Anda di halaman 1dari 45

BAB II

PENGAWASAN BANK DI INDONESIA

A. Tujuan Pengawasan Bank

Dalam Bahasa Indonesia yang dimaksud dengan pengawasan adalah penilikan

dan penjagaan, penilikan dan pengarahan kebijakan jalannya perusahaan12. Dalam hal

ini salah satu dari fungsi manajemen adalah melakukan pengawasan, selain dari

perencanaan, pengorganisasian dan pelaksanaan. Artinya pengawasan harus dilakukan

setiap perusahaan agar manajemen perusahaan berjalan secara benar. Fungsi

pengawasan dilakukan terhadap seluruh aktivitas perusahaan baik yang belum berjalan

atau yang sedang berjalan. Pengawasan dilakukan terhadap sumber daya manusia,

sistem yang dijalankan, proses, output serta sarana dan prasarananya. Tujuannya tidak

lain adalah agar pencapaian target yang ditetapkan perusahaan agar mudah dicapai13.

Fungsi dan peran pengawasan bank dengan fungsi dan peran manajemen bank

merupakan dua kegiatan yang sangat erat kaitannya. Fungsi dan perannya memang

berbeda, tetapi bidang usaha yang menjadi objeknya sama, yaitu bidang usaha

perbankan yang karakternya mengandung berbagai resiko. Tujuannya pun sama yaitu

mengusahakan terwujudnya usaha bank yang sehat dan berdasarkan asas kehati-hatian,

mampu meredam hingga sekecil-kecilnya beragam resiko dari usaha bank, bertujuan

melindung para deposan dan kreditur, mewujudkan citra tinggi bank sebagai lembaga

kepercayaan, serta mewujudkan keamanan dan kestabilan sistem perbankan. Setiap

negara berkepentingan dan menaruh perhatian yang besar terhadap fungsi dan peran
pengawasan bank, sebab bank sebagai lembaga kepercayaan memiliki karakter

yang unik dibanding jenis usaha lannya14.

Pengawasan juga dilakukan sebagai sarana pencegahan terjadinya

penyimpangan atas aktivitas sebelum dilaksanakannya suatu kegiatan. Artinya sebelum

jadi kegiatan, penyimpangan sudah terjadi, misalnya pada saat penyusunan anggaran,
15
jadi kegiatan pengawasan harus dilakukan sedini mungkin . Pengawasan begitu

penting dilakukan karena pengawasan begitu banyak manfaat bagi perusahaan. Secara

umum dikatakan bahwa tujuan dilakukannya pengelolaan dan pengawasan adalah :

1. Agar aktivitas perusahaan berjalan sesuai dengan rencana yang telah dibuat,

baik proses, sistem dan hasil yang dicapai.

2. Agar jangan sampai terjadi penyimpangan, artinya keluar dari yang telah

direncanakan, jika terjadi, maka perlu diambil tindakan pengadilan.

3. Mengurangi nilai karyawan untuk melakukan penyimpangan, dengan cara

membuat seseorang menjadi bekerja dengan baik, karena merasa ada

pengawasan terhadap aktivitasnya.

4. Memudahkan pencegahan, artinya jika ada indikasi atau gelagat atau gejala

akan ada penyimpangan, maka mudah untuk ambil tindakan pencegahan,

tidak terjadi penyimpangan.

5. Pengendalian biaya, artinya dengan adanya pengelolaan dan pengawasan

maka biaya yang tiidak perlu keluar dapat diminimalkan segala bentuk

kebocoran sehingga terjadi efesiensi.


6. Agar tujuan perusahaan tercapai, artinya jika semua aktivitas perusahaan

berjalan sesuai dengan yang telah direncanakan, maka pencapaian target

akan mudah tercapai, misalnya laba perusahaan akan meningkat16.

Adapun proses pengawasan meliputi tiga tahapan proses yaitu :

a. Proses penentuan standard

Proses ini meliputi penenttuan ukuran-ukuran yang dipergunakan sebagai

dasar penentuan tingkat pencapaian tujuan yang telah di tentukan dalam

perencanaan.

b. Proses evaluasi atau proses penilaian

Dalam tahap ini dilakukan pengukuran terhadap realita yang telah terjadi

sebagai hasil kerja dari tugas yang telah dilakukannya. Setelah diukur

tingginya hasil itu maka kemudian hasil pengukuran itu diperbandingkan

dengan ukuran ukuran standard yang telah ditentukan pada tahap pertama

tadi.

c. Proses perbaikan

Dalam tahap ini mencoba menccari jalan keluar untuk mengambil langkah-

langkah tindakan korelasi terhadap terjadi penyimpangan-penyimpangan

tersebut pada tahap kedua. Setelah ketiga tahap proses pengawasan tersebut

maka perlu menyajikan hasil-hsil dari proses pengawasan itu dalam bentuk

suatu laporan hasil pengawasan17.


Dalam kaitannya dengan pengawasan terhadap bank di Indonesia, adapun inti

dari dari pengawasan bank adalah melindungi kepentingan masyarakat penyimpan

( deposan dan kreditur) yang mempercayakan dana nya kepada bank untuk memperoleh

pembayaran kembali dan manfaatnya dari bank sesuai dengan sifat, jenis, dan cara

pembayaran yang telah dijanjikannya. Tujuan tersebut dapat dicapai, bila bank yang

melakukan kegiatan usahanya berdasarkan asas usaha bank yang sehat dan dapat

dipertanggungjawabkan18.

Setelah mengetahui tujuan pengawasan bank, perlu diketahui juga dasar

pertimbangannya, yaitu fungsi pokok bank ada tiga :

1. Menghimpun dana dari masyarakat

2. Menanamkan dana yang dikelolanya ke dalam berbagai aset produktif,

misalnya dalam bentuk kredit, dan

3. Memberikan jasa layanan lalu-lintas pembayaran dan jasa layanan perbankan

lainnya19.

Dengan fungsi seperti itu, bank berperan sebgai lembaga intermediasi yang

mempertemukan dua pihak yang berbeda kepentingannya, baik dalam penghimpunan

dan penanaman dana, mauoun dalam pelayanan transaksi keuangan dan lalu-lintas

pembayaran.20
Adapun tujuan dan pengaturan pengawasan bank di Indonesia adalah sebagai

berikut:21

1. Lembaga kepercayaan masyarakat dalam kaitanya sebagai lembaga penghimpun

dan penyalur dana

2. Pelaksana kebijakan moneter

3. Lembaga yang ikut berperan dalam membantu pertumbuhan ekonomi serta

pemerataan , agar terciptanya sistem perbankan secara menyeluruh maupun

individual, dan mampu memelihara kepentingan masyarakat dengan baik,

berkembang secara wajar dan bermanfaat bagi perekonomian nasional.

Untuk mencapai tujuan tersebut pendekatan yang dilakukan dengan menerapkan

1. Kebijakan memberikan keleluasaan berusaha ( deregulasi)

2. Kebijakan prinsip kehati-hatian (prudential banking)

3. Pengawasan bank yang mendorong bank untuk melaksanakan secara konsisten

ketentuan intern yang dibuat sendiri (self regulatory banking) dalam

melaksanakan kegiatan operasionalnya yang degan tetap mengacu kepada

prinsip kehati-hatian.22

B. Prinsip-Prinsip Pengawasan Bank

Secara umum, peranan Bank sentral sangat penting dan strategis dalam upaya

menciptakan sistem perbankan yang sehat dan efesien.

Pada hakikatnya, pengaturan dan pengawasan bank dimaksudkan untuk

meningkatkan keyakinan dari setiap orang yang mempunyai kepentingan dengan bank,
bahwa bank-bank dari segi finansial tergolong sehat, bahwa bank dikelola dengan baik

dan profesional, serta didalam bank tidak terkandung segi-segi yang merpakan ancaman

terhadap kepentingan masyarakat yang menyimpan dana nya di bank. Dengan kata lain,

tujuan umum dari pengaturan dan pengawasan bank adalah meciptakan sistem

perbankanyang sehat, yang memenuhi tiga aspek, yaitu perbankan yang dapat

memeliharah kepentingan masyarakat dengan baik, berkembang secara wajar, dalam

arti disatu pihak memperhatikan faktor risiko seperti kemampuan, baik dari sistem,

finansial, maupun sumber daya manusia23.

Sesuai dengan pasal 29 undang-undang No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan

sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 dalam ayat (2)

Bank wajib memelihara tingkat kesehatan bank sesuai dengan ketentuan kecukupan

modal, kualitas aset, kualitas manajemen, lukuiditas, rentabilitas, solvabilitas dan aspek

lainnya yang berhubungan dengan usaha bank, dan wajib melakukan sesuai dengan

prinsip kehati-hatian. Ketentuan-ketentuan perbankan yang memuat prinsip kehati-

hatian bertujuan untuk memberikan rambu-rambu untuk penyelenggara kegiatan usaha

perbankan

Adapun prinsip-prinsip pengawasan bank yang Efektif yang berjumlah 25 butir

disusun oleh suatu komite pengawas perbankan yang disebut The Basle Committee on

Banking Supervision. Dari jumlah tersebut dapat dikelompokkan kedalam 7 prinsip inti

( core Principles) pengawasan Bank sebagai berikut :

a. Prinsip prekondisi bagi pengawasan bank yang efektif

b. Prinsip perizinan dan struktur


c. Prinnsip ketentuan kehati-hatian dan persyaratan

d. Prinsip metode pengawasan perbankan yang sedang berjalan

e. Prinsip persyaratan informasi

f. Prinsip kewenangan pengawas

g. Prinsip lintas perbankan24.

Prinsip-prinsip pengawasan Bank yang Efektif ini menjadi acuan pengawasan

bank di negara-negara anggota G-10 dan diharapkan akan digunakan dan diterapkan

pula oleh lembaga-lembaga pengawas perbankan di semua negara dalam melaksanakan

wewenangnya sebagai otoritas pengawas di sektor perbankan. Prinsip-prinsip ini pada

dasarnya merupakan standar minimum oleh karena itu dalam beberapa hal perlu

dilakukan penambahan ketentuan ketentuan lain yang disesuaikan dengan kondisi

perbankan termasuk pertimbangan resiko dalam sistem keuangan negarayang

bersangkutan. Sesuai dengan tujuan penyusunanannya, prinsip-prinsip pengawasan

bank ini dimaksudkan untuk digunakan sebagai referensi atau acuan dasar untuk

melaksanakan pengawasan bank disemua negara tidak hanya negara-negara anggota

Kelompok-10 dan negara-negara yang ikut membahas dan mempersiapkan konsepnya,

diharapkan akan menjadi acuan bagai otoritas pengawas perbankan secara

Internsional25.

Pelaksanaan fungsi pengawasan bank (otoritas pengawasan bank) biasanya

dilakukan oleh bank sentral negara yang bersangkutan. Telah diketahui bahwa fungsi

bank sentral adalah menjaga kestabilan moneter. Adapun tolak ukurnya adalah
kestabilan nila mata uang negara yang bersangkutan, kestabilan harga, nilai tukar dan

pengendalian inflasi. Selain itu bank sentral juga mengatur dan menjaga kelancaran

sistem pembayaran. Suatu penelitian internasional menyimpulkan bahwa efektivitas

pelaksanaan kebijakan moneter memerlukan dukungan sistem perbankan yang sehat.

Hal ini menunjukan adanya kaitan erat antara efektivitas pelaksanaan kebijakansanaan

moneter dengan efektivitas pelaksanaan pengawasan bank26.

Kewenangan otoritas pengawasan bank juga tidak selalu sama antara satu negara

dengan negara lainnya. Apakah otoritas pengawasn bank itu mau diletakkan pada fungsi

bank sentral tergantung dari status dan kedudukan bank sentral itu sendiri. Ada bank

sentral yang memiliki wewenang penuh atau independen dan ada juga yang

wewenangnya terbagi atau di bawah kordinasi Menteri Keuangan27

Sungguhpun demikian, prinsip dan metode yang digunakan dalam pengawasan

bank pada dasarnya sama. Adapun prinsip dan metode tersebut meliputi 6 jalur, yaitu :

(1) pengaturan (regulasi), (2) pengawasan tidak langsung (Off-site Supervision), (3)

pengawasan langsung/pemeriksaan (On-site Supervision), (4) kontak dan komunikasi

teratur dengan bank, (5) tidak remedial dan/atau penerapan sanksi, (6) kerja sama

dengan otoritas pengawasan bank negara lain28

Dalam hal pengawasan bank terdapat juga asas kehati-hatian (Prudent Banking

Supervison). Istilah “Prudent” yang dikaitkan dengan fungsipengawaan bank dan

manajemen bank mulai dikenal pada belahan kedua tahun 1980-an. Kata “Prudent” itu
sendiri secara harfiah dalam bahasa Indonesia berarti “bijaksana”. Namun, dalam dunia
29
perbankan istilah itu digunakan untuk “ Asas Kehati-hatian” . Prudent yang berarti

bijaksana atau asas kehati-hatian itu bukanlah istilah baru, namun mengandung konsepsi

baru dalam menyikapi secara lebih tegas, rini, dan efektif atas berbagai resiko yang

melekat pada usaha bank. Jadi prudent merupakan konsep yang memilii unsur sikap,

prinsip, standar kebijakan, dan teknik dalam manajemen risiko bank yang sedemikian

rupa, sehingga dapat menghindari akibat sekecil apa pun, yang dapat membahayakan

atau merugikan stakeholders, terutama para depositor dan kreditur. Tujuan yang lebih

luas adalah untuk menjaga keamanan, kesehatan,dan kestabilan sistem perbankan30.

C. Struktur Pengawasan Lembaga Keuangan

Menurut Surat Keputusan Menteri Keuangan republik Indonesia No.792 tahun

1990 tentang “Lembaga Keuangan”, lembaga keuangan diberi batasan sebagai semua

badan yang kegiatannya dibidang keuangan, melakukan penghimpunan dan penyaluran

dana kepada masyarakat terutama guna membiayai investasi perusahaan. Mengingat

kegiatan utama dari lembaga keuanganadalah menghimpun dan menyalurkan dana,

perbedaan antara bank dan lembaga keuangan bukan bank dapat dilihat melalui kegiatan

utama mereka. Adapun perbedaan antara lembaga keuangan bank dan bukan bank,

perbedaan yang utama adalah terletak pada penghimpunan dana. Dalam hal ini

penghimpunan dana, secara tegas disebutkan bahwa bank dapat menghimpun dana baik

secara langsung maupun secara tidak langsung dari masyarakat, sedangkan lembaga

keuangan bukan bank hanya dapat menghimpun dana secara tidak langsung dari
31
masyarakat . Sebagai unit usaha yang bergerak dibidang keuangan, produk dari

lembaga keuangan adalah jasa-jasa finansial. Jasa-jasa ini merupakan bentuk dari

kegiatannya yang memudahkan pendistribusian dana dan modal. Fungsi-fungsi ini

sangat penting dalam efesiensi sistem finansial. Fungsi-fungsi itu dapat berupa kegiatan

a. Mekanisme pembayaran ( Payment mechanism)

b. Perdagangan sekuritas ( trading security)

c. Transmutasi (transmutation)

d. Diversifikasi resiko (risk diversification)

e. Manajemen portofolio ( portofolio management)32.

Lembaga keuangan pada dasarnya mempunyai fungsi mentransfer dana

(loanable funds) dari penabung atau unit surplus (lenders) kepada peminjam (

borrowers) atau unit defisit33.Regulasi dan supervisi terhadap lembaga keuangan bank

dan nonbank selama ini ditangani oleh institusi yang berbeda. Lembaga keuangan bank

diatur dan diawasi oleh Bank Indonesia (BI), sedangkan lembaga keuangan nonbank

seluruhnya diawasi oleh Bapepam-LK—sebuah lembaga yang bernaung di bawah

Kementerian Keuangan. Regulasi dan supervisi sektor perbankan dilaksanakan oleh

Bank Indonesia berdasarkan amanat Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009. Sektor

perbankan diatur dan diawasi oleh BI karena sektor tersebut memiliki pertautan erat

dengan kebijakan moneter—mengawasi dan mengatur sektor perbankan merupakan

salah satu tugas untuk mencapai kestabilan nilai tukar rupiah.


Namun sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada 22 November 2011, kebijakan politik hukum

nasional mulai mengintrodusir paradigma baru dalam menerapkan model pengaturan

dan pengawasan terhadap industri keuangan Indonesia. Berdasarkan UU No. 21 Tahun

2011 tersebut, pengaturan dan pengawasan lembaga keuangan menjadi kewenangan

Otoritas Jasa Keuangan. Sesuai dengan Pasal 5 Undang-Undang No. 21 Tahun 2011,

Otoritas Jasa Keuangan memiliki fungsi untuk menyelenggarakan sistem pengaturan

dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa

keuangan. Melalui Pasal 5 UU No. 21 Tahun 2011 tersebut, Indonesia akan menerapkan

model pengaturan dan pengawasan secara terintegrasi (integration approach), yang

berarti akan meninggalkan model pengawasan secara institusional. Dengan

diberlakukannya UU No. 21 Tahun 2011 ini, maka seluruh fungsi pengaturan dan

pengawasan terhadap sektor keuangan yang kini masih tersebar di BI dan Bapepam-LK

akan menyatu ke dalam OJK34

Struktur pengawasan Bank di Indonesia selain Otoritas Jasa Keuangan ada juga

Bank Indonesia dan Lembaga Penjamin Simpanan, dalam hal ini Otoritas Jasa

Keuangan berdasarkan Ketentuan pada Bab XIII tentang Ketentuan Peralihan tepatnya

di Pasal 55 ayat (2) Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan ditentukan khusus untuk

perbankan bahwa “ Sejak tanggal 31 Desembe 2013, fungsi, tugas, dan wewenang

pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor perbankan beralih dari
Bank Indonesia ke OJK” hal ini berarti pengaturan dan pengawasan sektor perbankan

mulai diperankan oleh OJK sebagai lembaga yang independen dalam hal melakukan

penyidikan, pengaturan dan pengawasan bank-bank setelah tanggal 31 Desember

201335. Diamanatkan dalam Pasal 34 UU No. 23 Tahun 1999 sebagaimana diubah

melalui UU No. 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia, menghendaki pembentukan OJK

hanya dalam batas sebagai Dewan Pengawas, artinya lembaga yang dibentuk akan

memiliki kewenangan mengeluarkan ketentuan yang berkaitan dengan pelaksanaan


36
tugas pengawasan bank berkoordinasi dengan Bank Indonesia. . namun setelah

diundangkannya Undang-Undang OJK dari beberapa ketentuan menyangkut wewenang

OJK yang sangat luas seperti pada pasal 7 dan Pasal 8 diketahui dari kewenangan OJK

tersebut memang benar-benar lembaga yang sangat luas yang mempunyai fungsi, tugas

dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan dan bahkan penyidikan.37

Berdasarkan Penjelasan pasal 7 UU OJK dikethui bahwa pengaturan dn

Pengawasan mengenai kelembagaan, kesehatan, aspek kehati-hatian, dan pemeriksaan

bank merupakan lingkup pengaturan dan pengawasan microprudential yang menjadi

tugas dan wewenang Ojk. Adapun lingkup pengaturan dan pengawasan

macroprudential yakni pengaturan dan pengawasan selain hal yang diatur dalam pasal

ini, merupakan tugas dan wewenang Bank Indonesia.38

Kewenangan OJK dalam mengawasi termasuk dalam hal kebijakan operasional

pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan, mengawasi pelaksanaan tugas


pengawasan yang dilaksanakan oleh kepala ekekutif. Ojk juga melakukan pengawasan,

pemeriksaan, penyidikan, perlindungan konsumen, dan tindakan lain terhadap lembaga

jasa keuangan, pelaku, dan/atau penunjang kegiatan jasa keuangan sebagaimana

dimaksud dalam peraturan perundang-udangan di sektor jasa keuangan.39

Sedangkan pengawasan yang dilakukan Bank Indonesia meliputi pengawasan

langsung dan tidak langsung. Pengawasan tidak langsung meliputi pengawasan dini

melalui penelitian, analisis dan evaluasi laporan bank dan pengawasan langsung dalam

bentuk pemeriksaan yang disusul dengan tindakan-tindakan perbaikan. Bank Indonesia

dalam mengemban tugas untuk mengatur dan mengawasi bank, sesua dengan ketentuan

Pasal 24 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia berwenang

untuk menetapkan perturan,memberikan dan mencabut izin atas kelembagaan dan

kegiatan usaha tertentu dari bank , melaksanakan pengawasan bank dan mengenakan

sanksi terhadap bank sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.40

Pengaturan dan pengawasan terhadap lembaga keuangan bank dan

lembagakeuangan non-bank di Indonesia sekarang ini dilakukan oleh lembaga baru

yang bersifat independen yang dinamakan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) berdasarkan

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan yang

merupakan amanat dari Pasal 34 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 Tentang

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia.

Terkait pengawasan perbankan yang sebelumnya dijalankan oleh Bank Indonesia, saat

ini beralih kepada OJK, meskipun demikian Bank Indonesia masih memiliki tanggung

jawab dalam hal pengaturan dan pengawasan bank di Indonesia. Dimana Ojk mengatur
dan mengawasi bank dalam lingkup microprudential sedangkan bank indonesia

mengatur dan mengawasi dalam lingkup macroprudential. Namun, pada saat sekarang

ini tugas pengaturan dan pengawasan perbankan tidak lagi menjadi tugasBank

Indonesia, melainkan menjadi tugas sebuah lembaga pengawas sektor jasa keuangan

baru yang dinamakan dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang dibentuk berdasarkan

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan.

Menurut Bismar Nasution, macroprudentialsupervision adalah mengarahkan dan

mendorong bank serta sekaligus mengawasinya agar dapat ikut berperan dalam program

pencapaian sasaran ekonomi makro, baik yang terkait dengan kebijaksanaan umum

untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, kemantapan neraca pembayaran, perluasan

lapangan kerja, kestabilan moneter, maupun upaya pemerataan pendapatan dan

kesempatan berusaha. Sedangkan tujuan dari microprudential supervision adalah

mengupayakan agar setiap bank secara individual sehat dan aman, serta keseluruhan

industri perbankan menjadi sehat dan dapat memelihara kepercayaan masyarakat. Ini

berarti setiap bank dari sejak awal harus dijauhkan dari segala kemungkinan risiko yang

akan timbul.Tugas pengawasan Bank Indonesia terhadap perbankan dalam lingkup

makroprudensial, Bank Indonesia melakukan pemeriksaan langsung kepada bank

tertentu yang tergolong ke dalam Systemically Important Bank dan/atau bank lainnya

sesuai dengan kewenangan Bank Indonesia di bidang makroprudensial.Kemudian Bank

Indonesia juga dapat melakukan langkah-langkah penyehatan terhadap bank yang

mengalami kesulitan likuiditas atau kondisi kesehatan yang semakin memburuk.41


Mengenai pengaturan dan pengawasan bank juga diatur dalam Bab V tentang

pembinaan dan pengawasan yaitu Pasal 29 sampai Pasal 37b Undang-Undang

Perbankan, dimana pasal 37b Undang-Undang Perbankan, dimana pasal 37b merupakan

dasar hukum eksitensi Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga

Penjamin Simpanan. Menurut Undang-Undang LPS, fungsi LPS adalah :

a. Menjamin simpanan nasabah penyimpan

b. turut aktif dalam memelihara stabilitas sistem perbankan sesuai dengan

kewenangannya

Berkaitan dengan fungsi LPS huruf b, LPS mempunyai tugas sebagai berikut :

a. Merumuskan dan menetapkan kebijakan dalam rangka turut aktif memelihara

stabilitas sistem perbankan.

b. Merumuskan, menetapkan, melaksanakn kebijakan penyelesaian bank gagal

(bank resolution) yang tidak berdampak sistemik

c. Melaksanakan penanganan bank gagal yang berdampak sistemik42

Dari uraian tersebut jelas bahwa dari sistematika pengaturan dalam UU

Perbankan, LPS adalah bagian dari kerangka pembinaan dan pengawasn bank juga.

Dengan melihat kewenangan Bank Indonesia sebagai Lembaga Pengawas Perbankan

dalam UU BI dan UU Perbankan, kemudian kewenangan LPS yang juga mempunyai

fungsi pengawasan perbankan dalam UU LPS, maka ada pembagian kewenangan

dalam fungsi pengawsan terhadap perbankan. Kewenangan Bank Indonesia sebagai


Lembaga Pengawas Perbankan dimulai sejak bank itu akan mulai melakukan kegiatan

usaha perbankan sampai ketika bank itu bermasalah dan ijin usaha bank itu harus

dicabut oleh Bank Indonesia. Sementara kewenangan LPS dalam fungsi pengawasan

dalam perbankan dimulai ketika suatu bank bermasalah yaitu : melakukan penyelesaian

bank gagal yang tidak berdampak sistemik setelah komite koordinasi menyerahkan

penyelesaian ke LPS, LPS melakukan penanganan Bank gagal berdampak

sistemiksetelah komie koordinasi meyerahkan penanganananya kepada LPS, Ketika

bank gagal harus dicabut izin usaha nya oleh Bank Indonesia, LPS memiliki

kewenangan melakukan tindakan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 43 UU LPS

serta melakukan pengawasan dan pelaksanaan likuidasi bank.43

D. Kewenangan Pegawasan Bank Indonesia ,Otoritas Jasa Keuangan dan

Lembaga Penjamin Simpanan di Bidang Perbankan

Bank Indonesia adalah bank sentral Republik Indonesia yang merupkan lembaga

independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur tangan

Pemerintah dan/atau phak lain kecuali untuk hal-hal secara tegas diatur dalam undang-

undang44. Dalam pasal 8 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 yang telah dirubah

dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia ditentukan antara

lain bahwa Bank Indonesia mempunyai tugas bahwa :

a. Menetapkan dan melaksanakan kebiijakan moneter

b. Mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran


c. Mengatur dan mengawasi bank45.

Krisis ekonomi yang menghantam Asia ditahun 1997-1998 misalnya, dipicu

oleh jatuhnya nilai mata uang Beth di Thailand yang kemudian berimbaspada

pertumbuhan beban perekonomian Indonesia sebesar 50% dari Produk Domestik Bruto

(PDB) dan pertumbuhan krisis tersebut mengakbatkan sebanyak 16 bank dilikuidasi dan

Bank Indonesia nyaris bangkrut. Akibat intervensi yang berlebihan yang dilakuka n

pemerintah, BI dipaksa memberikan dana talangan kepada bank umum yang terkena

rush. Dana talangan ini dikenal dengan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI)46.

Sepuluh tahun kemudian pada tahun 2008, terjadi krisis ekonomi dunia yang

merupakan domino effecct dari krisis kredit perumahan di Amerika Serikat yang

menggelembung (bubble) dan mengakibatkan kesulitan solvabilitas dan berdampak

pada lukidiasinya berbagai lembaga keuagan di negara-negera besar di duni, yang antara

lain menyebabkan bangkrutnya ratusan bank, perusahaan sekuritas, reksadana, dana

pensiun dan asuransi. Krisis tersebut menghambat kebelahan Asia termasuk Indonesia

yang ditandai dengan munculnya Kasus Bank Century yang ditalangi lebih kurang 6,7

Triliun., kasus BLBI semakin memperburuk dan membuat kegagalan bagi pasar

finansial di Indonesia, cadangan Devisa turun 12% rupiah terdepresi 30,9% dari Rp

9,393 per Januari 2008 menjadi Rp 12,10047.

Kedua krisis tersebut menyadarkan pemerintah bahwa salah satu

penyebabruntuhnya perekonomian Indonesia saaat itu adalah karena dengan sejumlah


tugas yang dimiliki Bank Indonesia khususnya di bidang moneter, mengakibatkan

terpecahnya fokus BI antara kebijakan moneter, kestabilan nilai rupiah dan pengawasan

perbankan. Oleh karena itu diperlukan suatu lembaga yang memiliki kewenangan

pengawasan secara terintegritasi perbankan, pasar modal, asuransi serta lembaga

keuangan non bank lainnya untuk meminimalisir resiko tersebut. Akhirnya pemerintah

Indonesia mengeluarkan regulasi pembentukanFinancial Authority yang diamanatkan

pada pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 jo Undang-Undang

Nomor 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia, dimana dikatakan bahwa:

“Tugas mengawasi bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa
keuangan yang independen dan dibentuk dengan undang-undang”48.
Setelah wacana pembentukan otoritas jasa keuangan yang sudah lama

didengung-dengungkan oleh Pemerintah, akhirnya pada bulan November 2011 Tahun

21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan ( selanjutnya disingkat OJK) yang

mengatur mengenai pembentukan Otoritas Jasa Keuangan49.

Adapun tujuan dan tugas Bank Indonesia adalah mencapai dan memelihara

kestabilan nilai rupiah dan untuk mencapai tujuan tersebut Bank Indonesia

melaksanakan kebijakan moneter secara berkelanjutan, konsisten, transparan, dan harus

mempertimbangkan kebijakan umum pemerintah dalam bidang perekonomian50.

Dalam rangka menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter, Bank

Indonesia berwenang melakukan hal-hal berikut :


a. Menetapkan sasaran-sasaran moneter dengan memperhatikan sasaran laju

inflasi.

b. Melakukan pengendalian moneter dengan menggunakan car-car yang

termasuk, tertapi tidak terbatas pada:

(1) Operasi pasar terbuka di pasar uang, baik rupiah maupun valuta asing;

(2) Penetapan tingkat diskonto;

(3) Penetapan cadangan wajib minimum;

(4) Pengaturan kredit atau pembiayaan

c. Memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah untuk janga

waktu paling lam 90 (sembilan puluh) hari kepada bank untuk mengatasi

kesulitan jangka pendek bank yang bersangkutan

d. Dalam hal suatu bank mengalami kesulitan keuangan yang berdampak

sistemis dan berpotensi mengakibatkan krisis yang membahayakan sistem

keungan, Bank Indonesia dapat memberikan fasilits pembiayaan darurat

yang pendanaanya menjadi beban pemerintah.

e. Melaksanakan kebijakan nilai tukar berdasarkan sistem nilai tukar yang telah

ditetapkan

f. Megelola cadangan devisa

g. Menyelenggarakan survei secara berkala atau sewaktu waktu diperlukan

yang dapat bersifat makro atau mikro untuk mendukung pelaksanaan

tugasnya51.
Sedangkan dalam hal mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran,

Bank Indonesia berwenang melakukan :

a. Melaksanakan dan memberikan persetujuan dan izin atas penyelenggaraan

jasa sistem pembayaran.

b. Mewajibkan penyelenggara jasa sistem pembayaran untuk menyampaikan

laporan tentang kegiatannya.

c. Menetapkan penggunaan alat pembayaran.

d. Mengatur sistem kliring antarbank dalam mata uang rupiah dan atau valuta

asing.

e. Menyelenggarakan penyelesaian akhir transaksi pembayaran antarbank

dalam mata uang rupiah dan atau valuta asing.

f. Menetapkan macam, harga, ciri uang yang dikeluarkan, bahan yang

dipergunakan, dan tanggal mulai berlakunya sebagai alat pembayaran yang

sah.

g. Sebagai satu-satunya lembaga yang mengeluarkan uang rupiah serta

mencabut, menarik, dan memusnahkan uang dimaksud dari peredaran52.

Adapun pengaturan dan pengawasan bank diarahkan untuk mengoptimalkan

fungsi perbankan Indonesia sebagai:

1. Lembaga kepercayaan masyarakat dalam kaitannya sebagai lembaga

penghimpun dan penyalur dana

2. Pelaksana kebijakan moneter;


3. Lembaga yang ikut berperan dalam membantu pertumbuhan ekonomi serta

pemerataan; agar tercipta sistem perbankan yang sehat,baik sistem

perbankan secara menyeluruh maupun individual, dan mampu memelihara

kepentingan masyarakat dengan baik, berkembang secara wajar dan

bermanfaat bagi perekonomian nasional.

Untuk mencapai tujuan tersebut pendekatan yang dilakukan dengan

menerapkan:

1. Kebijakan memberikan keleluasaan berusaha (deregulasi);

2. Kebijakan prinsip kehati-hatian bank (prudential banking); dan

3. Pengawasan bank yang mendorong bank untuk melaksanakan secara

konsisten ketentuan intern yang dibuat sendiri (self regulatory banking)

dalam melaksanakan kegiatan operasionalnya dengan tetap mengacu kepada

prinsip kehati-hatian.

Dengan demikian pengaturan dan pengawasan bank oleh BI meliputi wewenang sebagai

berikut:

1. Kewenangan memberikan izin(right to license), yaitu kewenangan untuk

menetapkan tatacara perizinan dan pendirian suatu bank. Cakupan

pemberian izin oleh BI meliputi pemberian izin dan pencabutan izin usaha

bank, pemberian izin pembukaan, penutupan dan pemindahan kantor bank,

pemberian persetujuan atas kepemilikan dan kepengurusan bank, pemberian

izin kepada bank untuk menjalankan kegiatan-kegiatan usaha tertentu.


2. Kewenangan untuk mengatur(right to regulate), yaitu kewenangan untuk

menetapkan ketentuan yang menyangkut aspek usaha dan kegiatan

perbankan dalam rangka menciptakan perbankan sehat yang mampu

memenuhi jasa perbankan yang diinginkan masyarakat.

3. Kewenangan untuk mengawasi(right to control), yaitu kewenangan

melakukan pengawasan bank melalui pengawasan langsung (on-site

supervision) dan pengawasan tidak langsung (off-site supervision).

Pengawasan langsung dapat berupa pemeriksaan umum dan pemeriksaan

khusus,yang bertujuan untuk mendapatkan gambaran tentang keadaan

keuangan bank dan untuk memantau tingkat kepatuhan bank terhadap

peraturan yang berlaku serta untuk mengetahui apakah terdapat praktik-

praktik yang tidak sehat yang membahayakan kelangsungan usaha bank.

Pengawasan tidak langsung yaitu pengawasan melalui alat pemantauan

seperti laporan berkala yang disampaikan bank,laporan hasil pemeriksaan

dan informasi lainnya. Dalam pelaksanaannya, apabila diperlukan BI dapat

melakukan pemeriksaan terhadap bank termasuk pihak lain yang meliputi

perusahaan induk, perusahaan anak, pihak terkait, pihak terafiliasi dan

debitur bank. BI dapat menugasi pihak lain untuk dan atas nama BI

melaksanakan tugas pemeriksaan.

4. Kewenangan untuk mengenakan sanksi(right to impose sanction), yaitu

kewenangan untuk menjatuhkan sanksi sesuai dengan ketentuan perundang-

undangan terhadap bank apabila suatu bank kurang atau tidak memenuhi
ketentuan. Tindakan ini mengandung unsur pembinaan agar bank beroperasi

sesuai dengan asas perbankan yang sehat53.

Dalam menjalankan tugas pengawasan bank, saat ini BI melaksanakan sistem

pengawasannya dengan menggunakan 2 pendekatan yakni pengawasan berdasarkan

kepatuhan (compliance based supervision) dan pengawasan berdasarkan risiko (risk

based supervision/RBS). Dengan adanya pendekatan RBS tersebut, bukan berarti

mengesampingkan pendekatan berdasarkan kepatuhan, namun merupakan upaya untuk

menyempurnakan sistem pengawasan sehingga dapat meningkatkan efektivitas dan

efisiensi pengawasan perbankan. Secara bertahap, pendekatan pengawasan yang

diterapkan oleh BI akan beralih menjadi sepenuhnya pengawasan berdasarkan risiko.

1. Pengawasan Berdasarkan Kepatuhan (Compliance Based Supervision)

Pendekatan pengawasan berdasarkan kepatuhan pada dasarnya menekankan

pemantauan kepatuhan bank untuk melaksanakan ketentuan ketentuan yang terkait

dengan operasi dan pengelolaan bank. Pendekatan ini mengacu pada kondisi bank di

masa lalu dengan tujuan untuk memastikan bahwa bank telah beroperasi dan dikelola

secara baik dan benar menurut prinsip-prinsip kehati-hatian.

2. Pengawasan Berdasarkan Risiko(Risk Based Supervision)

Pendekatan pengawasan berdasarkan risiko merupakan pendekatan pengawasan

yang berorientasi ke depan (forward looking). Dengan menggunakan pendekatan


tersebut pengawasan/pemeriksaan suatu bank difokuskan pada risiko-risiko yang

melekat (inherent risk)pada aktivitas fungsional bank serta sistem pengendalian risiko

(risk control system). Melalui pendekatan ini akan lebih memungkinkan otoritas

pengawasan bank untuk proaktif dalam melakukan pencegahan terhadap permasalahan

yang potensial timbul di bank.

Dengan adanya pemisaha fungsi pengawaasan bank dari Bank Indonesia, dapat

saja berdampak pada kurang optimalnya peran Bank Indonesia dalam melaksanakan

tugasnya sebagai pelaksana kebijakan moneter, sistem pembayaran, dan stabilitas sistem
54
keuangan . Pada dasarnya otoritas pengawasan melakukan pengawasan dengan

mengkontrol aktivitas bank, memonitory solvency dan dengan memonitori likuiditas55.

Pada perkembangannya pasca kejatuhan perekonomian khususnya sektor

perbankan pada krisis ekonomi, kemudian dibentuk OJK dengan harapan pengawasan

terhadap lembaga keuangan baik bank maupun bukan bank menjadi lebih baik. Konsep

dibentuknya lembaga pengawasan di Indonesia yang dipilih adalah otoritas penuh.

Kewenagan pengawasan terhadap perbankan, pasar modal, dan LKBB berada dalam

satu lembaga, sehinnga tiga otoritas pengawasan yaitu pasar modal, perbankan dan

LKBB akan bergabung menjadi satu otoritas yang bersifat independen. Artinya bank

sentral hanya memiliki kebijakan moneter tanpa berwenang melakukan pengawasan.56

Apabila OJK tetap dibentuk dan sistem pengawasan bank sudah menjadi

kewenagan OJK sepenuhnya, maka Bank Indonesiaa tetap memiliki keleluasaan


mengakses data perbankan secara cepat dan akurat dalam hal mendukung fungsi Bank

Indonesia menjaga kestabilan mata uang rupiah dan sebagai Lender of last resort

( sumber pemberi pinjaman terakhir) dalam rangka menyelamatkan sistem keuangan.

Berdasarkan hal tersebut maka kewenaganan pengawasan sektorperbankan sebagai

salah saatu sektor bidang jasa keuangan secara otomatis beralih dari Bank Indonesia

kepada OJK57.

Otoritas Jasa Keuangan adalah lembaga negar yang dibentuk berdasarkan pada

Undang-Undang No. 21 Tahun 2011 yang berfungsi menyelenggarakan sistem

pengaturan dan pengawasan yang terintegritas terhadap keseluruhan kegiatan di dalam

sektor jasa keuangan58. Secara umum dapat dikatakan bahwa Otoritas Jasa Keuangan ini

didirikan untuk menggantikan peran Bapepam-LK untuk melakukan pengawasan secara

ketat terhadap lembaga keuangan seperti perbankan, pasar modal, reksadana,

perusahaan pembiayaan, dana pensiun dan asuransi59.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan

kegiatan didalam sektor jasa keungan dapat terselenggara secara teratur, adil,

transparan, akuntabel, daan mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara

berkelanjutan dan stabil serta melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat.

Otoritas Jasa Keuangan berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan


pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan didalam sektor jasa

keuangan60.

Adapun tugas Otoritas Jasa Keuangan adalah berdasarkan pasal 6 UU 21 No. 21

Tahun2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan adalah melaksanakan pengaturan dan

pengawasan terhadap :

a. Kegiatan jasa keuangan disektor perbankan

b. Kegiatan jasa keuangan disektor pasar modal; dan

c. Kegiatan jasa keuangan disektor perasuransian, dana pensiun, lembaga

pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lainnya61

Mengenai wewenang OJK dalam hal menjalankan tugasnya tersebut dapat

dijelaskan sebagai berikut :

1. Wewenang Otoritas Jasa Keuangan dalam tugas pengaturan dan pengawasan

jasa keuangan di sektor perbankan terdiri atas:

a. Pengaturan dan pengawasan mengenai kelembagaan bank yang meliputi

1) Perizinan untuk pendirian bank, pembukaan kantor bank, anggaran

dasar rencana kerja, kepemilikan, kepengurusan dan sumber daya

manusia, merger, konsolidasi, akuisisi bank serta pencabutan izin

uasaha bank, dan


2) Kegiatan usaha bank antara lain sumber dana, penyediaan dana,

produk hibridasi, dan aktivitas dalm bidang jasa.

b. Pengaturan dan pengawasan mengenai kesehatan bank yang meliputi:

1) Likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, kualitas aset, rasio kecukupan

modal minimum, batas maksimum pemberian kredit, rasio pinjaman

terhadap simpanan, dan pencadangan bank.

2) Laporan bank yang terkait dengan kesehatan dan kinerja bank;

3) Sistem informasi debitur;

4) Pengujian kredit;

5) Standar akuntansi bank;

c. Pengaturan dan pengawasan mengenai aspek kehati-hatian bank,

meliputi :

1) Manajemen resiko;

2) Tata kelola bank;

3) Prinsip mengenal nasabah dan anti pencucin uang; dan

4) Pencegahan pembiayaan terorisme dan kejahatan perbankan; dan

5) Pemeriksaan bank.

Adapun kewenangan Otoritas jasa Keuangan dalam tugas pengawasan lembaga

bank dan non bank adalah sebagai berikut:


a. Menetapkan kebijakan operasional pengawasan terhadap kegiatan jasa

keuangan

b. Mengawasi pelaksanaan tugas pegawasan yang dilaksanakan oleh kepala

eksekutif

c. Melakukan pengawasan, pemeriksaan, penyidikan, perlindungan konsumen,

dan tindakan lain terhadap Lembaga Jasa Keuangan, pelaku dan/atau

penunjang kegiatan jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam peraturan

perundang-undangan di sektor jasa keuangan.

d. Memberikan perintah tertulis kepada Lembaga Jasa Keuangan dan/atau

pihak tertentu

e. Melakukan pennjukan pengelola statuter

f. Menetapkan penggunaan pengelola statuter

g. Menetapkan sanksi administrasi terhadap pihak yag melakukan pelanggaran

terhadap peraturan perundang-undangan disektor jasa keuangan

h. Memberikan dan/atau mencabut;

1) Izin usaha

2) Izin orang perseorangan

3) Efektifnya pernyataan pendaftaran

4) Persetujuan melakukan kegiatn usaha

5) Pengesahan

6) Persetujuan atau penetapn pembubaran


7) Penetapan lain sebagimana dimaksud dalam peraturan perundang-

undangan disektor jasa keuangan.62.

Pengaturan dan pengawasan bank diarahkan untuk mengoptimalkan fungsi

perbankan Indonesia sebagai:

1. Lembaga kepercayaan masyarakat dalam kaitannya sebagai lembaga

penghimpun dan penyaluran dana.

2. Mendorong terwujudnya sistem perbankan yang sehat, kuat dan efisien guna

menciptakan kestabilan sistem keuangan dalam rangka membantu pertumbuhan

perekonomian nasional.

Untuk mencapai tujuan tersebut pendekatan yang dilakukan dengan menerapkan:

1. Kebijakan memberikan keleluasaan berusaha (deregulasi);

2. Kebijakan prinsip kehati-hatian bank (prudential banking); dan

3. Pengawasan bank yang mendorong bank untuk melaksanakan secara konsisten

ketentuan intern yang dibuat sendiri (self regulatory banking) dalam

melaksanakan kegiatan operasionalnya dengan tetap mengacu kepada prinsip

kehati-hatian.

Pengaturan dan pengawasan bank oleh OJK meliputi wewenang sebagai berikut:

1. Kewenangan memberikan izin (right to license), yaitu kewenangan untuk

menetapkan tatacara perizinan dan pendirian suatu bank. Cakupan pemberian


izin oleh OJK meliputi pemberian izin dan pencabutan izin usaha bank,

pemberian izin pembukaan, penutupan dan pemindahan kantor bank, pemberian

persetujuan atas kepemilikan dan kepengurusan bank, pemberian izin kepada

bank untuk menjalankan kegiatan-kegiatan usaha tertentu.

2. Kewenangan untuk mengatur (right to regulate), yaitu kewenangan untuk

menetapkan ketentuan yang menyangkut aspek usaha dan kegiatan perbankan

dalam rangka menciptakan perbankan sehat yang mampu memenuhi jasa

perbankan yang diinginkan masyarakat.

3. Kewenangan untuk mengawasi (right to control), yaitu kewenangan melakukan

pengawasan bank melalui pengawasan langsung (on-site supervision) dan

pengawasan tidak langsung (off-site supervision). Pengawasan langsung dapat

berupa pemeriksaan umum dan pemeriksaan khusus,yang bertujuan untuk

mendapatkan gambaran tentang keadaan keuangan bank dan untuk memantau

tingkat kepatuhan bank terhadap peraturan yang berlaku serta untuk mengetahui

apakah terdapat praktik-praktik yang tidak sehat yang membahayakan

kelangsungan usaha bank. Pengawasan tidak langsung yaitu pengawasan melalui

alat pemantauan seperti laporan berkala yang disampaikan bank,laporan hasil

pemeriksaan dan informasi lainnya. Dalam pelaksanaannya, apabila diperlukan

OJK dapat melakukan pemeriksaan terhadap bank termasuk pihak lain yang

meliputi perusahaan induk, perusahaan anak, pihak terkait, pihak terafiliasi dan

debitur bank. OJK dapat menugasi pihak lain untuk dan atas nama OJK

melaksanakan tugas pemeriksaan.


4. Kewenangan untuk mengenakan sanksi (right to impose sanction), yaitu

kewenangan untuk menjatuhkan sanksi sesuai dengan ketentuan perundang-

undangan terhadap bank apabila suatu bank kurang atau tidak memenuhi

ketentuan. Tindakan ini mengandung unsur pembinaan agar bank beroperasi

sesuai dengan asas perbankan yang sehat63

Berdasarkan kesamaan kewenangan antara BI dan OJK sebagaimana ditentukan

di atas, merupakan kombinasi kewenangan tugas mengatur dan mengawasi antara BI

dan OJK. Oleh sebab itu, dalam rangka menjalankan tugas dan kewenangan mengatur

dan mengawasi bank sebagaimana dimaksud di atas, dilakukan kedua lembaga ini

melalui koordinasi yang terintegrasi. Jika tidak dilakukan melalui koordinasi yang

terintegrasi, niscaya sinergi pembuatan pengaturan dan pengawasan bank antara BI dan

OJK tidak akan sinkron artinya pada suatu waktu bisa menimbulkan ketidaksesuaian

substansi dalam pengaturan dan menimbulkan benturan kepentingan dalam rangka

pengawasan terhadap bank64.

Pengawasan yang dilakukan OJK ini, diwajibkan dilakukan degan kualitas tinggi

agar dapat bertindak sebagai regulator yang efesien, dipercaya oleh banyak pihak yang

berpengalaman dalam menjalankan mandatnya serta tetap menerapkan prinsip

koordinasi dengan Bank Indonesia. Otoritas pengawas jasa keuaangan membutuhkan


independensi baik di pemerintahan maupun di industri yang diawasi sehingga tujuan

Otoritas Jasa Keuangan untuk memastkan keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa

keuangan terselenggara secara teratur, adil, transparan dan akuntabel.65

Pada 22 September 2004, LPS lahir melalui Undang-Undang RI Nomor 24

Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan. LPS adalah sebuah lembaga

independen yang memiliki mandat menjamin simpanan nasabah dan turut aktif dalam

memelihara stabilitas sistem perbankan sesuai dengan kewenangannya. Pada 22

September 2005 LPS resmi beroperasi dengan modal awal Rp4 triliun yang diambil dari

APBN. Sebagai lembaga independen, LPS memiliki tugas penting dalam menjaga

kepercayaan masyarakat sesuai fungsi penjaminan yang efektif dan kredibel. Prinsip

penjaminan LPS mengacu pada Core Principle International Association of Deposit

Insurers (IADI) ke-9 tentang cakupan penjaminan yang menjadi pedoman dalam

menerapkan penjaminan yang terbatas. Prinsip tersebut menekankan, institusi penjamin

simpanan harus mampu mendefinisikan secara jelas simpanan yang akan dijamin

(insurable deposit), nilai simpanan yang dijamin, dan mampu menjamin mayoritas

nasabah yang ada di negaranya66

Adapun fungsi lembaga penjamin simpanan (LPS) ;

1. Menjamin simpanan nasabah penyimpan.

.
2. Turut aktif dalam memelihara stabilitas sistem perbankan sesuai dengan

kewenangannnya.

Tugas Lembaga Penjamin Simpanan (LPS)

1. Merumuskan dan menetapkan kebijakan pelaksanaan penjaminan simpanan.

2. Melaksanakan penjaminan simpanan.

3. Merumuskan dan menetapkan kebijakan dalam rangka turut aktif

memelihara stabilitas sistem perbankan.

4. Merumuskan, menetapkan, dan melaksanakan kebijakan penyelesaian Bank

Gagal yang tidak berdampak sistemik.

Melaksanakan penanganan Bank Gagal yang berdampak sistemik.

Wewenang Lembaga Penjamin Simpanan (LPS)

1. Menetapkan dan memungut premi penjaminan.

2. Menetapkan dan memungut kontribusi pada saat bank pertama kali menjadi

peserta.

3. Melakukan pengelolaan kekayaan dan kewajiban LPS.

4. Mendapatkan data simpanan nasabah, data kesehatan bank, laporan keuangan

bank, dan laporan hasil pemeriksaan bank sepanjang tidak melanggar

kerahasiaan bank.

5. Melakukan rekonsiliasi, verifikasi, dan/atau konfirmasi atas data tersebut pada

angka 4.

6. Menetapkan syarat, tata cara, dan ketentuan pembayaran klaim.


7. Menunjuk, menguasakan, dan/atau menugaskan pihak lain untuk bertindak bagi

kepentingan dan/atau atas nama LPS, guna melaksanakan sebagian tugas

tertentu.

8. Melakukan penyuluhan kepada bank dan masyarakat tentang penjaminan

simpanan.

9. Menjatuhkan sanksi administratif67.

Pengawasan perbankan dimulai ketika suatu bank bermasalah, yaitu melakukan

penyelesaian bank gagal yang tidak berdampak sistemik setelah LPP atau Komite

Koordinasi menyerahkan Penyelasaiannya Ke LPS; LPS melakukan penanganan Bank

Gagal yang berdampak sistemik setelah Komite Koordinasi menyerahkan penanganan

kepada LPS; ketika bank gagal harus dicabut izin usahanya oleh OJK, LPS memilki

kewenangan melakukan tindakan sebagaimana diatur dalam Pasal 43 undang- Undang

LPS (LPS mengambil alih dan menjalankan segala hak dan wewenang pemegang

saham, termasuk hak dan wewenang RUPS dalam rangka proses likuidasi. Namun,

tanggung jawab pemegang saham dalam pemenuhan kewajiban bank sesudah likuidasi

tidak beralih kepada LPS).

Bank Gagal diserahkan kepada LPS yang akan bekerja setelah terlebih dahulu

dipertimbangkan perkiraan dampak pencabutan izin usaha bank terhadap perekonomian

nasional. Dalam hal pencabutan izin usaha bank diperkiraka memiliki dampak terhadap
perekonomian nasional, tindakan penanganan yang dilakukan LPS yang didasarkan

pada Keputusan Komite Koordinasi68

Kewenaganan pengawasan bank oleh Otoritas Jasa Keuangan, bank Indonesia,

dan lembaga Penjamin Simpanan.

Bank Indonesia OJK LPS

a. Bank Indonesia a. Pengaturan dan a. Pengawasan


berwenang menetapkan
Pengawasan perbankan dimulai
ketentuan-ketentuan
mengenai ketika suatu bank
perbankan yang memuat
kelembagaan bank, bermasalah, yaitu
prinsip kehati-hatian. (Pasal

24 ayat (1) UUBI); meliputi perizinan melakukan

mendirikan bank. penyelesaian bank


b. Bank Indonesia
Konsolidasi dan gagal yang tidak
berwenang memberikan dan

mencabut izin usaha Bank; akuisisi bank. berdampak sistemik

memberikan izin setelah LPP atau


b. pengaturan dan
pembukaan, penutupan, dan
Komite Koordinasi
pemindahan kantor Bank; pengawasan bank
menyerahkan
memberikan persetujuan meliputi likuidita,
Penyelasaiannya Ke
atas kepemilikan dan
rentabilitas,
kepengurusan Bank; dan LPS; LPS melakukan
solvabilitas, standar
memberikan izin kepada penanganan Bank
Bank untuk menjalankan akuntansi bank. Gagal yang
kegiatan-kegiatan usaha
berdampak sistemik
tertentu. (Pasal 26 UUBI); c. pengaturan dan
setelah Komite
pengawasan
c. Bank Indonesia Koordinasi
mengenain aspek
mewajibkan Bank untuk
menyerahkan
menyampaikan laporan, kehati-hatian bank
penanganan kepada
keterangan dan penjelasan meliputi manajemen
LPS; ketika bank
sesuai dengan tata cara yang
resiko bank, prinsip
ditetapkan oleh Bank gagal harus dicabut
mengenal nasabah.
Indonesia. Apabila izin usahanya oleh
diperlukan Bank Indonesia
d. pemeriksaa bank. OJK, LPS memilki
hal ini juga dapat
kewenangan
diberlakukan untuk
melakukan tindakan
perusahaan induk,

perusahaan anak, pihak sebagaimana diatur

terkait dan pihak terafiliasi dalam Pasal 43


dari bank. (Pasal 28 UUBI); undang- Undang LPS

d. Bank Indonesia dapat (LPS mengambil alih

memeriksa keterangan dan dan menjalankan


data mengenai pembukuan,
segala hak dan
dokumen dan sarana fisik
wewenang pemegang
yang berkaitan dengan
saham, termasuk hak
kegiatan usahanya. Hal ini

apabila diperlukan dapat dan wewenang RUPS

dilakukan terhadap dalam rangka proses


perusahaan induk,
likuidasi.
perusahaan anak, pihak

terkait, pihak terafiliasi dan

debitur Bank. (Pasal 29

UUBI);

e. Bank Indonesia dapat

menugasi pihak lain untuk

dan atas nama Bank

Indonesia melaksanakan

pemeriksaan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 29

(Pasal 30 ayat (1) UUBI);

f. Bank Indonesia dapat

memerintahkan Bank untuk

menghentikan sementara

sebagian atau seluruh

kegiatan transaksi tertentu

apabila menurut penilaian

Bank Indonesia terhadap

suatu transaksi patut diduga

merupakan tindak pidana di

bidang perbankan(Pasal 31

ayat (1) UUBI);

g. Dalam hal keadaan suatu

Bank menurut penilaian

Bank Indonesia

membahayakan
kelangsungan usaha Bank

yang bersangkutan dan atau

membahayakan sistem

perbankan atau terjadi

kesulitan perbankan yang

membahayakan

perekonomian nasional,

Bank Indonesia dapat

melakukan tindakan

sebagaimana diatur dalam

undang-undang tentang

perbankan yang berlaku

(Pasal 33 UUBI). 69

E. Tingkat Kesehatan Bank

Penilaian tingkat kesehatan bank tidak hanya dilakukan di Indonesia, tetapi juga

dipelbagai negara lain. Tentu saja, meskipun prinsip-prinsip yang digunakan oleh Bank

Sentral atau lembaga Pengawas dan pembina Perbankan ( monetery authority) pada

pokoknya sama, cara cara dan teknik penilaian yang dipergunakan dapat saja berbeda di

setiap negara70.

Kesehatan suatu bank dapat diartikan sebagai kemampuan suatu bank untuk

melakukan kegiatn operasional perbankan secara normal dan mampu memenuhi semua
kewajibannya dengan baik dengan cara –cara yang sesuai dengan peraturan perbankan

yang berlaku. Pengertian tentang kesehatan bank diatas merupakan suatu batasan yag

sangat luas karena kesehatan bank memang mencakup kesehatan suatu bank untuk

melaksanakan seluruh kegiatan usaha perbankannya. Kegiatan tersebut meliputi :

a. Kemampuan menghimpun dana dari masyarakat, dari lembaga lain, dan

dari modal sendiri.

b. Kemampuan mengelola dana

c. Kemampuan untuk menyalurkan dana ke masyarakat

d. Kemampuan memenuhi kewajiban kepada masyarakat, karyawan,

pemilk modal, dan pihak lain

e. Pemenuhan peraturan perbankan yang berlaku71.

Oleh karena itu para pihak harus bersama-sama mengupayakan bank sehat.

Meskipun pada akhirnya yang berwenang untuk menetapkan kesehatan bank adalah

Bank Indonesia. Sebagai lembaga keuangan, bank memiliki usaha poko berupa

menghimpun dana yang (sementara) tidak dipergunakan untuk kemudian menylurkan

kembal dana tersebut ke dalam mayarakat untuk jangka waktu tertentu72.

Sesuai Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 6/23/DPNP 31 Mei 2004 kepada

semua bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional perihal

sistem penilaian tingkat kesehatan bank umum dan Peraturan Bank Indonesia Nomor

6/10/PBI/2004 tanggal 12 April 2004 tentang sistem penilaian tingkat keehatan bank

umum, bank wajb melakukan penilaian tingkat kesehatan bank secara triwulan untuk
posisi pada Maret, Juni, September dan Desember. Apabila diperlukan Bank Indonesia

meminta hasil penlaian tingkat keehatan bank tersebut secara berkala atau sewaktu-

waktu untuk posisi penilaian tersebut terutama untuk menguji ketepatan dan kecukupan

hasil analisis bank. Penilaian tingkat kesehatan bank dimaksudkan diselesaikan

selambat-lambatnya 1 (satu) bulan setelah posisi penilaian atau dalamjangka waktu

yang ditetapkan oleh pengawas bank terkait73.

Penlaian tingkat keehatan Bank mencakup penlaian terhadap faktor-faktor

CAMELS yang terdiri atas :

1. Permodalan ( Capital)

Aspek permodalan suatu bank didasarkan kepada kewajiban penyediaan

modal minimum bank. Penilaian terhadap faktor permodalan didasarkan

pada rasio modal ( Capital Adequacy Ratio) terhadap Aktiva Terimbang

Menurut Resiko ( ATMR), sedangkan penilaian terhadap kewajiiban

Penyediaan Modal Minimum ( KPMM) berdasarkan pasal 2 PBI No.

10/15/PBI/2008 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank

Umum bank ditetapkan sebagai berikut :

(a) Pemenuhan kewajiban Penyediaan modal Minimum (KPMM)

sebesar 8% diberi predikat “sehat” dengan nilai kredit 81, dan untuk

setap kenaikan 0,1% dari pemenuhan KPMM sebesar 8% nilai kredit

ditambah 1 hingga maksimal 100.

(b) Pemenuhan KPMM kurang dari 8% sampai dengan 7,9% dberi

predikat “kurang sehat” dengan nilai nkredit 65 untuk setiap


penurunan 0,1% dari pemenuhan KPMM sebesar 7,9% nilai kredit

dikurangi 1 dengan iniimal 074

2. Kualitas Aset (asset quality)

Penilaan pendekatan kuantitatif dan kualitatif faktor kualitas aset antara

lain dilakukan melalui penilaian terhaap komponen-komponen meliputi :

a) Aset produktif yang diklasifikasikan dibandingkan total aset produktif

b) debitur int kredit di luar pihak terkait dibandingkan dengan total kredit

c) Perkembangan aset produktif bermasalah (nonperforming asset)

dibandingkan aset produktif.

d) Tingkat kecukupan pembentukan penyisihan penghapusan aset

produktif (PPAP)

e) Kecukupan kebijakan dan prosedur aset produktif

f) Sistem kaji ulang (reviw) internal terhadap aset produktif

g) Dokumentasi aset produktif

h) Kinerja penanganan aset produktif bermasalah75.

Penilaian harus sesuai dengan Peraturan Bank Indonesia dengan

memperbandingkan antara aktiva produktif yang diklasifikasikan

terhadap aktiva produktif. Kemudian rasio penyisihan penghapusan

aktiva produktif terhadap aktiva produktf diklasifikasikan. Rasio ini


dapat dilihat dari berbagai neraca yang telah dilaporkan secara berkala

kepada Bank Indonesia76.

3. Manajemen (management)

Penilaian terhadap faktor manajemen antara lain dilakukan melalui

penilaian terhadap komponen-komponen meliputi:

a) Manajemen umum

b) Penerapan sistem manajemen

c) Kepatuhan bank terhadap ketentuan yang berlaku serta komitmen

kepada Bank Indonesia dan atau pihak lainnya77.

Pengembangan dan peningkatan manajemen resiko oleh perbankan

nasional sesuai dengan Peraturan Bank Indonesia (PBI) No.

5/8/PBI/2003 tentag penerapan Risiko manajemen Bank Umum

dinyatakan bahwa tidak terdapat perbedaan dan memilah antara bank

kecil dan bank besar karena budaya manajemen risiko berlaku

sebagai patokan umum78.

4. Aspek rentabilitas (earnings)

Penilaian pendekatan kuantitatif dan kualitatif faktor rentabilitas

antara lain dilakukan melalui penilaian terhadap komponen-

komponen meliputi :

a) Imbal hasil atas aset (return on assets_ROA)


b) Imbal hasil atas ekuitas (return on equity_ROE)

c) Margin bunga berih ( net interest margin_NIM)

d) Biaya operasional terhadap pendapatan operasional (BOPO)

e) Pertumbuhan laba operasional

f) Komposisi portofolioaset produktif dan diversifikasi pendapatan

g) Penerapan prinsip akuntansi dalam pengakuan pendapatan dan

biaya

h) Prospek laba operasional79.

5. Likuiditas (liquidity)

Dalam hal ini penilaian terhadap suatu bank yang dinyatakan likuid

jika bank bank yang bersangkutan mampu membayar semua

utangnya, terutama utag-utang janga pendek. Dalam hal ini yang

dimaksud dalm utang-utang jangka pendek yang ada di bank antara

lain adalah simpanan masyarakat seperti simpanan tabungan,

deposito dan giro. Dikatakan likuid apabila pada saat ditagih bank

mampu membayar, kemudian bank juga harus mampu memenuhi

semua permohonan kredit yang dibiayai80.

Adapun penilaian pendekatan kuantitatif dan kualitatif faktor

likuiditas antara lain dilakukan melalui penilaian terhadap

komponen-kompenen meliputi :

a) Aset likuid kurang dari 1 bulan dibandingkan liabilitas likuid

kurang dari 1 bulan


b) 1-month maturity mismatch ratio

c) Rasio pinjaman terhadap dana pihak ketiga (loan to deposit ratio-

LDR)

d) Proyeksi arus 3 bulan mendatang

e) Kebergantungan pada dana antarbank dan depoan inti

f) Kebijakan dan pengelolaan likuiditas (assets and liabilitie

management- ALMA)

g) Kemampuan bank untuk memperoleh akses kepada pasar uang,

pasar modal, atau sumber-sumber pendanaan lainnya.

h) Stabilitas dana pihak ketiga (DPK)81

6. Sensitivitas terhadap resiko pasar (sensitivity to market risk)

Penilaian kuantitatif dan kualitatif faktor sensitivitas terhadap resiko

pasar antara lain dilakukan melalui penilaian terhadap komponen-

komponen meliputi :

a) Modal atau cadangan yang dibentuk untuk mengatasi fluktuasi

suku bunga dibandingka degan potensi kerugian sebagai akibat

fluktuasi (adverse movement) suku bunga.

b) Modal atau cadangan yang dibentuk untuk mengatasi fluktuasi

nilai tukar dibandingkan dengan potensi kerugian sebagai akibat

fluktuasi ( adverse movement) nilai tukar.

c) Kecukupan penerapan sistem manajemen risiko pasar82.


Penilaian tingkat kesehatan bank disamping dilakukan untuk bank-bank

konvensional juga dilakukan untuk bank syariah., baik untuk bank umumsyariah

maupun perkreditan rakyat syariah. Hal ini dilakukan sesuai dengan perkembangan

metodologi penilaian kondis bank yang bersifat dinamis yang mendorong pengaturan

kembali sistem penilaian tingkat kesehatan bank berdasarkan prinsip syariah. Tujuannya

agar dapat memberikan gambaran yang lebih tepat mengenai kondisi saat ini dan

mendatang83.

Penilaian kesehatan bank untuk bank syariah dilakukan berdasarkan Peraturan

Bank Indonesia (PBI) No. 9/1/PBI/2007 tentang Sistem Penilaian Tingkat Kesehatan

Bank Umum berdasarkan prinsip syariah yang mulai berlaku 24 Januari 2007 dan

penilaian kesehatan untuk bank umum yang diatur berdasarkan Peraturan Bank

Indonesia (PBI)mNo. 6/10/PBI 2004. Bank umum syariah wajib melakukan penilaian

tingkat keehatan bank secara triwulan yang meliputi faktor-faktor :

1. Permodalan (capital)

2. Kualitas aset ( asset quality)

3. Rentabilitas ( earning)

4. Likuiditas (liquidity)

5. Sensitifitas terhadap resiko pasar ( sensitifity to market risk)

6. Manajemen (management)84.

Anda mungkin juga menyukai