KUSTA
Preseptor: Lina Damayanti, dr. Sp.KK
Disusun oleh:
Kelompok LIII-G dan L-B
Presentan :
Trias Nyandik Agung Prasetya (4151161409)
Nurul Aliyah (4151161493)
Fahmi Nur Hidayatullah (4151161520)
Nidya Aryanda Kusumawati (4151161524)
Chikara Maulita (4151151007)
Partisipan :
Hasbi Abdul Rozak (4151161414)
Nurunnisa (4151161489)
Dianti Nursafitri Sundarti (4151161513)
Nengah Subagia (4151141002)
1
2
KUSTA
A. Definisi
Penyakit kusta atau lepra disebut juga Morbus Hansen, sesuai dengan nama
yang menemukan kuman. Kusta adalah penyakit infeksi kronik yang disebabkan
oleh Mycobacterium leprae yang bersifat intraselular obligat. Kusta menyerang
berbagai bagian tubuh diantaranya saraf dan kulit. Saraf perifer sebagai afinitas
pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas, kemudian dapat
ke organ lain kecuali susunan saraf pusat.1
B. Epidemiologi
Penyebaran penyakit kusta dari suatu tempat ke tempat lain sampai tersebar di
seluruh dunia, tampaknya disebabkan oleh perpindahan penduduk yang terinfeksi
penyakit tersebut. Masuknya kusta ke pulau-pulau Melanesia termasuk Indonesia,
diperkirakan terbawa oleh orang-orang Cina. Distribusi penyakit tiap-tiap negara
maupun di dalam satu negara sendiri ternyata berbeda-beda. Demikian pula
penyebab penyakit kusta menurun atau menghilang pada suatu negara sampai saat
ini belum jelas benar.1
Kusta terdapat di seluruh dunia, terutama di Asia, Afrika, Amerika Latin,
daerah tropis dan subtropis, serta masyarakat yang sosial ekonominya rendah.
Makin rendah sosial ekonomi makin berat penyakitnya, sebaliknya faktor sosial
ekonomi tinggi sangat membantu penyembuhan. Didapatkan variasi reaksi
terhadap infeksi M. leprae yang mengakibatkan variasi gambaran klinis (spektrum
di berbagai suku dan lain-lain) bangsa. Hal ini diduga disebabkan oleh faktor
genetik yang berbeda.1
Kasus yang terdaftar pada permulaan tahun 2009 tercatat 213.036 penderita
yang berasal dari 121 negara, sedangkan jumlah kasus baru tahun 2008 tercatat
249.007. Di Indonesia jumlah kasus kusta yang tercatat permulaan tahun 2009
adalah 21.538 orang dengan kasus barn tahun 2008 sebesar 17.441 orang.
Distribusi tidak merata, yang tertinggi antara lain di Pulau Jawa, Sulawesi,
Maluku. dan Papua. Prevalensi pada tahun 2008 per 10.000 penduduk adalah
0.76.1
3
Kusta menyerang semua umur, dengan frekuensi tertinggi usia 25-35 tahun.
Makin rendah sosial ekonomi makin subur penyakit kusta. Kusta banyak tersebar
di daerah tropis dan sub tropis yang panas dan lembab, terutama di Asia (>10 juta
kasus lepra), Afrika dan Amerika Latin. Jumlah kasus terbanyak terdapat di India,
Brazil, Bangladesh, dan Indonesia.1,2
C. Etiologi
Ilmuwan Norwegia bernama Gerhard Henrik Armauer Hansen menemukan
pertama kali Mycobacterium leprae pada tahun 1874 sebagai patogen yang
menyebabkan penyakit yang telah lama dikenal sebagai lepra. Secara morfologik,
M. leprae berbentuk pleomorf lurus, batang panjang, sisi paralel dengan kedua
ujung bulat. Ukuran 0,5 x 3-8 mikron. Basil ini berbentuk batang gram positif,
aerob, bersifat tahan asam (BTA), tidak bergerak dan tidak berspora, dapat
tersebar atau dalam berbagai ukuran bentuk kelompok, termasuk massa irreguler
besar yang disebut sebagai globi. M. leprae berkembang biak dalam waktu 2-3
minggu dan dapat bertahan diluar tubuh sampai 9 hari di luar tubuh manusia.
Masa inkubasinya rata-rata 2-5 tahun, bahkan beberapa mencapai >5tahun.22,3
Kriteria identifikasi, ada 5 sifat khas M. leprae yaitu yang pertama M. leprae
merupakan parasit intraseluler obligat yang tidak dapat dibiakan pada media
buatan. Kedua sifat tahan asam M. leprae dapat diekstraksi oleh piridin. Ketiga M.
leprae merupakan satu-satunya mikrobakterium yang mengoksidasi D-Dopa (D-
Dihydroxyphenylalanin). Keempat M. leprae adalah satu-satunya spesies
mikrobakterium yang menginvasi dan bertumbuh dalam saraf perifer. Kelima
ektrak terlarut dan preparat M. leprae mengandung komponen-komponen
antigenik yang stabil dengan aktivitas imunologis yang khas, yaitu uji kulit positif
pada penderita tuberkuloid dan negatif pada penderita lepromatous.
Dengan pewarnaan Ziehl Neelsen terlihat kuman ini berbentuk batang lurus
atau sedikit bengkok dengan ukuran 2,8 mikron, dapat dilihat pada gambar 1.
Pada penderita yang telah diobati sering dijumpai kuman lepra yang pecah
(kuman mati atau mengalami degenerasi) disamping yang masih utuh dinyatakan
sebagai Indeks Morfologi (Morphological Index: MI). Indeks ini digunakan untuk
4
mengetahui hasil pengobatan pada penderita. Disamping indeks ini masih dikenal
pula indeks lain yaitu Indeks Bakteri (Bacteriological Index: BI) yang
menyatakan perkiraan jumlah kuman tiap lapangan pandang/penglihatan. Indeks
Bakteri biasanya digunakan untuk menentukan tipe penyakit kusta.1
D. Cara Penularan
Cara penularan penyakit kusta sampai saat ini belum diketahui dengan jelas.
Hanya ada beberapa anggapan klasik yaitu melalui kontak langsung yang lama
dan berulang-ulang dengan penderita, atau melalui pernapasan.1,3
- Vaksinasi
- Kemoprofila Pengobatan
Menjadi sakit
ksis MDT
dan tubuh
menjadi tempat Kasus
Tuan Kusta
perkembangan
rumah/host: menjad
Mycobacterium
yang i
leprae
kekebalannya sumber
kurang penular
Cara
Cara masuk an
keluar: dari
ke host: dari
Cara penularan saluran
saluran nafas
utama: melalui nafas
percikan droplet
E. Patofisiologi
Penyakit kusta masa kini berbeda dengan kusta masa lalu. Sputum juga dapat
mengandung M. leprae yang berasal dari traktus respiratorius atas. Sebenarnya
menurut Program Pengendalian Penyakit Kusta. Jakara: Kementrian Kesehatan RI
2012 leprae mempunyai patogenitas dan daya invasi yang rendah, sebab penderita
yang mengandung kuman lebih banyak belum tentu memberikan gejala yang lebih
berat, bahkan dapat sebaliknya.1,3,4
Kuman masuk ke dalam tubuh melalui saluran pernapasan dan kulit yang
tidak intak atau tidak utuh. Sumber penularannya adalah penderita kusta yang
banyak mengandung kuman (Tipe Multibasiler) yang belum diobati. Dan ada
syaratnya yaitu prolonged contact dan intimate yang artinya bisa menular jika
terdapat kontak yang lama dan intim.1,4
Bentuk tipe klinis bergatung pada sistem imunitas selular penderita. Bila
sistem inum seluler baik maka akan tampak gambaran ke arah tuberkuloid
sedangkan pada orang dengan respon imunitas seluler yang rendah memberikan
gambaran lepromatosa. Setelah memasuki tubuh, basil bermigrasi ke jaringan
saraf dan masuk sel Schwann. Setelah memasuki sel Schwann atau makrofag
maka nasib bakteri tergantung pada perlawanan dari individu yang terinfeksi
terhadap organisme infeksi. Basil mulai bereplikasi perlahan (sekitar 12-14 hari
untuk satu bakteri untuk membagi menjadi dua) dalam sel, melepaskan diri dari
sel yang hancur dan masuk ke sel lainnya yang belum terinfeksi. Sampai keadaan
ini orang tetap bebas dari tanda dan gejala kusta.1,4
Sebagai basil yang bereplikasi, bakteri meningkat dalam tubuh dan infeksi
disebabkan oleh sistem imunologi. Limfosit dan makrofag menyerang jaringan
yang terinfeksi. Pada tahap ini manifestasi klinis mungkin muncul berupa
gangguan sensasi dan atau kelainan kulit. Jika tidak didiagnosis dan diobati pada
tahap awal, kemajuan lebih lanjut dari penyakit ini ditentukan oleh kekuatan
respon imun pasien. Spesifik dan efektif Cell Mediated Immunity (CMI)
memberikan perlindungan kepada seseorang yang melawan kusta. 1,4,5
6
F. Gejala Klinis
Bentuk tipe klinis bergantung pada sistem imunitas seluler penderita, dapat
dilihat pada tabel 3. Sistem imun seluler yang baik akan tampak gambaran klinis
ke arah tuberkuloid, sebaliknya sistem imun seluler yang rendah akan
memberikan gambaran lepromatosa.6
Menurut WHO pada tahun 1981, kusta dibagi menjadi multibasilar dan
pausibasilar, dapat dilihat pada tabel 1 dan 2. Yang termasuk multibasilar adalah
tipe LL, BL, dan BB. BB dan BL pada klasifikasi Ridley-Jopling dengan indeks
bakteri (IB) lebih dari 2+ sedangkan paulobasilar adalah tipe I, TT dan BT
dengan IB 2+, dapat dilihat pada tabel 4.1
A B
Gambar 3. (A) tipe BB. (B) tipe PB
G. Reaksi Kusta
Reaksi kusta merupakan interupsi episode akut pada perjalanan penyakit yang
sangat kronik. Klasifikasi reaksi kusta dapat bermacam-macam, namun yang
paling banyak dianut pada akhir-akhir ini, yaitu ENL (Eritema Nodusum
Leprosum) dan reaksi reversal atau reaksi upgrading. ENL timbul terutama pada
9
tipe lepromatosa polar dan dapat pada BL. Berdasarkan imunopatologis, ENL
termasuk respon imun humoral dan reaksi hipersensitivitas tipe III, berupa
fenomena kompleks imun akibat reaksi antara antigen M. Leprae dengan antibodi
(IgM, IgG) dan komplemen sehingga menghasilkan komplek imun. Pada Kulit
akan timbul gejala klinis yang berupa nodus eritema, dan nyeri dengan tempat
predileksi di lengan dan tungkai.1
Reaksi reversal hanya terjadi pada tipe borderline (Li, BL, BB, BT, Ti),
sehingga disebut reaksi borderline. Pada reaksi reversal terjadi hipersensitivitas
tipe IV. Reaksi Reversal dapat terjadi perpindahan tipe ke arah TT dengan disertai
peningktan SIS, yang membedakan yaitu caranya mendadak dan cepat. Gejala
klinis reaksi reversal ialah umumnya sebagian atau seluruh lesi yang telah ada
bertambah aktif dan atau timbul lesi baru dalam waktu yang relatif singkat. Lesi
hipopigmentasi menjadi eritema, lesi eritema menjadi eritematosa, lesi makula
menjadi infiltrat, lesi infiltrat semakin infiltratif, dan lesi lama menjadi bertambah
luas.1,5
H. Diagnosis
Seseorang dinyatakan sebagai penderita kusta apabila terdapat sekurang-
kurangnya satu dari tanda kardinal, yaitu kelainan kulit bercak hipopigmentasi
atau eritema dengan hiperstesia/anesthesia, pembesaran atau penebalan saraf
perifer dengan hilangnya fungsi sensorik (mati rasa), motorik (paresis/ paralisis),
dan/ atau fungsi otonom (kulit kering dan retak-retak), dan adanya BTA dari
kerokan kulit.
Melakukan diagnosis secara lengkap dilaksanakan hal-hal sebagai berikut:
Anamnesa, pemeriksaan klinis yaitu pemeriksaan kulit dan syaraf tepi serta
fungsinya, pemeriksaan bakteriologis, pemeriksaan histopatologis, dan
imunologis.5,6
10
J. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan bakterioskopik
Pemeriksaan bakterioskopik digunakan untuk membantu menegakkan
diagnosis dan pengamatan pengobatan. Sediaan dibuat dari kerokan jaringan kulit
atau usapan dan kerokan mukosa hidung yang diwarnai dengan pewarnaan
terhadap basil tahan asam, antara lain Ziehl-Neelsen.1
Pertama-tama harus ditentukan lesi di kulit yang diharapkan paling padat oleh
basil. Untuk rutin sebaiknya minimal 4-6 tempat, yaitu kedua cuping telinga
bagian bawah dan 2-4 lesi lain yang paling aktif, berarti yang paling eritematosa
dan paling infiltratif. Setiap tempat pengambilan harus dicatat, guna pengambilan
di tempat yang sama pada pengamatan pengobatan untuk dibandingkan hasilnya.1
Cara pengambilan bahan dengan menggunakan skalpel steril. Setelah lesi
tersebut didesinfeksi kemudian dijepit antara ibu jari dan jari telunjuk agar
menjadi iskemik, sehingga kerokan jaringan mengandung sesedikit mungkin
darah yang akan mengganggu gambaran sediaan. Irisan yang dibuat harus sampai
di dermis, melampaui subepidermal clear zone agar mencapai jaringan yang
diharapkan banyak mengandung sel Virchow (sel lepra) yang didalamnya
mengandung basil M. leprae. Kerokan jaringan itu dioleskan di gelas alas,
difiksasi di atas api, kemudian diwarnai dengan pewarnaan Ziehl-Neelsen.1
12
Sediaan mukosa hidung diperoleh dengan cara nose blows, terbaik dilakukan
pagi hari yang ditampung pada sehelai plastik. Cara lain mengambil bahan
kerokan mukosa hidung dengan alat semacam skalpel kecil tumpul atau bahan
olesan dengan kapas lidi. Sebaiknya diambil dari daerah septum nasi.1
M. leprae tergolong basil tahan asam (BTA), akan tampak merah pada
sediaan. Dibedakan bentuk batang utuh (solid), batang terputus (fragmented), dan
butiran (granular). Bentuk solid adalah basil hidup, sedangkan fragmented dan
granular merupakan bentuk matsssssssi. Kepadatan BTA tanpa membedakan
solid dan nonsolid pada sebuah sediaan dinyatakan dengan Indeks Bakteri (IB)
dengan nilai dari 0-6+ menurut Ridley. Nilai 0 menunjukan tidak ada BTA dalam
100 lapang pandang (LP), nilai 1+ menunjukkan 1-10 BTA dalam 100 LP, nilai
2+ menunjukkan 1-10 BTA dalam 10 LP, nilai 3+ menunjukkan 1-10 BTA rata-
rata dalam 1 LP, nilai 4+ menunjukkan 11-100 BTA rata-rata dalam 1 LP, nilai 5+
menunjukkan 101-1000 BTA rata-rata dalam 1 LP, dan nilai 6+ menunjukkan
>1000 BTA rata-rata dalam 1 LP.1
Rumus:
dapat bergerak dan kemudian akan dapat berubah menjadi sel datia Langhans.1
3. Pemeriksaan serologik
Pemeriksaan serologik kusta didasarkan atas terbentuknya antibodi pada tubuh
seseorang yang terinfeksi oleh M. leprae. Antibodi yang terbentuk dapat bersifat
spesifik terhadap M. leprae, yaitu antibodi anti phenolic glycolipid-1 (PGL-1) dan
antibodi antiprotein 16 kD serta 35 kD. Antibodi yang tidak spesifik antara lain
antibodi anti-lipoarabinomanan (LAM), yang juga dihasilkan oleh M.
tuberculosis.1
Pemeriksaan serologik dapat membantu menegakkan diagnosis kusta yang
meragukan karena tanda klinis dan bakteriologi tidak jelas. Selain itu dapat
membantu menegakkan diagnosis kusta subklinis. Macam-macam pemeriksaan
serologik kusta diantaranya adalah Uji MLPA (Mycobacterium Leprae Particle
Aglutination), Uji ELISA (Enzyme Linked Immuno-Sorbent Assay), dan Uji ML
dipstick (Mycobacterium Leprae dispstick)
K. Penatalaksanaan
Obat anti kusta yang paling banyak dipakai pada saat ini adalah DDS
(diaminodifenil sulfon) kemudian klofazimin dan rifampisin. Pada tahun 1998
WHO menambahkan 3 obat antibiotik lain untuk pengobatan alternatif, yaitu
ofloksasin, minosiklin, dan klaritromisin.1
Rifampisin adalah obat yang menjadi salah satu komponen kombinasi DDS
dengan dosis 10 mg/kgBB, diberikan setiap hari atau setiap bulan. Rifampisin
tidak boleh diberikan sebagai monoterapi, oleh karena memperbesar kemungkinan
terjadinya resistensi. Efek samping yang harus diperhatikan adalah hepatotoksik,
nefrotoksik, gejala gastrointestinal, flu-like syndrome, dan erupsi kulit.1
Klofazimin (lamprene) merupakan salah satu obat yang juga digunakan pada
penyakit kusta. Dosis sebagai antikusta ialah 50 mg setiap hari, atau 100 mg
selang sehari, atau 3x100 mg setiap minggu. Juga bersifat anti-inflamasi sehingga
dapat dipakai pada penanggulangan E.N.L dengan dosis lebih tinggi yaitu 200
mg-300 mg/hari, namun awitan kerja baru timbul setelah 2-3 minggu. Efek
sampingnya ialah warna kecoklatan pada kulit, dan warna kekuningan pada
14
Ket: Multibasilar (BB, BL, LL, atau semua tipe dengan BTA positif)
Pausibasilar (I, TT, BT , dengan BTA negatif)
Dalam pengobatan MDT tipe MB, mula-mula kombinasi obat ini diberikan 24
dosis dalam 24 sampai 36 bulan dengan syarat bakterioskopis harus negatif.
Apabila bakterioskopis masih positif, pengobatan harus dilanjutkan sampai
bakterioskopis negatif. Selama pengobatan dilakukan pemerikaan secara klinis
setiap bulan dan secara bakterioskopis minimal 3 bulan. Penghentian pemberian
obat lazim disebut Release From Treatment (RFT). Setelah RFT dilakukan tindak
lanjut (tanpa pengobatan) secara klinis dan bakterioskopis minimal setiap tahun
selama 5 tahun. Kalau bakterioskopis tetap negative dan klinis tidak ada keaktifan
baru, maka dinyataka bebas dari pengamatan atau disebut Release From Control
(RFC).1
Sedangkan dalam pengobatan MDT tipe PB rifampisin dan DDS diberikan
dalam 6 dosis selama 6 bulan sampai 9 bulan, berarti RFT setelah 6-9 bulan.
Selama pengobatan, pemeriksaan secara klinis setiap bulan dan bakterioskopis
setelah 6 bulan pada akhir pengobatan. Pemeriksaan dilakukan minimal setiap
tahun selama 2 tahun secara klinis dan bakterioskopis. Kalau tidak ada keaktivan
baru secara klinis dan bakterioskopos tetap negative, maka dinyatakan RFC.1
Sejak tahun 1995 WHO tidak lagi menganjurkan pelaksanaan RFC. Apabila
RFT telah tercapai, tanpa memperhatikan hasil bakterioskopis, penderita tidak lagi
diawasi sampai RFC, walaupun akhir-akhir ini banyak yang menganjurkan
diberlakukan kembali antara lain untuk mengawasi adanya rekasi dan relaps. Pada
tabel 7 dijelaskan berdasarkan WHO, yaitu penggunaan terapi pada kusta tipe MB
dan PB.1
16
Rifampisin 600 mg
PB 1 Lesi Ofloksasin 400 mg Dosis tunggal
Minosiklin 100 mg
Klofazimin 50 mg
Setiap hari
Ofloksasin 400 mg
Selama 6 bulan
Minosiklin 100 mg
MB Resisten Rifampisin
Klofazimin 50 mg
Setiap hari
Ofloksasin 400 mg atau
Selama 18 bulan
Minosiklin 100 mg
Rifampisin 600 mg Dosis Tunggal
Ofloksasin 400 mg 1 kali/ bulan
MB Minosiklin 100 mg 24 bulan
Menolak Klofazimin
Ofloksasin 400 mg atau Setiap hari
Minoksiklin 100 mg 12 bulan
Klofazimin kecuali sebagai obat antikusta dapat juga dipakai sebagai anti-
reaksi E.N.L tetapi dengan dosis yang lebih tinggi. Juga tergantung pada berat
ringannya reaksi, makin berat makin tinggi dosisnya, biasanya antara 200-300 mg
sehari. Keuntungan lain klofazimin dapat dipakai sebagai usaha untuk lepas dari
ketergantungan kortikosteroid. Salah satu efek samping yang tidak dikehendaki
oleh banyak penderita ialah bahwa kulit menjadi berwarna merah kecoklatan,
apalagi pada dosis tinggi.1
N. Pencegahan Cacat
Penderita kusta yang terlambat didiagnosis dan tidak mendapat MDT
mempunyai risiko tinggi untuk terjadinya kerusakan saraf. Selain itu penderita
dengan reaksi kusta, terutama reaksi reversal, lesi kulit multipel dan dengan saraf
yang membesar atau nyeri juga memiliki risiko tersebut.1
Cara terbaik untuk melakukan pencegahan cacat atau prevention disabilities
(POD) adalah dengan melaksanakan diagnosis dini kusta, pemberian pengobatan
MDT yang cepat dan tepat. Bila terdapat gangguan sensibilitas, penderita diberi
petunjuk sederhana misalnya memakai sepatu untuk melindungi kaki yang telah
terkena, memakai sarung tangan bila bekerja dengan benda yang tajam atau panas,
dan memakai kacamata untuk melindungi matanya. Selain itu diajarkan pula cara
perawatan kulit sehari-hari.1
O. Rehabilitasi
Usaha rehabilitasi medis yang dapat dilakukan untuk cacat tubuh antara lain
dengan operasi dan fisioterapi. Meskipun hasilnya tidak sempurna kembali ke
18
asal, tetapi fungsinya dan secara kosmetik dapat diperbaiki. Cara lain adalah
secara kekaryaan, yaitu memberi lapangan pekerjaan yang sesuai cacat tubuhnya,
sehingga dapat berprestasi dan dapat meningkatkan rasa percaya diri, serta terapi
psikologi (kejiwaan).1
P. Komplikasi
WHO Expert Committe on Leprosy (1977) membuat klasifikasi cacat bagi
penderita kusta, dapat dilihat pada tabel 8.
Tabel 8. Klasifikasi kecacatan1
Cacat Pada Tangan dan Kaki
Tingkat 0: Tidak ada gangguan sensibilitas, tidak ada
kerusakan atau deformitas yang terlihat
Tingkat 1: Ada gangguan sensibilitas, tanpa kerusakan atau
deformitas yang terlihat
Tingkat 2: Terdapat kerusakan atau deformitas
Cacat Pada Mata
Tingkat 0: Tidak ada gangguan pada mata akibat kusta; tidak
ada gangguan penglihatan
Tingkat 1: Ada gangguan pada mata akibat kusta; tidak ada
gangguan yang berat pada penglihatan. Visus 6/60
atau lebih baik (dapat menghitung jari pada jarak 6
Tingkat 2: meter)
Gangguan penglihatan berat (visus kurang dari
6/60; tidak dapat menghitung jari pada jarak 6
meter)
Catatan: Kerusakan atau deformitas pada tangan dan kaki termasuk ulserasi,
absorbsi, mutilasi, kontraktur, sedangkan pada mata termasuk anestesi kornea,
indosiklitis, dan lagoftalmus.
Q. Prognosis
Prognosis penyakit kusta bergantung pada tipe kusta apa yang diderita oleh
pasien, akses ke pelayanan kesehatan, dan penanganan awal yang diterima oleh
pasien. Relaps pada penderita kusta terjadi sebesar 0,01-0,14 % per tahun dalam
10 tahun. Karena berkurangnya kemampuan imunitas tubuh, kehamilan pada
pasien kusta wanita yang berusia dibawah 40 tahun dapat mempercepat timbulnya
relaps atau reaksi, terutama reaksi tipe 2.1
19
DAFTAR PUSTAKA
1. Wisnu I, Daili E, Menaldi S. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi ke-7.
Jakarta : Badan penerbit FKUI. 2016. Hal: 87-102.
2. Brooks FB, Buutel JS, Morse SA. Jawetz, Melnick, and Adelberg’s
Medical Microbiology, 23th ed. ISBN 978-979-448-859-1 2008;365-366
3. Kemenkes RI. Pedoman Nasional Program Pengendalian Penyakit Kusta.
Jakara: Kementrian Kesehatan RI 2012.Hal: 10-15
4. National Leprosy Eradication Programme. Pathogenesis.
http://nlep.nic.in/pdf/Ch%205%20Pathogenesis.pdf. [Diunduh: 7
September 2017]
5. National Leprosy Eradication Programme (NLEP). Traning Manual For
Medical Officer. India: Central Leprosy Division, Directorate General of
Health Service. 2015
6. WHO. Weekly Epidemiological Report: Global leprosy update, 2013;
reducing disease burden. 2014: 36(89); 389–400. http://www.who.int/wer.
[diunduh 14 Maret 2017].
7. Wolff, Klaus, Richard Allen Johnson. Fitzpatrick’s Color Atlas &
Synospsis of Clinical Dermatology 7th ed. USA: McGraw-Hill., 2008.