Anda di halaman 1dari 10

1.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kejadian Stunting

Menurut UNICEF (1998), pertumbuhan dipengaruhi oleh sebab langsung dan tidak
langsung. Penyebab langsung diantaranya adalah asupan makanan dan keadaan kesehatan,
sedangkan penyebab tidak langsung meliputi ketersediaan dan pola konsumsi rumah tangga, pola
pengasuhan anak, sanitasi lingkungan dan pemanfaatan pelayanan kesehatan. Faktor-faktor
tersebut ditentukan oleh sumber daya manusia, eknonomi dan organisasi melalui faktor
pendidikan. Penyebab paling mendasar dari tumbuh kembang adalah masalah struktur politik,
ideologi, dan sosial ekonomi yang dilandasi oleh potensi sumber daya yang ada (Supariasa et al.,
2012).

Stunting merupakan permasalahan yang semakin banyak ditemukan di negara


berkembang, termasuk Indonesia. Menurut United Nations International Children’s Emergency
Fund (UNICEF) satu dari tiga anak balita mengalami stunting. Sekitar 40% anak balita di daerah
pedesaan mengalami pertumbuhan yang terhambat. Oleh sebab itu, UNICEF mendukung
sejumlah inisiasi untuk menciptakan lingkungan nasional yang kondusif untuk gizi melalui
peluncuran Gerakan Sadar Gizi Nasional (Scaling Up Nutrition – SUN) di mana program ini
mencangkup pencegahan stunting (UNICEF, 2012). Stunting didefinisikan sebagai keadaan tubuh
yang pendek dan sangat pendek hingga melampaui defisit -2 SD di bawah median panjang atau
tinggi badan (Manary, et al., 2009). Stunting juga sering disebut sebagai Retardasi Pertumbuhan
Linier (RPL) yang muncul pada dua sampai tiga tahun awal kehidupan dan merupakan refleksi
dari akibat atau pengaruh dari asupan energi dan zat gizi yang kurang serta pengaruh dari
penyakit infeksi, karena dalam keadaan normal, berat badan seseorang akan berbanding lurus atau
linier dengan tinggi badannya (Sudirman, 2008).

Masalah kurang energi protein (KEP) merupakan salah satu masalah utama gizi yang
dapat berpengaruh pada proses tumbuh kembang anak. Kekurangan energi dan protein dalam
jangka panjang akan menyebabkan terhambatnya pertumbuhan balita (Hardinsyah, et al., 1992),
seperti pada penelitian yang dilakukan oleh Fitri (2012), menunjukkan bahwa balita yang 2
mempunyai asupan energi dan protein kurang, memiliki resiko menjadi stunting sebesar 1.2 kali
dibanding balita yang mempunyai asupan energi dan protein yang cukup. Dalam penelitian Asrar,
et al.,(2009) juga menunjukkan bahwa balita dengan asupan energi yang kurang beresiko
mengalami stunting tiga kali lebih besar dibanding dengan balita yang asupan energinya cukup
dan asupan protein yang kurang beresiko mengalami stunting empat kali lebih besar dibanding
dengan balita yang asupan proteinnya cukup. Manifestasi dari potensi KEP tersebut jika tidak
diperbaiki sebelum usia 3 tahun (batita), maka akan menyebabkan penurunan kualitas fisik dan
mental, di mana hal ini akan menghambat prestasi belajar dan produktivitas kerja, seperti
penelitian yang telah dilakukan oleh Rialihanto (2004) tentang Status Gizi Pada Umur di Bawah
Dua Tahun (Baduta) Sebagai Prediksi Prestasi Belajar Remaja di mana hasil dari penelitian ini
yaitu anak yang pada masa baduta mengalami stunting akan beresiko 3,75 kali lebih besar untuk
tetap stunting pada masa remaja daripada baduta yang tidak stunted. Menurut Sudirman (2008),
proses menjadi pendek atau stunting pada anak di suatu wilayah atau daerah miskin dimulai sejak
usia 6 bulan dan berlangsung terus hingga usia 18 tahun. Kejadian stunting terjadi pada dua
hingga tiga tahun awal kehidupan. Periode dua tahun pertama kehidupan merupakan masa yang
paling kritis dalam proses pertumbuhan. Hal ini sejalan dengan penelitian oleh Fitri (2012) yang
menunjukkan bahwa proporsi kejadian stunting pada balita lebih banyak ditemukan pada
kelompok umur 12-36 bulan dibandingkan kelompok umur 37-59 bulan.

Menurut Ramli, et al, (2009) pertumbuhan tinggi badan dapat terhambat bila seseorang
mengalami defisiensi protein (meskipun konsumsi energinya cukup) dalam jangka waktu yang
lama. 3 Hal ini juga sejalan dengan Suhardjo (2003) menyatakan bahwa kekurangan energi
protein yang kronis menyebabkan pertumbuhan terlambat dan tampak tidak sebanding dengan
umurnya. Permasalahan stunting di Indonesia sendiri menurut laporan yang dikeluarkan oleh
UNICEF yaitu diperkirakan sebanyak 7,8 juta anak yang berusia dibawah lima tahun mengalami
stunting, sehingga UNICEF memposisikan Indonesia masuk kedalam 5 besar negara dengan
jumlah anak dibawah 5 tahun yang mengalami stunting tinggi. Selain itu juga, berdasarkan data
dari Riskesdas (2013) diketahui bahwa balita di Indonesia yang dikatakan stunting sebanyak
37,2%. Hal ini menunjukkan bahwa prevalensi stunting tahun 2013 mengalami peningkatan dari
hasil Riskedas 2010, yaitu sebesar 35,6% (Atmarita,2010). Prevalensi kasus stunting di Jawa
Tengah berdasarkan Riskesdas 2010 yaitu sebanyak 33,9% dan mengalami peningkatan di tahun
2013 yaitu sebesar 37%. Salah satu daerah di Jawa Tengah yang mendapat perhatian dalam
penanganan kasus stunting dari UNICEF yaitu daerah Klaten melalui Program Keluarga Harapan
(PKH Prestasi). Berdasarkan hasil pelaksanaan Kegiatan Operasi Timbang Balita Desa Jabung,
Kecamatan Gantiwarno, Kabupaten Klaten Bulan Agustus tahun 2013 tercatat bahwa balita yang
mengalami stunting sebanyak 27,27%. Padahal secara kewilayahan, Desa Jabung merupakan
ibukota kecamatan yang terdapat puskesmas di dalamnya (Puskesmas Gantiwarno, 2014). Hal
inilah yang mendasari dilakukannya penelitian terhadap kejadian stunting di Desa Jabung,
Kecamatan Gantiwarno, Kabupaten Klaten. 4
B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian pada latar belakang maka rumusan masalah
dari penelitian ini adalah :
1. Apakah ada hubungan antara riwayat KEP dengan kejadian stunting ?
2. Apakah anak stunting mengalami durasi KEP yang lebih lama dibanding anak yang
tidak stunting?
C. Tujuan Penelitian
i. Tujuan Umum :
1. Mengetahui hubungan antara riwayat dan durasi KEP pada kejadian stunting.
ii. Tujuan Khusus :
1. Mengetahui hubungan riwayat KEP dengan kasus stunting.
2. Mengetahui rata-rata durasi waktu KEP yang berpotensi menyebabkan
stunting.
D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada
Dinas Kesehatan Klaten untuk menentukan kebijakan dan intervensi gizi dalam
upaya penanggulangan masalah tumbuh kembang anak terutama dalam hal
khususnya perkembangan balita.

2. Manfaat Teoretis
a. Hasil penelitian ini dapat memberi masukan bagi peneliti yang ingin
meneliti tentang penelitian yang serupa.

3. Manfaat bagi penulis


a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman aplikasi ilmu gizi dan kesehatan pada suatu penelitian. E.
Keaslian Penelitian 1. Nurhayati (2010) dengan judul penelitian Analisa
Spasial Gangguan Pertumbuhan Terhadap Kejadian Stunted Balita di Desa
Jabung, Kecamatan Gantiwarno, Kabupaten Klaten. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa proporsi stunting balita umur 25-59 bulan lebih besar
pada balita dengan riwayat gizi kurang pada umur 0-24 bulan. Persamaan
dengan penelitian yang akan dilakukan terletak pada variabel terikatnya,
metode, dan lokasi penelitian. Sedangkan perbedaan dengan penelitian yang
akan dilakukan terletak pada variabel bebasnya. 2. Rahayu (2011) dengan
judul penelitian Hubungan Tinggi Badan Orang Tua Dengan Perubahan Status
Stunting Dari Usia 6-12 Bulan ke Usia 3-4 Tahun. Penelitian ini menggunakan
metode kohort retrospektif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kejadian
stunting pada usia 6-12 bulan memiliki hubungan yang signifikan terhadap
tinggi badan ayah, tinggi badan ibu, BBLR, panjang badan lahir, prematur
pendidikan ayah dan pendidikan ibu. Persamaan dengan penelitian yang akan
dilakukan terletak pada variabel penelitiannya, yaitu sama-sama meneliti
tentang kasus stunting. Sedangkan, perbedaan penelitian ini dengan penelitian
yang akan dilakukan yaitu terletak pada responden, metode, dan lokasi
penelitian. 6 3. Nabuasa (2011) dengan judul penelitian Hubungan Riwayat
Pola Asuh, Pola Makan, Asupan Zat Gizi Terhadap Kejadian Stunting Pada
Anak Usia 24-59 Bulan di Kecamatan Biboki Utara Kabupaten Timor Tengah
Utara Provinsi Nusa Tenggara Timur. Penelitian ini menggunakan metode case
control dengan sampel sebanyak 152 anak yang terdiri dari 76 kelompok kasus
dan 76 kelompok kontrol. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terhadap
hubungan yang bermakna pada variabel pola asuh, pola makan, asupan zat
gizi, budaya, ekonomi, keluarga, dan penyakit infeksi terhadap kejadian
stunting, dan tidak ada hubungan yang bermakna pada variabel ketahanan
pangan terhadap kejadian stunting. Persamaan dengan penelitian yang akan
dilakukan yaitu sama-sama meneliti tentang kasus stunting dan metode yang
digunakan. Sedangkan, perbedaan pada penelitian yang akan dilakukan yaitu
terletak pada lokasi penelitian dan jumlah sampelnya. 4. Wahdah (2012), judul
penelitian Faktor Resiko Kejadian Stunting Pada Anak Umur 6-36 Bulan di
Wilayah Pedalaman Kecamatan Silat Hulu Kabupaten Kapuas Hulu Provinsi
Kalimantan Barat. Penelitian ini menggunakan metode cross sectional yang
bersifat observasional analitik. Hasil penelitiannya yaitu kejadian stunting
berhubungan secara signifikan dengan pekerjaan ibu, tinggi badan ayah, tinggi
badan ibu, pendapatan, jumlah anggota keluarga, pola asuh, dan pemberian asi
eksklusif. Kesamaan dengan penelitian yang akan dilakukan yaitu terletak
pada variabel penelitiannya (kasus stunting), sedangkan perbedaan pada
penelitian yang akan dilakukan yaitu terletak kepadaresponden, metode, dan
lokasi penelitian

2. Masalah Gizi Call & Levinson 1871


Status gizi dapat dipengaruhi oleh asupan makanan dan status kesehatan. Asupan makan
sendiri dipengaruhi oleh zat gizi dalam makanan, daya beli keluarga, ada tidaknya pemberian
makanan di luar keluarga, dan kebiasaan makan. Sedangkan status kesehatan dapat dipengaruhi
oleh kebiasaan makan, pemeliharaan kesehatan, serta lingkungan dan sosial (Call dan Levinson,
1871 dalam Supariasa et al, 2012).
Call dan Levinson (1871) menyatakan bahwa faktor yang secara langsung menyebakan
terjadinya masalah gizi adalah konsumsi makanan dan kesehatan. Konsumsi makanan
dipengaruhi oleh zat gizi yang ada dalam makanan, ada tidaknya pemberian makanan diluar
keluarga dan kebiasaan makan. Sedangkan untuk kesehatan dipengaruhi oleh daya beli keluarga,
kebiasaan makan pemeliharaan kesehatan dan lingkungan fisik dan sosial.(9) Asupan zat gizi
dalam makanan adalah asupan zat gizi makro karena berguna untuk pertumbuhan dan
perkembangan anak terutama untuk kecerdasan dan perkembangan motorik anak. Namun peranan
zat gizi makro tidak akan optimal tanpa kehadiran zat gizi mikro.
Kekurangan gizi mikro disebut dengan kelaparan yang tersembunyi karena akibat dari
kekurangannya tidak dapat terlihat secara langsung.(10, 11). Penelitian yang dilakukan
Muchlis,N (2011) menyatakan terdapat hubungan antara asupan energi dengan status gizi TB/U
dengan nilai p = 0,027, hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Banuaji,I (2015)
yang menemukan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara asupan energi, karbohidrat,
protein dan lemak dengan status gizi berdasarkan indeks BB/U, TB/U dan BB/TB yaitu dengan
nilai p< 0,05.
Berdasarkan penelitian Syukriawati,R (2011) diperoleh nilai p value sebesar 0,016 (≤
0,05) hal ini menunjukan bahwa ada hubungan antara konsumsi energi dengan status gizi kurang
pada anak. Sedangkan untuk asupan iodium berdasarkan penelitian Chairunnisa (2010) di
kecamatan Amutai Tengah iodium berpengaruh terhadap status gizi berdasarkan TB/U dengan
nilai p= 0,024, begitu juga terhadap gizi normal berdasarkan BB/U dengan nilai p= 0,024.(12-15)
AKABA Indonesia pada tahun 2012 masih masuk kedalam kategori sedang yaitu 40 per 1000
kelahiran hidup, dan untuk penyakit infeksi seperti pneunemia dan diare pada anak terbanyak
pada umur 12-23 tahun sebanyak 21,7 ‰ dan 7,6% .
Penyebab tingginya angka kesakitan dan angka kematian bayi tersebut salah satunya
dipengaruhi oleh penyakit infeksi. Imunisasi merupakan salah satu tindakan kuratif dalam
pencegahan infeksi dan secara tidak langsung juga akan mempengaruhi status gizi.(16, 17)
Pemberian imunisasi dasar yang lengkap diharapkan dapat meningkatkan kekebalan tubuh anak,
dan terhindar dari penyakit infeksi yang dapat menurunkan status gizi anak. Imunisasi adalah
upaya yang dilakukan dengan sengaja membarikan kekebalan pada anak sehingga terhindar dari
penyakit.
Pentingnya imunisasi didasarkan pada pemikiran bahwa pencegahan penyakit merupakan
upaya terpenting dalam pemeliharaan kesehatan anak dan untuk menurunkan angka kematian
bayi dan Anak balita. Pelayanan imunisasi harus dilaksanakan secara merata melalui puskesmas
maupun sarana kesehatan lainnya.(17) Penelitian yang dilakukan oleh Erwin,H (2015) terdapat
hubungan yang signifikan antara pemberian imunisasi dengan status gizi (BB/U) dengan nilai p <
0,05 sehingga terdapat hubungan yang bermakna atara pemberian imunisasi balita dengan status
gizi balita di daerah Bantul. Selain itu, penelitian Vindriana,V (2012) membuktikan bahwa
terdapat hubungan yang bermakna antara imunisasi dasar lengkap dan tidak lengkap dan status
gizi pada balita umur 1-5 tahun dengan p=0,01.(18-20)
Dilihat dari data riskesdas 2013, Cakupan imunisasi dasar provinsi sumatera barat adalah
imunisasi lengkap 39,7 %,tidak lengkap 46,9%,tidak imunisasi 13,4%.Berdasarkan data profil
kesehatan kota Padang tahun 2014, Padang memiliki cakupan imunisasi dasar lengkap 83%,
untuk cakupan imunisasi dasar lengkap puskesmas Nanggalo masih berada di bawah kota Padang
yaitu 81,2%.(8, 21) Berdasarkan data pemantauan status gizi kota Padang, prevalensi status gizi
kurang di kota Padang tahun 2014 yaitu 9,89%. Puskesmas Nanggalo termasuk daerah rawan gizi
dimana prevalensi gizi kurang berdasarkan indeks BB/U masih jauh diatas kota padang yaitu
21,88%, sedangkan untuk kota Padang sendiri prevalensi gizi kurang berdasarkan indeks BB/U
adalah 12%. Prevalensi status gizi berdasarkan TB/Udi puskesmas Nanggalo merupakan
prevalensi tertinggi yaitu 37,88 % jauh diatas prevalensi kota padang yang sebesar 16,82%.
Berdasarkan prevalensi BB/TB terdapat 11,25% balita di bahwah normal di puskesmas Nanggalo
dan data tersebut masih berada di atas kota Padang yang hanya 7,03%balita di bawah normal.
(22) Berdasarkan uraian diatas penulis tertarik untuk mengetahui hubungan asupan zat gizi dan
kelengkapan imunisasi dasar dengan status gizi anak umur 24-59 bulan di wilayah kerja
puskesmas Nanggalo pada Tahun 2016.

3. 7 T” Pada Pemeriksaan Selama Kehamilan Yaitu :


A. (Timbang) berat badan dan ukur (tinggi badan)
Timbang berat badan selalu

B. Ukur (tekanan) darah


Pengukuran tekanan darah/tensi dilakukan secara rutin setiap ANC, diharapkan tenakan
darah selama kehamilan tetap dalam keadaan normal (120 / 80 mmHg). Hal yang harus
diwaspadai adalah apabila selama kehamilan terjadi peningkatan tekanan darah
(hipertensi) yang tidak terkontrol, karena dikhawatirkan dapat terjadinya preeklamsia
atau eklamsia (keracunan dalam masa kehamilan) dan dapat menyebabkan ancaman
kematian bagi ibu dan janin / bayinya. Hal yang juga harus menjadi perhatian adalah
tekanan darah rendah (hipotensi), seringkali disertai dengan keluhan pusing dan kurang
istirahat.

C. Ukur (tinggi) fundus uteri


Secara sederhana, bidan atau dokter saat melaksanakan ANC pada seorang ibu hamil
untuk menentukan usia kehamilan dilakukan pemeriksaan abdominal/perut secara
seksama. Pemeriksaan dilakukan dengan cara melakukan palpasi (sentuhan tangan
secara langsung di perut ibu hamil) dan dilakukan pengukuran secara langsung untuk
memperkirakan usia kehamilan, serta bila umur kehamilan bertambah.
Pemeriksaan ini dilakukan pula untuk menentukan posisi, bagian terendah janin dan
masuknya kepala janin ke dalam rongga panggul, untuk mencari kelainan serta
melakukan rujukan tepat waktu. Pemantauan ini bertujuan untuk melihat indikator
kesejahteraan ibu dan janin selama masa kehamilan.

D. Pemberian imunisasi (Tetanus Toksoid) TT lengkap


Salah satu kebijakan pemerintah yang bertujuan untuk menurunkan angka kematian bayi
atau neonatus yang disebabkan oleh penyakit tetanus, maka dilakukan kegiatan
pemberian imunisasi TT.
Manfaat dari imunisasi TT ibu hamil diantaranya:
 Melindungi bayi yang baru lahir dari penyakit tetanus neonatorum. Tetanus
neonatorum adalah penyakit tetanus yang terjadi pada neonatus (bayi berusia
kurang 1 bulan) yang disebabkan oleh clostridium tetani, yaitu kuman yang
mengeluarkan toksin (racun) dan menyerang sistim saraf pusat.
 Melindungi ibu terhadap kemungkinan tetanus apabila terluka.

Kedua manfaat tersebut adalah cara untuk mencapai salah satu tujuan dari
program imunisasi secara nasional yaitu eliminasi tetanus maternal (pada ibu
hamil) dan tetanus neonatorum (bayi berusia kurang dari 1 bulan).

Pemberian imunisasi TT untuk ibu hamil diberikan 2 kali, dengan dosis 0,5 cc di
injeksikan intramuskuler/subkutan (dalam otot atau dibawah kulit). Imunisasi TT
sebaiknya diberikan sebelum kehamilan 8 bulan untuk mendapatkan imunisasi
TT lengkap. TT1 dapat diberikan sejak di ketahui postif hamil dimana biasanya
di berikan pada kunjungan pertama ibu hamil ke sarana kesehatan. Jarak
pemberian (interval) imunisasi TT1 dengan TT2 adalah minimal 4 minggu.

E. Pemberian (tablet besi)


Wanita hamil cenderung terkena anemia (kadar Hb darah rendah) pada 3 bulan
terakhir masa kehamilannya, karena pada masa itu janin menimbun cadangan zat besi
untuk dirinya sendiri sebagai persediaan bulan pertama sesudah lahir. Anemia pada
kehamilan dapat disebabkan oleh meningkatnya kebutuhan zat besi untuk pertumbuhan
janin, kurangnya asupan zat besi pada makanan yang dikonsumsi ibu hamil, pola makan
ibu terganggu akibat mual selama kehamilan, dan adanya kecenderungan rendahnya
cadangan zat besi (Fe) pada wanita akibat persalinan sebelumnya dan menstruasi.
Kekurangan zat besi dapat mengakibatkan hambatan pada pertumbuhan janin
baik sel tubuh maupun sel otak, kematian janin, abortus, cacat bawaan, BBLR (Berat
Badan Lahir Rendah), anemia pada bayi yang dilahirkan, lahir prematur, pendarahan,
rentan infeksi. Defisiensi besi bukan satu-satunya penyebab anemia, tetapi apabila
prevalensi anemia tinggi, defisiensi besi biasanya dianggap sebagai penyebab yang paling
dominan. Pertimbangan itu membuat suplementasi tablet besi folat selama ini dianggap
sebagai salah satu cara yang sangat bermanfaat dalam mengatasi masalah anemia.
Anemia dapat diatasi dengan meminum tablet besi atau Tablet Tambah Darah (TTD).
Kepada ibu hamil umumnya diberikan sebanyak satu tablet setiap hari berturut-turut
selama 90 hari selama masa kehamilan. TTD mengandung 200 mg ferrosulfat, setara
dengan 60 miligram besi elemental dan 0.25 mg asam folat.

F. (Tes) terhadap penyakit menular seksual (PMS)


Ibu hamil resiko tinggi terhadap PMS, sehingga dapat mengganggu saluran
perkemihan dan reproduksi. Upaya diagnosis kehamilan dengan PMS di komunitas
adalah melakukan diagnosis pendekatan gejala, memberikan terapi, dan konseling untuk
rujukan. Hal ini bertujuan untuk melakukan pemantauan terhadap adanya PMS agar
perkembangan janin berlangsung normal.

G. (Temu) wicara dalam rangka persiapan rujukan.


Memberikan konsultasi atau melakukan kerjasama penanganan
tindakan yang harus dilakukan oleh bidan atau dokter dalam temu wicara, antara lain :
a. Merujuk ke dokter untuk konsultasi, menolong ibu menentukan pilihan yang
tepat.
b.Melampirkan kartu kesehatan ibu beserta surat rujukan
c. Meminta ibu untuk kembali setelah konsultasi dan membawa surat hasil rujukan
d.Meneruskan pemantauan kondisi ibu dan bayi selama kehamilan
e. Memberikan asuhan Antenatal (selama masa kehamilan)
f. Perencanaan dini jika tidak aman melahirkan dirumah
g.Menyepakati diantara pengambil keputusan dalam keluarga tentang rencana
proses kelahiran
h.Persiapan dan biaya persalinan

DAFTAR PUSTAKA

http://corrysamosir.blogspot.co.id/2011/07/7t-pada-pemeriksaan-ibu-hamil-anc.html

file:///C:/Users/Microsoft/Downloads/S1-2015-296705-chapter1%20(1).pdf

Anda mungkin juga menyukai