Anda di halaman 1dari 5

KESEJAHTERAAN SOSIAL

Tugas

Pengembangan Kesos Dan Globalisasi

Nama: YOHANES E. KRISTANTO

NIM: 20170311034041
PONGGAWA-SAWI PADA NELAYAN SUKU
MAKASSAR

Sejumlah sistem tradisional masih dijalankan oleh masyarakat pesisir di Provinsi


Sulawesi Selatan (Ponggawa-Sawi), Provinsi Maluku (Sasi), dan Provinsi Nangaro Aceh
Darussalam (Panglima Laut) ditengah perubahan sistem sosial dan ekonomi diantara masyarakat
pesisir itu sendiri dan daerah lainnya. Tantangan untuk mengulas sistem tradisional adalah
kebanyakan tidak terdokumentasi, namun diyakini di dalam masyarakat itu sendiri, sistem-sistem
tersebut telah menjadi bagian norma hubungan sosial dan ekonomi mereka sehari-hari. Urgensi
untuk melihat peluang pelibatan langsung sistem tradisional dalam kerangka kebijakan
pembangunan perikanan nasional haruslah dimulai dengan menganalisa dinamika sistem
tradisional itu sendiri, termasuk muatan norma hubungan sosial yang memungkinkan untuk
menjadikan unsur penyelarasan di dalam Undang-Undang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Otonomi Daerah pengelolaan sumberdaya pesisir.
Sebagai suatu kriteria yang konkrit untuk membedakan dan mengklasifikasikan nelayan
dari tipe-tipe kebudayaan lainnya, kita dapat secara tentatif memandang masyarakat nelayan
sebagai telah memberi sumbangan sebesar 10% dari bahan makanan lokal. Tetapi konfigurasi
kebudayaan, yang diisi dengan emosi-emosi dan disalurkan dengan menggunakan nilai-nilai dan
sikap, jarang dikarakteristikkan hanya dengan statistik atau secara kuantitatif. Kebudayaan
nelayan erat kaitannya dengan suatu orientasi terhadap laut, suatu orientasi yang meliputi sikap
maupun pengetahuan aktual.
Para nelayan pribumi sesungguhnya telah mengumpulkan pengetahuan yang melimpah
mengenai berbagai fenomena kelautan agar dapat membuat kegiatan-kegiatan produksi mereka
efektif. Fakta-fakta mengungkapkan semacam ‘transkulturasi’ bahwa dalam kebudayaan nelayan
alat tangkap lebih mudah mengalami perubahan dibawah pengaruh yang berasal dari luar dan
dari dalam masyarakat, dan dengan cepat menyebar dalam suatu daerah yang luas. Akan tetapi,
masyarakat nelayan, karena kurang mempunyai hak istimewa, sering terpisah, terisolasi dari, dan
disisihkan oleh komunitas lainnya, bahkan dalam suatu masyarakat yang homogen, baik secara
etnis maupun secara kultural.
Hubungan antara Ponggawa dan Sawi dapat dikategorikan sebagai hubungan yang tidak
seimbang atau tidak adil dalam kondisi perolehan. Hubungan kekerabatan ini lebih banyak
terjadi dengan tetap menggunakan norma sosial adalah pada tingkat lokal seperti pedesaan.
Hubungan antara superior dan sejumlah inferior didasari oleh pertukaran pelayanan (service)
yang tidak seimbang. Malah dikatakan bahwa besarnya nilai pertukaran antara Ponggawa dan
Sawi lebih banyak disandarkan oleh besarnya perhatian atau pemberian yang terjadi. Misalnya,
Sawi akan memberikan penghormatan kesepakatan norma kepada Ponggawa sesuai dengan
besarnya service yang diberikan oleh Ponggawanya. Namun demikian, terjadi hubungan de facto
antara Ponggawa dan Sawi itu sendiri akibat normanya bergeser dari pengikat hubungan sosial
ke hubungan sosial, seperti mekanisme pembayaran. Pengikat hubungan norma ini lebih banyak
ditentukan oleh fungsi atau peran Ponggawa sebagai figur utama untuk semua Sawinya,
termasuk pinjaman keuangan dan perlindungan atau kesediaan menyediakan bantuan pada saat
dibutuhkan.Karakteristik dan prilaku hubungan norma sosial Ponggawa dan Sawi juga
dipengaruhi oleh asal etnis yang pada akhirnya menentukan tingkatan hubungan Ponggawa dan
Sawi.

Potensi sistem ponggawa-sawi terletak pada pengakuan akan keberadaannya oleh pemerintah
lokal dan regional. Alokasi hak tradisional masyarakat pesisir sebenarnya telah lama dikenal
melalui Hak Ulayat. Selanjutnya dengan hak tradisional tersebut, tersirat juga makna
kepemilikan atau hak pengelolaan. Ini berarti terdapat hak eksklusif dan kepemilikan yang
dipunyai oleh sekelompok masyarakat, hak tradisional adalah suatu kelompok sosial yang
mempunyai hak untuk memanfaatkan, mengelola tingkat eksploitasi, dan pempertahankannya
dari kemungkinan tangkap lebih dalam konteks norma kesepakatan tanggung jawab.
Pada tiga etnis utama yaitu Bugis, Makassar, dan Makassar yang memanfaatkan
sumberdaya pesisir di Sulawesi Selatan, maka terdapat peluang dan kendala yang seharusnya
dicermati dan ditindak lanjuti secara hati-hati. Transformasi sistem pengelolaan sumberdaya
wilayah pesisir dan lautan di Indonesia ke daerah yang tercantum dalam Undang-Undang
No.22/1999 memuat aspirasi legitimasi kelembagaan tradisional ponggawa-sawi dalam
pengelolaan sendiri sumberdaya pesisir. Walaupun demikian, integrasi sistem ponggawa-sawi
kedalam pengelolaan sumberdaya pesisir secara lokalitas tidak menjamin keberhasilannya dalam
memecahkan segala aspek peningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir. Konsep dasar yang
diajukan adalah penerapan co-management (pengelolaan kemitraan) antara masyarakat pesisir
dan pemerintah setempat. Akibat terdapat keunikan karakteristik dari sistem tradisional ini, maka
kerangka kemitraan selayaknya berbentuk segitiga dengan asumsi bahwa antara kelompok
nelayan dan ponggawa-sawi terdapat perbedaan strategi pemanfaatan sumberdaya pesisir.
Diasumsikan bahwa terlepas dari perbedaan strategi pemanfaatan dan mekanisme perolehan
sumberdaya, maka yang sebaiknya ditetapkan adalah terdapatnya kesamaan pandang
perencanaan yang ditujukan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat, penguatan peran
kelembagaan, konsistensi dukungan pemerintah dan rasionalisasi kemampuan sumberdaya
pesisir di dalam proses pengelolaan kemitraan.
Perlunya penguatan, revitalisasi dan mengintegrasikan nelayan tradisional, mungkin juga
termasuk sistem ponggawa-sawi dalam konsep pengelolaan sumberdaya pesisir sebenarnya telah
lama diusulkan pada konferensi regional “Desentralisasi Pengelolaan Wilayah Laut” tahun 2001
di Makassar. Di konferensi tersebut dilakukan diskusi tentang perlunya peran aktif nelayan
tradisional dalam merancang, mengimplementasi dan mengawasi pelaksanaan pengelolaan
sumberdaya pesisir. Urgensi untuk melibatkan langsung sistem ponggawa-sawi sayangnya tidak
mendapatkan porsi lebih banyak dalam diskusi tersebut, sehingga kesan potensi sistem
tradisional ini tidak banyak diungkap. Marginalisasi sistem ponggawa-sawi dalam kerangka
pengelolaan sumberdaya pesisir mungkin akan menimbulkan dampak yang tidak diharapkan,
karenanya untuk meminimumkan hal tersebut, maka pilihan sistem tradisional ini harus termasuk
didalam kerangka pengelolaan. Sebagai gambaran, potensi yang dimiliki oleh ponggawa-sawi
adalah:
 Pengambilan Keputusan
 Dominasi Pemasaran Lokal
 Partisipasi Lokal
 Hubungan Penangkapan yang Saling Menguntungkan
 Bagian dari Komunitas Masyarakat Pesisir
 Kepemimpinan Lokal
Dengan norma hubungan sosial dengan sawi, bakat alami bisnis, kepemimpinan tradisional
kharismatik, maka proses dan mekanisme pengambilan keputusan akan perlakuan dan strategi
pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya pesisir akan banyak ditentukan oleh peran ponggawa.
Hal tersebut juga menyebabkan ponggawa mendominasi atau bahkan ikut menentukan rona
pemasaran hasil tangkapan, termasuk jaringan pemasaran yang lebih luas. Partisipasi ponggawa
dalam menyikapi pentingnya pelestarian ekosistem pesisir juga terlihat. Dalam prakteknya,
mungkin hanya sistem ponggawa-sawi yang membentuk suatu ikatan kerjasama dengan nelayan
dalam bentuk penyediaan umpan hidup bagi perikanan pole and line misalnya. Dengan
terbentuknya sistem persepakatan ini yang tentu saja aplikasi dari norma dari sistem ponggawa-
sawi, maka nelayan mempunyai prospek perolehan pendapatan dan investasi dalam melakukan
kegiatan usahanya.

Anda mungkin juga menyukai