kadar urea yang tinggi.
c. Sekresi (pengeluaran) : dalam tubulus kontortus distal, pembuluh darah
menambahkan zat lain yang tidak digunakan dan terjadi reabsorbsi aktif ion
Na+ dan Cl- dan sekresi H+ dan K+. Selanjutnya akan disalurkan ke tubulus
kolektifus ke pelvis renalis.
4.2 Urolitiasis
4.2.1 Definisi
Batu di dalam saluran kemih (kalkulus uriner) adalah massa keras seperti
batu yang terbentuk di sepanjang saluran kemih dan bisa menyebabkan nyeri,
perdarahan, penyumbatan aliran kemih atau infeksi. Batu ini bisa terbentuk di
dalam ginjal (batu ginjal), maupun di dalam kandung kemih (batu kandung
kemih). Proses pembentukan batu ini disebut urolitiasis (litiasis renalis,
nefrolitiasis) 5,6

4.2.2 Etiologi urolithiasis


Faktor intrinsik itu antara lain adalah :5,6
a. Herediter (keturunan) : penyakit ini diduga diturunkan dari orang tuanya.
b. Umur : penyakit ini paling banyak didapatkan pada usia 30-50 tahun.
c. Jenis Kelamin : jumlah pasien laki-laki 4 kali lebih banyak dibandingkan
dengan pasien perempuan (4:1).
Faktor ekstrinsik diantaranya adalah geografi , iklim dan temperatur, asupan air,
diet, pekerjaan.
4.2.3 Patofisiologi urolithiasis
Secara teoritis, batu dapat terbentuk di seluruh saluran kemih, terutama
pada tempat-tempat yang sering mengalami hambatan aliran urine (stasis urine),
yaitu pada sistem kalises ginjal atau buli-buli. Adanya kelainan bawaan juga
merupakan keadaan-keadaan yang memudahkan terjadinya pembentukan batu1,6.
Batu ginjal terbentuk pada tubuli ginjal, kemudian berada di kaliks ginjal,
pielum, infundibulum, pelvis ginjal dan bahkan bisa mengisi pelvis serta seluruh
kaliks ginjal. Batu yang mengisi pielum dan lebih dari dua kaliks ginjal

12
memberikan gambaran menyerupai tanduk rusa sehinggga disebut batu staghorn.
Kelainan atau obstruksi pada sistem pelvikalises ginjal (penyempitan
infundibulum dan stenosis uteropelvik) akan mempermudah timbulnya batu ginjal.
Beberapa teori pembentukan batu adalah:5,6
1. Teori Nukleasi: Batu terbentuk didalam urine karena adanya inti batu
(nukleus). Partikel-partikel yang berada dalam larutan yang terlewat jenuh
(supersaturated) akan mengendap didalam nukleus itu sehingga akhirnya
membentuk batu. Inti batu dapat berupa kristal atau benda asing di saluran
kemih.
2. Teori Matriks: Matriks organik terdiri atas serum/protein urine
(albumin,globulin dan mukoprotein) merupakan kerangka tempat
diendapkannya kristal-kristal batu.
3. Teori Penghambat Kristalisasi: Urine orang normal mengandung zat-zat
penghambat pembentuk kristal, antara lain magnesium, sitrat, pirofosfat,
mukoprotein dan beberapa peptida. Jika kadar salah satu atau beberapa zat itu
berkurang, akan memudahkan terbentuknya batu didalam saluran kemih.

4.2.4 Diagnosis Urolithiasis


Gambaran klinis pasien dengan urolitiasi :5,6
a. Nyeri; Batu pada traktus urinarius bagian atas seringkali mengakibatkan
nyeri. Karakter nyerinya tergantung pada lokasi. Nyeri kolik renal dan nyeri
renal non-kolik adalah 2 tipe nyeri dari ginjal. Nyeri kolik renal biasanya
disebabkan oleh peregangan pada collecting system of ureter. Sedangkan
nyeri renal non kolik disebabkan distensi pada kapsul renal.
b. Hematuria; Pasien seringkali mengeluh adanya gross hematuria secara
intermitten atau kadang-kadang urin pekat seperti teh (old blood).
c. Infeksi; Infeksi juga berperan dalam menimbulkan nyeri. Bakteri
uropatogenik dapat mengganggu peristaltic ureter melalui produksi
eksotoksin dan endotoksin. Inflamasi local akibat infeksi mengakibatkan
aktivasi kemoreseptor dan membetuk persepsi nyeri local.
d. Demam; Batu pada traktus urinarius yang menimbulkan demam dapat
merupakan kondisi medis emergensi. Tanda klinis sepsis bervariasi

13
termasuk demam, takikardi, hipotensi dan vasodilatasi kutaneus.
Tenderness pada CVA menandakan adanya obstruksi akut pada traktus
urinarius bagian atas. Dapat teraba massa akibat hidronephrosis ginjal.
Pada kondisi ini diperlukan pemasangan retrograde catether (double-J)
atau jika gagal dapat dilakukan nephrostomi.
e. Nausea dan vomitus; Obstruksi pada traktus urinarius bagian atas disertai
dengan nausea dan vomitus. Cairan intravena dibutuhkan untuk
mengembalikan ke kondisi euvolemia5,6.

Pemeriksaan Laboratorium pasien dengan urolitiasis :5,6


 Darah rutin
 Urine rutin (pH, Bj urine, sedimen urine): Menentukan hematuria, leukosituria,
dan kristaluria.
 Kultur urine: Mmenunjukkan adanya pertumbuhan kuman pemecah urea.
 Faal ginjal (Ureum, Creatinin): Bertujuan untuk mencari kemungkinan
penurunan fungsi ginjal dan untuk mempersiapkan pasien menjalani
pemeriksaan foto IVP.
 Kadar elektrolit: Untuk mencari faktor penyebab timbulnya batu saluran kemih
(antara lain kadar kalsium, oksalat, fosfat).
Pemeriksaan Radiologi pasien dengan urolitiasis :
a. BNO: Melihat kemungkinan adanya batu radioopak di saluran kemih.
b. Ultrasonografi (USG): Pemeriksaan ultrasonografi dapat menilai adanya batu
di ginjal atau di buli-buli (yang ditunjukkan sebagai echoic shadow ),
hidronefrosis, pionefrosis, atau adanya pengkerutan ginjal. Dapat menunjukkan
ukuran , bentuk dan posisi batu. Dapat diketahui adanya batu radiolusen dan
dilatasi sistem ductus kolektivus.
c. Intra-Venous Pielografi (IVP): Menilai keadaan anatomi dan fungsi ginjal.
f. CT Scan: Teknik imaging yang paling baik untuk melihat gambaran semua
jenis batu dan juga dapat terlihat lokasi dimana terjadinya obstruksi.
g. Pemeriksaan Renografi: Merupakan alat uji fungsi ginjal manusia dengan
menggunakan teknologi nuklir. Berdasarkan renogram akan memberikan

14
informasi tentang keadaan fungsi ginjal meliputi respons vaskuler, kapasitas
uptake dan kemampuan mengeluarkan perunut.

4.2.5 Penatalaksanaan urolithiasis5,6


a. Konservatif
Batu pada saluran kemih dapat keluar spontan tanpa membutuhkan
intervensi. 40-50 % batu dengan ukuran 4-5mm keluar spontan. Sedangkan batu
ukuran >6mm hanya memiliki kemingkinan 5% keluar spontan.
Terapi medikamentosa ditujukan untuk batu yang ukurannya kurang dari 5
mm, karena diharapkan batu dapat keluar spontan. Terapi yang diberikan untuk
mengurangi rasa nyeri, memperlancar aliran urine dengan pemberian diuretikum
dan minum banyak serta skipping supaya dapat mendorong batu keluar. Untuk
mengurangi rasa nyeri dapat diberikan analgetik atau inhibitor sintesis
prostaglandin (intravena, intramuskular, atau supositoria). Terapi konservatif
hanya diberikan selama 6 minggu.
b. Relief of Obstruction
Pasien dengan batu obstruksi disertai demam dan infeksi merupakan kondisi
emergensi urologi yang membutuhkan drainase. Pielografi retrograde ditujukan
untuk traktus urinarius bagian atas kemudian diikuti dengan pemasangan
retrograde double J ureteral stent.5
c. ESWL (Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy)
Batu dipecah dengan gelombang kejut menjadi fragmen-fragmen kecil
sehingga mudah dikeluarkan melalui saluran kemih.
d. Operatif
Batu ginjal yang terletak di kaliks perlu dilakukan tindak bedah bila terdapat
hidrokaliks. Batu sering harus dikeluarkan melalui nefrolitotomi yang tidak
gampang karena batu biasanya tersembunyi di dalam kaliks. Batu pelvis juga
perlu dibedah bila menyebabkan hidronefrosis, infeksi, atau menyebabkan nyeri
yang hebat. Pada umumnya, batu pelvis terlebih lagi yang berbentuk tanduk rusa
amat mungkin menyebabkan kerusakan ginjal. Operasi untuk batu pielum yang
sederhana disebut pielolitotomi sedang untuk bentuk tanduk rusa (staghorn)
dengan pielolitotomi yang diperluas (extended pyelolithotomy).5

15
Indikasi untuk melakukan tindakan/terapi pada batu saluran kemih adalah
jika batu telah menimbulkan obstruksi dan infeksi. Jika terbentuk batu staghorn
otomatis akan terjadi penyumbatan pelvis renalis bahkan sampai ke kaliks
sehingga pengeluaran batu harus dilakukan segera.s
Pengangkatan seluruh batu merupakan tujuan utama untuk mengeradikasi
organisme penyebab, menggatasi obstruksi, mencegah pertumbuhan batu lebih
lanjut dan infeksi yang menyertainya. Pilihan terapi untuk batu ginjal
1. Simple Pyelolithotomy
Merupakan sebuah tindakan operasi terbuka yang biasanya
dilakukan pada kasus-kasus batu ginjal. Metode ini dilakukan pada
batu stghorn yang belum terbentuk sepenuhnya atau dengan kata
lain semi staghorn yang terletak pada pelvis ekstra renal. Jika
pelvis renalis kecil dan terletak intra renal atau ½ intrarenal dan ½
ekstrarenal maka simple pyelitotomi sulit untuk dilakukan maka
pada kasus ini kita memerlukan tekhnik Extended pyelolithotomi.
Indikasi lain dari simple pyelolitotomi adaalah jika percutaneus
renal surgical atau ESWL tidaak tersedia, dan jika ada komplikasi
dari percutaaneus renal surgical yang telah terjadi sebelumnya
maka metode ini dapat dipertimbangkan untuk dilakukan.intravena
urography diperlukan untuk melihat anatomi dari traktus urinarius
dan fungsi ginjal. Pada saat pembedahan dilakukan pengikatan
pada ureter yang bertujuan untuk mencegah terlepasnya fragmen-
fragmen batu ke ureter selama dilakukannya operasi. Pelvis renalis
dibebaskan dari jaringan lemak pada permukaan posteriornya,
sehingga pelvis renalis dalam keadaan terbuka. Pengankatan batu
dapat dilakukan dengan bantuan jari atau dengan bantuan forcep.
Batu dibawa ke pelvis renalis, diirigasi oleh larutan salin untuk
mengeluarkan fragmen-fragmen kecil yang mungkin masih
tertinggal. Fragmen-fragmen batu yang menetap atau masih
tertinggal dapat membentuk nidus dan terjadi rekuren
2. Extended Pyelolithotomy

16
Merupakan tekhnik yang dapat digunakan untuk
mengangkat batu ginjal yang kompleks pada pelvis renalis dan
yang telah meluas pada beberapa kaliks. Dengan menggunakan
metode pendekataan melalui insisi parenkim ginjal dapat
dihindaari sehingga resiko yang menyebabkan memburuknya
fungsi ginjal postoperasi dapat dikurangi. Kasus-kasus dimana batu
pelvis renalis terletak intrarenal atau jika ukuran batu besar dapat
dilakukan insisi extended pyelolithotomy untuk membantu
mengangkat batu. Tekhnik ini memungkinkan juga untuk
mengangkat batu ginjal yang komplek dan sisa-sisa batu dalam
kaliks yang masih tertinggal mungkin dapat diangkat melalui
nefrektomi radikal.
Pada metode ini ginjal harus termobilisasi secara penuh.
Sebuah vena yang terus berjalan dari bagian posterior facia Gerota
ke bagian posterior dinding abdomen berada pada bagian tengah
ginjal dan vena ini harus teridentifikasi dan dibekukan untuk
menghindari perdarahan. Sebuah metode yang tepat untuk
mendukung ginjal setelah itu ialah didalam sebuah metting sling
(jaring). Jaringan lemak pada pelvis renalis dilepaskan dengan cara
digunting sisanya ditutup ke dinding pelvis renalis. Kemudian
retractor diletakan dibawah parenkim ginjal agar dapat
membebaskan pelvis renalis. Dan harus dilakukan hati-hati agar
tidak mencederai cabang dari arteri renalis. Setelah itu pelvis
renalis dibuka secara transversal. Insisi sebaiknya dibuat agak jauh
dari pelviureteric junction untuk mengurangi resiko devaskularisasi
pada junction yang menyebabkan stenosis. Panjang dan arah insisi
dapat bervariasi sesuai dengan bentuk anatomi intrarenal dan batu
yang ada didalamnya. Kemudian batu diangkat dengan memasukan
curved Mcdonnell’s dissector dibelakang batu untuk membantu
menungkit batu sehingga dapat dikeluarkan.
Merupakan suatu tindakan operasi terbuka (selain
nefrektomi dan anatrophic nephrolithotomy) yang dalam

17
prosedurnya dilakukan insisi pielotomi dengan hooked scalpel.
Insisi apek dilakukan langsung dekat dengan ureteropelvic junction
dimana keuntungan dari tindakan ini adalah batu dapat terpajan
secara maksimal sehingga pada stone free rate berkisar antara 71%-
82% dan jumlah prosedur yang kecil yakni 1,4%. Namun, operasi
terbuka ini memiliki risiko terjadinya komplikasi minor (demam,
perdarahan yang membutuhkan transfusi, ekstravasasi,
pneumonia/atelectasis, ileus paralitik, dll) maupun mayor
(kematian, perdarahan yang memerlukan transfuse berkala, infeksi,
cedera saluran kemih dll). Selain itu, tindakan operasi terbuka
memiliki kerugian yakni, nyeri pascaoperasi, jaringan parut
pascaoperasi, serta lama perawatan dan pemulihan di rumah sakit.

3. Bivalve Pyelolithotomy
Disebut juga anatrophic nefrolitotomi digunakan paada
pasien dengan Staghorn Calculi dimana bagian terbesar daari batu
berada pada caaliceal dan infundibular. Jika terjadi stenosis pada
infundibular tindakan ini merupakan indikasi utama. Indikasi lain
dilakukan tekhnik ini jika pecahan batu tidak dapat dikeluarkan
dengan pendekatan intrasinusal yang diperluas juga pada penderita
yang sebelumnya telah dilakukan pyelolitotomi dan kemudian
menderita btu cetak ginjal.
Setelah ginjal dipaparkan melalui irisan flank biasanya
menggunakan insisi interkostal antra kosta 11 dan 12. Identifikasi
ureter dan diseksi dilanjutkan keatas untuk memparkan pelvis
renalis. Ginjal seluruhnya dimobilisasi dengan menggunakan
diseksi tajam dan tumpul, pasang pita umbilikal mengelilingi ginjal
yang berfungsi sebagai pegangan. Identifikasi arteri renalis dengan
palpasi dan bebaskan dari jaringan sekitarnya untuk memudahkan
bila akan diklem. Identifikasi arteri segmentalis pesterior dan
anterior melalui diseksi lateral sepanjang arteri renalis, berikan
manitol 12.5 mg secara IV, 5 menit sebelum arteri renalis diklem.

18
Dengan pita umbilikal sebagai pegangan, tempatkan suatu kantong
mengelilingi ginjal sebagi tempat meletakkan butiran-butiran es
untuk mendinginkan permukaan (surface cooling) segera ginjal
dibungkus dengan es sampai suhu 10-15oC, biasanya dicapai
dengan pendinginan selama 15 menit. Lakukan insissi longitudinal
pada kapsul ginjal pada permukaan posterior tepat pada garis
Broder yang berjarak kira-kira 0,5 cm posterior dari permukaan
terluas cembung ginjal. Irisan ini tidak dianjurkan melewati
segmen apikal maupun basilar ginjal, tetapi bila dibutuhkan, insisi
dapat diperluas ke masing-masing katup ginjaal sehingga akhirnya
ginjal akan terbelah menjadi dua. Insisi yang tepat pada ginjal
dapat dicapai dengan mngklem arteri segmentalis anterior dan
membiarkan a. Segmentalis poserior tetap terbuka, injeksikan
secara IV 20ml methylene blue, maka segmen posterior tetap
terbukaa, injeksikan secara IV 20 ml methylene blue, maka segmen
posterior dari parenkim ginjal akan berwarna biru sehingga bidang
antara segmen anterior dan posterior mudah diidentifikasi.
Sangatlah penting mencapai kaliks posterior melalui bidang yang
tepat sesuai garis Brodel.
Kapsul ginjal kemudian dibebaskan dari parenkim ginjal
dengan diseksi tumpul kemudian parenkim ginjal dibelah secara
tajam sesuai garis inisisi kapsul ginjal, kaliks posterior yang berisi
batu staghorn diidentifikasi dengan palpasi, kemudian dibuka pada
permukaan anteriornya, insisi kemudian diperlua sampai ke pelvis
renalis, insisi dilanjutkan ke kaliks anterior melalui insisi pada
permukaan posterior dari kaliks anterior, maka berangsur-angsur
seluruh batu staghorn dapat dipaparkan. Sebelum ekstraksi batu,
uretero pelvic jungtion diklem untuk mencegah fragmen-fragmen
batu turun ke ureter. Cuci seluruh medan operasi dengan NaCl
sampai bersih, tempatkan kateter kecil melalui ureter ke vesika
urinaria. Roentgenogram intraoperatif dilakukan untuk menjamin
bahwa semua telah diambil. Fragmen-fregmen batu yang kecil bila

19
ada, dapat diambil dengan nerve hook, dan bila sisa batu terdapat
pada parenkim ginjaal dan dapat dipalpasi, suatu radial nefrotomi
dapat dilakukan. Rekonstruksi internal dari kolekting sistem adalah
bagian yang terpenting pada operasi ini. Bila mungkin lakukan
kalikorafi dengan menjahit tepi-tepi dari kaliks mayor yang
berdekatan secara bersama-sama.
Kemudian dilanjutkan dengan kalikoplasti. Calycoplasti
adalah tindakan untuk memperbesar leher kaliks yang sempit, agar
tidak terjadi sitasisi urin dan mempekecil kemungkinan untuk
timbulnya batu residif pada kaliks tersebut.
Pasang double J stend dengan ujung atas berada pada kaliks
mayor katup bawah ginjal, fiksasi double J stend pada pelvis
renalis dengan jahitan kromik lima nol Lepaskan klem bulldog
beberapa detik untuk identifikasi adanya sumber perdarahan dan
untuk mengetahui hemostasis yang telah dicapai. Nefrostomi
longitudinal ditutup dengan jahitan kromik 4-0 dimulai dengan
jahitan kontinyu pada ujung-ujung dari kolekting sistem sedangkan
bagian sentral dijahit dengan memasang jahitan belum diikat pada
beberapa tempat untuk menjamin aproksimasi yang tepat dari
kolekting sistem kemudian jahitan diikat satu demi satu
Kapsul ginjal ditutup dengan jahitan terputus dengan
menggunakan kromik tiga nol lalu lepaskan klem bulldog dari
a.renalis, kemudian ginjal dihangatkan dengan cairan irigasi,
pasang draine di ruang retroperitonial, lalu luka operasi ditutup
lapis demi lapis
4. PNCL (Percutaneus Nephrolithotomy)
Merupakan cara untuk mengeluarkan batu yang berada
dalam saluran ginjal dengan cara memasukkan alat endoskopi ke
dalam sistem kalises melalaui insisi pada kulit. Secara umum
PCNL memiliki 4 langkah operasi : percutaneus renal access,
dilatasi traktus, fragmentasi batu dan ekstraksi, dan drainase
postrektraksi. Tiap langkah-langkah ini memerlukan ketelitian dan

20
dilakukan secara mendetail, dan dalam beberapa kasus dimana satu
metode ini gagal maka tindakan alternative mungkin diperlukan.
Kontraindikasi absolut untuk dilakukannya PCNL adalah
coagulopathy yang belum dikoreki dan pasien harus menghentikan
konsumsi obat-obatan seperti aspirin, dan antiinflamasi nonsteroid
selama 7-10 hri sebelum operasi. Posisi yang digunakan untuk
PNCL adalah posisi prone atau tengkurap dimana bahu dan siku
difleksikan dann membentuk sudut < 90o serta lutut juga
difleksikan lalu kemudiann bantal yang panjang ditempatkan
secara longitudinal dari bahu sampai pangkal iliaka. Batu
kemudian dikeluarkan atau dipecah terlebih dahulu menjadi
fragmen-fragmen kecil. Tekhnik ini menggunakan tindakan
infasive minimal, PNCL ini diindikassikan untuk batu yang
berukuran lebih dari 2 cm, kira-kira 85% pasien yang diterapi
dengan PNCL akan pulih dalam waktu 3 bulan dan hasil jangka
panjangnya sama dengan operasi terbuka atau open surgery.
5. Kombinasi PCNL dan ESWL
Tindakan ini dilakukan dengan cara pasien terlebih dahulu
diterapi dengan PCNL deulking lalu kemudian diikutii dengan
ESWL (ekstracoporeal shock wave lithotripsi) diamana sisa dari
batu dipecah menjadi fragmen-fragmen kecil sehingga mudah
dikeluarkan melalui saluran kemih. Tidak jarang pecahan-pecahan
batu yang sedang keluar menimbulkan perasaan nyeri kolik dan
hematuri. Prinsip dari ESWL itu sendiri adalah menghasilkan focus
shocked wave berenergi tinggi dimana gelombang yang dihasilkan
iniakan mendeteksi keberadaan batu pada traktus urinarius lalu
kemudian menghancurkannya menjadi fragmen-fragmen kecil.
ESWL diindikasikan untuk terapi batu ginjal yang memiliki
ukuraan < 1,5 – 2 cm. Pemasangan internal stent direkomendasikan
untuk batu yang berukuran > 1,5cm untuk mencegah obstruksi dari
ureter akibat pasase fragmen-fragmen batu yang telah dipecahkan
tadi.

21
4.3 Anestesi Umum (General Anesthesia)
4.3.1 Definisi7
Anestesi merupakan suatu peristiwa hilangnya sensasi, perasaan nyeri
bahkan hilangnya kesadaran sehingga memungkinkan dilakukan pembedahan.
Anestesi umum adalah tindakan menghilangkan rasa nyeri / sakit secara sentral
disertai hilangnya kesadaran dan dapat pulih kembali (reversible). Komponen trias
anestesi ideal terdiri dari hipnotik, analgesi, dan relaksasi otot.
4.3.2 Keuntungan dan Kerugian Anestesia Umum
Tidak semua pasien atau prosedur medis ideal untuk dijalani di bawah
anestisia umum. Semua teknik anastesia harus dapat sewaktu-waktu
dikonversikan menjadi anestesia umum.
Keuntungan anestesia umum
 Pasien tidak sadar, mencegah ansietas pasien selama prosedur medis
berlangsung.
 Efek amnesia meniadakan memori buruk pasien yang didapat akibat
ansietas dan berbagai kejadian intraoperatif yang mungkin memberikan
trauma psikologis.
 Memungkinkan dilakukannya prosedur yang memakan waktu lama.
 Memudahkan kontril penuh ventilasi pasien.
Kerugian anestesia umum
 Sangat mempengaruhi fisiologi. Hampir semua regulasi tubuh menjadi
tumpul dibawah anestesia umum.
 Memerlukan pemantauan yang lebih holostik dan rumit.
 Tidak dapat mendeteksi gangguan SSP, misalnya perubahan kesadaran.
 Risiko komplikasi pascabedah lebih besar.
 Memerlukan persiapan pasien yang lebih lama.

4.3.3 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Anestesi Umum7


a. Faktor Respirasi
Hal-hal yang mempengaruhi tekanan parsial zat anestetika dalam alveolus
adalah:

22
1. Konsentrasi zat anestetika yang diinhalasi; semakin tinggi konsentrasi, semakin
cepat kenaikan tekanan parsial
2. Ventilasi alveolus; semakin tinggi ventilasi, semakin cepat kenaikan tekanan
parsial
b. Faktor Sirkulasi
Saat induksi, konsentrasi zat anestetika dalam darah arterial lebih besar
daripada darah vena. Faktor yang mempengaruhinya adalah:
1. Perubahan tekanan parsial zat anestetika yang jenuh dalam alveolus dan darah
vena. Dalam sirkulasi, sebagian zat anestetika diserap jaringan dan sebagian
kembali melalui vena.
2. Koefisien partisi darah/gas yaitu rasio konsentrasi zat anestetika dalam darah
terhadap konsentrasi dalam gas setelah keduanya dalam keadaan seimbang.
3. Aliran darah, yaitu aliran darah paru dan curah jantung.
c. Faktor Jaringan
1. Perbedaan tekanan parsial obat anestetika antara darah arteri dan jaringan
2. Koefisien partisi jaringan/darah
3. Aliran darah dalam masing-masing 4 kelompok jaringan (jaringan kaya
pembuluh darah/JKPD, kelompok intermediate, lemak, dan jaringan sedikit
pembuluh darah/JSPD)
d. Faktor Zat Anestetika
Potensi dari berbagai macam obat anestetika ditentukan oleh MAC
(Minimal Alveolus Concentration), yaitu konsentrasi terendah zat anestetika
dalam udara alveolus yang mampu mencegah terjadinya tanggapan (respon)
terhadap rangsang rasa sakit. Semakin rendah nilai MAC, semakin poten zat
anestetika tersebut.
e. Faktor Lain
 Ventilasi, semakin besar ventilasi, semakin cepat pendalaman anestesi
 Curah jantung, semakin tinggi curah jantung, semakin lambat induksi dan
pendalaman anestesia
 Suhu, semakin turun suhu, semakin larut zat anestesia sehingga pendalaman
anestesia semakin cepat.

23
4.3.4 Jenis Anestesi Umum
1. Anestesi Inhalasi7,8,9
Anestesi inhalasi merupakan suatu anestesi yang menggunakan inhalan berupa
gas.Obat anestesi inhalasi yang sering digunakan saat ini adalah N2O, halotan,
enfluran, isofluran, desfluran, sevofluran.Agen ini dapat diberikan dan diserap
secara terkontrol dan cepat, karena diserap serta dikeluarkan melalui paru-paru
(alveoli). Mekanisme kerja obat inhalasi ditentukan oleh ambilan paru, difusi
gas dari paru ke darah dan distribusi ke organ. Sedangkan konsentrasi uap obat
anestetik dalam alveoli ditentukan oleh konsentrasi inspirasi, ventilasi alveolar,
koefisien gas darah, curah jantung, dan perfusi.
a. N2O (gas gelak, nitrous oxide, dinitrogen monoxida): Pemberian anestesia
dengan N2O harus disertai O2 minimal 25%.Gas ini bersifat anestesi
lemah, tetapi analgesinya kuat, sehingga sering digunakan untuk
mengurangi nyeri menjelang persalinan. Jarang digunakan sendirian, tetapi
dikombinasi dengan salah satu cairan anestetik lain. Pada akhir anestesia
setelah N2O dihentikan, maka N2O akan cepat keluar mengisi alveoli,
sehingga terjadi pegenceran O2 dan terjadilah hipoksia difusi. Untuk
menghindarinya, berikan O2 100% selama 5-10 menit.
b. Halotan: Pada nafas spontan rumatan anestesia sekitar 1-2 vol % dan pada
nafas kendali sekitar 0,5 – 1 vol % yang tentunya disesuaikan dengan
respon klinis pasien. Halotan menyebbakan vasodilatasi serebral,
meninggikan aliran darah otak yang sulit dikendalikan dengan teknik
anestesia hiperventilasi, sehingga tidak disukai untuk bedah otak.
Kebalikan dari N2O, halotan analgesinya lemah, anestesinya kuat,
sehingga kombinasi keduanya ideal sepanjang tidak ada kontraindikasi.
c. Enfluran: Induksi dan pulih anestesi lebih cepat dibandingkan
halotan.Efek depresi nafas lebih kuat, depresi terhadap sirkulasi lebih kuat,
dan lebih iritatif dibandingkan halotan, tetapi jarang menimbulkan
aritmia.Efek relaksasi terhadap otot lurik lebih baik dibandingkan halotan.
d. Isofluran: Dapat menurunkan laju metabolisme otak terhadap oksigen,
tetapi meninggikan aliran darah otak dan tekanan intrakranial, namun hal
ini dapat dikurangi dengan teknik anestesia hiperventilasi, sehingga

24
banyak digunakan untuk bedah otak. Efek terhadap depresi jantung dan
curah jantung minimal, sehingga digemari untuk anesthesia teknik
hipotensi dan banyak digunakan pada pasien dengan gangguan koroner.
e. Sevofluran: Merupakan halogenasi eter.Induksi dan pulih dari anestesi
lebih cepat dibandingkan dengan isofluran.Baunya tidak menyengat dan
tidak merangsang jalan nafas, sehingga digemari untuk induksi anestesia
inhalasi di samping halotan.Efek terhadap kardiovaskular cukup stabil,
jarang menyebbakan aritmia. Efek terhadap sistem saraf pusat sama seperti
isofluran dan belum ada laporan toksik terhadap hepar. Setelah pemberian
dihentikan sevofluran cepat dikeluarkan oleh badan.Belum ada laporan
yang membahayakan terhadap tubuh manusia.
2. Anestesi Intravena
Anestesi intravena merupakan suatu tindakan pemberian anestesi dengan
memasukkan obat melalui intravena. Keuntungan anestesi intravena lebih
dapat diterima pasien, kurang perasaan klaustrofobik (perasaan akan-akan
wajah ditutupi topeng), tahap tidak sadar yang lebih cepat dan lebih
menyenangkan bagi ahli anestesi.Oleh karena itu, agen intravena dapat
digunakan sendiri untuk menimbulkan anestesi.
Di antara kekurangannya, paling menonjol induksi yang cepat (kadang-
kadang sangat cepat) dan depresi cerebrum yang jelas, seperti terlihat pada
gangguan pernapasan yang mengharuskan digunakannya ventilasi dan
ketidak-stabilan hemodinamik. Agen induksi intravena biasanya digunakan
bersama dengan anestesi inhalasi lain untuk mendapatkan analgesia yang
memadai dan dengan relaksan otot untuk mendapatkan operasi yang optimum.
Pemakaian obat anestetik intravena, dilakukan untuk : induksi anesthesia,
induksi dan pemeliharaan anesthesia bedah singkat, suplementasi hypnosis
pada anesthesia atau tambahan pada anelgesia regional dan sedasi pada
beberapa tindakan medik atau untuk membantu prosedur diagnostik misalnya
tiopental, ketamin dan propofol.
Untuk anestesia intravena total biasanya menggunakan propofol. Anestesi
intravena ideal membutuhkan kriteria yang sulit dicapai oleh hanya satu
macam obat yaitu larut dalam air dan tidak iritasi terhadap jaringan, mula

25
kerja cepat, lama kerja pendek, cepat menghasilkan efek hypnosis,
mempunyai efek analgesia, disertai oleh amnesia pascaanestesia, dampak yang
tidak baik mudah dihilangkan oleh obat antagonisnya, cepat dieliminasi dari
tubuh, tidak atau sedikit mendepresi fungsi respirasi dan kardiovaskuler,
pengaruh farmakokinetik tidak tergantung pada disfungsi organ, tanpa efek
samping (mual muntah), menghasilkan pemulihan yang cepat. Untuk
mencapai tujuan di atas, kita dapat menggunakan kombinasi beberapa obat
atau cara anestesi lain. Kombinasi beberapa obat mungkin akan saling
berpotensi atau efek salah satu obat dapat menutupi pengaruh obat yang lain.
a. Barbiturate: Contohnya pentothal atau sodium thiopenthon ialah obat
anestesi intravena yang bekerja cepat (short acting).9 Bekerja
menghilangkan kesadaran dengan blockade sistem sirkulasi
(perangsangan) di formasio retikularis. Barbiturate menghambat pusat
pernafasan di medula oblongata.Tidal volume menurun dan kecepatan
nafas meninggi dihambat oleh barbiturate tetapi tonus vascular meninggi
dan kebutuhan oksigen badan berkurang, curah jantung sedikit menurun.
Barbiturate tidak menimbulkan sensitisasi jantung terhadap katekolamin.
b. Propofol: Propofol dikemas dalam cairan emulsi lemak berwarna putih
susu bersifat isotonik dengan kepekatan 1% (1 ml=10 mg). Onset cepat,
lama kerja pendek.Efek kerja dicapai dalam 15-45 detik. Efek puncak 1
menit, lama aksi 5-10 menit. Akumulasi minimal, cepat dimetabolisme,
pemulihan cepat. Suntikan intravena sering menyebabkan nyeri, sehingga
beberapa detik sebelumnya dapat diberikan lidokain 1-2 mg/kg
intravena.10Efek hipnotik 1,8 kali pentothal. Depresi jalan nafas lebih
besar dibandingkan pentothal. Efek anti emetik positif. Mekanisme kerja
diduga menghasilkan efek sedatif hipnotik melalui interaksi dengan
GABA (gamma-aminobutyric acid), neurotransmitter inhibitori utama
pada SSP.
Propofol menyebabkan penurunan resistensi vaskuler sistemik dan
juga tekanan darah. Relaksasi otot polos disebabkan oleh inhibisi
simpatik.Efek negative inotropik disebabkan inhibisi uptake kalsium
intraseluler. Tergantung dosis, propofol dapat menyebabkan depresi nafas

26
dan apnoe sementara pada beberapa pasien setelah induksi IV. Pemberian
opioid preoperatif dapat meningkatkan depresi nafas. Dapat menurunkan
volume tidal dan frekuensi nafas serta dilatasi bronkus. Efek pada SSP
dapat menurunkan metabolisme O2 di otak, aliran darah serebral, dan TIK.
Dosis bolus untuk induksi 2-2,5 mg/kg, dosis rumatan untuk
anestesi intravena total 4-12 mg/kg/jam dan dosis sedasi untuk perawatan
intensif 0,2 mg/kg. Pengenceran propofol hanya boleh dengan dekstrose
5%.Pada manula dosis harus dikurangi, pada anak < 3 tahun dan pada
wanita hamil tidak dianjurkan.
c. Ketamin: Derivat fensiklidin yang menghasilkan anestesi disosiatif yang
menyerupai keadaan kataleptik dimana mata pasien tetap terbuka dengan
nistagmus lambat. Pada saat yang sama pasien tidak dapat berkomunikasi,
terjadi amnesia dan analgesia yang sangat baik. Ketamin meningkatkan
tekanan darah sistolik 23% dari baseline, denyut jantung meningkat,
kadang-kadang timbul aritmia, serta menimbulkan hipersekresi. Mula
kerja 30 detik pada IV, 2-4 menit pada IM. Lama kerja pada IV 10-20
menit, tetapi memerlukan waktu 60-90 menit untuk berorientasi penuh.
Waktu paruh 7-11 menit. Kadar plasma tertinggi pada IV 1 menit, pada IM
5 menit.6 Dosis bolus untuk induksi intravena ialah 1-2 mg/kg dan untuk
intramuscular 3-10 mg. Efek analgesik dicapai dengan dosis sub anestetik
0,2-0,5 mg/kg IV. Ketamin dikemas dalam cairan bening kepekatan 1% (1
ml= 10mg), 5% (1 ml = 50 mg) dan 10% (1 ml = 100 mg).
d. Opioid: Opioid (morfin, petidin, fentanil, sufentanil) untuk induksi
diberikan dosis tinggi. Opioid tidak mengganggu kardiovaskular, sehingga
banyak digunakan untuk induksi pasien dengan kelainan jantung. Untuk
anestesia opioid digunakan fentanil dosis induksi 20-50 mg/kg dilanjutkan
dengan dosis rumatan 0,3-1 mg/kg/menit.
e. Benzodiazepin: yang digunakan sebagai anestetik ialah diazepam,
lorazepam, dan midazolam. Benzodiazepine juga digunakan untuk
medikasi pra-anestetik (sebagai neurolepanalgesia) dan untuk mengatasi
konvulsi yang disebabkan oleh anestetik lokal dalam anestetik regional.
Digunakan untuk induksi anesthesia, kelompok obat ini menyebabkan

27
tidur, mengurangi, cemas, dan menimbulkan amnesia anterograd (setelah
pemberian midazolam IM, IV), tetapi tidak berefek analgesic. Efek pada
SSP ini dapat diatasi dengan antagonisnya, flumazenil.
1.) Midazolam: Obat induksi jangka pendek atau premedikasi,
pemeliharaan anestesi, bekerja cepat dan karena transformasi
metaboliknya cepat dan lama kerjanya singkat, bekerja kuat menimbulkan
sedasi dan induksi tidur. Kemasan suntik 1 mg/ml, 5 mg/ml. Mula kerja 30
detik-1 menit IV, 15 menit IM. Efek puncak pada IV 3-5 menit, IM 15-30
menit. Lama kerja 15-80 menit IV/IM. Konsentrasi plasma maksimum
dicapai dalam 30 menit. Midazolam menyebabkan tekanan darah
menurun, lebih rendah dari diazepam, penurunan sistolik maksimal 15%,
yang disebabkan oleh vasodilatasi perifer.Efek depresi pernafasan
minimal.Juga menurunkan metabolisme O2 di otak dan aliran darah ke
otak. Dosis pre medikasi 0,03-0,04 mg/kg IV, sedasi 0,5-5 mg/kg IV,
induksi 0,1-0,4 mg/kgbb IV.
2.) Diazepam: obat yang berkhasiat ansiolitik, sedatif, relaksasi otot,
antikonvulsi dan amnesia..Waktu paruh 20-50 jam, tergantung fungsi
liver. Dibandingkan dengan barbiturate, efek anestesi diazepam kurang
memuaskan karena mula kerjanya lambat dan masa pemulihannya
lama.
Diazepam digunakan untuk berbagai macam intervensi
(menimbulkan sedasi basal sebelum dilakukan pengobatan utama),
meringankan kecemasan, anxietas atau stress akut, dan prosedur seperti
berkurangnya ingatan, juga untuk induksi anestesia terutama pada
penderita dengan penyakit kardiovaskular.Diazepam juga digunakan
untuk medikasi preanestetik dan untuk mengatasi konvulsi.
Menyebabkan tidur dan penurunan kesadaran yang disertai nistagmus
dan bicara lambat, tetapi tidak berefek analgesik.9Dosis premedikasi
10-20 mg IM, induksi 0,3-0,6 mg/kgBB IV. Anak-anak 0,1-0,2
mg/kgBB 1 jam sebelum induksi. Dewasa dan remaja 2-20 mg/kg
IM/IV tergantung indikasi dan beratnya gejala. Kemasan suntik 5

28
mg/ml. Injeksi dilakukan secara lambat ± 0,5-1 ml/menit, karena
pemberian terlalu cepat dapat menimbulkan apnoe.

4.3.5 Macam-Macam Obat Keseimbangan Anestesi


I. Efek Analgesia
Metoda penghilang nyeri, biasanya digunakan golongan opioid untuk nyeri
hebat dan golongan anti inflamasi non steroid (NSAID, nonsteroidal anti
inflammatory drugs) untuk nyeri sedang atau ringan. Metoda menghilangkan
nyeri dapat dengan cara sistemis (oral, rectal, transdermal, sublingual, subkutan,
intramuscular, intravena atau perinfus).
1. Opioid
Opioid ialah semua zat baik sintetik atau natural yang dapat berikatan dengann
reseptor morfin.Mekanisme kerja opioid yakni, reseptor opioid sebenarnya
tersebar luas di seluruh jaringan sistem saraf pusat, tetapi lebih terkonsentrasi di
otak tengah yaitu di sistem limbic, thalamus, hipotalamus, korpus striatum, sistem
aktivasi reticular dan di korda spinalis yaitu di substansia gelatinosa dan dijumpai
pula di pleksus saraf usus. Dalam klinik opioid digolongkan menjadi lemah
(kodein) dan kuat (morfin), tetapi penggolongan ini kurang popular.Penggolongan
lain menjadi natural (morfin, kodein, papaverin, dan tebain), semisintetik (heroin,
dihidromorfin/morfinon, derivate tebain) dan sintetik (petidin, fentanil, alfentanil,
sufentanil dan remifentanil).
a. Morfin: Morfin paling mudah larut dalam air dibandingkan golongan opioid
lain dan kerja analgesinya cukup panjang (long acting).
b. Petidin: Petidin (meperidin, demerol) adalah zat sintetik yang formulanya
sangat berbeda dengan morfin, tetapi mempunyai efek klinik dan efek samping
yang mendekati sama. Perbedaannya dengan morfin sebagai berikut:
1. Petidin lebih larut dalam lemak, morfin lebih larut dalam air.
2. Metabolisme oleh hepar lebih cepat dan menghasilkan normeperidin, asam
meperidinat dan asam normeperidinat. Normeperidin ialah metabolit yang
masih aktif memiliki sifat konvulsi dua kali lipat petidin, tetapi efek
analgesinya sudah berkurang 50%. Kurang dari 10% petidin bentuk asli
ditemukan dalam urin.

29
3. Petidin bersifat seperti atropine menyebabkan kekeringan mulut, kekaburan
pandangan dan takikardia.
4. Seperti morfin ia menyebabkan konstipasi, tetapi efek terhadap sfingter Oddi
lebih ringan.
5. Petidin cukup efektif untuk menghilangkan gemetaran pasca bedah yang tak
ada hubungannya dengan hipotermi dengan dosis 20-25 mg iv pada dewasa,
Morfin tidak.
6. Lama kerja petidin lebih pendek dibandingkan morfin. Dosis petidin
intramuscular 1-2 mg/kgBB (morfin 10 x lebih kuat) dapat diulang tiap 3-4
jam. Dosis intravena 0,2-0,5 mg/kgBB. Petidin subkutan tidak dianjurkan
karena iritasi.Rumus bangun menyerupai lidokain, sehingga dapat
digunakan untuk analgesia spinal pada pembedahan dengan dosis 1-2 mg/kg
BB.
c. Fentanil: Fentanil ialah zat sintetik seperti petidin dengan kekuatan 100 x
morfin. Lebih larut dalam lemak dibandingkan petidin dan menembus sawar
jaringan dengan mudah. Setelah suntikan intravena ambilan dan distribusinya
secara kualitatif hamper sama dengan morfin, tetapi fraksi terbesar dirusak
paru ketika pertama melewatinya. Dimetabolisiir oleh hati dengan N-dealkilasi
dan hidroksilasi dan sisa metabolismenya dikeluarkan lewat urin.Efek depresi
napasnya lebih lama disbanding efek analgesinya. Dosis 1-3 ug/kgBB
analgesinya kira-kira hanya berlangsung 30 menit, karena itu hanya
dipergunakan untuk anestesi pembedahan dan tidak untuk pasca bedah.Dosis
besar 50-15- ug/kgBB digunakan untuk induksi anesthesia dan pemeliharaan
anesthesia dengan kombinasi bensodiasepin dan anestetik kekakuan otot
punggung yang sebenarnya dapat dicegah dengan pelumpuh otot.
d. Sufentanil: Sifat sufentanil kira-kira sama dengan fentanil. Efek pulihnya lebih
cepat dari fentanil.Kekuatan analgesinya kira-kira 5-10 kali fentanil. Dosisnya
0,1-0,3 mg/kgBB.
e. Alfentanil: Kekuatan analgesinya 1/5-1/3 fentanil.Insiden mual-muntahnya
sangat besar.Mula kerjanya cepat.Dosis analegesinya 10-20 ug/kgBB.

30
f. Tramadol: Analgetik sentral dengan afinitas rendah pada reseptor mu dan
kelamahan analgesinya 10-20% disbanding morfin. Tramadol dapat diberikan
dengan dosis maksimal 400 mg per hari.

II. Efek Relaksasi Otot


Relaksasi otot lurik dapat dicapai dengan mendalamkan anesthesia umum
inhalasi, melakukan blockade saraf regional dan memberikan pelumpuh
otot.Pendalaman anesthesia beresiko depresi napas dan depresi jantung, blockade
saraf terbatas penggunaannya.Anesthesia tidak perlu dalam, hanya sekedar supaya
tidak sadar, analgesinya dapat diberikan opioid dosis tinggi dan otot lurik dapat
relaksasi akibat pemberian pelumpuh otot.
Setiap serabut saraf motorik mensarafi beberapa serabut otot lurik dan
sambungan ujung saraf dengan otot lurik disebut sambungan saraf-otot.Pelumpuh
otot disebut juga sebagai obat blockadeneuro-muskular.Akibat rangsang terjadi
depolarisasi pada terminal saraf.Influks ion kalsium memicu keluarnya asetil-
kolin sebagai transmitter saraf. Asetilkolin saraf akan menyeberang dan melekat
pada reseptor nikotinik-kolinergik di otot. Kalau jumlahnya cukup banyak, maka
akan terjadi depolarisasi dan lorong ion tebuka, ion natrium, dan kalsium masuk
dan ion kalium keluar, terjadilah kontraksi otot. Asetilkolin cepat dihidrolisa oleh
asetilkolin-esterase (kolin-esterase khusus atau murni) menjadi asetil dan kolin,
sehingga lorong tertutup kembali terjadilah repolarisasi.
a) Pelumpuh Otot Depolarisasi
Pelumpuh otot depolarisasi (nonkompetitif, leptokurare) bekerja seperti
asetil-kolin, tetapi di celah saraf otot tak dirusak oleh kolinesterase, sehingga
cukup lama berada di celah sinaptik, sehingga terjadilah depolarisasi ditandai oleh
fasikulasi yang disusul relaksasi otot lurik.Termasuk golongan pelumpuh otot
depolarisasi ialah suksinil-kolin (diasetil-kolin) dan dekametonium.
Di dalam vena suksinil-kolin dimetabolisir oleh kolin-esterase-plasma,
pseudo-kolin-esterase, menjadi suksinil-monokolin. Obat anti kolinesterase
(prostigmin) dikontraindikasikan, karena menghambat kerja pseudokolinesterase.
Dampak samping suksini ialah (1) nyeri otot pasca pemberian, dapat dikurangi
dengan memberikan pelumpuh otot nondepolarisasi dosis kecil sebelumnya.Dapat

31
terjadi mialgia sampai 90%, dan mioglobinuria, (2) peningkatan tekanan
intraocular akibat kontraksi otot mata eksternal dan dapat dicegah seperti nyeri
otot, (3) Penigkatan tekanan intracranial, (4) peningkatan tekanan intragastrik, (5)
peningkatan kadar kalium plasma, (6) aritmia jantung berupa bradikardi atau
‘ventricular premature beat’, (7) Salivasi akibat efek muskarinik, (8) alergi,
anafilaksis akibat efek muskarinik.

b) Pelumpuh Otot Non-Depolarisasi


Pelumpuh otot nondepolarisasi (inhibitor kompetitif, takikurare) berikatan
dengan reseptor nikotinik-kolinergik, tak menyebabkan depolarisasi, hanya
menghalangi asetil-kolin, sehingga asetilkolin tak dapat bekerja. Berdasarkan
susunan molekul, maka pelumpuh otot nondepolarisasi digolongkan menjadi :
1. Bensiliso-kuinolinum: d-tubokurarin, metokurin, atrakurium, doksakurium,
mivakurium.
2. Steroid: pankuronium, vekuronium, pipekuronium, ropakuronium,
rokuronium.
3. Eter-fenolik: gallamin.
4. Nortoksiferin : alkuronium.
Berdasarkan lama kerja, pelumpuh otot non-depolarisasi dibagi menjadi
kerja panjang, sedang, dan pendek. Gallamin ada yang memasukkan sebagai
panjang yang lainnya kerja sedang.
Pilihan pelumpuh otot:
1. Gangguan faal ginjal : atrakurium, vekuronium
2. Gangguan faal hati : atrakurium
3. Miasternia gravis : jika dibutuhkan dosis 1/10 atrakurium
4. Bedah singkat : atrakurium, rokuronium, mivakuronium
5. Kasus obstetri : semua dapat digunakan, kecuali gallamin
Tanda-tanda kekurangan pelumpuh otot
1. Cegukan (hiccup).
2. Dinding perut kaku.
3. Ada tahanan pada inflasi paru.

32
Penawar Pelumpuh Otot
Penawar pelumpuh otot atau antikolinesterase bekerja pada sambungan
saraf-otot mencegah asetilkolin-esterase bekerja, sehingga asetilkolin dapat
bekerja.Asetilkolinesterase yang paling sering digunakan ialah neostigmine
(prostigmin), piridostigmin dan edrophonium.Physostigmine (eserin) hanya untuk
penggunaan per-oral. Dosis neostigmin 0,04-0,08 mg/kg, piridostigmin 0,1-0,4
mg/kg, edrophonium 0,5-1,0 mg/kg dan fisostigmin 0,01-0,03 mg/kg. penawar
pelumpuh otot bersifat muskarinik menyebabkan hipersalifasi, keringatan,
bradikardia, kejang bronnkus, hipermotilitas usus, dan pandangan kabur, sehingga
pemberiannya harus disertai oleh obat vagolitik seperti atropine dosis 0,01-0,02
mg/kg atau glikopirolat 0,005-0,01 mg/kg sampai 0,2-0,3 mg pada dewasa.

4.3.6 Rumatan Anestesia


Rumatan anestesi adalah menjaga tingkat kedalaman anestesi dengan cara
mengatur konsentrasi obat anestesi di dalam tubuh pasien. Jika konsentrasi obat
tinggi maka akan dihasilkan anestesi yang dalam, sebaliknya jika konsentrasi obat
rendah, maka akan didapat anestesi yang dangkal. Anestesi yang ideal adalah
anestesi yang adekuat.Untuk itu diperlukan pemantauan secara ketat terhadap
indikator-indikator kedalaman anestesi.
Rumatan anesthesia (maintenance) dapat dikerjakan dengan secara
intravena (anesthesia intravena total) atau dengan inhalasi atau dengan campuran
intravena inhalasi. Rumatan anesthesia biasanya mengacu pada trias anesthesia
yaitu tidur ringan (hipnosis) sekedar tidak sadar, analgesia cukup, diusahakan agar
pasien selama dibedah tidak menimbulkan nyeri dan relaksasi otot lurik yang
cukup.Rumatan intravena misalnya dengan menggunakan opioid dosis tinggi,
fentanil 10-50 ug/kgBB. Rumatan intravena dapat juga menggunakan opioid dosis
biasa, tetapi pasien ditidurkan dengan infuse propofol 4-12 mg/kgBB/jam. Bedah
lama dengan anesthesia total intravena menggunakan opioid, pelumpuh otot dan
ventilator. Untuk mengembangkan paru digunakan inhalasi dengan udara+O2 atau
N20+O2.
Rumatan inhalasi biasanya menggunakan campuran N2O dan O2 3:1
ditambah halotan 0,5-2 vol% atau enfluran 2-4 vol% atau isofluran 2-4 vol% atau

33
sovofluran 2-4 vol% bergantung apakah pasien bernapas spontan, dibantu
(assisted) atau dikendalikan (controlled).

4.3.7 Stadium-Stadium Anestesia2


Stadium anestesi dibuat berdasarkan efek ether. Ether merupakan zat
volatil yang poten dan digunakn luas pada jamannya. Klasifikasi Guedel dibuat
oleh Arthur Ernest Guedel pada tahun 1937, meliputi:
1. Stadium 1
Disebut juga stadium induksi, merupakan periode sejak masuknya obat
induksi hingga hilangnya kesadaran yang ditandai dengan hilangnya refleks
bulu mata.
2. Stadium 2
Disbut stadium eksitasi.Setelah kesadaran hilang, timbul eksitasi dan
delirium.Pernafasan menjadi iregular, dapat terjadi pasien menahan
nafas.Terjadi REM. Timbul gerakan-gerakan involunter, seringkali
spastik.Pasien juga dapat muntah dan dapat membahayakan jalan nafas.Pada
stadium ini aritmia jantung dapat terjadi.Pupil dilatasi sebagai tanda
peningkatan tonus simpatis.
3. Stadium 3
Disebut juga stadium pembedahan, dibagi atas:
 Plana 1 : mata berputar, kemudian terfiksasi
 Plana 2 : refleks kornea dan refleks laring hilang
 Plana 3 : dilatasi pupil, refleks chaya hilang
 Plana 4 : kelumpuhan otot interkostal, pernafasn abdominal dan dangkal
4. Stadium 4
Merupakan stadium overdosis obat anestetik.Anestesia menjadi terlalu
dalam.Terjadi depresi berat semua sistem tubuh, termasuk batang
otak.Stadium ini letal.

4.3.8 Prosedur Anestesi Umum


a. Persiapan pra anestesi umum

34
Pasien yang akan menjalani anestesi dan pembedahan baik elektif maupun
darurat harus dipersiapkan dengan baik karena keberhasilan anestesi dan
pembedahan sangat dipengaruhi oleh persiapan pra anestesi. Kunjungan pra
anestesi pada bedah elektif umumnya dilakukan 1-2 hari sebelumnya, sedangkan
pada bedah darurat waktu yang tersedia lebih singkat.
Tujuan kunjungan pra anestesi:
- Mempersiapkan mental dan fisik pasien secara optimal dengan melakukan
anamnesis, pemeriksaan fisik, laboratorium, dan pemeriksaan lain.
- Merencanakan dan memilih teknik serta obat-obat anestesi yang sesuai
keadaan fisik dan kehendak pasien. Dengan demikian, komplikasi yang
mungkin terjadi dapat ditekan seminimal mungkin.
- Menentukan klasifikasi yang sesuai dengan hasil pemeriksaan fisik, dalam hal
ini dipakai klasifikasi ASA (American Society of Anesthesiology) sebagai
gambaran prognosis pasien secara umum.
b. Persiapan pasien
Anamnesis
Anamnesis dapat diperoleh dari pasien sendiri (autoanamnesis) atau melalui
keluarga pasien (alloanamnesis). Dengan cara ini kita dapat mengadakan
pendekatan psikologis serta berkenalan dengan pasien. Yang harus diperhatikan
pada anamnesis:
- Identifikasi pasien, missal: nama, umur, alamat, pekerjaan, dll.
- Riwayat penyakit yang pernah atau sedang diderita yang mungkin dapat
menjadi penyulit dalam anestesi, antara lain: penyakit alergi, diabetes mellitus,
penyakit paru-paru kronik (asma bronchial, pneumonia, bronchitis), penyakit
jantung dan hipertensi (infark miokard, angina pectoris, dekompensasi kordis),
penyakit hati, dan penyakit ginjal.
- Riwayat obat-obat yang sedang atau telah digunakan dan mungkin
menimbulkan interaksi dengan obat-obat anestetik. Misalnya kortikosteroid,
obat antihipertensi, obat-obat antidiabetik, antibiotika golongan
aminoglikosida, obat penyakit jantung seperti digitalis, diuretika, obat anti
alergi, tranquilizer, monoamino oxidase inhibitor, bronkodilator.

35
- Riwayat operasi dan anestesi yang pernah dialami diwaktu yang lalu, berapa
kali, dan selang waktunya. Apakah pasien mengalami komplikasi saat itu
seperti kesulitan pulih sadar, perawatan intensif pasca bedah.
- Kebiasaan buruk sehari-hari yang mungkin dapat mempengaruhi jalannya
anestesi seperti: merokok dan alkohol.

Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik dilakukan pemeriksaan keadaan gigi-geligi, tindakan
buka mulut, lidah relative besar sangat penting untuk diketahui apakah akan
menyulitkan tindakan laringoskopi intubasi. Leher pendek dan kaku juga akan
menyulitkan laringoskopi intubasi. Pemeriksaan rutin lain secara sistematik
tentang keadaan umum tentu tidak boleh dilewatkan.

Pemeriksaan laboratorium
Uji laboratorium hendaknya atas indikasi yang tepat sesuai dengan dugaan
penyakit yang sedang dicurigai. Banyak fasilitas kesehatan yang mengharuskan
uji laboratorium secara rutin walaupun pada pasien sehat untuk bedah minor,
misalnya pemeriksaan darah kecil (Hb, lekosit, masa perdarahan dan masa
pembekuan) dan urinalisis. Pada usia pasien > 50 tahun anjuran pemeriksaan EKG
dan foto toraks. Setelah dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan laboratorium, dibuat rencana obat dan teknik anestesi yang akan
digunakan.

a. Masukan oral
Refleks laring mengalami penurunan selama anesthesia. Regurgitasi isi
lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan napas merupakan risiko utama
pada pasien-pasien yang menjalani anesthesia. Untuk meminimalkan risiko
tersebut, semua pasien yang dijadwalkan untuk operasi elektif dengan anestesia
harus dipantangkan dari masukan oral (puasa) selama periode tertentu sebelum
induksi anestesia. Pada pasien dewasa umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6
jam dan pada bayi 3-4 jam. Makanan tak berlemak diperbolehkan 5 jam sebelum
induksi anesthesia. Minuman bening, air putih, the manis sampai 3 jam dan untuk

36
keperluan minum obat air putih dalam jumlah terbatas boleh 1 jam sebelum
induksi anesthesia.
b. Klasifikasi status fisik
Berdasarkan status fisik pasien pra anestesi, ASA (TheAmerican Society of
Anesthesiologists) membuat klasifikasi yang membagi pasien kedalam 5
kelompok atau kategori sebagai berikut:
 ASA I : Pasien sehat organik, fisiologik, psikiatrik, biokimia.
 ASA II : Pasien dengan penyakit sistemik ringan atau sedang.
 ASA III : Pasien dengan penyakit sistemik berat, sehingga aktivitas rutin
terbatas.
 ASA IV : Pasien dengan penyakit sistemik berat tak dapat melakukan aktivitas
rutin dan penyakitnya merupakan ancaman kehidupannya setiap saat.
 ASA V : Pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa pembedahan
hidupnya tidak akan lebih dari 24 jam.
c. Klasifikasi Mallapati
Kesulitan memasukkan pipa trakea berhubungan dengan variasi anatomi yang
dijumpai. Klasifikasi tampakan faring pada saat mulut terbuka masimal dan lidah
dijulurkan maksimal menurut Mallampati dibagi menjadi empat kelas. Sedangkan
menurut Cormack dan Lehanne kesulitan intubasi juga dibagi menjadi 4 gradasi.

Gambar 4.2 Mallampati Classification and Cormack-Lehanne


Classification

37
d. Premedikasi10
Premedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anesthesia dengan
tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anesthesia
diantaranya
-Meredakan kecemasan dan ketakutan
-Memperlancar induksi anesthesia
-Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus
-Meminimalkan jumlah obat anestetik
-Mengurangi mual muntah pasca bedah
-Menciptakan amnesia
-Mengurangi isi cairan lambung
-Mengurangi refleks yang membahayakan
Kecemasan merupakan reaksi alami, jika seorang dihadapkan pada situasi
yang tidak pasti. Membina hubungan baik dengan pasien dapat membangun
kepercayaan dan menenteramkan pasien. Obat pereda kecemasan bisa digunakan
diazepam peroral 10-15 mg beberapa jam sebelum induksi anestesia. Jika disertai
nyeri karena penyakitnya, dapat diberikan opioid misalnya petidin 50 mg
intramuskular.
Cairan lambung 25 ml dengan pH 2,5 dapat menyebabkan pneumonitis
asam. Untuk meminimalkan kejadian diatas dapat diberikan antagonis reseptor H2
histamin misalnya oral simetidin 600 mg atau oral ranitidin (zantac) 150 mg 1-2
jam sebelum jadwal operasi.
Untuk mengurangi mual muntah pasca bedah sering ditambahkan
premedikasi suntikan intramuscular untuk dewasa droperidol 2,5-5 mg atau
ondansentron 2-4 mg (zofran, narfoz).

e. Persiapan peralatan anestesi


Tindakan anestesi yang aman tidak terlepas dari kelengkapan peralatan
anestesi yang baik. Baik tidak berarti harus canggih dan mahal, tetapi lebih berarti
berfungsi, sesuai dengan tujuan kita memberi anesthesia yang lancer dan aman.
Untuk persiapan anestesi sebaiknya kita ingat kata STATICS:
 Scope : Laringoscope dan Stetoscope

38
 Tubes : Pipa trakea yang dipilih sesuai usia
 Airway: Orotracheal airway, untuk menahan lidah pasien
saat pasien tidak sadar, untuk menjaga agar lidah
tidak menutup jalan nafas.
 Tape : Plaster untuk memfiksasi orotracheal airway.
 Introducer: Mandrain atau stilet dari kawat untuk memandu
agar pipa trakea mudah untuk dimasukkan
 Conector : Penyambung antara pipa dan alat anesthesia
 Suction : Penyedot lendir.

k. Teknik Anestesi Umum


1. Sungkup Muka (Face Mask) dengan napas spontan
Indikasi :
 Tindakan singkat ( ½ - 1 jam)
 Keadaan umum baik (ASA I – II)
 Lambung harus kosong
Prosedur :
 Siapkan peralatan dan kelengkapan obat anestetik
 Pasang infuse (untuk memasukan obat anestesi)
 Premedikasi + / - (apabila pasien tidak tenang bisa diberikan obat
penenang) efek sedasi/anti-anxiety :benzodiazepine; analgesia: opioid, non
opioid, dll
 Induksi
 Pemeliharaan
2. Intubasi Endotrakeal dengan napas spontan
Intubasi endotrakea adalah memasukkan pipa (tube) endotrakea (ET=
endotrakeal tube) kedalam trakea via oral atau nasal. Indikasi:
 Operasi lama
 Sulit mempertahankan airway (operasi di bagian leher dan kepala)
Prosedur :
 Sama dengan diatas, hanya ada tambahan obat (pelumpuh otot/suksinil
dgn durasi singkat)

39
 Intubasi setelah induksi dan suksinil
 Pemeliharaan
3. Intubasi Endotrakeal dengan napas kendali (kontrol)
Pasien sengaja dilumpuhkan/benar2 tidak bisa bernafas dan pasien
dikontrol pernafasanya dengan kita memberikan ventilasi 12 - 20 x permenit.
Setelah operasi selesai pasien dipancing dan akhirnya bisa nafas spontan
kemudian kita akhiri efek anestesinya. Indikasi:
 Menjaga patensi jalan napas oleh sebab apapun; kelainan anatomi, bedah
khusus, bedah posisi khusus, pembersihan secret jalan napas, dan lainnya.
 Mempermudah ventilasi positif dan oksigenasi; saat resusitasi,
memungkinkan penggunaan relaksan dengan efisien, ventilasi jangka
panjang.
 Pencegahan terhadap aspirasi dan regurgitasi.
 Teknik sama dengan diatas
 Obat pelumpuh otot non depolar (durasinya lama)
 Pemeliharaan, obat pelumpuh otot dapat diulang pemberiannya.

f. Pemantauan dan Pencatatan


Selama operasi, pemantauan ditujukan untuk menjaga keselamatan pasien.
Semua perubahan selama anestesi dicatat dalam rekam medis anestesi.Tanda-
tanda vital dicatat dalam interval waktu tertentu, demikian juga obat-obat yang
digunakan, dosis, waktu pemberian.Jumlah dan jenis cairan yang diberikan juga
dicatat.Transfusi produk darah, jika ada dicatat jenis dan jumlahnya. Produksi urin
pun diamati dan dicatat.

4.3.9 Mempertahankan Anestesi Dan Pengakhiran Anestesi


I. Mempertahankan Anestesi
 Pemantauan yang minimal harus dilakukan selama operasi: EKG,
pengukuran tekanan darah yang tidak invasive, oksimetri nadi,
kapnometri, gas napas, pengukuran gas anestesi.
 Pertahankan anestesi sehingga tercapai keseimbangan anestesi, dengan
opioid (misalnya, remifentanil 0,2-0,3 ug/kg/menit) dan gas anestesi

40
(misalnya 0,5 MAC Desfluran) atau sebagai anestesi intravena total
(TIVA) dengan opioid dan propofol.
 Segera rencanakan terapi nyeri pasca-operasi, bila perlu, pemberian
analgetik non-steroid (misalnya 30 mg/kg metamizol) dan pemberian
opioid kerja lama (misalnya 0,1 mg/kg piritramid).
 Tanda-tanda klinis untuk kedalaman anestesi yang tidak memadai :
1. Peningkatan tekanan darah.
2. Peningkatan frekuensi denyut jantung.
3. Pasien mengunyah/menelan dan menyeringai.
4. Terdapat pergerakan.
5. Berkeringat.

4.3.10 Pengakhiran Anestesia


 Pengakhiran pemberian anesthesia dilakukan sesaat sebelum operasi
berakhir (pada penggunaan remifentanil, anestesi baru diakhiri setelah
kulit dijahit).
 FiO2 100% dipasang selama beberapa menit sebelum rencana ekstubasi.
 Penyedotan secret yang terkumpul di dalam mulut dan faring.
 Ekstubasi, bila pernapasan spontan mencukupi dan reflex perlindungan
telah kembali (antagonisasi dari relaksasi otot).
 Pasien yang stabil secara hemodinamik dan respiratorik diletakkan di
dalam ruangan pasca-bedah.
4.4 Anestesia untuk Pembedahan Ginjal
a. Intra Operatif
Anestesi umum biasanya digunakan untuk operasi ginjal terbuka
atau laparoskopi. Karena posisi pasien dan peningkatan tekanan intra-
abdominal yang terkait dengan operasi laparoskopi, intubasi endotrakeal
dianjurkan. Induksi anestesi mungkin dengan agen intravena atau inhalasi,
dan induksi cepat harus dilakukan pada mereka yang memiliki neuropati
otonom. Pemeliharaan harus dengan agen inhalasi, sebaiknya halotan,
isofluran atau desfluran. Atracurium adalah relaksan otot non-
depolarisasi pilihan pada mereka dengan gangguan fungsi ginjal. Akses

41
intravena dengan ukuran aboccath besar adalah wajib karena risiko
perdarahan.

b. Obat-obat Anestesi
Premedikasi
1. Barbiturat: Kini barbiturat jarang digunakan, kecuali phenobarbital
yang masih dipakai pada pasien epilepsi anak dan dewasa, 24%
phenobarbital dieksresi dalam urin tanpa mengalami perubahan.
2. Belladonna Alkaloids: 20-50% dosis atrofin ditemukan tanpa
mengalami perubahan di urin atau dalam bentuk metabolit aktif. Hal
yang sama juga ditemukan pada glycopyrrolat. Sehingga dapat terjadi
akumulasi obat-obat tersebut pada pasien dengan gagal ginjal, pada
dosis tunggal tidak menyebabkan masalah klinis. Skompolamin hanya
1/10 yang ditemukan dalam urin dalam bentuk atrofin. Sebagai
premedikasi skopolamin memuaskan untuk pasien gagal ginjal.
3. Senyawa Phenothiazin dan Benzodiazepin: Phenothiazin dan
derivat benzodiazepine dimetabolime di hepar sebelum dieksresi.
Sehingga, setiap peningkatan nyata durasi atau intensitas aksinya yang
berhubungan dengan pemberian adalah karena efek sistemik umum
daripada efek spesifik obat tersebut. Kerugian dari derivat phenotiazin
adalah blokade alpha adrenergik, sehingga dapat menyebabkan
ketidakstabilan kardiovaskular pada pasien yang baru menjalani
dialisa yaitu terjadi hipovolemi.
4. Opioid: Ikatan protein dengan morfin menurun sekitar 10% pada
gagal ginjal. Morfin hampir seluruhnya dimetabolisme dihepar
menjadi bentuk inaktif yaitu glukoronida, yang diekstresikan lewat
urin. Sehingga pemberian pada pasien dengan gagal ginjal terutama
pada dosis analgesia tidak menyebabkan depresi yang memanjang.
Meskipun demikian, terdapat laporan depresi respirasi dan
kardiovaskular pada pasien dengan gagal ginjal pada pemberian
morfin dosis tunggal 8 mg. Distribusi, ikatan protein dan eksresi
meperidin mirip dengan morfin. Akumulasi metabolit normeperidin

42
dapat menghasilkan efek eksitasi sistem syaraf pusat yaitu terjadinya
konvulsi. Fentanyl juga dimetabolisme dihepar, hanya 7 % dieksresi
tanpa mengalami perubahan di urine. Ikatan dengan protein plasma
moderat (fraksi bebas, 19%) dan volume distribusinya besar. Sehingga
fentanyl cocok untuk premedikasi pada pasien dengan gagal ginjal.
Induksi
1. Obat-obat anastesi inhalasi: Semua obat anestesi inhalasi mengalami
biotransformasi sampai taraf tertentu, dengan sebagian besar
metabolisme produk non volatil dieksresi oleh ginjal. Akan tetapi,
efek reversibel terhadap sistem syaraf pusat dari obat-obatan inhalasi
ini tergantung pada eksresi paru, sehingga kegagalan fungsi ginjal
tidak akan mempengaruhi respon terhadap obat tersebut.
Methoxyfluran kontra indikasi terhadap pasien dengan penyakit ginjal
karena biotransformasinya menajadi nephrotoksik florida inorganik
dan asam oksalik. Enfluran juga mengalami biotransformasi menjadi
florida inorganik tetapi kadar setelah 2-4 jam anastesi hanya 19 mM
pada pasien dengan penyakit ginjal ringan sampai dengan sedang,
secara signifikasn nilainya lebih rendah dari ambang nephrotoksis
yaitu 50 mM, sehingga dengan kadar ini florida tidak menyebabkan
gangguan ginjal lebih lanjut. Kadar flurida dari isoflurana adalah 3-5
mM dan hanya 1 sampai 2 mM setelah halotan, sehingga obat-obat
tersebut tidak potensial nephrotoksis.
Desfluran dan sevofluran, berbeda dalam stabilitas molekular dan
biotransformasinya. Desfluran sangat stabil dan tahan terhadap
degradasi soda lime dan hepar. Eksresi dari florida organik dan
inorganik minmal. Konsentrasi rata-rata setelah pemberian 1.0 MAC
(minimum alveolar concentration)/ jam desflurane adalah kurang dari
1 mmol/L. Paparan lama desflurane berkaitan dengan fungsi ginjal
normal.
Sevoflurane, sangat tidak stabil. Soda lime menyebabkan
dekomposisi. Biotranformasinya oleh hepar sama seperti enfluran.
Terdapat laporan konsentrasi inorganik plama mencapai kadar

43
nephrotoksik (50 mmol/L) setelah dipapar dengan inhalasi sevofluran.
Akan tetapi, tidak ada bukti terjadi perubahan pada fungsi ginjal
manusia. Anastesi inhalasi menyebabkan depresi reversibel pada
fungsi ginjal. GFR, aliran darah ginjal, keluaran urin dan eskresi
sodium di urin menurun. Mekanisme dalam pengurangan aliran darah
ginjal, mungkin karena faktor neurohormonal (hormon antidiuretik,
vasopressin, renin) atau respon neuroendrokrin. Meskipun sebagian
besar anastesi inhalasi mengurangi GFE dan eksresi sodium urin, efek
pada aliran darah ginjal masih merupakan kontroversi. Hal ini dapat
dijelaskan karena perbedaan dari metodologi eksperimental. Data
menyatakan bahwa aliran darah ginjal dipelihara oleh halotan,
isofluran dan desfluran tetapi diturunkan oleh enfluran dan sevofluran.
Pasien dengan penyakit ginjal berat kadar hemoglobinnya 6-8 g/
100mL. Meskipun kapasitas pengangkutan oksigen adekuat pada
keadaan tidak teranastesi, shunt intrapulmonal dan pengurangan
cardiac output dapat terjadi pada anastesi umum. Sehingga untuk
menghidari hipoksemia intra anastesi, di sarankan tidak memberikan
konsentrasi tinggi N2O.
2. Obat-obat anastesi intravena: Efek reversibel terhadap sistem saraf
pusat setelah pemberian ultrashort-acting barbiturat, seperti thiopental
dan methohexital, terjadi sebagai akibat redististribusi, metabolisme
hepar merupakan jalur eliminasi obat-obat tersebut. Thiopental 75-
85% terikat albumin, konsentrasi tersebut berkurang pada uremia.
Karena ikatannya tinggi, pengurangan ikatan dapat menyebabkan
pemberian dosis thiopental yang tinggi untuk dapat mencapai reseptor.
Thiopental merupakan asam lemah dengan nilai pKa pada nilai
fisiologis, asidosis akan terjadi pada keadaan tidak terionisasi, tidak
terikat, thiopental aktif. Pada kombinasi bentuk tersebut dapat
meningkatkan fraksi bebas thiopental dari 15 persen pada pasien
normal menjadi 28 persen pada pasien gagal ginjal. Karena
metabolime thiopental tidak mengalami perubahan pada gangguan
ginjal, jumlah thiopental untuk anastesi dikurangi.

44
Ketamin terikat dengan protein ikatannya kurang bila
dibandingkan dengan thiopental dan tampaknya gagal ginjal
berpengaruh minimal pada fraksi bebasnya. Redistribusi dan
metabolisme hepar bertanggung jawab untuk terminasi efek
anastesinya, dengan < 3% obat dieksresi tanpa mengalami perubahan
di urin.11
Propofol mengalami biotransformasi cepat di hepar menjadi bentuk
inaktif yang dieksresi oleh ginjal. Farmakokinetik tampaknya tidak
mengalami perubahan pada pasien dengan gagal ginjal. Induksi
standar dengan propofol aman untuk gagal ginjal. Kelompok
benzodiazepin terikat kuat dengan protein. Gagal ginjal kronik
meningkatkan fraksi bebas benzodiazepin dalam plasma, berpotensi
meningkatkan efek klinik. Metabolit benzodiazepin tertuntu secara
farmakologik aktif dan potensial diakumulasi dengan pemberian dosis
ulangan obat induk pada pasien anephrik. Sebagai contoh 60-80%
midazolam dieksresi dalam bentuk aktif metabolit hydroxy, yang
dapat terakumulasi selama pemberian lama infus midazolam pada
gagal ginjal.
Obat pelumpuh otot dan antogonisnya
Anastesi umum dengan musle relaksan biasa digunakan pada
pembedahan ginjal terbuka. Suksinilkolon dimetabolisme dengan
bantuan pseudokolinesterase menghasilkan produk non toksik yaitu
asam suksinik dan kolin. Prekusor metabolik dari dua senyawa
tersebut adalah suksinilmonokolin dieksresi oleh ginjal. Sehingga
pemberian dosis tinggi suksinilkolin karena pemberian panjang
perinfus sebaiknya dihindari pada pasien gagal ginjal. Terdapat
laporan bahwa pseudokolinesterase dikurangi pada keadaan uremia.
Akan tetapi nilainya jarang rendah untuk memperpanjang waktu
pemblokan. Hemodialisis dilaporkan tidak mempunyai efek terhadap
kadar kolinesterase. Pemberian suksinilkolin menyebabkan
peningkatan cepat dari konsentrasi potasium serum 0.5 mEq/ L.
Peningkatan serum potasium berbahaya pada pasien uremia dengan

45
peningkatan kadar potasium, sehingga penggunaan suksinilkolin
adalah tidak dianjurkan kecuali pasien menjalani dialisis dalam 24 jam
sebelum operasi. Apabila pasien telah menjalani dialisis penggunaan
suksinil kolin dilaporkan aman.
Disposisi pelumpuh otot non depolasisasi telah dipelajari akhir-
akhir ini. Pada pasien dengan fungsi ginjal normal, fraksi ekresi dosis
tinggi d-tubokurarun (dTc) ditemukan diurin, eksresi dTc terlambat
pada pasien gagal ginjal, kliren dikurangi dan distribusi volume tidak
berubah. Karena ikatan protein dan sensitivitas neuromuskular juntion
terhadap dTc sehingga tetap pada pasien dengan gagal ginjal.
Konsekuensi dari keterlambatan eksresi adalah memanjangnya aksi
durasi. Tetapi tidak nyata pada pemberian dosis tunggal rendah.
Farmakokinetik dari metocurin dan gallamin berbeda secara
kuantititif daripada kulaitatif dengan dTc. Lebih dari 90 persen dosis
injeksi gallamin dieliminasi tanpa mengalami perubahan diurin dalam
24 jam. Sedangkan hanya 43 persen dosisi metocurin dieksresi tanpa
mengalami perubahan dalam waktu yang sama. Dosis gallamin
ditemukan dalam dosis yang kecil karena redistribusi sehingga secara
teori dapat dipakai pada penderita dengan pengurangan fungsi ginjal.
Sekitar 40 – 50% pancuronum dieksresi diurin. Pancurinium memiliki
waktu paruh eliminasi akhir panjang pada pasien dengan pengurangan
fungsi ginjal, sehingga dalam pemberian harus hati-haru terutama
ketika beberapa dosis dibutuhkan.
Dua pelumpuh otot nondepolarisasi yaitu atracurium dan
vecuronium dikenalkan pada praktek klinik tahun 1980-an.
Atracurium aksinya memanjang pada penurunan fungsi ginjal.
Atracurium dan cisatracurium dirusak oleh enzim ester hidrolisis dam
oleh degradasi alkalin non enzim (eliminasi Hofman) menjadi bentuk
tidak aktif dan tidak tergantung pada eksresi ginjal untuk mengakhiri
aksinya. Dapat diprediksi waktu paruh eliminasi akhir dan tanda blok
neuromuskular (onset, durasi dan recovery) sama pada pasien normal
dan pasien dengan gangguan fungsi ginjal Farmakokinetik dan

46
farmakodinamik vecuronium pada pasien normal dan ganguan ginjal
adalah sekitar 30% dosis vecurium dieksresi oleh ginjal sehingga pada
pasien dengan gagal ginjal durasi blokade muskular pada pemberian
vecurium dapat lebih lama. Doxacurium durasi aksinya lebih panjang
pada pasien gagal ginjal. Aksi durasi pelumpuh otot lainnya seperti
pipecuronium bervariasi pada pasien gagal ginjal. Mivacurium bersifat
short acting dimetabolisme oleh pseudokolinesterase. Efeknya
memanjang sekitar 10 sampai 15 menit pada pasien stadium akhir
penyakit ginjal.
Inhibitor kolinesterase yaitu neostigmin, pyridostigmin dan
edrophium. Tidak ada perbedaan menonjol diantara ketiga obat
tersebut. Eksresi ginjal adalah penting dalam mengeliminasi ketiga
obat tersebut. Sekitar 50% neostigmin dan 70% pyridostigmin dan
edrophonium dieksresi dalam urin. Eksresi semua inhibittor kolin
esterase lebih lambat pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal.
Digoksin merupakan digitalis glikosida yang digunakan pada pasien
uremia dan non uremia. Sekitar 72% dosis parenteral dieksresi dalam
bentuk yang tetap diurin. Sehingga pemberian pada gangguan fungsi
ginjal potensial berbahaya dan dosis pemeliharaan harus dikurangi
pada penyakit ginjal.

Pemeliharaan
Obat anastesi inhalasi lebih dipilih untuk pemeliharaan anastesi
sebab eksresinya melalui sistem respirasi, adanya gangguan fungsi
ginjal tidak akan mengubah obat tersebut. Isoflouran, halotan dan
terutama desfularan dimetabolisme dihepar sehingga tidak mempunyai
efek nephrotoksis.
3. Posisi
Posisi pasien dalam operasi ginjal khususnya extended
pyelolithotomy umumnya adalah posisi lumbotomy (flank). Dilakukan
dengan posisi pasien fleksi lateral dengan sisi yang dilibatkan terletak
diatas, kepala dan kaki diposisikan lebih rendah sementara regio

47
lumbal yang akan dibedah lebih tinggi (Gambar 4.3). Posisi
lumbotomy ini akan mempermudah operator dalam melakukan
tindakan pembedahan (extended pyelolithotomi).

Gambar 4.3 Posisi Lumbotomy

Gambar 4.4 Posisi ginjal dengan kidney rest dibagian bawah krista iliaka
untuk meminimalkan interferensi pada pergerakan diafragma bagian
bawah. Kidney rest, penghalang meja yang dielevasikan, digunakan
untuk semakin memisahkan krista iliaka dari tepi lateral kosta.

Posisi lateral dapat ditoleransi dengan baik oleh sebagian besar


pasien dan memiliki efek yang minimal pada tubuh. Beberapa
penelitian menggambarkan efek hemodinamik pada perubahan posisi
dari supine ke posisi lateral. Perubahan akan lebih sering pada posisi
lateral yang lebih dari biasanya dengan posisi rest kidney, dimana
vena cava inferior dapat memampat (kinking), terutama di posisi
lateral kanan, selain itu posisi kepala dan kaki yang lebih rendah
(gravitasi) akan menyebabkan penurunan aliran balik vena (venous
return) dan curah jantung (cardiac output). Perambahan hati pada
vena kava dan pergeseran mediastinum dapat menurunkan aliran balik
vena lebih lanjut. Dekatnya vena kava inferior ke bagian kanan
memudahkan penekanan oleh ginjal. Hal tersebut menyebabkan

48
penurunan tekanan darah. Venous return dipengaruhi oleh; kontraksi
otot, penurunan venous compliance, aktivitas respirasi, kompresi
vena cava, dan gravitasi. Ini menjelaskan mengapa posisi lumbotomy
berisiko untuk hipotensi. Penelitian echocardiografi mencatat adanya
peningkatan diameter end diastolic ventrikel kanan pada posisi kiri
dan penurunan diameter pada posisi kanan. Preload dan fungsi jantung
yang lebih baik pada posisi dekubitus kiri ditunjang oleh adanya
peningkatan level peptide natriuretik atrium, bila dibandingkan
dengan posisi supine. Volume end diastolic ventrikel kanan menurun
hampir 10% pada posisi dekubitus kanan, dan dihubungkan dengan
penurunan jumlah peptide natriuretik atrium meskipun cardiac
index cenderung tidak berubah.
Posisi lumbotomy memiliki efek mendalam pada sistem
pernapasan. Seperti semua posisi yang lain, hubungan posisi secara
mekanik dengan terbatasnya gerakan dada sehingga membatasi
pengembangan paru dan menyebabkan berkurangnya volume paru.
Ventilasi paru menurun sementara perfusi meningkat mengakibatkan
ketidakcocokkan antara ventilasi dan perfusi yang besar. Terdapat
juga penurunan pada komplians thoracic, volume tidal, kapasitas vital
dan kapasitas residual fungsional. Masalah-masalah ini dapat
diperburuk oleh penyakit pernapasan yang sudah ada sebelumnya.
Kesulitan dengan saturasi oksigen arteri yang rendah selama operasi
dapat diatasi dengan meningkatkan fraksi oksigen inspirasi, atau
menerapkan sejumlah kecil positive end expiratory pressure (PEEP).
Atelektasis pasca operasi tidak jarang terjadi.
Neuropati pleksus servikal, pleksus brakialis dan saraf peroneal
komunis dapat terjadi pada posisi lateral akibat peregangan atau
kompresi saraf ini. Perawatan harus dilakukan untuk menghindari
peregangan leher yang berlebihan pada posisi ini dan kedua bahu
harus dalam posisi netral. Lengan atas biasanya ditempatkan pada
penyangga lengan. Semua titik-titik tekanan harus diposisikan dengan
baik. Setiap fistula arteriovenosa yang ada harus dibungkus untuk

49
mencegah kerusakan yang tidak disengaja. Sebuah bantal biasanya
ditempatkan di antara kaki dan kaki bagian bawah ditekuk.
4. Monitoring
Pemantauan rutin parameter kardiovaskular dan pernapasan sangat
penting karena risiko dari masalah yang terjadi karena posisi pasien.
Pemantauan invasif tekanan darah dan tekanan vena sentral dapat
digunakan. Keputusan ini tergantung pada kondisi pra-operasi pasien
dan risiko operasi.
Pasien dengan penyakit ginjal tahap akhir dapat mengambil manfaat
dari pemantauan tekanan vena sentral untuk memandu kebutuhan
cairan. Namun, akses vena sentral mungkin sulit pada mereka yang
sebelumnya pernah dimasukkan jalur hemodialisis ke dalam
pembuluh darah leher. Panduan USG harus digunakan pada pasien ini
jika tersedia. Eksisi massa ginjal yang besar dapat mengakibatkan
perdarahan major dan penggunaan pemantauan invasif dianjurkan.
Operasi ginjal mungkin memakan waktu beberapa jam dan suhu
pasien harus diperhatikan.
5. Keseimbangan Cairan
Puasa dapat menyebabkan pasien menjadi dehidrasi terutama pasien
orang tua. Pasien dengan stadium terminal penyakit ginjal yang
menjalani dialisis juga kekurangan cairan sebelum operasi. Resusitasi
cairan yang tepat diberikan pada pasien dengan tanda-tanda dehidrasi
untuk menghindarkan hipotensi pada induksi anastesi. Selain itu
penggantian cairan untuk mengkompensasi puasa preoperasi harus
diberikan sebelum pembedahan
Pada pemeliharaan cairan selama operasi, kehilangan cairan karena
penguapan, pembukaan abdomen (10-30 mL/ kg/ jam) harus
diperhitugkan, dapat terjadi kehilangan darah, dan perdarahan dapat
juga terjadi sehingga kebutuhan cairan selama operasi menjadi tinggi.
Kristaloid dipakai untuk pemeliharaan. Cairan yang mengandung
potasium dihindari pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal. Koloid
dan PRC diberikan bila terjadi perdarahan. Pasien dapat mengalami

50
anemia sebelum operasi sehingga mereka dapat mentoleransi
kehilangan darah yang sedikit daripada pada pasien dengan kadar
hemoglobin yang tinggi. Produk darah lainnya seperti fresh frozen
plasma, cryopresipitat dan platelet dapat diperlukan pada kehilangan
darah yang massif.
Keluaran urin dapat menurun selama pembedahan, parameter ini dapat
dipakai untuk menilai penggantian cairan. Keluaran urin post operasi
sekitar 0,5-1 ml/ kgBB/ Jam pada fungsi ginjal normal. Pasien dengan
gangguan fungsi ginjal mempunyai masalah dengan keseimbangan
cairan. Pasien anuria hanya kehilangan dan pemeliharaan yang
digantikan cairannya, dialisis digunakan pada post operasi jika
terdapat elemen cairan yang belebihan
6. Agen Vasopressor dan Antihipertensi
Pasien dengan penyakit ginjal sering hipertensi, dan memiliki risiko
ketidakstabilan kardiovaskular intra-operatif. Pengobatan hipotensi
pertama harus diarahkan pada penyebab apapun yang jelas, seperti
perdarahan. Jika penggunaan vasopressor diperlukan, obat direct a-
adrenergic stimulating, seperti phenylephrine, dapat digunakan.
Sayangnya obat ini menyebabkan penurunan hebat dalam perfusi
ginjal. Namun obat ß-adrenergic stimulating, yang menjaga sirkulasi
ginjal, menyebabkan iritabilitas miokard dan sebaiknya tidak
digunakan. Infus dopamin juga dapat diberikan.
Hipertensi dapat menjadi masalah, terutama jika nefrektomi bilateral
sedang dilakukan untuk hipertensi yang tidak terkontrol. Sodium
nitroprusside adalah kontra-indikasi pada pasien dengan kerusakan
ginjal seperti tiosianat, produk akhir metabolismenya, akan
terakumulasi dan berpotensi toksik. Trimethaphan dan nitrogliserin
dengan cepat dimetabolisme dan cocok untuk digunakan dalam kasus
ini. Hydralazine adalah agen bertindak lambat, tetapi dapat digunakan
untuk control tekanan darah pasca operasi. Sekitar 15% dari obat
diekskresikan tidak berubah dalam urin, sehingga perawatan harus

51
diambil pada pasien dengan gagal ginjal tahap akhir. Labetolol dan
esmolol secara ekstensif dimetabolisme dan umum digunakan.
7. Proteksi Ginjal
Perhatian khusus harus diberikan untuk menghindari faktor-faktor
yang dapat membahayakan fungsi ginjal, terutama pada mereka yang
fungsinya sudah terganggu. Meskipun operasi adalah faktor risiko
terbesar, faktor penyebab lainnya harus dihindari sejauh mungkin. Ini
termasuk hipotensi, dehidrasi, sepsis dan obat-obatan nefrotoksik.
Berbagai metode telah digunakan untuk mencoba untuk melindungi
fungsi ginjal pada pasien yang menjalani operasi . Ini termasuk
administrasi dopamin , diuretik , calcium channel blockers ,
angiotensin converting enzyme inhibitor dan cairan hidrasi . Namun,
Cochrane Database ulasan baru-baru ini menyimpulkan bahwa tidak
ada bukti bahwa intervensi tersebut melindungi ginjal dari kerusakan .
8. Komplikasi Pembedahan
Ginjal adalah organ yang sangat vaskular dan perdarahan adalah risiko
nyata. Pendarahan dapat terjadi dari arteri renal, vena kava inferior,
atau dari arteri lainnya. Teknik untuk mengurangi kebutuhan transfusi
darah seperti penyelamatan sel, hemodilusi normovolaemic akut dan
obat anti-fibrinolitik dapat digunakan sesuai keperluan. Perdarahan
sekunder pada periode pasca operasi jarang terjadi, tetapi mungkin
memerlukan re-laparotomi untuk mengidentifikasi penyebabnya.
Karsinoma sel ginjal dapat menyerang vena cava inferior (IVC), dan
dapat mencapai atrium kanan. Oklusi lengkap dari IVC atau
embolisasi tumor dapat terjadi intra-operatif. Tingkat yang tepat dari
lesi harus diidentifikasi pra-operatif. Kerusakan dapat terjadi pada
pleura atau diafragma dimana ginjal terletak di dekat paru-paru. Hal
ini biasanya terlihat pada operasi terbuka dan perbaikan dapat dibuat.
Setiap masalah mendadak yang berhubungan dengan ventilasi pasien
harus sepenuhnya diselidiki dan ahli bedah diberitahu tentang keadaan
tersebut. Setiap pneumotoraks dapat cepat berlanjut menjadi tension
pneumothoraks dengan penggunaan IPPV dan dapat menyebabkan

52
ketidakstabilan hemodinamik. Komplikasi pasca operasi utama adalah
infeksi dada, ileus paralitik dan penurunan fungsi ginjal.
9. Analgetik Post-operatif
Operasi terbuka berhubungan dengan nyeri yang signifikan sesudah
operasi. Fentanyl merupakan obat yang cocok untuk pasien dengan
gagal ginjal dimana fentanyl dimetabolisme di hepar. Morfin dapat
dipakai dengan hati-hari, pengurangan pada dosis dan intervak waktu
diantara dua dosis harus dibuat pada pasien dengan gangguan fungsi
ginjal (biasanya 0,5 mg bolus dengan interval waktu 10 menit).
Pada semua pasien pendekatan multi analgesi dapat dipakai.
Sayangnya penggunaan obat analgesik anti inflamasi non steroid
kontra indikasi relatif karena memiliki efek nephretoksik
10. Efek Obat-obatan Anestesi pada Pasien Gangguan Fungsi Ginjal
Beberapa obat-obatan dieliminasi dalam bentuk tanpa mengalami
perubahan dalam urin. Pada obat pelumpuh otot non depolarisasi
sebagian besar dieksresi oleh ginjal. Terminasi aksi dari dosis tunggal
kecil dari obat tersebut adalah dengan redistribusi daripada eksresi.
Akan tetapi ketika dosis pemeliharaan digunakan, dosis harus lebih
kecil pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal daripada pasien
dengan ginjal normal dan interval dosis antara harus ditingkatkan.
Kecuali atracurium dan cisatracurium yang dirusak oleh enzim ester
hidrolisis dan oleh non enzim alkaline degradasi (eliminasi Hofmann)
menjadi produk yang tidak aktif dan tidak tergantung eksresi ginjal.
Suksinilkolin dimetabolisme oleh pseudokolinesterase dan meskipun
tingkat enzim dikurangi pada uremia, nilai jarang rendah yang
menyebabkan bloknya memanjang. Pemberian suksinilkolin tidak
menyebabkan peningkatan serum potasium yang dapat berbahaya
pada pasien dengan gangguan ginjal berat dengan peningkatan
potasium. Eksresi ginjal berperan penting dalam eliminasi inhibitor
kolinesterasi (misal neostigmin) dan eksresinya terlambat pada pasien
dengan gangguan fungsi ginjal. Obat-obat lainnya yang dieksresi
dalam urin tanpa mengalami perubahan adalah atrofin dan

53
glycopyrrolat, dosis tunggal tidak menyebabkan gangguan keadaan
klinis. Dosis pemeliharaan digoksin harus dikurangi pada gangguan
fungsi ginjal dan tingkat darah adalah pas untuk terapi. Obat-obat
yang berikatan kuat dengan albumin, seperti obat-obat induksi akan
dipengaruhi oleh pengurangan kadar albumin pada pasien uremia.
Sehingga menghasilkan fraksi bebas dari obat tersebut dan
mengurangi dosis yang dibutuhkan untuk menghasilkan efek anastesi.
Obat anastesi inhalasi lebih dipilih untuk pemeliharaan anastesi sebab
eksresinya melalui sistem respirasi. Enflurane dan sevoflurane
mengalami biotranformasi (proses perubahan struktur kimia obat
dikatalisis oleh enzim, diubah menjadi lebih polar artinya lebih mudah
larut dalam air dan kurang larut dalam lemak sehingga lebih mudah
diekskresi melalui ginjal, pada umumnya obat menjadi inaktif.)
menjadi florida inorganic meskipun kadar dalam plasma yang
dihasilkan dibawah kadar nephrotoksis. Isoflouran, halotan dan
terutama desfularan dimetabolisme di hepar sehingga tidak
mempunyai efek nephrotoksis. Opioid di metabolisme di hepar. Akan
tetapi morpin dan meperidin (petidin) mempunyai metabolit aktif yang
dieksresi lewat ginjal dan dapat diakumulasi pada gagal ginjal. Dosis
dari kedua obat tersebut harus dikurangi atau dibatasi.

54
BAB IV
ANALISIS KASUS

Pasien Tn.J umur 45 tahun datang ke RS Raden Mattaher (10 April 2019)
dengan keluhan nyeri pinggang kanan. ± Sejak 1 tahun terakhir os sering
merasakan nyeri pinggang hilang timbul. ± Sejak 2 bulan terakhir keluhan nyeri
pinggang semakin sering dan aktivitas sehari-hari menjadi terganggu. BAK nyeri
(+), sedikit (-), keruh (-), berpasir (+), berwarna seperti teh pekat (-), berdarah (-),
bernanah (-), BAB biasa. Mual (-), muntah (-), demam (+) hilang timbul, sesak
nafas (-), batuk pilek (-). Os masuk RS Raden Mattaher melalui poli, dokter
menyatakan terdapat batu di ginjal sebelah kanan os, selanjutnya os direncanakan
dilakukan tindakan pembedahan untuk mengeluarkan batu ginjal yang sebelah
kanan pada tanggal 11/04/2019. Riwayat darah tinggi (+).

Pada pemeriksaan fisik ditemukan nyeri ketok CVA kanan. Pemeriksaan


fisik lain dalam batas normal. Pemeriksaan laboratorium dalam batas normal.

Sebelum dilakukan tindakan pembedahan pasien di konsulkan ke bidang


anestesi diperoleh hasil pemeriksaan didapatkan pasien dalam kategori ASA II,
dengan malampati II. Sebelum jadwal operasi dilaksanakan, pasien di rawat 1 hari
sebelum tindakan, dipuasakan 6 jam sebelum operasi dan mempersiapkan SIO.

Pembahasan:
a. Pra Anestesi
Di ketahui bahwa pasien usia 45 tahun mengalami Nefrolitiasis Dextra,
penatalaksanaan yang dilakukakan adalah tindakan pembedahan Bivalue
Nefrolitomi DJ Stent yang telah dilakukan pada tanggal 11 April 2019. Sebelum
tindakan pembedahan dilaksanakan, sehari sebelumnya pada tanggal 10 April
2019 telah dilakukan kunjungan pra anestesi. Dari hasil anamnesis, pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan penunjang pasien didapatkan pasien mengalami
nefrolitiasis dextra maka pasien ini digolongkan ke dalam ASA II.

b. Kebutuhan cairan
Pada pasien ini kebutuhan cairan telah dihitung dan didapatkan :

55
 Jam I :1/2 (636 ml) + 106 ml + 424 ml = 848 ml
 Jam II : 1/4 (636 ml) + 106 ml + 424 ml = 689 ml
 Jam III : 1/4 (636 ml) + 106 ml + 424 ml = 689 ml
 Total kebutuhan cairan selama operasi 3 jam  2226 ml
Selama operasi jumlah carian yang diberikan adalah

Input : RL 4 Kolf  2000 ml


HES 65%  500 ml
Total  2500 ml
Output : ± 200 cc
Perdarahan : ± 200 cc
 Kebutuhan cairan pada pasien ini belum tercukupi.

c. Indikasi General Anesthesia


Alasan pemilihan anestesi umum (GA) dibandingkan anestesi regional
(spinal maupun epidural) pada pasien ini antara lain:
a. Posisi dan Durasi: Diperlukan posisi lumbotomy selama operasi
berlangsung agar operator dapat melakukan pembedahan, jika pasien dibius
dengan regional anestesi (spinal atau epidural), kenyamanan pasien akan
terganggu karena pasien yang dalam keadaan sadar harus berada dalam
posisi lumbotomy dalam jangka waktu yang biasanya cukup lama untuk
tindakan Bivalue nefrolitomi ini. Sementara bila pasien dibius dengan
anestesi umum akan lebih mudah mengatur posisi pasien dan pasien tidak
harus merasakan berada dalam posisi lumbotomy yang tidak nyaman dalam
jangka waktu lama.
b. Vasodilatasi PD: Pada regional anestesi (spinal atau epidural), akan terjadi
vasodilatasi pembuluh darah yang kemudian dapat menyebabkan hipotensi,
pada pasien dengan penurunan fungsi ginjal, hipotensi akan memberi
pengaruh yang cukup signifikan bila tidak teratasi dengan cepat karena renal
blood flow akan menurun dan dapat terjadi gagal ginjal akut. Sementara
pada GA, tidak terjadi vasodilatasi pembuluh darah.
d. Tindakan premedikasi

56
Satu jam sebelum di lakukan induksi anestesi, pasien diberikan obat
ranitidine 50 mg, ondansentron 8 mg, dan asam traneksamat 1000 mg. Tujuan
pemberian ranitidine adalah untuk mengurangi isi cairan lambung sehingga
meminimalkan kejadian pneumositis asam. Ondansteron diberikan untuk
mengurangi rasa mual muntah pasca bedah. Asam traneksamat diberikan untuk
membantu proses pembekuan darah karena akan terjadi perdarahan selama
operasi. Selain itu, juga diberikan analgetik golongan opioid yaitu phetidin 30 mg.
Phetidin merupakan obat yang cocok untuk pasien dengan masalah ginjal dimana
fentanyl dimetabolisme di hepar.

Dosis obat pada pasien ini dapat dilihat pada tabel :


Nama Obat Dosis Dosis yang seharusnya Dosis yang
diberikan diberikan
Ranitidin 1 mg/KgBB 53 mg 50 mg
Ondansentron 0,05-0,2 2,65-10,6 mg 8 mg
mg/kgBB
Asam 20 mg/KgBB 1060 mg 1000 mg
Traneksamat
Phetidin 0,5-1 26,5-53 mg 30 mcg
mg/KgBB

e. Tindakan induksi anestesi


Induksi anestesi adalah tindakan yang bertujuan membuat pasien dari sadar
menjadi tidak sadar, sehinggga memungkinkan dimulainya anestesi dan
pembedahan. Tindakan induksi anestesi dapat dilakukan dengan cara intravena,
inhalasi, intramuscular atau rectal.
Induksi dengan cara intravena lebih mudah dikerjakan karena pada pasien
yang dilakukan tindakan pembedahan telah terpasang jalur intravena. Obat
induksi yang dibolus disuntikkan dalam kecepatan 30-60 detik. Obat induksi yang
dipakai yang menimbulkan efek induksi yang baik adalah propofol.
Pada pasien ini induksi dilakukan secara intravena dengan propofol 130
mg. Dosis propofol adalah 2-2,5 mg/kgBB. Dosis propofol yang seharusnya
diberikan adalah 106-132 mg. Dosis propofol pada pasien ini sudah tepat.
Propofol dipilih karena kelebihan profocol dari obat lain yaitu, pasien terlihat
lebih segar pada periode pasca bedah segera setelah pemberian propofol

57
dibanding anestesi intravena lainnya, muntah pasca operasi tidak ditenukan dan
dapat bersifat antiemetik. Secara khusus, penderita dapat berjalan lebih cepat
setelah pemberian propofol. Propofol mengalami biotransformasi cepat di hepar
menjadi bentuk inaktif yang dieksresi oleh ginjal.

f. Rumatan anestesi
Rumatan anestesi (maintenance) dapat dilakukan secara intravena, atau
dengan inhalasi atau campuran intravena inhalasi. Pada pasien ini rumatan
anestesi diberikan secara inhalasi dengan N2O dan O2 ditambah dengan sevofluran
1-2 %.
Pada pasien dengan penyakit ginjal, obat anastesi inhalasi lebih dipilih untuk
pemeliharaan anastesi sebab eksresinya melalui sistem respirasi sehingga dengan
adanya gangguan fungsi ginjal tidak akan merubah obat-obat tersebut.

g. Tindakan intubasi
Sebelum dilakukan intubasi, pasien diberikan obat pelumpuh otot. Pada kasus
ini, atracurium di berikan sebanyak 30 mg. Dosis atracurium berdasarkan berat
badan adalah 0,5-0,6 mg/kgBB/iv pada pasien ini yaitu 26,5-31,8 mg. Atracurium
besilat (Tracium) yang merupakan obat pelumpuh otot non depolarisasi yang
relative baru yang mempunyai struktur benzilisoquinolon yang berasal dari
tanaman. Kelebihan obat ini dari yang lain adalah tidak mempunyai efek
akumulasi pada pemberian berulang, tidak menyebabkan perubahan fungsi
kardiovaskular secara bermakna. Atracurium aksinya memanjang pada penurunan
fungsi ginjal. Atracurium dirusak oleh enzim ester hidrolisis dam oleh degradasi
alkalin non enzim (eliminasi Hofman) menjadi bentuk tidak aktif dan tidak
tergantung pada eksresi ginjal untuk mengakhiri aksinya sehingga bisa digunakan
untuk pasien dengan penyakit ginjal.
Intubasi dilakukan pada operasi yang lebih dari 20 menit. Sementara intubasi
tidak diperlukan jika anestesi hanya dibutuhkan untuk waktu 10 menit atau
kurang. Pada pasien ini dilakukan intubasi karena diperkirakan waktu yang
dibutuhkan untuk melakukan tindakan pembedahan lebih dari 20 menit, selain itu
agar lebih mudah mengatur posisi pasien selama operasi (posisi lateral). Pada

58
pasien ini intubasi berjalan sempurna tanpa ada faktor penyulit (leher tidak
pendek, gigi depan tidak menonjol, dan mallampati 1 karena terlihat uvula,
palatum mole, serta pilar faring).

h. Pemantauan selama operasi


Selama operasi berlangsung dilakukan pemantauan dana didapatkan
Jam Tindakan TD Nadi/SpO2 RR Ket

Pasien posisi terlentang di Urin bag telah


120/70
11 : 15 atas tempat tidur pemasangan 70/98 20 dikosongkan
mmhg
elektroda, TD, SpO2

-RL 500 cc
Infuse sudah terpasang dan 130/80 Premedikasi
11 : 30 80/98 18
diberikan premedikasi mmhg (ranitidine 50 mg,
Ondansentron 8 mg)

Phetidin: 30 mg
Induksi: Recofol
Anestesi mulai dilakukan 120/70
11 : 45 91/99 19 130mg Atracurium
dengan tindakan intubasi mmhg
30mg urin output: 50
cc

Pasien dimiringkan oprasi 110/68 Rl 500 cc


12 : 00 98/99 17
dimulai mmhg

120/70
12 : 15 100/100 19
mmhg

130/90 Urin output: 100 cc


12 : 30 92/100 18
mmhg

120/90 RL 500 cc
12 : 45 92/100 18
mmhg

120/90
13 : 00 93/100 19
mmhg

130/90 HES 65%


13.15 80/100 18
mmhg

13.30 130/90mmhg 76/100 19 Rl 500cc

Urin output: 150 cc


120/90
13:45 75/100 17
mmhg

14:00 Oprasi selesai 120/90 79/100 19

59
14.15 Ekstubasi 120/90 80/100 20 Rl 500 cc+
Analgetik
(keterolac 30
mg,tramadol 100
ml) ondansentron
4 mg
14.30 Pasien dipindahkan 110/80 105/100 18 Urin output: 200cc
recovery room

i. Ekstubasi
Sejalan dengan berkurangnya efek anestesi, dilakukan suction pada pasien.
Ekstubasi ditunda sampai pasien benar-benar sadar, jika intubasi kembali
menimbulkan kesulitan dan adanya resiko aspirasi. Ekstubasi umumnya
dikerjakan pada keadaan anestesia sudah ringan dengan catatan tidak terjadi
spasme laring. Sebelum ekstubasi bersihkan rongga mulut, laring, faring, dari
sekret dan cairan lainnya. Pada pasien ini, ekstubasi secara tepat telah dilakukan
dimana ekstubasi dilakukan ketika efek anestesi sudah ringan dan pasien sudah
mulai bernafas spontan, serta tidak ditemukan kesulitan saat ekstubasi.

j. Ruang Pemulihan (RR)


Pasien masuk ke ruangan pemulihan pada Jam 14 : 30 dengan Keadaan
Umum cukup, Kesadaran CM, GCS:15 TD: 110/80 mmHg, N: 105x/I, RR: 18 x/I
Pernafasan tidak sesak. Selama pemantauan pasien dalam keadaan stabil. Oksigen
selalu diberikan sebelum pasien sadar penuh. Pasien ini diberi obat tambahan
yaitu ketorolac 30 mg, tramadol 100 mg dan ondansentron 4 mg di dalam RL 500
ml bertujuan sebagai analgetik. Pasien dapat keluar dari RR apabila sudah
mencapai skor Aldrete lebih dari 8. Skoring Alderate pada pasien ini:
Aktifitas :2
Pernafasan :2
Warna Kulit :2
Sirkulasi :2
Kesadaran :2

60
Jumlah : 10
Selanjutnya pasien dipindahkan ke Pinang Masak dengan instruksi anestesi
diantaranya, observasi keadaan umum, vital sign, dan perdarahan tiap 15 menit
selama 24 jam, tirah baring tanpa menggunakan bantal 1x24 jam, puasa sampai
sadar penuh, bising usus (+), cek Hb post operasi, terapi selanjutnya disesuaikan
dengan dr. Ardiansyah, Sp.U.

61
BAB V
KESIMPULAN

Pasien bernama Tn. J didiagnosis Nefrolitiasis Dextra dan didapatkan


status asa II, sebab penyakit yang dideritanya merupakan penyakit sistemik ringan
sampai sedang, yang belum begitu menganggu aktifitas rutinnya. Tetapi bila
dibiarkan dapat menjadi buruk.
Selama proses berlangsung baik dari proses pre anestesi maupun sampai
akhir proses anestesi berlangsung tidak ditemukan permasalahan berarti. Pre
anestesi dilakukan tanggal 10 April 2019. Di mulai anestesi pada tanggal 11 April
2019 pada pukul 11.15 WIB dan berakhir pada pukul 14.15 WIB dengan operator
dr. Ardiansyah, Sp.U dengan ahli Anestesi dr. Panal Hendrik, Sp.An.
Selama operasi baik pada saat premedikasi maupun medikasi sampai
proses anestesi selesai tidak ditemukan masalah. Dosis yang diberikan pada saat
proses anestesi sesuai dosis. Efek samping pemberian obat minimal tanpa ada
permasalahan yang berarti. Selama operasi balans cairan pada pasien ini baik.
Tidak terjadi ketidak keseimbangan cairan yang dapat mengancam keselamatan
pasien.
Setelah selesai proses anestesi pasien langsung pindah ke ruang recovery,
kesadaran pasien compos mentis dan tanda vital baik. Aldrette score 10. Pukul
14:40 WIB pasien dipindahkan ke bangsal bedah. Dapat disimpukan proses
anestesi berlangsung baik tanpa ditemukan komplikasi.

62
DAFTAR PUSTAKA

1. Sjamsuhidajat R dan Jong WD. Saluran kemih dan alat kelamin lelaki. Dalam
Buku ajar ilmu bedah. Edisi ke-dua. Jakarta: EGC; 2010. Hal 756-63.
2. Depkes RI., 2007. Distribusi Penyakit-Penyakit Sistem Kemih Kelamin Pasien
Rawat Inap Menurut Golongan Sebab Sakit, Indonesia Tahun 2006. Jakarta.
Diunduh tanggal 10 agustus 2018 dari URL: http://www.yanmedik-
depkes.net/statistik_rs_2007.
3. Kevin H. Karakteristik penderita batu saluran kemih rawat inap di Rumah Sakit
Haji Medan Tahun 2005-2007. (skripsi). Medan: FK USU; 2008.
4. Guyton dan Hall. Ginjal dan cairan tubuh. Dalam Buku ajar fisiologi
kedokteran. Edisi ke-sembilan. Jakarta: EGC; 2013. Hal 375-524.
5. Stoller MLS. Urinary stone disease. In Smith’s general urology. Editors:
Tanagho EA and McAninch JW. 17th edition. New Yoro: Mc Graw`Hill
Companies; 2008. P 246-75.
6. Sja’bani M. Batu saluran kemih. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Editor: Tjokronegoro A dan Utama H. Edisi ke-empat. Jilid I. Jakarta: Balai
Penerbit FK UI; 2013. Hal 563-7.
7. Soenarto, R.F. 2012, Buku Ajar Anestesiologi. Departemen Anestesiologi dan
Intensive Care FKUI. Jakarta. Hal : 197-205
8. Mangku Gde, Senapathi Tjokorda Gde Agung Senapathi. 2010. Buku Ajar
Ilmu Anestesia dan Reaminasi. Bagian Obat Anestetika. Macanan Jaya
Cemerlang. Jakarta. Hal 24-36
9. Latief, S.A. 2002. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Bagian Anestesiologi dan
Terapi Intensife FKUI. Jakarta. Hal :1, 29-32
10. Muhiman muhardi, Thaib Muhadri, Sunatrio S, Dahlan Ruslan.
Anestesiologi. Premedikasi. FKUI. Jakarta. Hal :59-62

63

Anda mungkin juga menyukai