Anda di halaman 1dari 38

SMF & Laboratorium Ilmu Kesehatan Anak

TUTORIAL
RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda
Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman

GLOMERULONEFRITIS AKUT PASCA STREPTOKOKUS


(GNAPS)
Disusun sebagai Salah Satu Tugas Kepaniteraan Klinik
di Bagian Ilmu Kesehatan Anak

Andi Dinda Batari NIM. 1710029025


Dian Kurnia Dwi Saputri NIM. 1810029037

Pembimbing:
dr. Sherly Yuniarchan, Sp.A

PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA, AGUSTUS 2018
LEMBAR PENGESAHAN

TUTORIAL KLINIK

GLOMERULONEFRITIS AKUT PASCA STREPTOKOKUS


(GNAPS)

Diajukan dalam Rangka Tugas Ilmiah Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu


Kesehatan Anak

Oleh:
Andi Dinda Batari NIM. 1710029025
Dian Kurnia Dwi Saputri NIM. 1810029037

Pembimbing:

dr. Sherly Yuniarchan, Sp.A

SMF/LABORATORIUM ILMU KESEHATAN ANAK


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA
2018

ii
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Tuhan Yang Maha Esa karena atas limpahan rahmat dan
kasih sayang-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tutorial kasus
dengan judul “Glomerulonefritis Akut Pasca Streptokokus”. Tulisan ini disusun
sebagai tugas kepaniteraan klinik bagian Ilmu Kesehatan Anak di RSUD Abdul
Wahab Sjahranie Samarinda.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada dr. Sherly Yuniarchan, Sp.A atas ilmu dan bimbingan yang
diberikan selama menjalani kepaniteraan klinik di bagian Ilmu Kesehatan Anak
khususnya pada divisi nefrologi. Penulis menyadari masih terdapat banyak
kekurangan dalam penulisan ini. Namun, penulis berharap semoga tulisan ini
dapat bermanfaat bagi proses pembelajaran Ilmu Kesehatan Anak.

Samarinda, Agustus 2018

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .......................................................................................... i


LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................... ii
KATA PENGANTAR ....................................................................................... iii
DAFTAR ISI ...................................................................................................... iv
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ............................................................................... 1
1.2 Tujuan Penulisan ............................................................................ 2
BAB 2 LAPORAN KASUS
2.1 Identitas Pasien ............................................................................... 3
2.2 Anamnesa ........................................................................................ 3
2.3 Pemeriksaan Fisik .......................................................................... 5
2.4 Pemeriksan Penunjang ................................................................... 7
2.5 Diagnosis Kerja .............................................................................. 8
2.6 Follow Up ...................................................................................... 8
BAB 3 TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Definisi ........................................................................................... 12
3.2 Epidemiologi .................................................................................. 13
3.3 Etiologi ........................................................................................... 13
3.4 Patofisiologi ................................................................................... 16
3.6 Manifestasi Klinis .......................................................................... 21
3.7 Diagnosis ........................................................................................ 23
3.8 Diagnosis Banding ......................................................................... 27
3.9 Penatalaksanaan ............................................................................. 28
BAB 4 PEMBAHASAN ..................................................................................... 29
BAB 5 PENUTUP ............................................................................................. 33
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 34

iv
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Glomerulonefritis merupakan penyakit ginjal dengan suatu inflamasi dan
proliferasi sel glomerulus. Glomerulonefritis merupakan penyebab utama
terjadinya gagal ginjal tahap akhir dan tingginya angka morbiditas pada anak.
Sebagian besar bersifat kronis dengan penyebab yang tidak jelas dan sebagian
lainnya bersifat imunologis (Noer, 2002). Peradangan pada glomerulus ini
terutama disebabkan mekanisme imunologis yang menimbulkan kelainan
patologis glomerulus dengan mekanisme yang masih belum jelas. Pada anak
kebanyakan kasus glomerulonefritis akut adalah pasca infeksi, paling sering
infeksi streptokokus beta hemolitikus grup A. Dari perkembangan teknik biopsi
ginjal per-kutan, pemeriksaan dengan mikroskop elektron dan imunofluoresen
serta pemeriksaan serologis, glomerulonefritis akut pasca streptokokus (GNAPS)
telah diketahui sebagai salah satu contoh dari penyakit kompleks imun. Penyakit
ini merupakan contoh klasik sindroma nefritik akut dengan awitan gross
hematuria, edema, hipertensi dan insufisiensi ginjal akut. Walaupun penyakit ini
dapat sembuh sendiri dengan kesembuhan yang sempurna, pada sebagian kecil
kasus dapat terjadi gagal ginjal akut sehingga memerlukan pemantauan
(Lumbanbatu, 2003).
GNAPS dapat terjadi pada semua usia, tetapi paling sering terjadi pada usia
6-7 tahun. Penelitian multisenter di Indonesia memperlihatkan sebaran usia 2,5-15
tahun dengan rerata usia tertinggi 8,46 tahun dan rasio laki-laki : perempuan = 1,
34:1. (Rauf, Albar, & Aras, 2012). Angka kejadian GNAPS sukar ditentukan
mengingat bentuk asimtomatik lebih banyak dijumpai daripada bentuk
simtomatik. Di negara maju, insiden GNAPS berkurang akibat sanitasi yang lebih
baik, pengobatan dini penyakit infeksi, sedangkan di negara sedang berkembang
insiden GNAPS masih banyak dijumpai (Carapetis, Steer, & Mullolans, 2005).
Di Indonesia & Kashmir, GNAPS lebih banyak ditemukan pada golongan sosial
ekonomi rendah, masing – masing 68,9%1 & 66,9% (Carapetis, Steer, &
Mullolans, 2005).

1
Sekitar 97% kasus GNAPS terjadi di negara berkembang dan berkurang di
negara maju. Terbukti selama 2-3 dekade terakhir, kejadian GNAPS menurun di
Amerika Serikat dan negara lain seperti Jepang, Eropa Tengah, Inggris, dan Korea
Selatan (Bhimma, 2016). WHO mempekirakan 472.000 kasus GNAPS terjadi
setiap tahunnya secara global dengan 5.000 kematian setiap tahunnya. Penelitian
yang dilakukan di Sri Manakula Vinayagar Medical College and Hospital India
pada periode waktu Januari 2012 - Desember 2014 ditemukan 52 anak dengan
diagnosis GNAPS. Dari 52 pasien ditemukan 46 anak (88,4%) dengan GNAPS,
usia pasien berkisar antara 2,6 - 13 tahun, 27 anak (52%) pada kelompok usia 5 -
10 tahun (Hidayani, Umboh, & Gunawan, 2016).
GNAPS masih menjadi masalah bagi para dokter dan dokter spesialis anak
terutama dalam penegakan diagnosis dan tata laksana. Gejala glomerulonefritis
bisa berlangsung secara mendadak (akut) atau secara menahun (kronis) seringkali
tidak diketahui karena tidak menimbulkan gejala. Gejalanya dapat berupa mual-
mual, kurang darah (anemia), atau hipertensi. Gejala umum berupa sembab
kelopak mata, kencing sedikit, dan berwarna merah, biasanya disertai hipertensi.
Penyakit ini umumnya (sekitar 80%) sembuh spontan, 10% menjadi kronis, dan
10% berakibat fatal (Bergstein, 2000). Beberapa kasus GNAPS didiagnosis
sebagai ensefalopati akibat adanya kesadaran menurun dan kejang. Hal ini terjadi
karena GNAPS dapat menyebabkan ensefalopati hipertensi yang memiliki
manifestasi kejang dan atau kesadaran menurun. Diperlukan ketelitian dan
pemeriksaan secara menyeluruh untuk dapat membedakan GNAPS dengan
diagnosis banding lainnya (Rauf, Albar, & Aras, 2012)

1.2 Tujuan Penulisan


Tutorial ini bertujuan untuk menambah wawasan ilmu pengetahuan
mengenai Glomerulonefritis Akut Pasca Streptokokus, serta perbandingan antara
teori dan kasus.

2
BAB 2
LAPORAN KASUS

2.1 Identitas pasien


Nama : An. A.A.Z
Usia : 5 tahun 10 bulan
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Alamat : Samarinda
MRS tanggal 10 Agustus 2018

2.2 Anamnesis
Anamnesis dilakukan pada tanggal 13 Agustus 2018, di ruang Melati.
Autoanamnesis oleh pasien dan heteroanamnesis oleh ibu kandung pasien.

2.2.1 Keluhan Utama


Bengkak di wajah

2.2.2 Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke Poli Anak RSUD AWS dengan keluhan bengkak
pada wajah, bengkak juga dialami di bawah kelopak mata, perut,
kemaluan hingga paha. Bengkak dialami 6 hari yang lalu. Sebelumnya
pasien di rawat di RS tipe C di Samarinda dengan keluhan mual-muntah
dan dirawat selama 4 hari. Selama dirawat pasien diberikan cairan infus,
setelah 2 hari perawatan pasien tiba-tiba bengkak. Setelah rawat inap,
pasien kemudian beristirahat dirumah selama 2 hari. Selain bengkak,
pasien mengalami nyeri pada perut yang dirasakan terus-menerus. BAK
sangat sedikit dan berwarna coklat kemerahan pekat seperti warna teh/cola
dialami sejak 7 hari SMRS. Tidak ada nyeri saat berkemih. Tidak ada
BAB 2 hari SMRS. Demam dialami 3 hari SMRS, dan sekarang sudah
tidak demam. Mual dan muntah tidak lagi dialami. Tidak ada batuk pilek
saat ini, namun ada penurunan nafsu makan.

3
2.2.3 Riwayat Penyakit Dahulu
 Tidak pernah mengalami keluhan seperti ini sebelumnya
 Batuk pilek
 Radang tenggorokan

2.2.4 Riwayat Penyakit Keluarga


Keluarga pasien tidak ada yang mengalami keluhan yang sama
dengan pasien. Nenek pasien memiliki riwayat hipertensi dan kakek pasien
memiliki riwayat diabetes mellitus. Tidak ada riwayat penyakit jantung
dan ginjal pada anggota keluarga lain.

2.2.5 Pertumbuhan dan Perkembangan Anak


Berat badan lahir : 3100 gr
Panjang badan lahir : 50 cm
Berat badan sekarang : 20 kg
Tinggi badan sekarang: 113 cm
Gigi keluar : OT lupa
Tersenyum : OT lupa
Miring : OT lupa
Tengkurap : OT lupa
Duduk : OT lupa
Merangkak : OT lupa
Berdiri : 9 bulan
Berjalan : 11 bulan
Berbicara : OT lupa

2.2.6 Makan dan Minum Anak


ASI : lahir – 1 tahun
Susu sapi : mulai 4 bulan
Makanan lunak : mulai 6 bulan
Makan padat dan lauknya : mulai 1 tahun

4
2.2.7 Pemeriksaan Prenatal
Periksa di : Klinik bidan
Penyakit kehamilan : Tidak ada
Obat-obat yang sering diminum : Tidak ada

2.2.8 Riwayat Kelahiran


Lahir di : Klinik bidan
Ditolong oleh : Bidan
Usia dalam kandungan : Aterm
Jenis partus : Spontan pervaginam

2.2.9 Jadwal Imunisasi

Imunisasi Usia saat imunisasi


I II III IV Booster I Booster
II
BCG 1 bulan - - - - -
Polio 1 bulan 2 bulan 3 bulan - - -
Campak - - - - - -
DPT 2 bulan 3 bulan - - - -
Hepatitis B 0 bulan 2 bulan 3 bulan - - -

2.3 Pemeriksaan Fisik


Dilakukan pada tanggal 13 Agustus 2018
Keadaan Umum : Sakit ringan
Kesadaran : Composmentis
Berat Badan MRS : 20 kg
Berat Badan sekarang : 19,5 kg
Tinggi Badan : 113 cm
Tanda Vital : Tekanan Darah 120/80 mmHg
Nadi 98 x/menit
Pernafasan 26 x/menit
Temperatur 36,2o C
Status Gizi : BB/U : 19,5/20 x 100% = 97,5%
TB/U : 113/115 x 100% = 98,2%
BB/TB : 19,5/19,5 x 100% = 100%
Gizi Baik

5
Kepala/leher
Rambut : Warna hitam
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-), pupil isokor,
diameter 3mm/3mm, reflex cahaya (+/+), edema palpebra
(+/+) minimal
Hidung : Sekret hidung (-), pernafasan cuping hidung (-)
Mulut : Mukosa bibir tampak basah, sianosis (-), perdarahan (-),
faring hiperemis (-)
Leher : Pembesaran KGB (-/-)

Thorax
Paru: Inspeksi : Tampak simetris, pergerakan simetris,
retraksi supra sternum (-), retraksi
supraclavicula (-),
Palpasi : Pelebaran ICS (-), fremitus raba D=S
Perkusi : Sonor
Auskultasi :Vesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing(-/-),
stridor (-)
Jantung: Inspeksi :Ictus cordis tidak tampak
Palpasi :Ictus cordis teraba pada ICS 5
midclavicularis sinistra
Perkusi : Normal pada batas jantung
Auskultasi : S1S2 kesan normal, murmur (-)

Abdomen
Inspeksi : Cembung, distended abdomen (+)
Palpasi : Soefl, nyeri tekan (+), organomegali (-), turgor kembali cepa
Perkusi : Timpani, shifting dullness (+), nyeri ketok ginjal (+/-)
Auskultasi : Bising usus (+) kesan normal

Ekstremitas
Ekstremitas superior : Akral hangat, pucat (-/-), edema (-/-), CRT <2”
Ekstremitas inferior : Akral hangat, pucat (-/-), edema (-/-), CRT <2”

Genitalia
Edema vulva (-)

6
2.4 Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan hematologi 11 Agustus 2018
Pemeriksaan yang Hasil yang Nilai Normal
dilakukan didapat
Leukosit 13.820/mm3 4.500 – 14.500/ mm3
Eritrosit 3.380.000/mm3 4.000.000 – 5.200.000/mm3
Hemoglobin 8,7 g/dl 12,0 – 16,0 g/dl
Hematokrit 25,6 % 35,0 – 45.0%
Trombosit 773.000 / mm3 150.000 – 450.000/ mm3
MCV 75,8 fL 81.0 – 99.0 Fl
MCH 25,8 pg 27.0 – 31.0 pg
MCHC 34.0 g/dL 33.0 – 37.0 g/dL
Glukosa Sewaktu 116mg/dL 70 – 140 mg/dL
Natrium 143 mmol/L 135 – 155 mmol/L
Kalium 3,6 mmol/L 3,6 – 5,5 mmol/L
Chloride 100 mmol/L 98 – 108 mmol/L
Albumin 2,9 g/dL 3,5 – 5,5 g/dL
Ureum 46,7 19,3-49,2 mg/dL
Creatinin 0,8 0,5-1,1 mg/dL
Ab HIV Non Reaktif
HBsAg Non Reaktif

Pemeriksaan Urinalisis
Pemeriksaan Hasil Nilai Normal
Berat Jenis 1.015 1.003-1.300
Ketone - Negatif (-)
Nitrit - Negatif (-)
Leuko +1 Negatif (-)
Hemoglobin/Darah +4 Negatif (-)
Warna Merah Kuning
Kejernihan Keruh Jernih
pH 6,0 4,8-7,8
Protein +3 Negatif (-)
Glukosa - Negatif (-)
Bilirubin - Negatif (-)
Urobilinogen - Negatif (-)
Sediment
Sel Epitel + Sedikit
Leukosit 4-6 0-1
Eritrosit Penuh 0-1
Silinder - Negatif (-)
Krital - Negatif (-)
Bakteri - Negatif (-)
Jamur - Negatif (-)
Lain-lain -

7
2.5 Diagnosis Kerja
Suspect GNAPS + Hipertensi

2.6 Tatalaksana
- Inj. Amoxicillin 3x550mg/IV
- Inj. Furosemid 3x20 mg/IV
- Spironolakton 1x20 mg/PO
- Captopril 3x 6,25 mg/PO
- Diet TKRP 1500 kkal/hari
- Minum maksimal 1200cc/hari

Lembar Follow Up
Tanggal Pemeriksaan Terapi
11 Agustus S: Bengkak (+) A : Suspect GNAPS +
2018 BAK merah (+)
Hipertensi
(perawatan H-1) BAB (-) 2 hari
Sesak (-)
Nyeri perut (-) P:
- Kultur swab tenggorok
- Kultur urine
O: Kesadaran CM, TD 120/70 - Cek UL/hari
mmHg, Nadi 93x/I, RR 27 x/i, - ASTO, kolesterol, LED,
Suhu 36.4oC SpO2 98% albumin, C3, C4
BB : 20 kg - Balance cairan per 24 jam

- Pasang Venflon
- Inj. Amoxicillin
3x550mg/IV
- Inj. Furosemid 3x20 mg/IV
- Spironolakton 1x20 mg/PO
- Captopril 3x 6,25 mg/PO
- Dulcolax supp 1x extra
- Diet TKRP 1500 kkal/hari
- Minum maksimal
1200cc/hari
12 Agustus S: Bengkak (+) A : Suspect GNAPS +
2018 BAK merah (+)
Hipertensi
(perawatan H-2) BAB (+) setelah diberi
pencahar
Nyeri perut (-) P:
- Kultur swab tenggorok
- Kultur urine
O: Kesadaran CM, TD - Cek UL/hari
160/100 mmHg, Nadi 95x/I, - ASTO, kolesterol, LED,
RR 27 x/i, Suhu 36.1oC SpO2 albumin, C3, C4
98% - Balance cairan per 24 jam

8
BB : 20 kg
- Inj. Amoxicillin
Balance cairan: 3x550mg/IV
Input 810 cc – Output 875 cc - Inj. Furosemid 3x20 mg/IV
= - 65 - Spironolakton 1x20 mg/PO
- Captopril 3x 6,25 mg/PO
- Diet TKRP 1500 kkal/hari
- Minum maksimal
1200cc/hari
13 Agustus S: Bengkak berkurang A : Suspect GNAPS +
2018 BAK merah (+)
Hipertensi
(perawatan H-3) BAB (-)
Nyeri perut (-)
P:
O: Kesadaran CM, TD 120/80 - Kultur swab tenggorok
mmHg, Nadi 95x/i, RR 26 x/i, - Kultur urine
Suhu 36oC SpO2 98% - Cek UL/hari
- ASTO, kolesterol, LED,
BB : 19,5 kg albumin, C3, C4
Balance cairan: - Pro USG ginjal
Input 1307,5 cc – Output - Balance cairan per 24 jam
1468,75 cc
= - 161,25 - Inj. Amoxicillin
3x550mg/IV
- Inj. Furosemid 3x20 mg/IV
- Spironolakton 1x20 mg/PO
- Captopril 3x 6,25 mg/PO
- Diet TKRP 1500 kkal/hari
- Minum maksimal
1200cc/hari

Pemeriksaan hematologi, kimia klinik, imuno-serologi


Pemeriksaan yang Hasil yang Nilai Normal
dilakukan didapat
Laju Endap Drah 83 <15 mm/jam
Cholesterol 186 <200 mg/dL
ASTO 400 <200 IU/mL
Positif

14 Agustus S: Bengkak berkurang A : GNAPS + Hipertensi


2018 Muntah 2x setelah makan
(perawatan H-4) Batuk pilek (+)
P:
BAK merah (+)
- Kultur swab tenggorok
BAB (-)
- Kultur urine
Nyeri perut (+)
- Cek UL/hari
- C3, C4
O: Kesadaran CM, TD 110/70

9
mmHg, Nadi 92x/i, RR 27 x/i, - Pro USG ginjal
Suhu 36,3oC SpO2 98% - Balance cairan per 24 jam
BB : 18 kg
- Inj. Amoxicillin
Balance cairan: 3x550mg/IV
Input 740 cc – Output 1150 cc - Inj. Furosemid 3x20 mg/IV
= - 410 - Spironolakton 1x20 mg/PO
- Captopril 3x 6,25 mg/PO
- Ambroxol 3x ½ Cth
- Tremenza 3x ½ Cth
- Vip albumin 2x1 caps/PO
- Diet TKRP 1500 kkal/hari
- Minum maksimal
1200cc/hari
Pemeriksaan urinalisis 14 Agustus 2018
Pemeriksaan Hasil Nilai Normal
Berat Jenis 1.015 1.003-1.300
Ketone - Negatif (-)
Nitrit - Negatif (-)
Leuko +2 Negatif (-)
Hemoglobin/Darah +3 Negatif (-)
Warna Merah Kuning
Kejernihan Keruh Jernih
pH 6,0 4,8-7,8
Protein +3 Negatif (-)
Glukosa - Negatif (-)
Bilirubin - Negatif (-)
Urobilinogen - Negatif (-)
Sediment
Sel Epitel + Sedikit
Leukosit 10-15 0-1
Eritrosit Banyak 0-1
Silinder - Negatif (-)
Krital - Negatif (-)
Bakteri +3 Negatif (-)
Jamur - Negatif (-)
Lain-lain -

Pemeriksaan Hasil Nilai Normal


Esbach 4,20 gr/L/24 jam < 0,15 gr/L/24 jam

10
15 Agustus S: Bengkak berkurang - Balance cairan per 24
Batuk pilek (+), BAK merah (+) jam
2018
BAB (-)
(Perawatan H-5) - Inj. Amoxicillin
O: Kesadaran CM, TD 120/90 3x550mg/IV
mmHg, Nadi 91x/i, RR 26 x/i, - Inj. Furosemid 3x20
Suhu 36,4oC SpO2 98% mg/IV
BB : 18 kg - Spironolakton 1x20
mg/PO
Balance cairan: - Captopril 3x 6,25
Input 1710 cc – Output 1680 cc mg/PO
= - 30 - Ambroxol 3x ½ Cth
- Tremenza 3x ½ Cth
Hasil USG Ginjal
- Vip albumin 2x1
Peningkatan echo parenkim kedua caps/PO → Vitolbumin
ginjal, suspect nefropati bilateral. 3x2C
- Diet TKRP 1500
Hepar, lien, gallbladder, urine kkal/hari
bladder normal. - Minum maksimal
1200cc/hari

11
BAB 3
TINJAUAN PUSTAKA

3.1.Definisi
Glomerulonefritis adalah istilah umum yang digunakan untuk
menggambarkan berbagai penyakit ginjal yang mengalami proliferasi dan
peradangan di glomerulus karena proses imunologi. Glomerulonefritis akut
(GNA) adalah salah satu bentuk glomerulonefritis ditandai dengan penurunan
mendadak laju filtrasi glomerulus dengan manifestasi klinis seperti edema,
hematuria, hipertensi, oliguria dan insufisiensi ginjal. Oleh karena itu, GNA
kadang disebut sebagai sindrom nefritik akut (SNA) (Suhardi, Albar, Rauf, &
Daud, 2015)
Sindrom nefritik akut (SNA) adalah suatu kumpulan gejala klinik berupa
proteinuria, hematuria, azotemia, redbloodcast, oliguria& hipertensi (PHAROH)
yang terjadi secara akut. Glomerulonefritis akut (GNA) adalah suatu istilah yang
lebih bersifat umum dan lebih menggambarkan suatu proses histopatologi berupa
proliferasi & inflamasi sel glomeruli akibat proses imunologik. (Rauf, Albar, &
Aras, 2012)
GNAPS adalah suatu bentuk peradangan glomerulus yang secara
histopatologi menunjukkan proliferasi & Inflamasi glomeruli yang didahului oleh
infeksi group A β-hemolyticstreptococci (GABHS) dan ditandai dengan gejala
nefritik seperti hematuria, edema, hipertensi, oliguria yang terjadi secara akut
Penderita yang terserang infeksi kuman streptokokus grup A strain nefritogenik
hanya 10-15% yang berkembang menjadi GNAPS. (Putri & Susianti, 2017).
Glomerulonefritis merupakan suatu istilah yang dipakai untuk menjelaskan
berbagai ragam penyakit ginjal yang mengalami proliferasi dan inflamasi
glomerulus yang disebabkan oleh suatu mekanisme imunologis. Sedangkan istilah
akut (glomerulonefritis akut) mencerminkan adanya korelasi klinik selain
menunjukkan adanya gambaran etiologi, patogenesis, perjalanan penyakit dan
prognosis (Bergstein, 2000).

12
3.2. Epidemiologi
WHO mempekirakan 472.000 kasus GNAPS terjadi setiap tahunnya secara
global dengan 5.000 kematian setiap tahunnya. Dari seluruh kasus, 95%
diperkirakan akan sembuh sempurna, 2% meninggal selama fase akut dari
penyakit, dan 2% menjadi glomerulonefritis kronis (Hidayani, Umboh, &
Gunawan, 2016). GNAPS lebih sering terjadi pada anak usia 6 sampai 15 tahun
dan jarang pada usia di bawah 2 tahun. GNAPS didahului oleh infeksi GABHS
melalui infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) atau infeksi kulit (piodermi)
dengan periode laten 1-2 minggu pada ISPA atau 3 minggu pada pioderma.
Penelitian multisenter di Indonesia menunjukkan bahwa infeksi melalui ISPA
terdapat pada 45,8% kasus sedangkan melalui kulit sebesar 31,6% (Madaio, MP.
& Harrington JT, 2001)
Penelitian multisenter di Indonesia pada tahun 2007 melaporkan adanya 170
pasien yang dirawat di rumah sakit pendidikan dalam 12 bulan. Pasien terbanyak
dirawat di Surabaya (26,5%), kemudian disusul berturut-turut di Jakarta (24,7%),
Bandung (17,6%), dan Palembang (8,2%). (Albar & Rauf, 2009). GNAPS dapat
terjadi pada semua usia, tetapi paling sering terjadi pada usia 6 – 7 tahun.
Penelitian multisenter di Indonesia memperlihatkan sebaran usia 2,5 – 15 tahun
dengan rerata usia tertinggi 8,46 tahun dan rasio laki-laki : perempuan = 1, 34 : 1.
(Rauf, Albar, & Aras, 2012)

3.3. Etiologi
Organisme tersering yang berhubungan dengan GNAPS ialah Group A β-
hemolytic streptococci. Penyebaran penyakit ini dapat melalui infeksi saluran
napas atas (tonsillitis/faringitis) atau kulit (piodermi), baik secara sporadik atau
epidemiologik. Meskipun demikian tidak semua GABHS menyebabkan penyakit
ini, hanya 15% mengakibatkan GNAPS. Hal tersebut karena hanya serotipe
tertentu dari GABHS yang bersifat nefritogenik, yaitu yang dindingnya
mengandung protein M atau T (terbanyak protein tipe M) (Rauf, Albar, & Aras,
2012).
Streptokokus dapat dibagi menjadi tiga kelompok berdasarkan
kemampuan menghancurkan sel darah merah, yaitu Streptococcus β haemolyticus

13
jika kuman dapat melakukan hemolisis lengkap, Streptococcus α - haemolyticus
jika melakukan hemolisis parsial, dan Streptococcus γ – haemolyticus jika tidak
menyebabkan hemolisis. Streptococcus β haemolyticus dapat dibagi menjadi 20
grup serologis yaitu grup A hingga T. Sistem penentuan serotipe grup A
streptokokus dibuat menurut abjad berdasarkan jenis polisakarida dinding sel
(Lancefield group) atas dasar reaksi presipitin protein M atau reaksi aglutinin
protein T dinding sel. Disebut sebagai streptokokus grup A karena dinding sel
terdiri dari polisakarida polimer l-ramnose dan N-asetil-D-glukosamin dengan
rasio 2:1. Polisakarida grup A ini mengadakan ikatan ke peptidoglikan yang
disusun dari N-asetil-D-glukosamin, N-asetil-D-muraminic acid, dan tetrapeptida
asam d-glutamat, serta d- dan l-lisin pada dinding sel. Streptokokus grup A, B, C,
D, dan G merupakan grup yang paling sering ditemukan pada manusia.
Streptococcus β haemolyticus grup A merupakan bentuk yang paling virulen.
Streptokokus grup A disebut juga dengan Streptokokus piogenes, dan termasuk
kelompok Streptococcus β haemolyticus yang dapat menyebabkan GNAPS dan
demam reumatik. Pada kuman streptokokus grup A ini, telah diidentifikasi
sejumlah konsituen somatik dan produk ekstraselular, namun peranannya dalam
patogenesis GNAPS belum semuanya diketahui (Pardede, 2009).
Pada anak GNAPS paling sering disebabkan oleh Streptococcus beta
hemolyticus group A tipe nefritogenik. Tipe antigen protein M berkaitan erat
dengan tipe nefritogenik. Serotipe streptokokus beta hemolitik yang paling sering
dihubungkan dengan glomerulonefritis akut (GNA) yang didahului faringitis
adalah tipe 12, tetapi kadang- kadang juga tipe 1,4 ,6 dan 25. Tipe 49 paling
sering dijumpai pada glomerulonefritis yang didahului infeksi kulit / pioderma,
walaupun galur 53, 55, 56, 57 dan 58 dapat berimplikasi. Protein streptokokus
galur nefritogenik yang merupakan antigen antara lain endostreptosin, antigen
presorbing (PA-Ag), nephritic strain-associated protein (NSAP) yang dikenal
sebagai streptokinase dan nephritic plasmin binding protein (NPBP)
(Lumbanbatu, 2003)

14
Gambar 1 Struktur Sel Streptokokus Grup A

Struktur sel streptokokus grup A terdiri dari kapsul asam hialuronidat,


dinding sel, fimbriae, dan membran sitoplasma yang menutupi sitoplasma. Kapsul
asam hialuronat bekerja sebagai strain mukoid, resisten terhadap pagositosis, dan
berperan dalam terjadinya infeksi. Dinding sel merupakan struktur yang
kompleks, terdiri dari protein spesifik, asam lipoteikoat, peptidoglikan, dan
karbohidrat polisakarida grup A, serta mengandung berbagai struktur antigenik,
dibentuk oleh polimer N-asetil-D-glukosamin dan N-asetil-D-muraminic acid
yang dihubungkan oleh asam amino. Asam lipoteikoat dapat mempercepat
kolonisasi kuman dan mengadakan ikatan dengan fibronektin pada permukaan sel
epitel. Lapisan mukopolipeptida (peptidoglikan) berperan dalam rigiditas dinding
sel. Selain mengandung komponen karbohidrat yang digunakan untuk
membedakan streptokokus β hemolitikus menjadi grup A, dinding sel kuman juga
mengandung protein spesifik yang terdiri dari protein kelas mayor yaitu protein M
dan protein T serta kelas minor yaitu protein F, protein R, dan M-like protein.
Streptokokus grup A mempunyai komponen dinding sel yang mempunyai peranan
penting dalam perlekatan sel dan resistensi terhadap mekanisme pertahanan
pejamu. Peranan berbagai protein permukaan sel yang terikat terhadap molekul

15
fraksi Fc imunoglobulin belum jelas.Fimbriae yang menonjol pada permukaan
dinding sel disusun dari protein M spesifik dan asam lipoteikoat (polifosfogliserol
dan asam lemak) yang memediasi adesi Streptokokus grup A ke fibronektin pada
sel epitel pejamu. Membran sitoplasma dibentuk dari lipoprotein dan protein
termasuk protein-terikat-penisilin (penicillin-binding protein) yang berperan
dalam sintesis dinding sel, dan endostreptosin yang penting dalam patogenesis
GNAPS. Di dalam sitoplasma terdapat DNA, RNA, serta berbagai bakteriofag
(Pardede, 2009).

3.4. Patogenesis
Pada GNAPS terjadi reaksi radang pada glomerulus yang menyebabkan
filtrasi glomeruli berkurang, sedangkan aliran darah ke ginjal biasanya normal.
Hal tersebut akan menyebabkan filtrasi fraksi berkurang sampai di bawah 1%.
Keadaan ini akan menyebabkan reabsorbsi di tubulus proksimalis berkurang yang
akan mengakibatkan tubulus distalis meningkatkan proses reabsorbsinya,
termasuk Na, sehingga akan menyebabkan retensi Na dan air (Rauf, Albar, &
Aras, 2012). Penelitian-penelitian lebih lanjut memperlihatkan bahwa retensi Na
dan air didukung oleh keadaan berikut ini:
1. Faktor-faktor endothelial dan mesangial yang dilepaskan oleh proses
radang di glomerulus.
2. Overexpression dari epithelial sodium channel.
3. Sel-sel radang interstitial yang meningkatkan aktivitas angiotensin
intrarenal.
Faktor-faktor inilah yang secara keseluruhan menyebabkan retensi Na dan
air, sehingga dapat menyebabkan edema dan hipertensi. Efek proteinuria yang
terjadi pada GNAPS tidak sampai menyebabkan edema lebih berat, karena
hormon-hormon yang mengatur ekpansi cairan ekstraselular seperti renin
angiotensin, aldosteron dan anti diuretik hormon (ADH) tidak meningkat. Edema
yang berat dapat terjadi pada GNAPS bila ketiga hormon tersebut meningkat.
Seperti beberapa penyakit ginjal lainnya, GNAPS termasuk penyakit
kompleks imun. Beberapa bukti yang menunjukkan bahwa GNAPS termasuk
penyakit imunologik adalah:

16
 Adanya periode laten antara infeksi streptokokus dan gejala klinik .
 Kadar imunoglobulin G (IgG) menurun dalam darah.
 Kadar komplemen C3 menurun dalam darah.
 Adanya endapan IgG dan C3 pada glomerulus.
 Titer antistreptolisin O (ASO) meninggi dalam darah.

Pada pemeriksaan hapusan tenggorok (throat swab) atau kulit (skin swab)
tidak selalu ditemukan GABHS. Hal ini mungkin karena penderita telah mendapat
antibiotik sebelum masuk rumah sakit. Juga lamanya periode laten menyebabkan
sukarnya ditemukan kuman streptokokus. Seperti telah disebutkan sebelumnya,
maka organisme tersering yang berhubungan dengan GNAPS ialah Group A β-
hemolytic streptococci. Penyebaran penyakit ini dapat melalui infeksi saluran
napas atas (tonsillitis/faringitis) atau kulit (piodermi), baik secara sporadik atau
epidemiologik. Meskipun demikian tidak semua GABHS menyebabkan penyakit
ini, hanya 15% mengakibatkan GNAPS. Hal tersebut karena hanya serotipe
tertentu dari GABHS yang bersifat nefritogenik, yaitu yang dindingnya
mengandung protein M atau T (terbanyak protein tipe M) (Rauf, Albar, & Aras,
2012).Penelitian akhir-akhir ini memperlihatkan 2 bentuk antigen yang berperan
pada GNAPS yaitu :
1. Nephritis associated plasmin receptor (NAPℓr)
NAPℓr dapat diisolasi dari streptokokus grup A yang terikat dengan
plasmin. Antigen nefritogenik ini dapat ditemukan pada jaringan hasil biopsi
ginjal pada fase dini penderita GNAPS. Ikatan dengan plasmin ini dapat
meningkatkan proses inflamasi yang pada gilirannya dapat merusak membran
basalis glomerulus.
2. Streptococcal pyrogenic exotoxin B (SPEB)
SPEB merupakan antigen nefritogenik yang dijumpai bersama – sama
dengan IgG komplemen (C3) sebagai electron dense deposit subepithelial
yang dikenal sebagai HUMPS.

Proses Imunologik yang terjadi dapat melalui :


1. Soluble Antigen-Antibody Complex

17
Kompleks imun terjadi dalam sirkulasi NAPℓr sebagai antigen dan
antibodi anti NAPℓr larut dalam darah dan mengendap pada glomerulus.
2. Insitu Formation:
Kompleks imun terjadi di glomerulus (insitu formation), karena
antigen nefritogenik tersebut bersifat sebagai planted antigen. Teori insitu
formation lebih berarti secara klinik oleh karena makin banyak HUMPS yang
terjadi makin lebih sering terjadi proteinuria masif dengan prognosis buruk.
Imunitas selular juga turut berperan pada GNAPS, karena dijumpainya
infiltrasi sel-sel limfosit dan makrofog pada jaringan hasil biopsi ginjal. Infiltrasi
sel-sel imunokompeten difasilitasi oleh sel-sel molekul adhesi ICAM – I dan LFA
– I, yang pada gilirannya mengeluarkan sitotoksin dan akhirnya dapat merusak
membran basalis glomerulus (Rauf, Albar, & Aras, 2012).

3.5. Manifestasi Klinis


GNAPS didahului oleh infeksi GABHS melalui infeksi saluran pernapasan
akut (ISPA) atau infeksi kulit dengan periode laten 1-2 minggu pada ISPA atau 3
minggu pada pioderma. Penelitian multisenter di Indonesia menunjukkan bahwa
infeksi melalui ISPA terdapat pada 45,8% kasus sedangkan melalui kulit sebesar
31,6%. (Rauf, Albar, & Aras, 2012)
Gejala klinik GNAPS sangat bervariasi dari bentuk asimtomatik sampai
gejala yang khas. Bentuk asimtomatik lebih banyak daripada bentuk simtomatik
baik sporadik maupun epidemik. Bentuk asimtomatik diketahui bila terdapat
kelainan sedimen urin terutama hematuria mikroskopik yang disertai riwayat
kontak dengan penderita GNAPS simtomatik. (Rauf, Albar, & Aras, 2012)

Periode laten
Pada GNAPS yang khas harus ada periode laten yaitu periode antara infeksi
streptokokus dan timbulnya gejala klinik. Periode ini berkisar 1-3 minggu;
periode 1-2 minggu umumnya terjadi pada GNAPS yang didahului oleh ISPA,
sedangkan periode 3 minggu didahului oleh infeksi kulit atau pioderma. Periode
ini jarang terjadi di bawah 1 minggu. Bila periode laten ini berlangsung kurang
dari 1 minggu, maka harus dipikirkan kemungkinan penyakit lain, seperti

18
eksaserbasi dari glomerulonefritis kronik, lupus eritematosussistemik, purpura
Henoch-Schöenlein atau Benignrecurrenthaematuria. (Rauf, Albar, & Aras, 2012)

Edema
Merupakan gejala yang paling sering, umumnya pertama kali timbul, dan
menghilang pada akhir minggu pertama. Edema paling sering terjadi di daerah
periorbital (edema palpebra), disusul daerah tungkai. Jika terjadi retensi cairan
hebat, maka edema timbul di daerah perut (asites), dan genitalia eksterna (edema
skrotum/vulva) menyerupai sindrom nefrotik. (Rauf, Albar, & Aras, 2012)
Distribusi edema bergantung pada 2 faktor, yaitu gaya gravitasi dan tahanan
jaringan lokal. Oleh sebab itu, edema pada palpebra sangat menonjol waktu
bangun pagi, karena adanya jaringan longgar pada daerah tersebut dan
menghilang atau berkurang pada siang dan sore hari atau setelah melakukan
kegitan fisik. Hal ini terjadi karena gaya gravitasi. Kadang-kadang terjadi edema
laten, yaitu edema yang tidak tampak dari luar dan baru diketahui setelah terjadi
diuresis dan penurunan berat badan. (Rauf, Albar, & Aras, 2012)
Edema bersifat pittingsebagai akibat cairan jaringan yang tertekan masuk ke
jaringan interstisial yang dalam waktu singkat akan kembali ke kedudukan
semula. (Rauf, Albar, & Aras, 2012)

Hematuria
Hematuria makroskopik terdapat pada 30-70% kasus GNAPS,sedangkan
hematuria mikroskopik dijumpai hampir pada semua kasus. Suatu penelitian
multisenter di Indonesia mendapatkan hematuria makroskopik berkisar 46-100%,
sedangkan hematuria mikroskopik berkisar 84-100%. (Rauf, Albar, & Aras, 2012)
Urin tampak coklat kemerahan atau seperti teh pekat, air cucian daging atau
berwarna seperti cola. Hematuria makroskopik biasanya timbul dalam minggu
pertama dan berlangsung beberapa hari, tetapi dapat pula berlangsung sampai
beberapa minggu. Hematuria mikroskopik dapat berlangsung lebih lama,
umumnya menghilang dalam waktu 6 bulan. Kadang-kadang masih dijumpai
hematuria mikroskopik dan proteinuria walaupun secara klinik GNAPS sudah
sembuh. Bahkan hematuria mikroskopik bisa menetap lebih dari satu tahun.

19
Keadaan terakhir ini merupakan indikasi untuk dilakukan biopsi ginjal, mengingat
kemungkinan adanya glomerulonefritis kronik. (Rauf, Albar, & Aras, 2012)

Hipertensi
Hipertensi merupakan gejala yang terdapat pada 60-70% kasus GNAPS.
Albar mendapati hipertensi berkisar 32-70%. Umumnya terjadi dalam minggu
pertama dan menghilang bersamaan dengan menghilangnya gejala klinik yang
lain. Pada kebanyakan kasus dijumpai hipertensi ringan (tekanan diastolik 80-90
mmHg). Hipertensi ringan tidak perlu diobati sebab dengan istirahat yang cukup
dan diet yang teratur, tekanan darah akan normal kembali. Adakalanya hipertensi
berat menyebabkan ensefalopati hipertensi yaitu hipertensi yang disertai gejala
serebral, seperti sakit kepala, muntah-muntah, kesadaran menurun dan kejang-
kejang. Penelitian multisenter di Indonesia menemukan ensefalopati hipertensi
berkisar 4-50%. (Rauf, Albar, & Aras, 2012)

Oliguria
Keadaan ini jarang dijumpai, terdapat pada 5-10% kasus GNAPS dengan
produksi urin kurang dari 350 ml/m2 LPB/hari. Oliguria terjadi bila fungsi ginjal
menurun atau timbul kegagalan ginjal akut. Seperti ketiga gejala sebelumnya,
oliguria umumnya timbul dalam minggu pertama dan menghilang bersamaan
dengan timbulnya diuresis pada akhir minggu pertama. Oliguria bisa pula menjadi
anuria yang menunjukkan adanya kerusakan glomerulus yang berat dengan
prognosis yang jelek. (Rauf, Albar, & Aras, 2012)

Gejala Kardiovaskular
Gejala kardiovaskular yang paling penting adalah bendungan sirkulasi yang
terjadi pada 20-70% kasus GNAPS. Bendungan sirkulasi dahulu diduga terjadi
akibat hipertensi atau miokarditis, tetapi ternyata dalam klinik bendungan tetap
terjadi walaupun tidak ada hipertensi atau gejala miokarditis. Ini berarti bahwa
bendungan terjadi bukan karena hipertensi atau miokarditis, tetapi diduga akibat
retensi Na dan air sehingga terjadi hipervolemia. (Rauf, Albar, & Aras, 2012)

20
Edema paru merupakan gejala yang paling sering terjadi akibat bendungan
sirkulasi. Kelainan ini bisa bersifat asimtomatik, artinya hanya terlihat secara
radiologik. Gejala-gejala klinik adalah batuk, sesak napas, sianosis. Pada
pemeriksaan fisik terdengar ronki basah kasar atau basah halus. Keadaan ini
disebut acute pulmonary edema yang umumnya terjadi dalam minggu pertama
dan kadang-kadang bersifat fatal. Gambaran klinik ini menyerupai
bronkopnemonia sehingga penyakit utama ginjal tidak diperhatikan. Oleh karena
itu pada kasus-kasus demikian perlu anamnesis yang teliti dan jangan lupa
pemeriksaan urin. Frekuensi kelainan radiologik toraks berkisar antara 62,5-
85,5% dari kasus-kasus GNAPS. Kelainan ini biasanya timbul dalam minggu
pertama dan menghilang bersamaan dengan menghilangnya gejala-gejala klinik
lain. (Rauf, Albar, & Aras, 2012)

Gejala-gejala lain
Selain gejala utama, dijumpai gejala umum seperti pucat, malaise, letargi
dan anoreksia. Gejala pucat mungkin karena peregangan jaringan subkutan akibat
edema atau akibat hematuria makroskopik yang berlangsung lama. (Rauf, Albar,
& Aras, 2012)

3.6. Diagnosis
Berbagai macam kriteria dikemukakan untuk diagnosis GNAPS, tetapi pada
umumnya kriteria yang digunakan adalah gejala-gejala klinik sebagai berikut:
(Rauf, Albar, & Aras, 2012)
1. Secara klinik diagnosis GNAPS dapat ditegakkan bila dijumpai full blown
case dengan gejala-gejala hematuria, hipertensi, edema, oliguria yang
merupakan gejala-gejala kardinal GNAPS.
2. Untuk menunjang diagnosis klinik, dilakukan pemeriksaan laboratorium
berupa ASTO (meningkat) & C3 (menurun) dan pemeriksaan lain berupa
adanya torak eritrosit, hematuria & proteinuria.
3. Diagnosis pasti ditegakkan bila biakan positif untuk streptokokus ß
hemolitikus grup A.

21
Pada GNAPS asimtomatik, diagnosis berdasarkan atas kelainan sedimen
urin (hematuria mikroskopik), proteinuria dan adanya epidemi atau riwayat
kontak dengan penderita GNAPS. (Rauf, Albar, & Aras, 2012)

3.6.1. Pemeriksaan Penunjang


Urin
Secara kualitatif proteinuria berkisar antara negatif sampai +2, jarang terjadi
sampai dengan +3. Secara kuantitatif proteinuria biasanya kurang dari 2 gram/m2
LPB/24 jam, tetapi pada keadaan tertentu dapat melebihi 2 gram/m2 LPB/24 jam.
Hilangnya proteinuria tidak selalu bersamaan dengan hilangnya gejala-gejala
klinik, sebab lamanya proteinuria bervariasi antara beberapa minggu sampai
beberapa bulan sesudah gejala klinik menghilang. Sebagai batas 6 bulan, bila
lebih dari 6 bulan masih terdapat proteinuria disebut proteinuria menetap yang
menunjukkan kemungkinan suatu glomerulonefritis kronik yang memerlukan
biopsi ginjal untuk membuktikannya. (Rauf, Albar, & Aras, 2012)
Hematuria mikroskopik merupakan kelainan yang hampir selalu ada, karena
itu adanya eritrosit dalam urin ini merupakan tanda yang paling penting untuk
melacak lebih lanjut kemungkinan suatu glomerulonefritis. Begitu pula dengan
torak eritrosit yang dengan pemeriksaan teliti terdapat pada 60-85% kasus
GNAPS. Adanya torak eritrosit ini merupakan bantuan yang sangat penting pada
kasus GNAPS yang tidak jelas, sebab silinder ini menunjukkan adanya suatu
peradangan glomerulus (glomerulitis). Meskipun demikian bentuk torak eritrosit
ini dapat pula dijumpai pada penyakit ginjal lain. (Rauf, Albar, & Aras, 2012)

Darah
Infeksi streptokokus pada GNA menyebabkan reaksi serologis terhadap
produk-produk ekstraselular streptokokus, sehingga timbul antibodi yang titernya
dapat diukur, seperti antistreptolisin O (ASTO), anti-hialuronidase (AH-ase) dan
anti-deoksiribonuklease (AD Nase-B). Titer ASTO merupakan reaksi serologis
yang paling sering diperiksa. Titer ini meningkat 70-80% pada GNAPS.
Sedangkan kombinasi titer ASTO, AD Nase-B dan AH ase yang meninggi,
hampir 100% menunjukkan adanya infeksi streptokokus sebelumnya. Kenaikan

22
titer ini dimulai pada hari ke-10 hingga 14 sesudah infeksi streptokokus dan
mencapai puncaknya pada minggu ke- 3 hingga 5 dan mulai menurun pada bulan
ke-2 hingga 6. Titer ASTO jelas meningkat pada GNAPS setelah infeksi saluran
pernapasan oleh streptokokus. Titer ASTO bisa normal atau tidak meningkat
akibat pengaruh pemberian antibiotik, kortikosteroid atau pemeriksaan dini titer
ASTO. Sebaliknya titer ASTO jarang meningkat setelah piodermihanya sekitar
50% kasus. Di pihak lain, titer AD Nase jelas meningkat setelah infeksi melalui
kulit. (Rauf, Albar, & Aras, 2012)
Komplemen serum hampir selalu menurun pada GNAPS, karena turut serta
berperan dalam proses antigen-antibodi sesudah terjadi infeksi streptokokus yang
nefritogenik. Di antara sistem komplemen dalam tubuh, maka komplemen C3
(B1C globulin) yang paling sering diperiksa kadarnya karena cara pengukurannya
mudah. Beberapa penulis melaporkan 80-92% kasus GNAPS dengan kadar C3
menurun. Umumnya kadar C3 mulai menurun selama fase akut atau dalam
minggu pertama perjalanan penyakit, kemudian menjadi normal sesudah 4-8
minggu timbulnya gejala-gejala penyakit. Bila sesudah 8 minggu kadar
komplemen C3 ini masih rendah, maka hal ini menunjukkan suatu proses kronik
yang dapat dijumpai pada glomerulonefritis membranoproliferatif atau nefritis
lupus. (Rauf, Albar, & Aras, 2012)
LED umumnya meninggi pada fase akut dan menurun setelah gejala klinik
menghilang. Walaupun demikian LED tidak dapat digunakan sebagai parameter
kesembuhan GNAPS, karena terdapat kasus GNAPS dengan LED tetap tinggi
walaupun gejala klinik sudah menghilang. (Rauf, Albar, & Aras, 2012)

3.7. Diagnosis Banding


Glomerulonefritis kronik eksaserbasi akut
Kelainan ini penting dibedakan dari GNAPS karena prognosisnya sangat
berbeda. Perlu dipikirkan adanya penyakit ini bila pada anamnesis terdapat
penyakit ginjal sebelumnya dan periode laten yang terlalu singkat, biasanya 1-3
hari. Selain itu adanya gangguan pertumbuhan, anemia dan ureum yang jelas
meninggi waktu timbulnya gejala-gejala nefritis dapat membantu diagnosis.
(Rauf, Albar, & Aras, 2012)

23
Penyakit ginjal dengan manifestasi hematuria
Penyakit-penyakit ini dapat berupa glomerulonefritis fokal, nefritis herediter
(sindrom Alport), IgA-IgG nefropati (Maladiede Berger) dan benign recurrent
haematuria. Umumnya penyakit ini tidak disertai edema atau hipertensi.
Hematuria mikroskopik yang terjadi biasanya berulang dan timbul bersamaan
dengan infeksi saluran napas tanpa periode laten ataupun kalau ada berlangsung
sangat singkat. (Rauf, Albar, & Aras, 2012)

Rapidly progressive glomerulonefritis (RPGN)


RPGN lebih sering terdapat pada orang dewasa dibandingkan pada anak.
Kelainan ini sering sulit dibedakan dengan GNAPS terutama pada fase akut
dengan adanya oliguria atau anuria. Titer ASO, AH ase, AD Nase B pada RPGN
biasanya normal. Komplemen C3 yang menurun pada GNAPS jarang terjadi pada
RPGN. Prognosis pada RPGN biasanya buruk dan bila penderita tidak mendapat
pengobatan segera dapat meninggal dalam beberapa bulan. (Rauf, Albar, & Aras,
2012)

Penyakit-penyakit sistemik
Beberapa penyakit yang perlu didiagnosis banding adalah Henoch-
Schöenlein purpura, SLE dan endokarditis bakterial subakut (SBE). Ketiga
penyakit ini dapat menunjukkan gejala-gejala sindrom nefritik akut, seperti
hematuria, proteinuria dan kelainan sedimen yang lain, tetapi pada apusan
tenggorok negatif dan titer ASO normal. Pada HSP dapat dijumpai purpura, nyeri
abdomen dan artralgia. Pada SLE terdapat kelainan kulit dan positif pada
pemeriksaan darah,. Sedangkan pada SBE tidak terdapat edema, hipertensi atau
oliguria. Biopsi ginjal dapat mempertegas perbedaan GNAPS dengan ketiganya.
(Rauf, Albar, & Aras, 2012)

24
Penyakit-penyakit infeksi
GNA bisa pula terjadi sesudah infeksi bakteri atau virus tertentu selain oleh
Streptokokus β hemolitikus grup A. Beberapa kepustakaan melaporkan gejala
GNA yang timbul sesudah infeksi virus morbili, parotitis, varicella, dan virus
ECHO. Diagnosis banding dengan GNAPS adalah dengan melihat penyakit
dasarnya. (Rauf, Albar, & Aras, 2012)

3.8. Penatalaksanaan
Istirahat
Istirahat di tempat tidur terutama bila dijumpai komplikasi yang biasanya
timbul dalam minggu pertama perjalanan penyakit GNAPS. Dahulu dianjurkan
prolonged bedrest dengan alasan proteinuria dan hematuria mikroskopik belum
hilang. Kini penderita dipulangkan sesudah 10-14 hari perawatan dengan syarat
tidak ada komplikasi. Bila masih dijumpai kelainan laboratorium urin, maka
dilakukan pengamatan lanjut pada waktu berobat jalan. Istirahat yang terlalu lama
di tempat tidur dapat memberikan beban psikologik. (Rauf, Albar, & Aras, 2012)

Diet
Jumlah garam yang diberikan perlu diperhatikan. Bila edema berat,
diberikan makanan tanpa garam, sedangkan bila edema ringan, pemberian garam
dibatasi sebanyak 0,5-1 g/hari. Protein dibatasi bila kadar ureum meninggi, yaitu
sebanyak 0,5-1 g/kgbb/hari. Asupan cairan harus diperhitungkan dengan baik,
terutama pada penderita oliguria atau anuria, yaitu jumlah cairan yang masuk
harus seimbang dengan pengeluaran, berarti asupan cairan = jumlah urin +
insensible water loss(20-25 ml/kgbb/hari) + jumlah keperluan cairan pada pasien
demam (10 ml/kgbb/hari). (Rauf, Albar, & Aras, 2012)

Antibiotik
Pemberian antibiotik pada GNAPS sampai sekarang masih sering
dipertentangkan. Pihak satu hanya memberi antibiotik bila biakan hapusan
tenggorok atau kulit positif untuk streptokokus, sedangkan pihak lain
memberikannya secara rutin dengan alasan biakan negatif belum dapat

25
menyingkirkan infeksi streptokokus. Biakan negatif dapat terjadi oleh karena telah
mendapat antibiotik sebelum masuk rumah sakit atau akibat periode laten yang
terlalu lama (> 3 minggu). Terapi medikamentosa golongan penisilin diberikan
untuk eradikasi kuman, yaitu amoksisilin 50 mg/kgbb dibagi dalam 3 dosis selama
10 hari. Jika terdapat alergi terhadap golongan penisilin, dapat diberi eritromisin
dosis 30 mg/kgbb/hari. (Rauf, Albar, & Aras, 2012)

Simptomatik
Edema
Hal paling penting dalam menangani sirkulasi adalah pembatasan cairan,
dengan kata lain asupan harus sesuai dengan keluaran. Bila terjadi edema berat
atau tanda-tanda edema paru akut, harus diberi diuretik, misalnya furosemid (1
mg/kgbb/hari). Bila tidak berhasil, maka dilakukan dialisis peritoneal. (Rauf,
Albar, & Aras, 2012)

Hipertensi
Tidak semua hipertensi harus mendapat pengobatan. Pada hipertensi ringan
dengan istirahat cukup dan pembatasan cairan yang baik, tekanan darah bisa
kembali normal dalam waktu 1 minggu. Pada hipertensi sedang atau berat tanpa
tanda-tanda serebral dapat diberi kaptopril (0,3-2 mg/kgbb/hari) atau furosemid
atau kombinasi keduanya. Selain obat-obat tersebut diatasdapat juga diberi
nifedipin secara sublingual dengan dosis 0,25-0,5 mg/kgbb/hari yang dapat
diulangi setiap 30-60 menit hingga 3 kali. Pada hipertensi berat atau hipertensi
dengan gejala serebral (ensefalopati hipertensi) dapat diberi klonidin (0,002-0,006
mg/kgbb) yang dapat diulangi hingga 3 kali atau diazoxide 5 mg/kgbb/hari secara
intravena (I.V). Kedua obat tersebut dapat digabung dengan furosemid (1 – 3
mg/kgbb). (Rauf, Albar, & Aras, 2012)

Gangguan ginjal akut


Hal penting yang harus diperhatikan adalah pembatasan cairan, pemberian
kalori yang cukup dalam bentuk karbohidrat. Bila terjadi asidosis harus diberi

26
natrium bikarbonat dan bila terdapat hiperkalemia diberi Ca glukonas atau
Kayexalate untuk mengikat kalium. (Rauf, Albar, & Aras, 2012)

3.9. Komplikasi
Komplikasi yang sering dijumpai adalah (Rauf, Albar, & Aras, 2012):
1. Ensefalopati hipertensi (EH).
EH adalah hipertensi berat (hipertensi emergensi) yang pada anak > 6 tahun
dapat melewati tekanan darah 180/120 mmHg. EH dapat diatasi dengan
memberikan nifedipin (0,25 – 0,5 mg/kgbb/dosis) secara oral atau sublingual pada
anak dengan kesadaran menurun. Bila tekanan darah belum turun dapat diulangi
tiap 15 menit hingga 3 kali. Penurunan tekanan darah harus dilakukan secara
bertahap. Bila tekanan darah telah turun sampai 25%, seterusnya ditambahkan
kaptopril (0,3 – 2 mg/kgbb/hari) dan dipantau hingga normal.

2. Gangguan ginjal akut (Acute kidney injury/AKI)


Pengobatan konservatif :
a. Dilakukan pengaturan diet untuk mencegah katabolisme dengan
memberikan kalori secukupnya, yaitu 120 kkal/kgbb/hari
b. Mengatur elektrolit :
 Bila terjadi hiponatremia diberi NaCl hipertonik 3%.
 Bila terjadi hipokalemia diberikan :
 Calcium Gluconas 10% 0,5 ml/kgbb/hari
 NaHCO3 7,5% 3 ml/kgbb/hari
 K+ Exchange resin 1 g/kgbb/hari
 Insulin 0,1 unit/kg &0,5 – 1 g glukosa 0,5 g/kgbb
3. Edema paru
Anak biasanya terlihat sesak dan terdengar ronki nyaring, sehingga
sering disangka sebagai bronkopneumoni.
4. Posterior leukoencephalopathy syndrome
Merupakan komplikasi yang jarang dan sering dikacaukan dengan
ensefalopati hipertensi, karena menunjukkan gejala-gejala yang sama seperti
sakit kepala, kejang, halusinasi visual, tetapi tekanan darah masih normal.

27
3.10. Prognosis
Berbagai faktor memegang peran dalam menetapkan prognosis GNAPS
antara lain umur saat serangan, derajat berat penyakit, galur streptokukus tertentu,
pola serangan sporadik atau epidemik, tingkat penurunan fungsi ginjal dan
gambaran histologis glomerulus. Anak kecil mempunyai prognosis lebih baik
dibanding anak yang lebih besar atau orang dewasa oleh karena GNAPS pada
dewasa sering disertai lesi nekrotik glomerulus. Perbaikan klinis yang sempurna
dan urin yang normal menunjukkan prognosis yang baik. Insiden gangguan fungsi
ginjal berkisar 1-30%. Kemungkinan GNAPS menjadi kronik 5-10 %; sekitar 0,5-
2% kasus menunjukkan penurunan fungsi ginjal cepat dan progresif dan dalam
beberapa minggu atau bulan jatuh ke fase gagal ginjal terminal. Angka kematian
pada GNAPS bervariasi antara 0-7 %. Melihat GNAPS masih sering dijumpai
pada anak, maka penyakit ini harus dicegah karena berpotensi menyebabkan
kerusakan ginjal. Pencegahan dapat berupa perbaikan ekonomi dan lingkungan
tempat tinggal, mengontrol dan mengobati infeksi kulit. Pencegahan GNAPS
berkontribusi menurunkan insiden penyakit ginjal dan gagal ginjal di kemudian
hari (Lumbanbatu, 2003).

28
BAB 4
PEMBAHASAN

Anamnesis
Teori Kasus
 GNAPS didahului oleh infeksi GABHS  Riwat penyakit dahulu pasien
melalui infeksi saluran pernapasan akut sering menderita batuk-pilek dan
(ISPA) atau infeksi kulit dengan periode sakit tenggorokan. Tidak ada batuk
laten 1-2 minggu pada ISPA atau 3 saat ini
minggu pada pioderma.  Bengkak dikeluhkan pasien saat
 Edema paling sering terjadi di daerah masuk rumah sakit tipe C setelah
periorbital (edema palpebra), disusul diberikan cairan infus selama 2
daerah tungkai. Jika terjadi retensi hari. Bengka terjadi di bawah
cairan hebat, maka edema timbul di kelopak mata, perut, kemaluan
daerah perut (asites), dan genitalia hingga paha.
eksterna (edema skrotum/vulva)  Urin berwarna coklat kemerahan
menyerupai sindrom nefrotik pekat seperti warna teh/cola
 Urin tampak coklat kemerahan atau dialami sejak 7 hari SMRS. Tidak
seperti teh pekat, air cucian daging atau ada nyeri saat berkemih.
berwarna seperti cola.  Saat sebelum di rawat di rumah
 Oliguria umumnya timbul dalam sakit tipe C samarinda, pasien
minggu pertama dan menghilang BAK sangat sedikit dan bewarna
bersamaan dengan timbulnya diuresis pekat
pada akhir minggu pertama (350 ml/m2  Tidak ada batuk, sesak, dan
LPB/hari) sianosis
 Batuk, sesak napas, sianosis  Pasien dirawat di rumah sakit tipe
menunjukkan terjadi acute pulmonary C dengan keluhan mual muntah,
edema yang umumnya terjadi dalam namun keluhan sudah tidak
minggu pertama dan kadang-kadang dirasakan kembali. Terdapat
bersifat fatal. penurunan nafsu makan
 Gejala umum seperti pucat, malaise,
letargi dan anoreksia.

29
Pemeriksaan Fisik
Teori Kasus
 Hipertensi merupakan gejala yang  Tekanan Darah 120/80 mmHg
terdapat pada 60-70% kasus GNAPS. dengan BB 19,5 dan TB 113
Albar mendapati hipertensi berkisar 32- (P50=94/56, P90=106/70,
70%. Umumnya terjadi dalam minggu P95=110/74, P99= 117/81)
pertama dan menghilang bersamaan  Edema palpebra (+/+) minimal
dengan menghilangnya gejala klinik Shifting dullness (+),
yang lain. Edema ekstremitas (-/-)
 Edema paling sering terjadi di daerah Edema genitalia (-)
periorbital (edema palpebra), disusul  Urine output 24 jam 800 cc
daerah tungkai. Jika terjadi retensi (dengan diuretic)
cairan hebat, maka edema timbul di  07.00-15.00 = 100 cc
daerah perut (asites), dan genitalia  15.00-23.00 = 400 cc
eksterna (edema skrotum/vulva)  23.00-07.00 = 300 cc
menyerupai sindrom nefrotik
 Oliguria jarang dijumpai, terdapat pada
5-10% kasus GNAPS dengan produksiE
urin kurang dari 350 ml/m2 LPB/hari.

30
Pemeriksaan Penunjang
Teori Kasus
Urin
Darah Rutin
 Secara kualitatif proteinuria berkisar Leukosit 13.820/mm3
antara negatif sampai +2, jarang terjadi Hb 8,7 g/dl
sampai dengan +3. Secara kuantitatif Hematokrit 25,6 %
proteinuria biasanya kurang dari 2 Trombosit 773.000 / mm3
gram/m2 LPB/24 jam, tetapi pada Urinalisis
keadaan tertentu dapat melebihi 2
Leuko +1
gram/m2 LPB/24 jam. Hematuria
Hemoglobin/Darah +4
mikroskopik merupakan kelainan yang
Warna Merah
hampir selalu ada, torak eritrosit dengan
Kejernihan Keruh
pemeriksaan teliti terdapat pada 60-85%
kasus GNAPS. Adanya torak eritrosit ini Protein +3
merupakan bantuan yang sangat penting Sediment
pada kasus GNAPS yang tidak jelas, Sel Epitel +
sebab silinder ini menunjukkan adanya Leukosit 10-15
suatu peradangan glomerulus Eritrosit Banyak
(glomerulitis). Silinder -
Darah Krital -
Bakteri +3
 Infeksi streptokokus pada GNA Jamur -
menyebabkan reaksi serologis terhadap
produk-produk ekstraselular
streptokokus, sehingga timbul antibodi
yang titernya dapat diukur, seperti Laju Endap Drah 83
antistreptolisin O (ASTO), Titer ASTO Cholesterol 186
merupakan reaksi serologis yang paling ASTO 400
sering diperiksa. Titer ini meningkat 70- Positif
80% pada GNAPS. 4,20 Nilai
 Komplemen serum hampir selalu gr/L/24 normal
Esbach

menurun pada GNAPS, karena turut jam < 0,15


serta berperan dalam proses antigen- gr/L/24jam
antibodi sesudah terjadi infeksi
streptokokus yang nefritogenik. Di antara
sistem komplemen dalam tubuh, maka
komplemen C3 (B1C globulin) yang
paling sering diperiksa kadarnya
 LED umumnya meninggi pada fase akut
dan menurun setelah gejala klinik
menghilang.

31
Penatalaksanaan

Teori Kasus
Istirahat - Bed Rest
Dianjurkan prolonged bedrest. - Inj. Amoxicillin 3x550mg/IV
- Inj. Furosemid 3x20 mg/IV
Diet - Spironolakton 1x20 mg/PO
Jumlah garam yang diberikan perlu - Captopril 3x 6,25 mg/PO
diperhatikan. Bila edema berat, diberikan - Diet TKRP 1500 kkal/hari
makanan tanpa garam, sedangkan bila - Minum maksimal
edema ringan, pemberian garam dibatasi 1200cc/hari
sebanyak 0,5-1 g/hari. Protein dibatasi bila
kadar ureum meninggi, yaitu sebanyak 0,5-1
g/kgbb/hari. Asupan cairan harus
diperhitungkan dengan baik, yaitu jumlah
cairan yang masuk harus seimbang dengan
pengeluaran.

Antibiotik
Terapi medikamentosa golongan penisilin
diberikan untuk eradikasi kuman, yaitu
amoksisilin 50 mg/kgbb dibagi dalam 3
dosis selama 10 hari. Jika terdapat alergi
terhadap golongan penisilin, dapat diberi
eritromisin dosis 30 mg/kgbb/hari.

Simptomatik
Edema
Furosemid (1 mg/kgbb/hari)

Hipertensi
Tidak semua hipertensi harus mendapat
pengobatan. Pada hipertensi ringan dengan
istirahat cukup dan pembatasan cairan yang
baik, tekanan darah bisa kembali normal
dalam waktu 1 minggu. Pada hipertensi
sedang atau berat tanpa tanda-tanda serebral
dapat diberi kaptopril (0,3-2 mg/kgbb/hari)
atau furosemid atau kombinasi keduanya.
Selain obat-obat tersebut diatas dapat juga
diberi nifedipin secara sublingual dengan
dosis 0,25-0,5 mg/kgbb/hari yang dapat
diulangi setiap 30-60 menit hingga 3 kali.

32
BAB 5
KESIMPULAN

Telah dilakukan pemeriksaan pada pasien perempuan An. A.A.Z usia 5


tahun 10 bulan yang didiagnosis dengan glomerulonefritis akut pasca
streptokokus (GNAPS), dari anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
penunjang didapatkan penegakkan diagnosis dan penatalaksanaan yang telah
sesuai dengan literatur yang mendukung pada kasus tersebut.

33
DAFTAR PUSTAKA

Albar, H., & Rauf, S. (2009). The profile of acute glomerulonephritis among
Indonesian children. Pediatrica Indonesiana, 45(11), 264-9.

Bhinma, R. (2016). Acute Post Streptoccocal Glomerulonepheritis. Diakses pada


tanggal 14 Agustus 2018 dari
http://www.emedicine.medscape.com/article/980685/overview

Bergstein, JM. (2000). Nefrologi dalam A.S. Wahab (Eds), Nelson Ilmu

Carapetis JR., Steer AC., & Mullolans EK. (2005). The Global Burden of Group
A streptococcal diseases. The Lancet Infectious Diseases, 685-94.

Hidayani, A. R., Umboh, A., & Gunawan, S. (2016). Profil Glomerulonefritis


Akut Pasca Streptokokus pada Anak yang Dirawat di Bagian Ilmu
Kesehatan Anak RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado. Jurnal e-Clinic,
4(2).

Lumbanbatu, S. M. (2003). Glomerulonefritis Akut Pasca Streptokokus pada


Anak. Sari Pediatri, 5(2), 58-63.

Madaio MP., & Harrington, JT. (2001). The Diagnosis of Glomerular Diseases:
Acute Glomerulonephritis and The Nephrotic Syndrome. Arch Intern Med.
2001;161(1):25-34.

Noer, S.M. (2002). Glomerunofritis dalam H. Alatas, T. Tambuan, P.P. Trihono,


& S.O Perdede (Eds), Buku Ajar Nefrologi Anak. Jakarta : Balai Penerbit
FKUI. Hal 323-361

Pardede, S. O. (2009). Streptokokus dan Patogenesis Glomerulonefritis Akut


Pascastreptokokus. Sari Pediatri, 11(1), 56-65.

Putri, I. N., & Susianti. (2017). Glomerulonefritis Akut Pasca Streptokokus


dengan Krisis Hipertensi pada Anak. Jurnal Medula Unila, 7(2), 57-62.

Rauf, S., Albar, H., & Aras, J. (2012). Konsensus Glomerulonefritis Akut Pasca
Streptokokus (GNAPS). Ikatan Dokter Indonesia.

Suhardi, Albar, H., Rauf, S., & Daud, D. (2015). The Identification of Acute Post
Streptococcus Glomerulonephritis Risk Factors in Children. International
Journal of Science and Research, 71-75.

34

Anda mungkin juga menyukai