Anda di halaman 1dari 15

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Hidung


Hidung terdiri atas hidung luar dan hidung bagian dalam. Hidung bagian luar
menonjol pada garis tengah di antara pipi dan bibir atas; struktur hidung luar dibedakan atas
tiga bagian : yang paling atas : kubah tulang yang tak dapat digerakkan; di bawahnya terdapat
kubah kartilago yang sedikit dapat digerakkan ; dan yang paling bawah adalah lobulus
hidung yang mudah digerakkan. Bentuk hidung luar seperti piramid dengan bagian-
bagiannya dari atas ke bawah :
1) pangkal hidung (bridge)
2) batang hidung (dorsum nasi)
3) puncak hidung (hip)
4) ala nasi
5) kolumela
6) lubang hidung (nares anterior).

Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan
ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan lubang
hidung. Kerangka tulang terdiri dari:
1) tulang hidung (os nasal)
2) prosesus frontalis os maksila
3) prosesus nasalis os frontal;
Sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak
di bagian bawah hidung, yaitu
1) sepasang kartilago nasalis lateralis superior
2) sepasang kartilago nasalis lateralis inferior (ala mayor)

3) tepi anterior kartilago septum. (1)

2.2 Anatomi hidung dalam


Bagian hidung dalam terdiri atas struktur yang membentang dari os. internum
di sebelah anterior hingga koana di posterior, yang memisahkan rongga hidung dari
nasofaring. Kavum nasi dibagi oleh septum, dinding lateral terdapat konka superior, konka
media, dan
konka inferior. Celah antara konka inferior dengan dasar hidung dinamakan meatus
inferior, berikutnya celah antara konka media dan inferior disebut meatus media

dan sebelah atas konka media disebut meatus superior.(2)

Gambar 1. Anatomi Hidung


Dalam

2.3 Septum nasi


Septum membagi kavum nasi menjadi dua ruang kanan dan kiri. Bagian posterior
dibentuk oleh lamina perpendikularis os etmoid, bagian anterior oleh kartilago septum
(kuadrilateral) , premaksila dan kolumela membranosa; bagian posterior dan inferior

oleh os vomer, krista maksila , Krista palatine serta krista sfenoid. 2

2.4 Kavum nasi 3


Kavum nasi terdiri dari:
1. Dasar hidung
Dasar hidung dibentuk oleh prosesus palatine os maksila dan prosesus
horizontal os palatum.
2. Atap hidung
Atap hidung terdiri dari kartilago lateralis superior dan inferior, os nasal,
prosesus frontalis os maksila, korpus os etmoid, dan korpus os sphenoid.
Sebagian besar atap hidung dibentuk oleh lamina kribrosa yang dilalui
oleh filament-filamen n.olfaktorius yang berasal dari permukaan bawah
bulbus olfaktorius berjalan menuju bagian teratas septum nasi dan permukaan
kranial konka superior.

3. Dinding Lateral
Dinding lateral dibentuk oleh permukaan dalam prosesus frontalis os maksila,
os lakrimalis, konka superior dan konka media yang merupakan bagian dari os
etmoid, konka inferior, lamina perpendikularis os platinum dan lamina
pterigoideus medial.

4. Konka
Fosa nasalis dibagi menjadi tiga meatus oleh tiga buah konka. Celah antara
konka inferior dengan dasar hidung disebut meatus inferior, celah antara
konka media dan inferior disebut meatus media, dan di sebelah atas konka
media disebut meatus superior. Kadang-kadang didapatkan konka keempat
(konka suprema) yang teratas. Konka suprema, konka superior, dan konka
media berasal dari massa lateralis os etmoid, sedangkan konka inferior
merupakan tulang tersendiri yang melekat pada maksila bagian superior dan
palatum.

2.5 Meatus superior


Meatus superior atau fisura etmoid merupakan suatu celah yang sempit antara
septum dan massa lateral os etmoid di atas konka media. Kelompok sel-sel etmoid
posterior bermuara di sentral meatus superior melalui satu atau beberapa ostium yang
besarnya bervariasi. Di atas belakang konka superior dan di depan korpus os sfenoid
terdapat resesus sfeno-etmoidal, tempat bermuaranya sinus sfenoid.

2.6 Meatus media


Merupakan salah satu celah yang penting yang merupakan celah yang lebih
luas dibandingkan dengan meatus superior. Di sini terdapat muara sinus maksila,
sinus

frontal dan bagian anterior sinus etmoid. Di balik bagian anterior konka media yang
letaknya menggantung, pada dinding lateral terdapat celah yang berbentuk bulan sabit
yang dikenal sebagai infundibulum. Ada suatu muara atau fisura yang berbentuk
bulan sabit yang menghubungkan meatus medius dengan infundibulum yang
dinamakan hiatus semilunaris. Dinding inferior dan medial infundibulum membentuk
tonjolan yang berbentuk seperti laci dan dikenal sebagai prosesus unsinatus. Di atas
infundibulum ada penonjolan hemisfer yaitu bula etmoid yang dibentuk oleh salah
satu sel etmoid. Ostium sinus frontal, antrum maksila, dan sel-sel etmoid anterior
biasanya bermuara di infundibulum. Sinus frontal dan sel-sel etmoid anterior biasanya
bermuara di bagian anterior atas, dan sinus maksila bermuara di posterior muara sinus
frontal. Adakalanya sel-sel etmoid dan kadang-kadang duktus nasofrontal mempunyai
ostium tersendiri di depan infundibulum.

2.7 Meatus Inferior


Meatus inferior adalah yang terbesar di antara ketiga meatus, mempunyai
muara duktus nasolakrimalis yang terdapat kira-kira antara 3 sampai 3,5 cm di
belakang batas posterior nostril.

2.8 Nares
Nares posterior atau koana adalah pertemuan antara kavum nasi dengan
nasofaring, berbentuk oval dan terdapat di sebelah kanan dan kiri septum. Tiap
nares posterior bagian bawahnya dibentuk oleh lamina horisontalis palatum, bagian
dalam oleh os vomer, bagian atas oleh prosesus vaginalis os sfenoid dan bagian
luar oleh lamina pterigoideus.

2.9 Sinus Paranasal


Di bagian atap dan lateral dari rongga hidung terdapat sinus yang terdiri atas
sinus maksila, etmoid, frontalis dan sphenoid. Sinus maksilaris merupakan sinus
paranasal terbesar di antara lainnya, yang berbentuk piramid yang irregular dengan
dasarnya menghadap ke fossa nasalis dan puncaknya menghadap ke arah apeks

prosesus zygomatikus os maksilla.2


2.10 Kompleks ostiomeatal (KOM)
Kompleks ostiomeatal (KOM) adalah bagian dari sinus etmoid anterior yang
berupa celah pada dinding lateral hidung. Pada potongan koronal sinus paranasal
gambaran KOM terlihat jelas yaitu suatu rongga di antara konka media dan lamina
papirasea. Struktur anatomi penting yang membentuk KOM adalah prosesus
unsinatus, infundibulum etmoid, hiatus semilunaris, bula etmoid, agger nasi dan ressus
frontal.
Serambi depan dari sinus maksila dibentuk oleh infundibulum karena sekret yang
keluar dari ostium sinus maksila akan dialirkan dulu ke celah sempit infundibulum
sebelum masuk ke rongga hidung. Sedangkan pada sinus frontal sekret akan keluar
melalui celah sempit resesus frontal yang disebut sebagai serambi depan sinus frontal.
Dari resesus frontal drainase sekret dapat langsung menuju ke infundibulum etmoid atau
ke dalam celah di antara
prosesus unsinatus dan konka media(4).

Gambar 2. Kompleks Ostio


Meatal

2.11 Perdarahan hidung


Bagian atas hidung rongga hidung mendapat pendarahan dari a. etmoid anterior dan
posterior yang merupakan cabang dari a. oftalmika dari a.karotis interna. Bagian bawah
rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang a. maksilaris interna, di antaranya adalah
ujung a.palatina mayor dan a.sfenopalatina yang keluar dari foramen sfenopalatina bersama
n.sfenopalatina dan memasuki rongga hidung di belakang ujung posterior konka media.
Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari cabang – cabang a.fasialis. (5)
Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang a.sfenopalatina,
a.etmoid anterior, a.labialis superior, dan a.palatina mayor yang disebut pleksus Kiesselbach
(Little’s area). Pleksus Kiesselbach letaknya superfisial dan mudah cidera oleh trauma,

sehingga sering menjadi sumber epistaksis (perdarahan hidung) terutama pada anak.(2,5)

Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan
arterinya .Vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke v.oftalmika yang
berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena-vena di hidung tidak memiliki katup, sehingga

merupakanfaktor predisposisi untuk mudahnya penyebaran infeksi hingga ke intracranial(2,5).


2.12 Persarafan hidung
Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari n.etmoidalis
anterior, yang merupakan cabang dari n.nasosiliaris, yang berasal dari n.oftalmikus (N.V-1).
Rongga hidung lannya, sebagian besar mendapat persarafan sensoris dari n.maksila melalui
ganglion sfenopalatinum. Ganglion sfenopalatinum selain memberikan persarafan sensoris
juga memberikan persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini
menerima serabut-serabut sensoris dari n.maksila (N.V-2), serabut parasimpatis dari
n.petrosus superfisialis mayor dan serabut-serabut simpatis dari n.petrosus profundus.
Ganglion sfenopalatinum terletak di belakang dan sedikit di atas ujung posterior konka
media.
Nervus olfaktorius : saraf ini turun dari lamina kribrosa dari permukaan bawah bulbus
olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius di

daerah sepertiga atas hidung.(5)

2.13 Fisiologi hidung


Berdasarkan teori struktural, teori revolusioner dan teori fungsional, maka
fungsi fisiologis hidung dan sinus paranasal adalah :
1) Fungsi respirasi untuk mengatur kondisi udara (air conditioning), penyaring udara,
humidifikasi, penyeimbang dalam pertukaran tekanan dan mekanisme imunologik
lokal;
2) Fungsi Penghidu. Hidung juga bekerja sebagai indra penghidu dan pengecap
dengan adanya mukosa olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior, dan
sepertiga bagian atas septum. Partikel bau dapat mencapai daerah ini dengan cara
difusi dengan palut lendir atau bila menarik nafas dengan kuat.

3) Fungsi fonetik yang berguna untuk resonansi suara, membantu proses


berbicara dan mencegah hantaran suara sendiri melalui konduksi tulang;
4) Fungsi statistik dan mekanik untuk meringankan beban kepala, proteksi terhadap
trauma dan pelindung panas;
5) Refleks nasal. Iritasi mukosa hidung akan menyebabkan refleks bersin dan nafas
terhenti. Rangsang bau tertentu akan menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung,

dan pankreas (2)


2.14 Definisi Hipertrofi konka
Hipertropi konka merupakan suatu istilah yang menunjukkan adanya
perubahan mukosa hidung pada konka inferior. Hipertropi konka pertama kali
diperkenalkan pada tahun 1800 yang diartikan sebagai pembesaran mukosa hidung
pada konka. Hiperplasia konka berkaitan dengan bertambahnya jumlah sel mukosa
konka. Hipertropi konka dapat terjadi secara unilateral atau bilateral.1

Gambar 2.1 Inferior turbinate (Sumber: Horacio G, et al, 2014)

Hipertropi konka unilateral berhubungan dengan deviasi kongenital atau


deviasi septum kontralateral sebagai kompensasi untuk melindungi mukosa hidung
dari pengeringan akibat aliran udara berlebih. Hipertropi konka bilateral
disebabkan oleh peradangan hidung sebagai akibat dari alergi dan non-alergi,
pemicu lainnya adalah lingkungan (seperti debu dan tembakau) dan kehamilan.1
1. Etiologi
Terdapat dua faktor penting yang dapat berpengaruh terhadap keadaan dari
membran mukosa konka yaitu faktor endogen dan eksogen. Faktor endogen yang
berpengaruh yaitu adanya kelainan anatomik seperti deviasi septum, alergi dan
gangguan vasomotor. Faktor eksogen antara lain yaitu suhu udara, polusi,
kelembapan udara, asap rokok, parfum, bahan-bahan iritan diketahui dapat
merangsang kelenjar-kelenjar di hidung menjadi lebih hiperaktif sehingga mudah
mengalami infeksi berulang dan iritasi.2
2. Patogenesis
Penyebab umum dari terjadinya hipertropi konka inferior adalah infeksi
berulang pada hidung dan sinus serta iritasi kronis mukosa hidung yang
disebabkan oleh asap rokok dan bahan iritan industri. Rhinitis alergi, rhinitis non
alergi atau yang sering disebut sebagai rinitis vasomotor, dan penggunaan tetes
hidung yang berkepanjangan juga dapat menyebabkan terjadinya penyakit
hipertropi konka inferior. Kasus septum deviasi, pada sisi hidung kontralateral
dapat terjadi hipertropi konka inferior dan media. Hal ini merupakan suatu
mekanisme kompensasi untuk memperkecil luasnya rongga hidung.2
Rangsangan yang berlangsung berulang dan lama terhadap membran mukosa
hidung akan mengakibatkan penebalan pada mukosa konka dan pelebaran pada
pembuluh darah mukosa terutama pleksus kavernosus konka. Struktur lapisan
epitel mukosa konka akan berubah menjadi kuboid bertingkat, silia menghilang
dan jumlah sel goblet meningkat apabila hal tersebut dibiarkan dalam jangka
waktu panjang. Lapisan submukosa akan terjadi edema, infiltrasi sel plasma, sel
bulat dan fibroblas serta pleksus kavernosus konka mengalami pelebaran
sementara otot polosnya mengalami atrofi.3
2.15Patofisiologi
Hipertropi konka merupakan suatu istilah yang menunjukkan adanya
perubahan mukosa hidung pada konka inferior. Penyebabnya adalah peradangan
kronik yang disebabkan oleh infeksi bakteri primer dan sekunder. Penyebab non
bakteri seperti sebagai lanjutan dari rhinitis alergi, rhinitis vasomotor dan
kompensasi septum deviasi kontralateral juga dapat menyebabkan hipertropi
konka inferior.

Gambar 2.2 Septum nasi dan konka inferior

(Sumber: Horacio G, et al, 2014)

Rhinitis alergi merupakan suatu penyakit peradangan yang disebabkan oleh


reaksi alergi pada pasien atopi yang sudah tersensitasi alergen sebelumnya dan
dimediasi oleh suatu mediator kimia ketika terjadi infeksi berulang dengan alergen
tersebut. Perjalanan penyakit dari rhinitis alergi ini diawali dengan tahap
sensitisasi dan kemudian dilanjutkan dengan tahap provokasi atau reaksi alergi.
Tahap provokasi atau reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu immediate phase
allergic reaction atau reaksi alergi fase cepat (RAFC) yang berlangsung sejak
kontak pertama dengan alergen hingga 1 jam setelahnya dan late phase allergic
reaction atau reaksi alergi fase lambat (RAFL) yang terjadi selama 2-4 jam dengan
puncak 6-8 jam setelah terpapar alergen (fase hiperreaktivitas) dan dapat terjadi
selama 24-48 jam.3,4
Tahap sensitisasi terjadilah kontak pertama antara tubuh dengan alergen.
Alergen yang terinspirasi bersama dengan udara pernapasan akan terdeposit di
permukaan mukosa hidung kemudian akan di fagosit oleh makrofag atau monosit
yang berfungsi sebagai sel penyaji antigen antigen presenting cell (APC),
selanjutnya di dalam endosom antigen diproses membentuk fragmen peptida yang
berukuran pendek dan berikatan dengan molekul (human lupus antibody) HLA
kelas II membentuk kompleks major histocompatibility complex (MHC) kelas II
yang dipresentasikan oleh sel T helper (Th0), kemudian sitokin akan dilepaskan
oleh sel penyaji seperti interleukin 1 (IL-1) yang akan mengaktifkan Th0 untuk
melakukan proses proliferasi menjadi Th1 dan Th2.4
Sel Th2 akan memproduksi berbagai sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5 dan IL-
13. IL-4 dan IL-13 akan mengaktifkan sel limfosit B dengan pengikatan oleh
reseptor yang berada di permukaan sel limfosit B sehingga immunoglobulin E
(IgE) dapat diproduksi. IgE yang terdapat pada sirkulasi darah akan diikat oleh
reseptor IgE di permukaan sel mediator (sel mastoid atau sel basofil) dan
menjadikan kedua sel tersebut aktif. Proses ini menghasilkan sel mediator
tersensitisasi yang terpapar oleh alergen yang sama sehingga disebut sebagai tahap
sensitisasi. Hal ini berarti bahwa individu tersebut telah menjadi hipersensitif
terhadap alergen tertentu.4
Mukosa yang telah tersensitisasi tersebut apabila terpapar kembali oleh
alergen yang sama, maka kedua rantai IgE tersebut akan mengikat alergen spesifik
dan menyebabkan terjadinya degranulasi sel basofil dan mastosit. Hal ini
mengakibatkan mediator kimia yang sudah terbentuk preformed mediators seperti
histamin menjadi terlepas. Selain itu, terdapat pula newly formed mediators seperti
prostaglandin D2 (PGD2), leukotrient C4 (LTC4), leukotrient D4 (LTD4),
berbagai sitokinin (IL 3, IL 4, IL 5, IL 6), bradikinin, granulocyte macrophage
colony stimulating factor (GM-CSF), platelet activating factor (PAF) dan lain
sebagainya. Proses pelepasan histamin tersebut inilah yang kemudian disebut
sebagai reaksi alergi fase cepat (RAFC).4
Histamin yang terlepas akan merangsang mukosa pada dinding lateral
hidung (konka) dan terjadi pengeluaran inter cellular adhesion molecule 1 (ICAM
1) sehingga menyebabkan penebalan mukosa atau sering disebut sebagai
hipertropi. Histamin juga akan merangsang reseptor histamin 1 (H1) yang terdapat
pada ujung saraf vidianus sehingga menyebabkan munculnya gejala bersin dan
sensasi rasa gatal (pruritus) pada hidung. Histamin juga menyebabkan hipersekresi
dan peningkatan permeabilatas kapiler pada kelenjar mukosa dan sel goblet
sehingga sekresi hidung (lendir) berlebihan atau disebut sebagai rhinorrhea.
Akibat dari sekresi hidung yang berlebihan akan menimbulkan obstruksi saluran
napas. Obstruksi saluran napas akan mempengaruhi fungsi penghidu,
menyebabkan lendir jatuh ke tenggorokan (post nasal drip) dan kesulitan bernapas
saat tidur sehingga akan menyebabkan gangguan pola tidur. Adanya lendir pada
saluran napas dapat membawa alergen masuk kedalam tuba eustacius sehingga
menyebabkan gangguan fungsi tuba.3,4
Rhinitis vasomotor merupakan penyakit idiopatik yang bersifat non-alergi
yang disebakan oleh karena kelainan neuro vaskuler pembuluh darah pada mukosa
hidung. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya rhinitis vasomotor
adalah faktor fisik, endokrin, psikis dan obat-obatan. Mukosa hidung yang terus
terpapar oleh faktor-faktor tersebut akan mengakibatkan adanya reaksi
hipersensitivitas.5
Serabut saraf parasimpatis berasal dari nukleus salivatori superior menuju
ganglion sphenopalatina kemudian membentuk n.Vidianus yang akan
menginervasi kapiler darah dan kelenjar eksokrin, apabila terdapat rangsangan
maka akan terjadi pelepasan vasoaktif intestinal peptida dan ko-transmitter
asetilkolin yang mengakibatkan dilatasi arteriola dan kapiler darah serta sekresi
hidung berlebihan (rhinorrhea) sehingga terjadi kongesti hidung. Rhinitis
vasomotor juga bisa disebabkan oleh karena ketidakseimbangan dari impuls sarat
otonom di mukosa hidung yang mengakibatkan peningkatan aktivitas sistem
parasimpatis.5

2.16Manifestasi klinis
Gejala utama dari hipertropi konka inferior adalah sumbatan hidung kronik,
sekret hidung yang berlebihan, kental dan mukopurulen. Biasanya sekret hidung
mukopurulen ditemukan didasar rongga hidung dan diantara konka inferior dan
septum. Beberapa penderita hipertropi konka inferior juga mengeluhkan gangguan
penghidu, adanya sakit kepala, kepala terasa berat, rasa kering pada faring, adanya
post nasal drip, gangguan fungsi tuba dan penurunan produktivitas kerja.5
Konka akan tampak membengkak dan berwarna merah pada tahap awal
pemeriksaan, kemudian apabila sudah terdiagnosis terjadi hipertropi konka maka
mukosa konka menebal dan apabila ditekan tidak melekuk. Hipertropi konka dapat
terjadi sebagian ataupun seluruh bagian dari konka inferior. Hipertropi dapat pula
terjadi pada konka media namun jarang.4,5
2.17Diagnosis
Penderita hipertropi konka inferior dapat didiagnosis dengan cara
melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang seperti
pemeriksaan radiologi dan rhinomanometry. Anamnesis yang dilakukan haruslah
cermat terutama untuk mengetahui adakah riwayat sumbatan hidung sebagai
akibat dari hipertropi konka serta untuk mengetahui keluhan lainnya.5
Pemeriksaan fisik dapat dilakukan dengan rinoskopi anterior dan posterior.
Pemeriksaan rinoskopi anterior dapat menilai ukuran pembesaran konka dengan
melihat septum nasi dan dinding lateral hidung. Obat vasokonstriktor lokal dapat
diberikan bila diperlukan supaya memperluas jangkauan pandangnya.
Pemeriksaan rinoskopi posterior dapat menilai batas pemisah antara konka kanan
dan kiri serta ujung posterior konka media dan konka inferior.5
Berdasarkan letaknya, ukuran pembesaran konka anterior terbagi atas tiga
yaitu:6
1. Pembesaran konka inferior mencapai garis yang terbentuk antara middle nasal
fosa dengan lateral hidung.
2. Pembesaran konka inferior melewati sebagian dari kavum nasi.
3. Pembesaran konka inferior mencapai nasal septum.
Berdasarkan derajatnya, ukuran pembesaran konka terbagi atas empat
yaitu:
a) Normal, apabila konka inferior tidak ada kontak dengan septum atau dasar
hidung.
b) Hipertropi ringan, apabila terjadi kontak dengan septum.
c) Hipertropi sedang, apabila terjadi kontak dengan septum dan dasar hidung.
d) Hipertropi berat apabila terjadi kontak dengan septum, dasar hidung dan
kompartemen superior sehingga akan terjadi sumbatan hidung total.
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada penderita hipertropi konka inferior
yaitu pemeriksaan radiologi, rhinomanometry dan pemeriksaan peak nasal inspiratory flow
(PNIF). Pemeriksaan radiologi tidak harus dilakukan untuk menilai sumbatan hidung.
Pemeriksaan rhinomanometry dan PNIF dapat gunakan untuk menentukan besarnya aliran
udara dan tahanan dalam rongga hidung.2,3
3 Penatalaksanaan
a) Medikamentosa

Penatalaksanaan dengan medikamentosa bertujuan untuk mengatasi faktor etiologi


dan sumbatan hidung dengan cara memperkecil ukuran konka. Sinus venosus akan
mengalami pengisian pada kasus pembesaran konka akut. Pemberian dekongestan topikal
dapat mengurangi pembesaran konka. Terapi medikamentosa lain yang dapat diberikan antara
lain kortikosteroid, sel mast stabilizer, antihistamin, dan imunoterapi.3
Pemberian dekongestan baik secara lokal maupun sistemik efektif dalam mengobati
sumbatan hidung karena hipertropi konka, namun penggunaan dekongestan sistemik oral
dapat menimbulkan efek samping berupa palpitasi dan kesulitan tidur. Penggunaan
dekongestan topikal dalam jangka waktu panjang dapat menyebabkan terjadinya rinitis
medikamentosa (rebound nasal congestion) dan takifilaksis. Pemberian kortikosteroid juga
efektif dalam mengobati sumbatan hidung, namun dapat menyebabkan terjadinya hidung
berdarah, krusta dan mukosa hidung mengering. Kortikosteroid juga dapat mengurangi
hiperresponsif saluran respirasi dan menekan terjadinya perdarahan tetapi proses mekanisme
dan target seluler belum dapat diketahui.4
b) Operatif

Jaringan ikat telah terbentuk pada kasus kronik. Hal ini disebabkan oleh proses
inflamasi kronik yang tidak dapat tertangani oleh terapi medikamentosa setelah 2 bulan
pengobatan. Tindakan operatif atau pembedahan sangat dianjurkan apabila hal tersebut
terjadi.5
Teknik pembedahan reduksi konka secara garis besar terbagi atas dua kelompok yaitu
turbinoplasty dan turbinectomy. Turbinopasty adalah teknik reduksi konka yang
mempertahankan agar mukosa hidung tetap utuh, sedangkan turbinektomi adalah teknik
reduksi konka yang memotong bagian konka yang mengalami pembesaran. Teknik reduksi
konka yang menjadi pilihan saat ini adalah teknik turbinoplasty dengan menggunakan teknik
mikrodebrider dan teknik termal seperti dengan radiofrekuensi atau koblasi. Keunggulan dari
teknik pembedahan reduksi konka radiofrekunsi adalah mukosa tetap utuh, dapat dilakukan
dalam anastesi lokal dan suhu panas yang dihasilkan pada lapisan submukosa berkisar antara
60-90°C. Tujuan utama dilakukannya tindakan operatif ini yaitu untuk menghilangkan
sumbatan hidung dan mempertahankan fungsi fisiologis hidung. Teknik pembedahan yang
ideal memang tidak ada, setiap teknik memiliki keunggulan dan kelemahan seperti adanya
kompilkasi jangka pendek dan panjang. Komplikasi jangka panjang yaitu perdarahan dan
rinitis atropi.5,6
DAFTAR PUSTAKA
1. Former SEJ, Eccles R. Chronic inferior turbinate enlargement and implications for
surgical intervention. Rhinology 2006; 44:234-8.
2. Mangunkusumo E, Rifki N. Infeksi hidung. In: Soepardi EA, Iskandar N (Ed). Buku
Ajar Ilmu Penyakit THT. Edisi ke-5. Balai Penerbit FK UI: Jakarta; 2001.p.111-2.
3. Ginros G, Kartas I, Balatsauras D, Kandilaros, Mathos AK. Mucosal change
in chronic hypertrophic rhinitis after surgical turbinate reduction. Eur Arch
Otorhinolaryngol 2009; 266:1409-16.
4. Fradis M, Golz A, Danino J, et al. Inferior turbinectomy versus submucosal diathermy
for inferior turbinate hypertrophy. Annals of Otology Rhinology & Laryngology
2000;109:1040-5
5. Quinn FB, Ryan MW, Reddy SS. Turbinate dysfunction: focus on the role of the
inrferior turbinates in nasal airway obstruction. Grand Rounds Presentations UTMB,
Dept of Otolaryngol 2003:1-11.

6. Lufti H, Mangunkusumo E, Soetjipto D. Pematahan multipel tulang konka


submukosal pada hipertrofi konka inferior. In: Kumpulan Naskah Ilmiah
Pertemuan Ilmiah Tahunan Perhimpunan Dokter Spesialis Telinga, Hidung,
Tenggorok Indonesia. Batu-Malang; 1999.p.715-9

DAFTAR PUSTAKA

1. Ballenger JJ. The technical anatomy and physiology of the nose and accessory
sinuses. In Diseases of the Nose, Throat, Ear, Head, & Neck. Fourteenth edition Ed.
Ballenger JJ. Lea & Febiger. Philadelphia, London, 1991: p.3-8
2. Soepardi EA, et al. Buku ajar ilmu kesehatan : telinga hidung tenggorok
kepala&

leher. 6th ed. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2007


3. East C. Examination of the Nose. In : Mackay IS, Bull TR(Eds). Scott-
Browns’s
Otolaryngology Sixth ed London: Butterworth, 1997: p.4/1/1-8

4. Effendi H, editor. Buku Ajar Penyakit THT. 6th ed. Jakarta: EGC ; 1997 ; p.135-142.
5. Lund VJ. Anatomy of the nose and paranasal sinuses. In : Gleeson (Ed). Scott-

Browns’s Otolaryngology. 6th ed. London : Butterworth, 1997: p.1/5/1-30.


6. Yilmaz AS, Naclerio RM. Anatomy and Physiology of the Upper Airway.
Available at: http://pats.atsjournals.org/content/8/1/31.full.pdf+html. Accessed
on: 22/06/2012
7. Muranjan S. Anatomy of the nose and paranasal sinuses.
Available at: http://www.bhj.org/journal/1999_4104_oct99/sp_617.htm. Accessed on:
22/06/2012

Anda mungkin juga menyukai