Anda di halaman 1dari 32

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1. FUNGSI KOGNITIF

II.1.1. Definisi

Fungsi kognitif adalah merupakan aktivitas mental secara sadar, seperti

berpikir, mengingat, belajar dan menggunakan bahasa. Fungsi kognitif juga

merupakan kemampuan atensi, memori, pertimbangan, pemecahan

masalah, serta kemampuan eksekutif seperti merencanakan, menilai,

mengawasi dan melakukan evaluasi (Strub dkk., 2000)

II.1.2. Domain Fungsi Kognitif

Fungsi kognitif terdiri dari: (Modul Neurobehaviour PERDOSSI,

2008)

a. Atensi

Atensi adalah kemampuan untuk bereaksi atau

memperhatikan satu stimulus dengan mampu mengabaikan stimulus

lain yang tidak dibutuhkan. Atensi merupakan hasil hubungan antara

batang otak, aktivitas limbik dan aktivitas korteks sehingga mampu

untuk fokus pada stimulus spesifik dan mengabaikan stimulus lain

yang tidak relevan. Konsentrasi merupakan kemampuan untuk

mempertahankan atensi dalam periode yang lebih lama. Gangguan

atensi dan konsentrasi akan

Universitas Sumatera Utara


9

mempengaruhi fungsi kognitif lain seperti memori, bahasa dan fungsi

eksekutif.

b. Bahasa

Bahasa merupakan perangkat dasar komunikasi dan

modalitas dasar yang membangun kemampuan fungsi kognitif. Jika

terdapat gangguan bahasa, pemeriksaan kognitif seperti memori

verbal dan fungsi eksekutif akan mengalami kesulitan atau tidak

dapat dilakukan. Fungsi bahasa meliputi 4 parameter yaitu :

1. Kelancaran

Kelancaran mengacu pada kemampuan untuk menghasilkan

kalimat dengan panjang, ritme dan melodi yang normal. Metode

yang dapat membantu menilai kelancaran pasien adalah dengan

meminta pasien menulis atau berbicara secara spontan.

2. Pemahaman

Pemahaman mengacu pada kemampuan untuk memahami

suatu perkataan atau perintah, dibuktikan dengan kemampuan

seseorang untuk melakukan perintah tersebut.

3. Pengulangan

Kemampuan seseorang untuk mengulangi suatu pernyataan atau

kalimat yang diucapkan seseorang.

4. Penamaan

Merujuk pada kemampuan seseorang untuk menamai suatu

objek beserta bagian-bagiannya.

Gangguan bahasa sering terlihat pada lesi otak fokal maupun

difus, sehingga merupakan gejala patognomonik disfungsi otak.

Penting bagi klinikus untuk mengenal gangguan bahasa karena

Universitas Sumatera Utara


hubungan yang spesifik antara sindrom afasia dengan lesi

neuroanatomi.

c. Memori

Fungsi memori terdiri dari proses penerimaan dan penyediaan

informasi, proses penyimpanan serta proses mengingat. Semua hal

yang berpengaruh dalam ketiga proses tersebut akan

mempengaruhi fungsi memori. Fungsi memori dibagi dalam tiga

tingkatan bergantung pada lamanya rentang waktu antara stimulus

dengan recall, yaitu:

1. Memori segera (immediate memory), rentang waktu antara stimulus

dengan recall hanya beberapa detik. Disini hanya dibutuhkan

pemusatan perhatian untuk mengingat (attention).

2. Memori baru (recent memory), rentang waktu lebih lama yaitu beberapa

menit, jam, bulan, bahkan tahun.

3. Memori lama (remote memory), rentang waktunya bertahun-tahun

bahkan seusia hidup.

Gangguan memori merupakan gejala yang paling sering

dikeluhkan pasien. Amnesia secara umum merupakan efek fungsi

memori. Ketidakmampuan mempelajari materi baru setelah brain

insult disebut amnesia anterograd. Amnesia retrograd merujuk pada

amnesia yang terjadi sebelum brain insult. Hampir semua pasien

demensia menunjukkan masalah memori pada awal perjalanan

penyakitnya. Tidak semua gangguan memori

merupakan gangguan organik. Pasien depresi dan ansietas sering

mengalami kesulitan memori. Amnesia psikogenik jika amnesia

hanya pada satu periode tertentu, dan pada pemeriksaan tidak

dijumpai defek pada recent memory.

d. Visuospasial

Universitas Sumatera Utara


Kemampuan visuospasial merupakan kemampuan

konstruksional seperti menggambar atau meniru berbagai macam

gambar (misal: lingkaran, kubus) dan menyusun balok-balok. Semua

lobus berperan dalam kemampuan konstruksi dan lobus parietal

terutama hemisfer kanan berperan paling dominan.

e. Fungsi eksekutif

Fungsi eksekutif adalah kemampuan kognitif tinggi seperti

cara berpikir dan kemampuan pemecahan masalah. Fungsi ini

dimediasi oleh korteks prefrontal dorsolateral dan struktur subkortikal

yang berhubungan dengan daerah tersebut. Fungsi eksekutif dapat

terganggu bila sirkuit frontal-subkortikal terputus.

Lezack membagi fungsi eksekutif menjadi 4 komponen yaitu volition

(kemauan), planning (perencanaan), purposive actio (bertujuan),

effective performance (pelaksanaan yang efektif). Bila terjadi

gangguan fungsi eksekutif, maka gejala yang muncul sesuai

keempat komponen di atas. (Sidiarto L.D., Kusumoputro S.,2003)

II.1.3. Anatomi Fungsi Kognitif

Masing-masing domain kognitif tidak dapat berjalan sendiri-sendiri dalam

menjalankan fungsinya, tetapi sebagai satu kesatuan, yang disebut sistem

limbik. Sistem limbik terdiri dari amygdala, hipokampus, nucleus talamik

anterior, girus subkalosus, girus cinguli, girus parahipokampus, formasio

hipokampus dan korpus mamilare. Alveus, fimbria, forniks, traktus

mammilotalmikus dan striae terminalis membentuk jaras-jaras penghubung

sistem ini. (Waxman S.G; 2007)

Peran sentral sistem limbik meliputi memori, pembelajaran,

motivasi, emosi, fungsi neuroendokrin dan aktivitas otonom. Struktur otak

berikut ini merupakan bagian dari sistem limbik:

Universitas Sumatera Utara


1. Amygdala, terlibat dalam pengaturan emosi, dimana pada hemisfer

kanan predominan untuk belajar emosi dalam keadaan tidak sadar, dan

pada hemisfer kiri predominan untuk belajar emosi pada saat sadar.

2. Hipokampus, terlibat dalam pembentukan memori jangka panjang,

pemeliharaan fungsi kognitif yaitu proses pembelajaran.

3. Girus parahipokampus, berperan dalam pembentukan memori spasial.

4. Girus cinguli, mengatur fungsi otonom seperti denyut jantung, tekanan

darah dan kognitif yaitu atensi.

5. Forniks, membawa sinyal dari hipokampus ke mammillary bodies dan

septal nuclei. Forniks berperan dalam memori dan pembelajaran.

6. Hipothalamus, berfungsi mengatur sistem saraf otonom melalui

produksi dan pelepasan hormon, tekanan darah, denyut jantung, lapar,

haus, libido, dan siklus tidur/bangun, perubahan memori baru menjadi

memori jangka panjang.

7. Thalamus ialah kumpulan badan sel saraf di dalam diensefalon

membentuk dinding lateral ventrikel tiga. Fungsi thalamus sebagai

pusat hantaran rangsang indra dari perifer ke koteks serebri. Dengan

kata lain, thalamus merupakan pusat pengaturan fungsi kognitif di otak/

sebagi stasiun relay ke korteks serebri.

8. Mammillary bodies, berperan dalam pembentukan memori dan

pembelajaran.

9. Girus dentatus, berperan dalam meori baru dan mengatur kebahagiaan.

10. Korteks enthorinal, penting dalam memori dan merupakan komponen

asosiasi. (Markam S., 2003, Devisnsky O., D‘Esposito M., 2004)

Sedangkan lobus otak yang berperan dalam fungsi kognitif

antara lain:

1. Lobus frontalis.

Universitas Sumatera Utara


Pada lobus frontalis mengatur motorik, prilaku, kepribadian, bahasa,

memori, orientasi spasial, belajar asosiatif, daya analisa dan sintesis.

Sebagian korteks medial lobus frontalis dikaitkan sebagai bagian sistem

limbik, karena banyaknya koneksi anatomik dengan struktur sistem

limbik dan adanya perubahan emosi bila terjadi kerusakan.

2. Lobus parietalis

Lobus ini berfungsi dalam membaca, persepsi, memori dan

visuospasial. Korteks ini menerima stimuli sensorik (input visual,

auditori, taktil) dari area sosiasi sekunder. Karena menerima input dari

berbagai modalitas sensori sering disebut korteks heteromodal dan

mampu membentuk asosiasi sensorik (cross modal association).

Sehingga manusia dapat menghubungkan input visual dan

menggambarkan apa yang mereka lihat atau pegang.

3. Lobus temporalis

Lobus temporalis berfungsi mengatur pendengaran, penglihatan, emosi,

memori, kategorisasi benda-benda dan seleksi rangsangan

auditorik dan visual.

4. Lobus oksipitalis

Lobus oksipitalis berfungsi mengatur penglihatan primer, visuospasial,

memori dan bahasa. (Markam S., 2003)

II.1.4. Tes Untuk Menilai Fungsi Kognitif

Pemeriksaan fungsi kognitif meliputi pemeriksaan domain-domain kognitif

diantaranya atensi, bahasa, memori, visuospasial dan fungsi eksekutif.

Untuk pemeriksaan kelima domain tersebut dapat digunakan pemeriksaan

MMSE (atensi, bahasa, memori, visuospasial) dan CDT (fungsi

eksekutif). Untuk memeriksa fungsi kognitif, pemeriksaan CDT

Universitas Sumatera Utara


tidak dapat dipisahkan dari MMSE karena CDT melengkapi domain kognitif

yang tidak terdapat pada MMSE.

II.1.4.1 Mini Mental State Examination (MMSE)

Sebagai suatu pemeriksaan awal, MMSE adalah test yang paling

banyak dipakai. Pemeriksaan status mental MMSE Folstein adalah test yang

paling sering dipakai saat ini. Penilaian dengan nilai maksimal 30, cukup

baik dalam mendeteksi gangguan kognisi, menetapkan data dasar dan

memantau penurunan kognitif dalam kurun waktu tertentu. Pemeriksaan

MMSE memiliki keunggulan karena waktunya cepat (5-10 menit) dan mudah

dikerjakan serta dapat digunakan untuk memonitor perubahan dan

perkembangan fungsi kognitif. Dalam pemeriksaan MMSE terdapat

komponen orientasi, registrasi, atensi, kalkulasi, recall/ mengingat kembali,

bahasa, dan visuokonstriksi. Sedangkan penilaiannya terdiri dari beberapa

hal : penilaian orientasi (misal tahun berapa ?), memori segera dan tertunda

dari 3 kata (misal apel, meja, koin), penamaan (misal pensil, televisi),

pengulangan ungkapan (misal jika tidak, dan atau tetapi), kemampuan

mengikuti perintah sederhana (misal ambil sebuah kertas dengan tangan

kanan mu, lipat menjadi dua bagian dan letakkan di lantai), menulis

(misal tulis sebuah kalimat), fungsi visuospasial

(menggambarkan kembali gambar segilima berpotongan) dan atensi

(mengeja kata GAMBAR dari belakang). Skor MMSE normal 24-30, bila

skor kurang dari 24 mengindikasikan gangguan fungsi kognitif. Namun pada

individu berpendidikan bila skor MMSE ≤ 27 dicurigai suatu gangguan

fungsi kognitif. (Folstein MF. et al., 1975, Assosiasi Alzheimer Indonesia,

2003).

Universitas Sumatera Utara


Sebuah studi yang dilakukan pada 473 orang sehat yang berumur

lebih dari 15 tahun dengan latar belakang pekerjaan dan pendidikan yang

beragam di Medan didapatkan skor median MMSE berdasarkan usia dan

lama pendidikan sebagai berikut:(Sjahrir dkk, 2001)

Tabel 1. Skor median MMSE


Median
Lama pendidikan:
0 - 6 tahun 24
7 - 9 tahun 26
10 - 12 tahun 26
> 12 tahun 28
Usia:
< 20 tahun 27
21 - 30 tahun 28
31 - 40 tahun 28
41 - 50 tahun 26
51 - 60 tahun 27
> 60 tahun 21

Dikutip dari: Sjahrir, H., Ritarwan, K., Tarigan, S., Rambe, A.S., Lubis, I.D.,
Bhakti, I. 2001. ―The Mini Mental State Examination in healthy individuals
in Medan, Indonesia by age and education level‖. Neurol J Southeast
Asia;6:19-22

Pemeriksaan Mini Mental State Examination (MMSE) ini awalnya

dikembangkan untuk skrining demensia, namun sekarang digunakan

secara luas untuk pengukuran fungsi kognitif secara umum. Pemeriksaan

Mini Mental State Examination (MMSE) kini adalah instrumen skrining yang

paling luas digunakan untuk menilai status kognitif dan status mental pada

usia lanjut. (Kochhann dkk, 2009)

Instrumen ini disebut ― mini ― karena hanya fokus pada aspek

kognitif dari fungsi mental dan tidak mencakup pertanyaan tentang mood,

Universitas Sumatera Utara


fenomena mental abnormal dan pola pikiran. Mini Mental State Examination

(MMSE) ini direkomendasikan sebagai screnning untuk penilaian kognitif

global oleh American Academy of Neurology (AAN).

(Kochhann dkk, 2010)

Pada penelitian Crum dkk, 1993 secara luas melakukan penelitian

terhadap subjek usia 18 sampai 85 tahun terhadap ± 18.000 masyarakat

dari lima wilayah metropolitan: New Haven, Baltimore, Durham, St Louis,

dan Los Angeles dan didapatkan nilai yang berbeda untuk masing-masing

usia dan pendidikan yang berbeda.

Tabel 2. Nilai MMSE Berdasarkan Usia dan Pendidikan

Age (Years)
Educational Level
18-24 25-29 30-34 35-39 40-44 45-49 50-54 55-59
17 23 41 28 34 49

0-4 years N 33 36
Mean 22 25 25 23 23 23 23 22
SD 2.9 2.0 2.4 2.5 2.6 3.7 2.6 2.7
Lower quartile 21 23 23 20 20 20 20 20
Median 23 25 26 24 23 23 22 22
Upper quartile 25 27 28 27 27 26 25 26
5-8 years N 94 83 74 101 100 121 154 208
Mean 27 27 26 26 27 26 27 26
SD 2.7 2.5 1.8 2.8 1.8 2.5 2.4 2.9
Lower quartile 24 25 24 23 25 24 25 25
Median 28 27 26 27 27 27 27 27

Universitas Sumatera Utara


Upper quartile 29 29 28 29 29 29 29 29
9-12 years or
high school
diploma N 1326 958 822 668 489 423 462 525
Mean 29 29 29 28 28 28 28 28
SD 2.2 1.3 1.3 1.8 1.9 2.4 2.2 12
Lower quartile 28 28 28 28 28 27 27 27
Median 29 29 29 29 29 29 29 29
Upper quartile 30 30 30 30 30 30 30 30
College experience
or higher
degree N 783 1012 989 641 354 259 220 231
Mean 29 29 29 29 29 29 29 29
SD 1.3 0.9 1.0 1.0 1.7 1.6 1.9 1.5
Lower quartile 29 29 29 29 29 29 28 28
Median 30 30 30 30 30 30 30 29
Upper quartile 30 30 30 30 30 30 30 30
Total N 2220 2076 1926 1443 979 831 870 1013
Mean 29 29 29 29 28 28 28 28
SD 2.0 1.3 1.3 1.8 2.0 2.5 2.4 2.5
Lower quartile 28 28 28 28 27 27 27 26
Median 29 29 29 29 29 29 29 29

Educational Level Age (Years)


60-64 65-69 70-74 73-79 80-84 >85
88 126 139 105 61
Upper quartile 30 30 30 30 30 30 30 30
Total
0-4 years N 112 892
Mean 23 22 22 21 20 19 22
SD 1.9 1.9 1.7 2.0 2.2 2.9 2.3
Lower quartile 19 19 19 18 16 15 19
Median 22 22 21 21 19 20 22
Upper quartile 26 25 24 24 23 23 25
Abnormal cutoff 19 18 19 17 16 14

Universitas Sumatera Utara


5-8 years N 310 633 533 437 241 134 3223
Mean 26 26 26 25 25 23 26
SD 2.3 1.7 1.8 2.1 1.9 3.3 22
Lower quartile 24 24 24 22 22 21 23
Median 27 27 26 26 25 24 26
Upper quartile 29 29 28 28 27 27 28
Abnormal cutoff 22 23 23 21 21 17
9-12 years or
high school
diploma N 626 814 550 315 163 99 8240
Mean 28 28 27 27 25 26 28
SD 1.7 1.4 1.6 1.5 2.3 2.0 1.9
Lower quartile 27 27 26 25 23 23 27
Median 28 28 28 27 26 26 29
Upper quartile 30 29 29 29 28 28 30
Abnormal cutoff 25 25 24 24 21 22
College experience or
higher degree N 270 358 255 181 % 52 5701
Mean 29 29 28 28 27 27 29
SD 1.3 1.0 1.6 1.6 0.9 1.3 1.3
Lower quartile 28 28 27 27 26 25 29
Median 29 29 29 28 28 28 29
Upper quartile 30 30 29 29 29 29 30
Abnormal cutoff 26 27 25 25 25 24
Total N 1294 1931 1477 1045 605 346 18.056
Mean 28 27 27 26 25 24 28
SD 2.0 1.6 1.8 2.1 i i 2.9 2.0
Lower quartile 26 26 24 23 21 21 27
Median 28 28 27 26 25 25 29
Upper quartile 29 29 29 28 28 28 30
Abnormal cutoff 24 24 24 22 21 19

Universitas Sumatera Utara


Dikutip dari: Crum, R. M., Anthony, J. C., Bassett, S. S., &
Folstein, M. F. (1993). Population-based norms for the
MiniMental State Examination by age and educational level.
Journal of the American Medical Association, 269, 2386– 2391.
II.1.4.2. Clock Drawing Test (CDT)

Pemeriksaan CDT dapat digunakan untuk penilaian beberapa fungsi

kognitif diantaranya visuokonstriksi, orientasi, konsep waktu, visuospasial,

memori, komprehensi auditorik, dan yang paling penting untuk menilai

fungsi eksekutif. Pemeriksaan CDT ini juga mempunyai unsur kemampuan

motorik dimana subjek diminta menggambar jam dinding lengkap dengan

angka-angkanya dan menggambarkan jarum jam yang menunjukkan pukul

― sebelas lewat sepuluh menit ―. Ada empat komponen yang dinilai yaitu

menggambar lingkaran tertutup (skor 1), meletakkan angka-angka dalam

posisi yang benar (skor 1), ke-12 angka lengkap (skor 1), dan meletakkan

jarum-jarum pada posisi yang tepat (skor 1). Seseorang dengan fungsi

eksekutif yang normal mempunyai skor total 4 dan bila tidak normal skornya

kurang dari 4. Skor yang kurang dari 4 perlu evaluasi fungsi kognitif lebih

lanjut. (Britt- Marie S., Eva E., Sojka P., 2007)

Korelasi antara CDT dengan instrumen dengan instrumen skrining

lainnya, termasuk ‗ gold standart ‘ MMSE, dilaporkan baik dalam beberapa

penelitian. (Pinto E. dkk, 2009)

Berbagai penelitian yang menilai akurasi CDT pada scrining

demensia menunjukkan bahwa CDT dapat membedakan secara akurat

antara orang normal dengan pasien yang menunjukkan gangguan kognitif

ringan. (Aprahamian I. dkk, 2009)

II. 2 TEKANAN DARAH

II.2.1. Pengertian tekanan darah

Tekanan darah adalah tekanan yang dihasilkan oleh darah terhadap

pembuluh darah. Tekanan darah dipengaruhi volume darah dan elastisitas

Universitas Sumatera Utara


pembuluh darah. Peningkatan tekanan darah disebabkan peningkatan

volume darah atau elastisitas pembuluh darah. Sebaliknya, penurunan

volume darah akan menurunkan tekanan darah. ( Ronny dkk,

2010 ).

II.2.2. Faktor-faktor yang Menentukan Tekanan Darah

Ada lima faktor yang menentukan tingginya tekanan darah, yaitu:

curah jantung, tahanan pembuluh darah tepi, volume darah total, viskositas

darah, dan kelenturan dinding arteri. Curah jantung dan tahanan pembuluh

darah mempunyai pengaruh yang paling besar terhadap tekanan darah. (

Adams, 2005 )

Agar kita mendapatkan tekanan darah maka harus ada curah jantung

dan tahanan terhadap aliran darah sirkulasi sistemik. Tahanan ini disebut

tahanan tepi.

Tekanan darah = Curah Jantung x Tahanan tepi

Faktor-faktor yang mempengaruhi curah jantung seperti frekuensi jantung dan

isi sekuncup. Tahanan terhadap aliran darah terutama terletak di arteri kecil

tubuh, yang disebut arteriole. Pembuluh darah berdiameter kecil inilah yang

memberikan tahanan terbesar pada aliran darah. Kapiler merupakan

pembuluh darah yang jauh lebih kecil dari arteriol, tetapi meskipun setiap

kapiler akan memberikan tahanan yang lebih besar dibanding sebuah

arteriol, terdapat sejumlah besar kapiler yang tersusun paralel dan berasal

dari satu arteriole. Akibatnya terdapat sejumlah lintasan alternatif bagi darah

dalam perjalanannya dari arteriole ke vena, dan karena inilah maka jaringan

kapiler ini tidak memberikan tahanan terhadap aliran darah seperti yang

diberikan oleh arteriole ( Green, 2008 ).

Universitas Sumatera Utara


II.2.3. Jenis- jenis Tekanan Darah

Terdapat tiga jenis tekanan darah, yaitu:

a. Tekanan Darah Normal

Tekanan darah dikatakan normal apabila tekanan sistoliknya

120-140 mmHg manakala tekanan diastoliknya 80-90 mmHg

menurut World Health Organization (WHO). Menurut National Heart

Lung and Blood Institute (NHLBI) dari National Institute of Health

(NIH), mendefinisikan tekanan darah normal adalah tekanan sistolik

kurang dari 120 mmHg dan tekanan diastolik kurang dari 80 mmHg.

b. Tekanan Darah Rendah ( Hipotensi )

Hipotensi adalah tekanan darah di bawah 90/ 60 mmHg

(National Heart , Lung and Blood Institute, 2010)

c. Tekanan Darah Tinggi ( Hipertensi )

Menurut National Heart, Lung, and Blood Institute (NHLBI,

2010) , hipertensi adalah suatu keadaan apabila tekanan darahnya

melebihi normal, yaitu tekanan sistoliknya 140 mmHg atau lebih

tinggi manakala tekanan tekanan diastoliknya 90 mmHg atau lebih

tinggi.

Menurut The Seventh Report Of The Joint National

Committee On Prevention, Detection, Evaluation and Treatment Of

High Blood Pressure (JNC 7), klasifikasi tekanan darah pada dewasa

terbagi menjadi kelompok normal, prehipertensi, hipertensi derajat 1,

dan hiperetensi derajat 2.

Universitas Sumatera Utara


Tabel 3. Klasifikasi Tekanan Darah
Kategori Sistolik Diastolik

Normal < 120 < 80

Prehipertensi 120-139 80-89

Hipertensi stage 1 140-159 90-99

Hiperetensi stage 2 ≥ 160 ≥ 100

Sumber: The Seventh Report Of The Joint National Commitee On


Prevention, Detection, Evaluation and Treatment Of High Blood Pressure
( JNC ) ( 2003 )

II.2.4. Tekanan Darah Sistolik

Tekanan darah sistolik adalah tekanan tertinggi yang terjadi

selama ejeksi jantung dan merupakan denyut nadi Korotkov I yaitu

suara denyut nadi mulai terdengar, tapi masih lemah dan akan

mengeras setelah tekanan diturunkan 10- 5 mmHg. (Perhimpunan

Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia, 2009; Adams, 2005)

Aliran keluar darah dari ventrikel terjadi sewaktu sistolik.

Proses-proses berikut terjadi selama sistolik: (Guyton & Hall, 2010)

Pada awal sistolik terjadi kontraksi ventrikel, katup mitralis dan

trikuspidalis A-V menutup. Otot ventrikel pada mulanya hanya sedikit

memendek dan tekanan di ventrikel mulai meningkat secara tajam

sewaktu miokardium menekan darah di dalam ventrikel. Tidak ada

aliran darah keluar yang terjadi selama 0,2 sampai 0,3 detik pertama

kontraksi ventrikel ( periode kontraksi isovolemik).

Ketika tekanan ventrikel kiri melebihi tekanan aorta sebesar

sekitar 80 mmHg dan tekanan ventrikel kanan melebihi

Universitas Sumatera Utara


tekanan arteri pulmonalis sebesar sekitar 8 ``mmHg, katup

aorta dan pulmonalis membuka. Terjadi aliran darah keluar

dari ventrikel, dan ini dinamai periode ejeksi

Sebagian besar ejeksi darah terjadi selama bagian awal

periode ini (periode ejeksi cepat)

Periode ini diikuti oleh ejeksi lambat. Selama periode ini,

tekanan aorta mungkin sedikit lebih besar daripada tekanan

ventrikel karena momentum darah yang

meninggalkan ventrikel diubah menjadi tekanan di aorta,

yang sedikit meningkatkan tekanannya.

Selama periode terakhir tekanan sistolik ventrikel turun di

bawah tekanan aorta dan arteri pulmonalis. Dengan

demikian, katup aorta dan pulmonalis menutup pada saat

ini.

II.2.5. Tekanan Darah Diastolik

Tekanan darah diastolik adalah tekanan terendah yang terjadi

selama ejeksi jantung dan merupakan denyut nadi Korotkof

V yaitu titik dimana suara denyut menghilang. (Perhimpunan Dokter

Spesialis Penyakit Dalam Indonesia, 2009; Adams, 2005)

Ventrikel terisi oleh darah sewaktu diastolik. Proses-proses

berikut terjadi tepat sebelum dan selama diastolik: (Guyton & Hall,

2010 )

Sewaktu sistolik, katup A-V menutup, dan atrium terisi oleh

darah.

Pada waktu diastolik terjadi relaksasi isovolemik akibat

relaksasi ventrikel. Ketika tekanan ventrikel menurun sehingga

Universitas Sumatera Utara


lebih kecil daripada tekanan atrium, katup mitralis dan

trikuspidalis membuka

Tekanan atrium yang lebih tinggi mendorong darah ke dalam

ventrikel sewaktu diastolik

Periode pengisian cepat ventrikel terjadi selama sepertiga

pertama diastolik dan menghasilkan pengisian terbanyak.

Kontraksi atrium terjadi selama sepertiga terakhir diastolik dan

berkontribusi sekitar 25 persen dari pengisian ventrikel.

II.2.6. Tekanan Nadi

Tekanan nadi adalah perbedaan atau selisih angka antara

tekanan darah sistolik dan diastolik. (Perhimpunan Dokter Spesialis

Penyakit Dalam Indonesia, 2009 )

Secara fisiologis, kedua tekanan tersebut meningkat

sepanjang hidup karena peningkatan stroke volume dan / atau

peripheral vascular resistance (PVR). Pada usia lanjut, tekanan nadi

meningkat dengan terjadinya peningkatan tekanan darah sistolik dan

penurunan tekanan darah diastolik karena adanya peningkatan

kekakuan arteri. Peningkatan tekanan nadi juga menyebabkan pulse

wave velocity (PWV) yang lebih tinggi. Tekanan nadi dan PWV

keduanya adalah tanda prognostik penting dari morbiditas dan

mortalitas kardiovaskular. Pada orang yang lebih tua, semakin

mereka berada pada risiko kejadian kardiovaskular, dan tingginya

prevalensi dari isolated systolic hypertension disertai dengan

tekanan nadi yang lebar tampaknya menjadi salah satu faktor yang

paling penting. (

Universitas Sumatera Utara


Tekanan nadi merupakan selisih antara tekanan darah sistolik

dengan tekanan darah diastolik dimana peningkatan nilai tekanan

darah diastolik sampai tekanan darah sistolik ditentukan oleh

compliance aorta serta stroke volume ventrikel. Pendekatan secara

sederhana dapat digambarkan mengenai compliance aorta yaitu :

Compliance aorta = Stroke Volume (SV) / Tekanan nadi (PP). Suatu

gambaran penting dari sistem arteri adalah bahwa compliance

tergantung pada kondisi beban awal, sehingga menjadi berkurang

pada tekanan yang lebih tinggi. Tekanan nadi

bergantung pada ejeksi ventrikel kiri dan sifat dari dinding arteri, yang

akan menentukan compliance dan karakteristik transmisi dari sistem

arteri. (Anthony M., dkk, 2001)

Pada sistem arteri, aorta memiliki compliance tertinggi

sebagian karena proporsi yang relatif lebih besar dari serabut elastin

dibandingkan dengan otot polos dan kolagen. Fungsi ini penting

untuk mengurangi pulsasi ventrikel kiri, sehingga mengurangi

tekanan nadi. Jika saluran pembuluh darah aorta kaku maka terjadi

peningkatan tekanan nadi. Pada compliance aorta, saat darah

dikeluarkan ke aorta maka dinding aorta berkembang untuk

mengakomodasi peningkatan volume darah. Pada saat aorta

mengembang, peningkatan tekanan ditentukan oleh compliance

aorta pada kisaran volume tertentu. Semakin banyak compliance

aorta, semakin kecil perubahan tekanan selama ejeksi ventrikel

( tekanan nadi lebih kecil) (lihat gambar 1). (Richard E.K., 2011)

Universitas Sumatera Utara


Gambar 1. Hubungan antara perubahan volume aorta dan tekanan
nadi aorta memiliki compliance normal dan compliance yang rendah.
Pada pemberian stroke volume ke aorta, tekanan nadi aorta
ditingkatkan ketika compliance berkurang.
Sumber: Richard E.K. Cardiovascular Physiology Concepts.2nd
edition ; 2011

Oleh karena itu, compliance aorta merupakan penentu utama

bersama dengan stroke volume pada tekanan nadi. Sehingga dapat

disimpulkan:

Tingginya compliance aorta (antara lain pada kekakuan aorta

yang kurang dan aorta normal) memiliki tekanan nadi yang

lebih kecil untuk memberikan stroke volume ke dalam aorta

daripada aorta yang kaku.

Suatu stroke volume yang lebih besar menghasilkan tekanan

nadi yang lebih besar pada setiap compliance yang diberikan.

Compliance aorta menurun sesuai dengan usia karena

perubahan struktural, sehingga usia berhubungan dengan

peningkatan pada tekanan nadi.

Untuk stroke volume tertentu, compliance menentukan tekanan

nadi.

Universitas Sumatera Utara


Karena pembuluh darah menampilkan compliance yang

dinamis, adanya peningkatan ejeksi ventrikel akan

meningkatkan tekanan nadi dibandingkan dengan volume

yang sama dikeluarkan dengan kecepatan yang lebih rendah.

Adanya bukti substansial yang menghubungkan tekanan nadi

yang tinggi pada outcome kardiovaskular yang buruk, terdapat

penelitian tentang mekanisme yang menghubungkan patologi

tekanan nadi dengan kardiovaskular. Peningkatan tekanan nadi

menginduksi disfungsi endotel yang dinilai pada reaktivitas

asetilkolin di pembuluh darah kecil, dan disfungsi endotel tersebut

menyebabkan atherosklerosis. Seperti yang telah dibahas, tekanan

nadi juga berhubungan dengan hipertrofi ventrikel kiri. Penjelasan

mengenai hubungan antara tekanan nadi dan kardiovaskular terjadi

oleh konsep secara dua arah yaitu suatu tekanan nadi yang tinggi

adalah penyebab dan akibat dari atherosklerosis (Gambar 2). Jadi,

jika terdapat penyumbatan pada pembuluh darah yang terdistribusi

secara luas di seluruh sistem arteri, pada tahap presimptomatik,

sumbatan pada pembuluh darah tersebut menyebabkan

peningkatan arterial stiffness yang luas, ini bisa menyebabkan

hubungan yang mendasar antara tekanan nadi dan peristiwa klinis

di masa depan. (Anthony M., dkk, 2001)

Universitas Sumatera Utara


Gambar 2. Skema diagram yang menggambarkan konsep
bidirectionality hubungan antara tekanan nadi dan atherosklerosis.
Tekanan nadi yang tinggi meningkatkan kerusakan pembuluh darah,
yang menyebabkan atherosklerosis, dan menghasilkan arterial stiffness
pembuluh darah dan meningkatkan wave reflection, sehingga lebih
lanjut meningkatkan tekanan nadi.
Sumber: Anthony M., Bronwyn A. Kingwell. Pulse Pressure—A Review
of Mechanisms and Clinical Relevance. J Am Coll Cardiol.
2001;37:975– 84.

Rentang normal pada tekanan nadi tidak diketahui. Dalam

sebuah studi subjek hipertensi, orang-orang dengan tekanan nadi > 60

mmHg memilik massa ventrikel kiri yang lebih besar dibandingkan

dengan tekanan nadi < 60 mmHg. Peningkatan tekanan nadi sekitar 10

mmHg meningkatkan risiko gagal jantung sekitar 14%, penyakit arteri

koroner sekitar 12%, dan semua penyebab kematian sekitar 6% pada

populasi berusia lebih dari 65 tahun. Penelitian menunjukkan bahwa

peningkatan tekanan nadi setiap 10 mmHg meningkatkan risiko

kematian akibat penyakit jantung sekitar 26% pada usia 25-45 tahun,

dan sekitar 10% di usia 46-77 tahun. Nilai tekanan nadi yang lebih dari

55-60 mmHg harus diwaspadai untuk kemungkinan

peningkatan kekakuan arteri dan risiko atherosklerosis. ( Lokaj P. dkk,

2011).

Universitas Sumatera Utara


II.2.7. Tekanan Arteri Rata-Rata

Tekanan arteri rata-rata adalah jumlah tekanan rata-rata

selama siklus jantung dari seluruh tekanan yang dihitung milidetik

demi milidetik selama periode waktu tertentu. Tekanan ini lebih

mendekati ke tekanan diastolik daripada ke tekanan sistolik selama

sebagian besar siklus jantung, terutama pada usia lanjut. Oleh

karena itu, tekanan arteri rata-rata ditentukan sekitar 60 persen dari

tekanan diastolik dan 40 persen dari tekanan sistolik. (Guyton &

Hall, 2010)
Tekanan arteri rata-rata merupakan gaya utama yang

mendorong ke arah jaringan. Tekanan ini harus diukur secara ketat

dengan dua alasan. Pertama, tekanan tersebut harus cukup tinggi

untuk menghasilkan gaya dorong yang cukup; tanpa tekanan ini, otak

dan jaringan lain tidak akan menerima aliran yang adekuat

seberapapun penyesuaian lokal mengenai resistensi arteriol ke

organ-organ tersebut terlalu tinggi sehingga menimbulkan beban

kerja tambahan bagi jantung dan meningkatkan resiko kerusakan

pembuluh serta kemungkinan rupturnya pembuluh-pembuluh halus.

( Sherwood, 2001 ).

Mekanisme-mekanisme yang melibatkan integrasi berbagai

komponen sistem sirkulasi dan sistem tubuh lain penting untuk

mengatur tekanan darah arteri rata-rata. Dua penentu utama

tekanan darah arteri rata-rata adalah curah jantung dan resistensi

perifer total. Perubahan setiap faktor tersebut akan mengubah

tekanan darah kecuali apabila terjadi perubahan kompensatorik

pada variabel lain sehingga tekanan darah konstan. Aliran darah ke

suatu jaringan bergantung pada gaya dorong berupa tekanan darah

Universitas Sumatera Utara


arteri rata-rata dan derajat vasokonstriksi arteriol-arteriol jaringan

tersebut. Karena, tekanan arteri rata-rata bergantung pada curah

jantung dan derajat vasokonstriksi arteriol, jika arteriol di salah satu

jaringan berdilatasi, arteriol di jaringan lain akan mengalami

konstriksi untuk mempertahankan tekanan darah arteri yang

adekuat, sehingga darah mengalir tidak saja ke jaringan yang

mengalami vasodilatasi tetapi juga ke otak, yang harus mendapatkan

pasokan darah yang konstan. Dengan demikian variabel

kardiovaskuler harus terus-menerus diubah untuk mempertahankan

tekanan darah yang konstan walaupun

kebutuhan jaringan akan darah berubah-ubah. ( Sherwood, 2001 )

II.3. Hubungan Tekanan Darah Sistolik Dengan Fungsi Kognitif

Peningkatan tekanan darah sistolik dihubungkan dengan adanya

penurunan fungsi kognitif. Dalam analisis ulang dari data yang dilaporkan

awalnya tidak mendukung hubungan tekanan darah sistolik dengan kognitif,

tekanan darah sistolik yang lebih tinggi dan peningkatan hipertensi yang

kronis ditemukan berhubungan dengan fungsi kognitif yang lebih rendah

diukur 12 sampai 14 tahun kemudian, sehingga disarankan perlunya

pengobatan yang lebih agresif dimulai pada usia pertengahan terhadap

tekanan darah sistolik. Secara keseluruhan penelitian longitudinal dari

penelusuran tekanan darah sistolik pada usia pertengahan sampai tua

menunjukkan tekanan darah sistolik yang tinggi mengalami peningkatan

resiko stroke dan diabetes dan penyakit jantung iskemik. Tekanan darah

diastolik cenderung menurun dengan bertambahnya usia , sedangkan

tekanan darah sistolik terus meningkat tanpa memperhatikan usia. ( Swan

GE dkk, 1998).

Universitas Sumatera Utara


Hasil penelitian Insel dkk (2005) menunjukkan hubungan yang

dinamis antara peningkatan tekanan darah sistolik dan penurunan kognitif

pada individu dalam kelompok tekanan darah yang normal. Peningkatan

tekanan darah sistolik tetap menjadi kontributor yang penting bahkan

setelah variabel demografi usia, jenis kelamin, pendidikan, dan pendapatan

ditambahkan. Konsisten dengan temuan ini, penelitian sebelumnya

menggunakan rata-rata tekanan darah dari waktu ke waktu menemukan

hubungan antara tekanan darah sistolik dan penurunan

kognitif.

Pada kasus tekanan darah sistolik yang tinggi, efek buruk difokuskan

secara khusus pada fungsi memori, tekanan darah sistolik berada pada

peningkatan resiko untuk berkurangnya pengetahuan verbal dan fungsi

memori. Mekanisme potensial yang mendasari hubungan antara tekanan

darah sistolik yang tinggi dan fungsi neurobehavior banyak kemungkinan

yang ada termasuk gangguan perfusi cerebral, dengan akibat dampak

negatif pada metabolisme sel otak ; infark serebral, atau adanya lesi pada

white matter. Bahkan pada subjek hipertensi ringan, aliran darah regional

otak berkurang pada korteks frontal dan basal ganglia, dibandingkan

dengan subjek dengan tekanan darah yang normal. Pada hipertensi sedang

sampai berat, metabolisme oksigen otak berkurang, dan prevalensi yang

lebih tinggi pada pembesaran ventrikel dan lesi white matter. Penelitian

terbaru yang melibatkan penggunaan MRI telah menemukan hubungan

antara hipertensi dan atrofi otak, hiperintens periventricular, hiperintens

white matter dan penurunan kognitif. Terdapatnya hiperintens white matter

pada orang dewasa tua yang bebas dari penyakit telah terbukti

berhubungan dengan fungsi kognitif yang lebih buruk pada kerja yang

melibatkan kecepatan dan proses mental yang kompleks. Penelitian

terbaru pada sampel besar pada subjek yang lebih tua juga menemukan

Universitas Sumatera Utara


hubungan antara temuan MRI dan kognitif. Temuan ini menunjukkan bahwa

perubahan morfologi otak dapat mendasari hubungan yang diamati

sebelumnya antara tekanan darah sistolik dan fungsi kognitif. (Swan GE

dkk, 1998 )

Tekanan darah sistolik pada usia pertengahan adalah prediktor yang

signifikan dari penurunan fungsi kognitif dan pengukuran volume MRI untuk

atrofi otak di akhir kehidupan. Karena penurunan fungsi neurobehavior

berhubungan dengan penurunan volume otak dan peningkatan volume

WMHIs, dan menyimpulkan bahwa dampak jangka panjang dari

peningkatan tekanan darah sistolik pada penurunan fungsi neurobehavior

pada kehidupan akhir kemungkinan diperantarai melalui peningkatan

tekanan darah sistolik yang kronis yang mempunyai efek negatif pada

karakteristik struktural otak. Meskipun secara klinis signifikan WMHIs

merupakan masalah yang masih diperdebatkan, bukti baru-baru ini

menunjukkan bahwa volume yang lebih besar pada WMHIs

berhubungan dengan rendahnya tingkat fungsi kognitif, fungsi ekstremitas

bawah, berkurangnya kemampuan untuk melakukan aktivitas sehari-hari

dan membuat pasien menjadi depressi. (Swan GE dkk,1998)

Pada penelitian Guo Z. dkk (1997) terdapat hubungan antara tekanan

darah dan fungsi kognitif yang lebih kompleks pada usia lebih tua daripada

kelompok usia lainnya. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tekanan

darah sistolik yang tidak diobati berhubungan dengan fungsi kognitif di atas

usia 75 tahun. Data mereka mendukung pandangan bahwa tingkat tekanan

darah tertentu terutama tekanan darah sistolik setidaknya kurang dari 130

mmHg, diperlukan untuk mempertahankan perfusi otak dan untuk menjaga

fungsi kognitif terutama bagi mereka yang berusia 75 tahun atau lebih.

Mereka juga menyarankan bahwa hipertensi berat yang tidak terkontrol

Universitas Sumatera Utara


dengan baik ( tekanan sistolik ≥ 180 mmHg atau tekanan diastolik ≥ 95

mmHg ) masih ancaman bagi fungsi kognitif pada kelompok

usia ini.

II.4. Hubungan Tekanan Darah Diastolik Dengan Fungsi Kognitif

Menurut penelitian Kilander L. dkk (1998) bahwa tekanan darah

diastolik yang tinggi pada pemeriksaan awal di usia 50 tahun adalah

berhubungan dengan gangguan fungsi kognitif pada 20 tahun kemudian.

Pengukuran cross sectional pada usia 70 tahun menunjukkan bahwa

tekanan darah diastolik yang tinggi, resistensi insulin dan diabetes

semuanya berhubungan dengan fungsi kognitif yang rendah. Hubungan

antara hipertensi dan gangguan kognitif paling banyak terdapat pada pria

dengan tanpa pengobatan antihipertensi. Tekanan darah yang tinggi

merupakan prediktor independen terhadap penyakit serebrovaskular.

Mereka menyimpulkan bahwa hipertensi berkontribusi terhadap gangguan

fungsi kognitif pada usia lanjut, ini dihubungkan melalui perubahan

fungsional, atau dengan lesi otak pada pembuluh darah besar dan kecil.

Berbeda dengan penelitian kohort dari Kilander L. dkk (2000)

mengatakan bahwa tekanan darah diastolik yang rendah pada usia 50

tahun berhubungan dengan lebih banyaknya gangguan kognitif pada 20

tahun kemudian terhadap penilaian perhatian, kelancaran berbahasa dan

kecepatan psikomotor. Tekanan darah yang rendah atau faktor-faktor lain

yang berhubungan dengan tekanan darah yang rendah dapat bermanfaat

dalam menjaga fungsi keutuhan subkortikal. Adanya hipotesis bahwa

pengobatan anti hipertensi yang optimal dapat menjaga terhadap

penurunan fungsi kognitif memerlukan investigasi yang lebih lanjut.

Universitas Sumatera Utara


Tekanan darah diastolik menunjukkan hubungan yang U-shape

signifikan pada fungsi kognitif, terutama bagi mereka yang berusia ≥ 50

tahun. Mereka menyimpulkan bahwa pada tekanan darah diastolik yang

rendah dan tinggi dihubungkan dengan gangguan kognitif pada 20 tahun

kemudian. (Taylor C. dkk 2013)

Tekanan darah sistolik dan tekanan darah diastolik berhubungan

dengan fungsi kognitif pada usia lanjut. Namun, tekanan darah sistolik

memiliki hubungan yang lebih kuat dengan fungsi kognitif daripada tekanan

darah diastolik. (Guo Z. dkk, 1997)

II.5. Hubungan Tekanan Nadi Dengan Fungsi Kognitif

Pada penelitian yang dilakukan Nation D.A dkk (2010), menunjukkan

bahwa tekanan nadi merupakan penanda keutuhan pembuluh darah yang

berhubungan dengan kerusakan pembuluh darah otak dan penurunan

kognitif yang berhubungan dengan usia. Peningkatan tekanan nadi

mungkin lebih penting pada penurunan kognitif yang berkaitan dengan usia.

Peningkatan tekanan nadi juga merupakan penanda dari peningkatan

arterial stiffness dan atherosclerosis yang terjadi dengan usia dan

berhubungan dengan kardiovaskuler, sehingga tekanan nadi sebagai

ukuran hemodinamik sangat penting untuk meneliti penurunan kognitif yang

berhubungan dengan usia. Tekanan nadi menunjukkan hubungan yang

kuat dengan fungsi bahasa daripada kemampuan kognitif lainnya.

Tekanan nadi adalah penanda dari arterial stiffness, telah

dihubungkan dengan terjadinya stroke, demensia, dan penurunan tingkat

fungsi kognitif. Tekanan nadi adalah prediktor dari penyakit kardiovaskular

termasuk stroke dan dianggap sebagai penanda preklinis dari penyakit

kardiovaskular. Tekanan nadi yang tinggi dan rendah keduanya diprediksi

Universitas Sumatera Utara


pada kejadian penyakit Alzheimer Ada beberapa mekanisme langsung dan

tidak langsung yang terjadi tentang tekanan nadi berhubungan dengan

berkurangnya fungsi kognitif. Pertama, peningkatan pulsasi berhubungan

dengan arterial stiffness dapat menempatkan pembuluh darah di distal otak

beresiko langsung untuk cedera. Kedua, telah dihipotesiskan bahwa

tekanan nadi dapat berpengaruh negatif pada penyakit mikrovaskular,

makrovaskular, perfusi otak, dan keutuhan dari blood-brain barier. (

Waldstein SR dkk, 2008 )

Peningkatan tekanan nadi pada orang tua, yang merupakan hasil dari

peningkatan tekanan sistolik dan penurunan tekanan diastolik, diyakini

terutama menyebabkan meningkatnya arterial stiffness atau atherosclerosis

yang luas. Oleh karena itu, peningkatan tekanan nadi, dapat dikaitkan

dengan demensia melalui perubahan patologis ini. Rendahnya tekanan nadi

merupakan indikator penurunan ejeksi darah dan stroke volume, yang dapat

dihubungkan dengan gangguan kognitif dan demensia melalui rendahnya

aliran darah otak. Mereka menyimpulkan tekanan nadi yang lebih tinggi

dihubungkan dengan peningkatan risiko penyakit Alzheimer dan demensia

pada orang dewasa tua, disebabkan oleh arterial stifness dan

atherosclerosis yang luas. Perfusi otak yang

menurun berhubungan dengan penurunan tekanan nadi dapat menjelaskan

hubungan antara tekanan nadi yang lebih rendah dengan peningkatan risiko

terjadinya demensia ( Qiu C dkk, 2003 )

Tekanan nadi yang tinggi adalah penanda dari arterial stiffness dan

arthrosclerosis yang luas. Sebaliknya, tekanan nadi yang lebih rendah

berhubungan dengan ejeksi darah dan tekanan perfusi otak yang lebih

rendah dan mengakibatkan terganggunya fungsi kognitif, yang

menunjukkan hubungan U-shape antara tekanan nadi dan fungsi kognitif.

( Obisesan TO dkk, 2008 )

Universitas Sumatera Utara


II.6. Hubungan Tekanan Arteri Rata-Rata Dengan Fungsi Kognitif

Menurut penelitian Taylor C dkk (2013) dari 484 peserta yang di

follow-up, gangguan kognitif menunjukkan hubungan yang U-shape

signifikan pada tekanan arteri rata rata; terutama bagi mereka yang berusia

≥ 50 tahun, tetapi tidak ditemukan hubungan dengan tekanan darah sistolik

atau tekanan nadi. Mereka menyimpulkan bahwa pada tekanan darah

diastolik dan tekanan arteri rata-rata yang rendah dan tinggi dihubungkan

dengan gangguan kognitif pada 20 tahun kemudian.

Penemuan yang baru menunjukkan nilai bawah untuk batas

autoregulasi tekanan arteri rata-rata menjadi jauh lebih tinggi dari

60 mmHg yaitu batas bawah tekanan arteri rata-rata tidak kurang dari 70

mmHg. Terdapat bukti kuat yang menunjukkan bahwa tekanan darah

rendah yang kronis disertai dengan berkurang kemampuan kognitif,

terutama yang melibatkan perhatian dan memori. Hal ini cukup beralasan

bahwa sebagai konsekuensi dari situasi ini adalah berkurang pasokan

metabolisme dari jaringan otak sehingga dapat terjadinya defisit kognitif dan

defisit kognitif banyak memengaruhi setiap kehidupan orang dengan

hipotensi. (Stefan D. dkk, 2007).

Menurut penelitian Penelope KE. dkk (2004) yang membagi nilai arteri

rata-rata menjadi 2 kelompok yaitu tekanan arteri rata-rata ≤ 110

mmHg dan tekanan arteri rata-rata >110 mmHg pada kelompok usia yang

lebih muda (18-46 tahun) dan kelompok yang lebih tua

( 47-83 tahun) menunjukkan bahwa pada kedua kelompok yang memiliki


arteri rata-rata yang lebih tinggi menunjukkan penurunan kognitif yang jauh

lebih banyak dibandingkan dengan kelompok tekanan arteri rata-rata yang

lebih rendah.

Universitas Sumatera Utara


II.7. Kerangka Teori

Universitas Sumatera Utara


Universitas Sumatera Utara
II.8. Kerangka Konsep

USIA ≥ 50 Tahun

TEKANAN TEKANAN TEKANAN TEKANAN


DARAH DARAH NADI ARTERI
SISTOLIK DIASTOLIK RATA-RATA

FUNGSI
KOGNITIF

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai