Kabinet Djuanda
Kabinet Djuanda
Kabinet Djuanda
Disusun oleh :
Proses terbentuknya Kabinet Djuanda dilatarbelakangi suasana politik saat itu yang
dalam kondisi mendesak dan genting. Kondisi bangsa saat itu menuju perpecahan di antaranya
akibat polarisasi yang dilakukan partai-partai dan pembagian Jawa-luar Jawa. Struktur
ekonomi saat itu banyak dilakukan oleh orang-orang etnis China, sedangkan suku Jawa
mendominasi struktur dalam pemerintahan. Sentimen-sentimen kesukuan dan kedaerahan
menjadi jelas yang didorong oleh perbedaan-perbedaan daerah yang diungkap dalam Pemilu
1955. Suku Sunda menyatakan kejengkelannya karena orang-orang Jawa yang menguasai
bidang pemerintahan. Masyarakat di luar Jawa juga umumnya frustasi dengan nilai mata uang
rupiah yang tinggi yang dianggap sebagai puncak Pemerintah di Jakarta melalaikan
tugasnya.1[1]
Sejak 1952, militer di beberapa daerah banyak menjalin kerjasama yang tak lazim
dengan instansi-instansi sipil di luar Jawa untuk memenuhi kebutuhan kesatuannya hingga
penghasilan pribadi mereka. Jakarta terutama Nasution dan para pengikutny tidak menyukai
hal tersebut, hingga setelah menjadi Kepala Staff Tetara pada bulan November 1956. Nasution
memulai kebijakan memindalahkan perwira secara besar-besaran yang kebanyakan dari
mereka telah banyak terlibat dalam perusahaan-perusahaan swasta lokal. Hal tersebut
menyebabkan pertalian pihak militer dan sipil terpecah menjadi dua kelompok.
Puncaknya, saat ada usaha menawan Menteri Luar Negeri yang berasal dari PNI,
Ruslan Abdulgani dengan tuduhan korupsi oleh pendukung kelompok militer yang menentang
Nasution, yang kebanyakan adalah perwira militer anti-Jakarta. Usaha penawanan ini
digagalkan oleh Nasution. Kelompok tersebut juga merencanakan kudeta dengan dukungan
beberapa perwira Divisi Siliwangi di Jawa Barat. Kudeta yang dilancarkan saat Presiden
Soekarno tengah dalam kunjungan kenegaraan ke negara-negara komunis pada 28 Agustus-16
Oktober 1956. Kudeta tersebut ingin memecat Nasution dan menggulingkan pemerintahan
kabinet sebelum Soekarno kembali ke Indonesia. Namun pemberontakan tersebut digagalkan
oleh kelompok pendukung Nasution sebelum bisa memasuki Jakarta.
Rencana Presiden Soekarno tentang pembubaran partai politik melalui pidatonya pada 28
Oktober 1956, membuat militer gusar. Hal ini dikarenakan akan memunculkan kekuatan PKI
dan kelompok kiri di sekitar Soekarno. Dua hari kemudian Soekarno menyatakan
pemikirannya untuk membentuk Demokrasi Terpimpin. Masyumi menolak, sedangkan NU
dan PNI bersikap ambivalen. Murba dan PKI menyetujui pemikiran tersebut.
Tak berapa lama, pada Desember 1956, militer di sejumlah daerah mengambil alih
kekuasaan sipil seperti di Sumatera Utara dan Selatan. Kondisi ini didukung perusahaan-
perusahaan asing di sana, Militer pun menangkapi anggota-anggota PKI yang menentang
pengambil alihan tersebut. Hilangnya kekuasaan atas Sumatera menyebabkan hilangnya
sumber perekonomian. Tuntutan otonomi khusus juga meluas hingga Kalimantan. Sulawesi,
dan Maluku.
Ancaman disintegrasi bangsa ini, memaksa Nasution mengambil prakarsa untuk
mengakhiri Demokrasi Parlementer. Usulan membentuk Kabinet Hatta untuk meredam
permasalahan ditolak oleh Soekarno. Nasution lalu mendesak Presiden Soekarno
mengumumkan keadaan darurat perang di mana akan menempatkan militer sebagai pemegang
kekuasaan dan memberinya alat untuk mengurus perpecahan-perpecahan yang terjadi di
internal militer, yang disetujui oleh Presiden Soekarno. Pada 14 Maret 1957, Ali
mengundurkan diri dan Presiden Soekarno mengumumkan darurat perang. Otomatis, posisi
partai politik menjadi ‘bertahan’ dan sukar untuk saling bekerja sama dalam mempertahankan
Demokrasi Parlementer.
Keanggotaan Kabinet Djuanda
Dewan Nasional merupakan suatu badan baru yang bertujuan menampung dan
menyalurkan aspirasi dari kekuatan-kekuatan nonpartai yang ada di masyarakat. Walaupun
dewan ini telah terbentuk, namun kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh negara semakin
meningkat. Terjadinya pergolakan di daerah-daerah yang menyebabkan terganggunya
hubungan antara pusat dengan daerah masih terus berlangsung. Hal ini mengakibatkan sistem
perekonomian nasional semakin bertambah parah.
Dalam upaya menghadapi pergolakan daerah, pemerintah menyelenggarakan
Musyawarah Nasional (Munas) pada tanggal 10-14 September 1957. Pada Munas itu dibahas
masalah pembangunan nasional dan daerah, pembangunan angkatan perang serta pembagian
wilayah Republik Indonesia. Ketegangan yang terjadi antara pusat dan daerah serta antar
kelompok masyarakat berhasil diatasi dengan baik. Sebagai upaya mewujudkan keputusan
Munas, maka pada bulan Desember 1957 diselenggarakan Musyawarah Nasional
Pembangunan (Munap). Dalam Munap ini disusun rencana pembangunan yang dapat
memenuhi harapan daerah. Upaya pemerintah untuk mengatasi masalah pembangunan belum
dapat direalisasikan, karena muncul berbagai peristiwa nasional yang segera harus ditangani
oleh pemerintah. Peristiwa yang dimaksud itu adalah Peristiwa Cikini yaitu percobaan
pembunuhan atas diri Presiden Soekarno pada tanggal 30 November 1957.
Kabinet Karya mencatat prestasi gemilang, yaitu keberhasilan mengatur kembali batas
perairan nasional Indonesia, dengan keluarnya Deklarasi Djuanda pada tanggal 13 Desember
1957. Deklarasi Djuanda mengatur tentang laut pedalaman dan laut teritorial. Dalam peraturan
lama disebutkan bahwa laut teritorial itu selebar 6 mil dari garis dasar sewaktu air surut.
Apabila hal itu diberlakukan, maka di wilayah Indonesia akan terdapat laut bebas seperti Laut
Jawa, Laut Flores dan lain sebagainya. Melalui Deklarasi Djuanda itulah terciptanya Kesatuan
Wilayah Indonesia, yaitu lautan dan daratan merupakan satu kesatuan.
Akhir Kabinet Djuanda