TUTORIAL
RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda
Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman
Pembimbing:
dr. Hj. Sukartini, Sp.A
TUTORIAL KLINIK
Diajukan dalam Rangka Tugas Ilmiah Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu Kesehatan
Anak
Oleh:
Muhammad Aris Indrawan NIM. 1810029035
Pembimbing:
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, berkat rahmat-
Nya penulis dapat menyelesaikan Tutorial tentang “Aspirasi Pneumonia ec. Pertusis”.
Tutorial ini disusun dalam rangka tugas kepaniteraan klinik di Laboratorium Ilmu
Kesehatan Anak Rumah Sakit Abdul Wahab Sjahranie Samarinda.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima
kasih kepada :
1. dr. Ika Fikriah, M. Kes., selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas
Mulawarman.
2. dr. Soehartono, Sp. THT-KL, selaku Ketua Program Studi Profesi Dokter Fakultas
Kedokteran Universitas Mulawarman.
3. dr. Hendra, Sp. A, selaku Kepala Laboratorium Ilmu Kesehatan Anak Fakultas
Kedokteran Universitas Mulawarman.
4. dr. Hj. Sukartini, Sp. A, selaku dosen pembimbing yang telah memberikan
bimbingan dan saran selama penulis menjalani co-assistance di Laboratorium Ilmu
Kesehatan Anak, terutama di divisi Hematologi dan Onkologi .
5. Rekan-rekan dokter muda di Lab/SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD AWS/FK
Universitas Mulawarman.
Penulis menyadari terdapat ketidaksempurnaan dalam penulisan, sehingga
penyusun mengharapkan kritik dan saran demi penyempurnan tutorial klinik ini. Akhir
kata, semoga tutorial klinik ini berguna bagti penyusun sendiri dan para pembaca.
Penyusun
BAB 1
PENDAHULUAN
2.2 Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis dan heteroanamnesa pada tanggal
12 September 2018 dengan pasien dan orang tua pasien.
1. Keluhan Utama:
Sesak napas sampai bibir kebiruan.
2. Riwayat Penyakit Sekarang:
Orang tua pasien menyatakan pada sore hari (12 September 2018) pasien pulang
paksa dari RS AWS karena indikasi sosial. Saat ini pasien kembali datang ke IGD
pada pukul 21.00 orang tua mengeluhkan anaknya sesak napas, demam, dan batuk
panjang. Sesak napas dialami memberat mulai 2 jam SMRS, orang tua mengatakan
saat menyusui anaknya batuk-batuk panjang sampai tersedak, sebelum pulang paksa
tidak ada keluhan sesak hanya terdapat demam dan batuk. Kemudian pasien mulai
tampak sesak dan semakin memberat. Orang tua pasien menyatakan saat dalam
perjalanan ke IGD bibir pasien mulai berwarna kebiruan. Demam pada sejak 14 hari
SMRS, pasien sebelumnya didiagnosa pertusis dan pulang paksa saat masih
menjalani perawatan. Batuk panjang dialami pasien sejak 12 hari SMRS sampai saat
ini namun orang tua menyatakan batuk pasien membaik daripada saat pertama kali
dirawat di RS AWS.
3. Riwayat Penyakit Dahulu:
Pada hari yang sama pasien 5 jam SMRS pulang paksa dari rumah sakit atas indikasi
sosial, sebelumnya dirawat dengan diagnosa Pertusis, Subdural Hygroma, GEA, dan
Meningitis bakterial.
4. Riwayat Penyakit Keluarga:
Sebelumnya tidak pernah ada keluarga yang mengalami hal serupa.
Asma (-), Alergi (-).
5. Pertumbuhan Dan Perkembangan Anak :
Berat badan lahir : 2700 gram
Panjang badan lahir : OT lupa
Berat badan sekarang : 4,3 kg
Panjang badan sekarang : 54 cm
Tengkurap :-
Duduk :-
Berdiri :-
Berjalan :-
Berbicara :-
Tumbuh gigi :-
6. Makan dan minum anak
ASI : Sejak lahir
Susu Formula :-
Bubur susu :-
Lauk dan Makan Padat :-
7. Pemeliharan Prenatal
Periksa di : Bidan
Penyakit Kehamilan :-
Obat-obatan yang pernah diminum : -
8. Riwayat Kelahiran
Lahir di : Klinik Ramlah
Persalinan ditolong oleh : Bidan
Berapa bulan dalam kandungan : 34-36 minggu
Jenis partus : Pervaginam
9. Pemeliharaan Postnatal
Periksa di : Bidan
Keadaan anak : Normal
Keluarga berencana :-
10. Riwayat Imunisasi
Pasien baru diimunisasi BCG, hep. B, dan polio 1
- Tampak bercak infiltrat pada paracardial paru kiri dan perselubungan pada lobus atas
paru dextra serta parahilus paru dextra.
- Cor tidak membesar.
- Kedua sinus dan diafragma normal.
- Tulang-tulang tervisualisasi intak.
Kesan: Gambaran Pneumonia.
2.5 Diagnosis :
Pertusis + Aspirasi Pneumonia
2.6 Penatalaksaan:
- Nebu ventolin ½ fl + NaCl 0,9% 1 cc
- Inj. Dexametasone 0,1 mg/iv
- Inj. Ampicilin 125 mg/ iv
ASPIRASI PNEUMONIA
3.1.Definisi
Pneumonia aspirasi didefinisikan sebagai inhalasi isi orofaring atau lambung ke
dalam larynx dan saluran pernafasan bawah. Beberapa sindrom pernafasan mungkin
terjadi setelah aspirasi, tergantung pada jumlah dan jenis material aspirasi, frekuensi
aspirasi dan respon host terhadap material aspirasi. Pneumonitis aspirasi (Mendelson’s
syndrome) adalah jejas kimia yang disebabkan oleh inhalasi isi lambung (Marlisa,
2011). Nama lain nya yaitu Anaerobic pneumonia, aspirasi vomitus, pneumonia
necrotizing, pneumonitis aspirasi, pneumonitis kimia.
3.2. Epidemiologi
Pneumonia merupakan penyebab dari 16% kematian balita, yaitu diperkirakan
sebanyak 920.136 balita di tahun 2015. Pneumonia menyerang semua umur di semua
wilayah, namun terbanyak adalah di Asia Selatan dan Afrika sub-Sahara. Populasi yang
rentan terserang pneumonia adalah anak-anak usia kurang dari 2 tahun, usia lanjut lebih
dari 65 tahun dan orang yang memiliki masalah kesehatan (malnutrisi, gangguan
imunologi) (Kemenkes, 2016).
3.3. Etiologi
Terdapat 3 macam penyebab sindroma pneumonia aspirasi, yaitu aspirasi asam
lambung yang menyebabkan pneumonia kimiawi, aspirasi bakteri dari oral dan
oropharingeal menyebabkan pneumonia bakterial, Aspirasi minyak, seperti mineral oil
atau vegetable oil dapat menyebabkan exogenous lipoid pneumonia. Apirasi benda
asing merupakan kegawatdaruratan paru dan pada beberapa kasus merupakan faktor
predisposisi pneumonia bakterial (Chamberlain, 2012).
Infeksi terjadi secara endogen oleh kuman orofaring yang biasanya
polimikrobial namun jenisnya tergantung kepada lokasi, tempat terjadinya, yaitu di
komunitas atau di RS. Pada PAK, kuman patogen terutama berupa kuman anaerob
obligat (41-46%) yang terdapat di sekitar gigi dan dikeluarkan melalui ludah, misalnya
Peptococcus yang juga dapat disertai Klebsiella pnemoniae dan Stafilococcus, atau
fusobacterium nucleatum, Bacteriodes melaninogenicus, dan Peptostreptococcus. Pada
PAN pasien di RS kumannya berasal dari kolonisasi kuman anaerob fakultatif, batang
Gram negatif, pseudomonas, proteus, serratia, dan S. aureus di samping bisa juga
disertai oleh kuman ananerob obligat di atas (Marik, 2011)..
Etiologi Tersering Berdasarkan Usia
Grup Usia Patogen Tersering
Neonatus Streptococcus grup B, Escherichia coli,
basil gram negatif lain, Streptococcus
pneumoniae, Haemophilus influenzae
3 minggu – 3 bulan RSV, virus parainfluenza, virus
influenza, adenovirus, S. pneumoniae,
H. Influenza
4 bulan – 4 tahun RSV, virus parainfluenza, virus
influenza, adenovirus, S. pneumoniae,
H. influenza, Mycoplasma pneumoniae,
streptokokus grup A
> 5 tahun Mycoplasma pneumoniae, S.
pneumoniae, Chlamydophila
pneumoniae, H. influenzae, virus
influenza, adenovirus, virus respirasi
lain, Legionella pneumophila
Tabel 3.1. Etiologi Penyebab Terbanyak Berdasarkan Usia (Nelson, 2015).
3.4. Patogenesis
Aspirasi merupakan hal yang dapat terjadi pada setiap orang. Di sini terdapat
peranan aksi mukosilier dan makrofag alveoler dalam pembersihan material yang
teraspirasi. Terdapat 3 faktor determinan yang berperan dalam pneumonia aspirasi,
yaitu sifat material yang teraspirasi, volume aspirasi, serta faktor defensif host.
Perubahan patologis pada saluran napas pada umumnya tidak dapat dibedakan antara
berbagai penyebab pneumonia, hampir semua kasus gangguan terjadi pada parenkim
disertai bronkiolitis dan gangguan interstisial. Perubahan patologis meliputi kerusakan
epitel, pembentukan mukus dan akhirnya terjadi penyumbatan bronkus. Selanjutnya
terjadi infiltrasi sel radang peribronkial (peribronkiolitis) dan terjadi infeksi baik pada
jaringan interstisial, duktus alveolaris maupun dinding alveolus, dapat pula disertai
pembentukan membran hialin dan perdarahan intra alveolar. Gangguan paru dapat
berupa restriksi, difusi dan perfusi (Marlisa, 2011).
Pneumonia aspirasi mengarah kepada konsekuensi patologis akibat secret
orofaringeal, nanah, atau isi lambung yang masuk ke saluran napas bagian bawah.
Kebanyakan individu mengaspirasi sedikit secret orofaringeal selama tidur, dan secret
tersebut akan dibersihkan secara normal (Chamberlain, 2012).
Faktor predisposisi terjadinya aspirasi berulangkali adalah:
Penurunan kesadaran yang mengganggu proses penutupan glottis, reflex batuk
(kejang, stroke, pembiusan, cedera kepala, tumor otak)
Disfagia sekunder akibat penyakit esophagus atau saraf (kanker nasofaring,
scleroderma)
Kerusakan sfingter esophagus oleh selang nasogastrik. Juga peran jumlah bahan
aspirasi, hygiene gigi yang tidak baik, dan gangguan mekanisme klirens saluran
napas (Marik, 2011).
Pemeriksaan Fisik
Dalam pemeriksaan fisik penderita pneumonia ditemukan hal-hal sebagai
berikut :
- Pada nafas terdapat retraksi otot epigastrik, interkostal, suprasternal, dan pernapasan
cuping hidung.
- Pada palpasi ditemukan vokal fremitus yang simetris.
- Konsolidasi yang kecil pada paru yang terkena tidak menghilangkan getaran
fremitus selama jalan napas masih terbuka, namun bila terjadi perluasan infeksi paru
(kolaps paru/atelektasis) maka transmisi energi vibrasi akan berkurang. Pada perkusi
tidak terdapat kelainan dan pada auskultasi ditemukan crackles sedang nyaring.
Crackles adalah bunyi non musikal, tidak kontinyu, interupsi pendek dan berulang
dengan spektrum frekuensi antara 200-2000 Hz. Bisa bernada tinggi ataupun rendah
(tergantung tinggi rendahnya frekuensi yang mendominasi), keras atau lemah
(tergantung dari amplitudo osilasi) jarang atau banyak (tergantung jumlah crackles
individual) halus atau kasar (tergantung dari mekanisme terjadinya). Crackles
dihasilkan oleh gelembung-gelembung udara yang melalui sekret jalan napas/jalan
napas kecil yang tiba-tiba terbuka.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium
Pada pemeriksaan laboratorium terdapat peningkatan jumlah leukosit. Hitung leukosit
dapat membantu membedakan pneumonia viral dan bakterial. Infeksi virus leukosit
normal atau meningkat (tidak melebihi 20.000/mm2 dengan limfosit predominan) dan
bakteri leukosit meningkat 15.000-40.000 /mm2 dengan granulosit yang predominan.
Pada hitung jenis leukosit terdapat pergeseran ke kiri serta peningkatan LED. Analisa
gas darah menunjukkan hipoksemia dan hiperkarbia, pada stadium lanjut dapat terjadi
asidosis respiratorik..(Nelson, 2015).
Pemeriksaan radiologi
Gambaran radiologi pneumonia aspirasi bervariasi tergantung pada beratnya penyakit
dan lokasinya. Lobus bawah dan lobus tengah kanan paling sering terkena, Tetapi lobus
bawah kiri juga sering. Ditemukan area-area ireguler yang tidak berbatas tegas yang
mengalami peningkatan densitas. Pada tahap awal area densitas tinggi tersebut hanya
lokal, akan tetapi pada tahap lanjut akan berkelompok/ menyatu (infiltrat). Pada
beberapa kasus pneumonia aspirasi bersifat akut dan akan bersih dengan cepat ketika
penyebab yang menimbulkan aspirasi telah teratasi. Pada beberapa kasus, pneumonia
disebabkan oleh penyakit kronik dan aspirasi berulang akan mengakibatkan
pneumonitis basis paru kronik yang menampilkan bercak berawan (perselubungan
inhomogen). (Nelson, 2015).
Pemeriksaan Mikrobiologis
Pemeriksaan mikrobiologik untuk diagnosis pneumonia anak tidak rutin dilakukan
kecuali pada pneumonia berat yang dirawat di rumah sakit. Untuk pemeriksaan
mikrobiologik, spesimen dapat berasal dari usap tenggorok, sekret nasofaring, bilasan
bronkus, darah, pungsi pleura, atau aspirasi paru (Nelson, 2015). Derajat Pneumonia
menurut WHO:
1. Pneumonia Ringan
Disamping batuk atau kesulitan bernapas, hanya terdapat napas cepat saja. Dan
dipastikan anak tidak memiliki tanda tanda pneumonia berat. Kriteria napas cepat :
- pada anak umur 2 bulan – 11 bulan : > 50 kali/menit
- pada anak umur 1 tahun – 5 tahun : > 40 kali/menit (WHO, 2009)
2. Pneumonia Berat
Terdapat batuk dan/atau kesulitan bernapas ditambah minimal salah satu hal berikut :
- Kepala terangguk – angguk
- Pernapasan cuping hidung
- Tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam
- Foto rontgen dada menunjukan gambaran pneumonia (infilrat luas, konsolidasi,
dll)
Selain itu dapat ditemukan pula hal berikut ini :
- Napas cepat :
o Anak umur < 2 bulan : > 60 kali /menit
o Anak umur 2 – 11 bulan : > 50 kali/menit
o Anak umur 1 – 5 tahun : > 40 kali/menit
o Anak umur > 5 tahun : > 30 kali/menit
- Suara merintih (grunting) pada bayi muda
- Pada auskultasi terdengar :
o Crackles (ronki)
o Suara pernapasan menurun
o Suara pernapasan bronkial
Dalam keadaan yang sangat berat dapat dijumpai :
- Tidak dapat menyusu atau minum/makan, atau memuntahkan semuanya
- Kejang, letargis atau tidak sadar
- Sianosis
- Distres pernapasan berat (WHO, 2009)
3.7. Diagnosis Banding
Tabel 3.2 Diagnosis Banding Pneumonia (Nelson, 2015).
Diagnosis Gejala klinis yang ditemukan
Bronkiolitis - episode pertama wheezing pada anak umur < 2 tahun
- hiperinflasi dinding dada
- ekspirasi memanjang
- gejala pada pneumonia juga dapat dijumpai kurang atau
tidak ada respon dengan bronkodilator
Tuberculosis - riwayat kontak positif dengan pasien TB dewasa
(TB) - uji tuberculin positif (≥10 mm, pada keadaan imunosupresi
≥ 5 mm)
- pertumbuhan buruk/kurus atau berat badan menurun
- demam (≥ 2 minggu) tanpa sebab yang jelas
- batuk kronis (≥ 3 minggu)
pembengkakan kelenjar limfe leher, aksila, inguinal yang
spesifik. Pembengkakan tulang/sendi punggung, panggul,
lutut, falang.
Asma - riwayat wheezing berulang, kadang tidak berhubungan
dengan batuk dan pilek
- hiperinflasi dinding dada
- ekspirasi memanjang
berespon baik terhadap bronkodilator
3.8. Penatalaksanaan
Kriteria Rawat Inap
.
Usia < 6 bulan
Anemia sel sabit dengan acute chest syndrome
Multipel lobus
Tampak toksik
Defisiensi imun
Distres pernapasan sedang hingga berat
Butuh suplementasi oksigen
Dehidrasi
Muntah atau ketidakmampuan untuk minum cairan atau obat PO
Tidak respon terhadap terapi antibiotik oral
Faktor sosial (tak mampu merawat di rumah)
Sebagian besar pneumonia pada anak tidak perlu dirawat inap. Indikasi
perawatan terutama berdasarkan berat-ringannya penyakit, misalnya toksis, distres
pernapasan, tidak mau makan/minum, atau ada penyakit dasar yang lain, komplikasi,
dan terutama mempertimbangkan usia pasien. Neonatus dan bayi kecil dengan
kemungkinan klinis pneumonia harus dirawat inap (Nelson, 2015).
Dasar tatalaksana pneumonia rawat inap adalah pengobatan kausal dengan
antibiotik yang sesuai, serta tindakan suportif. Pengobatan suportif meliputi pemberian
cairan intravena, terapi oksigen, koreksi terhadap gangguan keseimbangan asam basa,
elektrolit, dan gula darah. Untuk nyeri dan demam dapat diberikan analgetik/antipiretik.
Penyakit penyerta harus ditanggulangi dengan adekuat (WHO, 2009).
1. Pneumonia rawat jalan
Pada pneumonia rawat jalan dapat diberikan antibiotik lini pertama secara
oral, misalnya amoksisilin atau kotrimoksazol. Pada pneumonia ringan berobat jalan,
dapat diberikan antibiotik tunggal oral dengan efektifitas yang mencapai 90%. Dosis
yang digunakan adalah kotrimoksazol (4mg TMP/kgBB/kali) 2 kali sehari selama 3
hari atau amoksisilin (25mg/kgBB/kali) 2 kali sehari selama 3 hari. Untuk pasien
HIV diberikan selama 5 hari.
Anjurkan Ibu untuk memberi makan anak. Nasihati Ibu untuk kontrol ulang
anaknya setelah 2 hari ke RS, atau lebih cepat jika keadaan anak memburuk, tidak
bisa minum atau menyusu.
Ketika anak kembali :
- Jika pernapasannya membaik (melambat), demam berkurang, nafsu makan
membaik, lanjutkan pengobatan sampai seluruhnya 3 hari
- Jika frekuensi pernapasan, demam, dan nafsu makan tidak ada perubahan, ganti
ke antibiotik ke lini kedua dan nasihati ibu untuk kembali lagi.
- Jika ada tanda pneumonia berat, rawat anak di rumah sakit dan tangani sesuai
pedoman di bawah ini.
2. Pneumonia rawat inap
Beri ampisilin/amoksisilin (25-50 mg/kgBB/kali IV atau IM setiap 6 jam),
harus dipantau 24 jam selama 72 jam pertama. Bila anak memberikan respons yang
baik maka diberikan selama 5 hari. Selanjutnya terapi dilanjutkan di rumah atau di
rumah sakit dengan amoksisilin oral (15mg/kgBB/kali diberikan 3 kali sehari) untuk
5 hari berikutnya. Bila keadaan klinis memburuk sebelum 48 jam atau terdapat
keadaan yang berat (tidak dapat menyusu atau minum/makan, atau memuntahkan
semuanya, kejang, letargis atau tidak sadar, sianosis, distress pernapasan berat) maka
ditambahkan kloramfenikol (25 mg/kgBB/kali IM atau IV setiap 8 jam).
Bila pasien datang dengan keadaan klinis berat, segera berikan oksigen dan
pengobatan kombinasi ampisilin-kloramfenikol atau ampisilin-gentamisin. Sebagai
alternatif, beri seftriakson (80-100 mg/kgBB IM atau IV sekali sehari).
Apabila diduga pneumonia stafilokokal, ganti antibiotik dengan gentamisin
(7,5 mg/kgBB IM sekali sehari) dan kloksasiklin (50 mg/kgBB IM atau IV setiap 6
jam) atau klindamisin (15 mg/kgBB/hari-3 kali pemberian). Bila keadaan anak
membaik, lanjutkan klosasiklin (atau diklosasiklin) secara oral 4 kali sehari sampai
secara keseluruhan mencapai 3 minggu, atau klindamisin secara oral selama 2
minggu.
3. Tatalaksana Umum
Pasien dengan saturasi oksigen < 92% pada saat bernapas dengan udara kamar,
harus diberikan terapi oksigen dengan kanul nasal, head box, atau sungkup untuk
mempertahankan saturasi oksigen >92%
- Pada pneumonia berat atau asupan per oral kurang, pastikan anak memperoleh
kebutuhan cairan rumatan sesuai umur anak, tetapi hati – hati terhadap kelebihan
cairan atau overhidrasi.
- Antipiretik dan analgetik dapat diberikan untuk menjaga kenyamanan pasien
(Paracetamol 10-15 mg/kgBB/kali).
4. Nutrisi
Bujuk anak untuk makan, segera setelah anak bisa menelan makanan. Beri
makanan sesuai kebutuhannya dan sesuai kemampuan anak dalam menerimanya.
5. Kriteria pulang:
- Gejala dan tanda pneumonia menghilang.
- Asupan peroral adekuat.
- Pemberian antibiotik dapat diteruskan dirumah (peroral).
- Keluarga mengerti dan setuju untuk pemberian terapi dan rencana kontrol dan
kondisi rumah memungkinkan untuk perawatan lanjutan dirumah..
3.9. Komplikasi
1. Gagal nafas dan sirkulasi
Efek pneumonia terhadap paru-paru pada orang yang menderita pneumonia sering
kesulitan bernafas,dan itu tidak mungkin bagi mereka untuk tetap cukup bernafas
tanpa bantuan agar tetap hidup. Bantuan pernapasan non-invasiv yang dapat
membantu seperti mesin untuk jalan nafas dengan bilevel tekanan positif,dalam
kasus lain pemasangan endotracheal tube kalau perlu dan ventilator dapat digunakan
untuk membantu pernafasan. Pneumonia dapat menyebabkan gagal nafas oleh
pencetus acute respiratory distress syndrome (ARDS). Hasil dari gabungan infeksi
dan respon inflamasi dalam paru-paru segera diisi cairan dan menjadi sangat kental,
kekentalan ini menyatu dengan keras menyebabkan kesulitan penyaringan udara
untuk cairan alveoli,harus membuat ventilasi mekanik yang dibutuhkan (Marlisa,
2012).
2. Syok sepsis dan septic
Merupakan komplikasi potensial dari pneumonia. Sepsis terjadi karena
mikroorganisme masuk ke aliran darah dan respon sistem imun melalui sekresi
sitokin. Sepsis seringkali terjadi pada pneumonia karena bakteri; streptoccocus
pneumonia merupakan salah satu penyebabnya. Individu dengan sepsis atau septik
membutuhkan unit perawatan intensif di rumah sakit. Mereka membutuhkan cairan
infus dan obat-obatan untuk membantu mempertahankan tekanan darah agar tidak
turun sampai rendah. Sepsis dapat menyebabkan kerusakan hati,ginjal,dan jantung
diantara masalah lain dan sering menyebabkan kematian (Marlisa, 2012).
3. Effusi pleura,empyema dan abces
Ada kalanya,infeksi mikroorganisme pada paru-paru akan menyebabkan
bertambahnya (effusi pleura) cairan dalam ruang yang mengelilingi paru (cavum
pleura). Jika mikroorganisme itu sendiri ada di rongga pleura, kumpulan cairan ini
disebut empyema. Bila cairan pleura ada pada orang dengan pneumonia, cairan ini
sering diambil dengan jarum (toracentesis) dan diperiksa, tergantung dari hasil
pemeriksaan ini. Pada kasus empyema berat perlu tindakan pembedahan. Jika cairan
tidak dapat dikeluarkan,mungkin infeksi berlangsung lama, karena antibiotik tiak
menembus dengan baik ke dalam rongga pleura. Abses pada paru biasanya dapat
dilihat dengan foto thorax dengan sinar x atau CT scan. Abses-abses khas terjadi
pada pneumonia aspirasi dan sering mengandung beberapa tipe bakteri. Biasanya
antibiotik cukup untuk pengobatan abses pada paru,tetapi kadang abses harus
dikeluarkan oleh ahli bedah atau ahli radiologi (Marlisa, 2012).
3.10. Prognosis
Angka mortalitas pneumonia aspirasi yang tidak disertai komplikasi adalah
sebesar 5%, sedangkan pada aspirsai masif dengan atau tanpa disertai sindrom
Mendelson mencapai 70%. Angka mortalitas aspirasi pneumonia disertai empyema
sebesar 20% (Marik, 2011)
PERTUSIS
3.11. Definisi
Pertusis (batuk rejan) disebut juga whooping cough, tussis quinta, violent
cough, dan di Cina disebut batuk seratus hari. Sydenham yang pertama kali
menggunakan istilah pertussis (batuk kuat) pada tahun 1670. Istilah ini lebih disukai
dari batuk rejan (whooping cough) karena kebanyakan individu yang terinfeksi tidak
berteriak (whoop artinya berteriak). Pertusis yang berarti batuk yang sangat berat atau
batuk yang intensif, merupakan penyakit infeksi saluran nafas akut yang dapat
menyerang setiap orang yang rentan seperti anak yang belum diimunisasi atau orang
dewasa dengan kekebalan yang menurun (Long, 2000)
Pertusis masih merupakan penyebab terbesar kesakitan dan kematian pada
anak, terutama di negara berkembang. WHO memperkirakan lebih kurang 600.000
kematian disebabkan pertussis setiap tahunnya terutama pada bayi yang tidak
diimunisasi. Dengan kemajuan perkembangan antibiotik dan program imunisasi maka
mortalitas dan morbiditas penyakit ini mulai menurun (Heininger, 2010).
Pertusis merupakan salah satu penyakit yang paling menular yang dapat
menimbulkan attack rate 80-100% pada penduduk yang rentan. Diperkirakan pada
tahun 2008 terjadi 16 juta kasus di seluruh dunia, 95% diantaranya terjadi di negara
sedang berkembang. Angka kematian akibat pertusis mencapai 195.000 anak (IDAI,
2011).
Pertusis adalah penyakit endemik dengan siklus endemik setiap 3-4 tahun6.
Dalam satu keluarga infeksi cepat menjalar kepada anggota keluarga lainnya.
Dilaporkan sebagian kasus terjadi dari bulan Juli sampai dengan Oktober. Pertusis dapat
mengenai semua golongan umur. Terbanyak terdapat pada umur 1-5 tahun, umur
penderita termuda ialah 16 hari. Dahulu dikatakan bahwa perempuan terkena lebih
sering daripada laki-laki dengan perbandingan 0.9:1 (Long, 2000). .
Antibodi dari ibu (transplasental) selama kehamilan tidaklah cukup untuk
mencegah bayi baru lahir terhadap pertussis. Pertussis yang berat pada neonatus dapat
ditemukan dari ibu dengan gejala pertussis ringan. Kematian sangat menurun setelah
diketahui bahwa dengan pengobatan eritromicyn dapat menurunkan tingkat penularan
pertussis karena biakan nasofaring akan negatif setelah 5 hari pengobatan. Tanpa
reinfeksi alamiah dengan B.pertussis atau vaksinasi booster berulang, anak yang lebih
tua dan orang dewasa lebih rentan terhadap penyakit ini jika terpajan (Long, 2000).
3.13. Etiologi
Penyebab pertusis adalah Bordetella pertusis atau Haemoephilus pertusis,
adenovirus tipe 1, 2, 3, dan 5 dapat ditemukan dalam traktus respiratorius, traktus
gastrointestinalis dan traktus urinarius. Bordotella pertusis ini mengakibatkan suatu
bronchitis akut, khususnya pada bayi dan anak–anak kecil yang ditandai dengan batuk
paroksismal berulang dan stridor inspiratori memanjang ” batuk rejan” (Long, 2000).
Bordetellah pertusis suatu cocobasilus gram negatif aerob minotil kecil dan
tidak membentuk spora dengan pertumbuhan yang sangat rumit dan tidak bergerak.
Bisa didapatkan dengan swab pada daerah nasofaring penderita pertusis dan kemudian
ditanam pada agar media Bordet – Gengou1. Ada enam spesies dari Bordetella yaitu B.
parapertussis, B. bronchiseptica, B. avium, B. hinzii, B. holmesii, dan B. trematum. B.
pertusis dan B. parapertussis adalah dua patogen yang paling umum ditemukan pada
manusia (Hawlet, 2015).
3.14. Patogenenis
Bordetella pertusis setelah ditularkan melalui sekresi udara pernapasan
kemudian melekat pada silia epitel saluran pernapasan. Mekanisme patogenesis infeksi
oleh Bordetella pertusis terjadi melalui empat tingkatan yaitu perlekatan, perlawanan
terhadap mekanisme pertahanan pejamu, kerusakan lokal dan akhirnya timbul penyakit
sistemik. Filamentous Hemaglutinin (FHA), Lymphosithosis Promoting Factor (LPF)/
Pertusis Toxin (PT) dan protein 69-Kd berperan pada perlekatan Bordetella pertusis
pada silia. Setelah terjadi perlekatan, Bordetella pertussis kemudian bermultiplikasi dan
menyebar ke seluruh permukaan epitel saluran napas. Proses ini tidak invasif oleh
karena pada pertusis tidak terjadi bakteremia. Selama pertumbuhan Bordetella pertusis,
maka akan menghasilkan toksin yang akan menyebabkan penyakit yang dikenal dengan
whooping cough (Todar, 2011).
Toksin terpenting yang dapat menyebabkan penyakit disebabkan karena
pertusis toxin. Toksin pertusis mempunyai 2 sub unit yaitu A dan B. Toksin sub unit B
selanjutnya berikatan dengan reseptor sel target kemudian menghasilkan subunit A
yang aktif pada daerah aktivasi enzim membrane sel. Efek LPF menghambat migrasi
limfosit dan makrofag ke daerah infeksi (Long, 2000).
Toxin mediated adenosine diphosphate (ADP) mempunyai efek mengatur
sintesis protein dalam membrane sitoplasma, berakibat terjadi perubahan fungsi
fisiologis dari sel target termasuk limfosit (menjadi lemah dan mati), meningkatkan
pengeluaran histamine dan serotonin, efek memblokir beta adrenergic dan
meningkatkan aktifitas insulin, sehingga akan menurunkan konsentrasi gula darah.
Toksin menyebabkan peradangan ringan dengan hyperplasia jaringan limfoid
peribronkial dan meningkatkan jumlah lendir pada permukaan silia, maka fungsi silia
sebagai pembersih terganggu, sehingga mudah terjadi infeksi sekunder (tersering oleh
Streptococcus pneumonia, H. influenzae dan Staphylococcus aureus). Penumpukan
lendir akan menimbulkan plak yang dapat menyebabkan obstruksi dan kolaps paru
(Todar, 2011).
Hipoksemia dan sianosis disebabkan oleh gangguan perukaran oksigenasi pada
saat ventilasi dan timbulnya apnea saat terserang batuk. Terdapat perbedaan pendapat
mengenai kerusakan susunan saraf pusat, apakah akibat pengaruh langsung toksin
ataukah sekunder sebagai akibat anoksia. Terjadi perubahan fungsi sel yang reversible,
pemulihan tampak apabila sel mengalami regenerasi, hal ini dapat menerangkan
mengapa kurangnya efek antibiotik terhadap proses penyakit. Namun terkadang
Bordetella pertusis hanya menyebabkan infeksi yang ringan, karena tidak menghasilkan
toksin pertusis (Long, 2000).
1. Tahap Kataral
Mulai terjadi secara bertahap dalam waktu 7-10 hari setelah terinfeksi, ciri-cirinya
menyerupai flu ringan :
Bersin-bersin.
Mata berair.
Nafsu makan berkurang.
Lesu.
Batuk (pada awalnya hanya timbul di malam hari kemudian terjadi sepanjang
hari).
2. Tahap Paroksismal
Mulai timbul dalam waktu 10-14 hari (setelah timbulnya gejala awal) 5-10 kali batuk
diikuti dengan menghirup nafas dalam dengan nada tinggi. Batuk bisa disertai
pengeluaran sejumlah besar lendir vang biasanya ditelan oleh bayi/anak-anak atau
tampak sebagai gelembung udara di hidungnya). Batuk atau lendir yang kental
sering merangsang terjadinya muntah. Serangan batuk bisa diakhiri oleh penurunan
kesadaran yang bersifat sementara. Pada bayi, apnea (henti nafas) dan tersedak lebih
sering terjadi dibandingkan dengan tarikan nafas yang bernada tinggi.
3. Tahap Konvalesen
Mulai terjadi dalam waktu 4-6 minggu setelah gejala awal. Batuk semakin
berkurang, muntah juga berkurang, anak tampak merasa lebih baik. Kadang batuk
terjadi selama berbulan-bulan, biasanya akibat iritasi saluran pernafasan.
3.16. Diagnosis
1. Anamnesis
Dalam anamnesis ditanyakan identitas, keluhan utama serta gejala klinis pertusis
lainnya, faktor resiko, riwayat keluarga, riwayat penyakit dahulu, dan riwayat
imunisasi. Kontak dengan penderita pertusis dan belum diimunisasi/imunisasi tidak
adekuat.
2. Pemeriksaan fisik
Gejala klinis yang didapat pada pemeriksaan fisik tergantung dari stadium saat
pasien diperiksa.
3. Pemeriksaan laboratorium
Pada pemeriksaan labratorium didapatkan leukositosis 15,000-100,000 / UI
dengan limfositosis absolute khas pada akhir stadium kataral dan selama stadium
paroksismal. Pada bayi jumlah leukosit tidak menolong untuk diagnosis oleh karena
respon limfositosis juga terjadi pada infeksi lain (IDAI, 2011).
Isolasi B.pertussis dari secret nasofaring dipakai untuk membuat diagnosis
pertussis. Biakan positif pada stadium kataral 95-100%, stadium paroksismal 94%
pada minggu ke-3 dan menurun sampai 20% untuk waktu berikutnya (Long, 2000).
Tes serologi berguna pada stadium lanjut penyakit dan untuk menetukan
adanya infeksi pada individu dengan biakan. Cara ELISA dapat dipakai untuk
menentukan serum IgM, IgG, dan IgA terhadap FHA PT. Nilai serum IgM FHA dan
PT menggambarkan respon imun primer baik disebabakan penyakit atau vaksinasi.
IgG toksin pertusis merupakan tes yang paling sensitive dan spesifik untuk
mengetahui infeksi dan tidak tampak setelah pertussis (Tiwari, 2015).
4. Pemeriksaan penunjang
Pada pemeriksaan foto toraks dapat memperlihatkan infiltrat perihiler,
atelektasis atau emfisema. Diagnosis banding pertusis pada bayi perlu dipikirkan
bronkiolitis, pneumonia bakterial, sistik fibrosis, tuberkulosis dan penyakit lain yang
menyebabkan limfadenopati dengan penekanan diluar trakea dan bronkus. Pada
umumnya pertusis dapat dibedakan dari gejala klinis dan laboratorium. Benda asing
juga dapat menyebabkan batuk paroksismal, tetapi biasanya gejalanya mendadak dan
dapat dibedakan dengan pemeriksaan radiologi dan endoskopi. Infeksi B.
parapertussis, B. bronkiseptika, dan adenovirus dapat menyerupai sindrom klinis
B.pertussis, dapat dibedakan dengan isolasi kuman penyebab.
3.17. Penatalaksanaan
Tujuan terapi adalah membatasi jumlah paroksismal, untuk mengamati
keparahan batuk, memberi bantuan bila perlu, dan memaksimalkan nutrisi, istirahat, dan
penyembuhan tanpa sekuele. Tujuan rawat inap spesifik, terbatas adalah untuk menilai
kemajuan penyakit dan kemungkinan kejadian yang mengancam jiwa pada puncak
penyakit, mencegah atau mengobati komplikasi, dan mendidik orang tua pada riwayat
alamiah penyakit dan pada perawatan yang akan diberikan di rumah. Untuk kebanyakan
bayi yang tanpa komplikasi, keadaan ini disempurnakan dalam 48-72 jam (FKUI,
2015).
Frekuensi jantung, frekuensi pernafasan, dan oksimetri nadi dimonitor terus,
pada keadaan yang membahayakan, sehingga setiap paroksismal disaksikan oleh
personel perawat kesehatan. Rekaman batuk yang rinci dan pencatatan pemberian
makan, muntah, dan perubahan berat memberikan data untuk penilaian keparahan.
Paroksismal khas yang tidak membahayakan mempunyai tanda sebagai berikut lamanya
kurang dari 45 detik, perubahan warna merah tetapi tidak biru, bradikardi, atau
desaturasi oksigen yang secara spontan selesai pada akhir paroksismal, berteriak atau
kekuatan untuk menyelamatkan diri pada akhir paroksismal, mengeluarkan sumbatan
lendir sendiri, kelelahan pasca batuk tetapi bukan tidak berespons (FKUI, 2015).
Pengobatan suportif yang bisa dilakukan diantaranya menghindarkan faktor-
faktor yang menimbulkan serangan batuk, mengatur hidrasi dan nutrisi, oksigen dapat
diberikan pada distres pernapasan akut/kronik, dan penghisapan lendir terutama pada
bayi dengan pneumonia dan distres pernapasan. Observasi ketat diperlukan pada bayi,
untuk mencegah/mengatasi terjadinya apnea, sianosis, atau hipoksia. Pasien diisolasi
(terutama bayi) selama 4 minggu, diutamakan sampai 5-7 hari selesai pemberian
antibiotik. Gejala batuk paroksismal setelah terapi antibiotik tidak berkurang, namun
terjadi penurunan transmisi setelah pemberian terapi hari ke-5. Belum ada studi berbasis
bukti untuk pemberian kortikosteroid, albuterol, dan beta2-adrenergik lainnya, serta
belum terbukti efektif sebagai terapi pertusis. Dilakukan penilaian kondisi pasien,
apakah terjadi apnea, spel sianotik, hipoksia dan/ atau dehidrasi. (IDAI, 2011)
3.18. Pencegahan
1. Imunisasi aktif :
Dosis total 12 unit protektif vaksin pertussis dalam 3 dosis yang seimbang
dengan jarak 8 minggu. Imunisasi dilakukan dengan menyediakan toksoid pertussis,
difteria dan tetanus (kombinasi). Jika pertusis bersifat prevalen dalam masyarakat,
imunisasi dapat dimulai pada waktu berumur 2 minggu dengan jarak 4 minggu.
Anak-anak berumur > 7 tahun tidak rutin diimunisasi.
Imunitas tidak permanen oleh karena menurunnya proteksi selama adolesens
infeksi pada penderita besar biasanya ringan tetapi berperan sebagai sumber infeksi
B. pertussis pada bayi-bayi non imun. Vaksin pertusis monovalen (0.25 ml,i.m) telah
dipakai untuk mengontrol epidemi diantara orang dewasa yang terpapar.
Efek samping sesudah imunisasi pertussis termasuk manifestasi umum
seperti eritema, indurasi, dan rasa sakit pada tempat suntikan dan sering terjadi
panas, mengantuk, dan jarang terjadi kejang, kolaps, hipotonik, hiporesponsif,
ensefalopati, anafilaksis. Resiko terjadinya kejang demam dapat dikurangi dengan
pemberian asetaminofen (15mg/kg BB, per oral) pada saat imunisasi dan setiap 4-6
jam untuk selama 48-72 jam.
Imunisasi pertama pertussis ditunda atau dihilangkan jika penyakit panas,
kelainan neurologis yang progresif atau perubahan neurologis, riwayat kejang.
Riwayat keluarga adanya kejang, Sudden Infant Death Syndrome (SIDS) atau reaksi
berat terhadap imunisasi pertussis bukanlah kontra indikasi untuk imunisasi
pertussis. Kontraindikasi untuk pemberian vaksin pertussis berikutnya termasuk
ensefalopati dalam 7 hari sebelum imunisasi, kejang demam atau kejang tanpa
demam dalam 3 hari sebelum imunisasi, menangis 3 jam, “high picth cry” dalam 2
hari, kolaps atau hipotonik/hiporesponsif dalam 2 hari, suhu yang tidak dapat
diterangkan 40.5 C dalam 2 hari, atau timbul anafilaksis (IDAI, 2008)
2. Kontak dengan penderita :
Eritromisin efektif untuk pencegahan pertussis pada bayi-bayi baru lahir dan
ibu-ibu dengan pertussis. Eritromisin 50 mg/kg BB/hari dibagi dalam 4 dosis, peroral
selama 14 hari. Anak yang berumur > 7 tahun yang telah mendapatkan imunisasi
juga diberikan eritromisin profilaksis. Pengobatan eritromisin awal akan mengurangi
penyebaran infeksi eliminasi B. pertussis dari saluran pernafasan dan mengurangi
gejala-gejala penyakit. Orang-orang yang kontak dengan penderita pertussis yang
belum mendapat imunisasi sebelumnya, diberikan eritromisin selama 14 hari
sesudah kontak diputuskan. Jika ada kontak tidak dapat diputuskan, eritromisin
diberikan sampai batuk penderita berhenti atau mendapat eritromisin selama 7 hari.
Vaksin pertussis monovalen dan eritromisin diberikan pada waktu terjadi epidemic
(Tiwari, 2015).
3.19. Komplikasi
1. Komplikasi terjadi terutama pada sistem respirasi dan saraf pusat.
2. Pneumonia merupakan komplikasi paling sering terjadi, menyebabkan 90%
kematian pada anak < 3 tahun, tetapi lebih sering karena bakteria sekunder
(H.influenzae, S.Pneumonia, S.auris, S.piogenes).
3. TBC laten dapat juga menjadi aktif.
4. Atelektasis dapat timbul sekunder oleh karena ada sumbatan lendir yang kental.
Aspirasi lendir atau muntah dapat menimbulkan pneumonia.
5. Panas tinggi sering menandakan adanya infeksi sekunder oleh bakteria.
6. Batuk dengan tekanan tinggi dapat menimbulkan ruptur alveoli, empisema
interstitiel/subkutan dan pneumotoraks. Bronkiektasia dapat timbul dan
menetap.
7. Sering terjadi otitis media yang sering disebabkan oleh S.pneumonia.
8. Kenaikan tekanan intratoraks dan intra-abdomen selama batuk dapat
menyebabkan perdarahan subkonjungtiva, hematoma, perdarahan epidural,
perdarahan intrakranial, ruptura diafragma, hernia umbikalis, hernia inguinalis,
prolapsus rekti, dehidrasi dan gangguan nutrisi.
9. Dapat pula terjadi konvulsi dan koma, merupakan refleksi dari hipoksia serebral
(asfiksia), perdarahan subarachnoid, tetapi kadang-kadang kejang dapat
disebabkan oleh temperatur tinggi.
10. Kejang-kejang oleh karena hiponatremia yang sekunder terhadap Syndrome of
Inappropriate Secretion of Antidiuretic Hormone (SIADH) (IDAI, 2008).
3.20. Prognosis
Angka kematian karena pertussis telah menurun menjadi 10/1000 kasus. Rasio kasus
kematian bayi < 2 bulan adalah 1,8 % selama tahun 2000-2004 di USA. Persentase
rawat inap pada dewasa sebesar 3 % (12% dewasa tua). Tingkat berkembangnya
menjadi pneumonia hingga 5 % dan mengalami patah tulang rusuk sampai 4 %12.
Kebanyakan kematian disebabkan oleh ensefalopati dan pneumonia atau komplikasi
paru-paru lain (Tiwari, 2015).
BAB 4
PEMBAHASAN
Anamnesis
Teori Kasus
Aspirasi Pneumonia: Pasien mendadak sesak napas
Pasien mendadak batuk dan sesak napas setelah batuk dan tersedak setelah
sesudah makan atau minum. menyusui, keluhan sesak
Demam mengigil, nyeri pleuritik, batuk memberat dengan cepat.
berdahak ( pada 50% kasus). Demam mengigil (-), nyeri
pleuritik (-), batuk (+) sejak 14
Pertusis: hari SMRS
St. Kataral: Gejala klinisnya minimal Batuk yang dialami pasien khas
dengan/tanpa demam; rinorea; pada st. Paroksismal pertusis yaitu
anoreksia; frekuensi batuk bertambah. batuk yang panjang 5-10 kali
St. Paroksismal: Batuk paroksismal selama ekspirasi yang diikuti oleh
yang dicetuskan oleh pemberian makan usaha inspirasi masih yang
(bayi) dan aktivitas; fase inspiratori mendadak dan menimbulkan bunyi
batuk atau batuk rejan (inspiratory melengking (whoop)
whooping); post-tussive vomiting. Pasien muntah setelah batuk 1x
Dapat pula dijumpai: muka merah atau saat hari ke 2 perawatan.
sianosis; mata menonjol; lidah
menjulur; lakrimasi; hipersalivasi;
distensi vena leher selama serangan;
apatis; penurunan berat badan
St. Konvalesen: Mulai terjadi dalam
waktu 4-6 minggu setelah gejala awal.
Batuk semakin berkurang, muntah juga
berkurang, anak tampak merasa lebih
baik.
Pemeriksaan Fisik
Teori Kasus
Bayi tampak sakit dengan distres Kesan Umum : Tampak sakit berat
pernapasan yang bermanifestasi sebagai Kesadaran : Kompos mentis
grunting, nasal flaring, retraksi Tanda Vital
supraklavikular, interkostal, subkosta, Frekuensi Nadi : 189x/menit
takipnea, takikardia, air hunger dan Frekuensi Napas : 67x/menit
sianosis. Temperatur : 37,3oC
Pada palpasi ditemukan vokal fremitus Tekanan darah : -
yang simetris. SpO2 : 94% n.k. 1
Konsolidasi yang kecil pada paru yang LPM (sebelumnya 54%)
terkena tidak menghilangkan getaran
fremitus selama jalan napas masih Paru
terbuka, namun bila terjadi perluasan - Inspeksi : Gerakan dinding dada
infeksi paru (kolaps paru/atelektasis) simetris, retraksi suprasternal (+)
maka transmisi energi vibrasi akan retraksi substernal (+) retraksi
berkurang. Pada perkusi tidak terdapat subcostal (+).
kelainan dan pada auskultasi ditemukan - Palpasi : Fremitus raba dextra =
crackles sedang nyaring. sinistra, pelebaran ICS (-)
- Perkusi : Sonor (+/+).
- Auskultasi : Vesikuler (+/+), rhonki
basah halus (+/+), wheezing (-/-).
Pemeriksaan Penunjang
Teori Kasus
Darah
Darah Rutin
Infeksi virus leukosit normal atau
Leukosit ↑ 18.950/mm3
meningkat (tidak melebihi 20.000/mm2
Eritrosit 3.680.000/µL
dengan limfosit predominan) dan bakteri Hb ↓ 10,6 g/dl
leukosit meningkat 15.000-40.000 /mm2 Hematokrit 32,5 %
dengan neutrofil yang predominan. Pada Trombosit 394.000 / mm3
hitung jenis leukosit terdapat pergeseran Limfosit# ↑ 4.09
ke kiri serta peningkatan LED. Limfosit% 22
Pada pertusis ditemukan limfositosis
absolute yang khas pada akhir stadium Analisa Gas Darah
pH ↑ 7,48
kataral dan selama stadium paroksismal
pCO2 ↑ 49 mmHg
Analisa Gas Darah pO2 ↑ 203,4 mmHg
Analisa gas darah menunjukkan hipoksemia HCO3 ↑ 36,8 mmol/L
dan hiperkarbia, pada stadium lanjut dapat Alkalosis
terjadi asidosis respiratorik Hasil respiratorik
Radiologis terkompensasi
Gambaran radiologi pneumonia aspirasi
bervariasi tergantung pada beratnya Foto ro. Thorax:
Deskripsi: Tampak bercak infiltrat
penyakit dan lokasinya. Lobus bawah pada paracardial paru kiri dan
dan lobus tengah kanan paling sering perselubungan pada lobus atas paru
terkena. Ditemukan area-area ireguler dextra serta parahilus paru dextra.
yang tidak berbatas tegas yang Kesan: Gambaran pneumonia.
mengalami peningkatan densitas. Pada
tahap awal area densitas tinggi tersebut
hanya lokal, akan tetapi pada tahap lanjut
akan berkelompok/ menyatu (infiltrat).
Pada beberapa kasus pneumonia aspirasi
bersifat akut dan akan bersih dengan
cepat ketika penyebab yang
menimbulkan aspirasi telah teratasi.
Penatalaksanaan
Teori Kasus
Aspirasi Pneumonia: - Inf. D5 ¼ NS 430 cc
Ampisilin/amoksisilin (25-50 - Inj. Ceftriaxone 2x200 mg
mg/kgBB/kali IV atau IM setiap 6 jam), - Erytromisin Syr. 3x1,25 ml
- CTM 0,4 mg, NAC 40 mg,
harus dipantau 24 jam selama 72 jam
Salbutamol 0,4 mg pulv. 3x1
pertama. Bila anak memberikan respons - PCT 3x0,4cc (K/P)
yang baik maka diberikan selama 5 hari. - Inj. Dexametasone 0,1 mg
Selanjutnya terapi dilanjutkan di rumah
atau di rumah sakit dengan amoksisilin
oral (15mg/kgBB/kali diberikan 3 kali
sehari) untuk 5 hari berikutnya.
Bila keadaan klinis memburuk sebelum
48 jam atau terdapat keadaan yang berat
(tidak dapat menyusu atau
minum/makan, atau memuntahkan
semuanya, kejang, letargis atau tidak
sadar, sianosis, distress pernapasan berat)
maka ditambahkan kloramfenikol (25
mg/kgBB/kali IM atau IV setiap 8 jam).
Alternatif, beri seftriakson (80-100
mg/kgBB IM atau IV sekali sehari).
Pertusis
Eritromisin, 40-50 mg/kg/24 jam, secara
oral dalam dosis terbagi empat
(maksimum 2 g/24 jam) selama 14 hari.
Simptomatik.
BAB 5
KESIMPULAN
Telah dilakukan pemeriksaan pada pasien laki-laki An. MRI usia 2 bulan 15 hari
yang didiagnosis dengan Aspirasi Pneumonia ec. Pertusis, dari anamnesis, pemeriksaan
fisik, pemeriksaan penunjang didapatkan penegakkan diagnosis dan penatalaksanaan
yang telah sesuai dengan literatur yang mendukung pada kasus tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Hewlett EL. 2015. Bordetella species. In: Principles and Practice of Infectious
Diseases, 6th ed, Mandell GL, Bennett JE, Dolin R (Eds), Churchill
Livingstone. Philadelphia. p.2701. Diakses dari,
http://www.uptodate.com/contents/microbiology-pathogenesis-and-
epidemiology-of-bordetella-pertussis-infection#H3.
IDAI . 2008. Buku Ajar Respirologi Edisi II. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter
Anak Indonesia.
Kemenkes RI. 2016. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2016. Jakarta: Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia.
Latief, Abdul, dkk. 2009. Pelayanan Kesehatan anak di rumah sakit standar WHO.
Jakarta : Depkes
Long, Sarah. 2000. Pertusis. Ilmu Kesehatan Anak Nelson Vol II. Jakarta : EGC. 181:
960-965.
Marik. E.P, 2001. Aspiration Pneumonitis and Aspiration Pneumonia. N Engl J Med,
Vol 334, No. 9. Texas tech University Health Science Center: Massacussetts
Tejpratap Tiwari. 2015. Recommended Antimicrobial Agents for the Treatment and
Postexposure Prophylaxis of Pertussis. CDC Guideline.
http://www.cdc.gov/mmwr/preview/mmwrhtml/rr5414a1.htm
Todar, Kenneth. 2011. Bordetella pertussis and Whooping Cough. Diakses dari
http://textbookofbacteriology.net/pertussis_2.html.