Anda di halaman 1dari 6

2.

4 Gejala Klinis Malaria

Secara klinis, gejala dari penyakit malaria terdiri atas beberapa serangan demam dengan

interval tertentu yang diselingi oleh suatu periode dimana penderita bebas sama sekali dari

demam. Manifestasi klinik malaria tergantung pada imunitas penderita, tingginya transmisi

infeksi malaria. Berat/ringannya infeksi dipengaruhi oleh jenis plasmodium, daerah asal infeksi,

umur, keadaan kesehatan, nutrisi dan kemoprofilaksis dan pengobatan sebelumnya. Manifestasi

umum malaria antara lain sebagai berikut :

a. Badan terasa lemas dan pucat karena kekurangan darah dan berkeringat.

b. Nafsu makan menurun

c. Mual-mual kadang-kadang diikuti muntah.

d. Sakit kepala yang berat, terus menerus, khususnya pada infeksi dengan plasmodium

Falciparum.

e. Pembesaran limpa

f. Pada anak, makin muda usia makin tidak jelas gejala klinisnya tetapi yang menonjol

adalah mencret (diare) dan pucat karena kekurangan darah (anemia) serta adanya riwayat

kunjungan ke atau berasal dari daerah malaria.

Malaria menunjukkan gejala-gejala yang khas yaitu :

a. Demam berulang yang terdiri dari 3 stadium : stadium kedinginan, stadium panas, dan

stadium berkeringat.

b. Splenomegali

c. Anemia yang disertai malaise


Serangan malaria terdiri dari tiga tingkatan yang berlangsung selama 6-10 jam, yaitu :

a.a Stadium Dingin

Stadium ini mulai dengan menggigil dan perasaan yang sangat dingin. Gigi

gemeretak dan penderita biasanya menutup tubuhnya dengan segala macam pakaian dan

selimut yang tersedia nadi cepat tetapi lemah. Bibir dan jari jemarinya pucat kebiru-

biruan, kulit kering dan pucat. Stadium ini berlangsung antara 15 menit sampai 1 jam.

a.b Stadium Demam

Setelah merasa kedinginan, pada stadium ini penderita merasa kepanasan. Muka

merah, kulit kering dan terasa sangat panas seperti terbakar, sakit kepala dan muntah

sering terjadi, nadi menjadi kuat lagi. Biasanya penderita merasa sangat hasil dan suhu

badan dapat meningkat sampai 41°C atau lebih. Stadium ini berlangsung antara 2 sampai

4 jam. Demam disebabkan oleh pecahnya skizon darah yang telah matang dan masuknya

merozoit darah kedalam aliran darah.

Pada P. vivax dan P. ovale skizon-skizon dari setiap generasi menjadi matang setiap

48 jam sekali sehingga demam timbul setiap tiga hari terhitung dari serangan demam

sebelumnya. Nama malaria tertiana bersumber dari fenomena ini. Pada P. malariae,

fenomena tersebut 72 jam sehingga disebut malaria P. vivax / P. ovale, hanya interval

demamnya tidak jelas. Serangan demam diikuti oleh periode laten yang lamanya

tergantung pada proses pertumbuhan parasit dan tingkat kekebalan yang kemudian timbul

pada penderita.
a.c Stadium Berkeringat

Pada stadium ini penderita berkeringat banyak sekali sampai-sampai tempat tidurnya

basah. Suhu badan meningkat dengan cepat, kadang-kadang sampai dibawah suhu

normal. Penderita biasanya dapat tidur nyenyak. Pada saat bangun dari tidur merasa

lemah tetapi tidak ada gejala lain, stadium ini berlangsung antara 2 sampai 4 jam. Gejala-

gejala yang disebutkan diatas tidak selalu sama pada setiap penderita, tergantung pada

species parasit dan umur dari penderita, gejala klinis yang berat biasanya terjadi pada

malaria tropika yang disebabkan oleh plasmodium falciparum. Hal ini disebabkan oleh

adanya kecenderungan parasit ( bentuk trofozoit dan skizon) untuk berkumpul pada

pembuluh darah organ tubuh seperti otak, hati dan ginjal sehingga menyebabkan

tersumbatnya pembuluh darah pada organ-organ tubuh tersebut.

Gejala berupa koma/pingsan, kejang-kejang sampai tidak berfungsinya ginjal.

Kematian paling banyak disebabkan oleh jenis malaria ini. Kadang–kadang gejalanya

mirip kholera atau dysentri. Black water fever yang merupakan gejala berat adalah

munculnya hemoglobin pada air seni yang menyebabkan warna air seni menjadi merah

tua atau hitam. Gejala lain dari black water fever adalah ikterus dan muntah-muntah yang

warnanya sama dengan warna empedu, black water fever biasanya dijumpai pada mereka

yang menderita infeksi P. falcifarum yang berulang -ulang dan infeksi yang cukup berat.

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/20157/4/Chapter%20II.pdf

2.7. Diagnosis Malaria

Diagnosis penyakit malaria terdiri dari diagnosis klinis dan diagnosis laboratorium

(Purwa dkk, 2011). Manifestasi klinis malaria sering tidak khas dan menyerupai penyakit infeksi
lain (demam dengue dan demam tifoid). Gambaran klinis bervariasi, bisa saja orang dengan

parasit malaria dalam darahnya tapi tidak menimbulkan gejala klinis (Zein, 2003). Diagnosis

klinis ditegakkan berdasarkan ditemuinya gejala klinis malaria, yaitu demam menggigil yang

berkala, penderita pucat karena anemia dan splenomegali. Sebelum sakit dimulai dengan rasa

lemah badan, sakit kepala, tidak ada nafsu makan, mual muntah yang disertai perasaan dingin,

demam kemudian berkeringat (Aziz, 1990).

Pemeriksaan laboratorium menjadi pilihan utama untuk diagnosis malaria. Diagnosis

pasti dilakukan dengan menemukan parasit Plasmodium dalam sediaan darah tebal dan sediaan

darah tipis (Pribadi, 1990). Interpretasi pemeriksaan mikroskopis berdasarkan hitung parasit

(parasite count) dengan identifikasi parasit yang tepat (Harijanto, 2000; Purwaningsih, 2000).

Pewarnaannya dapat memakai pulasan Wright, Wright Giemsa atau Giemsa (Garcia, 1998).

2.7.1. Sediaan Darah Tebal

Metode ini jauh lebih sensitif jika dibandingkan dengan sediaan darah tipis. Gambaran

parasit inti adalah eosinofilik dan sitoplasma yang basofilik. Kepadatan parasit dihitung

berdasarkan jumlah relatif sel darah putih yaitu per 200 sel darah putih (leukosit) (Garcia, 1998;

Purwaningsih, 2000).

2.7.2. Sediaan Darah Tipis

Sediaan darah tipis berguna untuk mengidentifikasi parasit. Kepadatan parasit

dihubungkan dengan jumlah sel darah merah yang ada. Metoda ini cukup baik digunakan pada

parasitemia yang tinggi. Pada sediaan darah tipis parasit dihitung per 1.000 atau 10.000 eritrosit

(Purwaningsih, 2000).
2.7.3. Status Parasitologi

Berat ringannya infeksi malaria pada seseorang diukur dengan hitungan parasit (parasite

count). Namun demikian, derajat parasitemia tidak selalu menandakan beratnya penyakit tapi

bisa merupakan suatu prognosis (Pribadi, 1998; Garcia 1998). Hubungan antara parasitemia

dengan mortalitas akibat malaria falciparum pertama kali dilaporkan oleh Field dan Niven

(Langi, 2000). Penderita dengan parasitemia >20% hampir selalu meninggal. Meskipun

demikian, pada daerah endemis malaria, parasitemia yang tinggi sering bersifat asimtomatik.

Penderita dengan hitung parasit rendah tidak selalu mengalami manifestasi ringan

(Evanita, 2001). Sering ditemukan kasus kematian akibat malaria dengan tingkat parasitemia

yang rendah (Langi, 2000). Hal ini disebabkan adanya sekuestrasi parasit yang mengakibatkan

pemeriksaan di darah tepi tidak cocok dengan jumlah parasit yang sebenarnya dalam jaringan

(WHO, 1990). Dalam hal ini beratnya penyakit lebih ditentukan oleh jumlah parasit yang

bersekuestrasi dalam jaringan daripada jumlah parasit dalam sirkulasi (Langi, 2000).

2.8. Pemeriksaan Penunjang pada Malaria

a. Test Antigen : P-F test

Test untuk mendeteksi antigen dari P. Falciparum (Histidine Rich Protein II). Deteksi

sangat cepat hanya 3-5 menit, tidak memerlukan latihan khusus, sensitivitasnya baik, dan tidak

memerlukan alat khusus. Tes sejenis dengan mendeteksi laktat dehydrogenase dari plasmodium

(pLDH) dengan cara immunochromatographic telah dipasarkan dengan nama tes Optimal.

Optimal dapat mendeteksi dari 0-200 parasit/ul darah dan dapat membedakan infeksi P.

Falciparum atau P. Vivax. Sensitivitas sampai 95% dan hasil positif salah lebih rendah dari tes

deteksi HRP II. Tes ini sekarang lebih dikenal sebagai tes cepat (Rapid Test).
b. Test Serologi

Test yang berguna mendeteksi adanya antibody spesifik terhadap malaria atau pada

keadaan dimana parasit sangat minimal. Test ini kurang bermanfaat sebagai alat diagnostic

karena antibodi baru terjadi setelah beberapa hari parasitemia. Titer > 1:200 dianggap sebagai

infeksi baru dan titer >1:20 dinyatakan positif. Metode test serologi antara lain indirect

haemaglutination test, immunoprecipitation techniques, ELISA test, radio-immunoassay

c. Pemeriksaan PCR (Polymerase Chain Reaction)

Pemeriksaan ini memiliki sensitivitas dan spesifitas yang tinggi karena dianggap peka

dengan teknologi amplifikasi DNA. Keunggulan test ini walaupun jumlah parasite sangat sedikit

dapat memberikan hasil positif.

Anda mungkin juga menyukai