Anda di halaman 1dari 35

BAB 1

PENDAHULUAN

Trauma adalah keadaan yang disebabkan oleh luka atau cedera. Trauma
merupakan penyebab kematian utama pada kelompok umur dibawah 35 tahun. Di
Indonesia, trauma merupakan penyebab kemataian nomor empat, tetapi pada
kelompok umur 15-25 tahun merupakan penyebab kematian utama. Trauma dapat
disebabkan oleh benda tajam, benda tumpul atau peluru. Trauma tumpul kadang
tidak memberikan kelainan yang jelas pada permukaan tubuh, tetapi dapat
menyebabkan kontusio atau laserasi jaringan organ dibawahnya. 1
Trauma tumpul dapat berupa benturan benda tumpul, perlambatan (deselerasi)
dan dekompresi. Benturan benda tumpul pada abdomen dapat menimbulkan cedera
pada organ berongga berupa perforasi atau organ padat berupa perdarahan, salah
satunya pada organ limpa.1
Ruptur limpa merupakan keadaan darurat abdomen yang mengancam jiwa dan
umumnya disebabkan oleh trauma abdomen. Penyebab utamanya adalah cedera
langsung karena kecelakaan lalu lintas, terjatuh dari tempat tinggi, pada olahraga
luncur atau olahraga kontak, seperti yudo, karate, dan silat ,Sebaliknya, ruptur
spontan pada limpa merupakan kondisi yang jarang terjadi dan bisa saja merupakan
idiopatik atau terjadi sebagai komplikasi dari penyakit infeksi, penyakit neoplastik
atau penyakit hematologi. 2
Trauma limpa terjadi pada 25% dari semua trauma tumpul abdomen.
Perbandingan laki-laki dan perempuan yaitu 3 : 2, ini mungkin berhubungan dengan
tingginya kegiatan dalam olahraga, berkendaraan dan bekerja kasar pada laki-laki.
Angka kejadian tertinggi pada umur 15 – 35 tahun. Diagnosis untuk trauma tembus
limpa mudah ditegakkan karena biasanya pasien datang dirujuk untuk tindakan
operasi, Pada beberapa pasien, kadang tanpa gejala, hal ini membuat tingginya
mortalitas trauma tumpul abdomen dibanding trauma tembus. 2

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II. 1 Anatomi Limpa


Limpa merupakan organ lymphoid besar yang vascular. Organ ini terletak
di hypocondrium kiri berhadapan dengan diaphragma di sebelah atas, costa
sembilan sampai sebelas di sebelah kirinya, posterior terhadap gaster serta
anterior terhadap bagian atas ren kiri. Limpa mempunyai facies diaphragmatica
yang berbatasan dengan diaphragm, facies visceralis yang berbatasan dengan
gaster, ren dan flexura coli sinistra.3
Gambar 1. Anatomi Limpa Aspektus Anterior

Dikutip dari kepustakaan 4

Berat limpa rata-rata berkisar antara 75-100 gram; biasanya sedikit


mengecil dengan meningkatnya umur sepanjang tidak disertai adanya patologi
lainnya. Ukuran dan bentuk bervariasi, panjang ± 10-11 cm, lebar ± 6-7 cm,
tebal ± 3-4 cm.5 Limpa terbungkus peritoneum kecuali pada daerah hillum.
Seperti diketahui, limpa tumbuh diantara dua lapisan mesogastrium dorsal dan
tetap berhubungan dengan gaster melalui ligamentum gastrolienale, dengan
ginjal melalui ligamentum linorenale dan dengan diaphragm melalui
ligamentum phrenicolienale.3
Limpa merupakan organ paling vaskuler, dialiri darah sekitar 350 L per
hari dan berisi kira-kira 1 unit darah pada saat tertentu. Vaskularisasinya
meliputi arteri lienalis, variasi cabang pankreas dan beberapa cabang dari gaster

2
(vasa Brevis). Arteri lienalis merupakan cabang terbesar dari truncus celiacus.
Biasanya menjadi 5-6 cabang pada hilus sebelum memasuki limpa. Pada 85%
kasus, arteri lienalis bercabang menjadi 2 yaitu ke superior dan inferior
sebelum memasuki hilus. Sehingga hemi splenektomi bisa dilakukan pada
keadaan tersebut. Vena lienalis bergabung dengan vena mesenterica superior
membentuk vena porta.2,5

Gambar 2. Anatomi Limpa Aspektus Posterior


Dikutip dari kepustakaan 4

II.2 Fisiologi Limpa


Pada janin usia 5-8 bulan limpa berfungsi sebagai tempat pembentukan
sel darah merah dan putih, dan tidak berfungsi pada saat dewasa. Selain itu,
limpa berfungsi menyaring darah, artinya sel yang tidak normal, diantaranya
eritrosit, leukosit, dan trombosit tua ditahan dan dirusak oleh sistem
retikuloendotelium di sana dan limpa menjalankan fungsinya tersebut seumur
hidup. Aliran darah menuju limpa dibawa oleh arteri splenica. Untuk
menjalankan faal ini, limpa diedari darah sampai 350 liter sehari sehingga
merupakan alat yang paling kaya pendarahannya.5
Limpa juga merupakan organ pertahanan utama ketika tubuh terinvasi
oleh bakteri melalui darah dan tubuh belum atau sedikit memiliki antibodi.
Kemampuan ini akibat adanya mikrosirkulasi yang unik pada limpa. Sirkulasi
ini memungkinkan aliran yang lambat sehingga limpa punya waktu untuk
memfagosit bakteri, sekalipun opsonisasinya buruk. Antigen partikulat

3
dibersihkan dengan cara yang mirip oleh efek filter ini dan antigen ini
merangsang respon anti bodi Ig M di centrum germinale. Sel darah merah juga
dieliminasi dengan cara yang sama saat melewati limpa.6
Limpa berperan dalam proses imunologis dengan berperan dalam sistem
komplemen. Limpa melakukan fungsi ini karena kapasitas fagositnya yang
besar dan juga menghasilkan properdin dan tufsin. Properdin merupakan suatu
molekul yang mengaktivasi The alternative complement pathway. Tufsin
merupakan suatu molekul yang meningkatkan aktifitas fagosit pada PMN.
Tufsin merupakan bagian dari IgG.6

Gambar 3. Lien Aspectus Ventral


Dikutip dari Kepustakaan 3

Limpa dapat secara selektif membersihkan bagian-bagian sel darah


merah, dapat membersihkan sisa sel darah merah normal. Sel darah merah tua
akan kehilangan aktifitas enzimnya dan limpa mengenali kondisi ini akan
menangkap dan menghancurkannya. Pada asplenia kadar tufsin ada di bawah
normal. Tufsin adalah sebuah tetra peptida yang melingkupi sel-sel darah putih
dan merangsang fagositosis dari bakteri dan sel-sel darah tua. Properdin adalah
komponen penting dari jalur alternatif aktivasi komplemen.6
Fungsi filtrasi limpa penting untuk pemeliharaan morfologi dan fisiologi
sel darah merah yang normal. Sel darah merah yang normal berbentuk

4
bikonkaf dan relatif mudah berubah untuk memfasilitasi mikrosirkulasi dan
mengoptimalkan pertukaran antara oksigen dan karbon dioksida. Limpa adalah
tempat terbaik untuk memproses sel darah merah immature dan untuk
memperbaiki atau pembongkaran sel darah merah yang mengalami kelainan
ataupun rusak. Sel darah merah immature yang melewati limpa akan
mengalami beberapa jenis perbaikan termasuk pengurangan nucleus dan
membrane sel yang berlebihan untuk mengubah bentuknya dari spiral menjadi
morfologi mature yang anucleated bikonkaf. 6

II.3 Histologi Limpa


Limpa memiliki kapsul berkolagen dengan juluran-juluan ke bagian
dalam yang disebut trabekel. Kapsul tersebut menyatu dengan struktur reticular
halus yang memenuhi bagian dalam organ dan terletak diantara celah-celah sel
bebas dari parenkim. Kapsul menebal pada bagian hillus limpa, tempat untuk
melekatnya limpa pada lipatan peritoneum dan masuknya arteri dan saraf, serta
keluarnya vena dan pembuluh limfe dari limpa. 7
Ketika limpa normal yang baru diinsisi dipotong, pada permukaan
tampak granular halus yang didominasi warna merah tua dengan nodul
keputihan yang tersebar bebas di sepanjang permukaan. Pengamatan ini
mencerminkan struktur mikro dari limpa. Parenkim limpa terdiri dari dua
elemen utama: pulpa merah, yang merupakan sekitar 75% dari total volume
limpa, dan pulpa putih. Diantara permukaan antara pulpa merah dan pulpa
putih terdapat zona marjinal yang sempit.7

Gambar 4 Histologi limpa


Dikutip dari kepustakaan 8

5
Pulpa merah terdiri dari sejumlah besar sinus vena, yang akhirnya akan
mengalir pada muara vena lienalis. Sinus dikelilingi dan dipisahkan oleh
retikulum, jaringan fibrocellular serat kolagen dan fibroblast. Pada jaringan ini
atau anyaman ini terdapat makrofag limpa. Pada daerah intersinusoidal ini
menjulur korteks limpa. Sinus-sinus vena dilapisi oleh sel endotel yang satu
sama lain memiliki fariasi dalam apposition tertutup atau dipisahkan oleh
celah interselular pada konfigurasi unik limpa. Pulpa merah berfungsi sebagai
sistem filtrasi yang dinamis, memungkinkan makrofag untuk mengurangi
mikroorganisme, debris sel, kompleks antigen-antibodi, dan eritrosit tua dari
peredaran. 9
Beberapa milimeter dari terminal arteri lienalis, lapisan limfatik
periarticular menggantikan lapisan adventitia pembuluh. Selubung ini terdiri
dari limfosit T dan agregasi intermiten limfosit B atau folikel limfoid. Ketika
antigen dirangsang, folikel yang berperan sebagai pusat proliferasi limfosit,
menyampaikan ke pusat-pusat germinal, yang diterima sebagai stimulus atau
infeksi. Pulpa putih ini terdiri dari nodul yang biasanya berukuran kurang dari 1
mm tetapi dapat meningkat menjadi beberapa sentimeter ketika menyatu,
seperti yang terjadi pada penyakit limfoproliperatif tertentu. Penghubung antara
pulpa putih dan merah adalah zona marjinal, dimana limfosit mudah diagregasi.
Darah diterima dari zona ini menuju pulpa merah, di mana limfosit dan
imunoglobulin diproduksi secara lokal pada akhirnya masuk ke sirkulasi
sistemik.9

II.4 Ruptur Limpa


a. Definisi
Ruptur limpa merupakan keadaan darurat abdomen yang mengancam
jiwa dan umumnya disebabkan oleh trauma abdomen. Sebaliknya, ruptur
spontan pada limpa merupakan kondisi yang jarang terjadi dan bisa saja
merupakan idiopatik atau terjadi sebagai komplikasi dari penyakit infeksi,
penyakit neoplastik atau penyakit hematologi.2

6
Ruptur Limpa dapat terjadi akibat trauma baik itu trauma tumpul, trauma
tajam, ataupun trauma iatrogenik, walaupun jarang ruptur limpa juga dapat
terjadi karena rupture spontan.5

b. Etiologi
Pecahnya limpa dapat terjadi akibat rudapaksa tajam atau tumpul,
sewaktu operasi dan yang jarang terjadi , ruptur spontan.
Berdasarkan penyebab, trauma limpa dibagi atas:5
1. Trauma tajam
Trauma ini dapat terjadi akibat luka tembak, tusukan pisau atau
tajam lainnya. Pada luka ini biasanya organ lain ikut terluka tergantung
arah trauma. Yang sering dicederai adalah paru, lambung, lebih jarang
pankreas, ginjal kiri dan pembuluh darah mesenterium.
Pemeriksaan splenoportografi yang dilakukan melalui pungsi dapat
pula menimbulkan perdarahan. Perdarahan pasca splenoportografi ini
jarang terjadi selama jumlah trombosit lebih dari 70.000 dan masa
protrombin 20% di atas normal.
2. Trauma tumpul
Limpa merupakan organ yang paling sering terluka pada trauma
tumpul abdomen atau trauma toraks kiri bagian bawah. Keadaan ini
mungkin disertai kerusakan usus halus, hati, dan pankreas. Penyebab
utamanya adalah cedera langsung atau tidak langsung karena kecelakaan
lalu lintas, terjatuh dari tempat tinggi, pada olahraga luncur dan olahraga
kontak, seperti yudo, karate, dan silat.
Ruptur limpa yang lambat dapat terjadi dalam jangka waktu
beberapa hari sampai beberapa minggu setelah trauma. Pada separuh
kasus, masa laten ini kurang dari 7 hari. Hal ini terjadi karena ada
tamponade sementara pada laserasi yang kecil, atau ada hematom
subkapsular yang membesar secara lambat dan kemudian pecah.

7
3. Traum Iatrogenik
Ruptur limpa sewaktu operasi dapat terjadi pada operasi abdomen
bagian atas, umpanya karena alat penarik (retraktor) yang dapat
menyebabkan limpa terdorong atau ditarik terlalu jauh sehingga hilus
atau pembuluh darah sekitar hilus terobek. Cedera iatrogen juga dapat
terjadi akibat pungsi limpa (splenoportografi).
4. Ruptur Spontan
Limpa pecah spontan sering dilaporkan pada penyakit yang disertai
dengan pembesaran limpa, seperti gangguan hematologik jinak maupun
ganas, mononukleosis, malaria kronik, sarkoidosis, dan splenomegali
kongestif pada hipertensi portal.

Tabel 1 Etiologi Ruptur Limpa5


Rudapaksa Spontan
a. Tajam a. Penyakit infeksi
 Transabdomina  Mononukleusis infeksiosa
 Translokal  malaria
b. Tumpul b. Penyakit Hematologik
 Langsung  Jinak
 Tidak Langsung  ganas
Kecelakan lalu lintas, c. Bendungan
jatuh dari ketinggian.  Hipertensi portal
c. Iatrogenik
 Pada tindak bedah
 Pungsi

Dikutip dari kepustakaan 5

A. Epidemiologi
Trauma tumpul abdomen merupakan penyebab utama morbiditas dan
kematian di antara semua kelompok umur. Identifikasi serius patologi intra-
abdominal seringkali menantang. Banyak luka tidak mungkin terwujud
selama penilaian awal dan periode pengobatan. Terjawab cedera intra-
abdomen dan perdarahan tersembunyi yang sering menyebabkan peningkatan

8
morbiditas dan mortalitas, terutama pada pasien yang lambat ditangani pada
fase awal cedera.10
Trauma tumpul abdomen biasanya hasil dari tabrakan kendaraan
bermotor, serangan, kecelakaan saat rekreasi, atau jatuh. Organ-organ yang
paling sering cedera adalah limpa, hati, retroperitoneum, usus kecil, ginjal,
kandung kemih, colorectum, diafragma, dan pankreas. Pria cenderung lebih
sering mengalami trauma tumpul abdomen daripada wanita.10
Cedera limpa dapat berupa disengaja atau iatrogenik. Paling sering
dikaitkan dengan trauma tumpul. Sering terjadi dalam kehadiran patah tulang
rusuk yang lebih rendah. Biasanya gejala tampak lebih awal atau lebih
lambat. Cedera dengan gejala yang lebih lambat biasanya karena pecahnya
hematoma subkapsular. 20% dari cedera limpa terjadi secara tidak sengaja
selama operasi perut lainnya. Pada beberapa pasien trauma lien secara
spontan dapat diakibatkan oleh trauma yang sepele.10
Limpa kadang terkena ketika trauma pada torakoabdominal dan trauma
tembus abdomen. Penyebab utamanya adalah cedera langsung karena
kecelakaan lalu lintas, terjatuh dari tempat tinggi, pada olahraga luncur atau
olahraga kontak, seperti yudo, karate, dan silat. Trauma limpa terjadi pada
25% dari semua trauma tumpul abdomen. Perbandingan laki-laki dan
perempuan yaitu 3 : 2, ini mungkin berhubungan dengan tingginya kegiatan
dalam olahraga, berkendaraan dan bekerja kasar pada laki-laki. Angka
kejadian tertinggi pada umur 15 – 35 tahun.10

9
BAB III

INITIAL ASSESMENT

Penderita trauma/multitrauma memerlukan penilaian dan pengelolaan yang


cepat dan tepat untuk menyelamatkan jiwa penderita. Waktu berperan sangat
penting, oleh karena itu diperlukan cara yang mudah, cepat dan tepat. Proses awal ini
dikenal dengan Initial assessment ( penilaian awal ).11
Penilaian awal meliputi:11
1. Persiapan
2. Triase
3. Primary survey (ABCDE)
4. Resusitasi
5. Tambahan terhadap primary survey dan resusitasi
6. Secondary survey
7. Tambahan terhadap secondary survey
8. Pemantauan dan re-evaluasi berkesinarnbungan
9. Transfer ke pusat rujukan yang lebih baik
Urutan kejadian diatas diterapkan seolah-seolah berurutan namun dalam
praktek sehari-hari dapat dilakukan secara bersamaan dan terus menerus.
Persiapan11
a. Fase Pra-Rumah Sakit
1. Koordinasi yang baik antara dokter di rumah sakit dan petugas lapangan
2. Sebaiknya terdapat pemberitahuan terhadap rumah sakit sebelum penderita
mulai diangkut dari tempat kejadian.
3. Pengumpulan keterangan yang akan dibutuhkan di rumah sakit seperti
waktu kejadian, sebab kejadian, mekanisme kejadian dan riwayat penderita
b. Fase Rumah Sakit
1. Perencanaan sebelum penderita tiba
2. Perlengkapan airway sudah dipersiapkan, dicoba dan diletakkan di tempat
yang mudah dijangkau

10
3. Cairan kristaloid yang sudah dihangatkan, disiapkan dan diletakkan pada
tempat yang mudah dijangkau
4. Pemberitahuan terhadap tenaga laboratorium dan radiologi apabila
sewaktu-waktu dibutuhkan.
5. Pemakaian alat-alat proteksi diri
Triase11
Triase adalah cara pemilahan penderita berdasarkan kebutuhan terapi dan
sumber daya yang tersedia. Dua jenis triase :
a. Multiple Casualties
Jumlah penderita dan beratnya trauma tidak melampaui kemampuan rumah
sakit. Penderita dengan masalah yang mengancam jiwa dan multi trauma akan
mendapatkan prioritas penanganan lebih dahulu.
b. Mass Casualties
Jumlah penderita dan beratnya trauma melampaui kemampuan rumah sakit.
Penderita dengan kemungkinan survival yang terbesar dan membutuhkan
waktu, perlengkapan dan tenaga yang paling sedikit akan mendapatkan
prioritas penanganan lebih dahulu. Pemberian label kondisi pasien pada
musibah massal :
1) Label hijau
Penderita tidak luka . Ditempatkan di ruang tunggu untuk dipulangkan.
2) Label kuning
Penderita hanya luka ringan. Ditempatkan di kamar bedah minor UGD.
3) Label merah
Penderita dengan cedera berat. Ditempatkan di ruang resusitasi UGD dan
disiapkan dipindahkan ke kamar operasi mayor UGD apabila sewaktu-
waktu akan dilakukan operasi
4) Label biru
Penderita dalam keadaan berat terancam jiwanya. Ditempatkan di ruang
resusitasi UGD disiapkan untuk masuk intensive care unit atau masuk
kamar operasi.
5) Label hitam Penderita sudah meninggal. Ditempatkan di kamar jenazah

11
III.1 PRIMARY SURVEY
Pemeriksaan Kesadaran12
Penilaian awal tingkat kesadaran saat servikal dalam keadaan stabil harus
diakukan segera. Penolong berhadapan langsung dengan korban dari arah
depan sehingga pasien tidak perlu menggerakan kepala. Penolong berkata pada
pasien “Nama saya adalah___” kami disini untuk menolong anda. Bisakah anda
memberitahu saya apa yang terjadi?” Jika pasien menjawab dengan cepat maka
dapat memberitahu informasi tentang jalan napas dan tingkat kesadaran pasien.
Jika pasien merespon pertanyaan dengan wajar maka dapat berasumsi bahwa
jalan napas terbuka dan tingkat kesadaran normal. Ketika respon dari pasien
tidak wajar (pasien tidak sadar atau terbangun tapi tampak bingung) maka
penilaian tingkat kesadaran menggunakan AVPU.
 A - Alert : sadar dan terorientasi
 V - Merespon terhadap rangsangan Verbal (sadar namun bingung, atau
tidak sadar namun menanggapi beberapa rangsangan verbal)
 P - Merepon terhadap rangsangan nyeri (Pain) (tidak sadar tetapi dapat
menanggapi beberapa rangsangan nyeri)
 U - Unresponsive (tidak ada reflex muntah dan batuk)
a. Airway
Anatomi dan Fisiologi Pernapasan

Gambar 5. Anatomi Traktus Respiratorius


Dikutip dari Kepustakaan 4

12
Respirasi (pernapasan) melibatkan keseluruhan proses yang menyebabkan
pergerakan pasif O2 dari atmosfer ke jaringan untuk menunjang metabolisme
sel, serta pergerakan pasif CO2 selanjutnya yang merupakan produk sisa
metabolisme dari jaringan ke atmosfer. Organ – organ respiratorik juga
berfungsi dalam produksi wicara dan berperan dalam keseimbangan asam-basa,
pertahanan tubuh melawan benda asing, dan pengaturan hormonal tekanan
darah. Respirasi terdiri dari Respirasi Internal dan Respirasi Eksternal.
Respirasi Internal atau seluler mengacu kepada proses metabolisme intrasel.
Respirasi Eksternal mengacu kepada keseluruhan rangkaian kejadian yang
terlibat dalam pertukaran O2 dan CO2 antara lingkungan eksternal dan sel
tubuh. Respirasi Ekternal meliputi empat langkah : Ventilasi, Difusi,
Transportasi, dan regulasi. Secara fisiologis, Airway meliputi mekanisme
Ventilasi yang melibatkan Jalan Udara Pernafasan.13
O2 dapat diangkut dari paru ke jaringan-jaringan melalui 2 jalan : secara
fisik larut (sekitar 1,5%) dalam plasma atau secara kimia berikatan dengan Hb
sebagai oksiHb (HbO2 sekitar 98,5%).13 Transpor CO2 dari jaringan ke
paru untuk dibuang dilakukan dengan tiga cara. Sekitar 10% CO2 secara fisik
larut dalam plasma, karena tidak sperti O2, CO2 mudah larut dalam plasma.
Sekitar 20% CO2 berikatan dengan gugus amino pada Hb
(karbaminohemoglobin) dalam sel darah merah, dan sekitar 70% diangkut
dalam bentuk bikarbonat plasma (HCO3-). CO2 berikatan dengan air dalam
reaksi berikut ini14 :
CO2 + H2O ⇌ H2CO3 ⇋ H+ + HCO3-

Penilaian11,15
1. Mengenal potensi airway
2. Penilaian cepat dengan adanya obstruksi
Airway berkaitan dengan kondisi jalan napas korban. Jika penolong
menemukan pasien dengan suara napas yang ramai (tidak bersih). PAda kondisi
ini berarti ada suara napas yang timbul akibat adanya sumbatan parsial jalan
napas. Jika jalan napas tersumbat seluruhnya, maka suara napas tidak terdengar

13
lagi. Untuk menilai adanya gangguan jalan napas ini, lakukan “look, listen, and
feel”.
 Look
Lihat adanya pergerakan jalan napas. Perhatikan naik turunnya dada
penderita, cuping hidung dan perut.
 Listen
Dengarkan kemungkinan adanya suara napas tambahan yang dapat berupa :
a. Snoring (ngorok), terjadi karena adanya obstruksi mekanis seperti lidah
jatuh kebelakang dan menghalangi jalan napas.
b. Gargling (suara berkumur) disebabkan adanya cairan seperti darah atau
secret yang berlebihan.
c. Crowing (suara melengking saat inhalasi) karena adanya spasme laring.
 Feel
Rasakan ada atau tidak hembusan udara dari lubang hidung.
Bila salah satu dari halhal tersebut kita temukan maka segeralah lakukan
pembebasan jalan napas.

Permasalahan17
1. Lidah yang jatuh ke belakan dan menyumbat orofaring dan glottis
2. Cairan atau benda semipadat atau benda asing yang menyumbat lumen
saluran pernapasan bagian atas.
3. Penekanan saluran pernapasan dari luar

Penanganan
Jalan napas bebas dapat dicapai dengan ekstensi kepala sehingga lidah
terletak di depan dan tidak menutup hipofaring. Hal ini dapat dicapai dengan
menarik dagu ke depan. Bila ada kecurigaan terjadi fraktur tulang leher,
tindakan membebaskan jalan napas dilakukan tanpa ekstensi berlebihan kepala
dan posisi leher harus diimobilsasi. Umumnya jalan napas harus terlebih dahulu
dibuka, dibebaskan, dan dibersihkan.1

14
Ketika tidak dicurigai adanya trauma servikal, korban yang tidak sadar
dengan pernapasan spontan dapat ditempatkan dengan recovery position yaitu
memutar pasien meunju satu sisi dan meletakkan lengan bawah di depan badan.
Posisi ini membantu untuk menjaga jalan napas tetap patent dan mengurangi
resiko obstruksi jalan napas dan aspirasi.18

\
Gambar 6.Recovery Position
Dikutip dari kepustakaan 18

AHA menemukan bahwa head tilt/chin lift maneuver adalah teknik paling
efektif untuk membuka jalan napas pada korban yang tidak sadar. Teknik ini
adalah satu-satunya maneuver yang direkomendasikan untuk penolong awam

15
dan penolong berpengelaman ketika tidak ada tarauma kepala atau leher. Head
tilit/chin lift maneuver dilakukan dengan meletakkan satu tangan pada dahi
pasien dan kepaa dimiringkan kebelakang. Jari pada tangan lain diletakkan
dengan kuat dibawah bagian tulang yang menonjol pada dagu, angkat dagu ke
atas.18

Gambar 7. Head tilit/chin lift maneuver


Dikutip dari kepustakaan 18

Alat-alat yang digunakan untuk menjamin agar airway tetap paten adalah
berbagai macam nasopharyngeal (NPA), oropharyngeal (OPA), Blind insertion
airway devices (BIAD), dan endotracheal airways. NPA didesain untuk
melindungi lidah dan epiglotis jatuh melawan dinding pharyngeal posterior.12
Indikasi utama penggunaan OPA adalah obstruksi jalan napas atau digunakan
untuk pemeliharaan jalan napas. OPA hanya digunakan pada pasien dengan
reflex muntah dan batuk yang kurang.19

Gambar 8. NPA dan OPA


Dikutip dari kepustakaan 18

16
Obstruksi jalan napas dapat disebabkan oleh korpus alienum umpamanya
karena tersedak. Jika benda asing tidak tampak dimulut dan tidak dapat
ditangkap dengan jari atau alat harus dilakukan perasat Heimlich. Pasien
dipegang dari belakang setinggi ulu hati dengan kedua tangan: tangan yang satu
memegang tangan yang lain dengan cukup kuat, tangan ditekan sehingga
diafragma naik dan terjadi tekanan tinggi di rongga dada. Gerakan ini dapat
mengeluarkan benda asing.1

Gambar 9. Heimlich Manuever


Dikutip dari kepustakaan 18
b. Breathing
Breathing/ventilasi adalah suatu proses pengambilan oksigen dari udara
bebas dan pengeluaran CO2 ke udara bebas. Airway yang baik tidak menjamin
proses bernapas berlangsung dengan baik karena dengan jalan napas yang baik
belum tentu O2 dapat masuk dan CO2 dapat keluar.14
Berhentinya peredaran darah akan egera disusul dengan henti npas dalam
waktu singkat. Sebaliknya, gangguan pernapasn juga akan disusul oleh
berhentinya kontraksi jantung akibat kerusakan otot jantung dan otak. Oleh
karena itu, mengupayakan ventilasi merupakan tindakan resusitasi yang
mutlak.1

17
Penilaian11,15
1. Lihat naik turunnya dada yang simetris dengan pergerakan dinding dada
yang adekuat.
2. Letakkan wajah anda dekat mulut korban dan lihat, dengarkan serta
rasakan adanya pernapasan, pergerakan dadanya, suara pernapasan,
rasakan nafasnya di pipi anda, lakukan hal itu selama 5 detik sebelum
memutuskan korban tidak bernapas.
3. Buka leher dan dada sambil menjaga imobilisasi leher dan kepala
4. Tentukan laju dan dalamnya pernapasan
5. Inspeksi dan palpasi leher dan toraks untuk adanya deviasi trakea,
ekspansi toraks simetris atau tidaknya simetris, pemakaian otot tambahan
dan tandatanda cedera lainnya.
6. Perkusi toraks untuk menentukan redup atau hipersonar
7. Auskultasi toraks bilateral

Gambar 10. Penilaian breathing


Dikutip dari kepustakaan 20

18
Permasalahan
Cedera dinding dada, rongga thoraks, atau paru dapat menyebabkan gagal
napas. Pada trauma majemuk, gagal napas dapat dapat pula terjadi terjadi bila
trauma mengenai abdomen atas. Cadangan napas dapat menurun bila penderita
telah menderita gangguan napas sebelum terjadi trauma sehingga pertukaran
gas tidak cukup. Sindrom gagal napas pada orang dewasa (Adult respiratory
distress syndrome, ARDS) adalah kegagalan paru karena trauma, syok, sepsis.1
Tanda distres nafas:21
 Nafas dangkal dan cepat
 Gerak cuping hidung
 Tarikan sela iga (retraksi)
 Tarikan otot leher (trachea tug)
 Nadi cepat
 Hipotensi
 Vena Leher
 Sianosis (tanda lambat)

Penanganan
Pemberian napas buatan diberikan sebanyak 12-20 kali/menit sampai dada
Nampak terangkat. Diberikan bila nafas abnormal tidak usah menunggu sampa
apneu dulu berikan tambahan oksigen bila tersedia.21
Untuk memberikan bantuan pernapasan mulut ke mulut, jalan napas
korban harus terbuka. Tangan penolong masih tetap melakukan teknik
membuka jalan napas chin lift. Hidung korban harus ditutup bisa dengan tangan
atau dengan menekankan pipi penolong pada hidung korban. Mulut penolong
mencakupseluruh mulut korban. Mata penolong melihat kea rah dada korban
untuk melihat pengembangan dada. Pemberian pernafasan buatan secara efektif
dapat diketahui dengan melihat pengembangan dada korban.21

19
Gambar 11. Mouth to mouth ventilation
Dikutip dari kepustakaan 18

Memberikan napas buatan dari mulut ke hidung direkomendasikan jika


pemberian napas buatan melalui mulut korban tidak dapat dilakukan misalnya
terdapat luka yang berat pada mulut korban, mulut tidak dapat dibuka, korban
di dalam air atau mulut penolong tidak dapat mencakup mulut korban.21
Pemberian nafas buatan dengan menggunakan alat dapat menggunakan
Bag Valve Mask. Ambu bag terdiri dari bag yang berfungsi untuk memompa
O2 bebas, valve atau pipa berkatup dan masker yang menutup mulut dan
hidung penderita. Penggunaan ambu bag atau bagging sungkup memerlukan
keterampilan tersendiri. Ambu bag sangat efektif bila dilakukan oleh dua orang
penolong yang berpengalaman. Salah seorang penolong membuka jalan napas
dan menemperlkan sungkup diwajah korban dan penolong lain memegang
bagging.21

Gambar 11. Bag valve mask dengan one hand (a) dan two hands (b)
Dikutip dari kepustakaan 18

c. Circulation
Istilah henti jantung adalah istilah umum yang meliputi konsekuensi
hemodinamik pada: asistol, fibrilasi venrikel, dan disosiasi elektromekanik.
Berhentinya kontraksi jantung tidak benar-benar terjadi pada dua dari tiga

20
keadaan ini. Bila curah jantung sangat rendah sehingga semua tanda-tanda
henti jantung muncul.22

Penilaian
Diagnosis henti jantung ditegakkan atas dasar tanda penderita tidak sadar,
tidak ada pernapasa, dan tidak terdapat denyut nadi di arteri besar. Jika
diagnosis henti jantung ditegakkan, Resusitasi jantung paru dan ventilasi harus
segera dimulai.1
Tanda-tanda henti jantung adalah: tidak teraba denyut nadi yang
sebelumnya teraba atau tidak ada denyut pembuluh darah besar (arotis atau
femoralis). Salah satu atau kedua tanda utama ini berlaku pada seua situasi.22

Permasalahan
Perlu dibuat diagnosis dengan cepat dalam hitungan detik akan kejadian
ini. Kalau tidak, terapi akan sia-sia. Dilatasi pupil terjadi pada henti sirkulasi
dan merupakan tanda hipoksia. Hipoksi dapat juga endahului henti jantung
sehingga sianosis serta midriasis telah ada walaupun curah jantung tidak
berkurang.22
Tidak ada cadangan nyata oksigen di dalam tubuh tetapi pada setiap saat
tersedia kurang lebih 1000 ml osigen. Jelas bahwa tidak semua oksigen ini
tersedia sepenuhnya untuk keperluan metabolik. Jadi. Jika ambilan oksigen
terus tidak berkurang “cadangan” akan habis terpakai sesudah, paling lama 3
menit. Secara umum, bila sirkulasi tidak mulai kembali secara spontan, atau
tidak ditambah secara buatan, dalam 3 menit sejak saat berhenti, mungkin tidak
ada gunanya kita memulai resusitasi. Oleh karena itu, henti jantung klinis harus
ditangani segera.22

Penanganan
Raba denyut karotis, bila positif berikan pernapasa buatan saja sampai
penderita bernapas spontan. Bila kemudian denyut karotis melemah lakukan:23
1. Pertahankan airway dan breathing tetap paten.

21
2. Setelah bernapas dalam, udara ekspirasi langsung ditiupkan ke dalam jalan
napas penderita.
3. Sesuaikan kekuatan tiupan, tiupan yang terlalu kuat pada bayi atau anak
dapat menimbulkan ruptur paru.
4. Selama meniup perhatikan dada penderita; bila udara masuk, dada akan
mengembang
5. Lalu angkat mulut, biarkan penderita ekshalasi secara pasif.
6. Lakukan dengan frewkuensi 12-15 kali/menit; pada bayi 20-30 kali/menit.
7. Periksa terus denyut karotis
8. Perhatikan kemungkinan insuflasi lambung yang dapat menyebabkan
regurgitasi, tekan daerah epigastrium untuk mendorong keluar udara dalam
lambung.
Bila denyut karotis tidak teraba, pernapasan buatan harus dilakukan
dengan bersamaan dengan kompresi jantung23:
 Bila hanya ada satu penolong, lakukan bergantian dengan perbandingan
15:2-15 kali kompresi (frewkuensi 80 klai/menit) disusul 2 ventilasi dalam
5-6 detik.
 Bila dua penolong, lakukan dengan perbandingan 5:1, 5 kompresi
(frewkuensi 60-70 kali /menit) disusul 1 ventilasi (tanpa menghentikan
kompresi).
Cara Kompresi23:
1. Penolong disamping penderita
2. Dengan kedua telapak tangan ditumpuk di daerah V3 di bawah sternum
(kurang lebih 2 jari di atas prosesus xifoideus lakukan penekanan.
3. Penakanan dilakukan dengan kedua lengan lurus dan memakai berat badan.
4. Sternum ditekan 4-5 cm ke dalam, tahan setengah detik, lalu lepaskan
dengan cepat (lengan tetap lurus dan menempel sternum)
5. Pada bayi/anak penekanan dilakukan dengan kedua ibu jari atau dua jari
tangan pada pertengahan sternum, sedalam 2-3 cm.
6. Penekanan harus cukup kuat sehingga menimbulkan denyut nadi buatan.

22
7. Lakukan dengan frewkuensi 60-80 kali/menit; pada bayi/anak 100-120
kali/menit, secara teratu dan kontinu.
8. Tiap dua menit periksa apakah ada denyut nadi spontan.
9. Pupil yang mengecil dan refleks cahaya yang membaik, menandakan
bahwa resusitasi yang dilakukan cukup efektif.
10. Resusitasi dianggap berhasil bila timbul denyut nadi spontan dan tekanan
darah sistolik mencapai 60 mmHg. -

Gambar 12. Resusitasi Jantung Paru


Dikutip dari kepustakaan 18

III.2. SECONDARY SURVEY


Survey sekunder dimaksudkan untuk mendeteksi penyakit atau trauma
yang diderita pasien sehingga dapat ditangani lebih lanjut ,dalam survey
sekunder,alat-alat yang digunakan adalah stetoskop,tensi meter,jam ,lampu
pemeriksa/senter ,gunting,thermometer ,catatan dan alat tulis.
Evaluasi lengkap dari penderita memerlukan pemeriksaan fisik berulang-
ulang.11

23
1. Anamnesis
Riwayat “AMPLE” yang harus diingat yaitu:
A : alergi
M : medikasi (obat yang diminum sebelumnya)
P : past illness (penyakit sebelumnya)/pregnancy (hamil)
L : last meal (makanan terakhir dikonsumsi)
E : event/environment (lingkungan yang brhubungan dengan kegawatan).
2. Pemeriksaan Fisik
a. Kepala
Seluruh kulit kepala dan kepala harus diperiksa akan adanya
luka, kontusio atau fraktur. Karena kemungkinan bengkaknya mata
yang akan mempersulit pemeriksaan yang teliti, mata harus diperiksa
akan adanya :
1) Ketajaman visus
2) Ukuran pupil
3) Perdarahan konjungtiva dan fundus
4) Luka tembus pada mata
5) Lensa kontak (ambil sebelum edema)
6) Dilocatio lentis
7) Jepitan otot bola mata
8) Gerakan bola mata
b. Maksilo-fasial
Trauma maksilofasial dapat mengganggu airway atau perdarahan
yang hebat, yang harus ditangani saat survei primer.
Trauma maksilofasial tanpa gangguan airway atau perdarahan
hebat, baru dikerjakan setelah penderita stabil sepenuhnya dan
pengelolaan definitif dapat dilakukan dengan aman.
Penderita dengan fraktur tulang wajah mungkin juga ada fraktur
pada lamina cribrosa.

24
c. Vertebra servikalis dan leher
 Rambut dan kulit kepala :perdarahan, pengelupasan,
perlukaandan penekanan.
 Telinga: perlukaan, dareah, cairan,
 Mata: perlukaan, pembengkakan, perdarahan, reflek pupil,
kondisi kelopak mata, adanya benda asing, pergerakan abnormal
 Hidung : perlukaan, darah, cairan, napas cuping hidung, kelainan
anatomi akibat trauma.
 Mulut : perlukaan, darah, muntahan, benda asing, gigi, bau, dapat
buka mulut atau tidak
 Bibir : perlukaan, perdarahan, sianosis, kering.
 Rahang : perlukaan, stabilitas, krepitasi.
 Kulit: perlukaan, basah atau kering, darah, suhu, warna.
 Leher: perlukaan, bendungan vena, deviasi trakea, spasme otot,
stoma, stabilitsa tulang leher.
d. Toraks
Inspeksi dari depan dan belakang akan menunjukkan adanya
flail chest atau open pneumo-thorax. Palpasi harus dilakukan pada
setiap iga dan klavikula. Penekanan pada sternum dapat nyeri bila ada
fraktur sternum atau ada costochondral separation. Kontusio dan
hematoma pada dinding dada mungkin disertai kelainan dalam rongga
toraks. Kelainan pada toraks akan disertai nyeri dan/atau dispneu.
Bising nafas diperiksa pada bagian atas toraks untuk menentukan
pnumo-toraks, dan pada bagian posterior untuk adanya hemotoraks.
Auskultasi mungkin sulit bila lingkungna berisik, tetapi harus tetap
dilakukan. Bunyi jantung yang jauh disertai tekanan nadi yang kecil
mungkin disebabkan tamponade jantung.
Adanya tamponade jantung atau tension pneumothorax dapat
terlihat dari adanya distensi pada vena jugularis, walaupun adanya
hipovolemia akan meniadakan tanda ini. Melemahnya suara nafas dan
hipersonor pada perkusi paru disertai syok mungkin satu-satunya

25
tanda akan adanya tension pneumo-thorax, yang menandakan
perlunya dekompresi segera.
e. Abdomen
Trauma abdomen harus ditangani dengan agresif. Diagnosis yang
tepat tidak terlalu dibutuhkan, yang penting adalah adanya indikasi
untuk operasi. Pada saat penderita baru datang, pemeriksaan abdomen
yang normal tidak menyingkirkan diagnosis perlukaan intra abdomen,
karena gejala mungkin timbul agak lambat. Diperlukan pemeriksaan
ulang dan observasi ketat, kalau bisa oleh petugas yang sama.
Diperlukan konsultasi ahli bedah.
Penderita dengan hipotensi yang tidak dapat diterangkan,
kelainan neurologis, gangguan kesadaran karena alkohol dan/atau oat
dan penemuan pemeriksaan fisik abdomen yang meragukan, harus
dipertimbangkan diagnostik peritoneal lavage (DPL), USG abdomen,
atau bila keadaan umum memungkinkan, pemeriksaan CT Scan
abdomen dengan kontras.
Fraktur iga-iga terbawah atau pelvis akan mempersulit
pemeriksaan, karena nyeri dari daerah ini pada palpasi abdomen.

III.3. INDIKASI PENGAKHIRAN RESUSITASI


A. Tanda-Tanda Keberhasilan Resusitasi25
Suatu Resusitasi yang baik dinilai atas 3 dasar, yaitu :
a. Fungsi otak, pernapasan dan jantung dapat dipertahankan. Bila O2
yang dibutuhkan oleh jaringan otak dapat mencegah terjadinya
kerusakan cerebral, maka ini dapat dinilai dari beberapa reaksi,
antara lain :
- Berdasarkan diameter pupil yang terjadi. Bila miosis,
menunjukan hasil yang baik dan bila midriasis mentap,
menunjukan hasil yang buruk
- Refleks pupil
- Reflleks air mata

26
- Struggling (meronta-ronta)
- Tonus otot meningkat
Bila hal diatas positif, maka hal tersebut menunjukan indikasi ke
arah perbaikan.
b. Terjadi spontanitas respirasi
Penilaian terhadap respirasi dapat dibagi menjadi :
- Pernapasan menjadi normal atau apneu, gasping (megap-megap)
atau pernapasan cheyne-stokes
- Frekuensi pernapasan berkisar antara 16-20kali/menit
- Amplitudo pernapasan yang meninggi
c. Fungsi kardiovaskuler
Fungsi kardiovaskuler dapat diketahui dari denyut nadi yang teratur
dan kuat dan juga dari tekanan darah. Bila fungsi kardiovaskuler
telah kembali normal, maka dilakukan penilaian:
- Monitoring dari organ-organ vital dalam vital, antara lain
kardiovaskuler, ginjal dan keseimbangan asam dan basa
- Apakah terdapat fibrilasi ventrikuler dan takikardi ventrikuler
yang berulang.

B. Tanda-Tanda kegagalan Resusitasi25


Sebab-sebab dari kegagalan resusitasi dapat dibagi menjadi bebrapa hal,
yakni :
- Interval waktu yang terlalu lama antara fase cardiopulmonary arrest
dengan tindakan resusitasi yang dilalukan. Bila jarak ini lebih dari 3
menit, maka kemungkinan besar kerusakan yang serebral yang
irreversibel telah terjad, sehigga tindakan resusitasi tidak akan berhasil
- Progresivitas yang pasti dari keadaan ini dapat diketahui, akan tetapi
secara klinis terdapat perburukan dari fungsi respirasi atau fungsi
kardiovaskuler yang dimanifestasikan pada perburukan fungsi serebral.
- Teknik resusitasi yang salah

27
a. Teknik resusitasi pernapasan yang salah disebabkan oleh karena
hambatan pada sluran napas, sehingga rasio perfusi ventilasi tidak
dapat mengatasi kebutuhan 02 pada titik kritis dari sereebral
b. Restorasi kardiovskuler yang kurang tepat. Baik lokasi penekanan
yang keliru tidak akan menghasilkan cardiac output yang adekuat
untuk memenuhi titik kritis dari kebuthan daerah serebral
- Kerusakan mekanikal
Bila terjai kerusakan tejadi pada paru, kardiovaskuler, atau rongga
thorax maka tindakan resusitasi kardiopilmonal dapat mengalami
kegagalan
- Resusitasi yang tidak memdai
Tindakan serta hasil restorasi pernapasan dan restorasi jantung tidak
akan dapat memenuhi titik kritis akan kebutuhan O2 dari serebral
- Tergantung kepada etiologi atau penyebab dari cardiopulmonary arrest

C. Penghentian tindakan resusitasi25


a. Kematian klinis
Secara klinis tindakan resusitasi dapat dihentikan apabila setrlah 1-1,5
jam jantung berhenti dan pasien tetap tidak dapat menunjukan
kesadaran.
b. Kematian jantung
Dapat ditandai dengan tandanya monitoring EKG dalam waktu paling
sedikit 30 menit setelah tindakan resisitasi an selama pemberian obat-
obatan
c. Kematia otak
Secara total bila tidak terdapat aktivitas elektroensepalografi dan secara
klinis terjadi pelebaran pupil paling sedikit selama 1-2 jam maka dapat
di anggap sebagai indikasi untuk mengehentikan resusitasi
d. Telah timbul kmembali sirkulasi dan ventilasi spontan yang efektif
e. Upaya resusitasi telah di ambil alih orang lain yang bertanggung jawab
meneruskan resusitasi

28
f. Penolong terlalu capek sehingga tak sanggup meneruskan resusitasi
g. Setelah dimulai resusitasi, etrnyata kemudian diketahui bahwa pasien
berada dalam stadium terminal suatu penyakit yang tak dapat
disembuhkan atau hampir dapat dpastikan bahwa fungsi serebral akan
pulih.

29
BAB IV

DIAGNOSIS/TERAPI/PENANGANAN

Gambran Klinis dari Ruptur Limpa :

1. Nyeri pada regio kiri atas abdomen


2. Nyeri tekan saat dipalpasi pada regio kiri atas abdomen
3. Sakit Kepala

IV.1. Diagnosis
a. Pemeriksaan Fisik1
Tanda fisik yang ditemukan pada ruptur limpa bergantung pada ada
tidaknya organ lain yang ikut cedera, banyak sedikitnya perdarahan, dan
ada tidaknya kontaminasi rongga peritoneum. Perdarahan dapat
sedemikian hebatnya sehingga mengakibatkan renjat (syok) hipovolemik
hebat yang fatal. Dapat pula terjadi perdarahan yang berlangsung
sedemikian lambat sehingga sulit diketahui pada pemeriksaan.
Pada setiap kasus trauma limpa harus dilakukan pemeriksaan
abdomen secara berulang oleh pemeriksa yang sama karena yang lebih
penting adalah mengamati perubahan gejala umum (syok, anemia) dan
lokal di perut (cairan bebas, rangsangan peritoneum).
Pada ruptur limpa yang lambat, biasanya penderita datang dalam
keadaan syok dengan tanda perdarahan intraabdomen, atau datang dengan
gambaran menyerupai tumor intraabdomen bagian kiri atas yang nyeri
apabila ditekan disertai tanda anemia sekunder. Oleh sebab itu,
menanyakan riwayat trauma yang terjadi sebelumnya sangat penting dalam
menghadapi kasus seperti ini.

30
b. Tanda Lokal1
Penderita umumnya berada dalam berbagai tingkat renjat
hipovolemia dengan atau tanpa (belum) takikardia dan penurunan
tekanan darah. Penderita mengeluh nyeri perut bagian atas, tetapi
sepertiga dari seluruh penderita mengeluh nyeri perut kuadran kiri atas
atau punggung kiri. Nyeri di daerah puncak bahu disebut tanda Kehr,
terdapat pada kurang dari separuh kasus. Mungkin nyeri di daerah bahu
kiri baru timbul pada psisi Trendelenberg. Pada pemeriksaan fisik,
ditemukan massa di kiri atas, dan pada perkusi terdapat bunyi pekak
akibat adanya hematom subkapsuler atau omentum yang membungkus
suatu hematoma ekstrakapsular yang disebut tanda Balance. Kadang
darah bebas ddi perut dapat dibuktikan dengan perkusi pekak geser.

IV.2 Penatalaksanaan5

A. Ruptur Limpa

a. Splenorafi
Splenorafi adalah operasi yang bertujuan mempertahankan limpa
yang masih berfungsi dengan teknik bedah. Splenorafi dilakukan dengan
membuang jaringan nonvital, mengikat pembuluh darah yang terbuka,
dan menjahit kapsul limpa yang terluka. Jika penjahitan laserasi saja
kurang memadai dapat ditambhakn dengan pemasangan kantong khusus
dengan atau tanpa penjahitan omentum.

b. Splenektomi5
Splenektomi merupakan suatu operasi yang tidak di anggap ringan.
Ekposisi limpa sering tidak mudah karena splenomegali biasanya disertai
dengan perlengketan pada diafragma. Pengingkatan arteri lienalis sebagai
tindakan pertama sewaktu operasi sangat berguna.

31
Splenektomi dilakukan jika terdapat kerusakan limpa yang tidak dapat
diatasi dengan splenografi , splenektomi parsial atau pembungkusan.
Splenektomi parsial yang tidak dapat terdiri atas eksisi satu segmen, di
lakukan jika ruptur limpa tidak cedera masih vital.
Indikasi splenektomi :
1. Indikasi mutlak
 Tumor primer
 Kelainan hematologik dengan hipersplenisme yang tak dapat
diatasi dengan pengobatan lain (anemia hemolitik kongenital)
2. Indikasi relatif
 Kelainan hematologik, tanpa hiperslenisme jelas, tetapi
splenektomi daapat memulihkan kelainan hematologik
 Hipersplenisme pada serosis hepatis dengan varises esophagus
 Splenomegali yang menganggu karena besarnya limpa
 Sewaktu operasi radikal onologik dibagian perut atas (lambung,
pankreas)

B. Penanganan syok24
Managemen syok merupakan penanganan utama pada individu
dengan ruptur limpa. Penanganannya bervariasi sesuai dengan mekanisme
dari kerusakan limpa. Individu dengan kerusakan organ multiple
memerlukan intervensi gawat darurat dengan mempertahankan Airway
(jalan nafas). Pada beberapa trauma yang menyebabkan ruptur limpa,
ditemukan bersama tekanan darah menurun dan nadi cepat (syok)
memerlukan penanganan secara cepat penggantian cairan (resusitasi
cairan) dan transfusi darah apabila memungkinkan. Jika syok berat,
pemasangan kateter vena pada vena sentral, vena carotis interna, vena
brachialis, vena femoralis menunjang pemberian cairan dalam volume
besar dan cepat. Individu dengan tanda-tanda syok hemoragik ditangani
dengan laparotomi guna mengidentifikasi dan mengontrol perdarahan.5

32
Cairan yang diberikan adalah cairan garam seimbang seperti Ringer’s
Laktat (RL) dengan jarum infus yang terbesar. Tak ada bukti medis
tentang kelebihan pemberian cairan koloid pada syok hipovolemik.
Pemberian 2-4 L dalam 20 – 30 menit diharapkan dapat mengembalikan
keadaan hemodinamik
Bila hemodinamik tetap tidak stabil, berarti perdarahan atau
kehilangan cairan belum teratasi. Kehilangan darah yang berlanjut dengan
kadar Hb ≤ 10 mg/dL perlu penggantian darah dengan transfusi. Jenis
darah transfusi tergantung kebutuhan. Disarankan agar darah yang
digunakan telah menjalani tes cross-match (uji silang)
Pada keadaan yang berat atau hipovolemia yang berkepanjangan,
dukungan inotropik dengan dopamin, vasopressin, atau dobutamin dapat
dipertimbangkan untuk mendapatkan kekuatan ventrikel yang cukup
setelah mendapatkan kekuatan ventrikel yang cukup setelah volume darah
dicukupi dahulu. Pemberian norepinefrin infus tidak banyak memberikan
manfaat pada hipovolemik. Pemberian naloksom bolus 30 mcg/kg dalam
3-5 menit dilanjutkan 60 mcg/kg dalam 1 jam dalam dekstros 5% dapat
membantu meningkatkan MAP
Selain resusitasi cairan, saluran pernafasan harus dijaga. Kebutuhan
oksigen pasien harus terpenuhi dan bila dibutuhkan intubasi dapat
dikerjakan
Pemberian O2 dibagi 2 jenis yaitu sistem arus rendah dan sistem arus
tinggi. Sistem aliran rendah berupa Kanul Nasal (FR 1-6 L/m, FiO2 : 24-
44%), Transtrakeal (FR 0,5 – 4 L/m, FiO2: 24-40%, Mask Oksigen (FR
5-8 L/m, FiO2 : 40-60%), Mask dengan kantong reservoir (FR 6-10 L/m,
FiO2 : 60->99%), Mask dengan kantong nonbreathing (FR 4-10 L/m,
FiO2 : 60-100%). Sistem aliran tinggi berupa Venturi Mask (FR 3-15
L/m, FiO2 : 24-50%) 25

33
IV. 3. KOMPLIKASI

Penatalaksanaan non operative pada trauma limpa memiliki potensi yang


lebih baik dalam mengatasi kerusakan abdomen permanen dan kemungkinan
juga pada perlambatan ruptur limpa (akibat penyakit infeksi maupun
hematologik).5
Komplikasi pascasplenektomi terdiri atas atelektasis lobus bawah paru
kiri karena gerak diafragma sebelah kiri pada pernafasan kurang bebeas.
Trombositosis pascabedah, yang mencapai puncaknya pada sekitar hari
kesepuluh, tidak cenderung menimbulkan trombosis karena trombosit yang
bersangkutan merupakan trombosit tua. Sepsis pascasplenektomi (OPSS,
overhelming postsplenectomy sepsis) yang berat dan fatal mengancam
penderita seumur hidup. Sepsis ini pertama ditemukan pada anak, tetapi
kemudian ditemukan pada setiap keadaan hiposplenisme atau asplenisme.
Sepsis biasanya disebabkan oleh Penumokokkus, kadang H. influenzae atau
meningokokus. Penderita dianjurkan untuk vaksinasi dengan pneumovaks 23
(campuran vaksin berbagai macam pneumokokus) dan diberi amoksilin
profilaksis setiap kali ada infeksi yang menyebabkan demam di atas 38,5℃5

34
BAB V

KESIMPULAN

Trauma merupakan penyebab kematian utama pada kelompok umur dibawah 35


tahun. Dindonesia trauma merupakan penyebab kematian nomor 4, tetapi pada
kelompok usia 15-25 tahun, merupakan kematian utama.5
Ruptur limpa adalah pecahnya limpa yang dapat terjadi akibat rudapaksa tajam
atau tumpul, sewaktu operasi dan yang jarang terjadi, ruptur spontan . Tanda fisik
yang ditemukan pada ruptur limpa bergantung pada ada tidaknya organ lain yang
ikut cedera, banyak sedikitnya perdarahan, dan ada tidaknya komtaminasi rongga
peritoneum. Perdarahan yang sedemikan hebat dapat mengakibatkan renjatan (syok)
hipovolemik yang fatal.5
Penatalaksanaan awal yang paling utama adalah penatalaksanan dari adanya
tanda-tanda syok hemoragik ataupun mempertahankan keadaan pasien agar tidak
masuk dalam keadaan syok hemoragik.5
Setelah diagnosis ditegakkan, trauma limpa dapat ditatalaksana konservatif
ataupun dengan pembedahan. Pembedahan yang dapat dilakukan yaitu splenorafi dan
splenektomi. Splenektomi dilakukan jika terdapat kerusakan limpa yang tidak dapat
diatasi dengan splenorafi.5

35

Anda mungkin juga menyukai