Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perkara-perkara yang menjadi wewenang Pengadilan Agama ialah perkara-perkara yang


mengandung keagamaan. Salah satu diantaranya adalah penyelesian perkara waris.
Penyelesaian perkara waris bertitik tolak pada asas personalitas keislaman sebagaimana yang
diamanatkan oleh Undang-UndangNomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama. Yang
artinya apabila para ahli waris muslim maka Pengadilan yang berwenang untuk mengadili
adalah Pengadilan Agama. Kemudian dalam hal diajukannya eksepsi dengan alasan pewaris
bukan beragama Islam dan terbukti secara hukum eksepsi tersebut harus diterima dan
Pengadilan Agama menyatakan tidak berwenang sebagaimana yang diatur dalam pasal 171
huruf (b) Kompilasi Hukum Islam.Hukum acaraperdata mengenal dua macam kewenangan
Pengadilan, yaitu kewenangan mutlak(absolute competentif) dan kewenangan
relativeKewenangan mutlak atau kekuasaan absolut adalah kekuasaan peradilan menyangkut
kewenangan menangani perkara, dan dalam kondisi tertentu kewenangan tersebut tidak dapat
dipindahkan. Sedangkan kekuasaan relatif adalah kekuasaan peradilan menyangkut kekuasaan
wilayah(tempat) peradilan, dan dalam kondisi tertentu dapat dipindahkan dengan alasan yang
dibenarkan undang-undang. Karena kewenangan mengadili atau kompetensi yurisdiksi
Pengadilan tersebut menentukan Pengadilan mana yang berwenang memeriksa dan memutus
suatu perkara, sehingga pengajuan perkara tersebut dapat diterima dan ditolak dengan alasan
Pengadilan tidak berwenang mengadilinya.Selain itu, kewenangan mengadili merupakan
syarat formil sahnya gugatan atau permohonan.

1
1.2 Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksud dengan Gugatan dan Permohonan ?
2. Apa perbedaan mendasar antara Gugatan dengan Permohonan ?
3. Bagaimana tatacara pengajuan Permohonan ?

2
BAB II

A. Pengertian Gugatan Dan Permohonan.

Perkara yang diperiksa pengadilan dilingkungan pengadilan agama ada dua macam, yaitu
Permohonan (voluntair) dan Gugatan ( contentieus). Permohonan adalah mengenai suatau perkara
yang tidak ada pihak pihak lain yang bersengketa.1 Gugatan adalah suatu perkara yang terdapat
sengketa antara dua belah pihak.2
Jadi perbedaan dari gugatan dan permohonan adalah bahwa permohona itu tuntutan hak
perdata yang didalam kepentingannya itu bukan suatu perkara sedangkan gugatan adalah surat
yang diajukan oleh penggugat terhadap tergugat yang menuntut tuntutan hak yang yang
didalamnya berisi suatu perkara. Alam gugatan inilah yang disebut dengan pengadilan yang
sesungguhnya dan produk hokum yang dihasilkan adalah putusan hukum.
Perbedaan Perkara Voluntair dan Contentieus Sebelum saya membahas apa itu perkara
voluntair dan contentious saya akan menjelaskan apa itu yang disebut voluntair dan contentious.
Voluntair juga disebut juga dengan permohonan, yaitu permasalahan perdata yang diajukan
dalam bentuk permohonan yang ditandatangani oleh pemohon atau kuasanya yang ditunjukan
kepada ketua pengadilan. Permohonan ini merupakan kepentingan sepihak dari pemohon yang
tidak mengandung sengketa dengan pihak lain. Ciri dari voluntair ini diantaranya:
1. Masalah yang diajukan berisi kepentingan sepihak
2. Permasalah yang diselesaikan di pengadilan biasanya tidak mengandung sengketa.
3. Tidak ada pihak lain atau pihak ketiga yang dijadikan lawan
Sedangkan contentious adalah perdata yang mengandung sengketa diantara pihak yang
berpekara yang pemeriksaan penyelesaiannya diajukan dan diajukan kepada pengadilan, dimana
pihak yang mengajukan gugatan disebut dan bertindak sebagia tergugat. Ciri – ciri dari contentieus
ini diantaranya:3

1
Abdulah Tri Wahyudi, 2004. Pengadilan Agama di Indonesia, Yogyakarta : Pustaka Pelajar. hal 126

2
Retno wulan Soentantio dan ISkandar, 1997. Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek. Bandung :
Mandar Maju. hal 10

3
4
1. Ada pihak yang bertindak sebagai penggugat dan tergugat.
2. Pokok permasalahan hokum yang diajukan mengandung sengketa diantara para pihak.
Perbedaan Antara Voluntair dan Contentieus :
1. Contentieus
a. Para pihak terdiri dari penggugat dan tergugat.
b. Aktifitas hakim yang memeriksa hanya terbatas pada apa yang diperkerakan untuk diputuskan.
c. Hakim hanya memperhatikan dan menerapkan apa yang telah di tentukan undang-undang dan
tidak berada dalam tekanan atau pengaruh siapapun.
d. Kekuatan mengikat, keputusan hakim hanya mempunyai kekuaan men gikat kepada para pihak
yang bersengketa dan keterangan saksi yang diperiksa atau didengarkan keterangannya.
2. Voluntair
a. Pihak yang mengajukan hanya terdiri dari satu pihak saja.
b. Aktifitas hakim lebih dari apa yang dimihinkan oleh pihak yang bermohon karena hanya bersifat
administrative.
c. Hakim mempunyai kebebasan atau kebijaksanaan untuk mengatur sesuatu hal.
d. Keputusan hakim mengikat terhadap semua orang.

B. Tatacara Mengajukan Permohonan dan Gugatan.

1. Tahap Persiapan
Sebelum mengajukan permohonan atau gugatan ke pengadilan perlu diperhatika hal-hal
sebagai berikut:
a. Pihak yang berpekara : Setiap orang yang mempunyai kepentingan dapat menjadi pihak dalam
berpekara di pengadilan.
b. Kuasa : Pihak yang berpekara di pengadilan dapat menghadapi dan menghadiri pemeriksaan
persidangan sendiri atau mewakilkan kepada orang lain untuk menghadiri persidangan di
pengadilan.
c. Kewenangan Pengadilan : Kewenangan relative dan kewenangan absolut harus diperhatikan
sebelum me,buat permomohan atau gugatan yang di ajukan ke pengadilan.4

4
Abdulah Tri Wahyudi, Ibid. hal 131

5
2. Tahap pembuatan permohonan atau Gugatan
Permohonan atau gugatan pada prinsipnya secara tertulis (pasal 18 HIR) namun para pihak
tidak bisa baca tulis (buta huruf) permohonan atau gugatan dapat dilimpahkan kepada hakim untuk
disusun permohonan gugatan keudian dibacakan dan diterangkan maksud dan isinya kepada pihak
kemudian ditandatangani oleh ketua pengadilan agama hakim yang ditunjuk berdasarkan pasal
120 HIR. Membuat permohonan pada dasarnya berisi :
 Identitas pemohon
 Urain kejadian
 Permohonan
Isi gugatan secara garis besar memuat hal-hal sebagai berikut :
Mengenai isi gugatan atau permohonan UU. NO 7 Tahun 1989 maupun dalam HIR atau Rbg idak
mengatur, karena itu diambil dari ketentuan pasal 8 NO. 3 RV yang mengatakan bahwa isi gugatan
pada pokoknya memuat tiga hal yaitu:
a. Identitas para pihak : Identitas para phak meliputi nama, umur, pekerjaan, agama,
kewarganegaraan.
b. Posita : Berisi uraian kejadian atau fakta-fakta yang menjadi dasar adanya sengketa yang terjadi
dan hubungan hokum yang menjadi dasar gugatan.
c. Petitium atau tuntutan berisi rincian apa saja yag diminta dan diharapkan penggugat untuk
dinyatakan dalam putusan atau penetapan para kepada para pih.ak terutama pihak tergughat dalam
putusan perkara.

3. Tahap pendaftaran pemohon atau gugatan


Setelah permohonan atau gugatan dibuat kemudian didaftarkan di kepaniteraan pengadilan
agam yang berwenang memeriksa dengan membayar biaya panjar perkara. Dengan membayar
biaya panjar perkara maka penggugat atau pemohon mendapatkan nomor perkara dan tinggal
menunggu panggilan siding.
Perkara yang telah terdaftar di pengadilan agama oleh panitera diampaikan kepada ketua
pengadilan agama untuk dapat menunjuk majelis hakim yang memeriksa, memutus, dan mengadili
perkara dengan suatu penetapan ya g disebut penetapan majelis hokum (PMH) yang terdiri satu
orang hakim sebagai ketua majelis dan dua orang hakim sebagai hakim anggota serta panitera

6
siding. Apabila belum ditetapkan panitera yang ditunjuk, majelis hakim dapat menunjuk panitera
siding sendiri.

4. Tahap Pemeriksaan Permohonan atau Gugatan


Pada hari sidang telah ditentukan apabila satu pihak atai kedua belah pihak tidak hadir maka
persidangan ditunda dan menetapkan hari sidang berikutnya kepada yang hadir diperintahkan
menghadiri sidang berikutnya tanpa dipanggil dan yang tidak hadir dilakukan pemanggilan sekali
lagi. Dalam praktek pemanggilan pihak yang tidak hadir dilakukan maksimal tiga kali apabila :
a. Penggugat tidak hadir maka gugatan gugur. Tergugat tidak hadir maka pemeriksaan dilanjutkan
dengan putusan verstek atau putusan tanpa hadirnya pihak tergugat.
b. Apabial terdapat beberapa tergugat yang hadir ada yang tidak hadir, pemeriksaan tetap dilakukan
dan kepada yang tidak hadir dianggap tidak menggunakan haknya untuk membela diri.
c. Penggugta dan tergugat hadir, maka Pemeriksaan dilanjutkan sesuai dengan hukum yang berlaku.

Dalam pemeriksaan perkara pengadilan akan disampaikan dalam ilustrasi berikut ini :
a. Apabila penggugat dan tergugat hadir maka mula-mula majelis hakim memasuki ruang
persidangan diikuti panitera sidang. Majelis memanggil para pihak untuk masuk ke persidangan
dan ketua membuka persidangan dengan menyatakan “sidang dibuka dan terbuka untuk umum
(apabila sidang terbuka untuk umum) dan jika sidang dibuka dan tertutup untuk umum (apabila
sidang terbuka itu tertutup untuk umum).
b. Hakim menanyakan identitas para pihak baik pihak penggugat atau tergugat.
c. Hakim mengupayakan perdamaian pada para pihak dan memberikan kesempatan kepada para
pihak untuk berdamai dan menetapkan hari sidang berikutnya tanpa dipanggil.
d. Apabila kedua belah pihak berdamai, maka dibuat akta perdamaian yang kekuatan hukumnya
samutusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap sehingga dapat dilaksanakan esekusi.
e. Apabila tidak tercapai perdamaian maka dinyatakan kepada penggugat ada perubahan gugatan
atau tidak, kalau ada maka persidangan ditunda pada persidangan berikutnya untuk perubahan atau
perbaikan gugatan dengan menetapkan hari sidang dan memerintahkan yang hadir dalam sidang
berikutnya untuk hadir tanpa di panggil.
f. Apabila tidak ada perubahan atau sudah ada perubahan gugatan, maka sidang dilanjutkan dengan
pembacaan gugatan. Setelah pembacaan gugatan hakim memberikan kesempatan kepada tergugat

7
untuk mengajukan pertanyaan, kemudian sidang ditunda untuk memberi kesempatan kepada
tergugat menyususn jawaban dengan menetapkan hari sidang dan memerintahkan yang hadir untuk
hadir dalam sidang berikutnya tanpa pengadilan.
g. Dalam sidang selanjutnya jawaban dibacakan dan penggugat diberi kesempatan untuk
mengajukan replik, kemudian sidang ditunda untuk memberi kesempatan kepada penggugat
menyusun replik dengan menetapkan hari sidang dan memerintahkan untuk hadir dalam sidang
berikutnya tanpa dipanggil.
h. Sidang selanjtnya replik dibacakan tergugat diberikan kesempatan untuk mengajukan duplik,
kemudian tergugat diberi kesempatan untuk menyususn duplik dengan menetapkan hari sidang
berikutnya dan memerintahkan utuk hadir dalam sidang berikutnya tanpa dipanggil.
i. Sidang selanjutnya duplik dibacakan kemudian pihak penggugat diberi kesempatan untuk
mengajukan bukti-bukti untuk memperkuat dalil-dalil gugatannya, kemudian sidang ditunda untuk
memberikan kesempatan kepada penggugat menyampaikan bukti-bukti dengan menetapkan hari
sidang berikutnya dan memerintahkan yang hadir untuk hadir dalam sidang berikutnya tanpa
dipanggil.
j. Sidang selanjutnya setelah penggugat mengajukan bukti-bukti tergugat di beri kesempatan untuk
mengajukan bukti-bukti untuk menguatkan dalil-dalail sanggahannya, kemudian sidang ditunda
untuk memebri kesempatan kepada tergugatuntuk pembuktian.
k. Sidang selanjutnya setelah pembuktian tergugat selesai kemudian sidang ditunda untiuk memberi
kesempatan kepada penggugat dan tergugat menyususn kesimpulan.
l. Sidang selanjtnya penggugat dan tergugat menyampaikan kesimpulan, kemudian sidang ditunda
untuk musyawarah hakim untuk menjatuhkan putusan.
m. Dalam sidang selanjutnya, putusan dibacakan oleh ketua majelis hakim dan kepada pihak yang
tidak puas dapat mengajukan upaya hukum banding.

C. Sita Jaminan.

8
1. Conservatoir beslaag.
Adalah sita terhadap barang-barang milik tergugat yang disengketakan status
kepemilikannya, atau dalam sengketa hutang piutang atau tuntutan ganti rugi. Sita jaminan
(Conservatoir Beslaag) ini diatur dalam pasal 227 HIR. Conservatoir beslaag Adalah penyitaan
terhadap harta benda bergerak milik tergugat atas kehendak penggugat untuk menjamin gugatanya.
Adapun mengenai proses permohonan sita jaminan adalah dilakukan dengan:
a. Permohonan sita jaminan dapat diajukan bersama-sama dengan gugatan, oleh karena itu
permohonan sita jaminan menjadi bagian dari pokok gugatan yang assesoris (diletakkan) pada
pokok gugatan. Karena itu pula permohonan sita jaminan tidak boleh berdiri sendiri tanpa ada
perkara pokok dan perkara pokok bisa ada tanpa sita jaminan. Permohonan sita jaminan itu
biasanya dicantumkan pada bagian akhir “fundamentum petendi” (tuntutan).
b. Permohonan sita jaminan dapat diajukan tersendiri asalkan didahului oleh adanya gugatan pokok
sebagai landasannya.
c. Permohonan sita jaminan dapat diajukan selama proses persidangan berlangsung pada semua
tingkat pengadilan.

Memahami pasal 227 (1) HIR. Bahwa sita jaminan (Concervatoir Beslaag) dapat dilakukan
oleh penggugat sebelum dijatuhkan putusan atau sudah ada putusan akan tetapi putusan tersebut
belum dapat dilaksanakan.

Tata cara concervatoir beslag:


a. Penggugat dapat mengajukan permohonan sita bersama-sama (menjadi satu) dengan surat
gugatan, mengenai pokok perkara.
b. Permohonan sita dapat diajukan tersendiri, selama proses perkara berlangsung atau sebelum ada
eksekusi.
c. Permohonan diajukan kepada Pengadilan yang memeriksa perkara pada tingkat pertama.
d. Dalam permohonan sita concervatoir harus ada alasan permohonan sita, yaitu adanya
kekhawatiran bahwa tergugat akan memindahtangankan atau mengasingkan barang-barang
sengketa sehingga akan merugikan penggugat.
e. Alasan tersebut disertai data-data atau fakta-fakta yang menjadi dasar kekhawatiran.

9
f. Hakim/majelis akan mempertimbangkan permohonan sita tersebut dengan mengadakan
pemeriksaan secara insidentil mengenai kebenaran fakta-fakta yang menimbulkan kekhawatiran
itu sehingga diajukannya permohonan sita.
g. Hakim/ketua majelis mengeluarkan “penetapan”, yang isinya menolak atau mengabulkan
permohonan sita tersebut.
h. Apabila permohonan sita ditolak kemudian timbul hal-hal baru yang mengkhawatirkan bagi
penggugat sebagai alasan permohonan sita, maka dapat diajukan lagi permohonan sita.
i. Dalam hal permohonan sita dikabulkan, maka hakim/ketua majelis memerintahkan kepada
panitera untuk melaksanakan penyitaan tersebut.
j. Penetapan pengabulan sita atau perintah penyitaan tersebut dapat: bersama-sama (menjadi satu)
dengan penetapan hari sidang (PHS) dan perintah panggilan para pihak atau terpisah dari PHS,
yaitu : perintah penyitaan lebih dahulu dan PS kemudian / PHS lebih dulu dan perintah penyitaan
kemudian.
k. Atas perintah hakim tersebut, panitera melalui jurusita memberitahukan kepada para pihak dan
kepala desa setempat akan dilangsungkannya sita jaminan terhadap barang sengketa / jaminan
pada hari, tanggal, dan jam serta tempat yang telah ditetapkan, serta memerintahkan agar para
pihak dan kepala desa tersebut hadir dalam pelaksanaan sita jaminan yang telah ditetapkan itu.
l. Penyitaan dilakukan oleh panitera dan dibantu oleh dua orang saksi. Apabila panitera tersebut
berhalangan maka dapat ditunjuk pejabat atau pegawai lainnya oleh panitera.
m. Pada hari, tanggal yang telah ditetapkan tersebut, panitera melaksanakan penyitaan.
n. Panitera memberitahukan penyitaan tersebut kepada pihak tersita dan kepala desa / lurah setempat.
o. Pemeliharaan barang-barang tersita tetap berada di tangan pihak tersita.
p. Panitera melaporkan penyitaan tersebut pada hakim / ketua majelis yang memerintahkan sita
tersebut dengan menyerahkan berita acara sita.
q. Majelis membacakan berita acara Sita tersebut pada persidangan berikutnya dan menetapkan sah
dan berharga penyitaan tersebut yang dicatat dalam Berita Acara Persidangan.
r. Apabila barang-barang yang disita berupa benda tetap atau benda yang tercatat dalam
lembaga/Kantor Pemerintah maka hal itu diberitahukan kepada lembaga/Kantor yang
bersangkutan.

10
s. Hendaknya tentang sita itu di catat dibuku khusus yang di sediakan di Pengadilan Agama yang
memuat catatan mengenai tanah-tanah yang disita, kapan disita dan perkembanganya, Buku ini
adalah terbuka untuk umum.
t. Apabila gugatan di kabulkan, sita jaminan akan dinyatakan sah dan berharga oleh Hakim dalam
Amar putusanya. Apabila gugatan ditolak atau dinyatakan tidak dapat diterima, sita harus
diperintahkan untuk diangkat.
u. Apabila gugat dikabulkan sebagian dan selebihnya ditolak, maka sita jaminan untuk sebagian
dinyatakan sah dan berharga sedang untuk sebagian yang lain diperintahkan untuk diangkat,
kecuali dalam hal ini yang tidak mungkin dipisahkan dalam penyitaan, seperti tanah dan rumah,
dan sebagainya.
v. Pengangkatan sita dilakukan atas permohonan pihak yang bersangkutan.

2. Sita Revindicatoir Beslaag


Adalah diatur dalam Pasal 226 HIR, 260 RBg, 714 Rv, jo Pasal 1977 KUHPer. Adapun kata
Revindicatoir adalah berasal dari kata “revindiceer” yang artinya “mendapatkan” dan pengertian
revindicatoir beslaag adalah mengandung pengertian “untuk mendapatkan hak kembali”.
Maksudnya adalah barang yang digugat itu jangan sampai dihilangkan selama proses
berlangsung.[5]5
Ketentuan Pasal 226 HIR dapat dipahami bahwa untuk dapat diletakkan sita revindicatoir
beslag itu adalah harus diperhatikan hal-hal sebagai berikut:

a. Harus berupa barang bergerak


b. Barang bergerak tersebut adalah merupakan barang milik penggugat yang berada ditangan
tergugat
c. Permintaannya harus diajukan kepada Ketua pengadilan
d. Permintaan sita dapat diajukan secara lisan atau tulisan
e. Barang tersebut harus diterangkan dengan seksama dan terperinci

3. Sita Harta Bersama

5
Kussnaryatun, Ibid. hal 35

11
Sita harta bersama (maritaal beslaag) ialah sita yang diletakkan atas harta perkawinan. Sita
marital diatur dalam pasal 78 huruf c UU. No. 7/19989 jo. Pasal 24 PP No. 9/1975, pasal 95
Kompilasi Hukum Islam.
Sita ini dapat dimohonkan oleh suami atau isteri dalam sengketa perceraian, pembagian harta
perkawinan, pengamanan harta perkawinan. Sita dapat diletakkan atas semua harta perkawinan
yang meliputi harta suami, harta isteri dan harta bersama suami isteri yang disengketakan dalam
pembagian harta bersama. Sita harta bersama ini dapat diajukan bersama-sama dalam pemeriksaan
perceraian atau setelah perceraian terjadi. Selama masa sita tidak dapat dilakukan penjualanatas
harta bersama untuk kepentingan keluarga kecuali dengan izin dari pengadilan Agama. Adapun
tata cara sita ini, sama dengan sita pada umumnya.

D. Masuknya Pihak Ketiga dalam Perkara.

Ikut sertanya pihak ketiga dalam proses perkara yaitu voeging, intervensi/tussenkomst, dan
vrijwaring tidak diatur dalam HIR atau RBg, tetapi dalam praktek ketiga lembaga hukum ini dapat
dipergunakan dengan berpedoman pada Rv (Pasal 279 Rv dst dan Pasal 70 Rv), sesuai dengan
prinsip bahwa hakim wajib mengisi kekosongan, baik dalam hukum materiil maupun hukum
formil. Masuknya pihak ketiga dalam suatu perkara yang sedang berjalan disebut intervensi.
Voeging adalah ikut sertanya pihak ketiga untuk bergabung kepada penggugat atau tergugat.
Dalam hal ada permohonan voeging, hakim memberi kesempatan kepada para pihak untuk
menanggapi, selanjutnya dijatuhkan putusan sela, dan apabila dikabulkan maka dalam putusan
harus disebutkan kedudukan pihak ketiga tersebut.
Intervensi (tussenkomst) adalah ikut sertanya pihak ketiga untuk ikut dalam proses perkara
itu atas alasan ada kepentingannya yang terganggu. Intervensi diajukan oleh karena pihak ketiga
merasa bahwa barang miliknya disengketakan/diperebutkan oleh penggugat dan tergugat.
Permohonan intervensi dikabulkan atau ditolak dengan putusan sela. Apabila permohonan
intervensi dikabulkan, maka ada dua perkara yang diperiksa bersama-sama yaitu gugatan asal dan
gugatan intervensi
Vrijwaring adalah penarikan pihak ketiga untuk bertanggung jawab (untuk membebaskan
tergugat dari tanggung jawab kepada penggugat). Vrijwaring diajukan dengan sesuatu
permohonan dalam proses pemeriksaan perkara oleh tergugat secara lisan atau tertulis. Misalnya:

12
tergugat digugat oleh penggugat, karena barang yang dibeli oleh penggugat mengandung cacat
tersembunyi, padahal tergugat membeli barang tersebut dari pihak ketiga, maka tergugat menarik
pihak ketiga ini, agar pihak ketiga tersebut bertanggung jawab atas cacat itu
Setelah ada permohonan vrijwaring, hakim memberi kesempatan para pihak untuk
menanggapi permohonan tersebut, selanjutnya dijatuhkan putusan yang menolak atau
mengabulkan permohonan tersebut.
Apabila permohonan intervensi ditolak, maka putusan tersebut merupakan putusan akhir
yang dapat dimohonkan banding, tetapi pengirimannya ke PT harus bersama-sama dengan perkara
pokok. Apabila perkara pokok tidak diajukan banding, maka dengan sendirinya permohonan
banding dari intervenient tidak dapat diteruskan dan yang bersangkutan dapat mengajukan gugatan
tersendiri.
Apabila permohonan dapat dikabulkan, maka putusan tersebut merupakan putusan sela,
yang dicatat dalam Berita Acara, dan selanjutnya pemeriksaan perkara diteruskan dengan
menggabung gugatan intervensi ke dalam perkara pokok.

E. Perubahan dan Pencabutan Gugatan.

IR dan R.Bg tidak mengatur tentang perubahan gugutan yang telah diajukan oleh pengugat.
Oleh karena itu hakim leluasa untuk menentukan samapai sejauh mana perubahan itu dapat
dilakukan oleh pihak pengugat. Sebagaimana patokan ditentukan bahwa perubahan surat gugat itu
diperkenankan asalkan kepentingan kedua belah pihak harus tetap dijaga dan tidak menimbulkan
kerugian pada kedua belah pihak apabila surat gugat itu dirubah oleh pihak penggugat.
Perubahan gugatan adalah merubah atau menambah gugatan dengan ketentuan sebagai
berikut.
1. Perubahan gugatan tidak boleh merugikan pihak lawan
2. Perubahan gugatan tidak boleh menyimpang dari asas-asas hukum acara perdata
3. Perubahan gugatan tidak boleh menyimpang dari petitum atau tuntutan semula
4. Perubahan sebelum jawaban tergugat diperbolehkan tanpa izin terguga
5. Perubahan gugatan setelah jawaban tergugat harus dengan izin tergugat
6. Perubahan gugatan harus memberikan kesempatan kepada pihak lawan untuk membela diri
7. Perubahan gugatan dengam mengurangi petitum tidak boleh.

13
Pencabutan gugatan yang telah didaftarkan dan diperiksa di pengadilan dapat dilakukan oleh
pengugat dengan alasan sebagai berikut :
1. Tuntutan pengugat telah dipenuhi oleh tergugat
2. Adanya kekeliruan atau kesalahan dalam penyusunan gugatan

Syarat perubahan gugatan, Mahkamah agung dalam buku pedomannya menyebutkan


persyaratan formil yaitu :
1. Pengajuan perubahan pada sidang pertama dihadiri tergugat
2. Memberi hak kepada tergugat menanggapi
3. Tidak menghambat acara pemeriksaan

Dalam hal perubahan gugatan, dalam praktik peradilan sering terjadi dalam bentuk :
1. Diubah sama sekali, berarti gugatan itu diubah sama sekali baik posita maupun
petitumnya. Dalam hal ini, putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1043 K/Sip/1971 tanggal 3
Desember 1974 hanya mengizinkan perubahan gugatan terhadap hal-hal yang tidak prinsip saja,
tidak dibenarkan mengubah gugatan yang mengakibatkan terjadi perubahan pada posita sehingga
mengakibatkan tergugat merasa dirugikan haknya untuk membela diri.
2. Diperbaiki, maksudnya suatu perbaikan terhadap gugatan berarti hal-hal tertentu dari
gugatan itu bisa diperbaiki. Misalnya ada kekurangan kata,kalimat,kesalahan ketik atau kelebihan
kata-kata yang mesti harus dibetulkan.
3. Dikurangi,suatu gugatan dikurangi berarti ada bagian-bagian tertentu dari posita atau
petitum gugatan yang dikurangi. Dalam praktik peradilan, pengurangan dalam gugatan sering
dikabulkan oleh hakim karena peraturan perundang-undangan memperbolehkannya, misalnya
semula dalam gugatan empat bidang tanah,kemudian dikurangi menjadi dua bidang saja.
4. Ditambah, suatu gugatan ditambah berarti bagian posita atau petitum dari gugatan itu
ditambah. Hal ini bisa terjadi karena dalam posita sudah disebutkan tetapi dalam petitumnya tidak
dicantumkan, dengan demikian perku ditambah dalam bagian posita atau petitum atau pada kedua-
keduanya.

14
Dengan demikian jelas, bahwa perubahan atau penambahan gugatan masih diperbolehkan
selama dalam tahap pemeriksaan dan belum memasuki tahap pemeriksaan dan belum memasuki
tahap kesimpulan dengan ketentuan sebagai berikut.
1. Jika gugatan belum dibacakan maka perubahan gugatan tidak perlu mendapat persetujuan
tergugat.
2. Jika gugatan sudah dibacakan dan tergugat telah memberikan jawaban, maka perubahan gugatan
hanya dapat dilakukan apabila telah mendapat izin dari tergugat.
3. Perubahan tersebut masih dalam koridor posita gugatan.

Pencabutan gugatan yang telah didaftarkan dan diperiksa dipengadilan dapat dicabut
sewaktu-waktu dengan syarat sbg berikut :
1. Sebelum tergugat mengajukan jawaban, gugatan dapat dicabut tanpa izin tergugat
2. Apabila tergugat sudah mengajukan gugatan jawaban, gugatan dapat dicabut atas izin tergugat.

F. Ekspesi dan Rekonvensi.


1. Ekspesi
Eksepsi dalam konteks hukum acara perdata memiliki makna tangkisan atau bantahan
(objection). Bisa juga berarti pembelaan (plea) yang diajukan tergugat terhadap materi gugatan
penggugat. Namun, tangkisan atau bantahan yang diajukan dalam bentuk eksepsi ditujukan kepada
hal yang menyangkut syarat formalitas gugatan dan tidak ditujukan atau menyinggung bantahan
terhadap pokok perkara (verweer ten principale). Salah satu eksepsi dalam hukum acara perdata
adalah eksepsi mengenai kewenangan mengadili. Eksepsi kewenangan mengadili diajukan apabila
dianggap pengadilan tidak berwenang mengadili perkara yang bersangkutan. Eksepsi kewenangan
mengadili dibagi menjadi:

a. Eksepsi Kewenangan Absolut (Exceptio Declinatoir)


Kompetensi absolut berkaitan dengan kewenangan absolut 4 (empat) lingkungan peradilan
(Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha Negara, Peradilan Agama, dan Peradilan Militer) dan
Peradilan Khusus (Arbitrase, Pengadilan Niaga, dan lain-lain). Masing-masing pengadilan
mempunyai yurisdiksi tertentu.

15
Pengajuan eksepsi kewenangan absolut (exceptio declinatoir) diatur dalam Pasal
134Herziene Inlandsch Reglement (“HIR”) dan Pasal 132 Reglement op de
Rechsvordering(“Rv”). Eksepsi kewenangan absolut dapat diajukan oleh tergugat setiap saat.
Pasal 134 HIR dan Pasal 132 Rv mengatur bahwa eksepsi kewenangan absolut dapat diajukan oleh
tergugat setiap saat selama proses pemeriksaan berlangsung sejak proses pemeriksaan dimulai
sampai sebelum putusan dijatuhkan di persidangan tingkat pertama (Pengadilan Negeri).

b. Eksepsi Kewenangan Relatif (Relative Comprtitie)


Kompetensi relatif berkaitan dengan wilayah hukum dari suatu pengadilan dalam satu
lingkungan peradilan yang sama, hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 118 HIR.
Pasal 125 ayat (2) dan Pasal 133 HIR mengatur bahwa pengajuan eksepsi kewenangan relatif
harus disampaikan pada sidang pertama dan bersamaan pada saat mengajukan jawaban pertama
terhadap materi pokok perkara.

Pengajuan eksepsi kewenangan relatif dapat secara lisan atau berbentuk tulisan. Pasal 133
HIR memberikan hak kepada tergugat untuk mengajukan eksepsi kompetensi relatif secara lisan.
Hakim yang menolak dan tidak mempertimbangkan eksepsi lisan, dianggap melanggar tata tertib
beracara dan tindakan tersebut dapat dikualifikasikan sebagai penyalah gunaan wewenang. Selain
secara lisan, eksepsi kewenangan relatif dapat diajukan dalam bentuk tertulis sebagaimana diatur
dalam Pasal 125 ayat (2) Rv jo Pasal 121 HIR.

2. Rekonvensi.
Istilah (gugatan) rekonvensi diatur dalam Pasal 132a HIRyang maknanya rekonvensi adalah
gugatan yang diajukan tergugat sebagai gugatan balasan terhadap gugatan yang diajukan
penggugat kepadanya. Dalam penjelasan Pasal 132a HIR disebutkan, oleh karena bagi tergugat
diberi kesempatan untuk mengajukan gugatan melawan, artinya. untuk menggugat kembali
penggugat, maka tergugat itu tidak perlu mengajukan tuntutan baru, akan tetapi cukup dengan
memajukan gugatan pembalasan itu bersama-sama dengan jawabannya terhadap gugatan
lawannya.

G. Pembuktian.

16
Membuktikan artinya mempertimbangkan secara logis kebenaran suatu fakta atau pristiwa
berdasarkan alat-alat bukti yang sah dan menurut hukum pembuktian yang berlaku. Untuk
memperoleh kepastian bahwa suatu pristiwa/fakta yang diajukan itu benar terjadi, yang dibuktikan
kebenarannya, sehingga nampak adanya hubungan hukum antara para pihak, inilah merupakan
tujuan dari pembuktian itu sendiri.

1. Hukum pembuktian
Menurut hukum pembuktian dalam acara perdata, maka pembuktiannya adalah:
a. Bersifat mencari kebenaran formil
Artinya dari setiap pristiwa yang harus dibuktikan adalah kebenarannya. Mencari kebenaran
formil berarti bahwa hakim tidak boleh melampaui batas-batas yang diajukan oleh pihak-pihak
yang berperkara.
b. Tidak disyaratkan adanya keyakinan hakim
Artinya dalam pembuktian dibolehkan antara perkara pidana dan perdata. Pembuktian dalam
perkara pidana masyarakat adanya keyakinan hakim, sedangkan dalam perkara tidak secara tegas
masyarakat adanya keyakinan.
c. Alat bukti harus memenuhi syarat formil dan materil.
Dalam hukum pembuktian, teridiri dari unsur materil dan unsur formil. Hukum pembuktian
materil mengatur tentang dapat tidaknya diterima pembuktian dengan alat-alat bukti tertentu
dipersidangan serta kekuatan pembuktiannya, sedangkan hukum pembuktian formil mengatur cara
mengadakan pembuktian.

2. Alat-alat bukti
Alat-alat dalam perkara perdata ialah:
a. Alat bukti surat
b. Alat bukti saksi
c. Alat bukti persangkaan
d. Alat bukti pengakuan
e. Alat bukti sumpah
f. Pemeriksaan ditempat (pasal 153)
g. Saksi ahli (pasal 154 HIR)

17
h. Pembukuan (pasal 167 HIR)
i. Pengetahuan hakim (pasal 178 (1) HIR, UU-MA No. 14/1985)

3. Bukti Surat
a. Pengertian
Alat bukti tertulis atau surat ialah segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang
dimaksud untuk mencurahkan isi hati atau menyampaikan buah pikiran seeseorang dan digunakan
sebagai pembuktian (alat bukti).
Alat bukti tertulis di atur dalam pasal, 138, 165, 167, HIR /pasal 164, 285-305 R.Bg. 186 No
29 dan pasal 1867-1894 BW, serta pasal 138-147 RV

b. Macam-macam alat-alat bukti surat


Surat sebagai alat bukti tertulis dibedakan menjadi dua, yaitu:
1) Akta
2) akta otentik
3) Akta ialah surat yang diberi tandatangan, yang memuat pristiwa yang menjadi dasar suatu hak
perikatan, yang dibuat sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian.
Akta otentik ialah akta yang dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang diberi wewenang untuk
itu dan dalam bentuk menurut ketentuan yang ditetapkan untuk itu, baik denagn maupun tanpa
bantuan dari yang berkepentinagn, ditempat dimana pejabat berwenang menjalankan tugasnya (ps.
1868).

c. Syarat-syarat akta otentik ada 3 (tiga) yaitu:


1) Dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang berwenang untuk itu
2) Dibuat dalam bentuk dan sesuai ketentuan yang ditetapkan untuk itu
3) Dibuatkan ditempat pejabat itu berwenang untuk menjalankan tugasnya.

Akta otentik ada dua macam yaitu:


1. Akta yang dibuat oleh pejabat ialah akta yang dibuat oleh pejabat yang berwenang untuk itu karena
jabatannya tanpa campur tangan pihak lain, dengan mana pejabat tersebut menerangkan apa yang
dilihat, didengar serta apa yang dilakukan.

18
2. Akta yang dibuat dihaddapan pejabat ialah yang dibuat oleh para pihak dihadapan pejabat yang
berwenang untuk itu atas kehendak para pihak, dengan mana pejabat menerangkan jufa apa yang
dilihat dan dilakukan.

Akta dibawah tangan ialah akta yang dibuat oleh para pihak dengan sengaja untuk
pembuktian, tetapi tanpa bantuan dari seseorang pejabat. Hal ini diatur dalam stbl 1867 No.29
untuk jawa dan Madura, sedang untuk luar jawa dan Madura diatur dalam pasal 286 sampai dengan
305 R.Bg pasal 1874-1180 BW juga mengatur masalah ini.

3. Bukti Saksi
Saksi ialah orang yang memberikan keterangan dimuka siding, dengan memenuhi syarat-
syarat tertentu, tentang suatu peristiwa atau keadaan yang ia lihat, dengar dan ia alami sendiri
sebagai bukti terjadinya peristiwa atau keadaan tersebut. Bukti saksi diatur dalam pasal 168-172
HIR

4. Bukti Persangkaan
Persangkaan adalah kesimpulan yang ditarik dari suatu pristiwa yang telah atau idanggap
terbukti kearah suatu peristiwa yang tidak dikenal atau belum terbukti, baik yang bersandarkan
undang-undang atau kesimpulan yang ditarik oleh hakim.persangkaan diatur dalam pasal 173 HIR,
1916 BW.
Ada dua macam bentuk persangkaan :
a. Persangkaan berdasarkan undang-undang
Contoh: pasal 5 ayat 2 UU No. 1/1974 yaitu bahwa untuk mendapat ijin poligami dari
pengadilan tidak diperlukan persetujuan dari istri apabila istri tidak ada kabar selama 2 tahun,
berarti dalam kasus ini, poligami dianggap sah tanpa persetujuan istri.
b. Persangkaan yang berupa kesimpulan yang ditarik oleh hakim dari keadaan yang timbul
dipersidangan,seperti:
1) Tentang sesuatu yang penting dan seksama
2) Atau tentang sesuatu yang terang dan pasti
Kekuatan pembuktiannya bersifat memaksa. Hakim terikat pada ketentuan undang-undang
kecuali jika dilumpuhkan oleh bukti lawan. Karena persangkaan bukan merupakan bukti yang

19
berdiri sendiri melainkan berpijak pada kenyataan lain yang telah terbukti, maka untuk menyusun
bukti persangkaan harus di buktikan dahulu fakta-fakta yang mendasarinya. Apabila fakta-fakta
yang mendasarinya telah dibuktikan maka hakim dapat menyusun bukti persangkaan dalam
pertimbangan hukumnya sesuai hukum berfikir yang logis, dengan memenuhi syarat-syarat
tersebut di atas.

5. Bukti Pengakuan
Pengakuan ialah pernyataan seseorang tentang dirinya sendiri, bersifat dan tidak
memerlukan persetujuan pihak lain. Pengakuan sebagai alat bukti diatur dalam pasal 174,175,176,
HIR pasal 311, 312, 31 R.Bg dan pasal 1923-1923 BW.
Pengakuan dapat diberikan di muka hakim dipersidangan atau di luar persidangan. Selain itu
pengakuan dapat pyula diberikan secara tertulis maupun lisan di depan siding. Ada beberapa
macam bentuk pengakuan yaitu pengakuan murni, pengakuan dengan kualifikasi dan pengakuan
dengan klausula. Berikut ini akan dibicarakan masing-masing jenis dan bentuk pengakuan dalam
pemeriksaan di persidangan:
a. Pengakuan murni di muka siding
b. Pengakuan dengan kualifikasi
c. Pengakuan dengan clusula
d. Pengakuan tertulis
e. Pengakuan lewat kuasa hukum/wakil

6. Bukti Sumpah
Sumpah ialah suatu penyataan yang khidmat yang diberikan atau diucapkan pada waktu
memberi janji atau keterangan dengan mengingat sifat maha kuasa tuhan dan percaya bahwa siapa
yang memberi keterangan atau janji yang tidak benar akan dihukum oleh-Nya. Sumpah merupakan
tindakan religious yang digunakan dalam proses peradilan. Ada 2 macam sumpah, yaitu:
a. Sumpah/janji untuk melakukan atau tindakan melakukan sesuatu, yang disebut sumpah promissoir
b. Sumpah/janji untuk memberi keterangan guna meneguhkan bahwa sesuatu benar demikian atau
tidak benar, yang disebut sumpah assertoirr atau confirmatoir

Sumpah promissoir dilakukan oleh saksi atau ahli juru bahasa dan hukum, denag ciri-ciri:

20
a. Sumpah diucapkan sebelum mereka memberikan keterangan.
b. Sumpah berfungsi sebagai syarat formil sahnya suatu keterangan
c. Sumpah ini ukan merupakan alat bukti
d. Sumpah ini tidak mengakhiri sengketa

Sumpah assertoir dilakukan oleh para pihak dalam perkara, dengan ciri-ciri sebagai berikut:
a. Sumpah diucapkan sesudah mereka memberi keterangan atau melakukan sesuatu
b. Sumpah berfungsi untuk meneguhkan suatu pristiwa atauhak
c. Sumpah ini termasuk alat bukti
d. Sumpah ini mengakhiri sengketa
Sumpah promisoir mempunyai fungsi formil, yaitu sebagai syarat syah dilakuakn suatu
tindakan yang menurut hukum harus dilakukan diatas sumpahnya itu. Sedangkan sumpah
asertoir mempunyai fungsi materil, yaitu sebagai alat bukti di muka pengadilan untuk
menyelesaikan sengketa. Setiap sumpah harus dilakukan menurut keyakinan agamanya dari yang
bersangkutan.

21
BAB III

PENUTUP

a. Kesimpulan

Gugatan adalah suatu surat yang di ajukan oleh penguasa pada ketua pengadilan agama
yang erwenag, yang memuat tuntutan hak yang didalamnya mengandung suatu sengketa dan
merupakan landasan dasar pemeriksaan perkara dan suatu pembuktian kebenaran suatu hak.
Permohonan adalah suatu surat permohonan yang didalamnya berisi tuntutan hak perdata
oleh suatu pihak yang berkepentingan terhadap suatu hal yang tidak mengandung sengketa,
sehingga badan peradilan yang mengadili dapat dianggap suatu proses peradilan yang bukan
sebenarnya.
Jadi perbedaan dari gugatan dan permohonan adalah bahwa permohona itu tuntutan hak
perdata yang didalam kepentingannya itu bukan suatu perkara sedangkan gugatan adalah surat
yang diajukan oleh penggugat terhadap tergugat yang menuntut tuntutan hak yang yang
didalamnya berisi suatu perkara. Alam gugatan inilah yang disebut dengan pengadilan yang
sesungguhnya dan produk hokum yang dihasilkan adalah putusan hukum.

b. Saran

Dalam kaitannya dengan praktek dalam lingkup Peradilan, sebaiknya kita harus tau terlebih
dahulu proses dan regulasi atau peraturan terkait agar kita tidak salah dan selalu tepat dalam
pelaksanaan tata cara pengajuan baik itu gugatan maupun permohonan.

22
DAFTAR PUSTAKA

Abdulah Tri Wahyudi, 2004. Pengadilan Agama di Indonesia, Yogyakarta : Pustaka


Pelajar. hal 126
Retno wulan Soentantio dan ISkandar, 1997. Hukum Acara Perdata dalam Teori dan
Praktek. Bandung : Mandar Maju. hal 10
Abdulah Tri Wahyudi, Ibid. hal 131
Kussunaryatun, 1995. Hukum Acara Perdata Pemeriksaan Perkara Perdata. Surakarta :
UNS Press. hal 34
Kussnaryatun, Ibid. hal 35

23

Anda mungkin juga menyukai