Disusun Oleh
Tia Syalita
1102011278
Konsulen Pembimbing
dr. Hj. Perwitasari Bustami, Sp.S
dr. Eny Waeningsih, Sp.S, Mkes
II. Epidemiologi
Data epidemiologi menyatakan bahwa kira-kira 30% sampai 40% pasien dewasa
dengan diabetes tipe 2 mempunyai suatu distal peripheral neuropathy (DPN). DPN telah
dihubungkan dengan berbgai faktor resiko mencakup derajat tingkat hiperglikemi, indeks
lipid dan tekanan darah, lama dan beratnya menderita diabetes. Angka durasi diabetes juga
akan meningkat sesuai umur dan durasi diabetes. Studi epidemiologik menunjukkan bahwa
dengan tidak terkontrolnya kadar gula maka akan mempunyai resiko yang lebih besar untuk
terjadinya neuropati, seperti halnya borok kaki dan amputasi. Suatu kenaikan kadar HbA1c
2% mempunyai resiko komplikasi neuropati sebesar 1,6 kali lipat dalam waktu 4 tahun. 2
III. Etiologi
V. Patofisiologi
Banyak teori yang dikemukan oleh para ahli tentang patofisiologi terjadinya neuropati
diabetika, namun semuanya sampai sekarang belum diketahui sepenuhnya. Faktor-faktor
etiologi neuropati diabetika diduga adalah vaskular, berkenaan dengan metabolisme,
neurotrofik dan imunologik. Studi terbaru menunjukkan adanya kecenderungan suatu
multifaktorial patogenesis yang terjadi pada neuropati diabetika. Beberapa teori yang
diterima adalah :5
a. Teori vaskular (iskemia-hipoksia)
Pada pasien neuropati diabetika dapat terjadi penurunan aliran darah ke endoneurium
yang disebabkan oleh adanya resistensi pembuluh darah akibat hiperglikemia. Biopsi
nervus suralis pada pasien neuropati diabetika ditemukan adanya penebalan
pembuluh darah, agregasi platelet, hiperplasi sel endotelial dan pembuluh darah,
yang kesemuanya dapat menyebabkan iskemia. Iskemia juga dapat menyebabkan
terganggunya transport aksonal, aktifitas NA+/K+ ATPase yang akhirnya
menimbulkan degenerasi akson.
b. Teori Metabolik
Teori Advanced Glycation End Product (AGEs)
Peningkatan glukosa intraseluler menyebabkan pembentukan advanced glycosilation
products (AGEs) melalui glikosilasi nonenzymatik pada protein seluler. Glikosilasi
dan protein jaringan menyebabkan pembentukan AGEs. Glikosilasi non enzimatik
ini merupakan hasil interaksi glukosa dengan kelompok amino pada protein. Pada
hiperglikemia kronis beberapa kelebihan glukosa berkombinasi dengan asam amino
pada sirkulasi atau protein jaringan. Proses ini pada awalnya membentuk produk
glikosilasi awal yang reversibel dan selanjutnya membentuk AGEs yang ireversibel.
Konsentrasi AGEs meningkat pada penderita DM. Pada endotel mikrovaskular
manusia , AGEs menghambat produksi prostasiklin dan menginduksi PAI-
1(Plasminogen Activator Inhibitor-1) dan akibatnya terjadi agregasi trombosit dan
stabilisasi fibrin, memudahkan trombosis. Mikrotrombus yang dirangsang oleh
AGEs berakibat hipoksia lokal dan meningkatkan angiogenesis dan akhirnya
mikroangiopati.
Polineuropati diabetika memiliki tanda dan gejala yang mudah dikenal yaitu kelainan
yang sifatnya simetris. Gangguan sensorik selalu lebih nyata dibanding kelainan motorik dan
sudah terlihat pada awal penyakit. Umumnya gejala nyeri, parastesi dan hilang rasa timbul
ketika malam hari. Khas diawali dari jari kaki berjalan ke proksimal tungkai. Seiring
memberatnya penyakit jari tangan dan lengan dapat mengenai saraf sensoris, motor dan
fungsi otonomik dengan bermacam-macam derajat tingkat, dengan predominan terutama
disfungsi sensoris.2 Nyeri mungkin bisa tiba-tiba saja timbul atau mungkin dicetus oleh
stimulasi pada daerah kulit dan nyerinya tajam atau terbakar. Parastesi biasanya
digambarkan dengan rasa tebal, gringgingen, terbakar, atau kesemutan.
Kelemahan otot-otot tungkai dan penurunan reflek lutut dan tumit terjadi lebih lambat.
Adanya nyeri dan menurunnya rasa terhadap temperatur melibatkan serabut sarabut saraf
kecil (small fiber neuropathy) dan merupakan predisposisi terjadinya ulkus kaki. Gangguan
propioseptif, rasa getar dan gaya berjalan (sensory ataxia gait) menunjukkan keterlibatan
serabut saraf ukuran besar (large fiber neuropathy).
Kerusakan pada sistem saraf-saraf autonom dapat menyebabkan miosis (mengecilnya
pupil), anhidrosis (tidak bisa berkeringat), hipotensi ortostatik, impotensi, dan keabnormalan
vasomotor. Gejala-gejala tersebut dapat muncul tanpa gejala lain yang sering menyertai
polineuropati, tapi gangguan pada sistem autonom tersebut sering menyertai polineuropati
distal yang simetris.
Saraf-saraf kutan superfisial bisa menjadi tebal dan terlihat karena kolagen berproliferasi
dan dideposisi pada sel schwann karena pengulangan episode demyelinisasi dan
remyelinisasi atau deposisi dari amyloid atau polisakarida pada saraf-saraf tersebut.
Fasikulasi atau kontraksi spontan dari unit motor dapat terlihat berkejut-kejut dibawah kulit
dan bisa juga terlihat di lidah pasien. Gejala tersebut merupakan karakteristik dari penyakit
yang menyerang cornu anterior tapi juga bisa terlihat pada neuropati motoric dengan
multifokal blok pada konduksi motoricnya dan juga pada neuropati kronis yang menyertai
kerusakan dari axon.
Tanda dan gejala klinis dari polineuropati merupakan refleksi dari saraf apa yang
terkena. Gangguan dari tiap tipe saraf menghasilkan tanda dan gejala yang “positif” atau
“negatif” seperti yang terlihat pada tabel berikut
VII. Diagnosis
Pemeriksaan Eletrodiagnostik
Elektromiografi (EMG) adalah pemeriksaan elektrodiagnosis untuk
memeriksa saraf perifer dan otot. Pemeriksaan EMG adalah obyektif, tak tergantung input
penderita dan tak ada bias. EMG dapat member informasi yang dapat dipercaya ,kuantitatif
dari fungsi saraf. EMG dapat mengetahui denervasi parsial pada otot kaki sebagai tanda dini
ND. EMG ini dapat menunjukkan kelaianan dini pada ND yang asimptomatik.
Kecepatan hantar saraf (KHS) mengukur serat saraf sensorik bermyelin besar dan
serat saraf motorik, jadi tidak dapat mengetahui kelainan pada neuropati selektifserat
bermielin kecil. Pemeriksaan KHS sensorik mengakses integritas sel-sel ganglion radiks
dorsalis dan akson perifernya. KHS sensorik berkurang pada demielinisasi serabut saraf
sensorik. KHS motorik biasanya lambat dibagian distal lambat, terutama bagian distal.
Respon motorik mungkin amplitudonya normal atau berkurang bila penyakitnya bertambah
parah. Penyelidikan kecepatan hantar saraf sensorik biasanya lebih jelas daripada perubahan
KHS motorik. EMG jarang menimbulkan aktivitas spontan abnormal dan amplitude motor
unit bertambah, keduanya ini menunjukkan hilangnya akson dengan dengan reinervasi
kompensatoris. Bila kerusakan saraf kecil memberi keluhan nyeri neuropatik , kecepatan
hantar sarafnya normal,dan diagnosis memerlukan biopsi saraf. Hasil-hasil EMG saja tidak
pernah patognomonik untuk suatu penyakit, walau ia dapat membantu atau menyangkal suatu
diagnosis klinis. Oleh karena itu pemeriksaan klinis dan neurologik serta amamnesis penting
sekali untuk membantu diagnosis pasti suatu penyakit.
VII. Tatalaksana
Terapi pasien dengan polineuropati dapat dibagi menjadi tiga cara: terapi spesifik
dilakukan bergantung kepada etiologi penyebab dari pasien tersebut, terapi simptomatis,
dan meningkatkan kemampuan pasien self-care. Terapi simptomatis dari polineuropati
terdiri dari mengurangi atau menghilangkan dari nyeri yang diderita dan fisioterapi.
Fisioterapi termasuk pijat untuk otot yang lemah dan melakukan pergerakan pasif
terhadap semua sendi. Ketika pasien sudah bisa untuk bergerak lagi, latihan otot dapat
dilakukan setiap hari. Pasien mungkin tidak diperbolehkan untuk jalan terlebih dahulu
sebelum tes otot mengindikasikan bahwa otot-otot tersebut sudah siap untuk digunakan.
Pada kasus polineuropati dengan footdrop, sebuah orthosis untuk kaki dapat digunakan
untuk membantu pasien berjalan. Pasien-pasien dengan hipotensi postural, disuruh untuk
bangun secara bertahap.
Terapi nyeri :
◦ Beberapa terapi medikasi utk nyeri neuropati :
Antidepresan (amitriptilin, imipramin, desipramin, Duloxetin
Bupropion, Paroxetin, Citalopram)
Antikonvulsan : Pregabalin, Gabapentin, Carbamazepin,
Lamotrigin)
Opioid/‟opioid like : Tramadol, Oxicodon
Alpha-lipoic acid
◦ Terapi Topikal : krim Capsaicin, Lidocain patch, Nitrat spray/patch
DAFTAR PUSTAKA
1. Harsono. 2005. Kapita Skeletal Neurologi. Edisi ke-2. Yogyakarta: Gajah Mada
University Press
2. Sjahrir H. 2006. Diabetic Neuropathy : The Pathoneubiology & Treatment
Update. Medan: USU Press
3. Fazan V.P.S.,Vasconcelos, Nessler.2010. Diabetic Peripheral Neuropathies: a
morphometric overview. Int.J.Morphol.28(1):51-64
4. Meijer JWK, Bosma E, Lefrandt JD, Links TP, Smith AJ, Steward RE et al. 2003.
Clinical Diagnosis of Diabetic Neuropathy Symptom and Diabetic Neuropathy
Examination Scores. Diabetes Care; 23(3): 691-701.
5. Widiastuti MI. Peran Neuropati Pada Patogenesis kaki diabetik. Dalam: Suhartono
T,Tjokorda GDE, Nugroho KH, editor. Kursus Manajemen Holistik Kaki Diabetik.
Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro 2007; 2:19
6. Meliala L. Penatalaksanaan Nyeri Neuropati Diabetika. Dalam: Meliala L, Rusdi I,
Gofir A, Pinzon R , editor. 2004. Toward Mechanism-Based Pain Treatment The
Recent Trent and Current Evidences. Yogyakarta; 121- 8.