Oleh:
M. SAYFUL
P1900212010
A. PENDAHULUAN
B. PEMBAHASAN
a. Sistem Ponggawa-Sawi
Co-Management
“ Jika mau cepat usahanya berhasil, janganlah menangkap ikan-ikan pantai yang kecil-
kecil, tetapi pergilah ke laut dalam memancing tongkol“.
“ Meskipun dekat pantai banyak kerang laut yang enak dimakan dan laku untuk dijual,
tetapi kami lebih suka mencari ikan-ikan di tempat yang lebih jauh meskipun belum
tentu ada hasilnya, namun ada harapan mendapatkan yang jauh lebih besar”.
“Kami ini adalah nelayan dan pengusaha, jadi kami bukan menangkap ikan semata
untuk makan, bikin rumah, dan pakaian, melainkan yang lebih penting lagi adalah
meningkatkan kemajuan usaha, naik haji, dan lain-lain”.
“ Tidak ada orang yang mau begitu-begitu saja nasibnya, melainkan selalu mau
meningkat, suatu waktu penghasilan sebulan bisa setingkat dengan gaji bulanan
seorang Sersan, maka usaha selanjutnya ialah meningkatkan pendapatan hingga sama
dengan gaji seorang mayor, kalau bisa mencapai pendapatan setingkat gaji bulanan
seorang Jenderal”.
“Kami selalu mencari dan mengusahakan bentuk perikanan yang lebih banyak hasilnya,
tidak seperti orang-orang Bajo yang dahulu sampai sekarang hanya mancing dan
mencari teripang”.
“ Laut dan isinya adalah rahmat Tuhan yang diperuntukan bagi manusia, bagi orang
Islam, namun rahmat itu tidak akan berarti apa-apa jika tidak diusahakan dengan
cermat dan kerja keras”.
Contoh-contoh kasus, gambaran dan ungkapan yang dikutip di atas adalah cukup
dijadikan bukti akan tingginya etos keusahawanan pengusaha/ponggawa dan nelayan Makassar,
yang dapat dianggap sebagai potensi bagi pengembangan menejemen perikanan lokal yang akan
datang.
Seperti diketahui bahwa bentuk perikanan laut di dunia pada umunya adalah perikanan
tangkap (Catch Fishery) dengan pola berburu (hunting) binatang liar dilaut. Secanggih-
canggihnya teknologi perikanan laut, ini akan hanya sebatas teknologi tangkap,perahu/kapal,
mesin/motor, monitoring kondisi dan prilaku sumberdaya, musim dan kondisi cuaca, teknik-
tehnik pengawetan dan pengolahan, dan lain-lain. Sebaliknya inovasi budidaya masih sangat
sedikit dipraktekan, dan baru terbatas pada perikanan tambak, budidaya kepiting ditambak,
budidaya rumput laut, penetasan telur ikan atau udang (hatchery). Sedangkan budidaya kerang,
penyu, ikan kerapu dan lain-lainnya di laut, sampai sekarang masih merupakan percobaan-
percobaan oleh kalangan sarjana dan mahasiswa perikanan dari suatu universitas, atau akademi
perikanan. Karena perkiraan sulitnya mengatasi faktor-faktor alam dan besarnya biaya untuk
percobaan-percobaan di laut, maka sebagian besar sarjana perikanan menganggap rencana
program-program budidaya laut sebagai mimpi belaka. Hal menarik ialah bahwa meskipun
temuan/inovasi di bidang teknologi budidaya laut masih sangat sedikit, namun ternyata sudah
ada tiga keluarga nelayan dari Pulau Sembilan (Sinjai) yang mencoba budidaya teripang dan
lobter di laut. Ide mencoba budidaya udang tersebut berawal dari pemasangan keramba-keramba
penampungan ikan kerapu dan lobster hidup di kambuno (pusat kelurahan di Pulau Sembilan)
milik pengusaha-pengusaha dari Makassar dan Kalimantan. Tehnik yang dipraktekan oleh
seorang nelayan RM (42 tahun) adalah sederhana saja. Dia membuat keramba ukuran 6x5 M,
lalu dia bersama anak buahnya menyelam menangkap lobster, lalu memisahkan yang bunting
dari yang tidak bunting. Lobster yang bunting dimasukkan dalam keramba budidaya, sedangkan
yang tidak bunting dijual kepada ponggawa/ pengusaha ikan dan lobster hidup. Lama-kelamaan,
lobster bunting menetas, dengan pemberian pakan (berupa ikan-ikan kering yang dicincang),
maka bibit-bibit lobster menjadi besar. Persoalan yang dihadapi RM ialah karena di antara 5-6
ratus ekor bibit, hanya sekitar 100-150 ekor yang bisa besar dan dipanen. Berkat usaha budidaya
yang sudah berlangsung kurang-lebih 5 tahun, maka kebutuhan-kebutuhan pokok keluarga RM
dapat terpenuhi. Bahkan keluarga nelayan tersebut sudah mampu mengganti rumah tua yang
kecil dengan rumah besar dari bahan bangunan yang berkualitas, membeli perabot rumah tangga
yang lebih baik, mengganti perahu tuanya, dan membeli mesin baru.
Seperti halnya RM, dua keluarga pembudidaya teripang masing-masing HS (60 tahun)
dan NR(63 tahun) juga berhasil membesarkan teripang dalam pagar yang dikonstruksi sendiri
dengan pemberian pakan berupa tahi-tahi ayam dan lain-lain. Hambatan utama yang dialami
kedua keluarga nelayan tersebut ialah masalah pengawasan teripang dari ancaman pencuarian.
Menurutnya, sudah dua kali mereka mengalami kerugian karena pencurian. Hingga sekarang ,
tinggal RM dan NR yang masih meneruskan usaha budidayanya, sedangkan HS
mengintensipkan kegiatannya pada usaha perdagangan hasil-hasil laut. Menurut NR, bahwa
daripada hanya memburu ikan-ikan di laut yang banyak membutuhkan tenaga, modal dan biaya,
lebih baik memelihara kemudian memanen (budidaya).
Percobaan/praktek-praktek yang dilakukan oleh pembudidaya lobster dan teripang dari
Pulau Sembilan dan budidaya rumput laut di Pulau Tana Keke Takalar sebetulnya bisa
dikembangkan dan disosialisasikan kepada keluarga-keluarga nelayan lainnya dengan memberikan
sumbangan pemikiran dan tehnik dari ahli-ahli perikanan (Munsi 2000).
C. PENUTUP
Pelaksanaan pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya alam, termasuk perikanan telah
lama ada di dalam masyarakat pesisir dan dalam menghadapi dinamika hubungan sosial
ekonomi, sistem tradisional masih terus berlanjut hingga kini. Muatan norma sosial lebih banyak
ditekankan pada harmonisasi hubungan antara adat dan agama; seperti sistem Subak yang
menekankan pentingnya hubungan antara manusia dengan penciptanya, hubungan antara
manusia dan lingkungannya, dan hubungan antara sesama manusia yang dikenal sebagai Tri Hita
Karana. Terakomodasinya peran pemerintah lokal (desa) dalam pengelolaan sumberdaya pesisir
merupakan suatu bukti legitimasi sistem tradisional agar dapat berperan aktif. Disadari bahwa
tidak semua sistem tradisional layak diikut sertakan dalam kerangka pengelolaan sumberdaya
alam, karenanya analisa dinamika sistem tradisional itu sendiri perlu dilakukan untuk melihat
atau mereposisikan peran yang akan diemban oleh institusi tradisional tersebut. Melihat kondisi
dan dinamika sistem tradisional yang ada di Makassar, ada kecendrungan dibentuknya
pengelolaan sumberdaya berbasis kemitraan atau lebih dikenal sebagai co-management yang
diyakini lebih signifikan dibandingkan pengelolaan yang hanya melibatkan satu unsur saja.
Legitimasi aturan adat termasuk aspek pembinaannya merupakan unsur mutlak dalam upaya
melestarikan sumberdaya pesisir dan peluang peningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir.
Peluang sistem tradisional untuk dapat berimprovisasi di wilayah pesisir hendaknya juga
dilihat dari perangkat yang disediakan oleh pemerintah; dalam hal ini pemerintah lokal.
Kewenangan 3 mil selama kurun waktu 32 tahun Orde Baru dengan penambahan 1 mil terasa
kurang memadai apalagi jika dihubungkan dengan pertumbuhan nelayan kecil selama waktu
tersebut dengan penambahan hanya sekitar 1 mil saja.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, H. 1983. The Roles of Institutions in the Utilization of Local Resources. Lontara, No.
8: 1-15
Béné, C, dan A. Tewfik, 2001. Fishing Effort Allocation and Fishermen’s Decision-Making
Process in a Multi-Species Small-Scale Fishery: Analysis of the Conch and Lobster
fishery in Turk and Caicos Islands. Human Ecology, Vol. 29, 2001: 157 – 186.
Chabot (1950)
Dahuri, R. J. Rais, S. P. Ginting, dan M.J. Sitepu. 1987. Integrated Management of Coastal and
Ocean Resources. Jakarta, Indonesia. Pradnya Paramita Press. 269pp
Damayanti, Ery, Ht hp: // www. Huma.or.id
Djalal, H. 1997. Perkembangan Hukum Nasional dalam Hubungannya dengan Hukum Laut
Internasional. Paper Presented at Seminar at Indonesian Law Student Assosiation.
Fakultas Hukum, Universitas Hasanuddin Ujung Pandang, Indonesia. 12pp. Djalal, H.
1997. Perkembangan Hukum Nasional dalam Hubungannya dengan Hukum Laut
Internasional. Paper Presented at Seminar at Indonesian Law Student Assosiation.
Fakultas Hukum, Universitas Hasanuddin Ujung Pandang, Indonesia. 12pp.
Huliselan, P. 1996. The Benefits of Sasi and Its Roles in Coastal Resources Conservation.
Paper Presented at the National Seminar on Coastal Resource Management in
Indonesia. Hila, Ambon, Indonesia. 9pp.
Mubyarto, L. Sutrisno, dan M. Dove. 1983. Fishers and Their Property: Economic and
Anthropological Studies in Two Coastal Villages. Publish to Yayasan Agro Ekonomika,
CV. Rajawali, Jakarta. 215pp.
Munsi, 2000, Pemanfaatan Potensi Sosial Budaya Lokal untuk Pengembangan Manajemen
Perikanan Laut Berbasis Masyarakat.
Pelras, 1971
Sallatang, A.1983. Punggawa: The Local Leader in a Rural Community in South Sulawesi.
Regional Development, Research Institute, Hasanuddin University. 6pp.
Sallatang, A.1986. Punggawa: The Local Leader in a Rural Community in South Sulawesi.
July 1986. NAGA, The ICLARM Quarterly, Vol. 9 No. 3: p 15.
Scott, J. 1977. Patronage or Exploitation? In. E. Gellner dan J. Waterbury (Eds). Patrons and
Clients in Mideterranean Societies. Duckworth. 21-39.
Smith, I.A. 1977. A Research Framework for Traditional Fisheries. ICLARM Stud. Rev. (2).
40pp.
Susilowati, T. 1987. Proses Terjalinnya Hubungan Kerja Antara Pendega dengan Majikan
Dalam Usaha Perikanan. Jurnal Pen. Perikanan Laut No. 42 Thn. 1987. 23pp.
Walinono, 1979.