Anda di halaman 1dari 12

REFERAT

KEPANITERAN SMF NEURO


POLINEUROPATI DIABETIKA

Disusun Oleh
Tia Syalita
1102011278

Konsulen Pembimbing
dr. Hj. Perwitasari Bustami, Sp.S
dr. Eny Waeningsih, Sp.S, Mkes

Kepaniteraan Periode 25 Januari 2016


RS dr. Drajat Prawiranegara
SERANG
I. Definisi

Polineuropati diabetika adalah sekumpulan gejala yang disebabkan oleh degenerasi


saraf perifer atau otonom sebagai akibat penyakit diabetes melitus. Polineuropati diabetika
juga dapat diartikan kerusakan syaraf secara simetrik dengan gangguan motorik,sensorik dan
otonom yang lebih berat didistal daripada bagian proksimal badan,saraf otak dan SSP
(Susunan Saraf Pusat) juga ikut terserang.1

II. Epidemiologi

Data epidemiologi menyatakan bahwa kira-kira 30% sampai 40% pasien dewasa
dengan diabetes tipe 2 mempunyai suatu distal peripheral neuropathy (DPN). DPN telah
dihubungkan dengan berbgai faktor resiko mencakup derajat tingkat hiperglikemi, indeks
lipid dan tekanan darah, lama dan beratnya menderita diabetes. Angka durasi diabetes juga
akan meningkat sesuai umur dan durasi diabetes. Studi epidemiologik menunjukkan bahwa
dengan tidak terkontrolnya kadar gula maka akan mempunyai resiko yang lebih besar untuk
terjadinya neuropati, seperti halnya borok kaki dan amputasi. Suatu kenaikan kadar HbA1c
2% mempunyai resiko komplikasi neuropati sebesar 1,6 kali lipat dalam waktu 4 tahun. 2

III. Etiologi

Tabel etiologi polineuropati diabetik3


IV. Klasifikasi

Klasifikasi polineuropati diabetikum didasarkan pada :


1. Berdasarkan onset : Aku, sub akut dan kronik
2. Menurut Goto (1986) :
a. Somatik
- Motorik : keluhan paling menonjol adalah berkurangnya tenaga dan cepat
lelah. Pada pemerikasan kekuatan otot terjadi penurunan dan kelemahan oleh
karena terputusnya akson dan demielinisasi sehingga terjadi hambatan pada
konduksi hantaran syaraf. Tanda objektif yang timbul adalah hilangnya reflek
tendon Achilles dan patela
- Sensorik : terjadi parastesi (rasa tebal), rasa terbakar, diastesi (bila diraba
terasa sangat nyeri), hiperalgesia (nilai ambang nyeri turun)
b. Autonom : Hipotensi postural, impotensi, anhidrosi, gagguan pada bowel dan
bleder,

V. Patofisiologi

Banyak teori yang dikemukan oleh para ahli tentang patofisiologi terjadinya neuropati
diabetika, namun semuanya sampai sekarang belum diketahui sepenuhnya. Faktor-faktor
etiologi neuropati diabetika diduga adalah vaskular, berkenaan dengan metabolisme,
neurotrofik dan imunologik. Studi terbaru menunjukkan adanya kecenderungan suatu
multifaktorial patogenesis yang terjadi pada neuropati diabetika. Beberapa teori yang
diterima adalah :5
a. Teori vaskular (iskemia-hipoksia)
Pada pasien neuropati diabetika dapat terjadi penurunan aliran darah ke endoneurium
yang disebabkan oleh adanya resistensi pembuluh darah akibat hiperglikemia. Biopsi
nervus suralis pada pasien neuropati diabetika ditemukan adanya penebalan
pembuluh darah, agregasi platelet, hiperplasi sel endotelial dan pembuluh darah,
yang kesemuanya dapat menyebabkan iskemia. Iskemia juga dapat menyebabkan
terganggunya transport aksonal, aktifitas NA+/K+ ATPase yang akhirnya
menimbulkan degenerasi akson.
b. Teori Metabolik
Teori Advanced Glycation End Product (AGEs)
Peningkatan glukosa intraseluler menyebabkan pembentukan advanced glycosilation
products (AGEs) melalui glikosilasi nonenzymatik pada protein seluler. Glikosilasi
dan protein jaringan menyebabkan pembentukan AGEs. Glikosilasi non enzimatik
ini merupakan hasil interaksi glukosa dengan kelompok amino pada protein. Pada
hiperglikemia kronis beberapa kelebihan glukosa berkombinasi dengan asam amino
pada sirkulasi atau protein jaringan. Proses ini pada awalnya membentuk produk
glikosilasi awal yang reversibel dan selanjutnya membentuk AGEs yang ireversibel.
Konsentrasi AGEs meningkat pada penderita DM. Pada endotel mikrovaskular
manusia , AGEs menghambat produksi prostasiklin dan menginduksi PAI-
1(Plasminogen Activator Inhibitor-1) dan akibatnya terjadi agregasi trombosit dan
stabilisasi fibrin, memudahkan trombosis. Mikrotrombus yang dirangsang oleh
AGEs berakibat hipoksia lokal dan meningkatkan angiogenesis dan akhirnya
mikroangiopati.

c. Teori Nerve Growth Factor (NGF)


Faktor neurotrophic penting untuk pemeliharaan, pengembangan, dan regenerasi
unsur-unsur yang responsif dari saraf. Neurotrophic factor (NF) sangat penting untuk
saraf dalam mempertahankan perkembangan dan respon regenerasi. Nerve Growth
Factor (NGF) berupa protein yang memberi dukungan besar terhadap kehidupan
serabut saraf dan neuron simpatis. Telah banyak dilakukan penelitian mengenai
adanya faktor pertumbuhan saraf, yaitu suatu protein yang berperan pada ketahanan
hidup neuron sensorik serabut kecil dan neuron simpatik sistem saraf perifer .
Beberapa penelitian pada binatang menunjukkan adanya defisiensi neurotropik
sehingga menurunkan proses regenerasi saraf dan mengganggu pemeliharaan saraf.
Pada banyak kasus, defisit yang paling awal, melibatkan serabut saraf yang kecil.
3,17 Pada pasien dengan DM terjadi penurunan NGF sehingga transport aksonal
yang retrograde ( dari organ target menuju badan sel) terganggu. Penurunan kadar
NGF pada kulit pasien DM berkorelasi positif dengan adanya gejala awal small
fibers sensory neuropathy.
d. Stres Oksidatif pada Patogenesis Neuropati Diabetika
Stres oksidatif terjadi dalam sebuah sistem seluler saat produksi dari radikal bebas
melampaui kapasitas antioksidan dari sistem tersebut. Jika antioksidan seluler tidak
memindahkan radikal bebas, radikal bebas tersebut menyerang dan merusak protein,
lipid dan asam nukleat. Oksidasi produk radikal bebas menurunkan aktifitas biologi,
membuat hilangnya energi metabolisme, sinyal sel, transport, dan fungsi fungsi utama
lainnya. Hasil produknya juga membuat degradasi proteosome, kemudian dapat
menurunkan fungsi seluler. Akumulasi dari beberapa kerusakan membuat sel mati
melalui nekrotisasi atau mekanisme apoptosis. Hiperglikemik kronis menyebabkan
stres oksidatif pada jaringan cenderung pada komplikasi pasien dengan diabetes.
Metabolisme glukosa yang berlebihan menghasilkan radikal bebas. Beberapa jenis
radikal bebas di produksi secara normal di dalam tubuh untuk menjalankan beberapa
fungsi spesifik. Superoxide (O2), hydrogen peroxide (H2O2), dan nitric oxide (NO)
adalah tiga diantara radikal bebas ROS yang penting untuk fisiologi normal, tetapi
juga dipercaya mempercepat proses penuaan dan memediasi degenerasi selular pada
keadaan sakit.
Glukosa dapat bereaksi dengan Reactive Oxygen Species (ROS) dan akan membentuk
karbonil. Karbonil bereaksi dengan protein atau lemak akan menyebabkan
pembentukan glikosidasi atau liposidasi. Selain itu glukosa dapat juga membentuk
karbonil secara langsung dengan protein dan membentuk Advanced glycation end
products(AGEs) yang berperan dalam stress oksidatif dan dapat menyebabkan
kerusakan sel.
VI. Gejala Klinis

Polineuropati diabetika memiliki tanda dan gejala yang mudah dikenal yaitu kelainan
yang sifatnya simetris. Gangguan sensorik selalu lebih nyata dibanding kelainan motorik dan
sudah terlihat pada awal penyakit. Umumnya gejala nyeri, parastesi dan hilang rasa timbul
ketika malam hari. Khas diawali dari jari kaki berjalan ke proksimal tungkai. Seiring
memberatnya penyakit jari tangan dan lengan dapat mengenai saraf sensoris, motor dan
fungsi otonomik dengan bermacam-macam derajat tingkat, dengan predominan terutama
disfungsi sensoris.2 Nyeri mungkin bisa tiba-tiba saja timbul atau mungkin dicetus oleh
stimulasi pada daerah kulit dan nyerinya tajam atau terbakar. Parastesi biasanya
digambarkan dengan rasa tebal, gringgingen, terbakar, atau kesemutan.
Kelemahan otot-otot tungkai dan penurunan reflek lutut dan tumit terjadi lebih lambat.
Adanya nyeri dan menurunnya rasa terhadap temperatur melibatkan serabut sarabut saraf
kecil (small fiber neuropathy) dan merupakan predisposisi terjadinya ulkus kaki. Gangguan
propioseptif, rasa getar dan gaya berjalan (sensory ataxia gait) menunjukkan keterlibatan
serabut saraf ukuran besar (large fiber neuropathy).
Kerusakan pada sistem saraf-saraf autonom dapat menyebabkan miosis (mengecilnya
pupil), anhidrosis (tidak bisa berkeringat), hipotensi ortostatik, impotensi, dan keabnormalan
vasomotor. Gejala-gejala tersebut dapat muncul tanpa gejala lain yang sering menyertai
polineuropati, tapi gangguan pada sistem autonom tersebut sering menyertai polineuropati
distal yang simetris.
Saraf-saraf kutan superfisial bisa menjadi tebal dan terlihat karena kolagen berproliferasi
dan dideposisi pada sel schwann karena pengulangan episode demyelinisasi dan
remyelinisasi atau deposisi dari amyloid atau polisakarida pada saraf-saraf tersebut.
Fasikulasi atau kontraksi spontan dari unit motor dapat terlihat berkejut-kejut dibawah kulit
dan bisa juga terlihat di lidah pasien. Gejala tersebut merupakan karakteristik dari penyakit
yang menyerang cornu anterior tapi juga bisa terlihat pada neuropati motoric dengan
multifokal blok pada konduksi motoricnya dan juga pada neuropati kronis yang menyertai
kerusakan dari axon.
Tanda dan gejala klinis dari polineuropati merupakan refleksi dari saraf apa yang
terkena. Gangguan dari tiap tipe saraf menghasilkan tanda dan gejala yang “positif” atau
“negatif” seperti yang terlihat pada tabel berikut
VII. Diagnosis

1. Diagnosis Diabetes Melitus


Kadar gula darah untuk menentukan diagnosis DM menurut Konsesus Pengelolaan
DM tahun 2006.
Tabel 2. Diagnosis DM menurut Konsensus Pengelolaan DM Perkeni 2006.

2. Diagnosis Neuropati Diabetika


Penegakan diagnose dan menentukan derajat keparahan dari neuropati diabetika
menggunakan TCSS (Tronto clinical scoring system) yang meliputi Gejala,
pemeriksaan reflek dan pemeriksaan sensorik.4
a. Gejala : pada kaki yaitu nyeri, rasa tebal, kesemutan, lemah, gejala adanya
ataksia dan gejala pada lengan. System scoringnya adalah bila terdapat gejala
skor 1 bila tidak ada gejala skor 0
b. Reflek : pemeriksaan pada kaki kiri dan kanan, dilakukan pemeriksaan reflek
patella dan achiles, skor 2 bila tidak ada reflek, 1 bila reflek menurun dan 0 bila
normal
c. Sensorik : pemeriksaan sensorik meliputi nyeri tusuk, suhu, raba, getaran dan

posisi. Skor 1 bila abnormal, 0 bila normal

Pemeriksaan Eletrodiagnostik
Elektromiografi (EMG) adalah pemeriksaan elektrodiagnosis untuk
memeriksa saraf perifer dan otot. Pemeriksaan EMG adalah obyektif, tak tergantung input
penderita dan tak ada bias. EMG dapat member informasi yang dapat dipercaya ,kuantitatif
dari fungsi saraf. EMG dapat mengetahui denervasi parsial pada otot kaki sebagai tanda dini
ND. EMG ini dapat menunjukkan kelaianan dini pada ND yang asimptomatik.
Kecepatan hantar saraf (KHS) mengukur serat saraf sensorik bermyelin besar dan
serat saraf motorik, jadi tidak dapat mengetahui kelainan pada neuropati selektifserat
bermielin kecil. Pemeriksaan KHS sensorik mengakses integritas sel-sel ganglion radiks
dorsalis dan akson perifernya. KHS sensorik berkurang pada demielinisasi serabut saraf
sensorik. KHS motorik biasanya lambat dibagian distal lambat, terutama bagian distal.
Respon motorik mungkin amplitudonya normal atau berkurang bila penyakitnya bertambah
parah. Penyelidikan kecepatan hantar saraf sensorik biasanya lebih jelas daripada perubahan
KHS motorik. EMG jarang menimbulkan aktivitas spontan abnormal dan amplitude motor
unit bertambah, keduanya ini menunjukkan hilangnya akson dengan dengan reinervasi
kompensatoris. Bila kerusakan saraf kecil memberi keluhan nyeri neuropatik , kecepatan
hantar sarafnya normal,dan diagnosis memerlukan biopsi saraf. Hasil-hasil EMG saja tidak
pernah patognomonik untuk suatu penyakit, walau ia dapat membantu atau menyangkal suatu
diagnosis klinis. Oleh karena itu pemeriksaan klinis dan neurologik serta amamnesis penting
sekali untuk membantu diagnosis pasti suatu penyakit.

VII. Tatalaksana

Terapi pasien dengan polineuropati dapat dibagi menjadi tiga cara: terapi spesifik
dilakukan bergantung kepada etiologi penyebab dari pasien tersebut, terapi simptomatis,
dan meningkatkan kemampuan pasien self-care. Terapi simptomatis dari polineuropati
terdiri dari mengurangi atau menghilangkan dari nyeri yang diderita dan fisioterapi.
Fisioterapi termasuk pijat untuk otot yang lemah dan melakukan pergerakan pasif
terhadap semua sendi. Ketika pasien sudah bisa untuk bergerak lagi, latihan otot dapat
dilakukan setiap hari. Pasien mungkin tidak diperbolehkan untuk jalan terlebih dahulu
sebelum tes otot mengindikasikan bahwa otot-otot tersebut sudah siap untuk digunakan.
Pada kasus polineuropati dengan footdrop, sebuah orthosis untuk kaki dapat digunakan
untuk membantu pasien berjalan. Pasien-pasien dengan hipotensi postural, disuruh untuk
bangun secara bertahap.

Kontrol gula darah :


◦ Monitoring kadar gula darah
◦ Pengaturan Diet yang terkontrol
◦ Aktifitas fisik
◦ Terapi diabetes dgn obat ataupun Insulin

Terapi nyeri :
◦ Beberapa terapi medikasi utk nyeri neuropati :
Antidepresan (amitriptilin, imipramin, desipramin, Duloxetin
Bupropion, Paroxetin, Citalopram)
Antikonvulsan : Pregabalin, Gabapentin, Carbamazepin,
Lamotrigin)
Opioid/‟opioid like : Tramadol, Oxicodon
Alpha-lipoic acid
◦ Terapi Topikal : krim Capsaicin, Lidocain patch, Nitrat spray/patch
DAFTAR PUSTAKA

1. Harsono. 2005. Kapita Skeletal Neurologi. Edisi ke-2. Yogyakarta: Gajah Mada
University Press
2. Sjahrir H. 2006. Diabetic Neuropathy : The Pathoneubiology & Treatment
Update. Medan: USU Press
3. Fazan V.P.S.,Vasconcelos, Nessler.2010. Diabetic Peripheral Neuropathies: a
morphometric overview. Int.J.Morphol.28(1):51-64
4. Meijer JWK, Bosma E, Lefrandt JD, Links TP, Smith AJ, Steward RE et al. 2003.
Clinical Diagnosis of Diabetic Neuropathy Symptom and Diabetic Neuropathy
Examination Scores. Diabetes Care; 23(3): 691-701.
5. Widiastuti MI. Peran Neuropati Pada Patogenesis kaki diabetik. Dalam: Suhartono
T,Tjokorda GDE, Nugroho KH, editor. Kursus Manajemen Holistik Kaki Diabetik.
Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro 2007; 2:19
6. Meliala L. Penatalaksanaan Nyeri Neuropati Diabetika. Dalam: Meliala L, Rusdi I,
Gofir A, Pinzon R , editor. 2004. Toward Mechanism-Based Pain Treatment The
Recent Trent and Current Evidences. Yogyakarta; 121- 8.

Anda mungkin juga menyukai