Anda di halaman 1dari 33

Makalah

Kajian Kebudayaan dan Kelautan

SISTEM PONGGAWA-SAWI PADA NELAYAN


SUKU MAKASSAR

Oleh:
M. SAYFUL
P1900212010

PROGRAM STUDI ANTROPOLOGI


PASCASARJANA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2014
SISTEM PONGGAWA-SAWI PADA MASYARAKAT NELAYAN
SUKU MAKASSAR

A. PENDAHULUAN

Urgensi untuk melibatkan langsung sistem tradisional dalam pemanfaatan dan


pengelolaan sumberdaya perikanan di wilayah pesisir merupakan suatu bentuk pelibatan dan
pengalokasian kewenangan dan tanggung jawab masyarakat pesisir. Di masyarakat pesisir
sendiri, sistem tradisional telah lama dikenali dan digunakan sebagai instrumen pemanfaatan dan
pengelolaan sumberdaya pesisir dan daratan. Sistem-sistem tradisional yang terbentuk
kebanyakan dari persepakatan aturan norma hubungan sosial dan ekonomi yang demikian
berdinamika walau status atau signifikansi keberadaannya belum banyak terlegitimasi. Beberapa
sistem tradisional masih banyak yang bertahan terhadap tekanan konfigurasi sistem pengelolaan
sumberdaya perikanan, namun banyak juga yang telah hilang akibat lemahnya kedudukan
mereka. Pelajaran yang berharga kegagalan sistem pengelolaan sumberdaya pesisir yang terpusat
seperti yang banyak diterapkan oleh negara-negara berkembang juga merupakan agrumentasi
lain akan pentingnya peran aktif sistem tradisional. Diyakini bahwa penguatan peran sistem
tradisional akan mempercepat tujuan pemanfaatan sumberdaya pesisir berkelanjutan karena
muatan perencanaan lebih banyak dibentuk dan dijalankan oleh masyarakat pesisir; dan yang
lebih penting adalah terjadinya proses pemberdayaan tanggung jawab pengelolaan dan
pemanfaatan sumberdaya.
Sejumlah sistem tradisional masih dijalankan oleh masyarakat pesisir di Provinsi
Sulawesi Selatan (Ponggawa-Sawi), Provinsi Maluku (Sasi), dan Provinsi Nangaro Aceh
Darussalam (Panglima Laut) ditengah perubahan sistem sosial dan ekonomi diantara masyarakat
pesisir itu sendiri dan daerah lainnya. Tantangan untuk mengulas sistem tradisional adalah
kebanyakan tidak terdokumentasi, namun diyakini di dalam masyarakat itu sendiri, sistem-sistem
tersebut telah menjadi bagian norma hubungan sosial dan ekonomi mereka sehari-hari. Urgensi
untuk melihat peluang pelibatan langsung sistem tradisional dalam kerangka kebijakan
pembangunan perikanan nasional haruslah dimulai dengan menganalisa dinamika sistem
tradisional itu sendiri, termasuk muatan norma hubungan sosial yang memungkinkan untuk
menjadikan unsur penyelarasan di dalam Undang-Undang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Otonomi Daerah pengelolaan sumberdaya pesisir.
Sebagai suatu kriteria yang konkrit untuk membedakan dan mengklasifikasikan nelayan
dari tipe-tipe kebudayaan lainnya, kita dapat secara tentatif memandang masyarakat nelayan
sebagai telah memberi sumbangan sebesar 10% dari bahan makanan lokal. Tetapi konfigurasi
kebudayaan, yang diisi dengan emosi-emosi dan disalurkan dengan menggunakan nilai-nilai dan
sikap, jarang dikarakteristikkan hanya dengan statistik atau secara kuantitatif. Kebudayaan
nelayan erat kaitannya dengan suatu orientasi terhadap laut, suatu orientasi yang meliputi sikap
maupun pengetahuan aktual.
Para nelayan pribumi sesungguhnya telah mengumpulkan pengetahuan yang melimpah
mengenai berbagai fenomena kelautan agar dapat membuat kegiatan-kegiatan produksi mereka
efektif. Fakta-fakta mengungkapkan semacam ‘transkulturasi’ bahwa dalam kebudayaan nelayan
alat tangkap lebih mudah mengalami perubahan dibawah pengaruh yang berasal dari luar dan
dari dalam masyarakat, dan dengan cepat menyebar dalam suatu daerah yang luas. Akan tetapi,
masyarakat nelayan, karena kurang mempunyai hak istimewa, sering terpisah, terisolasi dari, dan
disisihkan oleh komunitas lainnya, bahkan dalam suatu masyarakat yang homogen, baik secara
etnis maupun secara kultural.

B. PEMBAHASAN

a. Sistem Ponggawa-Sawi

Eksplorasi Ponggawa-Sawi sebagai suatu sistem tradisional di masyarakat pesisir


Sulawesi Selatan dibentuk dalam konsep hubungan antara ponggawa dan sawi yang dikenal
sebagai hubungan patron dan client. Ponggawa adalah seorang yang mampu menyediakan
kapital (sosial dan ekonomi) bagi kelompok masyarakat dalam menjalankan suatu usaha
(biasanya berorientasi pada skala usaha penangkapan ikan); sedangkan sawi adalah sekelompok
orang yang bekerja pada ponggawa dengan memakai atribut hubungan norma sosial dan
persepakatan kerja. Hubungan ini terus berdinamika ditengah tekanan legitimasi atau
marginalisasi, namun, masih banyak yang harus dipahami terutama menyangkut hal aturan sosial
tempat masyarakatnya berpijak. Aturan sosial atau hubungan sosial yang dilandasinya lebih
banyak tentang sistem hirarki sosial, kekerabatan keluarga dan perkawinan menjadi ciri khas
sistem ponggawa-sawi. Pada banyak hubungan sosial ini lebih banyak dilandasi oleh adanya
penghormatan akan konsep budaya siri’ (malu), senasib sepenanggungan (dalam bahasa
Makassar disebut pacce) dengan orientasi kepada pengesahan prilaku sosial yang melingkupi
sistem tradisional ini tidak semuanya dapat dibenarkan.
Secara historis, Ponggawa atau punggawa dapat diartikan sebagai pemimpin bagi suatu
etnis tertentu. Karena sifatnya lokalitas, maka kekuatan hubungan sosialnya juga ikut
terpengaruh, seperti tingginya tingkat kepercayaan dan gantungan harapan oleh pengikutnya
(Sawi) kepada Ponggawanya. Hubungan ini juga timbul sedikit banyak dipengaruhi akibat
perang fisik yang terjadi di masa lalu, saat itu kelompok etnis tertentu mencari seorang yang
dapat dijadikan pemimpin di dalam hal penyediaan perlindungan. Persepsi perlindungan ini terus
berlanjut dari hal perlingan fisik menjadi perlindungan akan perolehan sumber hidup berasal dari
sumberdaya sekitarnya. Akibatnya terbentuk suatu kepatuhan norma dan hubungan mengikat
yang secara sosial terbentuk untuk kelangsungan hidup mereka. Sedangkan pengikut yang
dinormakan sebagai kepatuhan untuk memenuhi petunjuk atau perintah yang diberikan oleh
ponggwa.
Hubungan antara patron dan client dalam masyarakat Makassar tidak hanya sebatas pada
wilayah pesisir saja, tapi hubungan ini juga terdapat dalam masyarakat agrarisnya, atau dikenal
sebagai hubungan antara petani dan tengkulak (Walinono, 1974). Hubungan ini hanya semata
didasari oleh kepentingan bisnis yang dilakukan jika saat musim panen dalam bentuk perkiraan
nilai jual produknya (lebih populer dikenal sebagai sistem Ijon). Perbedaan antara sistem
ponggawa-sawi dan tengkulak-petani didasari oleh terdapat atau tidaknya norma dan hubungan
kekerabatan. Pada tengkulak-petani, seringkali tidak terdapat hubungan etnis yang mengikat; dan
kondisi petani berada dalam posisi tawar menawar kepada tengkulak akibat status kepemilikan
lahan. (Mubyarto et al, 1983).
Hubungan antara Ponggawa dan Sawi dapat dikategorikan sebagai hubungan yang tidak
seimbang atau tidak adil dalam kondisi perolehan. Hubungan kekerabatan ini lebih banyak
terjadi dengan tetap menggunakan norma sosial adalah pada tingkat lokal seperti pedesaan.
Hubungan antara superior dan sejumlah inferior didasari oleh pertukaran pelayanan (service)
yang tidak seimbang. Malah dikatakan bahwa besarnya nilai pertukaran antara Ponggawa dan
Sawi lebih banyak disandarkan oleh besarnya perhatian atau pemberian yang terjadi. Misalnya,
Sawi akan memberikan penghormatan kesepakatan norma kepada Ponggawa sesuai dengan
besarnya service yang diberikan oleh Ponggawanya. Namun demikian, terjadi hubungan de facto
antara Ponggawa dan Sawi itu sendiri akibat normanya bergeser dari pengikat hubungan sosial
ke hubungan sosial, seperti mekanisme pembayaran. Pengikat hubungan norma ini lebih banyak
ditentukan oleh fungsi atau peran Ponggawa sebagai figur utama untuk semua Sawinya,
termasuk pinjaman keuangan dan perlindungan atau kesediaan menyediakan bantuan pada saat
dibutuhkan.Karakteristik dan prilaku hubungan norma sosial Ponggawa dan Sawi juga
dipengaruhi oleh asal etnis yang pada akhirnya menentukan tingkatan hubungan Ponggawa dan
Sawi.
Untuk daerah Sulawesi Selatan, beberapa etnis mendominasi atau menerapkan tingkat
perolehan sumber hidup dengan menggunakan perangkat hubungan patron dan client, dan etnis
tersebut adalah Bugis dan Makassar, sedangkan etnis Tana Toraja lebih banyak mengaplikasikan
pada perolehan lahan daratan akibat kondisi geografis wilayahnya. Perbedaan etnis dan letak
geografis wilayah juga ikut menentukan perbedaan kondisi sosial yang dapat dipandang sebagai
tingkat variasi. Hubungan antara ponggawa dan sawi bersifat sukarela dan bisa berakhir kapan
saja. Ponggawa bisa saja meninggalkan sawinya (tidak lagi dianggap sebagai bagian hubungan)
jika dianggap tidak cukup patuh menjalankan norma yang telah disepakati. Sebaliknya, para sawi
ini akan berpindah ke ponggawa lainnya jika ponggawanya tidak cukup untuk melindunginya.
Dalam situasi demikian bisa saja diantara para sawi muncul seorang dengan derajat sosial yang
lebih tinggi dan mampu memimpin kelompoknya, dan orang ini kemudian bisa menjadi
ponggawa baru. Jika seorang sawi pindah ke Ponggawa lainnya, maka atas permufakatan antara
calon ponggawa dengan ponggawa terdahulu dapat mentrasfer sawi tersebut dengan konsesi
pembayaran utang atau nilai lainnya yang sepadan dengan kepindahan sawi.
Hal ini menunjukkan bahwa ponggawa bukan lagi semata-mata tempat tujuan untuk
mencari keamanan sumber hidup, tapi ponggawa sendiri harus memberikan perlindungan terbaik
yang dimilikinya akibat terjadinya persaingan antar ponggawa di dalam satu wilayah. Konsep
norma yang mengatur hubungan antara ponggawa dan sawi umumnya berkisar pada norma
loyalitas, merasa aman jika berada dalam kendali strata sosial tingkat atas di lingkungan dimana
mereka hidup. Pertentangan otoritas yang mengandalkan sistem kelas sosial dan sistem
kepatuhan akan norma yang ada kadang sulit diselesaikan jika keduanya berada dalam suatu
areal. Hal ini bisa terjadi jika sistem kepatuhan yang diterapkan oleh salah satunya dinilai
bertentangan dengan norma yang ada di dalam masyarakat.Lebih lanjut dikatakan, pada mulanya
banyak kelompok masyarakat dengan tingkat sosial yang tinggi mempunyai pengikut untuk
mengerjakan lahan atau melaksanakan pelayanan dalam skala lokal, misalnya menyediakan air
minum dan kayu bakar atau membantu ponggawanya dalam acara seremonial. Diantara sawi
tersebut dengan status bujang akan sukarela tinggal bersama ponggawanya sebagai pelayan tanpa
upah; mereka hanya menerima ruang penginapan, makanan dan pakaian. Seringkali, ponggawa
bahkan mencarikan pasangan hidup buat sawinya dan mempersiapkan pestanya. Pada saat
pertama kali hidup baru, maka sawi ini akan tetap berada di lingkungan rumah tangga ponggawa,
atau bertempat tinggal sekitar atau dekat rumah ponggawa. Ponggawa dengan status sosial dan
kewajiban sosialnya akan terus menyediakan bahan kebutuhan hidup, misalnya beras atau bahan
pangan lainnya kepada sawinya sampai sawi ini dapat menunjukkan tingkat loyalitas yang lebih
tinggi dengan cara pengabdian atau mencarikan sawi untuk ponggawanya yang biasanya
mempunyai sumber usaha lainnya. Bentuk hubungan inilah yang memperkuat norma kepatuhan
atau loyalitas dari sawi kepada ponggawanya; dan sebaliknya bentuk inilah yang menjadi dasar
untuk mempertahankan sawi untuk tetap bekerja kepada ponggawa. Hubungan ini tidak diatur
dalam bentuk formal, dan dapat berakhir kapan saja. Yang terpenting dalam hubungan ini adalah
tidak diinginkannya berakhir dengan kondisi konflik kepentingan yang melanggar norma yang
ada di dalam masyarakatnya.
Bentuk hubungan ini menguntungkan kedua belah pihak; ponggawa mempunyai buruh
yang dapat menjalankan usahanya dan layanan sosial lainnya; sedangkan sawi mempunyai
jaminan hidup atau sumber pendapatan di dalam hidupnya. Dengan jumlah sawi yang banyak
akan meningkatkan status sosial ponggawa demikian juga dengan kelompok etnisnya. Jika
ponggawa ingin lebih jauh meningkatkan jumlah sawi dan tingkat loyalitas, maka ponggawa
harus berperan sebagai “ponggawa yang dapat dicontoh atau dijadikan panutan” dengan cara
meningkatkan keyakinan sawinya dalam hal jaminan hidup; dan jika hal ini tidak dapat dipenuhi
atau dipertahankan, maka sawi tersebut akan dengan mudah meninggalkan ponggawa. Hal ini
bukan sesuatu yang mudah dilakukan akibat makin banyaknya jenis pilihan perolehan sumber
hidup; terjadinya persaingan antar ponggawa; dan masuknya investor luar yang seringkali
menitipkan investasinya kepada ponggawa. Ponggawa menghadapi dua pilihan; pertama
menjaga hubungan sosial dengan sawi dengan cara tidak memaksakan sawinya untuk bekerja
demi peningkatan perolehan hasil tangkapan yang seringkali sawi akan memilih ponggawa
lainnya jika ruang waktu dimungkinkan untuk lebih rendah hari atau frekwensi kerjanya. Dilain
pihak, investor luar akan meminta ponggawa untuk mengoptimalkan hasil tangkapnya atau
investor akan menarik dananya dari ponggawa yang berakibat makin kurangnya investasi; dan
pada akhirnya akan melemahkan sistem ponggawa-sawi.
Chabot (1950) dan Stein (1974) mengatakan bahwa umumnya ada dua cara untuk
mendapatkan sawi yang dilakukan dalam mekanisme tunggal. Sawi yang mengalami musibah,
misalnya kematian atau tidak mampu lagi berperan sebagai buruh akan mentrasferkan fungsinya
kepada anak-anaknya, tapi proses ini jauh dari kategori otomatis. Cara lainnya adalah dengan
membentuk hubungan patron-client baru dalam lingkungan etnisnya sendiri; dan ini terutama
terjadi pada saat pertama kali ponggawa membentuk usaha baru. Hal ini terjadi akibat kehati-
hatian ponggawa akan usaha barunya sehingga tingkat loyalitas dan kepercayaan lebih banyak
disandarkan pada anggota keluarga terdekatnya. Ada tiga faktor utama yang terjadi dalam hal ini;
yaitu tingkat status sosial, kepemilikan dan kepribadian seorang ponggawa terhadap sawinya.
Tentu saja makin tinggi tingkat sosial seseorang, maka besar peluang untuk mendapatkan sawi
atau pengikut sepanjang didukung oleh kualitas kepribadian yang diharapkan dapat dijadikan
panutan untuk seorang ponggawa yang baik dalam bentuk; inisiasi, kemauan untuk memulai
inisiatif, ketrampilan dalam kegiatan, kemampuan membangkitkan semangat pengikutnya, atau
kemampuan untuk menarik simpati pengikutnya. Kemampuan ponggawa dalam aspek
kepemimpinan merupakan modal utama akan keterikatan atau ketertarikan seorang atau
sekelompok sawi untuk percaya dan mau bekerja padanya.
Tradisi organisasi sosial masyarakat Makassar ditandai oleh adanya sistem stratifikasi
sosial yang diposisikan menurut jenjang kelahiran; dan sistem pemerintah per unit daerah dengan
terdapatnya pemimpin (Pelras 1971). Dengan menempatkan masyarakat pada kedua kondisi di
atas, maka keamanan stabilitas sosial akan dicapai. Sistem lain memungkinkan terjadinya
kompetisi antar pemimpin demikian juga kemungkinan melakukan kerjasama antara anggota
dengan strata sosial yang berbeda; atau lebih jauh dengan menjalin kerjasama dengan
meniadakan batas daerah yang terakhir ini merupakan sistem patron-client. Biasanya, seorang
patron atau ponggawa adalah seorang yang mampu (Sallatang 1983: Putra1983). Ponggawa dan
sawi diikat dalam suatu norma kewajiban dan hak yang nantinya dijabarkan dalam bentuk
kepatuhan dan pemberian perlindungan dari kemiskinan (Walinono 1979). Hubungan ponggawa-
sawi dapat dikategorikan dengan kekerabatan, keetnisan, berbasis buruh semata, sistem
kepercayaan, penghormatan, saling ketergantungan, loyal, solider, dan kewajiban antara kedua
pihak (Scott 1977). Terutama pada daerah terisolasi dari hubungan dengan daerah lain, maka
sistem ponggawa-sawi mungkin hanya satu-satunya alternatif bagi anggota masyarakat dengan
tingkat sosial rendah untuk mendapatkan atau menjamin perolehan pendapatan sehari-hari.
Terdapat fungsi dan peran yang jelas antara ponggawa dan sawi. Sebenarnya sistem
patron-client tidak hanya terdapat di Sulawesi Selatan, namun terdapat juga di daerah lain,
misalnya sistem bapak-anak buah, di Phillipines dengan amo (patron) dan tauhan (client), di
Jepang dengan Oyabun-Kobun. Karakteristik kuat dari hubungan mereka adalah eratnya
hubungan antara “bapak” dan “anak” yang dijabarkan dalam bentuk kepatuhan dan
penghormatan. Secara praktis, tidak selamanya hubungan vertikal menjadi dominan, hubungan
simetris juga memungkinkan dalam bentuk saling ketergantungan yang didasari oleh norma
kekerabatan. Norma kekerabatan akan mengarah kepada saling kerjasama menguntungkan antara
ponggawa dan sawi.
Lebih lanjut diterangkan oleh Yusran 2002 bahwa potensi atau besarnya pengaruh
ponggawa yang didasarkan oleh aturan norma di Makassar adalah; menonjolnya prilaku
kepemimpinan, kemampuan organisasi, mobilisasi, perekat kekerabatan, dan penegakan aturan
hukum dalam bentuk kesepakatan yang mengikat. Hal yang menonjol tentang pergeseran peran
investor menjadi administrator kapital terlihat pada ponggawa dari etnis Makassar, proses
negosiasi dan kepercayaan para investor lokal akan kemampuan atau kepemimpinan ponggawa
dalam melaksanakan usaha penangkapan ikan.Walaupun akhirnya terjadi pembagian kelompok
manusia, yang dicirikan oleh batas wilayah, tingkat sosial dan kedudukan dalam suatu etnis.
Norma pengelompokan manusia ini hampir tidak pernah dipermasalahkan akibat sifatnya yang
secara sukarela, dan keberlangsungan hubungan antara ponggawa dan sawi tergantung dari
kesepakatan keduanya.
Walaupun berada dalam teori kualitas sukarela, ketergantungan pada faktor ekonomi
kadangkala membatasi mereka untuk memilih; dan kadangkala sering sulit dibedakan dengan
perbudakan dalam suatu wilayah. Namun demikian, apa yang menjadi ikatan antara ponggawa
dan sawi, bukan hanya pada kemauan ponggawa memberikan perlindungan dalam kondisi
ketidakamanan dan kesulitan, tapi kesemuanya itu adalah jaminan perolehan makanan dan
pakaian yang diharapkan berkelanjutan. Ikatan norma inilah yang seringkali menyulitkan sawi
melepaskan diri dari ponggawa, apalagi jika berada dalam kondisi terlalu miskin atau terlalu
banyak utang yang dipunyai oleh sawi. Pada saat ponggawa meninggal, maka urusan hubungan
kepada sawi selanjutnya akan diturunkan kepada keluarga terdekat ponggawa. Dalam
masyarakat Bugis, kata ata seringkali dikonotasikan dengan terjadinya ikatan pinjaman dari
seorang ponggawa kepada sawi atau jenis ketergantungan hidup lainnya.
Seorang ponggawa dapat memperbesar jumlah sawinya dengan cara; menanamkan secara
bijaksana pengaruhnya diantara sawi dengan melakukan perlindungan dan meyakinkan bahwa
kesejahteraan yang diberikan lebih baik dari lainnya. Cara lainnya adalah dengan menaikkan
derajat kebanggaan dan harapan sawi untuk membawa masa depan yang lebih baik dengan
pendekatan norma sosial yang lebih menguntungkan. Kemudian sawi merasa tersanjung atau
dihormati posisinya dan mengharapkan imbalan dalam bentuk yang nyata. Strategi lainnya
adalah dengan memperbesar hubungan sosial ponggawa melalui ikatan norma perkawinan. Arti
ikatan perkawinan ini juga bisa berarti perpanjangan kepemilikan dan pengaruh dalam suatu
etnis, dengan anggapan bahwa dengan perkawinan maka derajat tingkat sosial dan kepemilikan
akses sumberdaya akan lebih meningkat. Dengan kata lain bahwa dengan perkawinan akan
mempunyai peluang yang besar untuk meningkatkan jumlah sawi atau pengikutnya.
Hubungan antara penguasa di daerah Makassar adalah juga refleksi hubungan antara
ponggawa dan sawi. Penghormatan hak dan kewajiban ditanamkan dan dipatuhi oleh yang diatur
dan yang mengatur, kemudian norma yang disepakati adalah pembuat aturan berfungsi sebagai
pelindung dan penerima aturan akan memberikan pelayanan yang dianggap seimbang dengan
perlindungan yang diberikan. Ini juga menandakan bahwa hak dan kewajiban terdapat diantara
pembuat aturan dan yang menerima aturan yang direfleksikan kedalam hubungan ponggawa-
sawi. Yang membedakan posisi keduanya adalah tidak terbentuk sebagai hubungan personal,
sehingga jika pembuat aturan (ponggawa) digantikan oleh lainnya, maka aturan norma
kesepakatan ini diteruskan oleh penggantinya. Walaupun tidak dapat dipungkiri bahwa hubungan
sosial secara personal tetap ada antara seorang ponggawa dan sawi lebih jauh walau ponggawa
tersebut telah berhenti dari fungsinya.
Norma dan kedudukan sosial seorang ponggawa pasca revolusi fisik dan kemerdekaan
pun bergeser, dari tolak ukur fisik, strata etnis (pemberani atau to warani, orang kaya atau to
sugi’, orang pintar atau to acca, dan ahli supernatural atau to panrita) menjadi lebih fokus kepada
to acca dan to warani. Pergeseran peran sosial seorang ponggawa ini didasari oleh pertimbangan
bahwa disamping pentingnya norma sosial digunakan sebagai perekat hubungan, faktor
kemampuan dan kepandaian harus menjadi pilihan bagi ponggawa dalam menghadapi
persaingan antar ponggawa dan makin tersedianya pilihan-pilihan sumber hidup bagi kelompok
sawi, seperti pekerjaan pada lahan darat.Dinamika peran sosial ponggawa pun terjadi dari fokus
pemenuhan tuntutan sosial dengan memberikan perlindungan kepada etnisnya menjadi orientasi
ekonomi. Dalam hal ini, sistem ponggawa-sawi tidak lagi dipandang sebagai perekat norma
sosial semata, tapi lebih jauh menyangkut aspek ekonomi. Hal ini ditunjukkan oleh etnis
Makassar dimana tugas utama seorang pemimpin atau ponggawa adalah mendistribusikan
sebagian besar kekayaan yang dihasilkan oleh sawinya untuk kesejahteraan bersama. Ini tidak
terlepas dari prinsip penerapan normanya yaitu pertukaran kekayaan dan pelayanan. Namun
demikian tidak berarti kontrol terhadap sumberdaya selalu diidentikkan dengan kepemilikan;
walaupun asumsi bahwa sistem ponggawa-sawi telah menjadi ciri khas kultur ekonomi bagi
masyarakat pedesaan di Makassar. Kebanyakan masyarakat di daerah pedesaan Makassar
mempunyai ketergantungan akan perolehan ekonomi pada orang berada; dan mereka yang
mempunyai tingkat ketergantungan yang tinggi ini dikenal sebagai sebutan ata yang tidak
mempunyai sama sekali harta benda dan benar-benar tergantung kepada ponggawa. Walaupun
kondisi ata ini berada dalam kategori miskin, namun berbeda dengan konsep kemiskinan yang
dikenal sekarang ini.
Kemiskinan dalam hal ini berfungsi ganda, kemiskinan akan material; tapi kepuasan
diletakkan dalam hubungan sosial dan perlindungan. Manakala sistem patron-client tidak
diletakkan pada konteks politik, tapi semata diletakkan pada karakter ekonomi, maka istilah yang
digunakan adalah sistem ponggawa-sawi. Pemahaman yang lebih mendalam adalah situasi yang
lebih kompleks dimana superior (ponggawa) mempunyai hubungan kondisi dengan inferiors
(sawi). Hubungan ini dibentuk dengan mengikat atau mengedepankan norma saling membantu
atau tolong menolong dalam mengusahakan dan memanfaatkan sumberdaya. Jadi terdapat
kaidah yang disepakati, yaitu perlakuan terhadap sumberdaya.
Untuk masyarakat pedesaan di Makassar yang didominasi oleh wilayah laut atau pesisir
menjadikan sistem ponggawa-sawi menjadi vital atau dominan. Sistem ini juga terdapat di
wilayah pertambakan yang umumnya dimiliki oleh hanya sekelompok orang (dapat
dikategorikan sebagai ponggawa darat). Kebanyakan pemilik lahan tambak ini tidak langsung
mengelola miliknya, tapi menyerahkan atau memanggil sekelompok orang terdekat untuk
mengolahnya dengan sistem bagi hasil yang disepakati. Biasanya seorang ponggawa akan
mengkontrol langsung lahan usahanya jika skala usahanya hanya bersifat sederhana atau hanya
memerlukan investasi yang tidak besar. Dengan kata lain, seorang ponggawa dengan investasi
kecil akan membentuk karakter usahanya secara spesialisasi dan hanya mempekerjakan buruh
dalam skala kecil dan dari kalangan keluarga terdekat (ini dikategorikan dalam ponggawa besar).
Jika skala usaha meningkat termasuk perolehan kapital, maka ponggawa besar ini akan
mendivesifikasikan skala usahanya dengan membentuk jenis usaha baru, misalnya ponggawa
dangkangeng (yang mengusahakan perdagangan antar pulau).
Untuk menjamin kelancaran usahanya, maka ponggawa besar akan menunjuk anggota
keluarga terdekatnya yang dianggap loyal dan telah lama bekerja pada dirinya untuk memimpin
cabang usaha baru tersebut (ini yang dikenal sebagai pembantu ponggawa). Tugas dari asisten
ponggawa ini lebih ditekankan pada koordinasi usaha dengan ponggawa besar dan menerapkan
norma hubungan dengan sawi yang baru. Hal ini penting karena segala sesuatunya diletakkan
pada pentingnya menjaga dan meneruskan norma yang disepakati yang menjadi dasar dari sistem
ponggawa-sawi. Gagal atau suksesnya misi yang diemban oleh seorang asisten ponggawa dalam
membantu ponggawa besar akan menentukan posisinya apakah dipromosikan menjadi ponggawa
kecil atau skala usaha ditutup dengan konsekwensi kedudukan asisten ponggawa menjadi sawi
biasa. Tidaklah mudah untuk menjadi asisten ponggawa besar; dibutuhkan waktu untuk menguji
dedikasi dan loyalitas. Untuk menjaga atau mempertahankan sawinya, ponggawa akan
menyusupkan nilai-nilai sosial dan ekonomi dalam bentuk perlindungan dan pemenuhan
kebutuhan hidup. Ini dicirikan dengan adanya bentuk pinjaman kepada sawi di dalam kondisi
usaha yang sulit, misalnya pada saat musim paceklik penangkapan ikan atau pembiayaan
mendadak yang harus ditanggung oleh sawi (misalnya kematian atau perkawinan). Dalam
masyarakat pesisir di Makassar, sebutan ponggawa biasanya didasarkan oleh jenis usaha
penangkapan ikan, misalnya ponggawa pakkaja (ponggawa yang mengusahakan alat tangkap).
Lebih jauh lagi, hubungan antara ponggawa dan sawi telah diintrodusir oleh masuknya
pengumpul ikan atau pedagang ikan lokal (pappalele) dalam jaringan sistem ponggawa-sawi
sehingga terjadi perluasan hubungan dari sekedar keterlibatan dua pihak saja. Mekanisme
pinjaman permodalan dari sawi kepada ponggawa dan dari pedagang pengumpul kepada
ponggawa pun turut menentukan karakter hubungan norma yang disepakati. Agak sulit
mendefinisikan antara nelayan yang tergantung kepada ponggawa sebagai nelayan independen,
akibat terdapatnya hubungan ekonomi diantara keduanya. Jika sawi semata, maka ini berarti sawi
tersebut hanya bersifat atau berperan sebagai buruh tanpa adanya kepemilikan alat tangkap;
sedangkan nelayan independen mempunyai alat produksi yang seringkali diperoleh dengan
meminjam permodalan dari ponggawa sehingga ada norma kesepakatan bahwa segala hasil
tangkapan akan diserahkan kepada ponggawa dengan menggunakan sistem kesepakatan
pembagian hasil produksi. Nilai produksi ini ditentukan oleh ponggawa yang dibayarkan oleh
nelayan independen sebagai bentuk cicilan pembayaran pinjaman. Dalam skala usaha
penangkapan ikan yang menggunakan alat produksi sederhana, maka ponggawa seringkali
bertindak dua fungsi; yaitu sebagai pemilik usaha dan ponggawa lopi (nakhoda) dan
mempekerjakan hanya beberapa sawi. Banyak sedikitnya fungsi ponggawa atau sawi dalam
mekanisme perolehan produksi akan menentukan besar kecilnya jumlah yang akan diterima.
Sebagai gambaran, ponggawa pakkaja akan menerima komisi sekitar sepuluh persen dari total
penjualan ikan. Hal berbeda yang didapatkan pada ponggawa bagang, setiap kunjungan
pedagang pengumpul atau dikenal sebagai pabilolang, memberikan setengah harga ikan
kepadanya di tempat pelelangan ikan. Dengan demikian terlihat adanya perbedaan perlakuan
pembagian hasil produksi dari satu alat tangkap ke alat tangkap lainnya akibat bervariasinya
mekanisme operasi penangkapan yang turut menentukan besaran sawi yang digunakan.
Ponggawa dapat menyediakan berbagai bantuan kepada sawi baik selama proses
perolehan produksi (ponggawa menyediakan biaya operasional, bahan makanan dan bahan
produksi lainnya). Selama sawi bekerja di laut, ponggawa menyediakan bantuan dalam bentuk
pinjaman kepada keluarga sawi dalam bentuk uang untuk membeli makanan, membayar pajak
atau pembiayaan rumah tangga. Bentuk pengembalian pinjaman ini ada dua cara yang dilakukan
sawi; yaitu dengan menghitung jumlah pinjaman yang akan dikurangi dengan besaran perolehan
bagi hasil (biasanya dilakukan dalam bentuk cicilan); dan jika sawi belum mampu mencicil
pinjamannya, maka anggota keluarga atau istri sawi akan menawarkan diri untuk mengabdi
kepada keluarga ponggawa dalam bentuk pelayanan rumah tangga. Walaupun demikian, akibat
pentingnya norma hubungan sosial dalam sistem ponggawa-sawi ini, maka jika terdapat
kegagalan pelaksanaan operasi penangkapan ikan akibat cuaca yang buruk, maka pola
pengembalian pinjaman kepada ponggawa biasanya ditunda atau pinjaman akan dihapus sama
sekali jika sawi mengalami kecelakaan laut. Inilah bentuk norma sosial yang mengikat secara
kultur sehingga dapat dipahami mengapa sawi lebih betah berada dalam kontrol seorang
ponggawa walaupun secara eksplisit terlihat ketidakseimbangan perolehan pendapatan (Sallatang
1986: Susilowati 1987). Jadi ponggawa tidak hanya berperan sebagai bank atau penjamin, tapi
lebih jauh lagi berperan sebagai orang panutan dan tempat menyandarkan harapan (Smit 1977).
Jika terdapat kerumitan mekanisme (administrasi) perolehan sumber hidup dan tidak ada lagi
tempat untuk mencari perlindungan kelangsungan hidup, maka sistem patron-client akan masuk
dan berperan secara dominan walaupun dalam berbagai kondisi dan tekanan. Dalam kondisi ini,
sawi bukan hanya berfungsi sebagai peminjam, tapi lebih jauh lagi sebagai pihak yang akan
melakukan segalanya untuk melakukan pelayanan terbaik kepada ponggawanya. Namun
demikian, jika hubungan antar keduanya hanya disandarkan pada kewajiban moral, misalnya
mekanisme statis pengembalian pinjaman, maka hal ini akan mudah terhapus hubungannya
dengan mudah dan malah akan menimbulkan potensi konflik.
Dalam posisi yang demikian, sawi tidak mempunyai alat tawar menawar dengan
ponggawa untuk melakukan negosiasi reposisi peran dalam institusi tersebut. Secara sepintas
mungkin terlihat bahwa ponggawa begitu dominan mengatur dan menentukan pola hidup sawi;
tapi kenyataan menunjukkan bahwa seorang ponggawa pun akan menghadapi kendala kwalitas
pelayanan kepada sawinya. Sawi akan berpindah kepada ponggawa lain jika pelayanan yang
diterima tidak sesuai dengan harapan dan hal ini memungkinkan akibat terdapatnya ponggawa
lain dalam suatu wilayah pesisir. Mekanisme kompetisi antar ponggawa pun terjadi sehingga
seringkali ponggawa akan memberikan pelayanan terbaik kepada sawinya dan ini ditujukan juga
untuk menunjukkan taruhan status sosial dan prestise kepada ponggawa lain. Kondisi
kesejahteraan sawi akan menentukan atau menjadi tolak ukur keberhasilan atau kegagalan
seorang ponggawa. Seorang ponggawa dapat saja menjadi bagian seorang ponggawa besar,
biasanya berperan sebagai ponggawa pengumpul (ponggawa pappalele).
Paradigma yang ada sekarang adalah pergeseran pengelolaan dan pembangunan
sumberdaya perikanan dari sistem sentralistik ke sistem desentralisasi yang didasari oleh
pertimbangan tingginya biaya administrasi dan kontrol sumberdaya perikanan, utamanya pada
karakter wilayah pesisir yang tersebar dengan pulau-pulau kecilnya seperti Indonesia. Diusulkan
bahwa pengelolaan sumberdaya pesisir yang paling efektif jika kerangka pengelolaan secara
langsung melibatkan masyarakat lokal dengan institusi tradisional mereka. Dalam sejarahnya,
setiap mekanisme pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya pesisir dan implementasinya telah
berlangsung sesuai dengan hukum adat dan hak tradisional yang dibentuk oleh masyarakat lokal
(Mantjoro 1996). Praktek hukum adat dilakukan melalui institusi tradisional, misalnya Sasi dan
Panglima Laut. Sistem tersebut diterapkan dengan menghormati norma kesepakatan yang
penegakan aturanya melalui sanksi, hukuman, pembuangan, ganti rugi dan mungkin saja
hukuman mati. Legitimasi sistem ponggawa-sawi sebagai bagian dari institusi kemasyarakatan
tidak dimaksudkan untuk mengganti keseluruhan struktur institusi tersebut, tapi memperkuat
keberadaannya melalui identifikasi dan penguatan elemennya yang dapat berperan aktif dalam
pengelolaan sumberdaya yang nantinya akan mencapai tujuan akses yang seimbang, alokasi
sumberdaya dan keuntungan. Ponggawa, sawi dan nelayan pada suatu daerah akan mematuhi
segala aturan jika mereka ikut terlibat langsung dalam perencanaan dan pengambilan keputusan
tentang kebijakan pengelolaan sumberdaya.
Legitimasi sistem tradisional adalah penting sebab mereka akan terus mengeksploitasi
sumberdaya perikanan. Jika institusi tradisional ini tidak dilegitimasi, mereka tidak mempunyai
ikatan moral dan tanggung jawab untuk mengkonservasi sumberdaya perikanan lokal, dan
mungkin mereka akan berusaha memaksimalkan produksinya untuk keuntunggan ekonomi,
apalagi dengan kondisi masih lemahnya kemampuan aparat pemerintah dalam memonitor
pelaksanaan aturan yang dibuatnya. Jika sistem tradisional ini dilegitimasi, ponggawa dengan
kharismatik kepemimpinan dan peran sosialnya yang demikian besar dapat memobilisasi nelayan
lainnya atau pengguna sumberdaya untuk dapat mematuhi aturan yang dibuat akibat terdapatnya
tanggung jawab moral padanya. Mungkin saja sistem ponggawa-sawi tidak dapat memikul
tanggung jawab tunggal jika tidak dibarengi oleh penyediaan instrumen pemerintah terutama
dalam proses adaptasi dan kerjasama dengan pengguna sumberdaya lokal lainnya.
Integrasi pengetahuan lokal akan ekologi sumberdaya pesisir kedalam kerangka
manajemen sumberdaya dimaksudkan untuk memperkuat peran masyarakat lokal dalam
pengelolaan sumberdaya. Sistem tradisional dan norma yang dianutnya masih mampu
mengawasi akses lokal sumberdaya perikanan. Ada keyakinan yang kuat bahwa sistem
ponggawa-sawi dan norma sosial kemasyarakatannya diyakini mampu mengefektifkan
pemanfaatan berkelanjutan sumberdaya perikanan, mencegah tangkap lebih, dan
mempromosikan konservasi sumberdaya. Menurut Basuki dan Nikijuluw (1996) fungsi sistem
tradisional adalah mendukung pemerintah lokal dalam pembangunan perikanan berkelanjutan
melalui legitimasinya. Sistem tradisional dapat mengawasi dan menerapkan sistem hukum adat,
koordinasi aktivitas penangkapan ikan, dan menengahi konflik yang terjadi diantara
mereka.Sistem ponggawa-sawi terbentuk dari akar budaya dan telah menjadi bagian segala
aktifitas ekonomi untuk level pedesaan, dan bahkan dikatakan oleh Sallatang (1984) telah
menjadi bagian yang tak terpisahkan dari politik ekonomi masyarakat pesisir Makassar. Seperti
dijelaskan sebelumnya bahwa norma dasar pembentukan sistem tradisional ini adalah hubungan
kekerabatan, karakter normatif dan peran.
Sebagai suatu institusi tradisional, maka hal ini tidak dapat dipisahkan dari arti
organisasi. Dari kutipan tersebut terlihat bahwa proteksi hubungan normatif dan segala
tingkah lakunya menjadi landasan prinsipil dan dijabarkan dalam bentuk peran dan pelayanan
dalam menyikapi pemanfaatan sumberdaya sekitarnya. Mattulada (1983) menggolongkan jenis
usaha pada masyarakat Makassar kedalam bidang pertanian, perdagangan dan perkapalan dan
kesemuanya ini dijalankan dengan menganut prinsip kekerabatan. Pada awalnya pembentukan
sistem tradisional ini dimaksudkan sebagai wadah perolehan sumberdaya sehingga terjadi
pengkaplingan secara semu bagi kelompok etnis tertentu. Jadi orientasi pembentukan sistem
tradisional semata untuk jaminan perolehan sumber hidup, dan orientasi ekonomi tidaklah
dikenal. Namun demikian, sejalan dengan perkembangan dan dinamika hubungan sosial
kemasyarakatan, maka tuntutan perolehan yang dianggap bernilai ekonomis tinggi tidak dapat
dihindari.
Pergeseran norma kekerabatan pun tidak luput dari dampak tersebut, apalagi telah
tersedia berbagai jenis akses. Kondisi tersebut menjadi dasar bagi ponggawa untuk memperlebar
wilayah tangkapan dan mulai memperhitungkan biaya dan pendapatan yang direfleksikan dengan
adanya sistem bagi hasil. Pergeseran norma kekerabatan ke prinsip ekonomi juga berdampak
pada struktur prioritas pemenuhan kebutuhan pangan dan hubungan sosial didalam keluarga
ponggawa. Ponggawa tidak lagi menganggap anggota keluarganya sebagai prioritas penempatan
peran dalam sistem ponggawa-sawinya, tapi indikasi keterampilan menjadi pilihan utama untuk
meminimumkan dan mengoptimalkan biaya operasional dan perolehan pendapatan. Penerapan
sistem bagi hasil pun ikut berdampak pada segala instrumen yang ikut berperan dalam proses
produksi, seperti kapal, mesin, dan alat tangkap.
Sistem ponggawa-sawi juga dapat dianggap sebagai institusi sosial yang dibutuhkan
untuk mengumpulkan aspirasi dalam memanfaatkan dan mengelola sumberdaya dan selanjutnya
mendistribusikannya kepada masyarakat sekitarnya. Dengan perlakuannya sebagai suatu institusi
sosial, maka pemanfaatan berkelanjutan dan distribusi proporsional suatu sumberdaya akan dapat
dicapai karena sebagai institusi sosial, terdapat norma sosial yang mengikat, seringkali
dihubungkan dengan perangkat hubungan sosial yang masih dianggap mempunyai nilai yang
sangat dihormati. Peran sistem ponggawa-sawi sebagai institusi sosial dapat mengkontrol dan
menentukan tindakan, prilaku dan pola hubungan antara pengguna sumberdaya (Anwar 1983).
Walaupun disadari bahwa tidaklah mudah menerapkan konsep ini karena dampaknya akan
menyebabkan terjadinya “re-diversifikasi potensi” dalam masyarakat. Karenanya disarankan
penerapannya dimulai dengan tujuan yang beragam, seperti penggunaan teknologi yang sesuai,
kebijakan harga pasar, pendidikan yang sesuai dan lainnya. Dampak lainnya adalah
kemungkinan terjadinya distribusi pendapatan yang tidak seimbang dan prinsip pemerataan
pemanfataan sumberdaya akan sulit diterapkan.
Dalam sistem ponggawa-sawi sebagai suatu institusi, biasanya menerapkan sejumlah
aturan, seperti yang dijelaskan oleh Suriamihardja dan Yusran (1997)
 Rekruitmen sawi biasanya dilakukan pada musim penangkapan;
 Membentuk kader dalam suatu kelompok
 Pinjaman dan mekanisme pengembalian pinjaman
 Komunikasi tertentu dengan kelompok sawi dalam mencapai suatu tujuan
 Distribusi pendapatan
Norma yang mengikat pada aturan tersebut meliputi;
 Pola prilaku institusi
 Pengaturan prilaku perseorangan dalam institusi dan atau masyarakat
 Pola yang mengikutsertakan kesepakatan normatif, dan memuat sanksi dan
appresiasi yang diakui menurut norma yang berlaku
Ponggawa-sawi sebagai suatu institusi sosial ekonomi tradisional, sedangkan KUD
(Koperasi Unit Desa) dan Bank dianggap sebagai institusi sosial ekonomi modern. Terlepas dari
pengelompokan tersebut, posisi sistem ponggawa-sawi dalam konfigurasi sistem perikanan
maupun dalam sistem pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya pesisir masih dianggap faktor
penghambat akibat orientasi ekonomi semata. Bahkan dalam konfigurasi kategori nelayan
tradisional atau small-scale fishers masih belum mengakomodasi sistem ponggawa-sawi.
Menurut Djalal (1997) bahwa yang disebut nelayan kecil adalah:
1. Nelayan yang memanfaatkan sumberdaya pesisir selama hidupnya
2. Nelayan yang menggunakan alat penangkapan ikan dalam skala sederhana
3. Tingkat ketergantungan hidupnya semata-mata dari wilayah pesisir
Kalau kita mendasarkan pada pengertian tersebut, maka sistem ponggawa-sawi yang
diyakini memanfaatkan sumberdaya di daerahnya, selayaknya masuk dalam kategori nelayan
kecil, walaupun strategi pemanfaatan sumberdaya perikanan berbeda dengan nelayan
kebanyakan. Dalam sejarahnya, sistem ponggawa-sawi telah lama digunakan oleh sebagian besar
masyarakat pesisir yang memanfaatkan sumberdaya perikanan, karenanya sistem tradisional ini
tidak dapat dianggap sepele. Disamping kuatnya peran sosial yang emban atau yang diperankan
oleh seorang ponggawa, pusat informasi pemanfaatan dan akses pemasaran hasil tangkapan lebih
banyak bertumpu pada seorang ponggawa. Namun demikian, untuk dapat melihat rasionalisasi
peran dan fungsi ponggawa, maka proporsi sistem ponggawa-sawi harus diletakkan pada
seberapa jauh norma dan peran sosial berdinamika yang dapat dijadikan rujukan bagi proses
partisipasi. Status ponggawa-sawi sampai saat ini terus menerus mendapatkan tekanan dari
proses perkembangan perikanan pantai, dan ketidakjelasan statusnya dalam pembangunan
perikanan dan kebijakan manajemen. Sistem tradisional ini kemudian dilemahkan posisinya
dalam konsep manajemen perikanan dalam konfigurasi hukum perikanan Indonesia No. 9/1985
dan Undang-Undang Pemerintahan Desa No. 5/1979. walau demikian, sistem tradisional ini
masih tetap digunakan oleh sebagian besar kelompok masyarakat pesisir dalam memfasilitasi
jaminan perolehan sumber hidup (Huliselan 1996; Mantjoro 1996; Nikijuluw 1996). Issue
strategis pada sistem ponggawa-sawi adalah bagaimana merobah pola pikir orientasi bisnis
menjadi pola pikir pemanfaatan sumberdaya perikanan berkelanjutan. Pada sistem ponggawa-
sawi di etnis Makassar mengenai kemungkinan sistem tradisional ini dapat berperan langsung
dalam proses pengelolaan sumberdaya pesisir. Pada etnis Makassar menunjukkan bahwa terdapat
keinginan ponggawa, yang tetap mementingkan norma hubungan kekerabatan, untuk dapat
bernegosiasi dengan sawi, dan kelompok masyarakat pesisir. Walaupun diakui bahwa struktur
hubungan didalam sistemnya tetap menggunakan mode vertikal, seperti yang terdapat pada etnis
Makassar, namun keinginan untuk menyikapi secara arif sumberdaya pesisir haruslah didukung
dengan arahan yang lebih aplikatif. Norma negosiasi yang sementara ini diterapkan oleh
ponggawa adalah adanya kesepakatan tentang target species dan strategi penangkapan ikan.
Proses tersebut tentu saja terus berdinamika, yang penting adalah adanya pesan moral dari
ponggawa untuk mengajak sawinya menyuarakan strategi penangkapan ikan. Disamping itu,
kharismatik kepempimpinan ponggawa sangat sulit digantikan dalam masyarakat nelayan
ataupun instrumen sosial lainnya.
Lain halnya dengan etnis Makassar dimana pergeseran struktur sistem ponggawa-sawi
lebih jelas terlihat. Secara historis, sistem ponggawa-sawi yang dikenal adalah sistem vertikal,
ponggawa memegang kendali pengambilan keputusan dan permodalan, sedangkan sawi semata-
mata berperan sebagai buruh yang harus melaksanakan keinginan ponggawa. Namun, dengan
terjadinya pergeseran peran sosial kemasyarakatan, termasuk tuntutan perolehan hasil produksi
yang optimal akibat terjadinya peningkatan persaingan usaha, maka ponggawa harus melakukan
modifikasi hubungan sosial dan norma kepada sawinya dalam bentuk kesepakatan dalam
pengambilan keputusan.
Dalam hal kemungkinan sistem ponggawa-sawi dapat berperan aktif dalam pengelolaan
sumberdaya perikanan, maka teori willingness-to-pay dan willingness-to-accept mungkin
mampu menyediakan alternatif. Menurut teori willingness-to-pay, ponggawa dan nelayan
lainnya bersedia menginvestasikan atau terlibat dalam korservasi ekosistem pantai (utamanya
pada jenis komoditas bernilai ekonomis tinggi), dan kemudian mereka akan mendapatkan
keuntungan. Jika mereka tidak memperdulikan kaidah konservasi, ini berarti mereka harus
menerima konsekwensi biaya akibat kerusakan ekosistem yang mungkin akan menurunkan
pendapatan mereka. Secara rasional dapat dikatakan bahwa konsep teori pertama bisa digunakan;
dengan harapan bahwa pemerintah secara kontinyu mempertahankan kepentingan nelayan kecil,
dan menyediakan alternatif perolehan pendapatan untuk ponggawa dan sawi selama periode
konservasi ekosistem.
Peran ponggawa-sawi penting dilihat dalam masyarakat pesisir terutama karena menjadi
bagian kehidupan masyarakat dan nelayan kecil begitu dominan dalam suatu daerah yang
tertutup. Ada kemungkinan institusi tradisional ponggawa-sawi dapat berperan dalam
pengelolaan sumberdaya pesisir; yaitu melalui teori kepemilikan bersama sumberdaya yang
dilandasi oleh aturan sosial dan norma kekerabatan yang telah lama digunakan. Teori ini
mengusulkan bahwa etnis tertentu atau kelompok masyarakat yang mempunyai norma dan
pengaruh sosial yang kuat diberikan kekhususan dan hak istimewa untuk mengelola sumberdaya
lokal tertentu. Dalam teori ini, peran pemerintah hanya sebagai pembina, sementara masyarakat
setempat, ponggawa dan sawi mendominasi dan mengarahkan proses pengambilan keputusan
dan perencanaan. Lembaga swadaya masyarakat dan organisasi kemasyarakatan berperan dalam
memfasilitasi atau menjembatani hubungan antara masyarakat dan pemerintah.
Potensi sistem ponggawa-sawi terletak pada pengakuan akan keberadaannya oleh
pemerintah lokal dan regional. Alokasi hak tradisional masyarakat pesisir sebenarnya telah lama
dikenal melalui Hak Ulayat. Selanjutnya dengan hak tradisional tersebut, tersirat juga makna
kepemilikan atau hak pengelolaan. Ini berarti terdapat hak eksklusif dan kepemilikan yang
dipunyai oleh sekelompok masyarakat, hak tradisional adalah suatu kelompok sosial yang
mempunyai hak untuk memanfaatkan, mengelola tingkat eksploitasi, dan pempertahankannya
dari kemungkinan tangkap lebih dalam konteks norma kesepakatan tanggung jawab.
Pada tiga etnis utama yaitu Bugis, Makassar, dan Makassar yang memanfaatkan
sumberdaya pesisir di Sulawesi Selatan, maka terdapat peluang dan kendala yang seharusnya
dicermati dan ditindak lanjuti secara hati-hati. Transformasi sistem pengelolaan sumberdaya
wilayah pesisir dan lautan di Indonesia ke daerah yang tercantum dalam Undang-Undang
No.22/1999 memuat aspirasi legitimasi kelembagaan tradisional ponggawa-sawi dalam
pengelolaan sendiri sumberdaya pesisir. Walaupun demikian, integrasi sistem ponggawa-sawi
kedalam pengelolaan sumberdaya pesisir secara lokalitas tidak menjamin keberhasilannya dalam
memecahkan segala aspek peningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir. Konsep dasar yang
diajukan adalah penerapan co-management (pengelolaan kemitraan) antara masyarakat pesisir
dan pemerintah setempat. Akibat terdapat keunikan karakteristik dari sistem tradisional ini, maka
kerangka kemitraan selayaknya berbentuk segitiga dengan asumsi bahwa antara kelompok
nelayan dan ponggawa-sawi terdapat perbedaan strategi pemanfaatan sumberdaya pesisir.
Diasumsikan bahwa terlepas dari perbedaan strategi pemanfaatan dan mekanisme perolehan
sumberdaya, maka yang sebaiknya ditetapkan adalah terdapatnya kesamaan pandang
perencanaan yang ditujukan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat, penguatan peran
kelembagaan, konsistensi dukungan pemerintah dan rasionalisasi kemampuan sumberdaya
pesisir di dalam proses pengelolaan kemitraan.
Sebagai gambaran bentuk partisipasi sistem tradisional ini adalah sebagai berikut:

Kelompok Nelayan Lokal

Co-Management

Ponggawa-Sawi Pemerintah Lokal


Gambar di atas berasumsi bahwa mekanisme pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya
adalah berbentuk co-management. Kelompok nelayan lokal dalam hal ini dapat dianggap sebagai
stakeholders (pemangku sumberdaya) yang meliputi nelayan mandiri, nelayan paruh waktu,
wanita dan anggota keluarga nelayan, bahkan organisasi lokal. Pemisahan kelompok ponggawa-
sawi dengan kelompok nelayan lokal selain diasumsikan terdapatnya perbedaan strategi
pemanfaatan sumberdaya, juga terjadinya perbedaan dalam proses pengambilan keputusan yang
merupakan faktor penentu perolahan manfaat. Selanjutnya posisi sasi berada dalam kelompok
ponggawa akibat terdapat ikatan norma moral kepatuhan dan loyalitas didalam sistemnya,
walaupun tingkat kesejahteraan sawi kurang lebih sama dengan nelayan. Meskipun tidak dapat
dipungkiri bahwa pengelompokan sawi bersama ponggawa akan mengakibatkan tekanan atau
terhambatnya ekspresi pendapat pada sawi dalam proses pengambilan keputusan akan
mekanisme dan strategi pengelolaan kemitraan. Makanya agak sulit dikatakan apakah sawi dan
ponggawa akan cocok berada dalam satu kelompok, namun penguatan peran dan fungsi norma
sosial yang ada pada mereka akan menepis kemungkinan yang menghambat. Tingkat kesamaan
dalam pengambilan keputusan menjadi sentral issue dalam kerangka kemitraan ini, tapi lebih
penting lagi adalah proses dan mekanismenya diserahkan pada mereka, dan pemerintah lokal
seharusnya terus menerus memfasilitasi aktifitas mereka.
Dalam format kemitraan pengelolaan sumberdaya pesisir yang diusulkan, terdapat dua
strategi yaitu; pendekatan komplementari dan sistematik (Bene dan Taufik 2001). Pendekatan
komplementari digunakan untuk memperoleh pengertian dan hubungan antara kelompok,
kemudian pendekatan sistematik digunakan sebagai basis untuk menganalisa interaksi didalam
kelompok dan selanjutnya melihat akibat interaksinya mungkin saja nanti akan berpengaruh pada
kerangka pengelolaan kemitraan tersebut. Dari kerangka tersebut terlihat bahwa kelompok
nelayan mendominasi dalam hal banyaknya jumlah anggota didalam suatu kelompok yang
penting didalam memobiliasi dan mengefektifkan praktek pengelolaan kemitraan yang
diusulkan. Secara implisit, hak tradisional termasuk sistem ponggawa-sawi telah dimuat dalam
Undang-Undang No.22/1999 dan menjadi dasar penerapan co-management. Walaupun demikian
apakah sistem ponggawa-sawi dilegitimasi atau tidak, konsep pengelolaan kemitraan antara
nelayan dan pemerintah lokal akan mengetengahkan persoalan hak penangkapan tradisional.
Kesemuanya ini terletak pada pemahaman yang jelas akan bagaimana format hak penangkapan
yang diberikan kepada masyarakat pesisir, dan sejauh mana tingkat kewenangan dan tanggung
jawab yang diberikan kepada mereka.
Perlunya penguatan, revitalisasi dan mengintegrasikan nelayan tradisional, mungkin juga
termasuk sistem ponggawa-sawi dalam konsep pengelolaan sumberdaya pesisir sebenarnya telah
lama diusulkan pada konferensi regional “Desentralisasi Pengelolaan Wilayah Laut” tahun 2001
di Makassar. Di konferensi tersebut dilakukan diskusi tentang perlunya peran aktif nelayan
tradisional dalam merancang, mengimplementasi dan mengawasi pelaksanaan pengelolaan
sumberdaya pesisir. Urgensi untuk melibatkan langsung sistem ponggawa-sawi sayangnya tidak
mendapatkan porsi lebih banyak dalam diskusi tersebut, sehingga kesan potensi sistem
tradisional ini tidak banyak diungkap. Marginalisasi sistem ponggawa-sawi dalam kerangka
pengelolaan sumberdaya pesisir mungkin akan menimbulkan dampak yang tidak diharapkan,
karenanya untuk meminimumkan hal tersebut, maka pilihan sistem tradisional ini harus termasuk
didalam kerangka pengelolaan. Sebagai gambaran, potensi yang dimiliki oleh ponggawa-sawi
adalah:
 Pengambilan Keputusan
 Dominasi Pemasaran Lokal
 Partisipasi Lokal
 Hubungan Penangkapan yang Saling Menguntungkan
 Bagian dari Komunitas Masyarakat Pesisir
 Kepemimpinan Lokal
Dengan norma hubungan sosial dengan sawi, bakat alami bisnis, kepemimpinan tradisional
kharismatik, maka proses dan mekanisme pengambilan keputusan akan perlakuan dan strategi
pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya pesisir akan banyak ditentukan oleh peran ponggawa.
Hal tersebut juga menyebabkan ponggawa mendominasi atau bahkan ikut menentukan rona
pemasaran hasil tangkapan, termasuk jaringan pemasaran yang lebih luas. Partisipasi ponggawa
dalam menyikapi pentingnya pelestarian ekosistem pesisir juga terlihat. Dalam prakteknya,
mungkin hanya sistem ponggawa-sawi yang membentuk suatu ikatan kerjasama dengan nelayan
dalam bentuk penyediaan umpan hidup bagi perikanan pole and line misalnya. Dengan
terbentuknya sistem persepakatan ini yang tentu saja aplikasi dari norma dari sistem ponggawa-
sawi, maka nelayan mempunyai prospek perolehan pendapatan dan investasi dalam melakukan
kegiatan usahanya.
Integrasi sistem ponggawa-sawi kedalam kerangka co-management, tahap pertama adalah
meyakinkan bahwa sistem tradisional ini adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dengan
nelayan tradisional. Menurut Pomerai (1998) Co-management adalah proses yang terdiri dari
empat tahapan, yaitu; pre-implementasi, implementasi, phase-out, dan post-implementasi. Pre-
implementasi diartikan sebagai identifikasi terhadap semua elemen atau kemungkinan yang akan
berdampak kepada co-management. Hal ini termasuk sumberdaya pesisir ke aspek sosial
ekonomi masyarakat pesisir. Fase implementasi berarti evaluasi dan revisi peran tiap kelompok
selama co-management. Phase-out berarti evaluasi hasil implementasi co-management. Post-
implementasi berarti evaluasi menyeluruh apakah co-management telah menghasilkan nilai
positif atau negatif, dan ini banyak berhubungan dengan sukses tidaknya pelaksanaan co-
management.
Secara teoritis, ponggawa dan kelompok nelayan dapat meminta pemerintah daerah untuk
merevitalisasi Ordinance 1916, Hukum Perikanan Pantai 1927 dan Ordinance 17/1985 untuk
memperkuat hak tradisional disamping Undang-Undang No.22/1999. Tradisi budaya masyarakat
Indonesia bergotong royong dapat digunakan sebagai sumber inspirasi keterlibatan ponggawa-
sawi dalam pelaksanaan co-management. Proses negosiasi, pengambilan keputusan, dan
penegakan aturan didasari oleh sistem kepatuhan (compliance system) yang semua kelompok
pemangku sumberdaya terbiasa dengan hal tersebut(. Pendekatan partisipatori sebaiknya
diterapkan di banding dengan pendekatan kolektif dalam mengakomodasi norma sistem
tradisional ini kedalam kerangka pengelolaan sumberdaya pesisir. Dengan pendekatan kolektif
maka peran pemerintah pusat demikian dominan dalam merancang sistem kepatuhan atau
normatif. Sebaliknya pendekatan partisipatori dirumuskan dalam bentuk pengakomodasian
segala strategi pemangku sumberdaya pada penetapan aturan yang didasari oleh norma dan
tradisi yang terdapat di masyarakatnya. Ini menandakan bahwa adanya legitimasi atau pengakuan
hubungan norma sosial pada penerapan sistem kepatuhan. Selanjutnya, kearifan lokal, komitmen
lokal, dan norma sosial dijadikan sebagai basis mekanisme kepatuhan untuk mencapai target
sistem pengelolaan sumberdaya pesisir.
Setelah diyakini ponggawa beserta pemangku sumberdaya pesisir lainnya bersedia terlibat
langsung dalam kerangka pengelolaan kemitraan, maka langkah selanjutnya adalah
mengidentifikasi potensi dan kendala termasuk potensi peran yang akan dijalankan. Dalam
proses negosiasi, kemampuan sumberdaya selayaknya juga menjadi perhatian, sebab seringkali
optimisme perolehan pendapatan dan rencana pemanfaatan berkelanjutan ditetapkan tanpa
melihat kemampuan suatu sumberdaya, dan bahkan dikatakan bahwa terdapat hubungan antara
prilaku pemangku sumberdaya dengan sumberdayanya sendiri. Dahuri (1998) mengatakan
bahwa analisa kemampuan suatu sumberdaya penting dilakukan bagi perencanaan dan
pengelolaan secara berkelanjutan.
Undang-Undang No.22/1999 terutama yang bekaitan dengan hak tradisional nelayan untuk
mengatur dan memanfaatkan sumberdaya pesisir memungkin direvitalisasinya nelayan termasuk
sistem tradisionalnya di Makassar. Tambahan, hubungan sosial berdinamika didalam sistem
ponggawa-sawi, nelayan, dan pemerintah daerah. Apapun motivasi untuk melibatkan langsung
sistem ponggawa-sawi pada pengelolaan sumberdaya, motifnya sebaiknya diarahkan pada aspek
positif melalui pengelolaan sumberdaya berkelanjutan dibanding jika memarjinalkan sistem
tradisional tersebut. Keterlibatan institusi ponggawa-sawi dalam kerangka co-management
mungkin menimbulkan dampak; pertama, adanya kemungkinan dominasi proses pengambilan
keputusan jika faktor penyeimbangan peran atau fungsi norma hubungan sosial tidak diperkuat
atau dijadikan landasan kemitraan. Dominasi tersebut mungkin berkisar pada pemilihan dan
penentuan prioritas issue dan strategi pelaksanaannya.
Model pengintegrasian institusi ponggawa-sawi kedalam co-management mungkin akan
menghadapi banyak kendala, seperti mekanisme formulasi pengambilan keputusan dan
implementasinya. Walaupun demikian dengan bekerja secara bersama dengan landasan norma
hubungan sosial, saling mempercayai dan konsistensi, maka pemanfaatan sumberdaya
berkelanjutan akan tercapai. Fungsi optimal dari semuanya ini adalah adanya keinginan dari
pemerintah daerah, ponggawa dan nelayan untuk bekerjasama, termasuk pertukaran pengalaman,
pengetahuan dalam pengelolaan sumberdaya pesisir berkelanjutan.
b. Obyek Hak Wilayah Pesisir, Laut dan Pulau Kecil (P3K)
Di dalam berbagai publikasi ilmiah maupun populer, seringkali disebutkan bahwa
Indonesia adalah negara yang sangat luas, dan dua pertiga dari luas keseluruhan adalah perairan.
Dengan berbekal berbagai potensi yang disebutkan,strategi pengelolaan sumberdaya di Indonesia
hampir tidak memperhatikan kendala yang ditimbulkan oleh keberadaan perairan dan pulau-
pulau kecil di seluruh wilayahnya. Tentu saja bukan kendala mahalnya investasi infrastruktur
maupun sistem transportasi yang harus disediakan pemerintah, tapi juga kendala dalam
menerapkan pengaturan penguasaan sumberdaya yang ada di dalam wilayah tersebut. Jika
sebelumnya telah disebutkan bahwa pemahaman akan fungsi dan ketersediaan sumberdaya
komunal dan para pemanfaatnya di wilayah P3K, maka bagian ini akan mencoba
mendeskripsikan komponen-komponen dari sumberdaya di wilayah P3K yang dapat menjadi
obyek hak.
Secara logika, wilayah P3K terdiri dari 2 komponen, yaitu ekosistem dan komoditi.
Ekosistem dengan fungsi yang berbeda-beda dalam wilayah ini dibagi menjadi:
1. Daerah di atas 100 meter dari titik surut ke arah darat; biasanya digunakan sebagai
pemukiman, berdirinya bangunan-bangunan fungsional lainnya seperti pelabuhan,pabrik,
tempat wisata, serta lokasi sumber air tawar.
2. Mangrove; suatu ekosistem yang merujuk pada beberapa jenis pohon yang dapat hidup di
daerah dengan tanah bersalinitas dan berair asin. Selain pemanfaatan kayu dari batang,
akar dan hasil madunya, ekosistem ini merupakan habitat berbagai jenis kerang-kerangan,
kepiting, udang, ikan-ikan kecil dan menyediakan nutrisi bagi berbagai jenis ikan yang
bernilai tinggi.
3. Muara, laguna dan teluk. Ketiganya adalah ekosistem berbentuk badan air yang di daerah
pesisir yang memiliki air dangkal dan landai. Muara biasanya merupakan pertemuan air
tawar dari sungai dan air laut. Laguna merupakan badan air yang biasanya sering
‘terpotong’ dari laut karena bentukan pasir. Teluk merupakan badan air yang menjorok
ke arah daratan sehingga biasanya digunakan untuk menyandarkan perahu, menjadi
lokasi pelabuhan. Ketiga badan air ini berperan dalam siklus kehidupan beberapa jenis
ikan dan kerang-kerangan karena sebagai media pengantar nutrisi dan bahan organik ke
laut, sebagai habitat beberapa jenis ikan, maupun menyediakan kebutuhan dari berbagai
jenis ikan migrasi.
4. Padang lamun (seagrass bed), menjadi sumber nutrisi bagi ikan-ikan konsumsi yang
bernilai penting dan beberapa jenis kerang.
5. Terumbu karang, merupakan ekosistem yang menjadi pemeran utama bagi
keanekaragaman hayati dan produktifitas laut. Ekosistem ini menjadi sumber makanan
laut bagi manusia dan penyedia makanan bagi ikan, pemecah ombak alami untuk
menghindari abrasi, serta obyek wisata menarik bagi wisatawan.
6. Pulau kecil, yang kerap dianggap sebidang tanah di atas permukaan laut sesungguhnya
merupakan ekosistem tersendiri karena kekhasan dan keterbatasannya. Ancaman yang
dihadapi pulau kecil adalah abrasi dan persediaan air tawar (terutama untuk pulau yang
berpenghuni). Fungsi pulau kecil, selain sebagai penyedia air tawar, tempat nelayan
berlindung saat badai atau ombak tinggi, juga sebagai habitat bagi berbagai jenis burung
endemik dan migrasi.. Untuk beberapa pulau kecil tertentu, bahkan menjadi persinggahan
berbagai berbagai spesies laut migrasi seperti penyu, lumba-lumba, paus.
Perlu juga dipahami ada fungsi-fungsi ruang yang tidak terbatas pada salah satu
ekosistem tertentu, seperti:
1. Daerah penangkapan ikan (fishing ground), daerah ini bisa berada di wilayah mangrove,
terumbu karang, muara, laguna, teluk, maupun laut lepas. Hal yang perlu diperhatikan
adalah juga subyek hak yang melekat pada tiap ekosistem, misalnya perempuan dan
anak-anak yang lebih sering mencari ikan, kerangkerangan maupun bibit ikan di daerah
yang dekat dengan garis pantai seperti mangrove, estuari, laguna, sampai dengan padang
lamun bahkan di wilayah tertentu di daerah terumbu karang (ukurannya adalah lokasi
tersebut dapat dijangkau dengan berjalan kaki). Selain yang alami, ada juga lokasi yang
memang sengaja dibuat misalnya dengan pemasangan rumpon (fish aggregating device)
atau terumbu karang buatan (artifical reef) yang kemudian hak penggunaannya melekat
pada individu atau kelompok yang membuatnya.
2. Daerah pemijahan ikan (spawning aggregation area), yang biasanya berada di lokasi
mangrove, padang lamun, terumbu karang, dan estuari. Mengapa daerah ini menjadi
penting, khususnya untuk perlakuan konservasi, karena menjadi daerah reproduksi jenis-
jenis ekonomis hewan laut seperti ikan, kerang-kerangan, dan berbagai jenis udang dan
kepiting.
Untuk obyek hak yang berupa komoditi, dapat sangat beragam dari mulai yang menetap
sampai dengan obyek bergerak seperti ikan pelagis. Maksud bergerak di sini adalah apabila
obyek tersebut dapat melakukan perpindahan dari satu tempat ke tempat lain dalam jarak yang
relatif jauh (migratory species seperti tuna dan berbagai ikan pelagis lainnya). Oleh karena itu
secara sederhana, terjemahan nelayan lokal terhadap fenomena ini dikenal dengan musim
(musim tongkol, musim teri, dsb). Obyek hak berupa komoditi pasti berkorelasi dengan ruang
dengan fungsi tertentu, seperti:
1. Ikan, bisa yang dikategorikan ikan karang dengan wilayah jelajah tetap atau ikan pelagis
dengan wilayah jelajah berpindah (migrasi)
2. Kerang-kerangan
3. Udang (bisa hasil tangkapan dan budidaya)
4. Produk dari mangrove (kayu, madu, kepiting, kerang, aren)
5. Garam
6. Hasil hutan dan pohon seperti kelapa, cengkeh dan pohon produktif lainnya
Subyek Hak
Subyek hak dalam sistem tenurial wilayah P3K yang merujuk pada pemanfaat
sumberdaya komunal adalah:
1. Nelayan
2. Petani budidaya hasil laut (ikan, udang)
3. Petani sawah
4. Pemanen hasil bakau
5. Pemerintah daerah dengan fasilitas publik seperti pelabuhan (kapal maupun
pendaratan ikan)
6. Pemilik perahu/kapal
7. Pengusaha wisata
8. Pemilik bangunan-bangunan fungsional lainnya (seperti pabrik, dermaga terbatas
untuk usaha komersial, dll)
9. Individu (yang mempunyai kepemilikan atas lahan di pesisir maupun pulau kecil)
Untuk mengetahui jenis hak apa saja yang melekat pada wilayah P3K berdasarkan
fungsi-fungsi ruang dan komoditi terkait dengan aspek ekonomi, social dan ekologi, maka
dibutuhkan komitmen bersama para pemanfaat sumberdaya yang bersangkutan. Oleh karena itu,
apabila hanya menggunakan panduan mengenai jenis hak yang ditetapkan dalam Undang-
Undang, maka akan banyak sekali jenis-jenis hak yang tidak dapat diatur. Padahal, kelompok
masyarakat lokal dengan berbekal pengetahuan dan pemahamannya, meskipun sederhana, telah
dapat mendefinisikan subyek hak, obyek hak maupun jenis hak sehingga juga dapat mendisain
pengaturannya bagi para pemanfaat dalam lingkup ruang yang terbatas. Jenis-jenis hak yang
melekat pada wilayah P3K, yang secara adat maupun lokal telah diatur antara lain:
- Hak mengumpulkan kerang-kerangan, ikan kecil dan bibit ikan bagi perempuan dan anak
di sepanjang garis pantai sampai dengan daerah terumbu karang sejauh dapat dijangkau
tanpa perahu.
- Hak mendapatkan ikan bagi janda yang sudah ditinggal mati suaminya yang nelayan,
apabila menyongsong nelayan yang pulang melaut baik dengan perahu maupun di pantai
pendaratan ikan.
- Hak menggunakan perahu yang sedang disandar, sepanjang tidak ada tanda bahwa perahu
tersebut akan digunakan oleh pemilik maupun orang lainnya.
- Dan lain sebagainya
Amat mengejutkan jika diperhatikan bahwa penentuan jenis-jenis hak tersebut sangatlah
spesifik, meskipun tidak menggunakan konsep dan pemikiran ilmiah yang telah beredar luas di
kalangan para pengelola wilayah P3K.
Pengaturan mencakup pembatasan waktu menangkap ikan, lokasi penangkapan, metode
tangkap, dan musim tangkap sesuai dengan siklus kehidupan jenis ikan tertentu (misalnya
diketahui pada waktu tertentu ikan tersebut memijah, sehingga daerah tangkapan ditutup
sementara). Tidak ada satupun yang membatasi jumlah ikan dari berbagai jenis untuk ditangkap.
Kuota – konsep dan alat pengontrol tunggal yang dianggap paling penting dalam pengelolaan
secara ilmiah – menjadi tidak penting karena memang tidak digunakan sebagai alat pengontrol
bagi pengelolaan yang dilakukan oleh masyarakat lokal.
Fakta dengan miskinnya panduan nasional, sementara di lain pihak pemerintah masih
bersikukuh untuk mengatur segala sesuatu yang berhubungan dengan penguasaan sumberdaya
komunal, pengaturan tenurial di wilayah P3K tidak berjalan sesuai fungsinya. Hal ini
mengakibatkan (bahkan di wilayah-wilayah yang menggunakan aturan adat – akibat intervensi
dan tekanan dari luar) penurunan fungsi-fungsi ekonomi, sosial dan ekologi yang begitu cepat.
Dapat dibayangkan, dengan luas perairan laut dan jumlah pulau-pulau kecil yang dimiliki
Indonesia, yang saat ini para pemanfaatnya lebih merujuk pada rejim open access, maka kondisi
wilayah ini sarat dengan persoalan mulai dari degradasi lingkungan, kemiskinan serta konflik
sosial dan ekonomi. Prinsip siapa cepat dan kuat, dialah yang menang betul-betul berlaku,
sehingga peran negara untuk memfasilitasi rakyatnya nyaris tidak terasa. Pemahaman yang
rendah tentang keberadaan sumberdaya komunal di wilayah ini juga mengakibatkan para
pengambil keputusan di tingkat nasional maupun pusat selain tidak dapat melahirkan kebijakan
pengaturan tenurial, juga tidak dapat membuat perencanaan pengelolaan wilayah yang
berkelanjutan. Korbannya tentu saja para pemanfaat langsung wilayah ini, yaitu nelayan dan
kelompok masyarakat lain yang tinggal di wilayah P3K. Selain itu, dengan menggunakan
keyakinan yang berbeda-beda antar individu dan kelompok atas penguasaan, seringkali konflik
yang terjadi dapat berlangsung dalam waktu sangat lama tanpa ada penyelesaian (Damayanti).
c. Etos Usaha yang Tinggi
Etos berusaha – konsep ini sinonim dengan jiwa kewirausahawan - yang tinggi banyak
dimiliki oleh orang-orang Makassar dari Sulawesi Selatan. Strategi-strategi mengkombinasi atau
silih berganti kegiatan perikanan danau, mengumpul rotan di hutan, mengolah sawah, berkebun
kopi dan coklat, usaha transportasi, perdagangan dan lain-lain. Sifat fleksibel dengan mengubah-
ubah jenis-jenis tanaman perkebunan dan memilih komoditi, dan fleksibel mengubah-ubah
komposisi kelompok usaha kerjasama dalam unit-unit keluarga, persepupuan, kampung, yang
pada situasi lain kembali lagi ke usaha-usaha individual, kemampuan mengelola informasi dan
menyusun jaringan-jaringan, merupakan perwujudan dari etos berusaha yang tinggi. Kemauan
setiap orang untuk selalu mencari peluang, menemukan strategi berusaha dengan prinsip mau
mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya dan maksimisasi keuntungan bisa membawa dampak
pada kemerosotan sumberdaya dan kerusakan lingkungan.
Perikanan dan transportasi laut, merupakan salah satu sektor kehidupan ekonomi yang
ditunjukkan contoh-contoh akan etos keusahawan orang Makassar dari Sulawesi Selatan.
Sebelum mengambarkan prilaku ekonomi dan menunjukkan ungkapan-ungkapan nelayan dan
pengusaha Makassar terlebih dahulu ditunjukkan contoh-contoh kasus tentang keberhasilan
sebagian besar dari keluarga nelayan Makassar. Beberapa daerah pesisir dan pulau-pulau
menyajikan contoh-contoh kasus seperti ini adalah perlu karena sekaligus merupakan koreksi
terhadap pernyataan-pernyataan umum yang seolah-olah menganggap penduduk desa-desa nelayan
pada umumnya adalah miskin.
Di Sulawesi Selatan dan tempat-tempat lainya dimana terdapat desa dan kampung-
kampung nelayan Makassar, dalam kondisi miskin sementara itu juga dijumpai adanya sedikit-
banyak keluarga-keluarga nelayan dalam kondisi ekonomi sedang kalau bukan termasuk kaya
menurut penilaian masyarakat setempat. Kondisi fisik rumah, pemilikan alat-alat produksi dan
sarana transportasi, status-status sosial seperti haji, pendapatan rumah tangga, dan lain-lain dapat
dijadikan sebagai indikator penilaian.
Berbagai ungkapan yang menunjukan mengakarnya etos keusahawan sebagai motifasi
dan pedoman dalam pengelolaan usaha-usaha perikanan laut orang Makassar. Ungkapan-
ungkapan yang biasa didengar dari nelayan, antara lain seperti berikut:
“ Jika mau mengusahakan pertanian/kebun, jangan mengolah tanah pekarangan, tetapi
cari lahan yang luas, jika mau mencari ikan, jangan tangkap ikan dianak sungai tetapi
usahakanlah di laut luas”.

“ Jika mau cepat usahanya berhasil, janganlah menangkap ikan-ikan pantai yang kecil-
kecil, tetapi pergilah ke laut dalam memancing tongkol“.

“ Meskipun dekat pantai banyak kerang laut yang enak dimakan dan laku untuk dijual,
tetapi kami lebih suka mencari ikan-ikan di tempat yang lebih jauh meskipun belum
tentu ada hasilnya, namun ada harapan mendapatkan yang jauh lebih besar”.

“Kami ini adalah nelayan dan pengusaha, jadi kami bukan menangkap ikan semata
untuk makan, bikin rumah, dan pakaian, melainkan yang lebih penting lagi adalah
meningkatkan kemajuan usaha, naik haji, dan lain-lain”.

“ Tidak ada orang yang mau begitu-begitu saja nasibnya, melainkan selalu mau
meningkat, suatu waktu penghasilan sebulan bisa setingkat dengan gaji bulanan
seorang Sersan, maka usaha selanjutnya ialah meningkatkan pendapatan hingga sama
dengan gaji seorang mayor, kalau bisa mencapai pendapatan setingkat gaji bulanan
seorang Jenderal”.

“Kami selalu mencari dan mengusahakan bentuk perikanan yang lebih banyak hasilnya,
tidak seperti orang-orang Bajo yang dahulu sampai sekarang hanya mancing dan
mencari teripang”.

“ Laut dan isinya adalah rahmat Tuhan yang diperuntukan bagi manusia, bagi orang
Islam, namun rahmat itu tidak akan berarti apa-apa jika tidak diusahakan dengan
cermat dan kerja keras”.

Contoh-contoh kasus, gambaran dan ungkapan yang dikutip di atas adalah cukup
dijadikan bukti akan tingginya etos keusahawanan pengusaha/ponggawa dan nelayan Makassar,
yang dapat dianggap sebagai potensi bagi pengembangan menejemen perikanan lokal yang akan
datang.
Seperti diketahui bahwa bentuk perikanan laut di dunia pada umunya adalah perikanan
tangkap (Catch Fishery) dengan pola berburu (hunting) binatang liar dilaut. Secanggih-
canggihnya teknologi perikanan laut, ini akan hanya sebatas teknologi tangkap,perahu/kapal,
mesin/motor, monitoring kondisi dan prilaku sumberdaya, musim dan kondisi cuaca, teknik-
tehnik pengawetan dan pengolahan, dan lain-lain. Sebaliknya inovasi budidaya masih sangat
sedikit dipraktekan, dan baru terbatas pada perikanan tambak, budidaya kepiting ditambak,
budidaya rumput laut, penetasan telur ikan atau udang (hatchery). Sedangkan budidaya kerang,
penyu, ikan kerapu dan lain-lainnya di laut, sampai sekarang masih merupakan percobaan-
percobaan oleh kalangan sarjana dan mahasiswa perikanan dari suatu universitas, atau akademi
perikanan. Karena perkiraan sulitnya mengatasi faktor-faktor alam dan besarnya biaya untuk
percobaan-percobaan di laut, maka sebagian besar sarjana perikanan menganggap rencana
program-program budidaya laut sebagai mimpi belaka. Hal menarik ialah bahwa meskipun
temuan/inovasi di bidang teknologi budidaya laut masih sangat sedikit, namun ternyata sudah
ada tiga keluarga nelayan dari Pulau Sembilan (Sinjai) yang mencoba budidaya teripang dan
lobter di laut. Ide mencoba budidaya udang tersebut berawal dari pemasangan keramba-keramba
penampungan ikan kerapu dan lobster hidup di kambuno (pusat kelurahan di Pulau Sembilan)
milik pengusaha-pengusaha dari Makassar dan Kalimantan. Tehnik yang dipraktekan oleh
seorang nelayan RM (42 tahun) adalah sederhana saja. Dia membuat keramba ukuran 6x5 M,
lalu dia bersama anak buahnya menyelam menangkap lobster, lalu memisahkan yang bunting
dari yang tidak bunting. Lobster yang bunting dimasukkan dalam keramba budidaya, sedangkan
yang tidak bunting dijual kepada ponggawa/ pengusaha ikan dan lobster hidup. Lama-kelamaan,
lobster bunting menetas, dengan pemberian pakan (berupa ikan-ikan kering yang dicincang),
maka bibit-bibit lobster menjadi besar. Persoalan yang dihadapi RM ialah karena di antara 5-6
ratus ekor bibit, hanya sekitar 100-150 ekor yang bisa besar dan dipanen. Berkat usaha budidaya
yang sudah berlangsung kurang-lebih 5 tahun, maka kebutuhan-kebutuhan pokok keluarga RM
dapat terpenuhi. Bahkan keluarga nelayan tersebut sudah mampu mengganti rumah tua yang
kecil dengan rumah besar dari bahan bangunan yang berkualitas, membeli perabot rumah tangga
yang lebih baik, mengganti perahu tuanya, dan membeli mesin baru.
Seperti halnya RM, dua keluarga pembudidaya teripang masing-masing HS (60 tahun)
dan NR(63 tahun) juga berhasil membesarkan teripang dalam pagar yang dikonstruksi sendiri
dengan pemberian pakan berupa tahi-tahi ayam dan lain-lain. Hambatan utama yang dialami
kedua keluarga nelayan tersebut ialah masalah pengawasan teripang dari ancaman pencuarian.
Menurutnya, sudah dua kali mereka mengalami kerugian karena pencurian. Hingga sekarang ,
tinggal RM dan NR yang masih meneruskan usaha budidayanya, sedangkan HS
mengintensipkan kegiatannya pada usaha perdagangan hasil-hasil laut. Menurut NR, bahwa
daripada hanya memburu ikan-ikan di laut yang banyak membutuhkan tenaga, modal dan biaya,
lebih baik memelihara kemudian memanen (budidaya).
Percobaan/praktek-praktek yang dilakukan oleh pembudidaya lobster dan teripang dari
Pulau Sembilan dan budidaya rumput laut di Pulau Tana Keke Takalar sebetulnya bisa
dikembangkan dan disosialisasikan kepada keluarga-keluarga nelayan lainnya dengan memberikan
sumbangan pemikiran dan tehnik dari ahli-ahli perikanan (Munsi 2000).

C. PENUTUP
Pelaksanaan pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya alam, termasuk perikanan telah
lama ada di dalam masyarakat pesisir dan dalam menghadapi dinamika hubungan sosial
ekonomi, sistem tradisional masih terus berlanjut hingga kini. Muatan norma sosial lebih banyak
ditekankan pada harmonisasi hubungan antara adat dan agama; seperti sistem Subak yang
menekankan pentingnya hubungan antara manusia dengan penciptanya, hubungan antara
manusia dan lingkungannya, dan hubungan antara sesama manusia yang dikenal sebagai Tri Hita
Karana. Terakomodasinya peran pemerintah lokal (desa) dalam pengelolaan sumberdaya pesisir
merupakan suatu bukti legitimasi sistem tradisional agar dapat berperan aktif. Disadari bahwa
tidak semua sistem tradisional layak diikut sertakan dalam kerangka pengelolaan sumberdaya
alam, karenanya analisa dinamika sistem tradisional itu sendiri perlu dilakukan untuk melihat
atau mereposisikan peran yang akan diemban oleh institusi tradisional tersebut. Melihat kondisi
dan dinamika sistem tradisional yang ada di Makassar, ada kecendrungan dibentuknya
pengelolaan sumberdaya berbasis kemitraan atau lebih dikenal sebagai co-management yang
diyakini lebih signifikan dibandingkan pengelolaan yang hanya melibatkan satu unsur saja.
Legitimasi aturan adat termasuk aspek pembinaannya merupakan unsur mutlak dalam upaya
melestarikan sumberdaya pesisir dan peluang peningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir.
Peluang sistem tradisional untuk dapat berimprovisasi di wilayah pesisir hendaknya juga
dilihat dari perangkat yang disediakan oleh pemerintah; dalam hal ini pemerintah lokal.
Kewenangan 3 mil selama kurun waktu 32 tahun Orde Baru dengan penambahan 1 mil terasa
kurang memadai apalagi jika dihubungkan dengan pertumbuhan nelayan kecil selama waktu
tersebut dengan penambahan hanya sekitar 1 mil saja.
DAFTAR PUSTAKA

Anwar, H. 1983. The Roles of Institutions in the Utilization of Local Resources. Lontara, No.
8: 1-15

Béné, C, dan A. Tewfik, 2001. Fishing Effort Allocation and Fishermen’s Decision-Making
Process in a Multi-Species Small-Scale Fishery: Analysis of the Conch and Lobster
fishery in Turk and Caicos Islands. Human Ecology, Vol. 29, 2001: 157 – 186.

Chabot (1950)

Dahuri, R. J. Rais, S. P. Ginting, dan M.J. Sitepu. 1987. Integrated Management of Coastal and
Ocean Resources. Jakarta, Indonesia. Pradnya Paramita Press. 269pp
Damayanti, Ery, Ht hp: // www. Huma.or.id

Djalal, H. 1997. Perkembangan Hukum Nasional dalam Hubungannya dengan Hukum Laut
Internasional. Paper Presented at Seminar at Indonesian Law Student Assosiation.
Fakultas Hukum, Universitas Hasanuddin Ujung Pandang, Indonesia. 12pp. Djalal, H.
1997. Perkembangan Hukum Nasional dalam Hubungannya dengan Hukum Laut
Internasional. Paper Presented at Seminar at Indonesian Law Student Assosiation.
Fakultas Hukum, Universitas Hasanuddin Ujung Pandang, Indonesia. 12pp.

Huliselan, P. 1996. The Benefits of Sasi and Its Roles in Coastal Resources Conservation.
Paper Presented at the National Seminar on Coastal Resource Management in
Indonesia. Hila, Ambon, Indonesia. 9pp.

Mantjoro, E. 1996. Traditional Management of Communal-Property Resources: The practice


of the Sasi system. Ocean & Coastal Management Vol. 32. No. 1: 17-37.

Mattulada, A. 1983. Traditional Management among Bugis-Makassar Enterprenuers in South


Sulawesi. In Lontara. Journal of Hasanuddin University. Vol. 1. No.2: 23-28.

Mubyarto, L. Sutrisno, dan M. Dove. 1983. Fishers and Their Property: Economic and
Anthropological Studies in Two Coastal Villages. Publish to Yayasan Agro Ekonomika,
CV. Rajawali, Jakarta. 215pp.

Munsi, 2000, Pemanfaatan Potensi Sosial Budaya Lokal untuk Pengembangan Manajemen
Perikanan Laut Berbasis Masyarakat.

Nikijuluw, V.P.H. 1996. Co-Management between Traditional Marine Fisheries and


Government in Indonesia. Proceeding of Indonesian Maritime Continent 1996. BPPT-
Wanhamkamnas, Ujung Pandang, Indonesia. 10pp.

Pelras, 1971
Sallatang, A.1983. Punggawa: The Local Leader in a Rural Community in South Sulawesi.
Regional Development, Research Institute, Hasanuddin University. 6pp.

Sallatang, A.1986. Punggawa: The Local Leader in a Rural Community in South Sulawesi.
July 1986. NAGA, The ICLARM Quarterly, Vol. 9 No. 3: p 15.

Scott, J. 1977. Patronage or Exploitation? In. E. Gellner dan J. Waterbury (Eds). Patrons and
Clients in Mideterranean Societies. Duckworth. 21-39.

Smith, I.A. 1977. A Research Framework for Traditional Fisheries. ICLARM Stud. Rev. (2).
40pp.

Suriamihardja dan Yusran, 1997.

Susilowati, T. 1987. Proses Terjalinnya Hubungan Kerja Antara Pendega dengan Majikan
Dalam Usaha Perikanan. Jurnal Pen. Perikanan Laut No. 42 Thn. 1987. 23pp.

Walinono, 1979.

Yusran, M. 2002. The Ponggawa-Sawi Relationship in Co-Management: An Interdisciplinary


Analysis to Coastal Resources Management in South Sulawesi, Indonesia. Ph. D
Dissertation. Dalhousie University, Canada. 315pp.

Anda mungkin juga menyukai