TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian
Lupu sberasal dari bahasa latin yang berarti anjing hutan atau serigala, sedangkan
erythematosus dalam bahasa Yunani berarti kemerah-merahan. Istilah lupus
erythematosus pernah digunakan pada zaman Yunani kuno untuk menyatakan suatu
penyakit kulit kemerahan di sekitar pipi yang disebabkan oleh gigitan anjing hutan.
(Luckmann & Sorensen, 2000).
Systemic Lupus Erythematosus (SLE) adalah penyakit autoimun kronis. Pada penyakit
autoimun tubuh melakukan reaksi yang berlebihan terhadap stimulus asing dan
memproduksi banyak antibodi ataupun protein-protein yang melawan jaringan tubuh.
Sistem imun ini tidak dapat membedakan antara senyawa asing dan jaringan tubuhnya
sendiri sehingga menyebabkan antibodi bereaksi menyerang jaringan dan sel tubuhnya
sendiri. Antibodi ini disebut autoantibodi yang menyebabkan terjadinya inflamasi dan
kerusakan pada sebagian besar jaringan tubuh. (LeMone & Burke, 2000).
SLE adalah penyakit autoimun sistemik yang ditandai dengan adanya autoa ntibodi
terhadap autoantigen, pembentukan kompleks imun, dan disregulasi sistem imun,
sehingga terjadi kerusakan pada beberapa organ tubuh. Perjalanan penyakit SLE
bersifat eksaserbasi yang diselingi periode sembuh. Pada setiap penderita, peradangan
akan mengenai jaringan dan organ yang berbeda. Beratnya penyakit SLE dapat
bervariasi, mulai dari penyakit yang ringan sampai penyakit yang menimbulkan
kecacatan, tergantung dari jumlah dan jenis antibodi yang muncul dan organ yang
terlibat. (Para ahli reumatologi Indonesia, 2010)
B. Etiologi
Etiologi utama SLE sampai saat ini belum diketahui, namun beberapa
faktor predisposisi dapat berperan dalam patogenesis terjadinya penyakit ini. Diantara
beberapa faktor predisposisi tersebut, sampai saat ini belum diketahui faktor yang
paling dominan berperan dalam timbulnya penyakit ini. Berikut ini beberapa faktor predisposisi
yang berperan dalam timbulnya penyakit SLE
1. Faktor Genetik
Gen PSORS1 sebenarnya adalah salah satu dari lebih dari 20 varietas yang berbeda
(para ilmuwan menyebutnya alel) dari gen yang disebut HLA-C. Terletak pada
kromosom manusia 6, HLA-C adalah salah satu dari beberapa gen dalam kompleks
histokompatibilitas utama (MHC) yang mengatur bagaimana sistem kekebalan
tubuh melawan infeksi. Gen MHC membawa instruksi berkode DNA untuk protein
yang tugasnya membedakan antara apa yang menjadi bagian tubuh dan mana yang
tidak. Kompleks HLA klasik (juga disebut sebagai lokus histokompatibilitas utama
[MHC]) adalah wilayah gen yang paling padat dari genom, menyandikan lebih dari
200 gen dalam wilayah 3,6 Mb pada 6p21.3. Banyak dari gen ini yang berfungsi
dalam sistem kekebalan tubuh. Wilayah HLA dibagi lagi menjadi daerah kelas I
telomer dan kelas II kelas II dan kelas III. Daerah kelas I dan II mengkodekan gen
HLA klasik yang sangat polimorfik (HLA-A, -B, -C, -DR, -DQ, -DP) yang
memproses dan menyajikan peptida untuk pengenalan sel T dan terlibat dalam
kompatibilitas transplantasi, dan kelas Wilayah III mengkodekan berbagai gen
sistem kekebalan yang penting (seperti C2, C4A, C4B, TNF-α, limfotoksin-α,
protein heat shock, dan CFB). Asosiasi antara varian HLA dan SLE dieksplorasi
secara luas dan sampai hari ini semua SLE GWAS dalam populasi etnis yang
berbeda menunjukkan wilayah HLA sebagai prediktor terkuat risiko genetik.
2. Faktor Imunologi
2.1 Antigen
Dalam keadaan normal, makrofag yang berupa APC (Antigen Presenting Cell)
akan memperkenalkan antigen kepada sel T. Pada penderita lupus, beberapa
reseptor yang berada di permukaan sel T mengalami perubahan pada struktur
maupun fungsinya sehingga pengalihan informasi normal tidak dapat dikenali.
Hal ini menyebabkan reseptor yang telah berubah di permukaan sel T akan salah
mengenali perintah dari sel T
Kelainan yang dapat terjadi pada sel T dan sel B adalah sel T dan sel B akan
teraktifasi menjadi sel autoreaktif yaitu limfosit yang memiliki reseptor untuk
autoantigen dan memberikan respon autoimun. Sel T dan sel B juga akan sulit
mengalami apoptosis sehingga menyebabkan produksi imunoglobulin dan
autoantibodi menjadi tidak normal.
Ada beberapa kelainan antibodi yang dapat terjadi pada SLE, seperti substrat
antibodi yang terlalu banyak, idiotipe dikenali sebagai antigen dan memicu
limfosit T untuk memproduksi autoantibodi, sel T mempengaruhi terjadinya
peningkatan produksi autoantibodi, dan kompleks imun lebih mudah
mengendap di jaringan.
3. Faktor Hormonal
Para wanita dengan SLE mengalami penurunan hormone androgen yang diketahui
menghambat respon antibody, sedangkan hormone ektrogen meningkatkan respon
anttibodi dan berefek merugikan pada pasien dengan SLE.
4. Faktor Lingkungan
Beberapa faktor lingkungan dapat bertindak sebagai antigen yang bereaksi dalam
tubuh dan berperan dalam timbulnya SLE. Faktor lingkungan tersebut terdiri dari:
Agen infeksius, seperti virus dan bakteri, dapat berperan dalam timbulnya SLE.
Agen infeksius tersebut terdiri dari Epstein Barr Virus (EBV), bakteri
Streptococcus dan Clebsiella.
Sinar ultra violet dapat mengurangi penekanan sistem imun, sehingga terapi
menjadi kurang efektif dan penyakit SLE dapat kambuh atau bertambah berat.
Hal ini menyebabkan sel pada kulit mengeluarkan sitokin dan prostaglandin
sehingga terjadi inflamasi di tempat tersebut secara sistemik melalui peredaran
pembuluh darah
4.3 Stres
Stres berat dapat memicu terjadinya SLE pada pasien yang sudah memiliki
kecenderungan akan penyakit ini. Hal ini dikarenakan respon imun tubuh akan
terganggu ketika seseorang dalam keadaan stres. Stres sendiri tidak akan
mencetuskan SLE pada seseorang yang sistem autoantibodinya tidak ada
gangguan sejak awal.
4.4 Obat-obatan
Obat pada pasien SLE dan diminum dalam jangka waktu tertentu dapat
menyebabkan Drug Induced Lupus Erythematosus (DILE). Jenis obat yang
dapat menyebabkan DILE diantaranya kloropromazin, metildopa, hidralasin,
prokainamid, dan isoniazid.
C. Patogenesis
D. Patofisiologi
Interaksi dari faktor genetik dan faktor lingkungan menghasikan respon imun yang
abnormal. Respon tersebut adalah (1) aktivasi imunitas inate (sel dendritik) oleh CpG
DNA, DNA pada kompleks imun, dan RNA pada RNA/protein self antigen; (2)
penurunan ambangaktivasi sel imunitas adaptif (antigen-spesifik limfosit T dan B), (3)
regulasi dan inhibisi yangtidak efektif pada Sel CD4+ dan CD8+; dan (4) menurunkan
klirens sel yang apoptotik dan kompleks imun. Self antigen tersedia agar dapat dikenali
oleh sistem imun pada permukaan blebs atau sel apoptosis sehingga antigen, auto
antibodi, dan kompleks imun bertahan dalam jangka waktu lam yang menyebabkan
inflamasi muncul dan berkembang. Aktivasi imun disertai peningkatan sekresi agen pro
inflamasi seperti tumor necrosis faktor (TNF) dan interferon (IFN) tipe 1 dan 2, B-
Lymphosit Stimulator (BLyS), dan interleukin (IL) 10. Lupus T dan natural killer (NK)
gagal memproduksi IL-2 dan transforming growth faktor (TGF) yang cukup untuk
menginduksi regulasi CD4+ dan menghambat CD8+ sl T, sehingga produksi auto
antibodi patogen dan kompleks imun terus berlangsung. Aktivasi komplemen dan sel
imun mendorong pengeluaran kemotaksin, sitokin, kemokins, peptida vasoaktif dan
enzim destruktif. Pada keadaan inflamasi kronis, akumulasi growth faktors, dan
produksi oksidasi kronis berperan dalam kerusakan jaringan yang irreversibel di
glomerulus, arteri, paru-paru, dan jaringan lainnya.
E. Pathway
F. Manifestasi Klinis
1. Manifestasi Konstitusional
Demam muncul pada sebagian besar pasien dengan SLE aktif, namun penyebab
infeksius tetap harus dipikirkan, terutama pada pasien dengan terapi imunosupresi.
Penurunan berat badan dapat timbul awal penyakit, di mana peningkatan berat
badan, khususnya pada pasien yang diterapi dengan glukokortikoid, dapat menjadi
lebih jelas pada tahap selanjutnya. Kelelahan dan malaise merupakan salah satu
gejala yang paling umum dan seringkali merupakan gejala yang memperberat
penyakit. Penyebab pasti gejala-gejala ini masih belum jelas. Aktivitas penyakit,
efek samping pengobatan, gangguan neuroendokrinologis, dan faktor psikogenik
terlibat dalam timbulnya gejala konstitusional. Pada kasus ini dijumpakan gejala
demam namun gejala ini mungkin juga disebabkan oleh infeksi pneumonia.
Penurunan badan juga ditemukan pada pasien ini. Sesuai dengan teori yang
mengatakan kelelahan dan malaise merupakan salah satu gejala yang paling umum
yang memperberat penyakit, gejala ini turut ditemukan pada kasus ini.
2. Manifestasi Kulit
Artritis SLE biasanya meradang dan muncul bersamaan dengan sinovitis dan nyeri,
bersifat nonerosif dan nondeforming. Manifestasi yang jarang adalah deformitas
Jaccoud yang menyerupai artritis reumatoid namun berkurang dan tidak terbukti
secara radiologis menyebabkan destruksi kartilago dan tulang. Kelemahan otot
biasanya merupakan akibat terapi glukokortikoid atau antimalaria, namun myositis
dengan peningkatan enzim otot jarang ditemukan dan biasanya merupakan gejala
yang tumpang tindih. Tenosinovitis dan bursitis jarang ditemukan. Ruptur tendon
dapat merupakan komplikasi terapi glukokortikoid. Osteonekrosis
(nekrosisavaskular) dapat disebabkan oleh penyakit maupun efek pengobatan
gukokortikoid, biasanya terjadi pada kaput femoris, kaput humoral, lempeng tibia,
dan talus. Artralgia dan mialgia merupakan gejala lain yang sering ditemukan, dapat
disebabkan oleh penyakit, efek samping pengobatan,
glucocorticoidwithdrawalsyndrome, endokrinopati, dan faktor psikogenik. Pada
kasus ini, ditemukan nyeri pada sendi yaitu nyeri pada sendi jari pada kedua tangan
yang tidak disertai dengan gangguan pergerakkan. Ini sesuai dengan manifestasi
muskuloskletal yang ditemukan pada pasien SLE yaitu non erosive dan non
deforming arthritis.
4. Manifestasi Paru
Manifestasi klinis pada paru dapat terjadi, diantaranya adalah pneumonitis, emboli
paru, hipertensi pulmonum, perdarahan paru, dan shrinking lung syndrome.
Pneumonitis lupus dapat terjadi akut atau berlanjut menjadi kronik. Biasanya
penderita akan merasa sesak, batuk kering, dan dijumpai ronki di basal. Keadaan
ini terjadi sebagai akibat deposisi kompleks imun pada alveolus atau pembuluh
darah paru, baik disertai vaskulitis atau tidak. Pneumonitis lupus ini memberikan
respons yang baik terhadap steroid. Hemoptisis merupakan keadaan yang sering
apabila merupakan bagian dari perdarahan paru akibat LES ini dan memerlukan
penanganan tidak hanya pemberian steroid namun juga tindakan lasmafaresis atau
pemberian sitostatika.
5. Manifestasi Kardiovaskular
6. Manifestasi Ginjal
Nefritis lupus muncul pada sebagian pasien dengan SLE. Spektrum keterlibatan
patologis dapat bervariasi dari proliferasi mesangial yang sama sekali tidak
menimbulkan gejala sampai glomerulonefritis membranoproliferatif difus agresif
yang menuju gagal ginjal. Gambaran klinis ditandai dengan temuan minimal,
termasuk proteinuria ringan dan hematuria mikroskopik; sindrom nefrotik, dengan
proteinuria berat, hipoalbuminemia, edema perifer, hipertrigliseridemia, dan
hiperkoagulasi; atau sindrom nefritik, dengan hipertensi, sedimen eritrosit atau
kristal eritrosit pada sediaan sedimen urin, dan penurunan laju filtrasi glomerulus
progresif dengan peningkatan kreatinin serum dan uremia. Pada kasus ini
ditemukan kelainan ginjal yang disuspek nefritis karena ditemukan proteinuria
25,00 mg/dL dan leucocyte pada urin 25,00 Leu/μL.
7. Manifestasi Gastrointestinal
Gejala gastrointestinal nonspesifik, termasuk nyeri perut difus dan mual, khas untuk
pasien SLE. Peritonitis steril dengan asites jarang namun merupakan komplikasi
abdomen yang serius. Banyak gejala gastrointestinal atas berhubungan dengan
terapi,yaitu NSAID dan/atau gastropati terkait glukokortikoid. Duodenitis dapat
menimbulkan gejala. Pada kasus jarang, vaskulitis usus dapat menimbulkan
kegawatan bedah akut. Terkadang, pankreatitis dapat merupakan gejala penyakit
atau merupakan efek pengobatan. Peningkatan enzim hati terkadang dihubungkan
dengan hepatitis noninfeksi pada SLE, yang tidak dapat dibedakan dengan hepatitis
autoimun melalui gambaran histologis. Peningkatan enzim hati juga dapat
disebabkan oleh penggunaan NSAID, azatrioprin, atau metotreksat, dan
penggunaan jangka panjang glukokortikoid yang dapat menyebabkan perlemakan
hati dengan peningkatan transaminase ringan
8. Manifestasi Hemopoetik
Splenomegali dan limfadenopati difus sering merupakan temuan yang sering namun
nonspesifik pada SLE aktif. Anemia merupakan temuan khas, dapat disebabkan
oleh hemolisis, dengan hasil tes Coombs positif, kadar haptoglobin rendah, dan
kadar laktat dehidrogenase tinggi, atau dengan mielosupresi. Mekanisme tidak
langsung mencakup penurunan sintesis eritropoietin dan mielosupresi uremikum
pada pasien nefritis lupus. Hal ini dapat diperberat dengan perdarahan ringan kronik
dan ketidakcukupan asupan makanan. Leukopenia dan limfopenia sangat sering
terjadi namun jarang mencapai kadar kritis. Studi oleh Ng dkk menghubungkan
limfopenia dengan peningkatan risiko terjadinya infeksi pada pasien SLE.
Leukositosis dapat disebabkan oleh glukokortikoid. Trombositopenia ringan
(100000 sampai 150 000/ μl) dapat disebabkan oleh antibodi antifosfolipid.
Trombositopenia autoimun berat (kurang dari 50 000/ μl), disebabkan oleh
antibodiantiplatelet, dapat mempersulit diagnosis SLE dan awalnya mungkin
didiagnosis sebagai purpura trombositopenik idiopatik. Pada kasus ini deitemukan
kelainan atau manifestasi hematologic sesuai dengan gambaran yang sering
ditemukan pada pasien SLE. Pada kasus ini, ditemukan gejala anemia dengan nilai
haemoglobin yang rendah.
9. Manifestasi Mata
Eksudat dan infarks retina (badan sitoid) relatif jarang dan merupakan temuan
nonspesifik. Konjungtivitis dan episkleritis terkadang dapat ditemukan pada
penyakit aktif. Mata kering dapat menunjukkan tumpang tindih dengan sindrom
Sjögren. Kebutaan singkat atau permanen dapat disebabkan oleh neuritis optik atau
oklusi arteri atau vena retina.
Keterlibatan sistem saraf pusat (SSP) terjadi pada 5-15% pasien dan terkadang
merujuk pada SLE neuropsikiatrik atau serebritis lupus. Pasien dapat memiliki
manifestasi obyektif seperti meningitis asepsis atau meningoensefalitis, kejang,
khorea, ataksia, stroke, dan mielitis transversa. Pada pasien seperti ini diagnosis
dapat didukung oleh temuan abnormal pada analisis cairan serebrospinal, seperti
peningkatan kadar protein, pleiositosis, dan/atau autoantibodi karakteristik; pada
CT scan atau MRI, dapat ditemukan lesi inflamasi pada substansia alba dan grisea;
atau bahkan pada biopsi leptomeningeal, dengan bukti inflamasi. Gambaran
alternatif lupus SSP adalah gangguan psikiatrik mayor, yaitu psikosis. Pada kasus
ini, cairan serebrospinal dan pencitraan menunjukkan hasil normal, dan diagnosis
banding dari penyakit psikogenik primer dan/atau reaksi obat sangat sulit untuk
ditentukan. Masalah lain adalah gangguan kognitif dan kepribadian ringan. Sakit
kepala sering ditemukan dengan intensitas yang beragam. Sakit kepala lupus yang
berat dan menyerupai migren yang hanya responsif terhadap glukokortikoid
merupakan kasus yang jarang. Neuropati kranial dan perifer dapat terjadi dan dapat
menggambarkan vaskulitis pembuluh darah kecil atau infark. Pada pasien ini
disuspek lupus serebri karena penurunan kesadaran.
G. Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium
Beberapa tes lain yang perlu dikerjakan setelah tes ANA positif adalah tes antibodi
terhadap antigen nuklear spesifik, termasuk anti-dsDNA, Sm, nRNP, Ro(SSA), La
(SSB), Scl-70 dan anti-Jo. Pemeriksaan ini dikenal sebagai profil ANA/ENA.
Antibodi anti- dsDNA merupakan tes spesifik untuk LES, jarang didapatkan pada
penyakit lain dan spesifitasnya hampir 100%. Titer anti-ds DNA yang tinggi hampir
pasti menunjukkan diagnosis SLE dibandingkan dengan titer yang rendah. Jika
titernya sangat rendah mungkin dapat terjadi pada pasien yang bukan LES.
Uji autoantibodi tambahan dengan nilai prediktif (tidak digunakan untuk diagnosis)
dapat mendeteksi anti-Ro. Wanita usia produktif dengan SLE harus menjalani
pemeriksaan aPL dan anti-Ro.
Kadar komplemen rendah, khususnya C3, C4, dan CH50 (komplemen hemolitik
total), penting untuk diagnosis dan pemantauan aktivitas penyakit. Kadar C4 yang
rendah dapat menggambarkan aktivitas penyakit, namun juga dapat
menggambarkan defisiensi produksi parsial, sedangkan C3 rendah menggambarkan
aktivasi komplemen.
c. Diagnosis
Batasan operasional diagnosis SLE yang dipakai dalam rekomendasi ini diartikan
sebagai terpenuhinya minimum kriteria (definitif) atau banyak kriteria terpenuhi
(klasik) yang mengacu pada kriteria dari American College of Rheumatology
(ACR) revisi tahun 1997. Namun, mengingat dinamisnya keluhan dan tanda LES
dan pada kondisi tertentu seperti lupus nefritis, neuropskiatrik lupus, maka dapat
saja kriteria tersebut belum terpenuhi. LES pada tahap awal, seringkali
bermanifestasi sebagai penyakit lain misalnya artritis reumatoid, glomerulonefritis,
anemia, dermatitis dan sebagainya.
Kriteria Definisi
Bila dijumpai 4 atau lebih kriteria diatas, diagnosis LES memiliki sensitifitas
85% dan spesifisitas 95%. Sedangkan bila hanya 3 kriteria dan salah satunya ANA
positif, maka sangat mungkin LES dan diagnosis bergantung pada pengamatan klinik.
Bila hasil tes ANA negatif, maka kemungkinan bukan LES. Apabila hanya tes ANA
positif dan manifestasi klinik lain tidak ada, maka belum tentu LES, dan observasi
jangka panjang diperlukan.
H. Komplikasi
Gejala klinis dan perjalanan pada SLE sangat bervariasi. Penyakit dapat timbul
mendadak disertai tanda-tanda terkenanya berbagai sistem dalam tubuh. Dapat juga
menahun dengan gejala satu sistem yang lambat laun diikuti oleh gejala terkenanya
sistem lain. Pada tipe menahun dimana terdapat remisi dan eksaserbasi, remisinya
mungkin berlangsung bertahun-tahun.
Onset penyakit dapat spontan atau didahului oleh faktor presipitasi seperti kontak
dengan sinar matahari, infeksi virus atau bakteri, obat misalnya golongan sulfa,
penghentian kehamilan dan trauma fisik atau psikis. Setiap serangan biasanya disertai
gejala umum yang jelas seperti demam, malaise, kelemahan, nafsu makan berkurang,
berat badan menurun, iritabilitas, yang paling menonjol adalah demam kadang-kadang
disertai menggigil, kerusakan organ internal.
I. Penatalaksanaan
Tidak ada pengobatan yang permanen untuk SLE. Tujuan dari terapi adalah
mengurangi gejala dan melindungi organ dengan mengurangi peradangan dan atau
tingkat aktifitas autoimun di tubuh. Banyak pasien dengan gejala yang ringan tidak
membutuhkan pengobatan atau hanya obat-obatan anti inflamasi yang intermitten.
Pasien dengan sakit yang lebih serius yang meliputi kerusakan organ dalam
membutuhkan kortikosteroid dosis tinggi yang dikombinasikan dengan obat-obatan
lain yang menekan sistem imunitas. Pasien dengan SLE lebih membutuhkan istirahat
selama penyakitnya aktif. Penelitian melaporkan bahwa kualitas tidur yang buruk
adalah faktor yang signifikan dalam menyebabkan kelelahan pada pasien dengan SLE.
Hal ini memperkuat pentingnya bagi pasien dan dokter untuk meningkatkan kualitas
tidur. Selama periode ini, latihan tetap penting untuk menjaga tekanan otot dan luas
gerakan dari persendian.
Penyuluhan dan intervensi psikososial sangat penting diperhatikan dalam
penatalaksanaan penderita LES, terutama pada penderita yang baru terdiagnosis. Hal
ini dapat dicapai dengan penyuluhan langsung kepada penderita atau dengan
membentuk kelompok penderita yang bertemu secara berkala untuk membicarakan
masalah penyakitnya. Pada umumnya, penderita LES mengalami fotosensitifitas
sehingga penderita harus selalu diingatkan untuk tidak terlalu banyak terpapar oleh
sinar matahari. Selain itu, penderita LES juga harus menghindari rokok.
Karena infeksi sering terjadi pada penderita LES, penderita harus selalu diingatkan bila
mengalami demam yang tidak jelas penyebabnya, terutama pada penderita yang
memperoleh kortikosteroid dosis tinggi, obat-obat sitotoksik, penderita dengan gagal
ginjal, vegetasi katup jantung, ulkus di kulit dan mukosa. Profilaksis antibiotika harus
dipertimbangkan pada penderita LES yang akan menjalani prosedur genitourinarius,
cabut gigi dan prosedur invasif lainnya.
Pengaturan kehamilan sangat penting pada penderita LES, terutama penderita dengan
nefritis, atau penderita yang mendapat obat-obat yang merupakan kontraindikasi untuk
kehamilan, misalnya antimalaria atau siklofosfamid. Kehamilan juga dapat
mencetuskan eksaserbasi akut LES dan memiliki risiko tersendiri terhadap fetus. Oleh
sebab itu, pengawasan aktifitas penyakit harus lebih ketat selama kehamilan.
Sebelum penderita LES diberi pengobatan, harus diputuskan dulu apakah penderita
tergolong yang memerlukan terapi konservatif, atau imunosupresif yang agresif. Pada
umumnya, penderita LES yang tidak mengancam nyawa dan tidak berhubungan dengan
kerusakan organ, dapat diterapi secara konservatif. Bila penyakit ini mengancam nyawa
dan mengenai organ-organ mayor, maka dipertimbangkan pemberian terapi agresif
yang meliputi kortikosteroid dosis tinggi dan imunosupresan lainnya.