Laporan Kasus Pada By. Ny. E Dengan Hyperbilirubin Di Unit Perina Rumah Sakit Al Islam Bandung
Laporan Kasus Pada By. Ny. E Dengan Hyperbilirubin Di Unit Perina Rumah Sakit Al Islam Bandung
E DENGAN HYPERBILIRUBIN
DI UNIT PERINA RUMAH SAKIT AL ISLAM BANDUNG
Disusun Oleh:
PROFESI NERS
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN ‘AISYIYAHBANDUNG
2018/2019
1
BAB 1
PENDAHULUAN
2
ditemukan dalam 24 jam pertama kehidupan bayi atau bila kadar bilirubin
meningkat >5 mg/dL dalam 24 jam. Proses hemolisis darah, infeksi berat,
ikterus yang berlangsung lebih dari satu minggu serta bilirubin direk >1
mg/dL juga merupakan keadaan yang menunnjukkan kemungkinan adannya
ikterus patologis (hiperbilirubinemia). (Muslihatum, 2010)
Hiperbilirubinemia menyebabkan bayi terlihat berwarna kuning,
keadaan ini timbul akibat akumulasi pigmen bilirubin yang berwarna kuning
pada sklera dan kulit. Isomer bilirubin ini berasal dari hemoglobin. Pada
neonatus produksi bilirubin 2 sampai 3 kali lebih tinggi dibanding orang
dewasa normal. Hal ini dapat terjadi karena jumlah eritosit pada neonatus
lebih banyak dan usianya lebih pendek. Gejala paling mudah diidentifikasi
adalah ikterus, yang didefinisikan sebagai kulit dan selaput lendir menjadi
kuning.
Ikterus merupakan suatu gejala yang sering ditemukan pada Bayi Baru
Lahir (BBL). Ikterus terjadi apabila terdapat akumulasi bilirubin dalam
darah. Pada sebagian neonatus, ikterus akan ditemukan dalam minggu
pertama kehidupannya. Dikemukakan bahwa angka kejadian ikterus
terdapat pada 60% bayi cukup bulan dan pada 80% bayi kurang bulan.
Menurut beberapa penulis kejadian ikterus pada BBL berkisar 50 % pada
bayi cukup bulan dan 75 % pada bayi kurang bulan. Ikterus pada sebagian
penderita dapat bersifat fisiologis dan sebagian lagi mungkin bersifat
patologis. Hiperbilirubinemia dianggap patologis apabila waktu muncul,
lama, atau kadar bilirubin serum yang ditentukan berbeda secara bermakna
dari ikterus fisiologis. Fototerapi merupakan terapi dengan menggunakan
sinar yang dapat dilihat untuk pengobatan hiperbilirubinemia pada bayi baru
lahir. Keefektifan suatu fototerapi ditentukan oleh intensitas sinar. Adapun
faktor yang mempengaruhi intensitas sinar ini adalah jenis sinar, panjang
gelombang sinar, jarak sinar ke pasien yang disinari, luas permukaan tubuh
yang terpapar dengan sinar serta penggunaan media pemantulan sinar.
(Ngastiyah, 2012)
3
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa yang di maksud hiperbilirubin?
2. Apa etiologi dari Hiperbilirubin?
3. Apa klasifikasi dari hiperbilirubin?
4. Apa saja manifestasi dari hiperbilirubin?
5. Apa patofisologis hiperbilirubin?
6. Apa komplikasi hiperbilirubin?
7. Bagaimana pemeriksaan penunjang hiperbilirubun?
8. Bagaimana penatalaksanaan hiperbilirubin
9. Bagaimana Derajat hiperbilirubin
1.3 Tujuan
1. Tujuan Umum
Mampu menjelaskan tentang penerapan asuhan keperawatan pada klien
dengan masalah hiperbilirubin
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui maksud dari hiperbilirbin?
b. Untuk mengetahui apa etiologi dari hiperbilirubun?
c. Untuk mengetahui klasifikasi dari hiperbilirubun?
d. Untuk mengetahui manifestasi klinis dari hiperbilirubun?
e. Untuk mengetahui apa patofisologis hiperbilirubun?
f. Untuk mengetahui komplikasi dari hiperbilirubin?
g. Untuk mengetahui bagaimana pemerikasaan penunjang
hiperbilirubun?
h. Untuk mengetahui bagaimana penatalaksanaan hiperbilirubun?
i. Untuk mengetahui derajat hiperbilirubin
4
1.4 Manfaat
1. Bagi Rumah Sakit
Dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dan masukan
dalam upaya peningkatan mutu pelayanan kesehatan khususnya
penerapan asuhan keperawatan pada klien dengan hiperbilirubun
2. Bagi Klien dan Keluarga
Menambah pengetahuan klien dan keluarga tentang penyakit
hiperbilirubun
3. Bagi Penulis
Sebagai acuan untuk menambah pengetahuan tentang asuhan
keperawatan pada klien dengan hiperbilirubun.
5
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Hiperbilirubinemia adalah suatu keadaan dimana kadar bilirubin
dalam darah mencapai suatu nilai yang mempunyai potensi untuk
menimbulkan kernikterus jika tidak segera ditangani dengan baik.
Kernikterus adalah suatu kerusakan otak akibat peningkatan bilirubin
indirek pada otak terutama pada corpus striatum, thalamus, nucleus
thalamus, hipokampus, nucleus merah dan nucleus pada dasar ventrikulus
ke-4. Kadar bilirubin tersebut berkisar antara 10 mg/dl pada bayi cukup
bulan dan 12,5 mg/dl pada bayi kurang bulan (Ngastiyah, 2012)
2.2 Etiologi
Penyebab ikterus pada bayi baru lahir dapat berdiri sendiri ataupun
dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Secara garis besar, ikterus
neonatorum dapat dibagi :
a. Produksi yang berlebihan, Hal ini melebihi kemampuan bayi untuk
mengeluarkannya, misalnya pada hemolisis yang meningkat pada
inkompatibilitas Rh, ABO, golongan darah lain, defisiensi G6PD,
piruvat kinase, perdarahan tertutup dan sepsis.
b. Gangguan dalam proses uptake dan konjugasi hepar. Gangguan ini
dapat disebabkan oleh imaturasi hepar, kurangnya substrat untuk
konjugasi bilirubin, gangguan funsi hepar, akibat asidosis, hipoksia dan
infeksi atau tidak terdapanya enzim glukorinil transferase (Sindrom
Criggler-Najjar) Penyebab lain adalah defisiensi protein Y dalam hepar
yang berperanan penting dalam uptake bilirubin ke sel hepar.
c. Gangguan transfortasi bilirubin dalam darah terikat dengan albumin
kemudian diangkut ke hepar. Ikatan bilirubin dengan albumin ini dapat
dipengaruhi oleh obat misalnya salisilat, sulfarazole. Defisiensi albumin
menyebabkan lebih banyak terdapatnya bilirubin indirek yang bebas
dalam darah yang mudah melekat ke sel otak.
6
d. Gangguan dalam ekresi. Gangguan ini dapat terjadi akibatobstruksi
dalam hepar atau diluar hepar. Kelaianan di luar hepar biasanya
diakibatkan oleh kelainan bawaan. Obstruksi dalam hepar biasanya
akibat infeksi atau kerusakan hepar oleh penyebab lain. (Kosim, dkk.,
2012)
2.3 Klasifikasi
1. Ikterus prehepatik
Disebabkan oleh produksi bilirubin yang berlebihan akibat hemolisis sel
darah merah. Kemampuan hati untuk melaksanakan konjugasi terbatas
terutama pada disfungsi hati sehingga menyebabkan kenaikan bilirubin
yang tidak terkonjugasi.
2. Ikterus hepatik
Disebabkan karena adanya kerusakan sel parenkim hati. Akibat
kerusakan hati maka terjadi gangguan bilirubin tidak terkonjugasi masuk
ke dalam hati serta gangguan akibat konjugasi bilirubin yang tidak
sempurna dikeluarkan ke dalam doktus hepatikus karena terjadi retensi
dan regurgitasi.
3. Ikterus kolestatik
Disebabkan oleh bendungan dalam saluran empedu sehingga empedu
dan bilirubin terkonjugasi tidak dapat dialirkan ke dalam usus halus.
Akibatnya adalah peningkatan bilirubin terkonjugasi dalam serum dan
bilirubin dalam urin, tetapi tidak didaptkan urobilirubin dalam tinja dan
urin.
4. Ikterus neonatus fisiologi
Terjadi pada 2-4 hari setelah bayi baru lahir dan akan sembuh pada hari
ke-7. penyebabnya organ hati yang belum matang dalam memproses
bilirubin
5. Ikterus neonatus patologis
Terjadi karena factor penyakit atau infeksi. Biasanya disertai suhu badan
yang tinggi dan berat badan tidak bertambah, Jaundice yang tampak 24
7
jam pertama disebabkan penyakit hemolitik pada bayi baru lahir, sepsis
atau ibu dengan diabetk atau infeksi.
6. Kern Ikterus
Adalah suatu kerusakan otak akibat perlengketan Bilirubin Indirek pada
otak terutama pada Korpus Striatum, Talamus, Nukleus Subtalamus,
Hipokampus, Nukleus merah , dan Nukleus pada dasar Ventrikulus IV.
(Dewi, dkk, 2010)
2.5 Patofisilogi
Bilirubin adalah produk pengurangan heme. Sebagian besar (85-90%)
terjadi dari penguraian hemoglobin dan sebagian kecil (10-15%) dari
senyawa lain seperti mioglobin. Sel retikuloendotel menyerap komplek
haptoglobin dengan hemoglobin yang telah dibebaskan dari sel darah
merah. Sel-sel ini kemudian mengeluarkan besi dari heme sebagai cadangan
8
untuk sintesis berikutnya dan memutuskan cincin heme untuk menghasilkan
tertapirol bilirubin, yang disekresikan dalam bentuk yang tidak larut dalam
air (bilirubin tak terkonjugasi, indirek). Kareana ketidaklarutan ini, bilirubin
dalam plasma terikat ke albumin untuk diangkut dalam medium air.
Sewaktu zat ini beredar dalam tubuh dan melewati lobules hati, hepatosit
melepas bilirubin dari albumin dan menyebabkan larutnya air dengan
mengikat bilirubin ke asam glukoronat (bilirubin terkonjugasi, direk).
(Sarwono, Erwin, et all. 2014).
Dalam bentuk glukoronida terkonjugasi, bilirubin yang larut tersebut
masuk ke sistem empedu untuk diekresikan. Saat masuk kedalam usus,
bilirubin diuraikan oleh bakteri kolon menjadi urobilinogen. Urobilinogen
dapat diubah menjadi sterkobilin dan diekskresikan menjadi feses. Sebagian
urobilinogen direabsorsi dari usus melalui jalur enterohepatik, dan darah
porta membawanya kembali ke hati. Urobilinogen daur ulang ini umunya
diekskresikan ke dalam empedu untuk kembali dialirkan ke usus, tetapi
sebagian dibawa oleh sirkulasi sistemik ke ginjal, tempat zat ini
diekskresikan sebagai senyawa larut air bersama urin.
Pada dewasa normal level serum bilirubin 2 mg/dl dan pada bayi baru
lahir akan muncul ikterus bila kadarnya > 7 mg/dl. Hiperbilirubinemia dapat
disebabkan oleh pembentukan bilirubin yang melebihi kemampuan hati
normal untuk eksresikanya atau disebabkan oleh kegagalan hati (karena
rusak) untuk mengekskresikan bilirubin yang dihasilkan dalam jumlah
normal. Tanpa adanya kerusakan hati, obstruksi saluran ekskresi hati juga
menyebabkan hiperbilirubinemia. Pada semua keadaan ini, bilirubin
tertimbun dalam darah dan jika konsentrasinya mencapai nilai tertentu
(sekitar 2-2,5mg/dl), senyawa ini akan berdifusike dalam jaringan yang
kemudian menjadi kuning. Keadaan ini disebut ikterus atau jaundice.
(Sarwono, Erwin, et all. 2014).
9
Pathway SEPSIS
Hemoglobin
Globin Hema
Bilivirdin Feco
10
2.6 Komplikasi
Menurut Menurut Mansjoer (2011) komplikasi terjadi kernicterus
yaitu kerusakan otak akibat perlengketan bilirubin indirek pada otak
dengan gambaran klinik:
1. Letargi/lemas
2. Kejang
3. Tak mau menghisap
4. Tonus otot meninggi, leher kaku dan akhirnya opistotonus
5. Bila bayi hidup pada umur lebih lanjut dapat terjadi spasme otot,
epistotonus, kejang
6. Dapat tuli, gangguan bicara, retardasi mental
11
Scan, MRI sering bisa menemukan metastasis dan penyakit fokal pada
hati.
8. Endoscopic Retrograd Cholangiopancreatography (ERCP) dan PTC
(Percutans Transhepatic Colangiography).
ERCP merupakan suatu perpaduan antara pemeriksaan endoskopi
dan radiologi untuk mendapatkan anatomi dari sistim traktus biliaris
(kolangiogram) dan sekaligus duktus pankreas (pankreatogram). ERCP
merupakan modalitas yang sangat bermanfaat dalam membantu
diagnosis ikterus bedah dan juga dalam terapi sejumlah kasus ikterus
bedah yang inoperabel.
Indikasi ERCP diagnostik pada ikterus bedah meliputi:
a. Kolestasis ekstra hepatik
b. Keluhan pasca operasi bilier
c. Keluhan pasca kolesistektomi
d. Kolangitis akut
e. Pankreatitis bilier akut.
f. Di samping itu kelainan di daerah papila Vateri (tumor, impacted
stone) yang juga sering merupakan penyebab ikterus bedah dapat
terlihat jelas dengan teknik endoskopi ini.
12
5. FototerapiFototerapi dilakukan apabila telah ditegakkan hiperbillirubin
patologis dan berfungsi untuk menurunkan billirubin dikulit melalui
tinja dan urine dengan oksidasi foto pada billirubin dari billiverdin.
6. Transfusi tukar.
Transfusi tukar dilakukan bila sudah tidak dapat ditangani dengan foto
terapi.
(Sumber: IDAI, 2011)
13
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
14
3. Pemeriksaan fisik dan pengkajian fungsional
a. Aktivitas / Istirahat
Letargi, malas.
b. Sirkulasi
Mungkin pucat menandakan anemia.
c. Eliminasi
1) Bising usus hipoaktif.
2) Pasase mekonium mungkin lambat.
3) Feses mungkin lunak/coklat kehijauan selama pengeluaran
bilirubin.
4) Urin gelap pekat; hitam kecoklatan (sindrom bayi bronze)
d. Makanan / Cairan
Riwayat perlambatan / makan oral buruk, mungkin lebih disusui
dari pada menyusu botol. Pada umumnya bayi malas minum (
reflek menghisap dan menelan lemah, sehingga BB bayi
mengalami penurunan). Palpasi abdomen dapat menunjukkan
pembesaran limfa, hepar
e. Neuro sensori
1) Sefalohematoma besar mungkin terlihat pada satu atau kedua
tulang parietal yang berhubungan dengan trauma kelahiran /
kelahiran ekstraksi vakum
2) Edema umum, hepatosplenomegali, atau hidrops fetalis
mungkin ada dengan inkompatibilitas Rh berat.
3) Kehilangan refleks Moro mungkin terlihat pistotonus dengan
kekakuan lengkung punggung, fontanel menonjol, menangis
lirih, aktivitas kejang (tahap krisis)
f. Pernafasan
Riwayat asfiksia
g. Keamanan
1) Riwayat positif infeksi / sepsis neonatus
2) Dapat mengalami ekimosis berlebihan, ptekie, perdarahan
intracranial.
15
3) Dapat tampak ikterik pada awalnya pada daerah wajah dan
berlanjut pada bagian distal tubuh; kulit hitam kecoklatan
(sindrom bayi Bronze) sebagai efek samping fototerapi.
h. Seksualitas
1) Mungkin praterm, bayi kecil untuk usia gestasi (SGA), bayi
dengan retardasi pertumbuhan intrauterus (LGA), seperti bayi
dengan ibu diabetes.
2) Trauma kelahiran dapat terjadi berkenaan dengan stress dingin,
asfiksia, hipoksia, asidosis, hipoglikemia.
3) Terjadi lebih sering pada bayi pria dibandingkan perempuan.
i. Penyuluhan / Pembelajaran
1) Dapat mengalami hipotiroidisme congenital, atresia bilier,
fibrosis kistik.
2) Faktor keluarga :missal riwayat hiperbilirubinemia pada
kehamilan sebelumnya, penyakit hepar, fibrosis kristik,
kesalahan metabolisme saat lahir (galaktosemia), diskrasias
darah (sferositosis, defisiensi glukosa-6-fosfat dehidrogenase.
3) Faktor ibu, seperti diabetes; mencerna obat-obatan (missal,
salisilat, sulfonamide oral pada kehamilan akhir atau
nitrofurantoin (Furadantin),inkompatibilitas Rh/ABO, penyakit
infeksi (misal, rubella, sitomegalovirus, sifilis, toksoplamosis).
4) Faktor penunjang intrapartum, seperti persalinanpraterm,
kelahiran dengan ekstrasi vakum, induksi oksitosin,
perlambatan pengkleman tali pusat.
16
3.3 Intervensi Keperawatan
RENCANA KEPERAWATAN
17
7. Observasi tanda-tanda
dehidrasi ( turgor kulit
buruk, kehilangan berat
badan)
18