PEMBAHASAN
2.2 Epidemiologi
Berdasarkan Riskesdas tahun 2010 dan 2013 melakukan pendataan anak umur 24-59
bulan yang penyandang tuna netra, tuna rungu, tuna wicara, tuna grahita, tuna daksa,
down syndrome, cerebral palsy dan lainnya. Prevalensi anak umur 24-59 tahun yang
menyandang satu jenis cacat pada Riskesdas tahun 2013 adalah sebesar 0,53% dengan
jenis kecacatan tertinggi adalah tuna netra dan terendah adalah tuna rungu.6
Gambar 2.1 Prevalensi Kecacatan pada Anak Umur 24-59 Bulan Berdasarkan Data
Riskesdas Tahun 2010 dan 2013.6
2.3 Etiologi dan patofisiologi
Sindroma Down merupakan kelainan yang disebabkan oleh trisomi kromosom 21
(Hsa21) yang dapat menyebabkan keguguran pada janin atau gangguan perkembangan
kondisi medis apabila lahir hidup. Pada penderita sindroma Down, salinan ketiga dari
Hsa21 menghasilkan peningkatan ekspresi dari banyak gen di Hsa21. Hipotesis dari
penyebab sejumlah fenotipe yang mencirikan sindroma Down adalah ketidakseimbangan
ekspresi gen yang terjadi antara Hsa21 dan non- Hsa21. Jumlah gen dapat meningkat
seiring dengan peningkatan jumlah algoritma untuk mengidentifikasi RNA non-coding
(misalnya micro-RNA). Pada Hsa21 telah diidentifikasi adanya 5 micro-RNA namun
perannya dalam sindroma Down masih belum dipahami.7
Trisomi Hsa21 dikaitkan dengan fenotipe pada semua orang dengan sindrom
Down, tetapi berbeda di tiap individu, termasuk ketidakmampuan belajar tingkat ringan
sampai sedang, kelainan kraniofasial dan hipotonia di awal masa bayi. Namun, ada pula
yang hanya mempengaruhi fenotipe beberapa penderita, termasuk atrioventricular septal
defects (AVSDs) di jantung, acute megakaryoblastic leukaemia (AMKL), dan penurunan
kejadian beberapa jenis tumor. Variasi ini mungkin disebabkan oleh kombinasi dari
penyebab lingkungan dan genetik serta adanya polimorfisme genetik pada gen-gen
Hsa21 dan non- Hsa21.7
Berikut tiga jenis penyimpangan kromosom yang terjadi pada sindrom Down
yaitu trisomi 21, translokasi dan mosaik. Tipe pertama adalah trisomi 21, pada tipe ini
terdapat 3 kromosom pada kromosom no 21 sehingga jumlah seluruh kromosom menjadi
47 buah. Kesemua sel dalam tubuh akan mempunyai tiga kromosom 21. Sembilan puluh
empat persen dari semua kasus sindrom Down adalah tipe ini. Tipe kedua adalah
mosaik, pada tipe ini terjadi kegagalan berpisah pada pembelahan sel setelah fertilisasi
yang menyebabkan mosaik, keadaan adanya sel normal dan trisomi di dalam berbagai
jaringan. Tipe ini merupakan 2% dari total kasus dan biasanya kondisi si penderita lebih
ringan. Tipe yang ketiga adalah translokasi, pada tipe ini, kromosom 21 akan
berkombinasi dengan kromosom lain, sebagian besar yaitu kromosom 21 dan 15.
Seringnya salah satu orang tua yang menjadi karier kromosom yang ditranslokasi ini
tidak menunjukkan karakter penderita sindrom Down. Gangguan ini, tidak seperti
trisomi 21, biasanya diwariskan. Tipe ini merupakan 4% dari total kasus.8,9
Selain hal tersebut, terdapat beberapa faktor risiko yang menyebabkan
kelainan kromosom tersebut, antara lain; pertama, umur ibu, biasanya risiko
melahirkan anak sindroma Down terjadi pada ibu hamil yang berumur lebih dari 35
tahun. Hal ini terjadi karena suatu ketidakseimbangan hormonal. Kedua adalah kelainan
kehamilan. Ketiga, kelainan endokrin pada ibu : pada usia tua dapat terjadi infertilitas
relatif dan kelainan tiroid.10
Riwayat penyakit paling sering didapatkan dari orang tua atau pengasuh, dengan
perhatian khusus pada kehamilan ibu, persalinan, kelahiran, riwayat keluarga retardasi
mental, dan gangguan herediter. Selain itu, sebagai bagian riwayat penyakit, klinisi
sebaiknya menilai latar belakang sosiokultural pasien, iklim emosional di rumah, dan
fungsi intelektual pasien.18
Pemeriksaan Fisik
Adapun kriteria diagnostik untuk retardasi mental menurut DSM-IV antara lain;18
Untuk gangguan kromosom dan metabolik, seperti sindroma Down, sindroma X rapuh,
dan fenilketonuria (PKU) merupakan gangguan yang sering dan biasanya menyebabkan
sekurangnya retardasi mental sedang.18
A B
Gambar 2.2 A. Karyotipe G-banded menunjukkan trisomi 21 (47,XY,+21). B.
Karyotipe G-banded menunjukkan trisomi 21 dari lengan isochromosome arm 21q tipe
[46,XY,i(21)(q10)].17
b. Amniosentesis
Amniosentesis merupakan pemeriksaan yang berguna untuk diagnosis berbagai
kelainan kromososm bayi terutama sindrom Down, di mana dengan mengambil
sejumlah kecil cairan amniotik dari ruang amnion secara transabdominal antara
usia kehamilan 14-16 minggu. Cairan ini mengandung sel-sel janin yang dapat
diperiksa untuk tes kromosom. Dibutuhkan sekitar 3 minggu untuk menentukan
apakah janin sindrom Down atau tidak. Pemeriksaan ini dianjurkan untuk semua
wanita hamil di atas usia 35 tahun. Amniosentesis tidak dianjurkan sebelum
minggu ke-14 kehamilan karena risiko komplikasi lebih tinggi dan abortus.18
g. Skeletal Radiografi
Kelainan kraniofasial term asuk brachycephalic microcephaly, hypoplastic facial
bones dan sinuses. Tes ini diperlukan untuk mengukur jarak atlantodens dan
untuk menyingkirkan atlantoaxial instabilitas pada umur 3 tahun.17
2.6 Tatalaksana
Penatalaksanaan Sindroma Down
Penanganan anak Sindroma Down didasarkan pada penanganan dasar untuk anak
dengan retardasi mental yang meliputi edukasi, psikoterapi, dan farmakoterapi serta
menangani kondisi medisnya dengan penyuluhan pada orang tua pasien. Dengan
demikian penderita harus mendapatkan support maupun informasi yang cukup serta
kemudahan dalam menggunakan sarana atau fasilitas yang sesuai berkaitan dengan
kemunduran perkembangan baik fisik maupun mentalnya.,18,21,13,14,15
1. Edukasi
Penyediaan pendidikan khusus bagi anak yang mengalami retardasi mental yang
meliputi remediasi, tutoring, dan pelatihan kemampuan social.9 Anak dengan
sindroma Down juga mampu memberikan partisipasi yang baik dalam belajar
melalui program intervensi dini, Taman kanak-kanak dan melalui pendidikan khusus
yang positif akan berpengaruh terhadap tumbuh kembang anak secara menyeluruh.
Latihan khusus yang diberikan meliputi aktivitas motorik kasar dan halus serta
petunjuk agar anak mampu berbahasa. Demikian pula dengan mengajari anak untuk
dapat menolong dirinya sendiri seperti belajar makan, belajar buang air besar/kecil,
mandi, berpakaian, akan memberi kesempatan anak untuk belajar mandiri.19
Anak dengan kelainan ini memerlukan perhatian dan penanganan medis yang sama
dengan anak yang normal. Mereka memerlukan pemeliharaan kesehatan, imunisasi,
kedaruratan medis, serta dukungan dan bimbingan dari keluarga, tetapi terdapat
beberapa keadaan di mana anak dengan sindrom Down memerlukan perhatian
khusus antara lain:
Pemeriksaan mata dan telinga serta pendeteksian fungsi tiroid pada bayi baru
lahir dan rutin pada anak sindrom Down.
Penyakit jantung kongenital, intervensi dini dengan pemeriksaan kardiologi
pada bayi baru lahir.
Status Nutrisi, perlu perhatian meliputi kesulitan menyusu pada bayi sindrom
Down dan pencegahan obesitas pada usia anak dan remaja.
Kelainan tulang.
Monitoring pertumbuhan dan perkembangan dengan kurva spesial untuk
sindrom Down dan disesuaikan dengan tahap-tahap perkembangan anak
sindrom Down.
Perawatan mulut dan gigi.
Atlantoaxial instability screening pada usia tiga tahun.
Konseling genetik.
4. Psikoterapi
Terapi perilaku dilakukan untuk membentuk dan meningkatkan kemampuan
perilaku sosial serta mengontrol dan meminimalkan perilaku agresif dan
destruktif. Terapi kognitif, seperti menanamkan nilai yang benar dan latihan
relaksasi dengan mengikuti instruksi, direkomendasikan untuk anak yang mampu
mengikuti instruksi. Terapi psikodinamik digunakan untuk mengurangi konflik
tentang pencapaian yang diharapkan yang dapat mengakibatkan kecemasan,
kemarahan dan depresi.9
5. Farmakoterapi
Penderita sindroma Down yang disertai gejala ADHD atau depresi dapat
diberikan stimulan atau antidepresan. Agitasi, agresi, dan tantrum merespon baik
terhadap pemberian antipsikotik. Antipsikotik atipikal seperti risperidone
(Risperidal) dan olazapine (Zyprexal) lebih dipilih karena memiliki
kecenderungan lebih kecil dalam mengakibatkan gejala ekstrapiramidal dan
diskinesia. Litium (Eskalith) berguna dalam mengontrol sifat agresif atau
menyakiti diri sendiri. Carbamazepin (Tegretol), valproate (Depakene), dan
propanolol (Inderal) juga dapat digunakan untuk perilaku agresif dan tantrum.
Pemberian antibiotik yang adekuat sangat diperlukan pada pasien Sindroma
Down dengan infeksi karena terbukti mampu mencegah mortalitas.9
6. Terapi alternatif
Penaganan yang dilakukan oleh orangtua tidak hanya penanganan medis tetapi
juga dilakukan penanganan alternatif. Terapi jenis ini masih belum pasti
manfaatnya secara akurat karena belum banyak penelitian yang membuktikan
manfaatnya. Orangtua harus bijaksana memilih terapi alternatif ini, jangan
terjebak dengan janji bahwa sindrom Down pada anak akan bisa hilang karena
pada kenyataannya tidaklah mungkin sindrom Down bisa hilang. Yang bisa
lakukan yaitu mempersempit jarak perbedaan perkembangan antara anak
sindrom Down dengan anak yang normal. Terapi alternatif tersebut di antaranya:
Terapi Musik
Anak dikenalkan nada dan bunyi-bunyian. Anak-anak sangat senang dengan
musik maka kegiatan ini akan sangat menyenangkan bagi mereka dengan
begitu stimulasi dan daya konsentrasi anak akan meningkat dan
mengakibatkan fungsi tubuhnya yang lain juga membaik.
Terapi Lumba-Lumba
Terapi ini biasanya dipakai bagi anak Autis. Hasil yang sangat
mengembirakan bagi mereka bisa dicoba untuk anak sindrom Down. Sel-sel
saraf otak yang awalnya tegang akan menjadi relaks ketika mendengar suara
lumba-lumba.13-15
2.7 Komplikasi
Berikut merupakan komplikasi pada sindrom down, antara lain;
Gangguan penglihatan karena adanya perubahan pada lensa dan kornea.
Gangguan pendengaran akibat infeksi telinga berulang dan otitis serosa.
Gigi rusak karena penderita tidak sadar untuk menjaga kebersihan dental.
Leukemia, peningkatan risiko 10-20 kali lipat untuk menghidap leukemia
limfoblastik akut dan leukemia mieloid akut dapat terjadi.
Penyakit Alzheimer, hampir semua pasien trisomi 21 yang berusia lebih dari
40 mengalami kelainan neuropatologis yang khas untuk penyakit
Alzheimer.12,14
2.8 Pencegahan
Pencegahan dapat dilakukan dengan pemeriksaan screening seperti amniocentesis
terutama pada ibu hamil yang pernah mempunyai anak dengan sindrom down atau hamil
di atas usia 35 tahun, harus memantau perkembangan janinnya karena mereka memiliki
risiko melahirkan anak dengan sindrom down lebih tinggi. Sindrom down sulit dicegah,
karena sindrom Down merupakan kelainan jumlah kromosom.13,14
2.9 Prognosis
Survival rate penderita sindroma Down umumnya hingga usia 30-40 tahun. Selain
perkembangan fisik dan mental terganggu, juga ditemukan berbagai kelainan fisik.
Kemampuan berpikir penderita dapat digolongkan idiot dan biasanya ditemukan
penyakit jantung kongenital, seperti defek septum ventrikel yang memperburuk
prognosis. Anak-anak dengan sindroma Down memiliki risiko tinggi untuk menderita
kelainan jantung dan leukemia. Tingginya angka kejadian penyakit jantung kongenital
pada penderita mengakibatkan 80% kematian. Meningkatnya risiko terkena leukemia
pada sindroma Down adalah 15 kali dari populasi normal. Jika terdapat kedua penyakit
tersebut, maka angka harapan hidupnya berkurang dan jika kedua penyakit tersebut tidak
ditemukan maka anak bisa bertahan sampai dewasa. Sebesar 44% penderita sindroma
Down hidup sampai 60 tahun dan hanya 14% hidup sampai 68 tahun. Penyakit
Alzheimer yang lebih dini akan menurunkan harapan hidup setelah umur 44 tahun.11-14
BAB III
KESIMPULAN
3.1 Kesimpulan
1. Desai SS. Down syndrome: a review of the literature. Oral Surg, Oral Med, Oral
Radiol, Oral Pathol and Endodontics 1997; 84(3): 279-85.
5. Fatusi, Buckley, Sue. 2005. Specificity in Down syndrome. The Down Syndrome
Educational Trust. p81-86.
6. Kementrian Kesehatan RI. Buletin Jendela data dan informasi kesehatan. Situasi
Penyandang Disabilitas. Jakarta. 2014. ISS 2088-270X.
8. (Lancet, 2003)
9. Sadock, Benjamin J., Sadock, Virginia A. Kaplan & Sadock Buku Ajar Psikiatri
Klinis. Ed. 2. Jakarta: EGC, 2010:563.
10. Shin, M., Besser, Lilah M., Kucik, James E., Lu, C., Siffel, C., Correa, A. et al.
2009. Prevalence of Down Syndrome Among Children and Adolescents in 10
Regions of the United States. Official Journal of the American Academic of
Pediatrics. 124:1565-1571.
11. Kosim M.S, Yunanto A, Dewi R, Sarosa G.I, Usman A. Buku ajar neonatologi:
Kelainan kongenital. Jakarta, Penerbitan Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2008;
hal 63-9.
12. Kumar V, Abbas A.K, Fausto N. Robbins & Cotran Dasar atologis penyakit:
Penyakit sitogenik. Edisi 7. Jakarta, Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2010;
hal184-7.
13. Hull D, Johnston D.I. Essential paediatrics: Syndrome Down. 3rd ed. London,
Pearson Professional Limited. 2008; hal 102-17.
14. Behrman R.E, Kliegman R.M, Arvin A.M. Nelson textbook of pediatrics:
Syndrome Down. 19th ed. Philadelphia, W.B. Saunders Company. 2011;.hal 392-
9.
15. Kliegman R.M, Behrman R.E, Jenson H.B, Stanton B.F. Nelson textbook of
pediatrics: Disorders of the gonads. 18th ed, United States. Saunders Elsevier.
2007; hal 2122-9
16. Cunningham F. William Obstetrics: Congenital disorder. 23rd ed. United States,
McGraw-Hill Companies. 2011; hal 1049-51.
17. Chen Harold. Genetics of Down Syndrome. http://emedicine.medscape.com/
article/943216. [Akses : Oktober 2017].
18. Sadock, Benjamin J., Sadock, Virginia A. Kaplan & Sadock Buku Ajar Psikiatri
Klinis. Ed. 2. Jakarta: EGC, 2010:563.
19. Soetjiningsih. 1995. Tumbung Kembang Anak. Jakarta: EGC.