Anda di halaman 1dari 5

TUGAS RINGKASAN

MASYARAKAT MULTIKULTUR DAN KESOS

OLEH :

NAMA: MARSELINUS SAMAYA


NIM : 20170311034023

PROGRAM STUDI KESEJAHTERAAN SOSIAL


JURUSAN SOSIOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS CENDERAWASIH
JAYAPURA
2020
BAB V
DINAMIKA INTERAKSI MASYARAKAT MULTIKULTUR

A.Ketidak Serasian Kerja Sama, Kendala Saling Kunjung Dan Persyaratan

Fokus pembahasan dalam konteks ini adalah kegiatan fisik dan non fisik yang dilakukan
oleh kelompok penduduk local dan kelompok migran,dan kendala yang menghambat ketidak
serasian dalam kerja sama ada dua yaitu :
1.Kerjasama di pandang sebagai suatu gerakan sosial untuk kepentingan bersama dan
2.Sesuatu yang harus menguntungkan secara pribadi atau kelompok etnik.

Menurut Turner (1972),kerja sama adalah gerakan sosial sebagai suatu usaha kerja secara
kolektif bertujuan untuk menunjang atau menolak perubahan.Penjolakan itu terjadi makalah
tidak memberi kepuasaan atau tidak menguntungkan,sedangkan diterima apabila keuntungan
atau kepuasan.Menurut Shadey (1993:98)
“bahwa kerja sama merupakan akibat permusyawaratan dimana kedua kelompok telah bersediah
untuk dekat mendekati dan mencari jalan keluar. Apabila kerja sama itu di ikuti komponen yang
merupakan jalan bagi kedua kemlompok untuk memasuki proses kerja sama, dan manakala
kompromi tidak dapat di capai maka yang terjadi adalah ketidak serasian kerjasama”

Kerja sama yang dalam memelihara sarana desa seperti perbaikan jembatan pemukiman,
balai pertemuan, pelaksanaannya belum di kerjakan oleh semua kelompok etnik yang tergantung
dalam satu wilayah pemukiman.
Menurut Sanderson (2006:116), bahwa kepemilikan pribadi muncul manakala kelompok
kecil orang yang dikenal sebagai pemilik, mengklain milik pribadi atau sumber daya alam,
dimana di atasnya mereka hidup dan bekerja. Menurut pengakuan beberapa pelaku dan informan
penduduk local bahwa lebih baik menhindari kerjasama secara gotong royok atau keperluan
seperti itu, Karena lebih banyak membawa dan atau berakhir perselisihan baik antara individu
maupun antara kelompok etnik. Seperti dilakukan oleh Horton (1999:56)
“bahwa bila mana objek memiliki nilai kegunaan semata-mata, dengan kata lain jika
objek itu di nilai lebih baik berdasarkan manfaat yang di berikannya, maka perubahan itu di
terima dengan baik, sebaliknya jika objek itu di pandang secara intristik, yakni dari sudut objek
itu sendiri terlepas dari kegunaan yang di berikannya, maka perubahan itu kurang siap diterima.
Menurut Soekanto (1985), segregasi adalah konsentrasi bagi anpopulasi atau dengan
paksaan di wilayah tertentu, sedangkan menurut Rumbiak (1999:25) “ terdapat dampak dari
migrant dan segregasi di kota Jayapura antara lain :
1. Ketimpangan sosial ekonomi
2. Kemungkinan terjadi koflik sosial antara kelompok etnik
3. Tidak menutup kemungkin antar jadinya kecemburuan sosial antar kelompok etnik

Dalam konteks ini, demikian dapat mendukun gsolidaritas antar kelompok etnik menurut
kesamaan kepercayaan. Hal itu berlaku pula kepada kelompok local berlaku pula bagi kelompok
etnik local dan migrant local juga menciptakan kerja sama, karena terdapat perbedaan aliran
kepercayaan. Hubungan dan suasana ketidak serasian kerja sama seperti itu semakin kompleks
karena terjadi kompleksitas hubungan seperti etnik, budaya, mayoritas/minoritas agama, yang
oleh Koentjningrat (1982:245), Menyebut 4 masalah pokok yang selalu merupakan kendala
dalam kehidupan masyarakat yang bercorak majemuk di Indonesia :
1. Mempersatukan aneka warna suku bangsa
2. Hubungan antara umat beragama
3. Hubungan mayoritas minoritas
4. Integrasi kebudayaan di Irian Jaya dengan kebudayaan Indonesia
Angka jumlah pengungsi yang begitu tinggi, menimbulkan persoalan sosial ekonomi dan
politik di daerah tujuan. Masyarakat di daerah tujuan menjadi prihatin sekaligus traumatik ketika
menerima para pengungsi sebagai korban kerusuhan dari Maluku-Maluku Utara yang mengungsi
keberbagai kota di Provinsi Papua. Keadaan menunjukan bahwa dalam kurun waktu itu, konflik
di berbagai daerah menjadi faktor determinan serta kendala dan menimbulkan kecurigaan antar
etnik yang pada akhirnya menimbulkan ketidakserasiankerjasama antar kelompok penduduk
local dan migran. Pelaksanaan pembangunan di turunkandariatas (top-down), tampa membangun
peran serta antar kelompok masyarakat, tidak hanya berdampak pada apa yang sudah dan sedang
di kerjakan, tetapi juga tidak mengukur dan melestarikan tradisi kerjasama yang sudah melekat
pada setiap kelompok etnik itu. Pembangunan yang tidak mengalang kebersamaan dari bawah,
menciptakan hubungan tak harmonis antara pemerintah dengan warga masyarakatnya. Dan dapat
pula menciptakan kerenganan kerjasaman tar kelompok etnik. Kondisi itu telah menggambarkan
bahwa tidak saja terjadi ketidakserasian secara horizontal tetapi juga telah terjadi ketidak
serasian kerja sama secara vertikal. Hal ini menurut Weber (1978) dan Wolf (1966), bahwa
seigneurial yaitu ketika penguasai mengasuasai sumber daya alam dan menunjuk pejabat untuk
menguasai sehingga pemikiran ini selalu berhubungan dengan birokrasi terpusat.Suatu hubungan
sosial yang tidak berimbang antara kelompok elit yang berkuasa dengan masa yang tidak
memiliki kekuasan dan kekuatan.
Fenomena seperti itu tetap memberikan warna dalam masyarakat untuk cenderung
bertindak sesuai dengan factor yang di angkat paling benar, karna elit yang di harapkan tampil
untuk menyuarakan kebenaran dan kepentingan rakyak, justru tenggelam dalam efoiran menurut
format nya sendiri.
Kerjasama non fisik seperti pemeliharaan keamanan lingkungan bersama kurang mengalang
kebersamaan antara kelompok etnik karna system permukinan itu beranekaragam, permukiman
berbaur dan ada pula yang berpola segregasi. Kerja sama dalam pemeliharaan keamanan tidak
menciptakan intensitas kehidupan antar kelompok beragam etnik, dan kegiatan seperti itu hanya
dalam arena yang bersifat sementara.
Pertemuan dan kerjasama pada tingkat pemerintahan kelurahan atau kampong tidak
dilakukan secara continue, karena itu selain tidak terbangun solidaritas antara kelompok etnik,
tetapi menimbulkan penyebaran informasi pemerintah setempat untuk tidak merata di semua
masyarakat. Kesenjangan komunikasi itu menimbulkan berbagai salah pengertian,
mengakibatkan konflik vertical antara warga masyarakat dengan aparat pemerintah setempat,
seperti kasus yang terjadi pada tanggla 8 April 2002 kantor kelurahan Hamadi di palang oleh
kelompok imigran lokal. Keadaan ini menunjukan pergeseran nilai dari harmoni menjadi
kekerasan, yang mendorong masyarakat untuk bertindak dengan cara kekerasan pada beberapa
tahun terakhir di beberapa daeerah tertentu yang masyarakatnya bercorak majemuk cenderung
bereaksi secara kumunal dengan tindakan kekerasan seperti membakar rumah orang lain,
membunuh dan merampok.
Dalam konteks seperti itu masyarakat akan selalu hidup dalam sauna praduga sosial yang
mengakibatkan hubugan tak harmonis, dan ketidak serasian kerja sama warga masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai