Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Seiring dengan semakin berkembangnya sains dan teknologi,
perkembangan di dunia farmasi pun tidak ketinggalan. Semakin hari semakin
banyak jenis dan ragam penyakit yang muncul. Perkembangan pengobatan pun
terus dikembangkan. Berbagai macam bentuk sediaan obat, baik itu liquid, solid
dan semisolid telah dikembangkan oleh ahli farmasi dan industri.
Ahli farmasi mengembangkan obat untuk pemenuhan kebutuhan
masyarakat, yang bertujuan untuk memberikan efek terapi obat, dosis yangsesuai
untuk di konsumsi oleh masyarakat. Berbagai macam bentuk sediaan obat
memiliki kekurangan, salahsatu diantaranya yaitu mudah di tumbuhi mikroba.
Untuk meminimalisir kekurangan tersebut, para ahli farmasis harus bisa
memformulasikan dan memproduksi sediaan secara tepat. Dengan demikian,
farmasis harus mengetahui langkah-langkah yang tepat untuk meminimalisir
kejadian yang tidak diinginkan. Dengan cara melakukan, menentukan formulasi
dengan benar dan memperhatikan konsentrasi serta karakteristik bahan yang
digunakan. Dalam perkembangan kefarmasian banyak produk obat yang
sediaannya di buat beragam, khususnnya untuk menarik perhatian dari masyarakat
untuk mengonsumsi obat tersebut, macam-macam sediaan obat yaitu serbuk,
kapsul,tablet, pil, emulsi, sirup, dan supositoria.
Supositoria adalah sediaan padat yang digunakan melalui dubur,umumnya
berbentuk torpedo, dapat melarut, melunak atau meleleh pada suhu tubuh.
Supositoria umumnya dimasukan melalui rektum,vagina, kadang-kadang melalui
saluran urin dan jarang melalui telinga danhidung (Ansel, 1989).
Dalam percobaan kali ini pembuatan sediaan obat berupa suppositoria,
yaitu suatu bentuk sediaan padat yang pemakaiannya dengan cara memasukkan
kedalam lubang atau celah dalam tubuh dimana akan melebur, melunak atau
melarut dan memberikan efek lokal atau sistemik (Ansel, 576).
1.2 Maksud Dan Tujuan
1.2.1 Maksud
Adapun maksud dari praktikum kali ini ialah, agar mahasiswa dapat
mengetahui dan memahami bagaimana cara pembuatan sediaan suppositoria yang
memenuhi standar dandisyaratkan untuk menghasilkan sediaan yang baik.
1.2.2 Tujuan
Adapun tujuan dari praktikum kali ini ialah, untuk menghasilkan sediaan
suppositoria yang baik sesuai standar yang telah ditetapkan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Suppositoria
Supositoria menurut FI edisi IVadalah sediaan padat dalam berbagai bobot
dan bentuk, yang diberikan melalui rektal, vagina atau urethra. Umumnya
meleleh, melunak atau melarut dalam suhu tubuh. Supositoria dapat bertindak
sebagai pelindung jaringan setempat, sebagai pembawa zat terapetik yang bersifat
lokal atau sistemik.

2.1.1 Macam – Macam Suppositoria

Macam-macam Suppositoria berdasarkan tempat penggunaannya :


(Lachman, 2008)

1. Rektal Suppositoria sering disebut Suppositoria saja, bentuk peluru


digunakan lewat rektal atau anus, beratnya menurut FI.ed.IV kurang
lebih 2 g.Suppositoria rektal berbentuk torpedo mempunyai
keuntungan, yaitu bila bagian yang besar masuk melalui jaringan otot
penutup dubur, maka Suppositoria akan tertarik masuk dengan
sendirinya.

2. Vaginal Suppositoria (Ovula), bentuk bola lonjong seperti kerucut,


digunakan lewat vagina, berat umumnya 5 g.

Supositoria kempa atau Supositoria sisipan adalah Supositoria


vaginal yang dibuat dengan cara mengempa massa serbuk menjadi
bentuk yang sesuai, atau dengan cara pengkapsulan dalam gelatin
lunak.
Menurut FI.ed.IV, Suppositoria vaginal dengan bahan dasar yang
dapat larut / bercampur dalam air seperti PEG atau gelatin
tergliserinasi berbobot 5 g. Supositoria dengan bahan dasar gelatin
tergliserinasi (70 bag. gliserin, 20 bag. gelatin dan 10 bag. air) harus
disimpan dalam wadah tertutup rapat, sebaiknya pada suhu dibawah
350 C
3. Urethral Suppositoria (bacilla, bougies) digunakan lewat urethra,
bentuk batang panjang antara 7 cm - 14 cm.

2.1.1 Keuntungan Dan Kerugian Suppositoria

a. Keuntungan suppositoria (Ansel, 578)


a) Obat yang merangsang lambung dapat diberikan tanpa
menimbulkan rangsangan
b) Obat yang dirusak atau dibuat tidak aktif oleh pH atau aktivitas
enzim dari lambung atau usus tidak perlu dibawa atau masuk ke
dalam lingkungan yang merusak.
c) Obat yang dirusak dalam sirkulasi portal, dapat tidak melewati hati
setelah diabsorpsi pada rectum.
d) Dapat digunakan oleh pasien dewasa dan anak-anak yang tidak
dapat atau tidak mau menelan obat.
e) Cara yang efektif dalam perawatan pasien yang juga muntah. b.
Kerugian suppositoria
b. Kelemahan Suppositoria

a) Tidak nyaman digunakan

b) Absorbsi obat sering kali tak teratur atau sulit diramalkan

c. Dosis obat yang melalui rectum mungkin lebih besar atau lebih kecil
daripada yang dipakai secara oral tergantung dari faktor-faktor fisiologis
untuk diabsorpsi dan sifat basis supositoria yang dimaksudkan untuk obat-
obat sistemik. Efek lokal umumnya terjadi dengan bentuk/waktu setengah
jam sampai sedikit 4 jam.
2.1.2 Basis-Basis Suppositoria
1. Minyak Cokelat (Minyak Theobroma) Minyak cokelat merupakan basis
supositoria yang paling banyak digunakan, minyak cokelat seringkali
digunakan dalam resep-resep pencampuran bahan-bahan obat bila basisnya
tidak dinyatakan apa-apa. Sebagian besar sifat minyak cokelat memenuhi
persyaratan basis ideal, karena minyak ini tidak berbahaya, lunak dan tidak
reaktif, serta meleleh pada temperatur tubuh (Lachman, 1168)
2. Polietilenglikol PEG memiliki kelarutan dalam air, higroskopisitas dan
tekanan uapnya berkurang dengan meningkatnya bobot molekul rata-rata.
Beberapa kombinasi PEG telah disiapkan untuk basis supositoria dengan
karakteristik fisika yang berbeda-beda. PEG dapat dibuat dengan metode
pencetakan maupun metode kompresi dingin (Lachman, 1168).
3. Gliserin Gelatin Supositoria gelatin yang mengandung gliserin tidak
mencair pada temperatur tubuh, tetapi agak larut dalam sekresi lubang
tubuh dimana supositoria dimasukkan. Supositoria gelatin yang
mengandung gliserin membantu pertumbuhan bakteri atau jamur
(Lachman, 1168).
2.1.3 Syarat-syarat Basis Ideal
Adapun syarat-syarat basis supositoria yang ideal yaitu (Voight, 282-283):
a) Secara fisiologis netral (tidak menimbulkan rangsangan pada usus)
b) Secara kimia netral (tidak tersatukan dengan bahan obat)
c) Tanpa alotropisme (modifikasi yang tidak stabil)
d) Interval yang rendah antara titik lebur dan titik beku
e) Interval yang rendah antara titik lebur mengalir dan titik lebur jernih
2.1.4 Metode Pembuatan Suppositoria
1. Pembuatan dengan cara mencetak Pertama melebur basis, mencampurkan
bahan obat yang diinginkan, menuang hasil leburan ke dalam cetakan,
membiarkan leburan menjadi dingin dan mengental menjadi supositoria
dan melepaskan supositoria dengan oleum cacao, gelatin gliserin, PEG dan
banyak basis supositoria lainnya yang cocok dibuat dengan cara mencetak
(Ansel, 585).
2. Pembuatan dengan cara kompresi Supositoria dapat juga dibuat dengan
menekan massa yang terdiri dari campuran basis dengan bahan obatnya
dalam cetakan khusus memakai alat/mesin pembuat supositoria (Ansel,
585).
3. Pembuatan secara menggulung dan membentuk dengan tangan Dengan
terdapatnya cetakan supositoria dalam macam-macam ukuran dan bentuk,
pengolahan supositoria dengan tangan oleh ahli farmasi sekarang rasanya
hampir tidak pernah dilakukan. Namun demikian membuat supositoria
dengan tangan merupakan bagian dari sejarah seni para ahli farmasi
(Ansel, 585).
2.1.5 Evaluasi Suppositoria
a. Pengujian sediaan supositoria yang dilakukan sebagai berikut:
(Syamsuni, 2007)
a) Uji homogenitas
Uji homogenitas ini bertujuan untuk mengetahui apakah bahan
aktif dapat tercampur rata dengan bahan dasar suppo atau tidak, jika
tidak dapat tercampur maka akan mempengaruhi proses absorbsi
dalam tubuh. Obat yang terlepas akan memberikan terapi yang
berbeda. Cara menguji homogenitas yaitu dengan cara mengambil 3
titik bagian suppo (atas-tengah-bawah atau kanan-tengah-kiri) masing-
masing bagian diletakkan pada kaca objek kemudian diamati dibawah
mikroskop, cara selanjutnya dengan menguji kadarnya dapat
dilakukan dengan cara titrasi.
b) Keseragaman Bentuk dan Ukuran
Bentuk suppositoria juga perlu diperhatikan karena jika dari
bentuknya tidak seperti sediaan suppositoria pada umunya, maka
seseorang yang tidak tahu akan mengira bahwa sediaan tersebut
bukanlah obat. Untuk itu, bentuk juga sangat mendukung karena akan
memberikan keyakinan pada pasien bahwa sediaa tersebut adalah
suppositoria. Selain itu, suppositoria merupakan sediaan padat yang
mempunyai bentuk torpedo.
c) Uji waktu hancur
Uji waktu hancur ini dilakukan untuk mengetahui berapa lama
sediaan tersebut dapat hancur dalam tubuh. Cara uji waktu hancur
dengan dimasukkan dalam air yang di set sama dengan suhu tubuh
manusia, kemudian pada sediaan yang berbahan dasar PEG 1000
waktu hancurnya ±15 menit, sedangkan untuk oleum cacao dingin 3
menit. Jika melebihi syarat diatas maka sediaan tersebut belum
memenuhi syarat untuk digunakan dalam tubuh. Mengapa
menggunakan media air? Dikarenakan sebagian besar tubuh manusia
mengandung cairan.
d) Keseragaman bobot
Keseragaman bobot dilakukan untuk mengetahui apakah bobot tiap
sediaan sudah sama atau belum, jika belum maka perlu dicatat.
Keseragaman bobot akan mempengaruhi terhadap kemurnian suatu
sediaan karena dikhawatirkan zat lain yang ikut tercampur. Caranya
dengan ditimbang saksama 10 suppositoria, satu persatu kemudian
dihitung berat rata-ratanya. Dari hasil penetapan kadar, yang diperoleh
dalam masing-masing monografi, hitung jumlah zat aktif dari masing-
masing 10 suppositoria dengan anggapan zat aktif terdistribusi
homogen. Jika terdapat sediaan yang beratnya melebihi rata-rata maka
suppositoria tersebut tidak memenuhi syarat dalam keseragaman
bobot. Karena keseragaman bobot dilakukan untuk mengetahui
kandungan yang terdapat dalam masing-masing suppositoria tersebut
sama dan dapat memberikan efek terapi yang sama pula
e) Uji titik lebur
Uji ini dilakukan sebagai simulasi untuk mengetahui waktu yang
dibutuhkan sediaan supositoria yang dibuat melebur dalam tubuh.
Dilakukan dengan cara menyiapkan air dengan suhu ±37°C.
Kemudian dimasukkan supositoria ke dalam air dan diamati waktu
leburnya. Untuk basis oleum cacao dingin persyaratan leburnya adalah
3 menit, sedangkan untuk PEG 1000 adalah 15 menit.
f) Uji Kerapuhan
Supositoria sebaiknya jangan terlalu lembek maupun terlalu keras
yang menjadikannya sukar meleleh. Untuk uji kerapuhan dapat
digunakan uji elastisitas. Supositoria dipotong horizontal. Kemudian
ditandai kedua titik pengukuran melalui bagian yang melebar, dengan
jarak tidak kurang dari 50% dari lebar bahan yang datar, kemudian
diberi beban seberat 20N (lebih kurang 2kg) dengan cara
menggerakkan jari atau batang yang dimasukkan ke dalam tabung
(Lachman, 2008).
2.2 Uraian Bahan
1. Bisakodil supositoria (FI IV, 155; Anderson, 563)
Nama resmi : Bisakodil Suppositoria
Nama lain : Suppositoria bisakodil
RM/BM : C22H19NO4/361,4
Pemerian : serbuk hablur, putih sampai hampir putih, terutama terdiri
dari partikel dengan diameter terpanjang lebih kecil dari
50 qm
Kelarutan : praktis tidak larut dalam air, larut dalam kloroform dan
dalam benzene, agak sukar larut dalam etanol dan dalam
methanol, sukar larut dalam eter
Stabilitas : suppositoria dan tablet salut enteric harus disimpan pada
suhu kurang dari 30°C Inkompatibilitas: antasida atau
susu dapat melarutkan lapisan enteric oral tablet
bisakodil, menyebabkan pelepasan obat dilambung dan
iritasi lambung
Kegunaan : Sebagai zat aktif
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik, pada suhu tidak lebih dari 30°
Dosis : 5 mg – 10 mg
2. Alfa tokoferol (FI IV, 798; Excipient, 31-32)
Nama resmi : Alpha Tocopherol
Nama lain : Alfa tokoferol, Vitamin E
RM/BM : C19H50O2/430,72
Pemerian : praktis tidak berbau dan tidak berasa. Bentuk alfa
tokoferol dan alfa tokoferol asetat berupa minyak nabati
kental jernih, warna kuning atau kuning kehijauan. D-alfa
tokoferol asetat dapat berbentuk padat pada suhu dingin.
Alfa tokoferol asam suksinat berupa serbuk warna putih
Kelarutan : tidak larut dalam air, larut dalam etanol, dapat bercampur
dengan eter, dengan aseton, dengan minyak nabati dan
dengan kloroform
Stabilitas : tokoferol teroksidasi perlahan oleh oksigen atmosfer,
produk oksidasi meliputi tokoferil, tokoferil kuinon dan
tokoferol hydroquinone serta dimer dan trimer. Tokoferol
ester yang lebih stabil untuk oksidasi dari tokoferol bebas
tetapi kurang efektif sebagai anti oksidan. Tokoferol
harus disimpan dalam gas inert, dalam wadah kedap
udara, ditempat sejuk, kering dan terlindung dari cahaya
Inkom : tokoferol tidak kompatibel dengan peroksida dan ion
logam, terutama zat besi, tembaga dan perak. Tokoferol
dapat diserap ke dalam plastik
Kegunaan : Sebagai antioksidan
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik Konsentrasi : 0,001-0,05%
3. Oleum cacao (FI III, 453; Excipient, 725)
Nama resmi : Oleum cacao
Nama lain : Lemak cokelat
Pemerian : lemak padat, putih kekuningan, bau khas aromatic, rasa
khas lemak, agak rapuh
Kelarutan : sukar larut dalam etanol (95%) mudah larut dalam
kloroform P, dalam eter P dan dalam eter minyak tanah P
Stabilitas : pemanasan oleum cacao lebih dari 36°C selama persiapan
supositoria dapat mengakibatkanpenurunan titik
pemadatan karena pembentukan kristal meta stabil, hal ini
dapat menyebabkan kesulitan dalam pengaturan
supositoria. Oleum cacao harus disimpan pada temperatur
tidak lebih dari 25°C
Kegunaan : Sebagai basis
Penyimpanan : harus disimpan pda temperatur tidak lebih dari 25°C
BAB III
METODE KERJA
3.1 Alat Dan Bahan
3.1.1 Alat
Adapun alat yang digunakan dalam praktikum ini ialah, alat pencetak
suppositoria, cawan porselin, alat penangas, gelas kimia, batang pengaduk,
timbangan
3.1.2 Bahan
Adapun bahan yang digunakan dalam praktikum ini ialah, Bisacodyl,
oleum cacao dan alfa tokoferol.
3.2 Prosedur Kerja
1. Disiapkan alat dan bahan yang akan digunakan 2.
2. Ditimbang bisakodil 10 mg
3. Dilebur Oleum cacao pada suhu 55°C menggunakan penangas air
4. Diaduk menggunakan batang pengaduk
5. Ditambahkan bisakodil, diaduk sampai homogeny
6. Dicampurkan alfa tokoferol hingga homogeny
7. Dituangkan ke dalam cetakan
8. Dimasukkan ke dalam lemari pendingin
9. Dikeluarkan dan dikemas dalam aluminium foil
10. Dimasukkan ke dalam kemasan
11. Diberi etiket dan brosur
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Pengamatan

Hasil Pembuatan suppositoria

4.4.1 Formula

1. Perancangan Formula

Bisacodyl : 10 mg

Alfa Tokoferol : 0,05 %

Oleum Cacao ad 2 gr

Nama Produk : Filmacodyl

Jumlah Produk : 6 suppositoria

No Registrasi : DTL192639853A5

No Batch : D19012462

4.4.2 Perhitungan Bahan


1. Bisacodyl
Bisacodyl 10 mg = 0,01 gram
0,01 gram x 6 = 0,06 gram
Nilai tukar
0,7 x 0,06 gram = 0,042 gram
Bobot suppo
2 gram x 6 = 12 gram

10
Ditambahkan 10% x 12 gram = 1,2 gram
10
1. Alfa Tokoferol
0,05
Alfa Tokoferol= x 13,2 gram = 1,2 gram
100
(0,05%)
1 kapsul = 100 IU
1 mg = 1,49 IU
100
1 kapul = x 1 mg = 67,11 x 4 ml caster oil
1,49
= 0,3298
2. Oleum Cacao
13,2 – (0,042+0,0066 gram)
13,2 gram –0,0486 gr = 13,1514 gram
Perhitungan Per’batch
Bisacodyl = 10 mg x 6 = 60 gram
Alfa tokoferol = 6,6 mg x 6 = 39,6 gram
Oleum Cacao = 13,154 x 6 = 78,9084 gram

4.2 Pembahasan

Supositoria adalah sediaan padat yang digunakan melalui dubur,umumnya


berbentuk torpedo, dapat melarut, melunak atau meleleh pada suhu tubuh.
Supositoria umumnya dimasukan melalui rektum,vagina, kadang-kadang melalui
saluran urin dan jarang melalui telinga danhidung (Ansel, 1989).
Dalam praktikum kali ini pembuatan suppositoria digunakan zat aktif
bisacodyl tersedia sebagai tablet enteric dan supositoria. Bisakodil digunakan
sebagai bahan aktif yang berguna untuk mengatasi konstipasi.Secara penggunaan
oral, kerja bisakodil timbul dalam waktu 6-12 jam dan seperempat sampai satu
jam setelah pemberian rectal.Pada pemberian oral bisakodil diabsorbsi kira-kira
5% dan diekskresi bersama urin.Ekskresi bisakodil terutama dalam
tinja.Bisacodyl mempunyai efek lokal (Farmakologi dan Terapi, 529).
Bisacodyl adalah obat bahan pencahar (loxative) yang digunakan untuk
mengatasi sembelit atau kontipasi. Obat ini adalah derivat trifenil metana yang
termasuk obat pencahar. Jenis stimulan motilitas usus (Farmakologi dan Terapi,
529).
Basis yang digunakan dalam praktikum ini ialah, Oleum cacao yang
dengan cepat mencair pada suhu tubuh karena tidak bercampur dengan cairan
tubuh sehingga dengan cepat memberikan efek terapi pada saat pengaplikasian
suppositoria.α tokoferol atau vitamin E digunakan sebagai antioksidan yang
melindungi asam lemak tak jenuh terhadap oksidasi sehingga pada sediaan
suppositoria tersebut tidak mudah ditumbuhi oleh jamur.
Oleum cacao meleleh (melebur pada suhu 30-360C dan merupakan basis
yang ideal yang dapat melumer pada suhu tubuh tetapi dapat bertahan pada suhu
kamar (15-30 0C) (Lachman, 1994).
Alfa tokoferol atau vitamin E bekerja sebagai antioksidan dan yang
melindungi asam lemak tak jenuh terhadap oksida (Rowe, 2009).
Metode yang digunakan dalam praktikum kali ini ialah metode cetak tuang
karena, merupakan metode yang paling umum digunakan untuk membuat
supositoria skala kecil dan skala besar dengan menggunakan panas sekecil
mungkin sehingga zat aktif tidak akan rusak, karena zat aktif pada formula ini
tahan terhadap pemanasan. Basis suppositoria yang telah ditimbang dilebbur
diatas penangas air, karena biasanya tidak memerlukan panas yang terlalu tinggi
kemudian bahan aktif diemulsikan atau disuspensikan kedalamnya, akhirnya
massa dituang kedalam cetakan yang telah diberi pelumas (Lachman, 1994).
Supositoria dalam praktikum ini didapatkan sebanyak 5 supositoria dengan
warna kuning, bau khas supositoria dengan basis oleum cacao. Banyaknya
supositoria tidak sesuai dengan jumlah produk yaitu 6 supositoria. Hal ini terjadi
karena, pada saat pemanasan atau peleburan oleum cacao, banyak oleum cacao
yang menempel pada wadah sehingga membuat volume dari oleum cacao
berkurang dan mempengaruhi hasil sediaan supositoria.

BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Dari praktikum kali ini dapat disimpulkan bahwa sediaan suppositoria,
dapat digunakan melalui dubur, umumnya berbentuk torpedo, dapat melarut,
melunak atau meleleh pada suhu tubuh. Supositoria umumnya dimasukan melalui
rektum dan vagina. Pemilihan basis yang digunakan harus disesuaikan dengan
kelarutan dari zat aktif yang akan digunakan.
5.2 Saran
Sebaiknya pada saat praktikum, praktikan lebih memperhatikan tata tertib
serta prosedur kerja dan memahami faktor-faktor yang menyebabkan kesalahan
pada saat praktikum sedang berlangsung.
DAFTAR PUSTAKA
Anief, M. A. 2005. Manajemen Farmasi. Yogyakarta: UGM Press.

Ansel, H.C. 1989. Pengantar Bentuk sediaan Farmasi Edisi 4. Jakarta: UI Press.

Dirjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan.2008. Materi Pelatihan


Peningkatan Pengetahuan Dan Keterampilan Memilih Obat Bagi
Tenaga Kesehatan. Jakarta: Depkes RI.

Dirjen POM. 1979. Farmakope Indonesia Edisi Ketiga. Jakarta: Depkes RI.

Dirjen POM. 1995. Farmakope Indonesia Edisi Ke-IV. Jakarta: Depkes RI.

Lachman, Leon.2008.Teori dan praktek farmasi industry jilid


2.Jakarta.Universitas Indonesia Press.

Lachman, L., et al. 2008. Teori dan Praktek Farmasi Industri. Jakarta: UI Press.

Moh. Anief. 2007. FARMASETIKA.Yogyakarta : GADJAH MADA


UNIVERSITY PRESS

Pratiwi, S.T. 2008. Mikrobiologi Farmasi. Bandung: Erlangga.

Rowe, R.C., et al. 2009. Handbook of Pharmaceutical Excipients 6th edition.


London: Pharmaceutical Press.

Sweetnam, S.C. 2009. Martindale 36thedition. London: Pharmaceutical Press.

Syamsuni, H. A. 2006. Ilmu Resep. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Voigt, R. 1995. Buku Pelajaran Teknologi Farmasi. Yogyakarta: UGM Press.

Winarti, L. 2013. Diktat Kuliah Formulasi Sediaan Semisolid (Formulasi Salep,


Krim, Gel, Pasta, dan Suppositoria). Jember: Universitas Jember.
LAMPIRAN
1. Alat yang digunakan

Alat pencetak suppositoria Timbangan

Cawan Porselen

2. Bahan yang digunakan

Alfa Tokoferol (Nature E) Bisacodyl


Oleum Cacao

3. Prosedur Kerja

Proses Pencetakan Suppositoria


Proses penimbangan bahan

Hasil Dari pencetakan suppositoria

Anda mungkin juga menyukai