Anda di halaman 1dari 9

ISLAM DAN DEMOKRASI

Ditujukan untuk Memenuhi Tugas Kelompok


Mata Kuliah : Pendidikan Agama Islam
Dosen Pengampu : Ahmad Asroni, S.Fil., S.Th.I., M.Hum.

Disusun Oleh :

1. Tiara Putri Wardani (134160070)


2. Afia Nurhutami (134160072)
3. Novendra Avighana (134160084)
4. Arifin Firmandaru (134160091)

PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI


JURUSAN AGROTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN”
YOGYAKARTA
2019
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan

BAB II
PEMBAHASAN

Disadari atau tidak, persoalan demokrasi sekarang ini merupakan wacana yang
begitu sering diucapkan manusia di berbagai forum internsional, regional, nasional dan
bahkan lokal. Gejala yang demikian berarti menunjukkan adanya apresiasi dari
manusia terhadap persoalan tersebut. Islam dihadapkan pada kenyataan sosial yang
terjadi di lingkungan negara-negara Islam sendiri berkaitan atau dihadapkan dengan
wacana demokrasi. Apalagi adanya klaim-klaim yang menunjukkan bahwa Islam
bukanlah semata sebagai agama melainkan sebagai sistem kehidupan meliputi
pesoalan-persoalan keseluruhan bidang dari kehidupan manusia. Sebagai kumpulan
ajaran Allah Swt, Islam terkodifikasikan dalam al-Qur‟an. Al-Qur‟an inilah yang
kemudian menjadi rujukan perilaku manusia. Tetapi, karena ajaran-ajaran dalam al-
Qur‟an memerlukan penjelasan, maka keberadaan Nabi Muhammad Saw., adalah
berperan sebagai orang yang menjelaskan al-Qur‟an (mubayyin al-Qur‟an).
Dapat dikatakan bahwa yang bisa disebut memiliki kemutlakan untuk mengatur
manusia di sini adalah Allah. Dengan demikian penilaian atas sesuatu yang dilakukan
oleh Islam terhadap perilaku manusia secara pasti dan mutlak telah ditentukan apakah
itu termasuk dalam kategori benar atau salah. Disisi lain, demokrasi adalah
“pemerintahan oleh rakyat dimana kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat dan
dijalankan langsung oleh rakyat atau wakil-wakil yang mereka pilih di bawah sistem
pemilihan bebas‟. Fokus dan ruang lingkup demokrasi adalah pada persoalan
kemanusiaan, dari manusia kepada manusia. Dan lebih fokus lagi adalah persoalan
kekinian, duniawi. Dalam demokrasi tidak ada intervensi yang berasal dari pihak luar,
di luar diri manusia, yaitu Allah Swt. Dengan demikian, dalam demokrasi tidak ada
nilai-nilai yang bercorak ilahiah. Sekalipun ada pemilikan kemutlakan dan kedaulatan
yang berbeda antara Islam dan demokrasi, tidak berarti dengan sendirinya Islam tidak
kompatibel dengan demokrasi. Menurut Hasbi Ash-Shiddieqy, orang yang menyatakan
bahwa antara Islam dan demokrasi terdapat segi-segi persamaan, itu hanyalah berarti
menerangkan sebagian dari hakekatnya; karena hakekat yang sempurna ialah, antara
Islam dan demokrasi ada perbedaan. Bahkan menurutnya yang lebih tepat ialah ada
hal-hal yang bersesuaian, tetapi banyak hal-hal yang tidak bersesuaian7. Seperti juga
yang diakui oleh Bassam Tibbi, ia sependapat dengan yang dikemukakan oleh Hamid
Enayat: “Jika Islam sampai pada konflik dengan postulat-postulat demokrasi tertentu,
itu adalah karena karakter umumnya sebagai sebuah agama…melibatkan banyak
asksioma yang suci”8. Sementara demokrasi bersandar pada otoritas manusia, dan
lebih menyangkut masalah prosedural. Meskipun diakui, dalam perkembangannya
pemahaman terhadap demokrasi menjadi semakin kompleks, seperti misalnya hak-hak
minoritas, jaminan hak-hak asasi manusia, pemilihan yang bebas dan jujur, persamaan
di depan hukum, proses hukum yang wajar, pembatasan pemerintah secara
konstitusional, menghargai pluralisme, toleransi, kerjasama dan mufakat.
Kedaulatan menurut Abdullah Ahmed An-Na”im adalah selalu menandai
pemerintahan yang tertinggi berdasar hokum. Kedaulatan didefinisikan sebagai
“kekuasaan tertinggi dengan mana rakyat diperintah dan bahwa seseorang atau
sekelompok orang dalam suatu negara, secara politik tidak ada yang lebih tinggi”.
Dalam definisi paling luas, disebut juga “kekuasaan tertinggi, mutlak, dan tidak bisa
dikontol, dengan hak mutlak untuk memerintah. Menurut Maududi, kedaulatan
tersebut hanya pantas diberikan kepada Allah Swt yang jelas dalam Al-Qur’an bahwa
Allah adalah Pencipta, Pemelihara, dan Penguasa alam semesta. Firman Allah dalam
Qur’an yang menjadi konsep kedaulatan Allah antara lain surat Yusuf (12:40), Al-
Maidah(5):45, dan An_Nahl (16): 116. Ayat-ayat tersebut menegaskan bahwa
ketentuan hukum merupakan otoritas Allah sang pemilik kemutlakan dalam
menentukan semua ketentuannya kepada manusia. Manusia, bahkan para nabi
diperintahkan untuk tunduk dan patuh pada semua ketentuan yang telah diaturkan
Allah.
An-Na’im berpendapat bahwa dasar problem dalam Islam adalah
ambivalensi/ambigu konsep kedaulatan ini. Kondisi ketika Nabi masih hidup dan
setelah Nabi wafat (hingga kini) adalah berbeda. Kini, semua orang yang memiliki hak
menyatakan diri sebagai wakil kedaulatan Allah. Di lain pihak adayang menyatakan
para khalifah sebagai pemegagg kedaulatan Allah, sementara pihak lain menyatakan
keluarga Nabi yang mewarisi kedaulatan tersebut. Dikatan oleh An-Na’im bahwa
syariah tidak pernah menunjukkan mekanisme dan prosedur yang jelas pemilihan
khalifah oleh rakyat secara luas, pertanggungjawabannya, atau untuk suksesi secara
regular dan damai. Quraish Shihab berpendapat tentang adanya 2 istilah dari al-Qur’an
yang dapat dijadikan rujukan bahwa manusia berperan memegang wakil kedaulatan
Allah di bumi, yaitu istikhlaf dan isti’mar.
Kata khalifah dalam bentuk tunggal terulang sebanyak dua kali (2:31 dan
38:26) dalam al-Qur’an. Bentuk jamak dari kata itu ada dua yaitu khulafa dan khalaif
dengan masing-masing bermakna sesuai seperti saat Allah mengangkat Adam dalam
bentuk kata tunggal, sementara saat mengangkat Daud dalam bentuk jamak (plural).
Menurut Quraish Shihab, satu sisi penugasan tersebut merupakan pelimpahan
kekuasaan politik yang memperhatikan kehendak yang menugaskannya. Dengan
pendapat tersebut maka dapat dibuat mekanisme konstitusional pembentuk kekuasaan
politik (pemerintahan) sebagai representasi umat. Dengan dasar prinsip syura
(musyawarah) maka islam tidak bertentangan dengan demokrasi, kini prinsip tersebut
dapat diterapkan pada unsur politik demokrasi seperti pemilu, penetapan perundang-
udangan, dan lainnya.
Persoalan prosedur demokratik hanya berlaku pada persoalan yang belum
ditentukan petunjuknya, baik yang bersifat global, tanpa petunjuk dan yang
berkembang/berubah. Maka hukum yang petunjuknya telah ada dan jelas baik langsung
maupun melalui Nabi-Nya, tidak dapat dimusyawarahkan. Berkenaan dengan ayat-ayat
al-Qur’an sebagai rujukan hukum dan perundang-undangan,terdapat ayat-ayat yang
termasuk kategori qath‟i al-dalalah dan dzanni
al-dalalah. Qath‟i al-dalalah, seperti yang dikemukakan oleh Abdul Wahhab Khallaf
atau Abu Al-„Ainain Badran, adalah “sesuatu (ayat) yang menunjuk kepada hukum
dan tidak mengandung kemungkinan (makna) selainnya. Dengan demikian dzanni
aldalalah adalah sesuatu (ayat) yang menunjuk kepada adanya kemungkinan beberapa
makna.
Umat Islam berkesempatan untuk mengadaptasikan pokok-pokok pikiran
tertentu dalam al-Qur’an dalam demokrasi misalnya. Pada pikiran ini wakil kedaulatan
Allah dapat dioperasionalkan melalui konstitusionalisme untuk menentukan peraturan
perundang-undangan untuk mengatur kehidupan suatu negara. Konstitusionalisme
merupakan jalan pendelegasian kedaulatan dari Allah kepada wakilnya yang wajib
baginya untuk menegakkan hukum-hukum Allah. Oleh karena itu disimpulkan adanya
perbedaan mendasar antara kedaulatan Allah dalam bentuk syura dan demokrasi. Syura
yang didasarkan ajaran Islam tidak membenarkan untuk memusyawarahkan sesuatu
yang telah ditetapkan Allah secara jelas dan tegas, tidak pula dibenarkan menetapkan
gal yang bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran Allah, sedangkan dalam
demokrasi segala persoalan dapat diputuskan berdasarkan suara mayoritas.
Kewarganegaraan menjadi permasalahan yang sering disinggung dalam islam.
Negara dapat memberikan hak-hak warga negara secara penuh terhadap orang yang
tinggal di dalam wilayah tersebut. Negara juga mampu mengatur kewajiban dan
menuntut kesetiaan orang yang terdapat di wilayah tersebut. Menurut An-Na’im hal ini
tidak logis.
Untuk membuktikan kewarganegaraan sering dikaitkan dengan beberapa
unsur-unsur. Beberapa unsur yang dapat dijadikan modal sebagai unsur formatif suatu
negara, seperti agama, ras, bahasa, wilayah dan nasib yang sama. Namun pada negara
yang berdasarkan agama tentu akan memberikan hak dan kewajiban yang berbeda
terhadap warga yang berbeda agama. Sehingga pada saatnya, negara itu akan
membedakan hak dan kewajiban warga negaranya atas dasar agama.
An-Na’im lebih jauh menegaskan bahwasanya logis untuk menerima premis
bahwa mayoritas dan minoritas tidaklah didasarkan pada faktor insidental yang
permanen dan primordial seperti ras atau jenis kelamin, yang tidak bisa diubah oleh
individu. Seseorang tidak bisa dipaksa untuk meninggalkan atribut esensialnya bagi
kebebasan dan martabat kemanusiaannya seperti kebebasan beragama dan
berkeyakinan, hanya karena ia bukan bagian dari mayoritas. Oleh karena itu, suatu
kebijakan dan hukum harus selalu dibangun di atas dasar rasional, yang dihormati dan
didukung oleh seluruh warga negara, tanpa memandang ras, jenis kelamin, dan agama
atau keyakinannya.
A. Persoalan Warga Negara Non Muslim
Terdapat pandangan yang menyatakan bahwa warga negara yang secara
formal diidentifikasikan sebagai umat Islam merupakan satu-satunya warga
negara penuh dalam negara Islam, yang secara teoritik berhak penuh terhadap
hak-hak sipil dan politik. Hal ini mengandung arti bahwa (1) warga negara non
Muslim tidak memilik hak sipil dan politik, (2) terdapat perbedaan hak terhadap
warga negara non Muslim.
Dengan dasar tersebut warga negara non muslim memiliki kebebasan
beragama tetapi tidak memiliki kebebasan berpolitik di negara islam. Dalam
demokrasi hal ini tentu bersifat diskriminatif. Secara syariah warga non muslim
tidak diberikan tempat tinggal yang tetap, namun tetap mendapat perlindungan
baik jiwa dan hartanya. Akan tetapi selama tinggal di wialyah tersebut warga
non muslim memilik batasan berpartisipasi secara luas.
Suatu komunitas ¬Ahl al-dzimah tetap harus mematuhi dan tunduk
terhadap peraturan di negara islam. Tetapi diberi hak untuk mengatur dirinya
dalam masalah pribadi. Syariah menentukan bahwa juridiksi semua urusan
publik harus tetap menjadi wilayah eksklusif umat Islam. Oleh karena itu, ahl-
dzimmah hanya memiliki kebebasan berpendapat atau beragama, berekspresi
dan berserikat di dalam komunitas mereka sendiri.
Ahl-dzimmah memiliki peraturan tersendiri dalam tinggal pada negara
Islam. Hal ini berupa batasan untuknya, antara lain (1) tidak menduduki pos-
pos penting dalam negara islam, (2) mengenakan busana yang berbeda dari
masyarakat muslim, (3) ketinggian rumah tidak boleh melebihi rumah umat
Muslim, (4) tidak diperkenankan menyebarkan ajaran agama di wilayah negara
Islam, dan (5) dilarang membangun tempat ibadat tanpa izin.
Namun demikian, seorang ahl al-dzimmah bisa menjadi anggota
Majelis sepanjang di dalam konstitusi itu ada jaminan : (a) Parlemen atau
lembaga legislatif tidak berwenang untuk memberlakukan undang-undang
manapun yang bertentangan dengan al-Quran dan al-Sunnah; (b) Al-Quran dan
al-Sunnah akan menjadi sumber dari segala sumber hukum; dan (c) Kepala
Negara atau pejabat-pejabat di bawahnya haruslah seorang Muslim.
Soroush menyatakan bahwa demokrasi bagi dunia Islam di dasarkan
pada dua pilar. Satu di antaranya adalah, bahwa untuk menjadi orang yang
benar-benar beriman, seseorang harus bebas. Keimanan atau keyakinan yang
berada di bawah ancaman atau paksaan adalah bukan keimanan yang benar.
Dan apabila seorang yang beriman secara bebas tunduk dan patuh, bukan
berarti bahwa ia mengorbankan kebebasan. Ia juga tetap memiliki kebebasan
untuk meninggalkan keyakinannya. Sangat kontradiksi apabila pada mulanya
ada kebebasan untuk beriman, tetapi kemudian menghilangkan kebebasan itu.
Kebebasan ini merupakan pilar (basis) demokrasi. Menurut Soroush keyakinan
dan keinginan dari mayoritas harus membentuk negara Islam yang ideal.
Demokrasi Islam bukan disuntikan dari atas; ia adalah sah apabila dirubah oleh
mayoritas, termasuk orang-orang yang tidak beriman
Sehingga terdapat hak dan kewajiban yang sama tanpa memperhatikan
status keagamaannya. Dengan demikian tidak ada batasan untuk berparsipasi
dalam segala aspek kehidupan terutama politik. Namun tumbuh persoalan baru
diaman pada negara Islam seorang non muslim dapat menjukan diri sebagai
kepala negara. Menurut Imam Ghazali kepala negara tidak serta merta
berdasrkan rasio, melainkan berdasarkan agama. Hal ini disebabkan kepala
negara harus mampu mengamalkan ajaran agama dalam kehidupan bernegara.
Negara islam model kedua dikaitkan dengan keadaan
pemerintahanyang lebih demokratis diamana pejabat dan tentara tidak
diharuskan beragama muslim meski mayoritas muslim. Dalam keadaan
demikian akan terbentuk semacam kesepakatan yang tidak tertulis, tetapi dalam
pelaksaannya jabatan kepala negara tetap harus muslim.

BAB III
PENUTUP

DAFTAR PUSTAKA

Alatas, Hussein. 1956. The Democracy of Islam. Bandung: W. Van Hoeve Ltd., -The
Hague And Bandung,.
Al-Qur‟an dan Terdjemahnya. 1970. Jajasan Penjelenggara Perterdjemah/Penafsir
Al-Qur‟an. Djakarta: Pertjetakan dan Offset “JAMUNU”.
Ash-Shiddieqy, Hasbi. 1991 Ilmu Kenegaraan dalam Fiqh Islam. Jakarta: Bulan
Bintang.
An-Na‟im, Abdullah Ahmed. 1994. Dekonstruksi Syari‟ah: Wacana Kebebasan
Sipil, Hak Asasi Manusia dan Hubungan Internasional Dalam Islam.
Yogyakarta: Lkis Bekerjasama dengan Pustaka Pelahar.
Bangash, Zafar (com.&ed. 1996. In Pursuit of The Power of Islam: Major Writings of
Kalim Siddiqui. Kuala Lumpur: The Open Press.
Esposito, John L.dan John O. Voll. 1996. Islam and Democracy, New York:
Oxford University Press.
Gafar, Affan. 2000. Politik Indonesia: Transisi Menuju Demokrasi. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Jindan, Khalid Ibrahim. 1995. Teori Politik Islam: Telaah Kritis Ibnu Taimiyah
Tentang Pemerintahan Islam. Surabaya: Risalah Gusti.
Kubba, Laith. 1996. “Recognizing Pluralism”, dalam Journal of Democracy,
Volume 7.2.
Maududi, Abu A‟la. 1998. Hukum dan Konstitusi: Sisistem Politik Islam. Bandung:
Mizan.
Munoz, Gema Martin (ed.). 1999. Islam, Modernism and the West. London: The Eleni
Nakou Foundation.
Ravitch, Diane. 1991. What Is Democracy?. Amerika: United States Information
Agency.
Rosalvallon, Pierre. 1995. “The Hiatory of World Democracy in France” dalam Journal
of Democracy. Vol. 6.4.
Shihab, M. Quraish. 1996. Wawasan Al-Qur‟an. Bandung: Mizan.
……. 1994. “Membumikan” Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu Dalam
Kehidupan Masyarakat. Bandung: Mizan.
Sjadzali, H. Munawir. 1993. Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran.
Jakarta: UI Press.
Tibi, Bassam. 2000. Ancaman Fundamentalisme: Rajutan Politik Islam dan
Kekacauan Dunia Baru. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Wright, Robin. 1996. “Two Visions of Reformation: Islam and Liberal Democracy”,
dalam Journal of Democracy, Vol 7.2.

Anda mungkin juga menyukai