Anda di halaman 1dari 5

ANALISA JURNAL

KEPERAWATAN ANAK DI RUANG PICU


RSUD DR. MOEWARDI SURAKARTA

OLEH :

RISMAWATI
070118A060

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS NGUDI WALUYO
TAHUN 2019
ANALISIS JURNAL

1. Analisis Jurnal

a. Problem (P) : Populasi dalam penelitian ini adalah pasien post operasi

general anasthesi di ruang bedah mawar RSUD dr. Abdoer Rahem. jumlah sampel 20

responden yang di bagi menjadi 2 kelompok perlakuan dan kelompok control.

b. Intervensi (I) : penelitian ini di ruang bedah mawar RSUD dr. Abdoer

Rahem, kemudian dilakukan oral hygiene dengan menggunakan Chlorhexidine 0,2 %

dengan 4 kali perlakuaan selama 2 hari. kemudian sebelum dan sesudah diberikan

intervensi dilakukan pengategorian sebagai berikut :

0 : tidak memberikan efek perubahan pada kolonisasi Staphylococcus aureus

-1 : cukup baik untuk memberikan efek perubahan pada kolonisasi Staphylococcus

aureus

-2 : baik untuk pemberian efek perubahan pada kolonisasi Staphylococcus aureus

-3 : sangat baik untuk memberikan perubahan pada kolonisasi Staphylococcus aureus

c. Comparison (C) :

1. Pemberian Chlorhexidin 0,2% dan Nacl 0,9 % bertujuan sebagai dekontaminasi

oral terhadap kolonisasi Staphylococcus aureus pada pasien.

2. Penelitian yang dilakukan Dibyo Mukti Wijaya, 2012 dengan ‘’ Pengaruh


Pemberian Chlorhexidin Sebagai Oral Hygiene Terhadap Jumlah Bakteri
Ororfaring Pada Penderita Dengan Ventilator Mekanik’’ didapatkan jumlah
bakteri orofaring sebelum perlakuan 300+0,0 dan setelah perlakuan 160+76,625
yang berarti mengalami penurunan sebesar 140+76,625 dapat disimpulkan
pengaruh pemberian chlorexidine 0,2 dapat emurunkan jumlah bakteri orofaring.
3. Pada penelitian yang dilakukan oleh Putri, Erwin Dan Jumaini dengan ‘’

Efektivitas Oral Hygiene Dengan Suction Menggunakan cairan ChlorhexidinE 0,2


% Terhadap Pencegahan Ventilator Associated Pneomonia (VAP)’’ didapat

bahwa rata-rata frekuensi nilai indicator pada tindakan oral hygiene dengan

suction menggunakan larutan chlorexidine 0,2 adalah 0,133, sedangkan untuk

kelompok tanpa menggunakan larutan chlorekxidine 0,2 adalah 2.33. hasil

didapatkan p Value <a (0,05)sehingga dapat disimpulkan ada perbedaan signfikan

sehingga penggunaan dengan cholrexidine 0,2 lebih Efektif dibandingkan tanpa

penggunaan Cholrexidine 02 %.

4. Pada penelitian yang dilakukan

5. Outcome (O) : Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan


bahwa Rondhianto, Iis dan Aridha 2015 ‘’Perbedaan Penggunaan Chlorhexsidine
0,2% Dengan Nacl 0,9% Terhadap Kolonisasi Staphylococcus Aureus Pada
Pasien Post Operasi General Anasthesi Di Ruang Mawar RSUD Dr. Abdoer
Rahem Kabupaten Situbondo’’ didapatkan sebelum dan sesudah dilakukan oral
hygiene menggunakan Chlorhexidin 0,2% perlakuan pada pre test yang memiliki
pertumbuhan bakteri +3 sebanyak 8 orang (80%) setelah 4 kali perlakuan di
dapatkan pertumbuhan bakteri +2 sebanyak 6 orang dan pre test menggunakan
Nacl 0,9% pertumbuhan bakteri +3 sebanyak 5 orang setelah di berian 4 kali
perlakuan selama 2 hari post test sebanyak 7 orang (70%). maka ada perbedaan
dimana pemberian oral Hygiene dengan menggunakan chlorhexidin 0,2 lebih
menurunkan kolonisasi Staphylococcus aureus dibandingkan dengan Nacl 0,9%.
LAMPIRAN MATERI

Pemasangan terapi cairan intravena perlu diperhatikan lokasi penusukan vena,

kondisi pasien antara lain: usia, riwayat penusukan vena dahulu, peralatan infus: tipe,

durasi pemasangan terapi infus sesuaikebutuhan pasien, hal tersebut perlu diperhatikan

untuk mencegah cedera atau nyeri yang menimbulkan pasien ketakutan yang lebih besar

ketika melakukan pemberian terapi cairan intravena. Lama pemasangan terapi cairan

intravena yang efektif berdasarkan rekomendasi dari The Infusion Nursing Standards of

Practice dapat dipertahankan selama 72 jam - 96 jam setelah pemasangan. Sedangkan

rekomendasi dari The Center of Disease Control (CDC) menganjurkan bahwa infus harus

dipindahkan setiap 72-96 jam Namun tidak semua pemasangan infus dapat bertahan

sesuai dengan waktu yang ditentukan. Hal ini disebabkan karena adanya komplikasi

utama terapi intravena diantaranya infiltrasi, flebitis, beban cairan berlebih, perdarahan,

dan infeksi (CDC,2011).

Flebitis adalah keadaan inflamasi pada vena yang terjadi akibat beberapa faktor

risiko terjadinya flebitis diantaranya: materi kanula, iritasi kimia yang berasal dari
substansi tambahan dan obat-obatan yang diberikan secara intravena (misalnya

antibiotik) dan posisi anatomis kanula.5 Belum ada angka yang pasti tentang prevalensi

flebitis mungkin disebabkan penelitian yang berkaitan dengan terapi intravena dan

publikasinya masih jarang.Contohnya angka kejadian flebitis di salah satu rumah sakit di

Jakarta didapatkan 10 % (Pujasari dan Sumawarti, 2002). Angka tersebut memang tidak

terlalu besar namun masih di atas standar yang ditetapkan oleh Intravenous Nurses

Society (INS) yaitu sebesar 5%.

Nyeri flebitis dapat ditangani dengan cara farmakologi dan non farmakologi.

Ketepatan menentukan intervensi dalam menangani flebitis dapat membantu

meminimalkan nyeri. Salah satu cara non farmakologi adalah dengan pemberian

kompres. Berdasarkan teori yang diadaptasi sebelumnya intervensi yang dianjurkan untuk

menangani flebitis menurut,Timby (2009) dan Kozier et all (2010), Perry & Potter (2010)

yaitu dengan memberikan kompres hangat dan lembab.

NaCl 0,9% merupakan cairan isotonis yang bersifat fisiologis, non toksik dan

tidak menimbulkan hipersensitivitas sehingga aman digunakan untuk tubuh dalam

kondisi apapun. NaCl 0,9% merupakan larutan isotonis aman untuk tubuh, tidak iritan,

melindungi granulasi jaringan dari kondisi kering, menjaga kelembaban sekitar luka dan

membantu luka menjalani proses penyembuhan.

Anda mungkin juga menyukai