Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

Pengelolaan jalan nafas adalah memastikan jalan napas tetap terbuka. Hal ini
menjadi salah satu bagian yang terpenting dalam suatu tindakan anestesi. Karena
beberapa efek dari obat-obatan yang dipergunakan dalam anestesi dapat
mempengaruhi keadaan jalan napas untuk berjalan dengan baik.2

Salah satu penyebab utama dari hasil akhir tatalaksana pasien yang buruk
yang didata oleh American Society of Anesthesiologist (ASA) berdasarkan studi
tertutup terhadap episode pernapasan yang buruk, terhitung sebanyak 34% dari 1541
pasien dalam studi tersebut. Tiga kesalahan mekanis, yang terhitung terjadi
sebanyak 75% pada saat tatalaksanan jalan napas yaitu : ventilasi yang tidak adekuat
(38%), intubasi esofagus (18%), dan kesulitan intubasi trakhea (17%). Sebanyak
85% pasien yang didapatkan dari studi kasus, mengalami kematian dan kerusakan
otak. Sebanyak 300 pasien (dari 15411 pasien di atas), mengalami masalah
sehubungan dengan tatalaksana jalan napas yang minimal.1

Gejala komplikasi kadang-kadang datangnya tidak diduga kendatipun


tindakan anestesi sudah dilaksanakan dengan baik. Keberhasilan dalam mengatasi
komplikasi tergantung dari deteksi gejala dini dan tindakan koreksi untuk mencegah
keadaan yang lebih buruk.2

Menurut Cheney et al menyatakan beberapa hal yang menjadi komplikasi dari


tatalaksana jalan napas yang salah yaitu : trauma jalan napas, pneumothoraks,
obstruksi jalan napas, aspirasi dan spasme bronkus. Berdasarkan data-data tersebut,
telah jelas bahwa tatalaksana jalan napas yang baik sangat penting bagi keberhasilan
proses operasi dan beberapa langkah 1 berikut adalah penting agar hasil akhir
menjadi baik, yaitu : (1) anamnesa dan pemeriksaan fisik, terutama yang
berhubungan dengan penyulit dalam sistem pernapasan, (2) penggunaan ventilasi

1
supraglotik ( seperti face mask, Laryngeal Mask Airway/LMA), (3) tehnik intubasi
dan ekstubasi yang benar, (4) rencana alternatif bila keadaan gawat darurat terjadi. 1

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 AIRWAY MANAGEMENT

Airway management ialah memastikan jalan napas terbuka. Tindakan


paling penting untuk keberhasilan resusitasi adalah segera melapangkan
saluran pernapasan dengan tujuan untuk menjamin jalan masuknya udara ke
paru secara normal sehingga menjamin kecukupan oksigenasi jaringan. 3
Menurut Bingham, airway management adalah prosedur medis yang
dilakukan untuk mencegah obstruksi jalan napas untuk memastikan jalur
nafas terbuka antara paru-paru pasien dan udara luar. Hal ini dilakukan
dengan membuka jalan nafas atau mencegah obstruksi jalan napas yang
disebabkan oleh lidah, saluran udara itu sendiri, benda asing, atau bahan dari
tubuh sendiri, seperti darah dan cairan lambung yang teraspirasi.

Airway management ialah memastikan jalan napas tetap terbuka.


Tindakan paling penting untuk keberhasilan resusitasi adalah segera
melapangkang saluran pernapasan. yaitu dengan cara Triple airway maneuver.

Pada Triple Airway Manuever terdapat tiga perlakuan yaitu:

1. Kepala ditengadahkan dengan satu tangan berada di bawah


leher, sedangkan tangan yang lain pada dahi. Leher diangkat
dengan satu tangan dan kepala ditengadahkan ke belakang oleh
tangan yang lain
2. Menarik rahang bawah ke depan, atau keduanya, akan
mencegah obtruksi hipofaring oleh dasar lidah. Kedua gerakan
ini meregangkan jaringan antara larings dan rahang bawah.

3
3. Menarik / mengangkat dasar lidah dari dinding pharyinx
posterior.3

2.2 ANATOMI JALAN NAFAS


Ada dua gerbang untuk masuk ke jalan nafas pada manusia yaitu
hidung yang menuju nasofaring (pars nasalis), dan mulut yang menuju
orofaring (pars oralis). Kedua bagian ini di pisahkan oleh palatum pada bagian
anteriornya, tapi kemudian bergabung di bagian posterior dalam faring
(gambar 5-1). Faring berbentuk U dengan struktur fibromuskuler yang
memanjang dari dasar tengkorak menuju kartilago krikoid pada jalan masuk
ke esofagus. Bagian depannya terbuka ke dalam rongga hidung, mulut, laring,
nasofaring, orofaring dan laringofaring (pars laryngeal). Nasofaring
dipisahkan dari orofaring oleh garis imaginasi mengarah ke posterior. 4

4
Pada dasar lidah, secara fungsional epiglotis memisahkan orofaring
dari laringofaring (atau hipofaring). Epiglotis mencegah terjadinya aspirasi
dengan menutup glotis- gerbang laring- pada saat menelan. Laring adalah
suatu rangka kartilago yang diikat oleh ligamen dan otot. Laring disusun oleh
9 kartilago (gambar 5-2) : tiroid, krikoid, epiglotis, dan (sepasang) aritenoid,
kornikulata dan kuneiforme.

Saraf sensoris dari saluran nafas atas berasal dari saraf kranial (gambar
5-3). Membran mukosa dari hidung bagian anterior dipersarafi oleh divisi
ophthalmic (V1) saraf trigeminal (saraf ethmoidalis anterior) dan di bagian
posterior oleh divisi maxila (V2) (saraf sphenopalatina). Saraf palatinus
mendapat serabut saraf sensori dari saraf trigeminus (V) untuk mempersarafi
permukaan superior dan inferior dari palatum molle dan palatum durum. Saraf

5
lingual (cabang dari saraf divisi mandibula [V3] saraf trigeminal) dan saraf
glosofaringeal (saraf kranial yang ke 9) untuk sensasi umum pada dua pertiga
bagian anterior dan sepertiga bagian posterior lidah. Cabang dari saraf fasialis
(VII) dan saraf glosofaringeal untuk sensasi rasa di daerah tersebut. Saraf
glosofaringeal juga mempersarafi atap dari faring, tonsil dan bagian dalam
palatum molle. Saraf vagus (saraf kranial ke 10) untuk sensasi jalan nafas
dibawah epiglotis. Saraf laringeal superior yang merupakan cabang dari saraf
vagus dibagi menjadi saraf laringeus eksternal yang bersifat motoris dan saraf
laringeus internal yang bersifat sensoris untuk laring antara epiglotis dan pita
suara. Cabang vagus yang lainnya yaitu saraf laringeal rekuren, mempersarafi
laring dibawah pita suara dan trakhea.

Otot laring dipersarafi oleh saraf laringeal rekuren (cabang dari saraf
laringeal superior) dengan pengecualian otot krikotiroid, yang dipersarafi oleh
saraf laringeal externa (motoris). Otot krikotiroid posterior mengabduksi pita
suara, seraya otot krikoaritenoid lateral adalah adduktor utama.4

2.3 MACAM-MACAM GANGGUAN JALAN NAFAS


2.3.1 Obstruksi jalan nafas dibagi menjadi 2 berdasarkan derajat sumbatan
a. Obstruksi total
Keadaan dimana jalan nafas menuju paru-paru tersumbat total, sehingga tidak
ada udara yang masuk ke paru-paru. Terjadi perubahan yang akut berupa
hipoksemia yang menyebabkan terjadinya kegagalan pernafasan secara cepat.
Sementara kegagalan pernafasan sendiri menyebabkan terjadinya kegagalan
fungsi kardiovaskuler dan menyebabkan pula terjadinya kegagalan SSP
dimana penderita kehilangan kesadaran secara cepat diikuti dengan
kelemahan motorik bahkan mungkin pula terdapat renjatan (seizure). Bila

6
tidak dikoreksi dalam waktu 5 – 10 menit dapat mengakibatkan asfiksia
(kombinasi antara hipoksemia dan hipercarbi), henti nafas dan henti jantung.
b. Obstruksi parsial
Sumbatan pada sebagian jalan nafas sehingga dalam keadaan ini udara masih
dapat masuk ke paru-paru walaupun dalam jumlah yang lebih sedikit. Bila
tidak dikoreksi dapat menyebabkan kerusakan otak. Hal yang perlu
diwaspadai pada obstruksi parsial adalah Fenomena Check Valve yaitu udara
dapat masuk, tetapi tdk keluar.5

2.3.2 Obstruksi jalan nafas berdasarkan penyebab

Keadaan yang harus diwaspadai adalah :


a. Trauma Trauma
Dapat disebabkan oleh karena kecelakaan, gantung diri, atau kasus
percobaan pembunuhan. Lokasi obstruksi biasanya terjadi di tulang rawan
sekitar, misalnya aritenoid, pita suara dll.
1. Trauma maksilofasial Trauma pada wajah membutuhkan mekanisme
pengelolaan airway yang agresif. Contoh mekanisme penyebab cedera ini
adalah penumpang/pngemudi kendaraan yang tidak menggunakan sabuk
pengaman dan kemudian terlempar mengenai kaca depan dan dashboard.
Trauma pada daerah tengah wajah dapat menyebabkan fraktur-dislokasi
dengan gangguan pada nasofaring dan orofaring.
2. Trauma leher Cedera tumpul atau tajam pada leher dapat menyebabkan
kerusakan pada laring atau trakhea yang kemudian meyebabkan sumbatan
airway atau perdarahan hebat pada sistem trakheobronkial sehingga sebegra
memerlukan airway definitif. Cedera leher dapat menyebabkan sumbatan
airway parsial karena kerusakan laring dan trakea atau penekanan pada
airway akibat perdarahan ke dalam jaringan lunak di leher. 3. Trauma
laringeal Meskipun fraktur laring merupakan cedera yang jarang terjadi,
tetapi hal ini daat menyebabkan sumbatan airway akut. 5

7
b. Benda asing, dapat tersangkut pada:

 Laring

Terjadinya obstruksi pada laring dapat diketahui melalui tanda-tanda


sebagai berikut, yakni secara progresif terjadi stridor, dispneu, apneu,
disfagia, hemopsitis, pernafasan dengan otot-otot nafas tambahan, atau
dapat pula terjadi sianosis.

 Trakea

Benda asing di dalam trakea tidak dapat dikeluarkan, karena tersangkut di


dalam rima glotis dan akhirnya tersangkut dilaring dan menimbulkan gejala
obstruksi laring

 Bronkus

Biasanya akan tersangkut pada bronkus kanan, oleh karena diameternya


lebih besar dan formasinya dilapisi oleh sekresi bronkhus.5

2.4 TEKNIK PENGELOLAAN JALAN NAFAS


2.4.1 Pengelolaan Jalan Nafas Tanpa Alat
1) Membuka jalan nafas dengan metode :
- Head Tilt (dorong kepala ke belakang)
- Chin Lift Manuver (perasat angkat dahu)
- Jaw Thrust Manuver (perasat tolak rahang)

Gambar 4. Teknik Jaw Thrust

8
Pada pasien yang diduga mengalami cedera leher dan kepala hanya
dilakukan Jaw Thrust dengan hati-hati dan mencegah gerakan leher.

2) Membersihkan jalan nafas


- Finger Sweep (sapuan jari)

Gambar 5. Finger Sweep


Dilakukan bila jalan napas tersumbat karena adanya benda asing dalam
rongga mulut belakang atau hipofaring (gumpalan darah, muntahan, benda
asing lainnya) dan hembusan napas hilang.

- Abdominal Thrust (Gentakan Abdomen)

Gambar 6. Abdominal Thrust

9
- Chest Thrust (Pijatan Dada)

Gambar 7. Chest Thrust pada bayi

- Back Blow (Tepukan Pada Punggung)

Gambar 8. Back Blow pada bayi

2.4.2 Pengelolaan Jalan Nafas Dengan Alat

1.Faringeal airway
Jika manuver triple airway kurang berhasil, maka dapat dipasang jalan
napas mulut-faring lewat mulut dengan Oropharyngeal airway atau

10
jalan napas hidung-faring lewat hidung denganNasopharyngeal
airway.
Nasopharyngeal airway (NPA) : berbentuk pipa bulat berlubang
tengahnya dibuat dari bahan karet lateks lembut. Pemasangan harus
hati-hati dan menghindari trauma mukosa hidung pipa diolesi dengan
jelly.
Oropharyngeal airway (OPA) : Berbentuk pipa gepeng lengkung
seperti huruf C berlubang ditengahnya dengna salah satu ujungnya
bertangkai dengan dinding lebih keras untuk mencegah kalau pasien
menggigit, lubang tetap paten, sehingga aliran udara tetap terjamin.
OPA juga dipasang bersama pipa trakea atau sungkup laring untuk
menjaga patensi kedua alat tersebut dari gigitan.

2 Face mask

Fase mask (sungkup muka) yaitu untuk mengantar udara/gas anestesi


dari alat resusitasi atau sistem anestesi ke jalan napas pasien. Bentuk
sungkup muka sangat beragam bergantung usia dan pembuatnya.
Ukuran 03 untuk bayi baru lahir, ukuran 02,01,1 untuk anak kecil,
ukuran 2 dan 3 untuk anak besar dan ukuran 4 dan 5 untuk dewasa.

3 Laringeal mask airway

Laringeal mask airway (sungkup laring) adalah alat jalan napas


berbentuk sendok terdiri dari pipa besar berlubang dengan ujung
menyerupai sendok yang pinggirnya dapat dikembang-kempiskan
seperti balon pada pipa trakea.
Dikenal dua macam sungkup laring :

11
1. Sungkup laring standar dengan satu pipa napas
2. Sungkup laring dengan dua pipa yaitu satu pipa napas standar dan lainnya
pipa tambahan yang ujung distalnya berhubungan dengan esofagus. 5
Ukuran Usia Berat (kg)
1.0 Neonatus <3
1.3 Bayi 3-10
2.0 Anak Kecil 10-20
2.3 Anak 20-30
3.0 Dewasa kecil 30-40
4.0 Dewasa normal 40-60
5.0 Dewasa besar >60

Tabel 1. Ukuran LMA

1. Endotracheal tube
Endotracheal tube yaitu mengantar gas anestetik langsung ke dalam
trakea dan biasanya dibuat dari bahan standar polivinil-klorida.
Ukuran diameter lubang pipa trakea dalam milimeter. Karena
penumpang trakea bayi, anak kecil dan dewasa berbeda, penampang
melintang trakea bayi dan anak kecil dibawah usia 5 tahun hampir
bulat, sedangkan dewasa seperti huruf D, maka untuk bayi dan anak
digunakan tanpa cuff dan untuk dewasa dengan cuff supaya tidak
bocor.
Endotracheal tube dapat dimasukkan melalui mulut (orotracheal tube)
atau melalui hidung ( nasotracheal tube).

12
2. Laringoskop dan Intubasi
Laringoskop ialah alat yang digunakan untuk melihat laring secara
langsung supaya kita dapat memasukan pipa trakea dengan baik dan
benar
Intubasi
Intubasi adalah memasukan suatu lubang atau pipa trakea
melalui mulut ataupun hidung menuju trakhea dengan tujuan untuk
menjaga jalan napas.
Indikasi Intubasi

Secara umum, intubasi adalah indikasi untuk pasien yang


memiliki resiko untuk aspirasi dan untuk prosedur operasi meliputi
rongga perut atau kepala dan leher. Ventilasi dengan face mask atau
LMA biasanya digunakan untuk prosedur operasi pendek seperti
cytoskopi, pemeriksaan dibawah anestesi, perbaikan hernia inguinal
dan lain lain
Indikasi dibagi menjadi :
- Menjaga patensi jalan napas oleh sebab apapun
Kelainan anatomis, bedah khusus, bedah posisi khusus,
pembersihan sekret jalan napas dan lain-lain.
- Mempermudah ventilasi positif dan oksigenasi
Misalnya saat resusitasi dan ventilasi jangka panjang.
- Pencegahan terhadap aspirasi dan regurgitasi.5

Persiapan Intubasi
Persiapan untuk intubasi termasuk memeriksa perlengkapan
dan posisi pasien. TT harus diperiksa. Sistem inflasi cuff pipa dapat
ditest dengan menggembungkan balon dengan menggunakan spuit 10
ml. Pilih TT dengan ukuran yang sesuai. Laringoskop harus diperiksa,

13
blade harus terkunci di atas handle laringoskop dan bola lampu dicoba
berfungsi atau tidak. Intensitas cahanya harus tetap walaupun bola
lampu bergoyang.
Keberhasilan intubasi tergantung dari posisi pasien yang benar.
Kepala pasien harus sejajar atau lebih tinggi dengan pinggang dokter
anestesi untuk mencegah ketegangan bagian belakang yang tidak perlu
selama laringoskopi. Rigid laringoskop memindahkan jaringan lunak
faring untuk membentuk garis langsung untuk melihat dari mulut ke
glotis yang terbuka. Elevasi kepala sedang (sekitar 5-10 cm diatas
meja operasi) dan ekstensi dari atlantoocipito joint menempatkan
pasien pada posisi sniffing yang diinginkan. Bagian bawah dari tulang
leher adalah fleksi dengan menempatkan kepala diatas bantal.6

Intubasi Orotrakeal
Laringoskop dipegang oleh tangan kiri. Dengan mulut pasien
terbuka lebar, blade dimasukan pada sisi kanan dari orofaring dengan
hati-hati untuk menghindari gigi. Geserkan lidah ke kiri dan masuk
menuju dasar dari faring dengan pinggir blade. Ujung dari blade
melengkung dimasukkan ke valekula, dan ujung blade lurus menutupi
epiglotis. Handle diangkat menjauhi pasien secara tegak lurus dari
mandibula pasien untuk melihat pita suara. Terperangkapnya lidah
antara gigi dan blade serta pengungkitan dari gigi harus dihindari. TT
diambil dengan tangan kanan, dan ujungnya dilewatkan melalui pita
suara yang terbuka (abduksi). Balon TT harus berada dalam trakea
bagian atas tapi dibawah laring. Langingoskop ditarik dengan hati-hati
untuk menghindari kerusakan gigi. Balon dikembungkan dengan
sedikit udara yang dibutuhkan agar tidak ada kebocoran selama
ventilasi tekanan positif, untuk meminimalkan tekanan yang
ditransmisikan pada mukosa trakea. Merasakan pilot balon bukan

14
metode yang dapat dipercaya untuk menentukan tekanan balon yang
adekuat.

Setelah intubasi, dada dan epigastrium dengan segera


diauskultasi dan capnograf dimonitor untuk memastikan TT ada di
intratrakeal. Jika ada keragu-raguan tentang apakah pipa dalam
esophagus atau trakea, cabut lagi TT dan ventilasi pasien dengan face
mask. Sebaliknya, jika sudah yakin, pipa dapat diplester atau diikat
untuk mengamankan posisi. Walaupun deteksi kadar CO2 dengan
capnograf merupakan konfirmasi terbaik untuk menentukan letak TT
di trakea, kita tetap tidak dapat mengabaikan terjadinya intubasi
bronkial. Manifestasi dini dari intubasi bronkial adalah peningkatan
tekanan respirasi puncak. Lokasi pipa yang tepat dapat dikonfirmasi
dengan palpasi balon pada sternal notch sambil menekan pilot balon
dengan tangan lainnya. Balon jangan ada diatas level kartilago krikoid,
karena lokasi intralaringeal yang lama dapat menyebabkan suara serak
pada post operasi dan meningkatkan resiko ekstubasi yang tidak
disengaja. Posisi pipa dapat dilihat dengan radiografi dada, tapi ini
jarang diperlukan kecuali dalam ICU.

Hal yang diuraikan diatas diambil dari pasien tidak sadar.


Intubasi lewat mulut ini biasanya kurang ditoleran pada pasien yang
sadar. Jika perlu, dalam kasus terakhir, sedasi intravena, penggunaan
lokal anestetik spray dalam orofaring, regional blok saraf akan
memperbaiki penerimaan pasien.

Kegagalan intubasi jangan diikuti dengan pengulangan intubasi


kembali karena hasilnya akan sama. Perubahan harus dilakukan untuk
meningkatkan keberhasilan, seperti mengatur kembali posisi pasien,
penurunan ukuran pipa, pemasangan mandrin, memilih blade yang

15
berbeda, mencoba lewat hidung atau meminta bantuan dokter anestesi
lainnya. Jika pasien juga sulit untuk ventilasi dengan face mask,
pilihan pengelolaan jalan nafas yang lain (contoh LMA, combitube,
krikotirotomi dengan jet ventilasi, trakeostomi). Petunjuk yang
dikembangkan oleh ASA untuk penanganan jalan nafas yang sulit,
termasuk algoritma rencana terapi.6

Intubasi Nasotrakeal

Intubasi nasal mirip dengan intubasi oral kecuali bahwa TT


masuk lewat hidung dan nasofaring menuju orofaring sebelum
dilakukan laringoskopi. Lubang hidung yang dipilih dan digunakan
adalah lubang hidung yang pasien bernafas lebih gampang. Tetes
hidung phenylephrine (0,5 – 0,25%) menyebabkan pembuluh
vasokonstriksi dan menyusutkan membran mukosa. Akan tetapi,
pemberian tetes hidung phenyleprine yang berlebihan dapat
menimbulkan hipertensi, takikardi dan lain lain. Jika pasien sadar,
lokal anestesi secara tetes dan blok saraf dapat digunakan.
TT yang telah dilubrikasi dengan jeli yang larut dalam air,
dimasukkan dipergunakan didasar hidung, dibawah turbin inferior.
Bevel TT disisi lateral jauh dari turbin. Untuk memastikan pipa lewat
di dasar rongga hidung, ujung proksimal dari TT harus ditarik ke arah
kepala. Pipa secara berangsur-angsur dimasukan hingga ujungnya
terlihat di orofaring, dengan laringoskop, digunakan untuk adduksi pita
suara. Seringnya ujung distal dari TT dapat dimasukan pada trachea
tanpa kesulitan. Jika ditemukan kesulitan memasukkan ujung pipa
menuju pita suara mungkin difasilitasi dengan forcep Magil, yang
dilakukan dengan hati-hati agar tidak merusakkan balon. 6

16
Komplikasi Intubasi
- Selama intubasi:
- Trauma gigi-geligi
- Laserasi bibir, gusi, laring
- Merangsang saraf simpatis (hipersekresi dan takikardia)
- Intubasi bronkus
- Intubasi esofagus
- Aspirasi
- Spasme bronkus
- Setelah ekstubasi
- Spasme laring
- Aspirasi
- Gangguan fonasi
- Edema glotis-subglotis
- Infeksi laring, faring trakea.6

17
BAB III

PENUTUP

2.5 KESIMPILAN
Pengelolaan jalan nafas atau airway management adalah prosedur
medis yang dilakukan untuk mencegah obstruksi jalan napas untuk
memastikan jalur nafas terbuka antara paru-paru pasien dan udara luar. Hal ini
dilakukan dengan membuka jalan nafas atau mencegah obstruksi jalan napas
yang disebabkan oleh lidah, saluran udara itu sendiri, benda asing, atau bahan
dari tubuh sendiri, seperti darah dan cairan lambung yang teraspirasi.
Obstruksi jalan nafas terbagi menjadi 2 yaitu obstruksi total dan
parsial. Ada dua gerbang untuk masuk ke jalan nafas pada manusia yaitu
hidung yang menuju nasofaring (pars nasalis), dan mulut yang menuju
orofaring (pars oralis). Hilangnya tonus otot jalan nafas bagian atas (misalnya
kelemahan dari otot genioglosus) pada pasien yang dianestesi menyebabkan
lidah dan epiglotis jatuh kebelakang kearah dinding posterior faring.
Pemasangan oral airway kadang-kadang difasilitasi dengan penekanan refleks
jalan nafas dan kadang-kadang dengan menekan lidah dengan spatel lidah.
Untuk menghilangkan sumbatan pada jalan nafas agar jalan nafas
dapat terbuka sehingga udara dapat masuk ke paru-paru dilakukan tatalaksana
jalan nafas yang terdiri dari pengeluaran benda asing/sumbatan dari saluran
pernafasan menggunakan teknik heimlich manuver dan abdominal thrust pada
pasien sadar dan cross finger dan finger sweep pada pasien tidak sadar;
pengelolaan jalan nafas dengan teknik manual yaitu head-tilt chin lift untuk
pasien non trauma servikal dan jaw thrust untuk pasien yang mengalami
trauma servikal; pengelolaan jalan nafas dengan bantuan alat sederhana yaitu
Oropharyngeal airway (OPA) dan Nasopharyngeal Airway; pengelolaan jalan
nafas dengan alat lanjutan yaitu bag valve mask, Laryngeal Mask Airway

18
(LMA), combitube, intubasi dengan ETT. Lalu jika prosedur invasif tersebut
tidak berhasil, maka akan dilakukan tindakan pembedahan untuk membuka
jalan nafas, yaitu dengan krikotiroidektomi dan trakeostomi. Manajemen jalan
napas bedah sering dilakukan sebagai upaya terakhir dalam kasus di mana
Orotracheal dan intubasi nasotrakeal tidak mungkin atau kontraindikasi.

19
DAFTAR PUSTAKA

1. ASA. 2013. Practice Guidelines for Management of the Difficult Airway.


The American Society of Anesthesiology. V 118. No. 2. P. 1-20
2. Guyton. Fisiologi Kedokteran. EGC. Jakarta, 2007.
3. Mangku G, Senapathi T. Ilmu Anestesia dan Reanimasi. Indeks, Jakarta,
2009.
4. Prasenohadi. 2010. Manajemen Jalan Napas; Pulmonologi Intervensi dan
Gawat Darurat Napas. Jakarta: FK UI.
5. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. 2009. Petunjuk Praktis
Anestesiologi 2nd ed. Jakarta: FKUI
6. Morgan GE et al. Clinical Anesthesiology. 4th edition. New York: Lange
Medical Book. 2006

20

Anda mungkin juga menyukai