Pengantar
Ekologi manusia, secara umum dideskripsikan sebagai studi dari interaksi manusia dengan
lingkungannya, pada akhir-akhir ini mendapat perhatian yang sangat meningkat dalam
semua ilmu-ilmu social. Meskipun demikian, kenyataannya hanya ada sedikit persamaan
persepsi tentang apa sebenarnya dan bagaimana seharusnya ekologi manusia itu. Secara
khusus ada diskusi yang serius dan berkesinambungan tentang penerapan yang sesuai dari
pendekatan teoritis yang bermacam-macam itu untuk mengerti interaksi manusia dengan
lingkungannya.
Sementara adanya perbedaan – perbedaan dari dasar pandang dalam disiplin ilmu yang
menunjukkan tingkat kegiatan yang masih baru mulai, hal itu juga dapat menghadirkan
adanya hambatan-hambatan untuk mencapai pengertian dalam bentuk dan arah yang utuh
dari bidang studi ini bagi nonspesialis. Masalah ini menjadi lebih parah dengan seringnya ada
sifat polemic dengan pernyataan-pernyataan yang telah diatur berkaitan dengan ekologi
manusia. Banyak penulis melakukan pendekatan dengan diskusi-diskusi teoritis seakan-akan
mereka berurusan dengan masalah teologi, menggunakan model-model mereka sendiri
sebagai satu-satunya yang benar sementara mereka menyingkirkan pendekatan-pendekatan
lain yang dianggapnya, kuno, keras kepala atau bahkan tak bermoral. Cara penyingkiran
yang di luar control ini pada suatu waktu dianggap pantas tetapi juga mempunyai
kecenderungan untuk mengaburkan adanya alternatif pendekatan-pendekatan konseptual
yang sudah baku.
Dalam laporan ini, alternative model – model konseptual bagi hubungan manusia dengan
lingkungannya dideskripsikan dalam urutan histories dimana mereka muncul dalam
literature ilmiah. Pendekatan kronologis seperti ini membantu untuk mendapatkan
gambaran adanya saling pengaruhi antara hasil-hasil reset dan formulasi konsep teoritis.
Tidak ada superioritas yang dihubungkan disini kecuali paradigma perkembangan mutakhir.
Kenyataannya model-model tertentu yang popular akhir-akhir ini barangkali dipandang
sebagai gerak mundur dari titik tolak perkembangan teori ilmiah sebagai keseluruhan.
Meskipun diantara ilmuwan ilmu social mendiskreditkan teori yang klasik atau teori modern
yang masih awal-awal tentang pengaruh lingkungan terhadap masalah manusia
(determinisme dan posibilisme), teori-teori ini sering digunakan oleh para ahli sejarah.
Seorang ahli sejarah yang terkemuka seperti Arnold J. Toynbee, yang menggunakan
pendirian ahli posibilis dalam bukunya yang sangat berpengaruh “A Study of History”.
Model dari ekologi budaya yang dikemukakan oleh Julian Steward masih merupakan
paradigma yang memandu banyak peneliti, tetapi pada akhir-akhir ini telahtertantang oleh
model dasar ekosistem yang dikemukakan oleh Andrew P. Vayda dan Roy A. Rappaport.
Ciri-ciri pembuat keputusan yang individual adalah focus dari model-model dasar pelaku
dari ekologi manusia, dan sistem-sistem model dari ekologi manusia menekankan penelitian
dari interaksi antarasistem social manusia dan ekosistem-ekosistem berdasar pada saling
robah yang timbale balik dari energi, materi dan informasi.
Environmental Determinism
Kira-kira pada pergantian abad ini, seorang geographer terkenal yang bernama Friedrich
Ratzel di Jerman dan murid Amerikanya, Ellen C. Semple, mendukung pendapat bahwa
manusia itu sepenuhnya adalah produk dari lingkungannya, suatu teori yang disebut
determinisme lingkungan. Pengikut dari aliran ini, yang mendominasi dengan baik pemikiran
geografis sampai th. 1920-an, menyatakan bahwa semua aspek dari budaya dan tingkah laku
manusia disebabkan oleh pengaruh lingkungan secara langsung (gb. 1). Misalnya, orang
Inggris adalah pelaut karena mereka hidup di tempat tinggal yang dikelilingi oleh laut; orang
Arab adalah orang yang beragama monoyeis Islam karena hidup di tengah padang pasir yang
kosong yang mengarahkan pemikirannya kepada Tuhan YME; orang Eskimo adalah bangsa
nomad yang primitive karena kondisi habitat kutubnya yang keras yang menghambat
perkembangan mereka menjadi bangsa dengan peradaban yang kompleks. Buku Semple dan
yang lainnya penuh dengan daftar contoh yang panjang yang nampaknya merupakan
determinan lingkungan dari bentuk-bentuk budaya yang masuk akal. Meskipun sebagai hal
yang baru nampaknya menarik, tetapi klaim dari korelasi sebab antara lingkungan dan
budaya ini dengan mudah disangkal apabila digunakan pertimbangan yang hati-hati.
Misalnya, orang Tasmania yang tinggal di sebuah pulau tidak seperti orang Inggris, mereka
tidak membuat kapal; suku-suku Arab yang berkelana di padang pasir yang sepi selama
ribuan tahun sebelum datangnya Muhammad adalah penyembah patung-patung; padang es
yang pada waktu lampau menjadi jalur kereta salju orang Eskimo sekarang merupakan
daerah kegiatan balap mobile s sepanjang pipa-pipa minyak raksasa. Ada berbagai variasi
dari perilaku manusia yang kira-kira sama dengan setting geografis yang dengan demikian
merupakan determinan lingkungan.
Environmental Possibilism
Sebagai ganti dari determinisme, suatu teori baru yang disebut possibilisme lingkungan,
dikemukakan. Penduduknya menyatakan bahwa sementara lingkungan tidak secara langsung
mempengaruhi perkembangan khusus dari budaya, kehadiran atau ketiadaan dari factor
lingkungan yang khusus menentukan batas-batas pada perkembangan dengan memungkinkan
atau mencegah terjadinya perkembangan tersebut (gb. 2). Dengan demikian, orang-orang
di daerah kepulauan mungkin bukan; penduduk daerah bertemperatur sedang barangkali
mempraktekkan pertanian, tetapi mereka yang tinggal di kutub tidak dapat. Nilai dari
pendekatan posibilistis barangkali ditunjukkan dengan baik sekali oleh seorang antropolog
Amerika A. L. Kroeber, yang menunjukkan bahwa orang Indian di barat laut Amerika Utara
tidak dapat menerapkan bertani jagung Indian seperti tetangganya di selatan karena sifat
musimnya yang berbeda. Dengan demikian lingkungan membatasi kemampuan dari
budayanya kea rah suatu perkembangan budaya tertentu.
Pendirian posibilis juga diambil oleh sejarahwan Inggris Arnold Toynbee dalam bukunya “A
Study in History”, dimana dia berpendapat bahwa perkembangan peradaban dapat
dijelaskan dalam kaitannya dengan respons terhadap tantangan lingkungan. Budaya yang
berada di daerah tropis yang lunak gagal berubah karena tidak cukup tertantang oleh
lingkungannya; sedang yang berada di habitat yang keras seperti orang Eskimo di daerah
kutub tetap tinggal primitive karena budayanya semata-mata untuk mengatasi tantangan
lingkungannya yang melemahkan energi mereka yang kreatif. Hanya budaya-budaya dalam
lingkungan yang menawarkan kemungkinan yang mencukupi dan tidak merupakan tantangan
yang berlebihan yang menpunyai kemungkinan maju kea rah tingkat peradaban yang lebih
tinggi.
Aliran posibilisme mempunyai kelemahan sebagai teori ilmiah, karena teori ini kurang
mempunyai kekuatan untuk memberikan prediksi dan penjelasan secara umum karena ilmu
ini hanya mampu menjelaskan mengapa perkembangan-perkembangan tertentu tidak cepat
terjadi pada lingkungan tertentu. Teori ini sama sekali tidak mampu membuat prediksi
apakah sesuatu dapat terjadi atau tidak dapat terjadi di bawah suatu keadaan lingkungan
yang menggantungkan. Misalnya, kegagalan orang Eskimo untuk bertanam jagung dapat
dijelaskan, tetapi aliran posibilisme tidak dapat menjelaskan mengapa orang Inggris lebih
banyak yang menjadi pelaut sedangkan orang Tasmania tidak. Jelasnya, perbedaan pada
kasus yang akhir itu bukan karena refleksi pengaruh lingkungan tetapi karena adanya tradisi
budaya dan pengetahuan teknologi yang berbeda. Dengan ringkas, seperti Daryll Forde
simpulkan dalam bukunya “Habitat, Economy, and Society” (1934), “diantara lingkungan
fisik dan aktivitas manusia selalu ada terminology tengah, kumpulan dari tujuan dan nilai
tertentu, pengetahuan dan kepercayaan: dengan kata lain, pola kebudayaan”.