Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN THALASEMIA BETA MAYOR

Disusun Oleh :

Ririn Andrea (20170320027)

Azzahra Dwi Sintaningrum (20170320029)

Khasan As’ari (20170320034)

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2019
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Thalasemia berasal dari kata Yunani, yaitu talassa yang berarti laut. Yang
dimaksud dengan laut tersebut ialah Laut Tengah, oleh karena penyakit ini pertama
kali dikenal di daerah sekitar Laut Tengah. Penyakit ini pertama sekali ditemukan oleh
seorang dokter di Detroit USA yang bernama Thomas B. Cooley pada tahun 1925.
Beliau menjumpai anak-anak yang menderita anemia dengan pembesaran limpa
setelah berusia satu tahun. Selanjutnya, anemia ini dinamakan anemia splenic atau
eritroblastosis atau anemia mediteranean atau anemia Cooley sesuai dengan nama
penemunya.
Penyakit thalasemia adalah penyakit kelainan sel darah merah yang mudah
pecah sehingga penderitanya membutuhkan transfusi darah untuk menutupi
kekurangan tersebut. Namun dengan transfusi darah tersebut menyebabkan tubuh
penderitanya kelebihan zat besi yang bisa menimbulkan penyakit komplikasi seperti
gagal jantung, diabetes, gangguan ginjal, osteoporosis dan sebagainya.
Apabila thalasemia tidak ditangani dengan transfusi darah akan menyebabkan
anemia kronis dan berakibat fatal. Thalasemia merupakan penyakit genetik yang
diwariskan oleh orang tua kepada keturunannya. Penyakit ini tidak menular
melainkan hanya diturunkan. (Atmakusuma dan Setyaningsih, 2014).

Proses pengobatan thalasemia membutuhkan waktu yang lama dan teratur,


oleh karena itu anak yang menderita thalasemia harus terus menjalani pengobatan
secara rutin selama berbulan-bulan serta harus mendapatkan dukungan dari orang tua
(Klassen, 2011).

Thalassemia merupakan masalah besar di negara-negara di sekitar Laut


Mediterania, Timur Tengah, India, Pakistan, Asia Tenggara, Rusia Selatan, dan Cina.
Frekuensi pembawa thalassemia alfa (α) terentang dari Afrika ke Mediterania, Timur
Tengah, Asia Timur dan Tenggara (Atmakusuma dan Setyaningsih, 2014).

Berdasarkan data World Health Organisation (WHO) pada tahun 2016). 300
hingga 500 ribu kelahiran baru penyandang thalassemia berat terjadi. Thalassemia
ditandai dengan gangguan sintesis atau penurunan produksi protein globin pada sel
darah merah menyebabkan hemoglobin menjadi abnormal atau membentuk variasi
hemoglobin selain Hb A . Mutasi yang terjadi pada gen α-globin dan gen beta globin
merupakan penyebab terbanyak terjadinya kasus thalassemia, sekaligus menjadi dua
tipe utama thalassemia yaitu α-thalassemia dan β-thalassemia (Weatherall dan Clegg,
2014).

Berdasarkan data dari Yayasan Thalasemia Indonesia, kasus thalasemia


(kelainan sel darah merah) mayor di Indonesia terus meningkat sejak lima tahun
terakhir. Pada tahun 2012 terdapat 4.896 kasus thalasemia mayor dan pada 2017 terus
meningkat menjadi 8.616 kasus. Dia menerangkan saat ini masih sedikit masyarakat
yang memahami apa itu penyakit thalasemia sehingga pencegahan satu-satunya
terhadap penyakit yang diwariskan ini, yaitu skrining, baru sedikit dilakukan oleh
masyarakat.
Menurut UNICEF memperkirakan sekitar 29,7 juta pembawa thalasemia beta
berada di India dan sekitar 10.000 bayi lahir dengan thalasemia mayor. Menurut
Kemenkes RI (2016), prevalensi carrier thalasemia di Indonesia sekitar 3-8 %. Jika di
asumsikan terdapat 5 % carrier dan angka kelahiran 23 per mil dari total populasi di
Indonesia 240 juta jiwa. Maka diperkirakan terdapat 3000 bayi penderita thalasemia
setiap tahunnya.
Berdasarkan data tersebut dan dengan memperhitungkan angka kelahiran serta
jumlah penduduk Indonesia saat ini, diperkirakan akan lahir 2500 anak thalassemia β
mayor setiap tahun (Arimbawa dan Ariawati, 2011). Berdasarkan data di Pusat
Thalassaemia, Departemen Ilmu Kesehatan Anak, FKUI-RSCM, jumlah pasien baru
terus meningkat setiap tahunnya mencapai 100 orang/tahun (Health Technology
Assesment Indonesia, 2014).
Thalassamia β mayor menunjukan klinis yang jelas yaitu anemia berat akibat
dari eritropoiesis yang tidak efektif. Gambaran klinis yang jelas ini menyebabkan
penderita thalassemia β mayor harus segera diperiksa ke pelayanan kesehatan dan
lebih cepat didiagnosis.
Penyandang thalassemia β mayor yang tergantung transfusi seumur hidup
mengalami kelebihan besi meskipun telah mendapat terapi kelasi besi untuk
mengeluarkan kelebihan besi tersebut, namun prognosisnya lebih baik bila
dibandingkan dengan yang tidak mendapat terapi kelasi besi. Selain akibat transfusi
darah rutin, meningkatnya penyerapan zat besi melalui traktus gastrointestinal juga
berdampak pada kelebihan besi. Untuk pemantauan kelebihan besi pada pasien
thalassemia β mayor dapat digunakan pemeriksaan kadar feritin serum. Kadar feritin
serum hingga saat ini merupakan cara pemeriksaan tunggal yang sederhana,
noninvasif, tersedia luas, mudah dilakukan, dan lebih ekonomis (Ismail dkk, 2013).
Transfusi darah berulang dapat memperpanjang usia harapan hidup pasien
thalassemia β mayor, tetapi juga memberikan dampak negatif terjadinya kelebihan
besi yang dapat menyebabkan berbagai kerusakan organ, salah satu target utamanya
adalah hati (Eleftheriou, 2012;- Anggororini, 2013). Kelebihan besi yang terus terjadi
akan membentuk radikal bebas yang menyebabkan kerusakan dan kematian sel hati,
kemudian melepaskan aminotransferase ke dalam darah, yang secara biologi
digambarkan dengan peningkatan aktifitas dari aminotransferase serum; alanine
aminotransferase (ALT) atau serum glutamicpyruvic transaminase (SGPT) dan
aspartat aminotransferase (AST) atau serum glutamic-oxaloacetic transaminase
(SGOT) (Asopari, 2014; Brissot, 2014).

Hockenberry & Wilson (2012), bahwa anak dengan thalasemia akan


membutuhkan dan harus menjalani tranfusi darah yang teratur untuk mempertahankan
kehidupannya, selain itu anak juga harus mengkonsumsi obat kelasi besi yang
bertujuan untuk mengurangi kelebihan zat besi akibat transfusi darah yang dilakukan
secara rutin dan dalam jangka waktu lama.

Transfusi darah dapat memberikan efek samping, dimana kelebihan zat besi
akibat transfusi pada mental dan fungsi sosial. Gangguan psikologis yang ditemukan
seperti perasaan bersalah, marah, sedih, dan tidak percaya, takut tertekan dan cemas
dapat dirasakan menetap sampai 5 tahun dan dapat kembali normal setelah beberapa
tahun (Norberg & Boman, 2013).

B. Tujuan
Tujuan dari pembuatan makalah ini yaitu :
1. Mampu menjelaskan Asuhan Keperawatan yang diberikan kepada pasien
dengan Thalasemia Beta Mayor
2. Mampu menjelaskan hasil pengkajian pada pasien dengan Thalasemia Beta
Mayor
3. Mampu menjelaskan hasil diagnosa keperawatan pada pasien dengan
Thalasemia Beta Mayor
4. Mampu menjelaskan hasil intervensi keperawatan pada pasien dengan
Thalasemia Beta Mayor

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Thalassemia merupakan kelainan genetik dimana terjadi mutasi di dalam atau
di dekat gen globin yang ditandai dengan tidak ada atau berkurangnya sintesis rantai
globin. Kecepatan sintesis (rate of synthesis) pada thalassemia atau kemampuan
produksi rantai globin mengalami perubahan kuantitatif. Hal ini dapat menimbulkan
defisiensi produksi sebagian atau menyeluruh dari rantai globin tersebut. Jenis
thalassemia yang diderita pasien akan sesuai dengan rantai globin yang terganggu
produksinya.
Thalassemia klasik terdiri dari dua kelompok: mayor dan minor.
Pengelompokan ini menggambarkan tingkat keparahan kelainan hemoglobin secara
klinis. Thalassemia mayor (disebut juga anemia Mediterania atau Cooley’s) ekuivalen
dengan thalassemia β homozigot. Thalassemia mayor dapat menyebabkan anemia
hemolitik yang berat, sehingga transfusi sangat diperlukan. Sedangkan pada
thalassemia minor (bentuk heterozigot) didapati asimtomatik atau bergejala ringan.

B. Klasifikasi Thalasemia
Secara molekuler, Thalasemia dibagi dalam dua kelompok besar, yaitu Thalasemia
alfa dan Thalasemia beta sesuai dengan kelainan berkurangnya produksi rantai-
polipeptida.
1) Thalasemia Alfa
Thalasemia ini disebabkan oleh mutasi salah satu atau seluruh globin rantai
alfa yang ada. Thalasemia alfa terdiri dari:
a. Silent Carrier State
Gangguan pada 1 rantai globin alfa. Keadaan ini tidak timbul gejala
sama sekali atau sedikit kelainan berupa sel darah merah yang tampak
lebih pucat.
b. Thalasemia Alfa Trait
Gangguan pada 2 rantai globin alfa. Penderita mengalami anemia
ringan dengan sel darah merah hipokrom dan mikrositer, dapat menjadi
carrier.

c. Hemoglobin H Disease
Gangguan pada 3 rantai globin alfa. Penderita dapat bervariasi mulai
tidak ada gejala sama sekali, hingga anemia yang berat yang disertai
dengan perbesaran limpa (splinomegali).
d. Thalasemia Alfa Mayor
Gangguan pada 4 rantai globin alfa. Thalasemia tipe ini merupakan
kondisi yang paling berbahaya pada Thalasemia tipe alfa. Kondisi ini
tidak terdapat rantai globin yang dibentuk sehingga tidak ada HbA atau
HbF yang diproduksi. Janin yang menderita alfa Thalasemia mayor
pada awal kehamilan akan mengalami anemia, membengkak karena
kelebihan cairan, perbesaran hati dan limpa. Janin ini biasanya
mengalami keguguran atau meninggal tidak lama setelah dilahirkan.
2) Thalasemia Beta
Thalasemia beta terjadi jika terdapat mutasi pada satu atau dua rantai globin
beta yang ada. Thalasemia beta terdiri dari:
a. Thalasemia Beta Trait (Minor)
Thalasemia jenis ini memiliki satu gen normal dan satu gen yang
bermutasi. Penderita mengalami anemia ringan yang ditandai dengan
sel darah merah yang mengecil (mikrositer).
b. Thalasemia Intermedia
Kondisi ini kedua gen mengalami mutasi tetapi masih bisa produksi
sedikit rantai beta globin. Penderita mengalami anemia yang
derajatnya tergantung dari derajat mutasi gen yang terjadi.
c. Thalasemia Mayor (Cooley’s Anemia)
Kondisi ini kedua gen mengalami mutasi sehingga tidak dapat
memproduksi rantai beta globin. Gejala muncul pada bayi ketika
berumur 3 bulan berupa anemia yang berat. Penderita Thalasemia
mayor tidak dapat membentuk hemoglobin yang cukup sehingga
hampir tidak ada oksigen yang dapat disalurkan ke seluruh tubuh, yang
lama kelamaan akan menyebabkan kekurangan O2, gagal jantung
kongestif, maupun kematian. Penderita Thalasemia mayor memerlukan
transfusi darah yang rutin dan perawatan medis demi kelangsungan
hidupnya.

C. Tanda dan Gelaja Thalasemia


1. Pucat dan lesu
2. Nafsu makan menurun
3. Urin lebih pekat
4. Pertumbuhan dan perkembangan terhambat
5. Kulit berwarna kekuningan
6. Pemeriksaan hati dan limpa
7. Masalah tulang, terutama pada wajah

D. Faktor yang Mempengaruhi Thalasemia


1) Genetik
Penyakit ini diturunkan melalui gen yang disebut sebagai gen alfa
globin dan gen beta globin yang terletak pada kromosom 16 dan kromosom
11. Pada manusia, kromosom selalu ditemukan berpasangan. Kelainan sebelah
gen globin disebut carrier Thalasemia. Seorang carrier Thalasemia tampak
sehat, sebab masih ada sebelah gen globin yang normal dan dapat berfungsi
dengan baik. Seorang carrier Thalasemia biasanya tidak memerlukan
pengobatan. Kelainan gen globin yang terjadi pada kedua kromosom disebut
Thalasemia mayor (homozigot). Kedua belah gen yang mengalami kelainan
berasal dari kedua orang tua yang masing-masing carrier Thalasemia. Pada
proses pembuahan, anak hanya mendapat sebelah gen globin dari ibunya dan
sebelah lagi dari ayahnya. Bila kedua orang tuanya masing-masing carrier
Thalasemia, maka pada setiap pembuahan akan terdapat beberapa
kemungkinan. Kemungkinan pertama, anak mendapatkan gen globin yang
berubah (gen Thalasemia) dari ayah dan ibunya, sehingga anak akan menderita
Thalasemia. Sedangkan bila anak hanya mendapat sebelah gen Thalasemia
dari ibu atau ayahnya, maka anak akan menjadi carrier Thalasemia.
Kemungkinan lainnya adalah anak mendapatkan gen globin normal dari kedua
orang tuanya, sehingga anak tersebut tidak menderita Thalasemia ataupun
membawa sifat Thalasemia.
2) Umur
Thalasemia mayor terjadi bila kedua orang tua carrier Thalasemia. Anak-
anak dengan Thalasemia mayor tampak normal saat lahir, tetapi akan
mengalami anemia pada usia 3 – 18 bulan. Penderita memerlukan transfusi
darah secara berkala seumur hidupnya. Apabila penderita Thalasemia mayor
tidak dirawat, maka hidup mereka biasanya hanya bertahan antara 1 – 8 tahun.
Pada Thalasemia mayor yang gejala klinisnya jelas, gejala tersebut telah
terlihat sejak anak berusia dibawah 1 tahun. Sedangkan pada Thalasemia
minor yang gejalanya ringan, biasanya datang berobat pada usia 4 – 6 tahun.

E. Pathway
F. Patofisiologi
Thalassemia dipengaruhi oleh factor genetic, kurangnya HbA dan eritropolesis serta tidak
seimbangnya alfa dan beta asam amino yangakan mempengaruhi produksi globin menjadi
berkurang sehingga akan mengakibatkan Hb berkurang dan membuat sel darah menjadi
rusak sehingga membuat eritrosit menurun serta mengakibatkan anemia . Untuk
memastikan pasien mengalami anemia maka akan dilakukan uji darah lengkap. Pada
penderita anemia berat maka akan dilakukan transfusi darah seumur hidup. Penderita
thalassemia juga akan mengakibatkan asupan nutrisi menurun sehingga akan
mengakibatkan gangguaN pada tumbuh kembang, tubuh tidak dapat menyerap vitamin
A,D,E dan K. Thalasemia juga akan mempengaruhi kerja pada lambung dan usus. Asupan
kalsium menurun yang akan mengakibatkan penipisan korteks tulang Panjang yang akan
menimbulkan resiko fraktur patologis sehingga pasien akan merasakan nyeri.

G. Penatalaksanaan
1) Transfusi Darah
Pengobatan paling umum pada penderita Thalasemia adalah transfusi
komponen sel darah merah. Transfusi bertujuan untuk menyuplai sel darah
merah sehat bagi penderita. Transfusi darah yang teratur perlu dilakukan untuk
mempertahankan hemoglobin penderita diatas 10 g/dL setiap saat. Hal ini
biasanya membutuhkan 2 – 3 unit tiap 4 – 6 minggu.21 Keadaan ini akan
mengurangi kegiatan hemopoesis yang berlebihan di dalam sum-sum tulang
dan juga mengurangi absorbsi Fe di traktus digestivus, serta dapat
mempertahankan pertumbuhan dan perkembangan penderita.
2) Splenektomi
Splenektomi perlu dilakukan untuk mengurangi kebutuhan darah.
Splenektomi harus ditunda sampai pasien berusia > 6 tahun karena tingginya
resiko infeksi yang berbahaya pasca splenektomi. Splenektomi dilakukan
dengan indikasi:
a. Limpa yang terlalu besar, sehingga membatasi gerak penderita akan
menimbulkan peningkatan tekanan intra abdominal dan memungkinkan
terjadinya ruptur.
b. Hiperplenisme ditandai dengan peningkatan kebutuhan transfusi darah
atau kebutuhan suspensi eritrosit melebihi 250 ml/kg berat badan dalam
satu tahun.
3) Medikamentosa
Pemberian iron chelating agent (desferoxamine) diberikan setelah
kadar feritin serum sudah mencapai 1000mg/l atau saturasi transferin lebih
dari 50%, atau sekitar 10 – 20 kali transfusi darah. Desferoxamine, dosis 25 –
50 mg/kg berat badan/hari subkutan melalui pompa infus dalam waktu 8 – 12
jam dengan minimal selama 5 hari berturut-turut setiap selesai transfusi darah.
a. Vitamin C 100 - 250 mg/hari selama pemberian khelasi besi, untuk
meningkatkan efek khelasi besi.
b. Asam folat 2 – 5 mg/hari untuk memenuhi kebutuhan yang meningkat.
c. Vitamin E 200 – 400 IU setiap hari sebagai antioksidan dapat
memperpanjang umur sel darah merah.

H. Diagnosa Keperawatan
1. Ketidakseimbangan Nutrisi : Kurang dari kebutuhan tubuh
Definisi :
Asupan nutrisi tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolisme
Batasan Karateristik :
 Kram abdomen
 Nyeri abdomen
 Gangguan sensasi rasa
 Berat badan 20% atau lebih dibawah rentang berat badan ideal
 Kerapuahn kapiler
 Diare
 Kehilangan rambut berlebihan
 Enggan makan
 Asupan makanan kurang dari recommended daily allowance
(RDA)
 Bising usus hiperaktif
 Kurang informasi
 Kurang minat terhadap makanan
 Tonus otot menurun
 Kesalahan informasi
 Kesalahan persepsi
 Membran mukosa pucat
 Ketidakmampuan memakan makanan
 Cepat kenyang setelah makan
 Sariawan di rongga mulut
 Kelemahan otot untuk menelan
 Penurunan berat badan dengan asupan makanan adekuat
Faktor yang berhubungan : Asupan diet kurang
Populasi berisiko
 Factor biologis
 Kesulitan ekonomi
Kondisi terkait
 Ketidakmampuan mengabsorpsi nutrient
 Ketidakmampuan mencerna makanan
 Ketidakmampuan makan
 Gangguan psikososial
Nursing Outcome
Status Gizi
 Asupan gizi meningkat
 Asupan makanan meningkat
 Asupan cairan
 Energi
 Rasio berat badan/tinggi badan
 Hidrasi
Nursing Intervention
Bantuan Peningkatan Berat Badan
1) Jika diperlukan lakukan pemeriksaan diagnostic untuk mengetahui
penyebab penurunan berat badan
2) Timbang pasien pada jam yang sama setiap hari
3) Diskusikan kemungkinan penyebab berat badan berkurang
4) Monitor mual muntah
5) Kaji penyebab mual muntah dan tangani dengan tepat
6) Berikan obat-obatan untuk meredakan mual dan nyeri sebelum makan
7) Monitor asupan kalori setiap hari
8) Monitor nilai albumin, lomfosit dan nilai elektrolit
9) Dukung peningkatan asupan kalori
10) Instruksikan cara meningkatkan asupan kalori
11) Sediakan variasi makanan yang tinggi kalori dan bernutrisi tinggi
12) Kaji makanan kesukaan pasien, baik itu kesukaan pribadi atau yang
dianjurkan budaya dan agamanya
13) Lakukan perawatan mulut sebelum makan
14) Berikan istirahat yang cukup
15) Yakinkan pasien bahwa duduk sebelum makan atau disuapi makan
16) Bantu pasien untuk makan atau suapi pasien
17) Berikan makanan sesuai dengan instruksi dokter
18) Ciptakan lingkungan yang menyanangkan dan menenangkan
19) Sajikan makanan dengan menarik
20) Diskusikan dengan pasien dan keluarga bahwa factor sosial ekonomi
mempengaruhi nutrisi yang tidak adekuat
21) Diskusikan dengan pasien dan keluarga mengenai persepsi atau factor
penghambat kemampuan atau keinginan untuk makan
22) Rujuk pada lembaga dan komunitas yang dapat membantu dan
memenuhi makanan
23) Ajarkan pasien dan keluarga merencanakan makan
24) Kenali apakah penurunan berat badan yang dialami pasien merupakan
tanda penyakit terminal(misalnya, kanker)
25) Instruksikan pasien dan keluarga mengenai targer yang realistis terkait
penyakit dan peningkatan berat badannya
26) Kaji makanan kesukaan pasien, bumbu kesukaan, apakah pasien suka
makanan yang hangat atau dingin
27) Sediakan suplemen makananjika diperlukan
28) Ciptakan suasana sosial yang tepat untuk makan
29) Ajarkan pasien dan keluarga dalam membeli makanan murah tetapi
bergizi
30) Berikan hadiah apabila pasien mengalami kenaikan berat badan
31) Gambarkan dalam grafik kenaikan berat badan pasien dan buat rencana
yang sesuai
32) Dorong kehadiran pasien dalam komunitas pendukung

2. Risiko kerusakan integritas kulit


Definisi :
Rentan mengalami kerusakan epidermis dan atau dermis, dan dapat
mengganggu kesehatan
Faktor Risiko
Eksternal :
 Agens cedera kimiawi
 Eksresi
 Kelembapan
 Hipertermia
 Hipotermia
 Lembap
 Tekanan pada tonjolan tulang
 Sekresi
Internal :
 Gangguan volume cairan
 Nutrisi tidak adekuat
 Factor psikogenik
Populasi berisiko : Usia ekstrem
Kondisi terkait
 Gangguan metabolisme
 Gangguan pigmentasi
 Gangguan sensasi
 Gangguan turgor kulit
 Pungsi arteri
 Perubahan hormonal
 Imunodefisiensi
 Gangguan sirkulasi
 Agens farmaseutika
 Terapi radiasi
 Trauma vascular
Nursing Outcome
Integritas Jaringan: Kulit & Membran Mukosa
1) Suhu kulit
2) Sensasi
3) Elastisitas
4) Hidrasi
5) Keringat
6) Tekstur
7) Ketebalan
8) Perfusi jaringan
9) Pertumbuhan rambut pada kulit
10) Integritas kulit
11) Pigmentasi abnormal
12) Lesi pada kulit
13) Lesi mukosa membran
14) Jaringan parut
15) Kanker kulit
16) Pengelupasan kulit
17) Penebalan kulit
18) Eritema
19) Wajah pucat
20) Nekrosis
21) Pengerasan (kulit)
22) Abrasi kornea
Nursing Intervention
Pengecekan Kulit
1) Periksa kulit dan selaput lendir terkait dengan adanya kemerahan,
kehangatan ekstrim, edema atau drainase
2) Amati warna, kehangatan, bengkak, pulsasi, tekstur, edema dan
ulserasi pada ekstremitas
3) Periksa kondisi luka operasi dengan tepat
4) Gunakan alat pengkajian untuk mengidentifikasi pasien yang
berisiko mengalami kerusakan kulit (misalnya, Skala Braden)
5) Monitor warna dan suhu kulit
6) Monitor kulit dan selaput lendir terhadap area perubahan warn,
memar dan shu kulit
7) Monitor kulit dan selaput lendir terhadap area perubahan
warna,memar, dan pecah
8) Monitor kulit untuk adanya ruam dan lecet
9) Monitor kulit untuk adanya kekeringan yang berlebihan dan
kelembaban
10) Monitor sumber tekanan dan gesekan
11) Monitor infeksi, terutama daerah edema
12) Periksa pakaian yang terlalu ketat
13) Dokumentasikan perubhaan membran mukosa
14) Lakukan langkah-langkah untuk mencegah kerusakan lebih lanjut
(misalnya, melapisi Kasur, menjadwalkan reposisi)
15) Ajarkan anggota keluarga/pemberi asuhan mengenai tanda-tanda
kerusakan kulit, dengan tepat

DAFTAR PUSTAKA
Artikel Penelitian, “Hubungan Kadar Feritin Serum dengan Aktivitas Enzim AST, ALT, dan
Status Gizi pada Anak Talasemia β Mayor”, Anwar Nuari, dkk. Fakultas Kedokteran,
Universitas Lampung.

UCSF Benioff Children’s Hospital Oakland “Northern California Comprehensive Thalasemia


Center”.

Scientific Journal of Informatics, Vol.2, No.1, Mei 2015, “Identifikasi Anemia Thalasemia
Betha Mayor Berdasarkan Morfologi Sel Darah Merah, Esti Suryani dkk, Universitas Sebelas
Maret.

Anda mungkin juga menyukai