Anda di halaman 1dari 79

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Stroke adalah serangan otak yang timbul secara mendadak dimana

terjadinya gangguan fungsi otak sebagian atau menyeluruh akibat dari

gangguan aliran darah karena sumbatan atau pecahnya pembuluh darah

tertentu di otak, sehingga sel-sel otak kekurangan darah oksigen atau zat-

zat makanan dan akhirnya dapat terjadi kematian sel-sel tersebut dalam

waktu yang relatif singkat (Dourman, 2013). Stroke merupakan keadaan

ketika ada iskemia (aliran darah tidak adekuat) menuju bagian otak atau

perdarahan di dalam otak yang mengakibatkan kematian sel otak (Lewis,

2011). Stroke adalah penyakit yang paling dikenal sebagai penyebab

kematian kedua di dunia dan penyebab utama kecacatan orang dewasa

(Fahimhar et al., 2012).

Menurut World Health Organisation (WHO) tahun 2015,

memperkirakan terdapat 20 juta orang yang akan meninggal dunia

dikarenakan stroke disertai dengan meningkatnya kematian akibat

penyakit jantung dan kanker. Menurut American Heart Association

(AHA), angka kematian penderita stroke di Amerika setiap tahunnya

adalah 50 – 100 dari 100.000 orang penderita. Sekitar 795.000 orang di

USA mengalami stroke setiap tahunnya, dimana 610.000 orang mengalami

stroke serangan pertama dan stroke menyebabkan 134.000 kematian

1
2

(Goldstein, 2011). Di negara-negara ASEAN penyakit stroke juga

merupakan masalah kesehatan utama yang menyebabkan kematian. Dari

data South East Asian Medical Information Centre (SEAMIC) diketahui

bahwa angka kematian stroke terbesar terjadi di Indonesia yang kemudian

diikuti secara berurutan oleh Filipina, Singapura, Brunei, Malaysia, dan

Thailand (Basjiruddin, 2008).

Menurut Riskesdas tahun 2013, stroke meningkat dari 8,3 per1000

(2007) menjadi 12,1 per1000 (2013). Di Sumatera Barat, stroke juga

mengalami peningkatan tiap tahunnya, prevalensi penyakit stroke pada

umur >16 tahun di Sumatera Barat adalah 12, 2 per mil pada tahun 2013,

ini merupakan peningkatan dari tahun 2007 yang hanya mencapai 10,0 per

mil (Riskesdas, 2013). Data yang di peroleh dari Dinas kesehatan Provinsi

Sumatera Barat tahun 2012 didapatkan data bahwa stroke merupakan

penyebab kematian nomor 4 di Kota Padang setelah penyakit jantung,

hipertensi, dan ketuaan lansia dengan persentase 13,2% dari 460 kasus

(Dinkes Sumbar, 2012).

Ada beragam klasifikasi faktor risiko mengenai stroke. Faktor risiko

yang dapat dimodifikasi dan tidak dapat dimodifikasi. Faktor risiko yang

tidak dapat dimodifikasi adalah seperti orientasi berdasarkan jenis

kelamin, usia, dan gen. Selain itu, faktor risiko yang dapat dimodifikasi

yaitu seperti hipertensi, hiperlipidemia, dan diabetes (Arboix, 2015).

Menurut penelitian Melgaard et al tahun 2016, didapatkan hasil bahwa

peningkatan resiko stroke iskemik berkaitan dengan diabetes melitus.


3

Diabetes melitus adalah suatu keadaan yang ditandai dengan

hiperglikemia yang terjadi karena adanya gangguan sekresi insulin atau

kerja insulin ataupun keduanya, dan termasuk suatu kelompok penyakit

metabolik. Diagnosis diabetes melitus ditegakkan jika konsentrasi darah

sewaktu (plasma vena) ≥200 mg/dl atau konsentrasi glukosa darah puasa

>126 mg/dl atau konsentrasi glukosa darah >200 mg/dl pada 2 jam

sesudah beban glukosa 75 gram pada TTGO (Tes Toleransi Glukosa Oral)

(Permatasari, 2011).

International Diabetes Federation (IDF) memprediksi adanya

kenaikan jumlah penyandang diabetes di Indonesia dari 9,1 juta pada tahun

2014 menjadi 14,1 juta pada tahun 2035 (PERKENI, 2015). Global Report

on Diabetes (2016) melaporkan bahwa diabetes melitus menyebabkan 1,5

juta orang meninggal pada tahun 2012. Diabetes melitus bertanggung

jawab dalam 2,2 juta kematian sebagai akibat dari peningkatan risiko

penyakit kardiovaskuler, stroke dan lainnya, dengan total 3,7 juta orang

meninggal dimana sebesar 43% meninggal sebelum usia 70 tahun.

Sedangkan pada tahun 2014, sebesar 422 juta orang di dunia menderita

diabetes, 85% diantaranya dialami oleh orang dewasa.

Berdasarkan data dari Riskesdas Sumatera Barat tahun 2013

penyakit diabetes melitus terdiagnosis sebesar 1,3% dimana Sumatera

Barat menduduki peringkat ke 14 dari 33 provinsi di Indonesia dan

diperkirakan yang menderita diabetes melitus berjumlah 44.561 jiwa dari

3.427.772 jiwa jumlah penduduk (Rikesdas, 2013). Di Kota Padang sendiri


4

terdiagnosis sebesar 1,4%. Menurut data Dinas Kesehatan Kota Padang

(2016), DM termasuk dalam 10 penyakit terbanyak di Puskesmas Kota

Padang dengan total kunjungan sebanyak 22.523 orang.

Berdasarkan hasil penelitian Ghani et al tahun 2016 di Indonesia,

dari 722.329 sampel didapatkan proporsi pasien stroke dengan diabetes

sebanyak 6,7 %. Penelitian oleh Riyadina & Rahajeng tahun 2012 di

Indonesia, dari 1912 responden yang diwawancarai, didapatkan 49 orang

yang terserang stroke dan didapatkan proporsi stroke dengan diabetes

melitus sebanyak 8%, stroke dengan glukosa puasa tinggi sebanyak 9%,

dan didapatkan hasil bahwa masyarakat yang sudah didiagnosis penyakit

diabetes melitus berisiko hampir 3 kali lebih besar mengalami penyakit

stroke dibandingkan tanpa penyakit diabetes melitus.

Berdasarkan data rekam medis yang didapatkan dari RSI Siti

Rahmah Padang, jumlah total pasien stroke dengan diabetes melitus pada

tahun 2016 adalah 94 orang. Pada tahun 2017 didapatkan jumlah total

pasien stroke dengan diabetes melitus yaitu 104 orang, sehingga

didapatkan hasil bahwa terdapat peningkatan jumlah pasien stroke dengan

diabetes melitus di RSI Siti Rahmah Padang dari tahun 2016 ke tahun

2017.

Diabetes Melitus adalah faktor risiko untuk stroke yang tidak dapat

dipungkiri dan merupakan faktor risiko serebrovaskular terkait dengan

kematian di rumah sakit yang lebih besar baik pada pasien dengan stroke
5

iskemik dan perdarahan intraserebral. Diabetes dapat menyebabkan

perubahan patologis dalam pembuluh darah di berbagai lokasi dan dapat

menyebabkan stroke jika pembuluh serebral secara langsung terpengaruh.

Selain itu, mortalitas lebih tinggi dan hasil pasca stroke lebih buruk pada

pasien dengan stroke dengan kadar glukosa yang tidak terkontrol (Chen et

al., 2016).

Penelitian Sratton tahun 2000, dikatakan bahwa kontrol glikemik

yang buruk menyebabkan komplikasi serius yaitu salah satunya stroke.

Penelitian Luitse et al tahun 2012, dikatakan bahwa beberapa faktor risiko

untuk stroke pada pasien dengan diabetes yang berpotensi dimodifikasi,

khususnya faktor gaya hidup, konsentrasi glukosa, tekanan darah, dan

dislipidemia, yang telah ditargetkan pada beberapa uji coba terkontrol.

Pada pasien dengan diabetes tipe 2, menurunkan tekanan darah memiliki

efek besar pada risiko stroke di masa depan. Dalam meta analisis 37.736

pasien (13 percobaan) dengan diabetes tipe 2, gangguan glukosa puasa

atau gangguan toleransi glukosa dapat menilai efek pengendalian tekanan

darah (≤135 mm Hg vs ≤140 mmHg). Kontrol yang lebih intensif dari

tekanan darah dikaitkan dengan penurunan 10% dalam semua penyebab

kematian dan pengurangan 17% pada stroke (Cushman et al., 2010).

Penatalaksaan pada pasien diabetes melitus tipe 2 secara tepat adalah

dengan mencegah atau memperlambat munculnya komplikasi dengan

menerapkan perilaku self management dalam kehidupan sehari-

hari.Manajemen diri diabetes didefinisikan sebagai kemampuan individu


6

dengan diabetes untuk mengelola kadar glukosa darah mereka, menjaga

kebersihan pribadi, mengkonsumsi makanan yang sesuai, mematuhi obat-

obatan, dan mempertahankan tingkat aktivitas fisik yang dapat diterima

(Haas et al., 2012).

Manajemen diri diabetes yang efektif telah terbukti memainkan

bagian penting dalam meningkatkan outcome diabetes. Manajemen diri

diabetes sangat menantang dan menuntut keterlibatan berbagai bidang

perawatan; termasuk olahraga teratur, kontrol berat badan, pemantauan

glukosa darah terus menerus, perilaku diet yang sehat dan penggabungan

obat ke dalam rutinitas sehari-hari selama masa hidup mereka (Tol et al.,

2012).

Manajemen diri diabetes mengadopsi perilaku gaya hidup sehat,

yang memiliki efek pada kontrol glikemik untuk pasien dengan diabetes

dan pada gilirannya akan membantu mencegah komplikasi mikro-vaskular

dan makro-vaskular yang merupakan konsekuensi dari penyakit (Norris et

al., 2001). Penelitian oleh Betteng et al tahun 2014, dikatakan bahwa gaya

hidup yang dapat mempengaruhi kontrol glikemik pada pasien diabetes

adalah konsumsi alkohol, merokok dan aktivitias fisik. Keteraturan dalam

melakukan aktivitas fisik memiliki pengaruh yang paling besar dalam

keberhasilan manajemen diri DM sebesar 40% (Yoga, 2011).

Aktivitas fisik merupakan salah satu aktivitas yang didapatkan dari

adanya pergerakan tubuh manusia, aktivitas ini memenuhi semua


7

kehidupan manusia (WHO, 2012). Penelitian Barnes tahun 2012,

dikatakan bahwa pengaruh aktivitas fisik atau olahraga secara langsung

berhubungan dengan peningkatan kecepatan pemulihan glukosa otot

(seberapa banyak otot mengambil glukosa dari aliran darah). Saat

berolahraga, otot menggunakan glukosa yang tersimpan dalam otot dan

jika glukosa berkurang, otot mengisi kekosongan dengan mengambil

glukosa dari darah. Ini akan mengakibatkan menurunnya glukosa darah

sehingga memperbesar pengendalian glukosa darah.

Aktivitas fisik atau latihan jasmani yang rutin merupakan bagian

penting manajemen DM dalam kehidupan sehari–hari yang terbutkti dapat

mempertahankan berat badan, menjaga tekanan darah tetap normal,

membantu peningkatan fungsi insulin didalam tubuh, dan juga

meningkatkan kesejahteraan psikologi (American Diabetes Association,

2004). Diperkuat dengan penelitian Ilyas tahun 2011, dikatakan bahwa

manfaat besar dari beraktivitas fisik atau berolahraga pada diabetes melitus

antara lain menurunkan kadar glukosa darah, mencegah kegemukan, ikut

berperan dalam mengatasi terjadinya komplikasi, gangguan lipid darah dan

peningkatan tekanan darah.

Penelitian Kaizu tahun 2014, dikatakan bahwa aktivitas fisik yang

baik berpengaruh pada kontrol gula darah yang baik dan menurunkan

faktor resiko terjadinya kardiovaskuler pada penderita diabetes mellitus

tipe 2. Diperkuat oleh Penelitian Misdiarly tahun 2006, dampak dari

kurangnya aktivitas fisik dapat memperparah terjadinya hiperglikemia,


8

meningkatkan resiko penyakit seperti hipertensi, stoke, penyakit jantung

koroner, dan obesitas.

Penelitian Ario tahun 2014, dikatakan bahwa selain aktivitas fisik,

kebiasaan merokok juga dapat memicu terjadinya penyakit DM dan

berperan dalam kontrol glikemik, khususnya DM tipe 2. Hal ini sejalan

dengan penelitian yang dilakukan oleh Retno Ningsih yang menyebutkan

bahwa perilaku merokok yang buruk berhubungan dengan komplikasi

kronis diabetes melitus contohnya seperti stroke dibandingkan dengan

yang bukan perokok. Nikotin, yang diketahui sebagai bahan aktif utama

pada tembakau sebagai bahan rokok, bertanggung jawab terhadap resiko

penyakit diabetes melitus berkaitan dengan asap rokok (Xie et al., 2009).

Merokok dikenal sebagai faktor resiko untuk penyakit jantung

koroner. Namun, setelah bertahun–tahun, pengumpulan data penelitian

menunjukkan bahwa perokok yang merokok dalam waktu yang

lama/kronik mempunyai resiko yang lebih tinggi juga untuk terjadinya

resistensi insulin. Pada pasien diabetes, diketahui merokok memperburuk

kontrol metabolik yang dapat menimbulkan komplikasi seperti stroke,

gagal jantung, dan lainnya (Xie et al., 2009).

Menurut penelitian oleh Rosa et al tahun 2007, konsumsi alkohol

merupakan salah satu dari faktor gaya hidup yang memicu terjadinya

diabetes melitus. Didapatkan hasil bahwa terdapat hubungan antara

konsumsi alkohol dengan kejadian diabetes melitus di Sulawesi. Beberapa


9

penelitian menunjukan bahwa alkohol dapat mengurangi oksidasi lemak

sehingga dapat menyebabkan berlebihnya penyimpanan lemak dalam

tubuh (WHO, 2005). Efek alkohol pada kadar gula darah, tidak hanya

tergantung pada alkohol yang dikonsumsi, tapi juga berhubungan dengan

asupan makanan.

Proses untuk mencerna alkohol yang ada di dalam tubuh kita itu

sama dengan proses saat tubuh kita mencerna lemak. Alkohol yang

dikonsumsi akan meningkatkan kadar gula dalam darah karena alkohol

akan mempengaruhi kinerja hormon insulin. Karbohidrat merupakan

kandungan yang banyak ditemui dalam alkohol sehingga pada saat

dikonsumsi, pankreas akan mengeluarkan lebih banyak hormon insulin

sehingga meningkatkan kadar gula dalam darah (Tjokroprawiro, 2011).

Hasil penelitian oleh Muflihatin tahun 2015, dikatakan bahwa faktor

yang berperan dalam kontrol glikemik pada pasien diabetes melitus selain

dari gaya hidup seperti merokok, konsumsi alkohol, dan aktivitas fisik,

adalah stres. Stres merupakan gangguan pada tubuh dan pikiran yang

disebabkan oleh perubahan dan tuntutan kehidupan. Takut, cemas, malu,

dan marah merupakan bentuk lain emosi. Kehidupan yang penuh dengan

stres akan berpengaruh terhadap fluktuasi glukosa darah meskipun telah

diupayakan diet, latihan fisik maupun pemakaian obat-obatan dengan

secermat mungkin (Irfan & Wibowo, 2015).


10

Reaksi fisiologis terhadap stres dapat mempengaruhi aksis

hipotalamus dan mengaktivasi berbagai organ, serta melepaskan epinefrin

dan norepinefrin ke aliran darah dan selanjutnya akan menstimulasi

pelepasan hormon termasuk glukagon yang merangsang hepar, otot,

jaringan lemak untuk mengeluarkan energi yang tersimpan disana. Selain

merangsang sekresi glukagon, epineprin ternyata memberikan dampak

antagonis terhadap fungsi insulin dan menghambat transpor glukosa yang

dipicu insulin pada jaringan perifer. Perubahan hormonal ini memicu

glukoneogenesis maksimal dan menggangu glukosa di perifer,

menyebabkan hiperglikemia berat, yang dapat kronisnya menimbulkan

berbagai komplikasi contohnya seperti stroke (Isselbacher et al., 2012).

Berdasarkan studi pendahuluan yang telah dilakukan peneliti pada

tanggal 21 Mei 2018 di Ruang Rawat Inap Penyakit Dalam RSI Siti

Rahmah Padang, dari 5 pasien stroke dengan diabetes melitus yang telah

diwawancarai didapatkan hasil 3 pasien memiliki manajemen diri diabetes

yang buruk yaitu cek glukosa jarang, diet yang tidak terkontrol, kurang

melakukan aktivitas fisik, dan jarang kontrol ke pusat pelayanan

kesehatan, 1 orang bahkan baru tahu diagnosis diabetes saat terserang

stroke, dan 1 orang memiliki manajemen diabetes yang baik, yaitu sering

cek glukosa, diet yang cukup terkontrol, aktivitas fisik yang dilakukan, dan

kontrol rutin ke pusat pelayanan kesehatan.

Berdasarkan data-data hasil penelitian dan studi pendahuluan yang

telah diuraikan diatas, didapatkan hasil beberapa faktor resiko yang


11

berpengaruh pada kontrol glikemik pasien diabetes melitus yang

berpengaruh pula pada risiko terjadinya stroke, yaitu manajemen diri

diabetes, aktivitas fisik, merokok, konsumsi alkohol, dan stres. Oleh

karena itu, penulis melakukan penelitian tentang “Gambaran Faktor Risiko

Pasien Stroke dengan Diabetes Melitus”.

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas dapat

dirumuskan masalah penelitian yaitu “Bagaimana gambaran dari faktor

risiko pasien Stroke dengan Diabetes Melitus.”

C. TUJUAN PENELITIAN

1. Tujuan Umum

Diketahui faktor risiko dari pasien Stroke dengan Diabetes Melitus

2. Tujuan Khusus

a. Diketahui tingkat manajemen diri diabetes dari penderita Stroke

yang memiliki penyakit Diabetes Melitus.

b. Diketahui tingkat aktivitas dari penderita Stroke yang memiliki

penyakit Diabetes Melitus.

c. Diketahui konsumsi merokok dari penderita stroke yang memiliki

penyakit diabetes melitus.

d. Diketahui konsumsi alkohol dari penderita stroke yang memiliki

penyakit diabetes melitus.

e. Diketahui tingkat stres dari penderita stroke yang memiliki

penyakit diabetes melitus.


12

D. MANFAAT PENELITIAN

1. Bagi Profesi Keperawatan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan

tentang faktor risiko pada pasien Stroke dengan Diabetes Melitus pada

profesi keperawatan dan menambah penyusunan dari asuhan

keperawatan.

2. Bagi Instansi Pendidikan

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan informasi

dan referensi kepustakaan untuk menambah ilmu pengetahuan tentang

gambaran dari faktor risiko pasien Stroke dengan Diabetes Melitus dan

dapat dijadikan sebagai pedoman untuk penelitian selanjutnya pada

penyakit stroke dengan diabetes melitus dengan sudut pandang yang

berbeda dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas asuhan

keperawatan.

3. Bagi Penderita Stroke dengan Diabetes Melitus dan Keluarga

Penelitian ini dapat dijadikan pedoman untuk merubah pola hidup

dan kesehatan pasien untuk mencegah terjadinya serangan stroke

berulang dan dapat dijadikan pedoman untuk lebih cermat dan teliti

dalam merawat anggota keluarganya.


13

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Stroke

1. Definisi Stroke

Stroke merupakan penyakit atau gangguan fungsional otak

berupa kelumpuhan saraf (deficit neurologic) akibat terhambatnya

aliran darah ke otak. Secara sederhana stroke akut didefinisikan

sebagai penyakit otak akibat terhentinya suplai darah ke otak karena

sumbatan (stroke iskemik) atau perdarahan (stroke hemoragik)

(Junaidi, 2011). Stroke adalah serangan otak yang timbul secara

mendadak dimana terjadi gangguan fungsi otak sebagian atau

menyeluruh sebagai akibat dari gangguan aliran darah olarh karena

sumbatan atau pecahnya pembuluh darah tertentu di otak sehingga

menyebabkan sel-sel otak kekurangan darah atau zat-zat makanan dan

akhirnya dapat terjadi kematian sel tersebut dalam waktu relatif

singkat (Dourman, 2013).

Menurut Lingga (2013) stroke didefinisikan sebagai

gangguan saraf permanen akibat terganggunya peredaran darah ke

otak, yang terjadi sekitar 24 jam atau lebih. Sindrom klinis ini terjadi

secara mendadak serta bersifat progresif sehingga menimbulkan

kerusakan otak secara akut degan tanda klinis yang terjadi secara fokal

dan atau global. Kerusakan pembuluh darah otak menyebabkan suplai

darah menuju ke otak terhenti sehingga menyebabkan insiden yang


14

mengarah pada defisit neorologis. Terhentinya suplai darah ke otak

menyebabkan otak mengalami kekurangan oksigen, padahal

kebutuhan oksigen bagi otak cukup besar, yaitu 20% dari kebutuhan

total oksigen yang beredar di seluruh tubuh. Jumlah yang sangat besar,

mengingat berat otak hanya sekitar 2,5% dari berat tubuh manusia.

Oksigen diperlukan untuk aktivitas jutaan sel saraf yang ada pada

otak. Jika pasokan darah yang membawa oksigen dan nutrisi tidak

dapat mencapai otak, maka fungsi otak akan terhenti yag akhirnya

berujung pada kematian.

Stroke merupakan penyakit sistem persyarafan yang paling

sering dijumpai. Stroke bisa terjadi pada setiap tingkatan umur. Stroke

klinis merujuk ada perkembangan neurologis defisit yang mendadak

dan dramatis. Stroke dapat didahului oleh faktor pencetus dan

seringkali yang berhubungan dengan penyakit kronis yang

menyebabkan masalah biasanya penyakit vaskular yang berhubungan

dengan peredaran darah (Dourman, 2013).

2. Klasifikasi Stroke

Menurut Caplan (2009), stroke dapat diklasifikasikan

menjadi dua, yaitu stroke iskemik dan stroke hemoragi.

a. Stroke Iskemik

Stroke iskemik terjadi akibat aliran darah menuju jaringan

otak berkurang. Mekanisme terjadinya iskemik secara umum


15

dibagi menjadi tiga yaitu thrombosis, emboli, dan penurunan

perfusi sistemik.

Trombosis terjadi karena kerusakan dinding pembuluh

darah dan pembentukan gumpalan darah. Pembentukan gumpalan

darah mengakibatkan terganggunya aliran darah ke otak. Hambatan

aliran darah ke otak menyebabkan jaringan otak kekurangan

oksigen atau hipoksi kemudian menjadi iskemik dan berakhir pada

infark. Trombosis merupakan penyebab stroke yang paling sering,

biasanya berkaitan dengan kerusakan lokal dinding pembuluh

darah akibat ateroskleosis (Caplan, 2009).

Emboli merupakan material yang di bentuk di tempat lain

atau material asing yang berada pada pembuluh darah yang

mengakibatkan penyumbatan aliran darah. Material ini paling

umum berasal dari jantung, dari arteri mayor sperti aorta, carotis,

arteri vertebral dan vena sistemik. Sumber emboli yang lainnya

adalah udara, lemak, sel tumor, dan bakteri. Pada penurunan

perfusi sistemik terjadi penyusutan aliran darah menuju jaringan

otak yang disebabkan oleh tekanan perfusi sistemik yang rendah.

Penurunan perfusi sistemik disebabkan oleh kegagalan pompa

jantung (paling sering infark miokard atau aritmia) dan hipotensi

sistemik (kehilangan darah atau hipovolemi) (paling sering infark

miokard atau aritmia) dan hipotensi sistemik (kehilangan darah

atau hipovolemi) (Caplan, 2009).


16

Menurut Junaidi (2011), penggolongan stroke iskemik

berdasarkan perjalanan klinisnya dikelompokkan sebagai berikut:

1) Transient Ischemic Attack (TIA): serangan stroke sementara

yang berlangsung kurang dari 24 jam

2) Reversible Ischemic Neurologic Deficit (RIND): gejala

neruologis akan menghilang antara >24 jam sampai dengan 21

hari

3) Progressing stroke atau stroke in evolution: kelainan atau defisit

neurologic berlangsung secara bertahap dari yang ringan sampai

menjadi berat

4) Stroke komplit atau completed stroke: kelainan neurologis sudah

lengkap menetap dan tidak berkembang lagi.

Menurut hasil penelitian Ramadany et al tahun 2010, stroke

iskemik dipengaruhi oleh diabetes melitus. Selain itu menurut

penelitian Melgaard tahun 2016, dikatakan bahwa diabetes

melitus meningkatkan resiko terjadinya stroke iskemik.

Diperkuat lagi oleh penelitian Guo et al tahun 2018, dikatakan

bahwa wanita dengan penyakit diabetes disertai gaya hidup yang

tidak baik (merokok, kurang aktivitas, kelebihan berat badan)

meningkatkan resiko terjadinya stroke iskemik.


17

b. Stroke hemoragi

Stroke hemoragi terjadi karena perdarahan atau pecahnya

pembuluh darah otak baik di subarachnoid, intraserebral, subdural

dan epidural.

1) Perdarahan subarachnoid

Pada pendarahan subarachnoid, darah keluar dari vascular

menuju permukaan otak dan diteruskan dengan cepat melalui

cairan spinal ke dalam bagian sekitar otak. Perdarahan paling

sering diakibatkan oleh aneurisma atau malformasi vaskuler.

(Caplan, 2009).

2) Perdarahan intraserebral

Perdarahan intraserebral terjadi karena pecahnya arteri-

arteri kecil pada serebral. Penyebab lain karena perdarahan

akibat trauma, obat obatan, malformasi vascular (Caplan, 2009).

3) Perdarahan subdural dan epidural

Perdarahan seperti ini sering disebabkan oleh trauma

kepala. Perdarahan subdural berawal dari kerusakan pembuluh

darah yang berada diantara durameter dan membrane araknoid.

Perdarahan epidural disebabkan oleh robekan arteri meningen,

paling sering pada pertengahan arteri meningen (Caplan, 2009).


18

3. Faktor Resiko Terjadinya Stroke dengan Diabetes Melitus

a. Faktor yang Tidak Dapat Dikontrol/Diubah

1) Umur

Semakin bertambah usia risiko stroke semakin tinggi, hal

ini berkaitan degan elastisitas pembuluh darah (Tarwoto, 2013).

Insiden stroke meningkat seiring dengan bertambahnya usia.

Setelah umur 55 tahun risiko stroke iskemik meningkat 2 kali

lipat tiap dekade (Junaidi, 2011). Dari studi literatur, usia

merupakan salah satu faktor risiko stroke karena dengan

pertambahan usia terjadi penurunan fungsi sel, jaringan dan

organ sebagai proses fisiologis penuaan. Dalam kasus stroke

penuaan mengakibatkan penurunan elastisitas pembuluh darah

yang memperbesar kemungkinan terjadinya aterosklerosis

sebagai penyebab stroke. Namun seiring berjalannya waktu

stroke juga telah menyerang pada usia dewasa muda dalam

rentang 35 – 45 tahun. Seperti hal nya menururt terbitan Journal

of the American Heart (JAHA) 2016 menyatakan bahwa terjadi

peningkatan stroke pada individu yang berusia 25 sampai 44

tahun menjadi (43,8%) (JAHA, 2016). Diperkuat lagi dengan

pendapat di dalam penelitian Kemala (2017) tentang faktor

risiko stroke pada usia dewasa muda yaitu pada usia <40 tahun

yang memaparkan tingginya kejadian stroke pada dewasa muda

dikarenakan perubahan gaya hidup seperti mengonsumsi


19

makanan siap saji yang mengandung kadar lemak tinggi,

merokok, konsumsi alkohol, kurang olah raga, kerja berlebihan

dan stress, penggunaan amfetamin, riwayat hipertensi, diabetes

mellitus dan hiperkolesterolemia.

2) Ras/suku bangsa

Manurung (2015) menyatakan bahwa ras dan etnis tidak

berpengaruh terhadap kejadian stroke, hal utama yang

mempengaruhi status kesehatan seseorang adalah perilaku yang

dijalankan masing-masing individu tersebut untuk menjaga

kesehatannya. Penelitian ini menyimpulkan bahwa tidak ada

hubungan antara ras dan etnis dengan stroke. Dari studi literatur

orang kulit hitam, Hispanik Amerika, Cina, dan Jepang memiliki

insiden stroke yang lebih tinggi dibandingkan orang dengan

kulit putih. Di indonesia sendiri, suku batak dan padang lebih

rentan terserang stroke dibandingkan dengan suku jawa, hal ini

disebabkan oleh pola dan jenis makanan yang lebih banyak

mengandung kolesterol

3) Jenis Kelamin

Laki-laki lebih berisiko dibanding wanita dengan

perbandingan 3:1, kecuali pada usia lanjut laki-laki dan wanita

hampir tidak bebeda. Laki-laki berumur 45 tahun bila bertahan

hidup sampai 85 tahun kemungkinan terkena stroke 25%,

sedangkan risiko bagi wanita hanya 20%. Pada laki-laki


20

cenderung terkena stroke iskemik sedangkan wanita lebih sering

menderita perdarahan subaraknoid dan kematian 2 kali lebih

tinggi dibandingkan laki-laki (Junaidi, 2011). Namun dalam

kasus stroke dengan diabetes melitus, beberapa hasil penelitian

menunjukkan bahwa perempuan lebih tinggi dalam terjadinya

stroke dengan diabetes melitus. Seperti pada penelitian oleh Guo

et al tahun 2018 didapatkan bahwa responden stroke dengan

diabetes lebih banyak pada perempuan (n=504) dibandingkan

dengan laki-laki (n=456). Sama hal nya dengan penelitian

Olofindayo et al tahun 2015 yang menunjukkan bahwa

responden perempuan (n=1513) lebih banyak dibandingkan

dengan laki-laki (1048).

4) Riwayat Penyakit Keluarga

Manurung (2015) menyatakan ada hubungan antara riwayat

penyakit keluarga dengan stroke dan risiko untuk terjadinya

stroke pada individu dengan ada riwayat penyakit terkait stroke

3,281 kali lebih besar dibanding dengan individu yang di dalam

keluarganya tidak menderita penyakit terkait stroke. Dari studi

literatur genetik berperan dalam terjadinya stroke, seperti

penyakit hipertensi dan diabetes mellitus yang dapat menjadi

penyebab stroke diketahui dapat diturunkan secara genetik dari

seseorang kepada keturunanya. Selain faktor genetik, riwayat

penyakit keluarga juga dapat dihubungkan dengan pola


21

kebiasaan keluarga seperti pola makan (makanan tinggi kalori,

lemak dan garam) dimana biasanya pola makan yang tidak sehat

yang dilakukan orang tua akan diikuti oleh anak-anak hingga

mereka beranjak dewasa karena orang tua merupakan panutan

anak-anaknya, dan karena ada pola kebiasaan buruk yang sama

sehingga tidak menutup kemungkinan akan menderita

permasalahan kesehatan yang sama pula.

b. Faktor yang Dapat Dikontrol/Diubah pada Pasien Stroke

dengan Diabetes Melitus

1) Merokok

Merokok dapat mengurangi kemampuan seseorang

dalam menanggulangi stres karena zat kimia dalam rokok

terutama karbon monoksida akan mengikat oksigen dalam darah

sehingga kadar oksigen dalam darah berkurang akibat yang

ditimbulkan metabolisme tidak berjalan dengan semestinya

(Junaidi, 2011).

Pada pasien diabetes, diketahui merokok memperburuk

kontrol metabolik (Ario, 2014). Nikotin dikenal sebagai bahan

kimia aktif pada rokok yang bertanggung jawab untuk terjadinya

diabetes. Di otak, nikotin bekerja dengan mengikat dan

mengaktivasi reseptor nicotinic acetylcholine (nAChRs), bagian

dari kelompok transmembran ion-channel proteins, ditemukan

di SSP dan sistem saraf tepi (SST) serta beberapa jaringan


22

tubuh. Dopamin memiliki peran dalam pengaruh dari nikotin

dan juga memiliki peran penting pada kecanduan tembakau.

Aktivasi dari nAChRs di medula adrenal mengakibatkan

peningkatan katekolamin yang nantinya berpengaruh pada

sistem kardiovaskular dan respon–respon metabolik (Tweed et

al., 2012).

Efek yang terjadi dari nikotin pada manusia dimana

terjadi pelepasan katekolamin di aliran darah adalah peningkatan

pulsasi dan tekanan darah, pelepasan asam lemak bebas dan

mobilisasi dari gula darah/berkebalikan dengan pengaruh

insulin. Paparan rokok memperburuk resistensi insulin,

meskipun dengan paparan pada perokok pasif dapat menjadi

resiko terjadinya sindrom metabolik. Berhenti merokok

kemungkinan dapat memperbaiki resistensi insulin, tergantung

dari variasi dari berat badan. Nikotin mempengaruhi sekresi

insulin melalui nAChRs pada sel–sel β pankreas (Liu et al.,

2004).

Tidak hanya paparan nikotin dalam jangka waktu lama

tetapi juga paparan dalam waktu singkat mengakibatkan

penurunan sekresi insulin. Pada paparan dalam jangka waktu

singkat dengan paparan nikotin konsentrasi lebih dari 1μmol/L

menghambat pelepasan insulin. Sementara itu juga, paparan

nikotin selama 48 jam menghambat pelepasan insulin.


23

Penemuan ini mengindikasikan bahwa reseptor–reseptor

nikotinik fungsional terdapat pada pulau–pulau pankreas dan

sel–sel β dan bagian nikotin secara negatif mempengaruhi fungsi

sel β pankreas (Fowles & Dybing, 2003).

Derajat merokok menurut Indeks Brinkman adalah hasil

perkalian antara lama merokok dalam jumlah hari dengan rata-

rata jumlah rokok yang dihisap perhari (Jumlah hari x Rata-rata

jumlah rokok/hari). Jika hasilnya kurang dari 200 dikatakan

perokok ringan, jika hasilnya antara 200 – 599 dikatakan

perokok sedang dan jika hasilnya lebih dari 600 dikatakan

perokok berat. Semakin lama seseorang merokok dan semakin

banyak rokok yang dihisap perhari, maka derajat merokok akan

semakin berat (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2011).

2) Konsumsi Alkohol

Proses untuk mencerna alkohol yang ada di dalam tubuh

kita itu sama dengan proses saat tubuh kita mencerna lemak.

Alkohol yang dikonsumsi akan meningkatkan kadar gula dalam

darah karena alkohol akan mempengaruhi kinerja hormon

insulin (Tjokroprawiro, 2011). Karbohidrat merupakan

kandungan yang banyak ditemui dalam alkohol sehingga pada

saat dikonsumsi, pankreas akan mengeluarkan lebih banyak

hormon insulin sehingga meningkatkan kadar gula dalam darah

(Rosa et al., 2007).


24

Apabila meminum alkohol banyak akan meningkatkan

risiko stroke. Alkohol merupakan racun pada otak dan pada

tingkat tinggi dapat mengakibatkan otak berhenti berfungsi.

Alkohol oleh tubuh dipersepsikan sebagai racun. Oleh

karenanya tubuh dalam hal ini hati akan memfokuskan kerjanya

untuk menyingkira racun tersebut. Akibatnya bahan lain yang

masuk kedalam tubuh seperti karbohidrat dan lemak yang

bersirkulasi dalam darah harus menunggu giliran sampai proses

pembuangan alkohol pada kadar yang normal selesai dilakukan.

Alhasil walaupun kita mengkonsumsi makanan dalam jumlah

normal tapi karena tidak diolah maka seolah-olah kita kelebihan

makanan, karena tidak dimetabolisme dan berisiko terkena

penyakit kardioserebrovaskuler seperti jantung dan stroke

meningkat.

Penelitian oleh Erick (2012) menunjukkan bahwa efek

alkohol pada kesehatan umumnya bergantung pada seberapa

sering orang tersebut mengonsumsi alkohol dan juga berapa

jumlah (volume) alkohol yang dikonsumsinya. Nutrition and

Your Health: Dietary Guidelines for Americans menetapkan

standard drink sebagai minuman yang mengandung 0.5 fl oz

alkohol murni (12 gram), yang sering didapatkan pada 12 floz

biasa, 5 fl oz wine, atau 1,5 fl oz 40% spirits. Konversi fl iz


25

menjadi ml atau gram alkohol dapat dilihat pada tabel di bawah

ini:

Gambar 2.1

Konversi satuan alkohol

Berdasarkan standar tersebut, dibuat pembagian tingkat

pengonsumsian alkohol yaitu:

1) Light drinker (ringan): 0.01 – 0.21 fl oz alkohol per hari (1

– 3 drink tiap minggu)

2) Moderate drinker (sedang): 0.22 – 1.00 fl oz alkohol per

hari (4 – 14 drink per minggu)

3) Heavier drinker (berat): >1.00 fl oz alkohol per hari (lebih

dari 2 drink per hari).

3) Obesitas/Kegemukan

Kegemukan dapat meningkatkan kejadian stroke terutama

bila di sertai dengan dislipidemia dan atau hipertensi, melalui

proses arterosklerosis. Obesitas juga dapat menyebabakan

terjadinya stroke lewat efek snoring atau mendengkur dan sleep

apnea, karena terhentinya suplai oksigen secara mendadak di


26

otak. Kegemukan juga membuat seseorang cenderung

mempunyai tekanan darah tinggi, meningkatkan risiko

terjadinya penyakit kencing manis atau diabetes, juga

meningkatkan produk sampingan metabolisme yang berlebihan

yaitu oksidan/radikal bebas. Hal tersebut karena umumnya porsi

makan orang gemuk akan lebih banyak. Penelitian Olofindayo et

al tahun 2015 menunjukkan bahwa obesitas sentral adalah salah

satu prediktor paling kuar terjadinya stroke pada pasien diabetes

melitus. Ditemukan bahwa obesitas sentral meningkatkan risiko

perkembangan diabetes pada seseorang dan akan meningkatkan

risiko stroke.

Obesitas sentral seperti yang didefinisikan oleh lingkar

pinggang telah ditemukan menjadi prediktor diabetes yang lebih

kuat dan risiko stroke berikutnya daripada obesitas secara

keseluruhan yang didefinisikan oleh BMI. Obesitas sentral

berpartisipasi dalam jalur yang meningkatkan risiko stroke. Ini

mengarah pada produksi yang tidak seimbang dari beberapa

produk metabolik yang berpotensi mempengaruhi hampir semua

organ dan jaringan tubuh. Tidak hanya diabetes menjadi

perhatian utama dalam pencegahan stroke, obesitas sentral juga.

Telah dilaporkan bahwa lebih dari 50% pasien diabetes tipe 2

mengalami obesitas sentral dan memiliki lebih banyak faktor

risiko untuk stroke (Olofindayo et al, 2015).


27

4) Aktivitas Fisik

Pengaruh aktivitas fisik atau olahraga secara langsung

berhubungan dengan peningkatan kecepatan pemulihan glukosa

otot (seberapa banyak otot mengambil glukosa dari aliran

darah). Saat berolahraga, otot menggunakan glukosa yang

tersimpan dalam otot dan jika glukosa berkurang, otot mengisi

kekosongan dengan mengambil glukosa dari darah. Ini akan

mengakibatkan menurunnya glukosa darah sehingga

memperbesar pengendalian glukosa darah (Barnes, 2012).

Pada diabetes melitus tipe 2 aktivitas fisik dan olahraga

berperan dalam pengaturan kadar glukosa darah. Masalah utama

pada diabetes melitus tipe 2 adalah kurangnya respon terhadap

insulin (resistensi insulin) sehingga glukosa tidak dapat masuk

ke dalam sel. Permeabilitas membran terhadap glukosa

meningkat saat otot berkontraksi karena kontraksi otot memiliki

sifat seperti insulin. Maka dari itu, pada saat beraktivitas fisik

seperti berolahraga, resistensi insulin berkurang (Ilyas, 2011).

Aktivitas fisik dan olahraga membantu penderita DM

mengontrol berat badan yang merupakan indikator penunjuk

penderita DM. Penderita diabetes memiliki terlalu banyak

glukosa dalam darah akibat kekurangan insulin, hormon yang

membantu sel menyerap glukosa. Olahraga dapat membantu

melarutkan pembekuan darah lebih mudah. Tingginya tingkat


28

insulin dalam darah memungkinkan terjadi pembekuan darah

lebih mudah karena itu mengapa diabetes erat kaitannya dengan

penyakit Kardiovaskuler (Ilyas, 2011).

Aktivitas fisik bagi penderita DM tipe I harus

diperhatikan adanya tanda-tanda dari hipoglikemia karena

mutlak glukosa di dalam darah tidak bisa masuk karena insulin

tidak diproduksi oleh sel beta pankreas yang berfungsi

mengantarkan glukosa sebagai bahan energi (Asdie, 1996).

Aktivitas fisik yang dianjurkan untuk para penderita diabetes

melitus tipe 2 adalah aktivitas fisik secara teratur (3-4 kali

seminggu) selama kurang lebih 30 menit dan sesuai dengan

CRIPE (continuous, rhythmical, interval, progresive, endurance

training). Dan diusahakan mencapai 75-85% denyut nadi

maksimal (Waspadji, 2011).

Aktivitas yang cukup terutama berhubungan dengan

menurunnya tingkat kematian karena penyakit koroner yang

diduga bermanfaat pada penurunan proses arterosklerosis.

Aktivitas fisik secara teratur dapat menurunkan tekanan darah

dan gula darah, meningkatkan kadar kolesterol HDL, dan

menurunkan kolesterol LDL, menurunkan berat badan dan

mendorong berhenti merokok. Hidup secara aktif dapat

membantu tubuh mengontrol berat badan serta mengurangi

risiko serangan jantung dan stroke. Olahraga rutin mampu


29

menghilangkan produk sampingan dari stres, lemak darah, gula,

kolesterol, membakar habis produk hormon, dapat menurunkan

tekanan darah tinggi dan kegemukan.

5) Stres

Stres merupakan stimulus atau situasi yang menimbulkan

distres dan menciptakan tuntutan psikis dan fisik pada

seseorang. Stres membutuhkan koping dan adaptasi. Faktor-

faktor yang mempengaruhi stres adalah genetik, pengalaman

hidup, tidur, diet, postur tubuh, penyakit, persepsi, emosi, situasi

psikologis, lingkungan fisik, biotik dan social. Stres bukan suatu

hal yang buruk dan menakutkan, tetapi merupakan bagian

kehidupan. Dalam kehidupan sehari-hari, manusia tidak bisa

lepas dari stres, masalahnya adalah bagaimana hidup beradaptasi

dengan stres tanpa harus mengalami distress. Tidak semua orang

mampu menyesuaikan diri dengan perubahan tersebut, akibatnya

akan menimbulkan ketegangan atau akan mengalami hal yang

menjadi faktor pencetus, penyebab timbulnya stres (Irfan &

Wibowo, 2015).

Reaksi fisiologi terhadap stres yang dapat mempengaruhi

aksis hipotalamus yang selanjutnya mengendalikan dua sistem

neuroendokrin, yaitu sistem simpatis dan sistem korteks adrenal.

Mengaktivasi berbagai organ, sistem saraf simpatik memberi

respons terhadap impuls saraf dari hipotalamus. Sistem saraf


30

simpatis juga memberi sinyal ke medulla adrenal untuk

melepaskan epinefrin dan norepinefrin ke aliran darah. Sistem

korteks adrenal diaktivasi jika hipotalamus mensekresi CRF

(corticotropin releasing faktor) suatu zat kimia yang bekerja

pada kelenjar hipofisis yang terletak tepat dibawah hipotalamus.

Kelenjar hipofisis selanjutnya mensekresikan hormon ACTH

(adrenocorticotropic hormone), yang dibawa melalui aliran

darah ke korteks adrenal dan akan menstimulasi pelepasan

hormon termasuk glukagon yang merangsang hepar, otot,

jaringan lemak untuk mengeluarkan energi yang tersimpan

disana. Selain merangsang sekresi glukagon, epineprin ternyata

memberikan dampak antagonis terhadap fungsi insulin dan

menghambat transpor glukosa yang dipicu insulin pada jaringan

perifer. Perubahan hormonal ini memicu glukoneogenesis

maksimal dan menggangu glukosa di perifer, menyebabkan

hiperglikemia berat (Isselbacher, dkk. 2012). Stres merupakan

gangguan pada tubuh dan pikiran yang disebabkan oleh

perubahan dan tuntutan kehidupan (Dalami, 2010). Takut,

cemas, malu, dan marah merupakan bentuk lain emosi.

Kehidupan yang penuh dengan stres akan berpengaruh terhadap

fluktuasi glukosa darah meskipun telah diupayakan diet, latihan

fisik maupun pemakaian obat-obatan dengan secermat mungkin.

UKPDS (United Kingdom Prospective Diabetes Study)


31

menemukan dengan berjalannya waktu kadar glukosa darah

penderita Diabetes Mellitus diperlihatkan akan tetap terus

meningkat secara progresif, meskipun intervensi sudah

dilakukan melalui perubahan gaya hidup, diet, olahraga dan

obat-obatan

Pengaruh yang di timbulkan oleh stres pada proses

arterosklerosis adalah melalui peningkatan pengeluaran hormon

kewaspadaan oleh tubuh. Stres jika tidak di kontrol dengan baik

akan menimbulkan kesan pada tubuh adanya keadaan bahaya

sehingga di respon oleh tubuh secara berlebihan dengan

mengeluarkan hormon-hormon yang membuat tubuh waspada

seperti kortisol, katekolamin, epinefrin, dan adrenalin. Stres

dapat mempengaruhi dan menurunkan fungsi kekebalan tubuh

sehingga rentan terhadap penyakit infeksi dan kanker. Riyadina

& Rahajeng (2013) menyatakan bahwa seseorang yang

mengalami gangguan mental emosional berisiko mengalami

serangan penyakit stroke hampir 2 kali dibandingkan dengan

seseorang yang tidak mengalami stress/gangguan mental.


32

B. Diabetes Melitus

1. Definisi

Diabetes melitus (DM) adalah suatu sindroma gangguan

metabolisme dengan hiperglikemia yang tidak semestinya sebagai akibat

suatu defisiensi sekresi insulin atau berkurangnya efektifitas biologis dari

insulin atau keduanya dan merupakan suatu penyakit degeneratif yang

angka kejadiannya cukup tinggi, di berbagai negara juga merupakan

salah satu penyakit yang menjadi masalah kesehatan masyarakat

(Ramadany, 2010). Diabetes melitus merupakan penyakit kronis

progresif yang ditandai dengan ketidakmampuan tubuh untuk melakukan

metabolisme karbohidrat, lemak dan protein, yang menjadi awal

terjadinya hiperglikemia (kadar gula yang tinggi dalam darah) (Black &

Hawk, 2014).

Dalam kondisi normal sejumlah glukosa dari makanan akan

beredar di dalam darah, kadar glukosa di dalam darah akan diatur oleh

insulin, yaitu hormon yang diproduksi oleh pankreas. Pada pasien DM,

pankreas berhenti memproduksi insulin, hal ini mengakibatkan

hiperglikemia sehingga dalam waktu tertentu dapat menyebabkan

komplikasi metabolik akut, selain itu dalam jangka panjang

hiperglikemia menyebabkan komplikasi makrovaskular, komplikasi

mikrovaskular dan komplikasi neuropatik (Smeltzer et.al., 2008).


33

2. Klasifikasi Diabetes Melitus

Menurut ADA (2017) terdapat empat jenis utama DM, terdiri dari:

a. Diabetes Melitus Tipe 1

Terjadi sebanyak 5-10% dari semua diabetes. Sel beta pangkreas

yang menghasilkan insulin dirusak oleh proses autoimun, sehingga

pasien memproduksi insulin dalam jumlah sedikit atau tidak ada dan

memerlukan terapi insulin untuk mengontrol kadar gula darah pasien.

Ddiabetes tipe 1 dicirikan dengan onset yang akut dan biasanya terjadi

pada usia <30 tahun.

b. Diabetes Melitus Tipe 2

Diabetes tipe 2 mengenai 90-95% pasien dengan diabetes. Pada

diabetes tipe ini, individu mengalami penurunan sensitivitas terhadap

insulin (resisten insulin) dan kegagalan fungsi sel beta yang

mengakibatkan penurunan produksi insulin. Insidensi terjadi lebih

umum pada usia . 30 tahun, obesitas, herediter dan faktor lingkungan.

c. Diabetes Tipe Lain

Diabetes dapat berkembang dari gangguan dan pengobatan lain.

Kelainan genetik dalam sel beta dapat memacu berkembanganya

Diabetes. Beberapa hormon seperti hormon pertumbuhan, kortisol,

glukagon dan epinephrine bersifat antagonis atau melawan kerja

insulin. Kelebihan jumlah hormon-hormon tersebut dapat

menyebabkan terjadinya diabetes. Tipe ini terjadi sebanyak 1-2 % dari

semua diabetes (Black & Hawks, 2014).


34

d. Diabetes Melitus Gestasional

Diabetes melitus yang timbul selama kehamilan akibat sekresi

hormon-hormon plasenta yang mempunyai efek metabolik terhadap

toleransi glukosa. Terjadi pada 2-5% wanita yang hamil, tetapi hilang

saat melahirkan. Resiko terjadi pada wanita dengan anggota keluarga

riwayat diabetes dan obesitas.

3. Penatalaksanaan

Menurut PERKENI (2015) tujuan penatalaksanaan diabetes ada

tiga yaitu tujuan jangka pendek: menghilangkan keluhan diabetes,

memperbaiki kualitas hidup, dan mengurangi risiko komplikasi akut.

Tujuan jangka panjang: mencegah dan menghambat progresivitas

penyulit mikroangiopati dan makro angiopati. Tujuan akhir pengelolaan

adalah turunnya morbiditas dan mortalitas diabetes. Untuk mencapai

tujuan tersebut perlu dilakukan pengendalian glukosa darah, tekanan

darah, berat badan, dan profil lipid, melalui pengelolaan pasien secara

komprehensif

Dalam penatalaksanaan diabetes melitus tipe 2 terdapat 5 pilar

menurut PERKENI (2011), yaitu:

a. Edukasi

Edukasi ini bertujuan untuk mempromosikan prilaku hidup sehat,

ini sangat perlu dilakukan untuk upaya pencegahan dan pengendalian

yang sangat penting dari pengelolaan DM secara holistik.


35

b. Terapi Nutrisi Medis

Terapi ini bagian penting dari penatalaksanaan diabetes melitus

tipe seecara komprehensif. Setiap penyandang diabetes melitus tipe 2

diberikan terapi nutrisi medis sesuai kebutuhan gunanya untuk

mencapai sasaran dari terapi.

c. Jasmani

Salah satu pilar dalam pengelolaan diabetes melitus tipe 2 adalah

latihan jasmani, latihan jasmani dapat dilakukan apabila tidak ada

komplikasi nefropati. latihan jasmani dapat dilakukan secara teratur

3-5 seminggu selama 30-45 menit, dengan total 150 menit

perminggu. 2 hari berturut-turut untuk jeda antar latihan. Latihan

jasmani yang dianjurkan berupa latihan jasmani yang bersifat aerobik

dengan intensitas sedang seperti, jalan cepat, bersepeda santai,

jogging, dan berenang.

d. Terapi Farmakologis

Terapi ini diberikan bersamaan dengan terapi nutrisi medis dan

latihan jasmani. Terapi farmakologis terdiri dari obat dan bentuk

suntikan.

e. Monitoring Glukosa

Pengobatan diabetes melitus tipe 2 harus dimonitor secara

terencana, yang dapat dilakukan yaitu, pemeriksaan kadar glukosa

darah tujuan dari ini untuk mengetahui apakah sasaran terapi telah

berhasil, pemeriksaan HbA1C ini untuk penilaian efek perubahan


36

terapi 8-12 minggu sebelumnya, pemaantauan glukosa darah mandiri

(PGDM) ini dianjurkan pada penyandang diabetes melitus yang

mendapatkan terapi insulin.

Penatalaksanaan pada pasien diabetes tipe 2 secara tepat dapat

mencegah atau memperlambat munculnya komplikasi yaitu dengan

menerapkan perilaku self-management dalam kehidupan sehari-hari

meliputi terapi nutrisi (diet sehat), latihan fisik, pemantauan, terapi

farmakologi dan pendidikan (Smeltzer, et al., 2008).

4. Manajemen diri diabetes

a. Definisi Manajemen Diri

Manajemen diri merupakan kemampuan diri dalam mempratekkan

potensi yang dimiliki untuk lebih teratur, produktif, memiliki

kepuasaan terhadap diri (Marshal & McHardy, 1999). Menurut Levich

(2007) menyatakan komponen inti pada seluruh penyakit kronis yaitu

manajemen diri, yang dapat memberikan hasil terbaik ketika

digunakan sebagai strategi. Manajemen diri diterapkan dalam berbagai

bidang salah satunya bidang kesehatan. Bidang kesehatan

menggunakan manajemen diri untuk penanganan diabetes.

b. Manajemen diri diabetes

Manajemen diri diabetes didefinisikan sebagai kemampuan

individu dengan diabetes untuk mengelola kadar glukosa darah

mereka, menjaga kebersihan pribadi, mengkonsumsi makanan yang


37

sesuai, mematuhi obat-obatan, dan mempertahankan tingkat aktivitas

fisik yang dapat diterima (Haas et al., 2012).

Penelitian Wattanakul tahun 2012, didapatkan hasil yaitu perilaku

Manajemen diri diabetes dasar adalah pemantauan glukosa darah,

perubahan waktu, frekuensi, dan isi makanan, perubahan pola latihan,

dan perawatan kaki. Sementara menurut penelitian Montague et al

tahun 2005, Manajemen diri diabetes menuntut keterlibatan berbagai

bidang perawatan, yaitu olahraga teratur, kontrol berat badan,

pemantauan glukosa darah terus menerus (SMGD), dan perilaku diet

sehat.

Berdasarkan berbagai hasil penelitian, Manajemen diri diabetes

khususnya pada diabetes melitus tipe 2 dapat dijabarkan menjadi

beberapa komponen, yaitu:

1. Diet

Diet adalah salah satu manajemen diabates yang merupakan

komponen penting (Gordon, 2007). Sutedjo (2010) mengatakan,

perencanaan serta penegelolaan pola makan yang baik merupakan

diet pada penderita diabetes melitus.

2. Monitoring Glukosa

Salah satu strategi untuk penderita diabetes melitus dengan

melihat kondisi kadar gula darah dalam tubuh yaitu monitoring

glukosa (ADA, 2013). Monitoring glukosa darah dapat dilakukan

degan menggunakan darah kapiler serta waktu monitoring glukosa


38

darah bervariasi tergantung pada tujuan pemeriksaan yang

umumnya terkait dengan terapi yang diberikan (Perkeni, 2011).

3. Olahraga/Aktivitas Fisik

Olahraga merupakan salah satu komponen penting dalam

pelaksanaan manajemen diri pada penderita diabetes. Olahraga

yang dianjurkan pada penderita diabetes melitus yaitu bersifat

aerobik seperti : jalan kaki (berjalan), bersepeda santai, jogging

dan berenang (Soegondo, 2005).

4. Perawatan Kaki

Penderita diabetes melitus harus selalu memperhatikan dan

menjaga kebersihan kaki, serta melatihnya secara baik walaupun

belum terjadi komplikasi (Dalimarta & Adrian, 2012). Bagian

tubuh penderita diabetes melitus yang sering mengalami perlukaan

adalah kaki, jika tidak dirawat dengan teratur dapat mengakibatkan

terjadinya infeksi bahkan sampai dilakukan amputasi. Penderita

penyakit diabetes melitus perlu melakukan perawatan diri pada

bagian kaki agar terhindar dari resiko terjadinya perlukaan pada

kaki

c. Pengukuran Manajemen diri diabetes

The Summary of Diabetes Self-care Activities (SDSCA) adalah

instrument yang digunakan untuk menilai kepatuhan yang dilaporkan

sendiri terhadap praktik perawatan diabetes dalam domain diet umum

(makan sehat), diet khusus (buah, sayuran, dan konsumsi lemak


39

tinggi), olahraga , tes glukosa darah, perawatan kaki, dan merokok

(Toobert et al., 2000). Ini adalah ukuran kepatuhan yang singkat dan

valid untuk aktivitas manajemen diri diabetes. Peserta diminta untuk

melaporkan jumlah hari selama tujuh hari terakhir bahwa mereka

melakukan setiap kegiatan.

Skor untuk setiap domain melaporkan jumlah hari rata-rata dalam

seminggu setelah kegiatan ini dilakukan. Skor dihitung menurut

panduan penulis. Setiap item diberi skor pada skala linier dari 1 hingga

7. Skor sub-skala dihitung dengan menjumlahkan skor pada setiap item

(setelah pengkodean terbalik dari item negatif) dan pembobotan

dengan jumlah item dalam skala. Skor yang lebih tinggi mencerminkan

manajemen diri diabetes yang lebih baik.

Subskala latihan dari ukuran ini sangat berkorelasi dengan

pengukuran aktivitas fisik lainnya yang telah divalidasi dan dengan

demikian telah terbukti sebagai ukuran subskala yang dapat diandalkan

dan valid (Toobert et al., 2000). Kuesioner SDSCA sudah banyak

digunakan oleh beberapa penelitian, contohnya pada penelitian oleh

Kexin et al tahun 2016 di Australia, penelitian oleh Annie et al tahun

2015 di Los Angeles, dan juga penelitian oleh Kurnia et al tahun 2017

di Indonesia. Instrumen ini akan digunakan dalam penelitian.

C. Hubungan Diabetes Melitus dengan Stroke

Diabetes dapat menyebabkan berbagai komplikasi serius jika tidak

ditangani dengan benar. Contohnya seperti retinopathy, penyakit ginjal


40

kronis, amputasi anggota tubuh, penyakit jantung dan stroke. Diabetes

memiliki 2 bentuk tipe I (yaitu, tipe tergantung insulin) dan tipe II (yaitu,

tipe insensitivitas insulin). Diabetes tipe II jauh lebih umum, terhitung

mayoritas (sekitar 90%) dari kasus. Kedua jenis diabetes dikaitkan dengan

peningkatan risiko CVD (Cardiovascular disease), tetapi mereka

menunjukkan pola yang berbeda. Sebagai contoh, individu dengan

diabetes tipe I lebih mungkin untuk menderita penyakit jantung koroner

dan penyakit arteri perifer. Sebaliknya, individu dengan diabetes tipe II

lebih cenderung mengalami obesitas, penyakit arteri perifer, aterosklerosis

arteri besar dan stroke (Putaala et al., 2017).

Studi epidemiologi telah menunjukkan bahwa diabetes adalah

faktor risiko independen yang kuat tetapi dapat dimodifikasi untuk stroke,

baik stroke iskemik dan hemoragik. Misalnya, temuan dari Emerging Risk

Factors Collaboration menunjukkan bahwa rasio hazard yang disesuaikan

(HRs) dengan diabetes adalah 2,27 (1,95-2,65) untuk stroke iskemik, 1,56

(1,19-2,05) untuk stroke hemoragik dan 1,84 (1,59-2,13) untuk stroke

yang tidak terklasifikasi. Ada beberapa kemungkinan mekanisme di mana

diabetes mengarah ke stroke. Yaitu, disfungsi endotel vaskular,

peningkatan kekakuan arteri usia dini, peradangan sistemik dan penebalan

membran basal kapiler. Abnormalitas pada pengisian diastolik ventrikel

awal umumnya terlihat pada diabetes tipe II. Mekanisme yang ditujukan

untuk gagal jantung kongestif pada diabetes tipe II termasuk penyakit


41

mikrovaskuler, gangguan metabolik, fibrosis interstisial, hipertensi dan

disfungsi otonom (Lee et al., 2017).

Fungsi endotel vaskular sangat penting untuk menjaga integritas

struktural dan fungsional dari dinding pembuluh darah serta kontrol

vasomotor. Vasodilatasi mediasi Nitricoxide (NO), dan penurunan

ketersediaannya dapat menyebabkan disfungsi endotel dan memicu

kaskade aterosklerosis. Misalnya, vasodilatasi mediasi NO terganggu pada

individu dengan diabetes, mungkin karena peningkatan inaktivasi NO atau

penurunan reaktivitas otot polos ke NO. Individu dengan diabetes tipe II

memiliki arteri yang lebih kaku dan penurunan elastisitas dibandingkan

dengan subjek yang memiliki kadar glukosa normal. Diabetes tipe I lebih

sering dikaitkan dengan kerusakan struktural awal dari arteri karotid

umum, umumnya tercermin sebagai peningkatan ketebalan intima-medial,

dan dianggap sebagai tanda awal aterosklerosis (Karapanayiotides et al.,

2004).

Respon inflamasi yang meningkat sering terlihat pada individu

dengan diabetes, peradangan memainkan peran penting dalam

perkembangan plak aterosklerotik. Protein C reaktif, sitokin dan

adiponektin adalah penanda serum utama peradangan. Protein C-reaktif

dan kadar plasma dari sitokin ini termasuk interleukin-1, interleukin 6 dan

tumor necrosis factor-α adalah prediktor independen dari risiko

kardiovaskular. Adiponektin tampaknya menjadi modulator metabolisme


42

lipid dan peradangan sistemik. Tingkat adiponektin yang rendah itu sendiri

juga dikaitkan dengan CVD (Chen et al., 2016).

Diabetes yang tidak terkontrol membuat subjek berisiko terkena

stroke iskemik dan hemoragik. Ada pola klinis spesifik stroke iskemik

pada individu dengan diabetes. Untuk contoh, individu dengan diabetes

lebih cenderung memiliki kelemahan anggota tubuh dan disartria sebagai

tanda infark lakunar bila dibandingkan dengan mereka tanpa diabetes. Di

Lausanne Stroke Registry antara tahun 1983 dan 2002, pasien dengan

diabetes memiliki prevalensi subkemik yang relatif lebih tinggi dan lebih

rendah prevalensi relatif perdarahan intra-otak (ICH) . Dalam penelitian

lain, perbedaan signifikan diamati pada pasien dengan stroke iskemik

bersama dengan diabetes dibandingkan dengan non diabetes dengan

frekuensi yang lebih tinggi dari infark lacunar dan hipertensi (Khoury et

al., 2013).

Bagan 2.1

Skema Hubungan DM dengan Stroke (Chen et al., 2016)


43

BAB III

KERANGKA KONSEP

A. Kerangka Teori

Stroke didefinisikan sebagai gangguan saraf permanen akibat

terganggunya peredaran darah ke otak, yang terjadi sekitar 24 jam atau

lebih. Sindrom klinis ini terjadi secara mendadak serta bersifat progresif

sehingga menimbulkan kerusakan otak secara akut degan tanda klinis yang

terjadi secara fokal dan atau global. Kerusakan pembuluh darah otak

menyebabkan suplai darah menuju ke otak terhenti sehingga menyebabkan

insiden yang mengarah pada defisit neorologis (Lingga, 2013).

Salah satu faktor resiko terjadinya stroke adalah Diabetes Melitus.

Pada penyakit diabetes melitus terjadi gangguan atau kerusakan vaskular

baik yang pembuluh darah besar maupun pembuluh darah kecil karena

hiperglikemia sehingga aliran darah menjadi lambat, termasuk juga

hambatan dalam aliran darah ke otak (Tarwoto, 2013). Diabetes melitus

menyebabkan kadar lemak darah meningkat karena konversi lemak tubuh

yang terganggu. Bagi penderita diabetes melitus peningkatan kadar lemak

darah sangat menigkatkan risiko penyakit jantung dan stroke. Diabetes

melitus mempercepat terjadinya ateroklerosis baik pada pembuluh darah

kecil maupun pembuluh darah besar di seluruh pembuluh darah termasuk

pembuluh darah otak dan jantung (Junaidi, 2011).


44

Untuk mencegah terjadinya komplikasi khususnya stroke pada

pasien diabetes melitus, maka perlu dilakukan penatalaksanaan.

Penatalaksanaan pada pasien diabetes tipe 2 secara tepat dapat mencegah

atau memperlambat munculnya komplikasi yaitu dengan menerapkan

perilaku manajemen diri dalam kehidupan sehari-hari meliputi terapi

nutrisi (diet sehat), latihan fisik, pemantauan, terapi farmakologi dan

pendidikan (Smeltzer et al., 2008). Manajemen diri diabetes didefinisikan

sebagai kemampuan individu dengan diabetes untuk mengelola kadar

glukosa darah mereka, menjaga kebersihan pribadi, mengkonsumsi

makanan yang sesuai, mematuhi obat-obatan, dan mempertahankan

tingkat aktivitas fisik yang dapat diterima (Haas et al., 2012).

Pada diabetes melitus tipe 2, aktivitas fisik dan olahraga berperan

dalam pengaturan kadar glukosa darah. Aktivitas fisik dan olahraga

membantu penderita diabetes melitus mengontrol berat badan yang

merupakan indikator penunjuk penderita diabetes melitus. Penderita

diabetes melitus memiliki terlalu banyak glukosa dalam darah akibat

kekurangan insulin, hormon yang membantu sel menyerap glukosa.

Olahraga dapat membantu melarutkan pembekuan darah lebih mudah.

Tingginya tingkat insulin dalam darah memungkinkan terjadi pembekuan

darah lebih mudah karena itu mengapa diabetes erat kaitannya dengan

penyakit Kardiovaskuler, yang dapat menyebabkan terjadinya stroke

(Ilyas, 2011).
45

Merokok dan konsumsi alkohol juga dapat memperburuk kontrol

glikemik pasien diabetes (Ario, 2014). Nikotin dikenal sebagai bahan

kimia aktif pada rokok yang bertanggung jawab untuk terjadinya diabetes,

sementara alkohol yang dikonsumsi akan meningkatkan kadar gula dalam

darah karena alkohol akan mempengaruhi kinerja hormon insulin

(Tjokroprawiro, 2011).

Stres juga merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi

kontrol glikemik pasien diabetes. Kehidupan yang penuh dengan stres

akan berpengaruh terhadap fluktuasi glukosa darah meskipun telah

diupayakan diet, latihan fisik maupun pemakaian obat-obat an dengan

secermat mungkin (Isselbacher, dkk. 2012).


46

Stroke dengan Faktor yang tidak dapat dikontrol:


Diabetes Melitus
a. Umur
b. Jenis kelamin
c. Riwayat Penyakit Keluarga

Faktor yang dapat dikontrol:


a. Merokok
b. Konsumsi Alkohol
c. Obesitas
d. Aktivitas Fisik
e. Stres
f. Manajemen diri diabetes

Diabetes Melitus

Bagan 3.1

Kerangka Teori

(ADA, 2013; Perkeni, 2011; Schmitt et al., 2013; Tarwoto, 2013; Riyadina &
Rahajeng, 2013)
47

B. Kerangka Konsep

Kerangka konsep merupakan abstraksi dari suatu realitas agar

dapat dikomunikasikan dan membentuk suatu teori yang menjelaskan

keterkaitan antar variabel (Nursalam, 2011). Kerangka konsep penelitian

ini adalah sebagai berikut:

Variabel Independen Variabel Dependen

Manajemen diri diabetes

Aktivitas Fisik

Stroke dengan
Merokok Diabetes Melitus

Konsumsi Alkohol

Tingkat Stres

Bagan 3.2

Kerangka Konsep
48

BAB IV

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kuantitatif dengan

menggunakan pendekatan cross-sectional yang bertujuan untuk membuat

gambaran atau deskripsi tentang suatu keadaan secara objektif dalam satu

waktu (Notoatmodjo, 2010), yaitu untuk mengetahui gambaran dari faktor

risiko pasien stroke dengan diabetes melitus.

B. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi adalah keseluruhan objek penelitian atau objek yang

diteliti (Nursalam, 2011). Populasi dalam penelitian ini adalah semua

pasien stroke dengan diabetes melitus di RSI Siti Rahmah pada tahun

2017 yaitu sebanyak 107 orang.

2. Sampel

Sampel merupakan bagian populasi yang akan diteliti atau

sebagian jumlah dari karakteristik yang dimiliki oleh populasi

(Notoatmodjo, 2010). Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini

adalah insidential sampling. Sampling insidential adalah penentuan

sampel yang diambil berdasarkan kebetulan bertemu dengan peneliti

dan memenuhi kriteria inklusi yang ada.


49

Dengan kriteria responden sebagai berikut:

a. Kriteria inklusi

1) Merupakan pasien Stroke dengan riwayat penyakit Diabetes

Melitus

2) Pasien mampu berbicara dan kooperatif

3) Bersedia menjadi responden

b. Kriteria ekslusi

1) Pasien dengan penurunan kesadaran

2) Pasien dengan gangguan psikis dan kognitif

3) Tidak bersedia menjadi responden

C. Tempat dan waktu penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April sampai Juli 2018.

Penelitian dilakukan di RSI Siti Rahmah Padang.

D. Variabel dan Definisi Operasional

1. Variabel

Variabel adalah karakteristik yang memberikan nilai beda terhadap

sesuatu (Nursalam, 2011). Variabel penyebab (independen) dalam

penelitian ini adalah manajemen diri diabetes, aktivitas fisik, merokok,

konsumsi alkohol, tingkat stres, sedangkan variabel sebab (dependen)

yaitu Stroke dengan diabetes melitus.


50

2. Definisi Operasional

Tabel 4.1 Definisi Operasional Penelitian

No Variable Definisi operasional Alat ukur Cara ukur Hasil ukur Skala
1. Independen: Manajemen diri Kuesioner The Wawancara Skor minimum 0 Rasio
Manajemen terhadap diabetes dari Sumarry of terpimpin dan skor maksimum
diri diabetes responden yang Diabetes Self- 71, semakin tinggi
terdiri dari diet, care Activities skor yang didapat
latihan, monitor gula maka manajemen
darah, perawatan diri semakin baik
kaki, dan merokok

2. Independent: Aktivitas fisik yang Kuesioner Wawancara Aktivitas Ringan Ordinal


Tingkat dilakukan oleh tentang terpimpin =<600 METs-
aktivitas responden, yang aktivitas fisik min/minggu
dialami pasien stroke yaitu Aktivitas Sedang
dengan diabetes International >=600 – 1500
melitus Physical METs-min/minggu
Activities Aktivitas Berat =
Questionnaire >1500METs-
(IPAQ) min/minggu
3. Independen: Perilaku pasien yang Kuesioner dan Angket 1. Tidak Ordinal
Merokok sering merokok atau Indeks Perokok
pasien pernah Brinkman (IB) 2. Perokok
merokok Pasif
3. Perokok
Ringan
(<200)
4. Perokok
Sedang
(200-599)
5. Perokok
Berat
(>600)
4. Independen: Perilaku pasien yang Kuesioner Angket 1. Konsumsi Ordinal
Konsumsi sering mengonsumsi alkohol
Alkohol alkohol atau pernah 2. Tidak
mengonsumsi alkohol konsumsi
alkohol
5. Independen: Tingkat dari stress Kuesioner Wawancara 1.Stres (skor >=15) Ordinal
Tingkat stres yang dialami oleh Perceived terpimpin 2.Tidak stres (skor
pasien stroke dengan Stress Scale <15).
diabetes melitus (PSS) Cohen
(1983)
51

E. Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian adalah alat-alat yang akan digunakan untuk

mengumpulkan data (Notoaatmodjo, 2005). Dalam penelitian ini, peneliti

menggunakan alat pengumpulan data berupa kuesioner yang diperoleh

berdasarkan penelitian dari peneliti sebelumnya. Kuesioner yang

digunakan dalam penelitian ini adalah :

1. The Summary of Diabetes Self-Care Activities (SDSCA)

The Summary of Diabetes Self-care Activities (SDSCA) adalah

instrument yang digunakan untuk menilai kepatuhan yang dilaporkan

sendiri terhadap praktik perawatan diabetes dalam domain diet umum

(makan sehat), diet khusus (buah, sayuran, dan konsumsi lemak

tinggi), olahraga ,monitor glukosa darah, perawatan kaki, dan merokok

(Toobert et al., 2000). Ini adalah ukuran kepatuhan yang singkat dan

valid untuk aktivitas manajemen diri diabetes. Peserta diminta untuk

melaporkan jumlah hari selama tujuh hari terakhir bahwa mereka

melakukan setiap kegiatan.

Skor untuk setiap domain melaporkan jumlah hari rata-rata dalam

seminggu setelah kegiatan ini dilakukan. Skor dihitung menurut

panduan penulis. Setiap item diberi skor pada skala linier dari 1 hingga

7. Skor sub-skala dihitung dengan menjumlahkan skor pada setiap item

(setelah pengkodean terbalik dari item negatif) dan pembobotan

dengan jumlah item dalam skala. Skor yang lebih tinggi mencerminkan

manajemen diri diabetes yang lebih baik.


52

Subskala latihan dari ukuran ini sangat berkorelasi dengan

pengukuran aktivitas fisik lainnya yang telah divalidasi dan dengan

demikian telah terbukti sebagai ukuran subskala yang dapat diandalkan

dan valid (Toobert et al., 2000). Kuesioner SDSCA sudah banyak

digunakan oleh beberapa penelitian, contohnya pada penelitian oleh

Kexin et al tahun 2016 di Australia, penelitian oleh Annie et al tahun

2015 di Los Angeles, dan juga penelitian oleh Kurnia et al tahun 2017

2. International Physical Acitivities Questionnaire (IPAQ)

International Physical Activity Questionnaire (IPAQ) adalah salah

satu jenis kuesioner yang dapat digunakan untuk mengukur aktivitas

fisik seseorang. Kuesioner ini berisikan pertanyaan tentang jenis

aktivitas durasi dan frekuensi seseorang melakukan aktivitas fisik

dalam 7 hari terakhir. Terdiri dari 27 item yang terbagi menjadi 5

bagian, yaitu Aktivitas fisik yang berhubungan dengan pekerjaan,

aktivitas fisik yang berhubungan dengan transportasi, aktivitas fisik di

dalam dan di luar rumah, aktivitas fisik di waktu luang, dan tanpa

aktivitas (duduk). Kuesioner ini telah di uji validitas dan reliabilitas di

14 tempat dari 12 negara. Didapatkan nilai α = 0,80 berdasarkan hasil

penelitian Craig et al tahun 2003.

Kategori aktivitas fisik menurut IPAQ :

a. Aktivitas ringan jika tidak melakukan aktivitas fisik tingkat sedang-

berat <10 menit/hari atau <600METs-min/minggu


53

b. Aktivitas sedang terdiri dari 3 kategori :

1) ≥3 hari melakukan aktivitas fisik berat >20 menit/hari

2) .≥5 hari melakukan aktivitas sedang/berjalan >30 menit/hari

3) ≥5 hari kombinasi berjalan intensitas sedang, aktivitas berat

minimal>600 METs min/minggu

c. Aktivitas berat (2 kategori)

1) Aktivitas berat >3 hari dan dijumlahkan >1500 METs-

min/minggu

2) .≥7 hari berjalan kombinasi dengan aktivitas sedang/berat dan

total METs >3000 METs min/minggu (Booth et al., 2003).

3. The Perceived Stress Scale (PSS)

The Perceived Stress Scale (PSS) adalah instrumen penilaian stres

yang klasik. Dipublikasikan oleh Cohen (1983). Jumlah pertanyaan

ada 14 buah pertanyaan dengan kode selalu dengan skor 4, sering

dengan kode 3, kadang-kadang dengan kode 2, jarang dengan kode 1,

dan tidak pernah dengan kode 0. Maka penilaian terdiri dari 3 ketegori

yaitu: Stres ringan (total skor 1-14), Stress sedang (total skor 15-26),

Stress berat (total skor >26). Kuesioner ini telah digunakan oleh

Andreou et al tahun 2011 dengan nilai α = 0,82.


54

F. Etika Penelitian

Dalam melaksanakan penelitian ada beberapa prinsip menurut

Notoatmodjo (2010) :

1. Menghormati harkat dan martabat.

Prinsip ini menghormati setiap individu memiliki otonomi dan hak

membuat keputusan secara sadar dan dipahami dengan baik. Peneliti

akan menjamin bahwa responden yang memberikan data tidak akan

merugi.

2. Menghormati privasi dan kerahasiaan subjek penelitian.

Setiap orang memiliki hak dalam memberikan informasi dan berhak

untuk tidak memberikan apa yang diketahuinya kepada orang lain. Oleh

karena itu, peneliti akan menjaga kerahasiaan responden dengan tidak

menampilkan identitas responden.

3. Keadilan dan inklusivitas / keterbukaan.

Seseorang berhak untuk dipilih dan terlibat dalam penelitian tanpa

deskriminasi serta mendapat penanganan yang sama. Peneliti berusaha

tidak membeda-bedakan subjek dalam penelitian ini.

4. Memperhitungkan manfaat dan kerugian yang ditimbulkan.

Responden berhak mendapatkan perlindungan dari ketidaknyamanan

dan kerugian, karena itu peneliti berusaha mengurangi kerugian dalam

suatu penelitian.
55

G. Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data adalah suatu proses pendekatan kepada subjek

dan pengumpulan karakteristik subjek yang diperlukan dalam suatu

penelitian. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini

adalah kuesioner. Responden diarahkan untuk menjawab pertanyaan yang

ada di kuesioner. Pengisian kuesioner dilakukan oleh peneliti dan

responden.

Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data primer dan

data sekunder, yaitu :

1. Data primer yaitu data yang diperoleh langsung dari responden dengan

pembagian kuesioner.

2. Data sekunder yaitu data yang diperoleh dari rekam medis RSI Siti

Rahmah Padang.

Langkah-langkah pengumpulan data dengan kuesioner mengikuti

prosedur dibawah ini :

1. Peneliti pergi ke RSI Siti Rahmah Padang untuk melihat data tentang

pasien stroke dengan riwayat diabetes melitus.

2. Sebelum pengisian kuesioner peneliti menjelaskan mengenai identitas

peneliti dan tujuan penelitian.

3. Responden yang sesuai dengan kriteria inklusi menandatangani

informed consent yang telah disetujui.

4. Responden mengisi kuesioner yang diberikan peneliti.

5. Setelah diisi responden kuesioner diambil kembali oleh peneliti.


56

H. Teknik Pengumpulan Data dan Analisa Data

1. Teknik Pengumpulan Data

Pengolahan data dilakukan setelah pengumpulan data selesai

dilakukan. Terdapat beberapa langkah dalam pengolahan dengan

menggunakan computer yaitu: (Notoatmodjo, 2010)

a. Editing (pemeriksaan data)

Semua kuesioner yang telah selesai diperiksa kembali, apakah semua

pertanyaan sudah terjawab dengan baik.

b. Coding (pengolahan data)

Data diubah dalam bentuk kalimat atau huruf menjadi data angka

atau bilangan.

c. Entry (memasukkan data)

Memasukkan data dalam tabel disesuaikan dengan teknik analisa

yang digunakan.

d. Cleaning (membersikan data)

Setelah dimasukkan, data diperiksa kembali sehingga benar-benar

bersih dari kesalahan.

e. Tabulating (tabulasi data)

Menyusun data dalam bentuk tabel distribusi frekuensi kemudian

dideskriptifkan dengan menggunakan skala ukur yang ditetapkan

tabel distribusi frekuensi digunakan untuk menyajikan data masing-

masing variabel.
57

2. Analisa Data Univariat

Analisa univariat dilakukan pada suatu variabel dari hasil

penelitian, yang bertujuan untuk menjelaskan atau mendeskripsikan

karakteristik setiap variabel penelitian. Pada umumnya dalam analisis

ini hanya menghasilkan distribusi dan persentase dari tiap variabel

yang diteliti (Notoatmodjo, 2010) yaitu manajemen diri diabetes,

aktivitas fisik, merokok, konsumsi alkohol, dan stres.


58

BAB V

HASIL PENELITIAN

A. Gambaran Umum Penelitian

Penelitian ini membahas tentang gambaran faktor risiko pasien

stroke dengan diabetes melitus di ruang rawat penyakit dalam RSI Siti

Rahmah Padang pada tahun 2018. Sampel dalam penelitian ini adalah

pasien stroke dengan diabetes melitus di ruang rawat penyakit dalam RSI

Siti Rahmah Padang pada bulan Mei – Juli 2018. Teknik pengambilan

sampel yang digunakan adalah insidensial sampling dengan jumlah sampel

yang didapat sebanyak 31 orang.

Pengumpulan data ini dilaksanakan pada 21 Mei – 8 Juli 2018 di

ruang rawat penyakit dalam RSI Siti Rahmah Padang dengan wawancara

terpimpin menggunakan lembaran kuesioner. Lembaran kuesioner ini

terdiri dari identitas responden, riwayat konsumsi rokok dan alkohol pada

pasien, dan item pertanyaan mengenai manajemen diri diabetes dengan

menggunakan kuesioner SDSCA (Summary of Diabetes Self Care

Activities), aktivitas fisik dengan menggunakan kuesioner IPAQ

(International Physical Acitivities Questionnaire), dan tingkat stres pasien

dengan menggunakan PSS (Perceived Stress Scale). Data yang diperlukan

untuk penelitian lengkap dan layak dipergunakan dalam analisa penelitian.


59

B. Analisa Univariat

1. Karakteristik Responden

Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden Pasien


Stroke dengan Diabetes Melitus di RSI Siti Rahmah
Tahun 2018 (n=31)
Karakteristik Frekuensi (%)
Umur
- 35 - 44 6 19.4
- 45 - 54 3 9.7
- >55 22 71.0
Jenis Kelamin
- Perempuan 18 58.1
- Laki-laki 13 41.9
Pekerjaan
- Tidak Bekerja 20 64.5
- PNS 1 3.2
- Wiraswasta 7 22.6
- Petani 2 6.5
- Buruh 1 3.2
Riwayat Kesehatan Keluarga Terkait
DM
17 54.8
- Tidak Ada
14 45.2
- Ada
Lama Menderita DM
- <1 tahun 7 22.6
- 1 – 5 tahun 16 51.6
- >5 tahun 8 25.8
Serangan Stroke
- Serangan Pertama 27 87.1
- Serangan Berulang (>1) 4 12.9
Lingkar Perut
- Obesitas Sentral 24 77.4
- Tidak Obesitas Sentral 7 22.6
Merokok
- Tidak Perokok 5 16,1
- Perokok Pasif 13 41.9
- Perokok Berat 13 41.9
Konsumsi Alkohol
- Tidak konsumsi alkohol 27 87,1
- Konsumsi alkohol 4 12,9
Manajemen Diri Diabetes
- Buruk 16 51,6
- Baik 15 48,4
Aktivitas Fisik
- Aktivitas ringan 5 16,1
- Aktivitas sedang 6 19,4
- Aktivitas berat 20 64,5
Stres
- Stres 24 77,4
- Tidak stres 7 22,6
60

Berdasarkan tabel 5.1 diketahui bahwa responden dengan usia >55

tahun lebih banyak (71%) dibandingan dengan responden yang berusia 35-

44 tahun (19,4%) dan 45-54 (9,7%), lebih dari separuhh responden (58.1

%) berjenis kelamin perempuan, lebih dari separuh responden (64.5 %)

tidak bekerja, lebih dari separuh responden (54,8 %) tidak ada riwayat

penyakit DM di keluarganya, lebih dari separuh responden (51,6 %) telah

menderita DM selama 1 – 5 tahun, sebagian besar responden (87,1%)

mengalami stroke serangan pertama, dan sebagian besar responden (77.4

%) mengalami obesitas sentral.

Berdasarkan Tabel 5.1 diketahui bahwa kurang dari setengah

responden (41,9%) merupakan perokok berat dan juga kurang dari

setengah merupakan perokok pasif (41,9%) dan sisa nya responden tidak

perokok (16,1%).Berdasarkan Tabel 5.1 diketahui bahwa sebagian besar

responden (87,1%) tidak mengonsumsi alkohol. Berdasarkan Tabel 5.1

diketahui bahwa lebih dari separuh responden (51,6%) memiliki

manajemen diri diabetes yang buruk. Berdasarkan Tabel 5.1 diketahui

bahwa lebih dari separuh responden (64,5%) melakukan aktivitas yang

berat. Berdasarkan Tabel 5.1 diketahui bahwa sebagian besar responden

(77,4%) mengalami stres.


61

BAB VI

PEMBAHASAN

A. Manajemen Diri Diabetes

Hasil penelitian mengenai manajemen diri diabetes pada pasien

stroke dengan diabetes melitus di Ruang Rawat Inap Penyakit Dalam RSI

Siti Rahmah Padang tahun 2018 menunjukkan bahwa responden memiliki

manajemen diri yang cenderung buruk sebanyak 51,6%. Hasil ini sejalan

dengan penelitian Singh (2017) yang menunjukkan bahwa responden

stroke dengan DM memiliki manajemen diabetes yang cenderung buruk

dibandingkan dengan yang cenderung baik.

Penelitian ini menggunakan kuesioner dengan 5 domain yaitu diet,

latihan fisik, monitor gula darah, perawatan kaki dan merokok. Dari hasil

penelitian, pada domain diet sebanyak 64,5% responden tidak mengelola

dietnya dengan baik, rata-rata responden mengikuti pola diet sehat

sebanyak 5,90 kali seminggu. Dalam domain latihan fisik sebanyak 51,6%

responden tidak mengelola latihan fisiknya dengan baik. Rata-rata

responden melakukan latihan fisik sebanyak 3,60 kali seminggu dan rata-

rata responden mengikuti sesi latihan fisik tertentu seperti berenang atau

bersepeda sebanyak 1,50 kali seminggu. Dalam domain monitor gula

darah sebanyak 96,8% responden tidak mengontrol kadar gula darahnya

dengan baik. Rata-rata responden melakukan kontrol gula darah 0,79 kali

dalam seminggu. Dalam domain perawatan kaki sebanyak 67,7%

responden tidak melakukan perawatan kaki dengan baik. Rata-rata


62

responden melakukan perawatan kaki sebanyak 1,21 kali seminggu. Dan

dalam domain merokok rata-rata responden tidak mengonsumsi rokok.

Menurut Perkeni (2015) aktivitas dari manajemen diri diabetes sebaiknya

dilakukan secara konsisten setiap minggu nya agar tercapai kontrol

glikemik yang optimal yang dapat mencegah timbulnya berbagai

komplikasi seperti stroke.

Dari keenam domain tersebut didapatkan hasil bahwa domain

monitor gula darah mendapatkan presentase yang paling kecil yaitu

sebanyak 3,2% sementara untuk domain latihan fisik mendapatkan

presentase paling besar yaitu sebanyak 48,4%. Chen et al (2016)

menunjukkan bahwa risiko stroke paling besar pada pasien diabetes

dikarenakan kadar gula darah yang tidak seimbang yang dapat disebabkan

oleh tidak terkontrolnya manajemen diri diabetes pasien tersebut. Kadar

gula darah yang tidak seimbang salah satunya adalah terjadinya

hiperglikemi. Hiperglikemi mempengaruhi kerja otak dan juga pembuluh

darah yang akan meningkatkan risiko terjadinya stroke. Jadi didapatkan

temuan bahwa manajemen diri diabetes responden yang dihasilkan adalah

cenderung buruk terutama pada domain monitor kadar gula darah yang

memang merupakan faktor risiko penting terjadinya stroke dengan

diabetes melitus.

Dari hasil penelitian ini didapatkan responden dengan manajemen

diri diabetes yang cenderung buruk dengan sebagian besar responden

berusia >55 tahun sebanyak 11 orang. Berdasarkan hasil karakteristik


63

responden dilihat dari umur proporsi tertinggi adalah pada umur >55 tahun

sebanyak 71%. Hasil ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Guo

(2018) tentang faktor gaya hidup dan gender dengan resiko stroke dengan

diabetes yaitu hasil penelitian menunjukkan bahwa usia paling dominan

yaitu pada usia >55 tahun. Hasil ini juga dijelaskan oleh Junaidi (2011)

yaitu seiring pertambahan usia terjadi penurunan fungsi sel, jaringan dan

organ sebagai proses fisiologis penuaan, penuaan mengakibatkan

penurunan elastisitas pembuluh darah yang memperbesar kemungkinan

terjadinya aterosklerosis sebagai penyebab stroke yang diperberat lagi oleh

diabetes melitus.

Namun meskipun responden sebagian besar berada pada usia >55

tahun, ternyata sudah didapatkan sebanyak 19, 4% responden pada rentang

usia 35 – 44 tahun. Hal ini membuktikan bahwa terjadinya stroke dengan

diabetes melitus telah menyerang seluruh kalangan umur bahkan pada

umur yang masih terbilang muda. Hasil ini sejalan dengan terbitan Journal

of the American Heart (JAHA) tahun 2016 menyatakan bahwa terjadi

peningkatan stroke pada individu yang berusia 25 sampai 44 tahun

menjadi 43,8% (JAHA, 2016). Dalam kasus stroke dengan diabetes

melitus, hal ini dapat dipicu oleh buruknya manajemen diri diabetes pada

individu itu sendiri, dan faktor gaya hidup yang tidak baik seperti

merokok, konsumsi alkohol dan stres yang tinggi. Hal ini sejalan dengan

yang dikatakan dalam Kemala (2017) bahwa faktor risiko stroke pada usia

dewasa muda yaitu pada usia <40 tahun dikarenakan perubahan gaya
64

hidup seperti mengonsumsi makanan siap saji yang mengandung kadar

lemak tinggi, merokok, konsumsi alkohol, kurang olah raga, kerja

berlebihan dan stress, riwayat diabetes mellitus dan hiperkolesterolemia.

Selanjutnya dalam penelitian ini, responden dengan manajemen

diri diabetes yang cenderung buruk lebih dari separuh adalah perempuan.

Responden perempuan berjumlah 12 orang sementara responden laki-laki

berjumlah 4 orang. Hal ini sejalan dengan penelitian Asrikan (2016) yang

menunjukkan bahwa lebih dari separuh responden adalah perempuan

sebanyak 24 orang sementara laki-laki sebanyak 19 orang.

Responden dengan manajemen diri diabetes yang cenderung buruk

sebagian besar memiliki tubuh dengan obesitas sentral yaitu sebanyak 11

orang. Berdasarkan hasil karakteristik responden dilihat dari lingkar perut

proporsi tertinggi adalah obesitas sentral sebanyak 77,4%. Hasil ini sejalan

dengan penelitian Guo (2018) yang menunjukkan bahwa responden

sebagian besar mengalami obesitas. Hal ini diperkuat lagi oleh hasil

penelitian Olofindayo (2015) bahwa responden stroke dengan DM dan

obesitas sentral sebanyak 11,1% lebih banyak dibandingkan dengan

responden stroke tanpa DM maupun obesitas sentral sebanyak 4,10%.

Dihasilkan bahwa seseorang yang mengidap DM dan obesitas sentral

secara siginfikan memiliki 73% risiko lebih besar untuk terserang stroke

dibandingkan dengan yang tidak mengidap DM dan obesitas sentral. Hal

ini dikarenakan obesitas sentral menyebabkan produksi yang tidak


65

seimbang dari beberapa produk metabolik yang berpotensi mempengaruhi

hampir semua organ dan jaringan tubuh.

Responden dengan manajemen diri diabetes yang cenderung buruk

sebagian besar telah menderita DM selama >1 tahun sebanyak 11 orang.

Penelitian ini juga sejalan dengan hasil penelitian Aslinda (2017) yang

menunjukkan bahwa manajemen diri diabetes responden lebih dari

separuh cenderung buruk dengan presentase sebanyak 51,8% dan telah

menderita DM selama >1 tahun. Dalam penelitian ini berdasarkan hasil

karakteristik responden dilihat dari lama menderita DM proporsi tertinggi

adalah 1 – 5 tahun sebanyak 51,6%. Hasil ini sejalan dengan penelitian

Asrikan (2016) yang menunjukkan bahwa lama menderita responden

sebagian besar adalah selama 1 – 5 tahun.

Menurut Junianty (2011) semakin lama responden menderita DM

maka akan semakin mungkin responden untuk terkena komplikasi akibat

DM yang dideritanya. Hal ini dikarenakan berdasarkan Luitse (2012)

dikatakan bahwa semakin lama seseorang mengidap DM maka akan

semakin tidak terkontrol kadar gula darah nya, namun hal ini juga

bergantung pada pengelolaan kadar gula darah dari individu tersebut. Hal

ini sejalan dengan hasil penelitian Lin et al (2017) menunjukkan bahwa

manajemen diri diabetes yang buruk sangat berpengaruh pada kontrol

glikemik responden. Dikatakan bahwa semakin lama seseorang mengidap

DM maka akan semakin memperburuk kontrol glikemiknya. Sratton

(2000) mengatakan bahwa kontrol glikemik yang buruk akan


66

menyebabkan komplikasi yang serius yaitu salah satunya stroke. Junianty

(2011) juga menunjukkan pengelolaan gula darah yang tak terkontrol akan

menyebabkan hiperglikemia berulang yang akan berdampak pada

komplikasi seperti stroke dan pada individu yang telah menderita stroke

dengan riwayat DM yang sudah kronis dengan pengelolaan DM yang tidak

terkontrol akan meningkatkan risiko terjadinya serangan stroke berulang.

Seperti hal nya hasil penelitian ini didapatkan bahwa responden dengan

manajemen diri yang buruk meskipun sebagian besar merupakan

responden dengan serangan stroke pertama sebanyak 24 orang namun

ternyata ada beberapa responden dengan serangan berulang >1 kali

sebanyak 4 orang. Hal ini menunjukkan pentingnya melakukan

manajemen diri diabetes pada responden stroke dengan diabetes untuk

mencegah terjadinya serangan stroke berulang.

Penelitian ini menunjukkan bahwa pasien stroke dengan diabetes

melitus yang memiliki manajemen diri diabetes yang cenderung buruk

terutama pada domain gula darah yang didukung oleh beberapa faktor

seperti umur yang semakin menua, berjenis kelamin perempuan, memiliki

tubuh obesitas sentral ditambah dengan lama menderita DM yang sudah

kronis akan memperburuk kontrol glikemik yang berpengaruh pada

kondisi stroke yang dialaminya, jika semakin lama kondisi tersebut

dipertahankan maka akan meningkatkan risiko terjadinya serangan stroke

berulang. Hal ini sesuai dengan yang dikatakan oleh Luitse (2012) bahwa

risiko terjadinya serangan stroke berulang akan meningkat pada pasien


67

dengan diabetes melitus dibandingkan dengan yang tidak terutama yang

sudah melewati jangka panjang pasca stroke (>1 tahun) dengan gaya hidup

dan manajemen diri yang buruk.

B. Aktivitas Fisik

Hasil penelitian mengenai aktivitas fisik pasien stroke dengan

diabetes melitus di Ruang Rawat Inap Penyakit Dalam RSI Siti Rahmah

tahun 2018 menunjukkan bahwa sebagian besar responden (64,5%)

melakukan aktivitas fisik yang berat, 19,4% melakukan aktivitas sedang

dan hanya 16,1% responden yang melakukan aktivitas ringan. Hasil ini

sejalan dengan penelitian Guo (2018) yang menunjukkan bahwa

responden tidak kurang dalam melakukan aktivitas fisik yaitu sebanyak

60% pada laki-laki dan 59% pada perempuan.

Dalam penelitian ini, responden lebih dari separuh melakukan

aktivitas fisik yang berat. Hal ini menunjukkan bahwa aktivitas fisik yang

berat menimbulkan stroke dengan diabetes melitus. Dalam kasus ini

didapatkan bahwa aktivitas fisik yang dilakukan responden adalah

aktivitas fisik yang berlebihan. Melalui International Physical Activities

Questionnaire (IPAQ) dengan 5 domain yaitu aktivitas fisik berhubungan

dengan pekerjaan, transportasi, aktivitas fisik di rumah dan lingkungan

rumah, aktivitas fisik di waktu luang, dan duduk. Tidak semua individu

akan melakukan kadar latihan fisik yang sama, sehingga latihan fisik pun

dibagi sesuai intensitasnya. Intensitas latihan fisik didasarkan besar energi

yang digunakan dalam latihan tersebut. Berbagai macam pengukuran


68

dilakukan untuk menilai apakah intensitas yang dilakukan seseorang

tergolong kategori ringan, sedang atau berat. Pengukuran intensitas latihan

dilakukan dengan beberapa macam cara yaitu skala Metabolic equivalents

(METS), Maximum Heart Rate (HRmax), Heart Rate Reserve (HRR), dan,

VO2max. Penelitian ini menggunakan cara ukur METs. METs menjadi

parameter untuk menemukan aktivitas mulai dari sedentary seperti duduk

atau istirahat sampai aktivitas ekstrim yang berintensitas tinggi seperti

pada atlet (Hariyanto, 2013).

Didapatkan hasil responden melakukan aktivitas fisik dengan skor

maksimum yaitu 12363 METs, skor minimal untuk mencapai aktivitas

berat adalah >1500 METs. Hasil itu menunjukkan bahwa responden

melakukan aktivitas fisik yang berlebihan. Dari hasil penelitian ini

didapatkan bahwa sebagian besar responden tidak mengelola aktivitas nya

dengan baik. Responden lebih dari separuh melakukan olahraga yaitu

marathon setiap pagi atau sore setiap harinya namun tidak mengontrol

pencapaian METs yang seharusnya. Responden kurang dari separuh

melakukan aktivitas yang ringan dan lebih banyak duduk di rumah yang

berefek pada kontrol glukosa pada tubuh. Berdasarkan hasil penelitian

yang didapat, responden sebagian besar melakukan aktivitas fisik yang

berlebihan dan tidak terkontrol dan kurang dari separuh melakukan

aktivitas fisik yang ringan atau kurang aktivitas, ini dapat memicu

terjadinya stroke dengan diabetes melitus. Hasil penelitian ini sejalan

dengan penelitian oleh Paramitha (2014) yang menunjukkan bahwa


69

responden sebanyak 94,9% melakukan aktivitas sedang – berat yaitu

dengan nilai >600 dan >1500 METs. Hasil ini didukung lagi oleh

penelitian Widodo et al (2016) yang menunjukkan bahwa responden

sebanyak 81,6% melakukan aktivitas sedang-berat dengan nilai >600 dan

>1500 METs. Penelitian oleh Nurayati dan Adriani tahun 2017 juga

menunjukkan bahwa sebanyak 16,1% responden melakukan aktivitas fisik

yang berat dengan nilai >3000 METs. Hal ini menunjukkan bahwa rata-

rata responden stroke dengan diabetes melitus melakukan aktivitas fisik

yang berat dengan nilai >1500 METs.

Responden yang melakukan aktivitas berat lebih dari separuh

adalah responden dengan usia >55 tahun dan lama mengidap DM selama 1

– 5 tahun sebanyak 10 orang. Luitse et al (2012) mengatakan bahwa

aktivitas fisik merupakan salah satu dari gaya hidup yang sangat

berpengaruh pada kontrol glikemik yang memperbesar risiko terjadinya

stroke pada pasien diabetes melitus.

Barnes (2012) mengatakan bahwa pengaruh aktivitas fisik atau

olahraga secara langsung berhubungan dengan peningkatan kecepatan

pemulihan glukosa otot (seberapa banyak otot mengambil glukosa dari

aliran darah). Saat berolahraga, otot menggunakan glukosa yang tersimpan

dalam otot dan jika glukosa berkurang, otot mengisi kekosongan dengan

mengambil glukosa dari darah. Ini akan mengakibatkan menurunnya

glukosa darah sehingga memperbesar pengendalian glukosa darah. Ilyas

(2011) mengatakan bahwa pada saat beraktivitas fisik seperti berolahraga,


70

resistensi insulin berkurang. Aktivitas fisik dan olahraga membantu

penderita DM mengontrol berat badan yang merupakan indikator penunjuk

penderita DM. Penderita diabetes memiliki terlalu banyak glukosa dalam

darah akibat kekurangan insulin, hormon yang membantu sel menyerap

glukosa. Olahraga dapat membantu melarutkan pembekuan darah lebih

mudah. Tingginya tingkat insulin dalam darah memungkinkan terjadi

pembekuan darah lebih mudah karena itu mengapa diabetes erat kaitannya

dengan penyakit Kardiovaskuler.

C. Merokok

Hasil penelitian mengenai perilaku merokok pada pasien stroke

dengan diabetes melitus di Ruang Rawat Inap Penyakit Dalam RSI Siti

Rahmah Padang tahun 2018 menunjukkan bahwa hanya kurang dari

separuh responden yang merokok yaitu sebanyak 41,9% dan sisanya

adalah pasien tidak perokok sebanyak 16,1% dan perokok pasif sebanyak

41,9% dan sebagian besar responden adalah perempuan. Hasil ini sejalan

dengan penelitian Guo (2018) tentang stroke dengan DM yaitu responden

yang merokok hanya kurang dari separuh responden sebanyak 46,5% pada

laki-laki dan 10,4% pada perempuan, sementara responden lebih dari

setengah tidak merokok dengan persentasi 53,5% pada responden laki-laki

dan 89,6% pada responden perempuan. Diperkuat lagi oleh hasil penelitian

Olofindayo (2015) yaitu didapatkan responden yang merokok sebanyak

44,4% sementara responden yang tidak merokok yaitu 55,6%. Sehingga

penelitian menunjukkan bahwa responden stroke dengan diabetes melitus


71

sebagian besar tidak merokok dan perokok pasif, dan hanya kurang dari

separuh yang merupakan perokok berat.

Penelitian oleh Ario (2014) yang menunjukkan bahwa merokok

memperburuk kontrol metabolik dan nikotin yang merupakan bahan kimia

aktif pada rokok yang bertanggung jawab atas terjadinya penyakit-

penyakit kronis seperti stroke dengan diabetes melitus. Namun dalam

penelitian ini, responden kurang dari setengah merupakan perokok pasif.

Pradono & Kristanti (2003) menunjukkan bahwa perokok pasif memiliki

risiko yang sama besar dengan perokok aktif untuk terserang penyakit-

penyakit berbahaya seperti stroke dengan diabetes melitus. Hal ini

disebabkan oleh efek negatif dari asap rokok (Environmental Tobacco

Smoke/ETS) terhadap kesehatan mereka. Asap rokok dapat menyerang

susunan saraf pusat yang mengganggu kesehatan. Sehingga dapat

diuraikan bahwa dalam penelitian ini menghasilkan responden yang tidak

perokok dan perokok pasif lebih banyak dibandingkan dengan responden

perokok berat, namun hal ini dikarenakan efek yang dirasakan oleh

perokok pasif sama bahayanya dengan perokok berat.

Selanjutnya berdasarkan hasil penelitian ini, responden yang tidak

merokok dan perokok pasif adalah perempuan. Sementara responden yang

merupakan perokok berat sebanyak 48,9% adalah laki-laki dengan umur

sebagian besar >55 tahun dan tidak memanajemen diabetesnya dengan

baik. Responden yang masuk kedalam kategori perokok berat lebih dari

setengah tidak memiliki riwayat kesehatan DM dalam keluarganya.


72

Berdasarkan hasil karakteristik responden dilihat dari riwayat kesehatan

keluarga terkait DM proporsi tertinggi adalah tidak ada riwayat DM

sebanyak 54,8%. Hasil ini berlawanan dengan penelitian Manurung (2015)

yang menjelaskan bahwa genetik berperan dalam penyakit seperti stroke

dan diabetes melitus yang diketahui dapat diturunkan secara genetik dari

seseorang kepada keturunanya dan selain faktor genetik, riwayat penyakit

keluarga juga dapat dihubungkan dengan pola kebiasaan keluarga seperti

pola makan (makanan tinggi kalori, lemak dan garam) dan pola kebiasaan

buruk yang sama sehingga dapat menimbulkan permasalahan kesehatan

yang sama pula. Namun berdasarkan hasil penelitian ini, responden yang

tidak memiliki riwayat DM pada keluarga sebagian besar merupakan

perokok berat dan obesitas sentral. Luitse (2012) menjelaskan bahwa

seseorang dengan diabetes melitus yang memiliki obesitas sentral

ditambah dengan gaya hidup merokok memiliki risiko terserang stroke

yang sangat besar melebihi seseorang tanpa obesitas sentral dan gaya

hidup merokok meskipun ada riwayat DM dalam keluarga.

Sehingga dari penelitian ini dapat menunjukkan bahwa responden

stroke dengan diabetes melitus sebagian besar tidak perokok namun

memiliki faktor yang lain yang juga sangat penting dan berpengaruh

terhadap kejadian stroke yang dialami yaitu tubuh yang obesitas sentral

dan merupakan perokok pasif.


73

D. Konsumsi Alkohol

Hasil penelitian mengenai perilaku konsumsi alkohol pada pasien

stroke dengan diabetes melitus di Ruang Rawat Inap Penyakit Dalam RSI

Siti Rahmah Padang tahun 2018 menunjukkan bahwa responden sebagian

besar sebanyak 87,1% tidak mengonsumsi alkohol. Hasil ini sejalan

dengan penelitian Olofindayo (2015) yang menunjukkan bahwa responden

yang mengonsumsi alkohol hanya sebagian kecil saja yaitu 33,39%.

Diperkuat lagi dengan penelitian Patricia (2015) yang menunjukkan bahwa

responden sebagian besar sebanyak 72% tidak mengonsumsi alkohol.

Berdasarkan hasil penelitian responden yang mengonsumsi alkohol

semuanya adalah laki-laki dengan usia 35 – 44 tahun sebanyak 3 orang

dan >55 tahun sebanyak 1 orang yang diperparah dengan status perokok

berat. Sementara responden yang tidak mengonsumsi alkohol sebagian

besar adalah perempuan dan telah menderita DM selama 1 – 5 tahun.

Responden laki-laki yang tidak mengonsumsi alkohol sebagian besar

mengalami obesitas sentral.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa responden yang

mengonsumsi alkohol sebagian besar berada di kalangan usia muda

ditambah dengan status perokok berat hal ini yang memperberat responden

jatuh ke kondisi stroke dengan diabetes melitus.


74

E. Stres

Hasil penelitian mengenai tingkat stres pasien stroke dengan

diabetes melitus di Ruang Rawat Inap Penyakit Dalam RSI Siti Rahmah

tahun 2018 menunjukkan bahwa sebagian besar responden (77,4%)

mengalami stres. Hasil ini sejalan dengan penelitian Kemala (2017) yang

menunjukkan bahwa responden sebagian besar mengalami stres (89,4%).

Diperkuat oleh penelitian Sofiana et al (2012) yang menunjukkan bahwa

lebih dari separuh responden (53,3%) mengalami stres.

Dari hasil penelitian ini didapatkan bahwa responden yang

mengalami stres sebagian besar tidak bekerja. Berdasarkan hasil

karakteristik responden dilihat dari pekerjaan proporsi tertinggi responden

tidak bekerja sebanyak 64,5%. Responden yang tidak bekerja sebagian

besar berjenis kelamin perempuan dan memiliki tubuh dengan obesitas

sentral sehingga memungkinkan dapat membuat responden untuk jarang

melakukan aktivitas yaitu bekerja. Dapat dilihat bahwa responden berjenis

kelamin perempuan dengan tubuh obesitas sentral yang tidak bekerja

cenderung mengalami stres.

Berdasarkan hasil penelitian ini didapatkan bahwa responden yang

mengalami stres lebih dari separuh berusia >55 tahun sebanyak 18 orang

dan responden yang telah lama menderita DM selama 1 – 5 tahun

sebanyak 12 orang dan >5 tahun sebanyak 7 orang lebih banyak

dibandingkan dengan rensponden dengan lama menderita DM selama <1

tahun sebanyak 5 orang. Penelitian Sofiana et al (2011) menunjukkan


75

bahwa tingginya tingkat stres sebagian besar responden disebabkan oleh

perubahan status kesehatan mereka yang drastis. Mereka harus menjalani

rawat inap tanpa bisa melakukan kegiatan seperti dulu tanpa ada harapan

untuk sembuh seperti sedia kala. Hal ini sesuai dengan Isselbacher (2000)

yang mengatakan bahwa seseorang yang memiliki penyakit kronis akan

sulit untuk menerima kenyataan bahwa mereka harus melakukan

perubahan gaya hidup.

Derek et al (2017) menunjukkan bahwa stres yang tinggi dapat

memicu peningkatan kadar gula darah pasien diabetes melitus, sehingga

semakin tinggi seseorang mengalami stres maka kadar gula darahnya akan

semakin tinggi dan tidak teratur dan akan semakin memperburuk kondisi

penyakitnya. Lin et al (2017) menunjukkan bahwa kontrol gula darah yang

buruk akan memperberat risiko terjadinya stroke pada pasien diabetes

melitus. Dari uraian diatas, penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian

besar responden yang mengalami stres dengan lebih dari separuh adalah

perempuan dan telah berusia >55 tahun disebabkan oleh lamanya jangka

waktu mereka terdiagnosis DM yang akan memperberat kontrol

glikemiknya.
76

F. Keterbatasan Penelitian

Pada pelaksanaan penelitian ini tentunya memiliki keterbatasan –

keterbatasan. Peneliti menyadari keterbatasan penelitian ini yaitu data

yang didapat dari responden kurang lengkap untuk membahas lebih jauh

lagi terkait faktor risiko stroke dengan diabetes melitus. Data yang

dimaksud yaitu dalam variabel merokok dan konsumsi alkohol seperti

jenis rokok, jenis alkohol dan jumlah alkohol yang dikonsumsi setiap

harinya. Diharapkan untuk peneliti selanjutnya dapat melengkapi data

yang dimaksud untuk lebih memperluas pembahasan yang dapat

disalurkan untuk pendidikan dan pengetahuan.


77

BAB VII

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan di Ruang Rawat Inap

Penyakit Dalam RSI Siti Rahmah tahun 2018 dapat disimpulkan bahwa:

1. Lebih dari separuh responden memiliki manajemen diri diabetes yang

cenderung buruk di Ruang Rawat Inap Penyakit Dalam RSI Siti

Rahmah Padang.

2. Lebih dari separuh responden melakukan aktivitas yang berat di Ruang

Rawat Inap Penyakit Dalam RSI Siti Rahmah Padang.

3. Kurang dari separuh responden tidak merokok dan perokok pasif di

Ruang Rawat Inap Penyakit Dalam RSI Siti Rahmah Padang.

4. Sebagian besar responden tidak mengonsumsi alkohol di Ruang Rawat

Inap Penyakit Dalam RSI Siti Rahmah Padang.

5. Sebagian besar responden mengalami stres di Ruang Rawat Inap

Penyakit Dalam RSI Siti Rahmah Padang.

6. Responden stroke dengan diabetes melitus yang memiliki manajemen

diri diabetes yang cenderung buruk, melakukan aktivitas yang berat,

tidak perokok dan perokok pasif, tidak mengonsumsi alkohol, dan

mengalami stres sebagian besar merupakan responden dengan umur

>55 tahun.
78

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan penelitian yang telah dilakukan di Ruang

Rawat Inap Penyakit Dalam RSI Siti Rahmah Padang, peneliti

menyarankan beberapa hal sebagai berikut:

1. Profesi Keperawatan

Diharapkan kepada perawat untuk memberikan asuhan

keperawatan secara holistik yaitu keadaan biopsikososial dan

melibatkan keluarga untuk memantau perilaku pasien stroke dengan

diabetes melitus untuk mengurangi berbagai faktor risiko yang dapat

memunculkan kondisi stroke berulang. Kepada profesi keperawatan di

RSI Siti Rahmah Padang disarankan untuk meningkatkan kualitas

pelayanannya pada pasien stroke dengan diabetes melitus tidak hanya

melihat kondisi fisik tetapi juga melihat dari berbagai faktor risiko lain

yang dapat memicu munculnya serangan stroke berulang pada pasien.

2. Institusi Pendidikan

Hasil penelitian ini hendaknya memberikan informasi yang

bermanfaat bagi petugas kesehatan untuk mengetahui gambaran faktor

risiko pasien stroke dengan diabetes melitus sehingga dapat menjadi

masukan dalam mengembangkan ilmu pengetahuan tentang pentingnya

mencegah stroke dengan diabetes melitus dari berbagai faktor risiko

yang dapat muncul. Dan untuk peneliti selanjutnya, dapat digunakan

sebagai acuan untuk meneliti lebih jauh tentang pasien stroke dengan

diabetes melitus dan menambah data yang diperlukan seperti jenis


79

rokok, jenis alkohol dan jumlah alkohol yang dikonsumsi setiap harinya

sehingga dapat memperluas pembahasan dari hasil penelitian dan

melihat dari berbagai sudut pandang guna untuk meningkatkan asuhan

keperawatan.

3. Pasien Stroke dengan Diabetes Melitus dan Keluarga Pasien

Disarankan kepada pasien diabetes melitus yang telah terserang

stroke dan keluarga agar dapat lebih memperhatikan berbagai faktor

seperti meningkatkan kualitas manajemen diri diabetes dengan lebih

banyak mengonsumsi sayuran dan buah-buahan dan mengurangi

konsumsi daging, mengontrol gula darah minimal seminggu sekali,

mengontrol aktivitas fisik dengan memperhatikan indikator seperti nadi

maksimum (140x/i), dan menghindari stres dengan cara melakukan

kegiatan yang disenangi serta menjauhi gaya hidup yang buruk seperti

merokok dan alkohol dengan mengganti ke konsumsi yang lain seperti

kue atau kerupuk rendah lemak untuk mencegah terjadinya serangan

stroke berulang. Serta dilakukan pencegahan sudah dimulai sejak usia

dewasa muda <44 tahun. Peran keluarga adalah mengontrol dan

memberi dukungan kepada pasien untuk menghindari terjadinya

komplikasi.

Anda mungkin juga menyukai